Anda di halaman 1dari 2

KASUS KORUPSI E-KTP

Kasus korupsi E-ktp yang terjadi beberapa tahun yang lalu memang sangat
menghebohkan seluruh masyarakat Indonesia. Dari artikel yang saya baca Kasus ini berawal
saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran untuk penyelesaian Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), salah satu komponennya adalah Nomor Induk
Kependudukan (NIK).
Korupsi dimulai pada saat setelah rapat pembahasan anggaran pada Februari 2010. Dari
beberapa kali pertemuan, disepakati anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Pihak
pemenang tender dalam proyek e-KTP ini adalah Konsorsium Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia (PNRI) Konsorium proyek ini terdiri dari PNRI serta lima perusahaan
BUMN dan swasta, yakni Perum PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sucofindo, PT
Quadra Solution, dan PT Sandipala Artha Putra.
Anggaran sebesar Rp. 5,9 triliun tersebut dikorupsi sebesar Rp. 2,3 triliun. Anggaran
yang dikembalikan sebesar Rp. 250 miliar. Namun, pihak yang mengembalikan dana tersebut
identitasnya masih di rahasiakan oleh KPK. KPK hanya menginformasikan dana tersebut : Rp.
220 miliar dari 5 korporasi dan 1 konsorium, Rp. 30 miliar dari perorangan (14 orang).
Kasus korupsi proyek e-KTP terendus pertama kali akibat kicauan mantan Bendahara
Umum Partai Demokrat (PD), Muhammad Narzaruddin. Menurut ICW (Indonesian Corruption
Watch), terdapat kejanggalan yaitu adalah post bidding, penandatanganan kontrak pengadaan e-
KTP pada sanggah banding, dan persaingan usaha yang tidak sehat Muhammad Nur Rochmi,
2016). Kemudian, persaingan usaha yang tidak sehat terdapat pada persekongkolan yang
dilakukan oleh panitia tender, PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia), dan PT Astra
Graphia Tbk. Masalah persaingan usaha tidak sehat ini dibeberkan oleh KPPU (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha). Bentuk persaingan usaha yang tidak sehat itu, seperti PNRI dan
Astra Graphia yang dinilai copy–paste dokumen tender dan panitia lelang yang melakukan post
bidding. Jika kita melihat semua kejadian di atas, proyek pengadaan e-KTP ini dilakukan penuh
dengan kecurangan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menyelidiki kasus dugaan korupsi
proyek e-KTP sejak pertengahan tahun 2014. Penyelidikan yang dilakukan oleh KPK ini sudah
berlangsung hampir 3 tahun dan KPK telah memeriksa 280 orang dalam kasus ini. KPK baru
dapat menetapkan dua tersangka yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri, yaitu Sugiharto. Kedua orang tersebut diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan
dalam proyek e-KTP. Irman yang waktu ditetapkan tersangka menjabat Staf Ahli Menteri
Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik, merupakan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) proyek e-KTP, sedangkan, Sugiharto adalah Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut.
Kedua orang tersebut disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1
KUHP.
Kemudian Andi Naragong menjadi tersangka. Dalam pertimbangan, hakim menyatakan Andi
Narogong bersama pihak lain mengarahkan perusahaan tertentu, dalam hal ini Konsorsium
PNRI, sebagai pemenang lelang proyek e-KTP. Hakim mengatakan ada duit USD 2,5 juta dan
Rp 1,186 miliar yang diterima Andi atas kontribusi mengatur dan memenangkan Konsorsium
PNRI. Andi Naragong ditetapkan menjadi tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pengadilan sudah memvonis bersalah kepada 8 orang yang terlibat dalam kasus korupsi e-
KTP. Berikut :
1. Sugiharto: 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017)
2. Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017)
3. Andi Naragong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017)
4. Setya Novanto: 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan
peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya)
5. Anang Sugiana Sudiharjo: 6 tahun penjara (divonis 30 Juli 2018, inkrah setelah
banding dan PK)
6. Made Oka Masagung: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018, mengajukan
PK dan ditolak pada 2020)
7. Irvanto Hendra Pambudi Cahyo: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018)
8. Markus Nari: 6 tahun penjara (divonis 11 November 2019)
Saya menyimpulkan bahwa tindak pidana korupsi ini adalah korupsi yang paling besar dan
merugikan negara kita. Dapat kita lihat dari kasus tersebut bahwa banyak orang di luar sana,
apalagi pejabat-pejabat negara kita yang masih saja haus akan uang. Banyak dari mereka yang
diduga terlibat dalam korupsi ini, masih tidak mau mengakui keterlibatannya. Penulis sangat
berharap bahwa mereka sungguh-sungguh melihat kerugian sebesar apa yang mereka ciptakan
kepada negara ini. Jika melihat kembali undang-undang mengenai tipikor pada UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada Pasal 12 disebutkan
bahwa denda maksimal untuk pelaku korupsi sebesar Rp1 miliar, penulis tidak yakin bahwa
kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun itu dapat ditutup dengan menetapkan denda tersebut. Pada
akhirnya, kita (masyarakat) lagi yang berusaha bekerja dengan jujur untuk menutupi kerugian
negara.
Solusi pencegahan dan penanggulangan agar tidak terjadi lagi kasus korupsi yang sama
dan merugikan negara, mungkin pemerintah harus memperkuat hukum untuk koruptor dan lebih
tegas kepada pejabat yang menjadi tersangka korupsi, karena seperti yang kita ketauhi kasus ini
adalah kasus kolosal yang dimana banyak drama yang terjadi pada kasus ini, salah satu
tersangka selalu mangkir dan dihalang halangi untuk dijemput aparat ketegasan pemerintah
masih kurang dalam kasus ini. Semoga kedepannya pemerintah dan instansi terkait lebih tegas
ke koruptor koruptor yang sudah tebukti melakukan tindak korupsi.

Anda mungkin juga menyukai