Anda di halaman 1dari 17

PENDIDIKAN KARAKTER DAN ANTI KORUPSI

KASUS KORUPSI YANG TERJADI DI


INDONESIA
KASUS KORUPSI E-KTP

Kelompok 9
Ardiansyah ( Manajemen )
Very Adi Jibran ( Manajemen )
KRONOLOGI AWAL
Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana
Kementerian Dalam Negeri RI dalam pembuatan e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah
menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program
Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan dana senilai Rp 258 miliar untuk biay
a pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 u
ntuk seluruh
kabupaten/
kota se-Indonesia.[19][20] Pada 2011 pengadaan e-KTP ditargetkan untuk 6,7 juta pend
uduk sedangkan pada 2012 ditargetkan untuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia.

Sebelum proses perekaman e-KTP dilaksanakan,


Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sempat menemui
pimpinan KPK di
gedung KPK pada 24 Januari 2011. Di sana ia meminta
KPK untuk mengawasi proyek e-KTP sembari menjelaskan tentang langkah-langkah pe
laksanaan proyek e-KTP. Namun KPK bukan satu-satunya institusi yang ia datangi. Seb
elumnya ia juga telah meminta
Proses Pengadaan e-Ktp
• Pada pelaksanaannya, proyek e-KTP dilakukan oleh
konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau pihak terkait. Untuk memutus
kan konsorsium mana yang berhak melakukan proyek, maka pemerintah kemudian m
elaksanakan lelang tender pada 21 Februari hingga 15 Mei 2011
.
• Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya pada 21 Juni 2011 pemerintah
mengumumkan konsorsium yang menjadi pemenang lelang. Mereka adalah
konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT
LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT
Sandipala Artha Putra. Hasil itu diambil berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomo
r: 471.13-476 tahun 2011. Sebagai tindak lanjut, konsorsium PNRI kemudian melaku
kan penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-
2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak tersebut disepak
ati pada 1 Juli 2011.
• Mulanya proses perekaman e-KTP ditargetkan akan dilaksanakan secara serentak
pada 1 Agustus 2011. Namun karena terlambatnya pengiriman perangkat peralatan e-
KTP, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18 Agustus 2011 untuk 197
kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Kecurigaan Korupsi
• Belum sampai perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota, pihak kepolisian mengabarkan bahwa
mereka mencurigai terjadinya korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium
yang kalah tender yang menyatakan bahwa terjadinya ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia
saat lelang tender berlangsung. KPK turut mencium kejanggalan dari proses proyek e-KTP. Pada awal
September 2011 KPK menuding bahwa Kemendagri tidak menjalankan 6
rekomendasi dalam pelaksanaan proyek e-KTP. Keenam rekomendasi tersebut adalah: 1) penyempurnaan des
ain.; 2) menyempurnakan
aplikasi SIAK dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan
migrasi non SIAK ke SIAK; 3) memastikan tersedianya jaringan pendukung komunikasi data
online/semi online
antara Kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi dapat dilakukan secara efisien; 4) Pemb
ersihan data kependudukan dan penggunaan
biometrik sebagai media verifikasi untuk menghasilkan NIK yang tunggal; 5) Pelaksanakan e-KTP setelah ba
sis database kependudukan bersih/NIK tunggal, tetapi sekarang belum tunggal sudah melaksanakan e-KTP; d
an 6) Pengadaan e-KTP harus dilakukan secara
elektronik dan sebaiknya dikawal ketat oleh LKPP.
• Tak lama setelah itu, Konsorsium Lintas Peruri Solusi melaporkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Ketua Panitia lelang dalam proses pengadaan e-KTP, Sugiharto dan Drajat Wisnu Setiawan ke
Polda Metro Jaya dengan barang bukti berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011,
surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga orang
saksi. Konsorsium Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah terjadinya
penyalahgunaan wewenang sehingga dana untuk e-KTP membesar hingga Rp4 triliun lebih dalam proses tend
er. Kenyataannya, penawaran yang diajukan oleh Konsorsium Lintas Peruri Solusi lebih rendah, yakni sebesa
r Rp4,75 triliun namun yang memenangkan
• Seiring berjalannya waktu, indikasi korupsi pada proyek e-KTP semakin terbuka lebar. Pada 2012
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan indikasi korupsi pada proyek e-KT
P lebih awal ketimbang KPK berdasarkan temuan
investigator.[1] Indikasi tersebut tertuang pada keputusan KPPU berupa hukuman pada Konsorsiu
m
Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT
Astragraphia untuk membayar denda Rp24 miliar ke negara karena melanggar
pasal 22 UU No. 4/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat pada November 2012. Konsorsium PNRI didenda sebesar Rp20 mil
iar sedangkan PT Astragraphia didenda Rp4 miliar. Denda tersebut harus dibayar ke kas negara me
lalui bank pemerintah dengan kode 423755 dan 423788 (
Pendapatan Pelanggaran di bidang persaingan usaha).
• Seiring berjalannya waktu, indikasi korupsi pada proyek e-KTP semakin terbuka lebar. Pada 2012
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan indikasi korupsi pada proyek e-KT
P lebih awal ketimbang KPK berdasarkan temuan
investigator. ndikasi korupsi juga dipaparkan oleh
Muhammad Nazaruddin pada 31 Juli 2013. Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus
Hambalang, ia menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Pengacaranya,
Elza Syarief menuding bahwa telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total
proyek sebesar Rp5,9 triliun, 45% di antaranya merupakan hasil penggelembungan dana
. Ia juga mengatakan bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum
Partai Demokrat
Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini. Mendengar hal itu, Gamawan Fauzi merasa geram. Ia
pun melaporkan Nazaruddin ke Polda Metro Jaya karena menilai bahwa tuduhannya tidak benar.
Perkembangan Kasus
• Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan
Sugiharto,
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementer
ian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP.
Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di
DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto
Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.
• Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan
memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014.
Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan, Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan
Suciati.[4] Sugiharto pun tak luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015.[34]
Pada waktu bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti
Pamuji Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT
Solid Arta Global sebagai saksi.
• Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per 30 September
2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka.
Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang
lain dengan melakukan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan
jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp2,9 miliar dan 6.000 dollar Singapura
• Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah melakukan pemeriksaan selama 4 jam di
Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur. Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK
pada 21 Desember 2016 setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan penyelidikan, Irman
dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat
permohonan sebagai justice collaborator untuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.Pada 8 Februari 2017 KPK
mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP.
Mereka kemudian menghimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk mengembalikannya ke
negara.Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK menerima uang sebesar Rp250 miliar dengan rincian
Rp220 miliar berasal dari sejumlah korporasi, satu perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp30 miliar berasal dari
anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya. Penyerahan uang itu dilaksanakan usai pemeriksaan
sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif kemudian mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus
penyidikan.
• Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-KTP ke
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017. Berkas tersebut merupakan berkas atas nama S
ugiharto sebanyak 13 ribu lembar dan atas nama Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksa
an tersangka dan saksi. Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto, 173 saksi atas na
ma Irman dan keterangan dari lima orang ahli.
Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi
kemudian mengadakan sidang. Sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017.
Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK
memutuskan untuk menetapkan tersangka ketiga setelah Irman dan Sugiharto, yakni
Andi Narogong. Penetapan dilakukan pada Rabu, 23 Maret 2017. Penyidik KPK menangkap An
di Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik).
Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi ditetapkan sebagai tersangka karena ia berperan dalam meloloskan
anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan
uang kepada para petinggi dan anggota
komisi II DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan membentuk tim F
atmawati, sesuai dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentuk
an spesifikasi teknis hingga melakukan penggelembungan dana dalam pengadaan KTP elektronik.
• Seminggu setelah penangkapan Andi, tepatnya pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat.
Sidang kali ini menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo,
Agun Gunanjar Sudarta dan mantan Menteri Keuangan
Agus Martowardojo. Pada sidang keempat terjadi pengakuan yang kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan No
vel Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel, Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pembe
rian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat persidangan Miryam justru membantah berita acara persidangan
yang dituturkan Novel sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu sehingga ia
mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan konfrontasi tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut
Novel, Miryam melakukan sanggahan karena adanya ancaman beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temua
n lainnya dalam sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Mir
yam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang pada akhirnya disangkal pula oleh Miryam.
• Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini 9 orang saksi hadir untuk
memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan
baru pada sidang ini. Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek e-
KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010. Nazar juga
menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut pengakuan
Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul Umam
Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.
Tidak kooperatifnya Miryam S Hani pada sidang sebelumnya membuat per 5 April 2017 KPK menetapkan Miryam S
Hani sebagai tersangka. Ia tidak ditetapkan sebagai sebagai koruptor, melainkan sebagai pemberi keterangan palsu saat
menjadi saksi pada sidang keempat. Ia pun disangkakan pada Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
• Babak baru dari kasus e-KTP kemudian berlanjut pada sidang keenam yang diadakan pada 6 April 2017. Sidang keenam
menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang kali ini
Novanto membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp 547,2 miliar. Pun dengan Anas
dan Markus yang membantah bahwa mereka telah menerima uang dari proyek e-KTP. Sementara hasil dari sidang ketujuh
yang digelar pada 10 April 2017 adalah terdapat pengakuan dari anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri tentang
pembagian uang. Namun mereka menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di samping itu mereka juga
mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup pekerjaan dalam proy
ek e-KTP yang tidak digabungkan.
Memasuki sidang kedelapan yang berlangsung pada Kamis, 13 April 2017 yang dihadiri 10 saksi, KPK menemukan fakta
bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu diberikan uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi pemberian
uang oleh kakak Andi Narogong yakni
Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang tersebut juga terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karen
a dalam proses lelang konsorsium tidak melampirkan
sertifikat ISO 9001 dan
ISO 14001 sesuai persyaratan.[49] Sementara itu hasil yang didapatkan pada sidang kesembilan yang digelar pada 17 April 20
17 adalah adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang pad
ahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto dan Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.
Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi pada Kamis, 20 April 2017, KPK menemukan fakta-fakta baru terkait kasus
e-KTP. Nama Setya Novanto disebut telah mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim
IT proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga diakui oleh
Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto. Sementara itu menurut penuturan
• Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada 27 April 2017. Selain adanya
keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto, dalam sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni
Presiden Direktur PT Avidisc Crestec Interindo,
Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP karena ada nama Setya Novanto. Sementa
ra itu mantan
anggota Badan Anggaran DPR,
Olly Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan Anggaran DPR dan menyangga
h tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang ditemukan adala
h terjadinya kecurangan karena konsorsium E-KTP memilih perangkat lunak yang tak lolos uji
kompetensi.[52][53] Adapun pada sidang keduabelas yang digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa Andi Naro
gong memegang andil terhadap pengaturan proyek e-KTP.
Jumlah tersangka korupsi pada proyek e-KTP tidak berhenti pada Sugiharto, Irman, Andi Narogong dan Setya
Novanto saja. Markus Nari dan Anang Sugiana Sudiharjo menambah daftar panjang otak di balik kasus korupsi ini.
Per 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus politisi Partai Golkar,
Markus Nari sebagai salah satu tersangka berdasarkan Pasal 3 atau 2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidan
a Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.[55]Alasan penetapan
Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam penambahan anggaran e-KTP di
DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 miliar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP
sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 miliar, berupaya menghalangi
penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus e-KTP dan diduga memengaruhi anggota DPR
Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dua bulan setelah penetapan
Markus, barulah pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo,
direktur utama PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Penetapan tersebut dil
akukan berdasarkan dua bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh Irman, Su
giharto dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya
Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal
3 Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korup
si, Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.[7][58][59]Pada 9 November 2017 KPK melakukan penahanan terhadap Anang.
Anang kemudian dimasukkan ke dalam Rumah Tahanan Guntur selama 20 hari ke depan.
Keesokkan harinya, yakni pada Selasa, 18 Juli 2017 Setya Novanto mekakukan jumpa pers di
Gedung Kompleks Parlemen Senayan dengan didampingi empat petinggi DPR lainnya, yakni Fadli Zon, Fahri Ham
zah,
Agus Hermanto dan
Taufik Kurniawan. Dalam kesempatan itu ia mengatakan kepada para media bahwa ia menghargai proses hukum ya
ng berlaku dan menjelaskan bahwa ia telah meminta suratresmi dari KPK terkait penetapannya sebagai tersangka.[6
3] Di sisi lain ia juga mengatakan bahwa ia merasa didzalimi.
Pada 22 Juli 2017 telah terjadi pertemuan antara Setya Novanto dengan Hatta Ali selaku Ketua
Mahkamah Agung dalam sidang terbuka disertasi politisi Partai Golkar Adies Kadir di Surabaya, Jawa Timur.
Ahmad Doli Kurnia, Ketua Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) kemudian melaporkan peristiwa itu kepada
Komisi Yudisial (KY) pada 21 Agustus 2017. Mereka curiga bahwa Setya Novanto telah melakukan upaya kepada
Mahkamah Agung agar ia bisa terbebas dari hukum, terutama lewat
sidang praperadilan. Laporan GMPG ditanggapi dengan positif oleh Ketua KY
Aidul Fitriciada Azhari namun dibantah oleh Setya Novanto dan Mahkamah Agung.[65][66] Mahkamah Agung men
gklarifikasi bahwa keberadaan Hatta Ali di Surabaya adalah murni sebagai penguji
disertasi Adies Kadier dan tidak ada kaitannya dengan kasus e-KTP.[67] Menanggapi pelaporan Doli, Golkar kemud
ian memecatnya sebagai politisi di Partai Golkar.[
Sebagai tindak lanjut, KPK lalu memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka pada 11 September
2017. Akan tetapi, Novanto tidak datang dengan alasan sakit karena sedang mengalami perawatan di
Rumah Sakit Siloam Jakarta. Novanto dikabarkan mengalami kenaikan
gula darah setelah berolahraga. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Golkar
Idrus Marham dan pengacara Setya Novanto di Gedung KPK sembari menyerahkan
surat keterangan dokter kepada KPK.
Rencananya sidang praperadilan pertama akan dilaksanakan pada Selasa, 12 September 2017. Namun karena
Novanto masih sakit dan atas permintaan KPK, maka hakim kemudian memutuskan untuk menggeser jadwal sidang
• Pada Senin, 18 September 2017 KPK melakukan pemanggilan kembali kepada Setya Novanto ke Gedung KPK untuk
diperiksa sebagai tersangka. Namun seperti pada panggilan pertama, Novanto tidak dapat hadir lagi dikarenakan ia
sedang dirawat di Rumah Sakit Premier Jakarta untuk menjalani
kateterisasi jantung.[75][76] Untuk mengetahui tentang kesehatan Novanto lebih lanjut, KPK kemudian mengirimkan d
okter ke RS Premier Jakarta dan bekerja sama dengan dokter yang menangani Novanto.[77]Proses praperadilan Setya N
ovanto berlanjut pada 20 September 2017 saat sidang perdana digelar. Dalam sidang tersebut
Agus Trianto yang saat itu berperan sebagai pengacara mengajukan keberatan karena ia menilai ada keanehan atas penet
apan status tersangka pada Novanto yang dilakukan oleh KPK. Novanto ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017
namun
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli 2017. Ia menilai bahwa KPK telah m
elanggar
KUHAP dan
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dan seharusnya KPK menetapkan tersangka setelah keluarnya SP
DP. Ia juga beranggapan bahwa tuduhan terhadap Novanto atas kasus e-KTP tidak berdasar karena nama Novanto tidak
disebutkan dalam putusan sidang Irman dan Sugiharto.
• Setelah 2 bulan menyandang status sebagai tersangka, status Novanto sebagai tersangka kemudian dibatalkan oleh
Hakim Cepi pada sidang praperadilan lanjutan yang diselenggarakan pada 29 September 2017. Menurut Hakim Cepi,
penetapan Novanto sebagai tersangka tidak sah karena diputuskan di awal penyidikan, bukan di akhir. Selain itu ia juga
tidak bisa menerima alat bukti yang digunakan KPK untuk menangkap Novanto karena telah digunakan sebelumnya
dalam penyidikan Irman dan Sugiharto.
• Sebulan setelah pembatalan status tersangka oleh Hakim Cepi, tepatnya pada 31 Oktober 2017 KPK menerbitkan Surat
Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Setya Novanto. Setya Novanto disangkakan pada Pasal 2 ayat 1 subsider
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keputusan ini dibuat oleh KPK setelah
melakukan penyelidikan lebih dalam dengan mengumpulkan berbagai bukti dan minta keterangan dari para saksi. Pada
13 dan 18 Oktober 2017 KPK pernah meminta Novanto untuk dimintai keterangan, tetapi ia absen dengan alasan tugas
• Pada 10 November 2017 KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka untuk kedua kalinya setelah sempat dibatalkan
oleh Hakim Cepi.Pada 15 November 2017 KPK memangggil Novanto untuk melakukan proses pemeriksaan sebagai tersangka.
Namun karena ia tidak hadir, maka penyidik KPK memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Setibanya di sana penyidik KPK
tidak menemukan Novanto sama sekali. Keesokkan harinya, KPK mendatangi rumah Novanto kembali. Kali ini mereka
melakukan penggeledahan dan menyita CCTV. Pada malam harinya pada hari yang sama,
Friedrich Yunadi memberitahukan bahwa Novanto tengah dirawat di
Rumah Sakit Medika Permata Hijau karena mengalami kecelakaan di kawasan
Permata Hijau hingga tak sadarkan diri.[12] Setelah sempat dipindahkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat Novanto ak
hirnya dibawa ke gedung KPK dengan menggunakan kursi roda pada 19 November 2017 untuk dilakukan pemeriksaan dan pen
ahanan. Berdasarkan keterangan tim dokter, Novanto tak perlu dirawat lagi di Rumah Sakit.[87][88] Pemeriksaan pun diadakan
keesokan harinya di gedung KPK pada 20 November 2017.
Pada 13 Desember 2017
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengadakan sidang pokok perkara dengan agenda pembacaan dakwaan. Dalam sidang terseb
ut terdapat beberapa hal yang terjadi pada Setya Novanto, mulai dari tak menjawab saat ditanya hakim, mengaku sakit
diare dan telah 20 kali bolak-balik ke WC bahkan hingga mengatakan bahwa ia lahir di Jawa Timur padahal sebenarnya
Bandung. Atas tindakan yang Novanto lakukan, hakim sidang sempat melakukan skors lalu meminta dokter untuk memeriksaka
n kesehatannya
.
• Setelah melalui serangkaian proses, majelis hakim kemudian memberikan vonis kepada para tersangka atas keterlibatan mereka
dalam tindakan korupsi dalam proyek pengadaan e-KTP. Setiap tersangka mendapatkan
vonis yang berbeda tergantung sejauh mana keterlibatan mereka. Berikut adalah hukuman yang harus diterima oleh para tersang
ka:
• Sugiharto Atas
tindakannya dalam merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun dan terbukti menerima uang sebesar USD 200 ribu dari Andi Nar
ogong, Sugiharto dijatuhi hukuman oleh majelis hakim berupa kurungan penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta s
ubsider 6 bulan kurungan penjara. Selain itu, Sugiharto juga wajib membayar uang pengganti senilai USD 50 ribu dikurangi US
D 30 ribu serta mobil honda jazz senilai Rp 150 juta dalam rentang waktu satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap. Harta be
nda Sugiharto akan disita jika ia tidak membayarnya. Jika tidak cukup, harta benda tersebut diganti dengan kurungan penjara sel
• Irman
Berdasarkan penyelidikan KPK dan hasil sidang, Irman terbukti menerima uang sebesar USD 300 ribu dar
i Andi Narogong dan USD 200 ribu dari Sugiharto. Oleh karena itu per 20 Juli 2017 majelis hakim lewat si
dang dengan agenda pembacaan vonis memberikannya hukuman berupa kurungan penjara selama 7 tahun
dan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Di samping itu Irman juga wajib membayar
uang pengganti senilai USD 500 ribu dikurangi USD 300 ribu dan Rp 50 juta dalam rentang waktu 1 bulan
setelah berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dipenuhi, harta benda Irman akan disita. Jika masih tak cukup
, Irman wajib menggantinya dengan pidana 2 tahun penjara.Vonis ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntu
t Umum KPK pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan pada 22 Juni 2017.
• Andi Narogong Andi dijuluki 'Narogong' karena memiliki usaha konveksi di Jalan Narogong,
Bekasi.[100] Andi dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum KPK pada sidang dengan agenda pembacaan tuntut
an pada 7 Desember 2017 berupa hukuman penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider
6 bulan penjara serta wajib membayar uang pengganti senilai USD 2,1 juta. Dengan harapan dapat mering
ankan vonis (sidang dengan agenda pembacaan vonis belum dilakukan) yang akan diputuskan nanti, ia pu
n berperan sebagai
justice collaborator.
• Markus Nari (belum dijatuhi hukuman)
• Anang Sugiana Sudiharjo (belum dijatuhi hukuman)
• Setya Novanto
dijatuhi hukuman 16 tahun penjara, sedikit lebih ringan dari tuntutan yang diajukan jpu. dan membayar ua
ng pengganti US$7,3 juta dalam kurs terbaru setara dengan lebih dari 101 miliar. Serta pencabutan hak pol
itik selama 5 tahun. Dan dipenjara di penjara sangat mewah seperti hotel berbintang lima yang tepat di Le
mbaga Permasyarakatan (LP) Sukamiskin Bandung
.
Pemberitaan media asing
• Bergulirnya kasus e-KTP tak hanya menjadi perhatian bagi media nasional, melainkan
juga media asing. Di antara berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi pada kasus korupsi
e-KTP, keterlibatan Setya Novanto dominan menjadi fokus berita. Saat Setya Novanto
hilang dari KPK, sejumlah media asing memberitakannya. Washington Post dan
The New York Times, dua media asal Amerika Serikat memuat berita berjudul
"Top Indonesia Official Escapes Arrest by Anti-Graft Police
" yang dikutip dari Associated Press. Sementara itu media
Australia, ABC memberitakannya dalam judul "
Indonesian Speaker Setya Novanto wanted for questioning over corruption scandal, but u
nable to be found
". Lebih lanjut, ABC menulis bahwa kasus tersebut adalah ujian bagi Joko Widodo.
• Media AFP yang berbasis di Prancis menulis berita dengan judul "Indonesian Speaker
Setya Novanto's corruption trial delayed by his 'diarrhoea'". Media tersebut menyatakan
bahwa sidang kasus Novanto yang merupakan sidang korupsi terbesar di Indonesia dalam
beberapa tahun yang tertunda setelah Novanto mengklaim mengalami diare. The
Washington Post dan ABC News juga turut memberitakan kasus ini dengan mengutip
Reaksi warganet
• Terjadinya kasus korupsi e-KTP di era
digital tidak hanya menimbulkan reaksi dari warga biasa, tetapi juga dari warganet selaku pengguna
media digital. Oleh karena itu mereka meluapkan respon di jejaring sosial mereka masing-masing dengan ber
agam cara. Tak sekadar membuat kreasi meme kemudian mengunggahnya di
jejaring sosial seperti instagram, sebagian besar warganet juga memanfaatkan fitur tagar tertentu pada
twitter. Hal itu dikarenakan semakin banyak warganet yang menuliskan tagar tertentu secara serempak dalam
waktu bersamaan, maka akan tercipta
trending topic
sehingga reaksi mereka atas kasus korupsi semakin tersebar luas. Tercatat ada beberapa nama yang ditetapka
n sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP di Indonesia. Namun sejak perjalanan kasus korupsi e-KTP ter
sebut bergulir, mayoritas reaksi warganet hanya ditumpahkan kepada Setya Novanto
.
Kesimpulan
• KTP merupakan identitas resmi penduduk serta bukti diri yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. program e-KTP ditujukan untuk mewujudkan kepemilikan satu KTP untuk satu penduduk
yang memiliki kode keamanan dan rekaman elektronik data kependudukan yang berbasis NIK secara
nasional. dengan adanya e-KTP diharapkan tidak ada lagi duplikasi KTP dan dapat menciptakan kartu
identitas multifungsi.Usaha merealisasikan satu penduduk satu KTP melalui e-KTP terhambat oleh adanya
korupsi. Anggaran proyek e-KTP sebesar Rp. 5,9 triliun, dikorupsi sebesar Rp. 2,3 triliun. Anggaran yang
dikembalikan sebesar Rp. 250 miliar. Anggaran yang dikembalikan tersebut berasal dari Rp. 220 miliar dari 5
korporasi dan 1 konsorium, Rp. 30 miliar dari perorangan (14 orang). Pihak yang terlibat kasus ini begitu
banyak, mulai dari pejabat pemerintahan, politisi, hingga pengusaha. Pihak pemenang tender proyek e-KTP
juga terlibat. Pihak pemenang tender dalam proyek e-KTP ini adalah Konsorsium Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia (PNRI) Konsorium proyek ini terdiri dari PNRI serta lima perusahaan BUMN dan swasta,
yakni Perum PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sucofindo, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Artha
Putra. Semua pihak yang terlibat dalam kasus ini berusaha merancang sedemikian rupa strategi supaya bisa
me mark-up dana proyek e-KTP untuk kemudian dapat mengalir ke kantong mereka masing –
masing.Pendekatan ekonomi politik berbasis kekuasaan menekankan pada pentingnya kekuasaan pada
hubungan ekonomi. Kasus korupsi proyek e-KTP membuktikan bahwa kekayaan dapat memberikan
kekuasaan. Kasus ini juga merepresentasikan adanya hubungan timbal balik antara pemilik kekuasaan dari
jabatan dengan pemilik kekuasaan dari kekayaan. Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan dalam
hubungan ekonomi politik itu sangat penting. Itulah mengapa kami sebagai tim penyusun mendukung
asumsi “pendekatan ekonomi politik berbasis pada kekuasaan berbeda dengan pendekatan neoklasik yang
lebih meminimalisir kekuasaan”.

Anda mungkin juga menyukai