Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS KASUS e-KTP

Mata Pelajaran Akuntansi Forensik

Dosen pengampu:
Dr. Indira Januarti, S.E., M.Si

Disusun oleh :

KELOMPOK 6

1. Lia Nilawati (12030119410037)


2. Maradewi Ayu Kumalasari (12030119410008)

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2019
ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. ANALISA KASUS E-KTP


Kronologi Awal
Menurut Undang Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Kartu Tanda Penduduk Elektonik (KTP) adalah identitas
resmi penduduk sebagai bukti diri yang ditertibkan oleh instansi pelaksana yang berlaku
diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti Kartu Tanda
Penduduk merupakan salah satu dokumen kependudukan yang wajib dimiliki oleh
setiap masyarakat guna terciptakan tertib administrasi kependudukan dan setiap instansi
pelaksana pelayanan publik wajib melaksanakan urusan administrasi kependudukan
serta perlu menerapkan dan menjalankan prinsip prinsip good governance dalam
pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Menurut
Permendagri No. 9 Tahun 2011 tentang pedoman penerbitan Kartu Tanda Penduduk
berbasis Nomor Induk kependudukan secara Nasional dalam pasal 2 ayat (1)
menjelaskan tujuan pemerintahan menerbitkan KTP Elektronik untuk mewujudkan
kepemilikan satu KTP untuk satu penduduk yang memiliki kode keamanan dan
rekaman elektronik data kependudukan yang berbasis NIK secara nasional
Bersumber dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kementerian
Dalam Negeri RI meluncurkan program pembuatan e-KTP. Sejak tahun 2006
Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang digunakan untuk proyek e-
KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan dana senilai Rp 258
milyar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis
NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia. Pada 2011 pengadaan e-KTP
ditargetkan untuk 6,7 juta penduduk sedangkan pada 2012 ditargetkan untuk sekitar 200
juta penduduk Indonesia. Sebelum proses perekaman e-KTP dilaksanakan, Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi sempat menemui pimpinan KPK di gedung KPK pada 24
Januari 2011. Di sana ia meminta KPK untuk mengawasi proyek e-KTP sembari
menjelaskan tentang langkah-langkah pelaksanaan proyek e-KTP. Bukan hanya KPK,
sebelumnya ia juga telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk terlibat dalam pengawasan proyek
ini. Dengan adanya keterlibatan institusi-institusi tersebut diharapkan megaproyek e-KTP
dapat bersih dan terhindar dari praktek korupsi. Wakil ketua KPK saat itu yaitu M.jasin
menegaskan bahwa KPK memantau proses proyek e-KTP.

Proses Pengadaan e-KTP


Proyek e-KTP dalam pelaksanaannya dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari
beberapa perusahaan atau pihak terkait. Pemerintah melaksanakan lelang tender pada 21
Februari sampai dengan 15 Mei 2011 untuk memutuskan konsorsium mana yang berhak
melakukan proyek. Di sela-sela proses lelang, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
bernama Government Watch (Gowa) menilai bahwa terdapat kejanggalan pada proses
lelang. Mereka beranggapan bahwa perusahaan yang mengikuti tender tidak sesuai
dengan persyaratan seperti yang terangkum dalam PP 54/2010.
Berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011 dan pada
tanggal 21 Juni 2011 pemerintah mengumumkan konsorsium yang menjadi pemenang
lelang, yaitu konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, antara lain Perum
PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha
Putra. Sebagai tindak lanjut, konsorsium PNRI kemudian melakukan penandatanganan
kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai
pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak tersebut disepakati pada 1 Juli 2011.
Mulanya proses perekaman e-KTP ditargetkan akan dilaksanakan secara serentak
pada 1 Agustus 2011. Namun karena terlambatnya pengiriman perangkat peralatan e-
KTP, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18 Agustus 2011 untuk 197
kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Kecurigaan Korupsi
Pihak kepolisian mengabarkan bahwa mereka mencurigai terjadinya korupsi pada
proyek e-KTP, sebelum proses perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota.
Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender yang menyatakan
bahwa terjadinya ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat lelang tender
berlangsung. Kecurigaan bahwa adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga
dirasakan oleh Government Watch (GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK
pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi upaya pemenangan
terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi
yang telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut
mereka mendapatkan petunjuk berupa dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang
oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan menemukan fakta
bahwa telah terjadi 11 penyimpangan, pelanggaran dan kejanggalan kasat mata dalam
pengadaan lelang.
KPK turut mencium kejanggalan dari proses proyek e-KTP. Pada awal September
2011 KPK menuding bahwa Kemendagri tidak menjalankan 6 rekomendasi dalam
pelaksanaan proyek e-KTP. Keenam rekomendasi tersebut adalah: 1) penyempurnaan
desain.; 2) menyempurnakan aplikasi SIAK dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh
wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan migrasi non SIAK ke SIAK; 3)
memastikan tersedianya jaringan pendukung komunikasi data online/semi online antara
Kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi dapat dilakukan secara
efisien; 4) Pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik sebagai media
verifikasi untuk menghasilkan NIK yang tunggal; 5) Pelaksanakan e-KTP setelah basis
database kependudukan bersih/NIK tunggal, tetapi sekarang belum tunggal sudah
melaksanakan e-KTP; dan 6) Pengadaan e-KTP harus dilakukan secara elektronik dan
sebaiknya dikawal ketat oleh LKPP. Menanggapi tudingan KPK, Kemendagri kemudian
memberikan bantahan. Reydonnyzar Moenek, juru bicara Kemendagri menjelaskan
bahwa Kemendagri telah menjalankan 5 rekomendasi. Memang ada rekomendasi yang
tidak dijalankan, namun itu hanya 1. Satu rekomendasi tersebut adalah tentang
permintaan NIK tunggal saat proses e-KTP dilaksanakan. Berdasarkan penjelasan
Reydonnyzar, Kemendagri tidak bisa memenuhi rekomendasi tersebut karena bisa
mengubah waktu dan pembiayaan e-KTP.
Tak lama setelah itu Konsorsium Lintas Peruri Solusi melaporkan Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia lelang dalam proses pengadaan e-KTP,
Sugiharto dan Drajat Wisnu Setiawan ke Polda Metro Jaya dengan barang bukti
berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga
orang saksi. Konsorsium Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah
terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga dana untuk e-KTP membesar hingga Rp
4 triliun lebih dalam proses tender. Kenyataannya, penawaran yang diajukan oleh
Konsorsium Lintas Peruri Solusi lebih rendah, yakni sebesar Rp 4,75 triliun namun yang
memenangkan tender justru konsorsium PNRI yang mengajukan penawaran lebih tinggi,
yakni sebesar Rp 5,84 triliun dari anggaran senilai 5,9 triliun. Mereka juga menuding
bahwa panitia lelang telah menerima uang sebesar Rp 50 juta pada 5 Juli 2011 dari
konsorsium pemenang tender.
Pada 2012 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan
indikasi korupsi pada proyek e-KTP lebih awal ketimbang KPK berdasarkan
temuan investigator. Indikasi tersebut tertuang pada keputusan KPPU berupa hukuman
pada Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan
PT Astragraphia untuk membayar denda Rp 24 miliar ke negara karena
melanggar pasal 22 UU No. 4/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat pada November 2012. Konsorsium PNRI didenda sebesar Rp 20
miliar sedangkan PT Astragraphia didenda Rp 4 miliar. Denda tersebut harus dibayar ke
kas negara melalui bank pemerintah dengan kode 423755 dan 423788 (Pendapatan
Pelanggaran di bidang persaingan usaha).
Pada tanggal 31 Juli 2013 indikasi korupsi juga dipaparkan oleh Muhammad
Nazaruddin saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang, ia menyerahkan bukti-
bukti terkait korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza Syarief, ia juga menuding telah
terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total proyek sebesar RP 5,9
triliun, 45% di antaranya merupakan mark-up. Ia juga mengatakan bahwa Ketua
Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum terlibat dalam kasus ini. Mendengar hal itu, Gamawan Fauzi merasa geram.
Ia pun melaporkan Nazaruddin ke Polda Metro Jaya karena menilai bahwa tuduhannya
tidak benar. Kendati demikian, saat itu KPK belum bisa memastikan kebenaran dari
kecurigaan-kecurigaan yang ada karena tahap penyidikan KPK terhadap kasus e-KTP
masih pada tahap awal.

Perkembangan kasus
Pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan Sugiharto, Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada
Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-
KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada
proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat
1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal
55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai
450.000 dollar AS dan Rp 460 juta. Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK
kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi
terkait kasus e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di
antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan, Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi,
dan Suciati. Sugiharto pun tak luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18
Mei 2015. Pada waktu bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan
pihak swasta seperti Pamuji Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas
Karsono, karyawan PT Solid Arta Global sebagai saksi.
Pada tanggal 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal
Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa
dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan
penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai
573.000 dollar AS, Rp 2,9 milyar dan 6.000 dollar Singapura.
Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah
melakukan pemeriksaan selama 4 jam di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan
Guntur. Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK pada 21
Desember 2016 setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan
penyelidikan, Irman dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau
ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice
collaborator untuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.
Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan
bukti terkait keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian
menghimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk
mengembalikannya ke negara. Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK
menerima uang sebesar Rp 250 miliar dengan rincian Rp 220 miliar berasal dari sejumlah
korporasi, satu perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp 30 miliar berasal dari
anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya. Penyerahan uang itu
dilaksanakan usai pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif
kemudian mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.
Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus
e-KTP ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017.
Berkas tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu lembar dan atas
nama Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan tersangka
dan saksi. Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto,
173 saksi atas nama Irman dan keterangan dari lima orang ahli. Ditumpuk menjadi tiga
bagian, tinggi berkas tersebut mencapai sekitar 1,5 meter.

Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Kasus E-Ktp


1. Sugiharto
Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen
Dukcapil Kemendagri) Sugiharto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
proyek e-KTP pada Selasa 22 April 2014. Tersangka yang telah mendapatkan status
justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum
dalam sidang e-KTP itu juga diperkaya sebesar 450.000 dollar AS dan Rp460 juta. Ia
telah divonis terbukti bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan
hukuman 5 tahun penjara dan membayar denda Rp400 juta subsider 6 bulan
kurungan.
2. Irman
Pada Jumat 30 September 2016, mantan Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman
ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Menurut jaksa,
Irman bersama-sama dengan Sugiharto terlibat dalam pemberian suap terkait proses
penganggaran proyek e-KTP untuk tahun anggaran 2011-2013. Irman yang
merupakan atasan Sugiharto itu diperkaya sebesar 573.700 dollar AS, Rp 2,9 miliar
dan 6.000 dollar Singapura. Ia divonis 7 tahun penjara dan membayar denda Rp500
juta subsider 6 bulan kurungan.
3. Andi Narogong
Pada Kamis 23 Maret 2017, KPK menetapkan Andi Agustinus atau yang dikenal
sebagai Andi Narogong sebagai tersangka ketiga pada kasus e-KTP. Ia yang
merupakan pengusaha pelaksana proyek e-KTP. Berdasarkan penyelidikan KPK,
Andi berperan dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP
elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para
petinggi dan anggota komisi II DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan
dalam mengatur tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai dengan lokasi
rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan
spesifikasi teknis hingga melakukan mark up dalam pengadaan KTP elektronik.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Andi
Narogong delapan tahun penjara. Andi diwajibkan membayar denda RP1 miliar atau
menggatikannya dengan hukuman enam bulan kurungan.
4. Setya Novanto
Pada Senin 17 Juli 2017, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto ditetapkan sebagai tersangka keempat korupsi proyek e-KTP. Ketua KPK
Agus Rahardjo menerangkan bahwa Setya Novanto diduga memiliki peran dalam
proses pengadaan e-KTP. Diantaranya, perencanaan, pembahasan anggaran, hingga
pengadaan barang dan jasa melalui tersangka lainnya yaitu Andi Narogong. Setya
novanto dijatuhi hukuman 16 tahun penjara, sedikit lebih ringan dari tuntutan yang
diajukan jpu dan membayar uang pengganti US$7,3 juta dalam kurs terbaru setara
dengan lebih dari 101 miliar, serta pencabutan hak politik selama 5 tahun..
5. Markus Nari
KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka kelima dalam kasus e-KTP pada
Rabu 19 Juli 2017. Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu ditetapkan sebagai
tersangka karena ia berperan dalam penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga
meminta uang sebanyak Rp 5 milyar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan
anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima
uang sebesar Rp 4 milyar, berupaya menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh
KPK dalam menguak kasus e-KTP, memberikan keterangan tidak benar pada
persidangan perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk
memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Markus Nari belum
dijatuhi hukuman.
6. Anang Sugiana Sudihardjo
KPK menahan Anang Sugiana Sudihardjo yang merupakan Direktur Utama PT
Quadra Solution, salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium pemenang
proyek pengadaan e-KTP, tahun anggaran 2011-2012. Anang terbukti terlibat dalam
penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari
Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3
Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ia
ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada Rabu 27 September 2017.

B. PEMBAHASAN
1. FRAUD PRINCIPLE
 Segitiga Fraud
a. Tekanan atau Dorongan (Pressure)
Tekanan atau dorongan (motivasi) mengacu pada sesuatu yang telah
terjadi dalam kehidupan pribadi seseorang sehingga mengakibatkan orang
tersebut memiliki kebutuhan yang sangat mendesak yang akhirnya mendorong
seseorang tersebut untuk melakukan fraud. Dalam kasus e-KTP adanya
pengakuan dari tim teknis e-KTP Kementerian Dalam Negeri bahwa
diperintahkan untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal
sebenarnya tidak memenuhi syarat dan orang paling bertanggungjawab dalam
meloloskan proses pelelangan tersebut adalah Sugiharto dan Irman. Hal ini
mengindentifikasikan bahwa adanya tekanan dari atasan untuk meloloskan
konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI,
PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha
Putra.
b. Kesempatan (Opportunity)
Pada mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh
Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun
kembali lagi, kasus E-KTP merupakan kasus yang melibatkan Sugiharto
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan
dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri, Irman sebagai mantan
Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, dan Setya Novanto sebagai Ketua
Fraksi Partai Golkar di DPR RI dengan tingginya jabatan (position) yang
dimiliki memberikan kesempatan untuk tersangka dalam melakukan korupsi
(fraud).
c. Rasionalisasi (Rationalization)
Adanya pembagian uang dalam mega proyek e-KTP kepada Setya
Novanto, namun hal tersebut dibantah oleh Setya Novanto karena dianggap
sebagai uang transportasi dan uang lembur. Pemikiran rasionalisasi yang
menyatakan bahwa pemberian uang transportasi dan uang lembur merupakan
suatu kegiatan yang benar padahal nyatanya itu merupakan kegiatan fraud
(menyuap) yang membenarkan sebuah kesalahan (berfikir rasional).
 Profil Pelaku Fraud
Dalam kasus e-KTP, beberapa pelaku kunci yang terlibat dalam korupsi
ini, antara lain:
1) Sugiharto : Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Jenderal Dukcapil
Kemendagri
2) Irman : Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri
3) Andi Narogong : Pengusaha pelaksana proyek e-KTP (pemenang tender)
4) Setya Novanto : Ketua Umum Partai Golkar
5) Markus Nari : Anggota DPR
6) Anang Sugiana : Direktur PT Quadra Solutions
2. SKEMA FRAUD
a. Skema Korupsi
Dalam kasus e-KTP, fraud yang terjadi dikategorikan sebagai skema
korupsi. Skema korupsi terbagi dalam 4 sub kategori yaitu konflik kepentingan,
penyuapan, gratifikasi ilegal, dan pemerasan ekonomi.
 Konflik Kepentingan
Beberapa hal yang terkait dengan konflik kepentingan dalam kasus ini
diuraikan sebagai berikut:
 Benturan kepentingan yang terjadi antara pejabat Sugiharto dengan
atasannya Irman untuk melakukan skandal pengadaan e-KTP. Tujuannya
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Benturan
kepentingan juga melibatkan anggota DPR untuk melancarkan proses
pengadaan e-KTP dari segi penganggaran, pelelangan, dan pengadaan
proyek E-KTP.
 Terjadinya konflik kepentingan antara Andi dengan pejabat Irman dan
Sugiharto dalam kasus E-KTP. Andi Agustinus merupakan pengusaha di
bidang konveksi yang ikut terlibat dalam kasus ini sebagai pengusaha
pelaksana proyek E-KTP. Andi terbukti memberikan dana kepada Irman dan
Sugiharto untuk melakukan pemenang lelang dalam pengadaan E-KTP.
Sehingga pemenangnya dapat bekerja sama dengan Andi untuk menjadi sub
kontraktornya.
 Konflik kepentingan terjadi pada saat Irman dan Sugiharto meloloskan
PNRI sebagai pemenangnya. Dalam proses pelelangan, akhirnya diketahui
berdasarkan serangkaian evaluasi teknis uji coba alat dan “output” bahwa
tidak ada peserta lelang (konsorsium) yang dapat mengintegrasikan Key
Manajemen Server (KMS) dengan Hardwere Security Module (HMS)
sehingga tidak dapat dipastikan perangkat tersebut memenuhi criteria
keamanan wajib. Namun Irman dan Sugiharto tetap memerintahkan Djarat
Wisnu Setyawan dan Husni Fahmi melanjutkan proses lelang sehingga
konsorsium PNRI dan konsorsium Astragraphia dinyatakan lulus.
 Konflik kepentingan berikutnya adalah terjadinya hubungan bisnis atas
nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga
(family). Dalam kasus ini Andi Agustinus melibatkan dua saudara
kandungnya yakni, Vidi Gunawan dan Dedi Prijanto dalam proyek E-KTP.
Vidi Gunawan menyerahkan uang 1,5 juta dolar AS kepada Sugiharto.
 Penyuapan
Penyuapan ini melibatkan banyak pihak untuk mendapatkan kelancaran
dalam pengadaan E-KTP. Dugaan korupsi itu dilakukan dengan mengatur
proses penganggran, pelelangan, dan pengadaan proyek E-KTP dalam kontrak
tahun jamak senialai Rp5,952 triliun. Berikut ini tindakan penyuapan yang
terjadi:
 Penyuapan dilakukan untuk melancarkan proses penganggaran, pada
November 2009, Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala
Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP
berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang semua dibiayai
menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari
APBN murni.
 Untuk melancarkan pembahasan anggaran E-KTP, Irman dan Sugiharto
mengucurkan uang kepada 54 anggota Komisi II DPR dan juga Ketua DPR
saat itu Marzuki Ali. Selain itu, uang juga mengalir ke pimpinan Badan
Anggran (Banggar) DPR yaitu Melchias Marcus Mekeng selaku ketua
Banggar partai Golkar, Wakil Ketua Banggar Mirwan Amir (Partai
Demokrat) dan Olly Dondokambe (PDI-Perjuangan) serta Tamsil Linrung
(PKS).
 Pembagian uang untuk seluruh anggota Komisi II DPR dengan rincian:
1) Ketua Komisi II DPR sejumlah 30 ribu dolar AS,
2) 3 orang Wakil Ketua Komisi II DPR masing-masing 20 ribu dolar AS,
3) 9 orang Ketua Kelompok Franksi Komisi II DPR masing-masing 15 ribu
dolar AS,
4) 37 orang anggota Komisi II DPR masing-masing 5 ribu dolar AS sampai
10 ribu dolar AS.
 Tidak hanya individu, partai juga mendapat aliran dana E-KTP yaitu Partai
Golkar sejumlah Rp150 miliar, Partai Demokrat sejumlah Rp150 miliar,
PDI Perjuangan sejumlah Rp80 miliar.
 Tindakan Invoice Kickbacks atau menerima aliran dana dari perusahaan
rekanan kepada para pejabat Kemendagri yang mengurus pengadaan E-KTP
yaitu Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Irman, Sugiharto, serta staf
Kemendagri, auditor BPK, Staf Sekretariat Komisi II DPR, staf Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), staf Kementerian
Keuangan, panitia pengadaan E-KTP, hingga Deputi bidang politik dan
Keamanan Sekretariat Kabinet.
 Tindakan Bid Ringging juga terjadi dalam kasus ini yaitu terjadinya
permainan dalam pemenangan tender atau proses lelang dan pengadaan.
Pemenangan ini diatur oleh Irman dan Sugiharto serta diinisiasi oleh Andi
Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang melakukan pertemuan di
rumah toko Fatmawati milik Andi Agustinus. Andi memberikan uang
kepada Irman dan Sugiharto sebesar 1,5 juta dolar AS untuk mendapat
pekerjaan sub kontraktor. Sehingga yang mendapat pemenang adalah
konsorsium PNRI dan konsorsium Astagraphia.
 Meski pekerjaan PNRI tidak sesuai target dan tidak sesuai kontrak, Irman
dan Sugiharto justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil
membuat berita acara yang disesuaikan dengan target dalam kontrak
sehingga seolah-olah konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai
target.
 Gratifikasi Ilegal
Dalam kasus e-KTP pelaku Andi Agustinus telah melakukan tindakan
gratifikasi illegal dengan motif pemberian uang kepada seseorang memiliki
hubungan relasi kuasa yang bersifat strategis. Maksudnya disini adalah
terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan control
atas aset sumber daya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang
dimiliki oleh orang tersebut. Misalnya panitia pengadaan barang dan jasa atau
lainnya.
Tindakan Andi Agustinus dengan motif memberikan uang sebesar 1,5
juta dolar AS kepada Irman dan Sugiharto untuk mempengaruhi
keputusannya dalam melakukan pemenang pelelangan pengadaan proyek e-
KTP. Tujuannya agar Andi dapat menjadi sub kontraktor dalam proyek
tersebut. Pemberian ini tergolong gratifikasi illegal karena diberikan secara
diam-diam (rahasia) kepada Irman dan Sugiharto. Selain itu tindakan
gratifikasi juga dilakukan kepada anggota DPR untuk memuluskan proyek e-
KTP.
 Pemerasan Ekonomi
Dalam sub skema ini melibatkan Markus Nari untuk memuluskan
pembahasan dan penambahan anggran proyek e-KTP di DPR. Oleh karena
itu, Markus meminta uang kepada Irman sebanyak Rp 5 miliar atas tindakan
yang dilakukan tersebut. Markus juga menghalagi atau merintangi penyidikan
yang dilakukan KPK. Selain itu, Markus diduga memengaruhi anggota DPR
Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan tidak benar dalam
persidangan kasus korupsi e-KTP.
 Money Laundering
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium adanya potensi
dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi proyek
pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Indikasi adanya pencucian
uang menguat, melihat jumlah kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun.
Penggunan pasal pencucian uang ini bukan tanpa alasan, melihat jumlah
kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun. Namun uang yang baru
diterima KPK dari pengembalian sejumlah pihak sekitar Rp236,930 miliar,
US$1,3 juta dan SG$ 368. Anggaran e-KTP yang bersumber dari pemerintah,
masuk ke rekening konsorsium pelaksana bentukan Andi Narogong lewat
Tim Fatmawati. Setelah dari konsorsium, uang itu mengalir lagi ke anggota
konsorsium, yang melaksanakan pengerjaan masing-masing. Dalam proyek e-
KTP, setiap anggota memiliki tugas yang berbeda dalam pengadaan ini.
Anggota konsorsium itu di antaranya Perum PNRI, PT LEN Industri, PT
Quadra Solution dan PT Sucofindo (Persero), PT Sandipala Arthaputra.
Perum PNRI dan PT Sandipala Arthaputra bertanggung jawab melaksanakan
pekerjaan pembuatan, personalisasi dan distribusi blangko e-KTP. PT Quadra
Solution dan PT LEN Industri bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan
pengadaan hardware dan software termasuk jaringan komunikasi dan data.
Sedangkan PT Sucofindo bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan
pengadaan helpdesk dan pendampingan. Uang itu mengalir lagi ke
perusahaan lain, karena sebagian pengerjaan proyek e-KTP ini diserahkan ke
pihak ketiga atau di-subkontrakan. Uang-uang itu disinyalir sudah disamarkan
menjadi aset-aset, baik di dalam negeri ataupun luar negeri.

3. RED FLAGS
a. Red Flags dari Skema Konflik Kepentingan
Red Flags yang timbul dalam kasus e-KTP adalah sebagai berikut:
1. Terjadi transaksi dalam jumlah besar secara tunai maupun transfer kepada
Anggota DPR, Kemendagri, dan Andi Agustinus. Terjadinya transfer yang
tidak biasa (dalam jumlah besar) ke rekening Irman dan Sugiharto. Irman
mendapatkan sejumlah uang atas perbuatannya tersebut sebesar Rp2,371
miliar, 877,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar singapura. Selain itu, Sugiharto
menerima sejumlah 3.474.830 dolar AS. Pemberian uang juga dilakukan
kepada anggota DPR dan Kemendagri serta perusahaan korporasi.
2. Penemuan hubungan antara karyawan dengan atasan dan pihak ketiga:
 Penemuan hubungan baik antara Sugiharto selaku Pejabat Pembuat
Komitmen Dukcapil kemendagri dengan atasannya Irman selaku Direktur
Jenderal Dukcapil Kemendagri. Selain itu, hubungan Andi Agustinus
dengan Irman dan Sugiharto terungkap telah mendapat aliran dana atas
pemenangan lelang yang diiniasi oleh Andi.
 Terungkapnya hubungan rahasia antara Andi Agustinus dengan Setya
Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar. Mereka bekerja sama dalam
mengkondisikan perusahaan pemenang lelang pengadaan e-KTP.
 Pemisahan tugas yang lemah dalam menetapkan kontrak dan menyetujui
proses lelang. Tersangka Irman, Sugiharto, dan Andi mengabaikan prosedur
demi memenangkan pelelangan pengadaan E-KTP. Dalam proses
pelelangan yang dilakukan telah diketahui bahwa evaluasi teknik uji coba
alat dan “output” tidak ada peserta lelang yang dapat memenuhi kriteria
keamanan wajib. Namun, para pelaku Irman dan Sugiharto tetap meloloskan
konsorsium PNRI dan Astragraphia. Oleh karena pemisahan tugas yang
lemah tersebut menyebabkan terpilihnya PNRI tidak sesuai prosedur yang
benar.
 Kecurangan dalam pencatatan transaksi. Kecurangan ini dilakukan dalam
pekerjaan PNRI yang tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak. Para
tersangka membuat berita acara yang tidak benar seolah-olah konsorsium
PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target.
b. Red Flags dari Skema Penyuapan/Bribery
Berikut adalah red flags dalam skema penyapan/bribery:
1. Perubahan Gaya Hidup Andi Agustinus yang memberikan puluhan aset kepada
istrinya Inayah untuk dikelola seperti rumah, bangunan serta tanah.
2. Andi memiliki satu unit Toyota Alphard B-30.
3. Andi membantu istrinya dalam membuka berbagai usaha seperti usaha kos-
kosan dan salon. Selain itu, membuat perusahaan baru yakni PT. Selaras Clorin
Pratama, PT. Inayah Properti Indonesia. Kemudian PT. Prasetya Putra Naya
yang diatasnamakan adik Inayah Raden Gede sebagai pemilik perusahaan.
4. Hubungan antara Andi Agustinus dengan Anggota DPR dan Kemendagri.
Hubungan baik yang terjadi pada Andi dengan para DPR dan Kemendagri
adalah untuk melancarkan pengadaan proyek E-KTP. Para anggota DPR dan
Kemendagri menerima aliran dana yang berasal dari perusahaan rekanan.
5. Kurangnya review atas persetujuan manajemen terhadap laporan anggaran
proyek E-KTP. Pihak pemerintah kurang melakukan review atas kelengkapan
laporan anggran proyek E-KTP yang telah dibuat. Hal tersebut karena
tersangka telah melakukan suap terhadap pihak yang memeriksa laporan agar
anggran tersebut dapat dinaikkan.
c. Red Flags dari Skema Gratifiasi Ilegal
Berikut adalah red flags dalam skema gratifikasi illegal:
1. Adanya pertemuan rahasia yang dilakukan di rumah toko Fatmawati milik
Andi Agustinus untuk membahas proses lelang dan pengadaan oleh Irman dan
Sugiharto yang dipimpin oleh Andi Agustinus.
2. Adanya anomali dalam menyetujui vendor yakni terpilihnya PNRI tidak sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
d. Red Flags dari Skema Pemerasan Ekonomi
Berikut adalah red flags dalam skema pemerasan ekonomi:
1. Dalam skema ini red flags yang muncul adalah adanya hubungan rahasia antara
Irman dengan Markus Nari.
2. Anggaran dalam proyek e-KTP tinggi, tidak sesuai dengan realisasinya. Hal ini
terjadi karena peran Markus Nari dalam skandal kasus e-KTP berperan sebagai
memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek pengadaan e-
KTP.
e. Red Flag dari Money Laundering
 Terjadi transaksi dalam jumlah besar secara tunai maupun transfer kepada
Anggota DPR, Kemendagri, dan Andi Agustinus
Terjadinya transfer yang tidak biasa (dalam jumlah besar) ke rekening
Irman dan Sugiharto. Irman mendapatkan sejumlah uang atas perbuatannya
tersebut sebesar Rp2,371 miliar, 877,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar
singapura. Selain itu, Sugiharto menerima sejumlah 3.474.830 dolar AS.
Pemberian uang juga dilakukan kepada anggota DPR dan Kemendagri serta
perusahaan korporasi.

4. FRAUD DETECTION (DETEKSI FRAUD)


Pada kasus e-KTP dalam medeteksi suatu kecurangan (fraud) dalam
pelanggaran tindak pidana peraturan perundang-undangan penyidik ahli seperti
akuntansi forensik, penyidik POLRI dan atau penyidik KPK dapat melakukan yaitu:
1. Menginvestigasi suatu kontrak dan persetujuan (tender). Akuntansi forensik,
penyidik POLRI, dan penyidik KPK dapat memulai penyidikan dari proses lelang
konsorsium yang tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai
persyaratan dan adanya temuan juga bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah
untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak
memenuhi syarat.
2. Akuntansi forensik, penyidik POLRI dan penyidik KPK dapat menginvestigasi
dari pernyataan-pernyataan pengakuan kesaksian yang diberikan oleh Andi
Naragong pada 21 Desember 2017 yang mengaku bahwa adanya mark up dan
kerugiaan negara dalam pengadaan e-KTP, Azmin Aulia adik mantan Mendagri
Gamawan Fauzi mendapat ruko dari proyek e-KTP, ada jatah untuk Setya
Novanto dan anggota DPR sebanyak 7 JT Dollar AS, adik Gamawan Fauzi salah
satu kunci dalam proses lelang e-KTP, dan Andi Agustinus mengaku beberapa
kali bertemu di rumah Setya Novanto yang membahas bagian fee dan teknis
dalam pengadaan barang dan jasa e-KTP.

5. FRAUD PREVENTION
Pencegahan Fraud
Kasus korupsi pengadaan E-KTP merupakan kasus korupsi yang sangat
terorganisir dimana melibatkan pihak-pihak petinggi negeri seperti anggota DPR.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi dan
meminimalisir kasus korupsi misalnya pembentukan Komisis Pemberantasan Korupsi
(KPK). Namun ini belum mampu untuk mengurai ataupun memberantas korupsi. Salah
satu faktornya adalah karena pelaku fraud biasanya berasal dari petinggi Negara sehingga
proses pembuktiannya sulit terdeteksi.
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang dilaksanakan
manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu
meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan untuk dapat memberikan
keyakinan memadai dalam mencapai 3 tujuan pokok yaitu: keandalan pelaporan
keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum & peraturan
yang berlaku (COSO: 1992).
Lingkungan Pencegahan
Kunci keberhasilan pencegahan fraud adalah dengan melihat budaya entitas dan
mencoba mengubahnya jika diperlukan. Beberapa kegiatan dan sikap dapat membantu
dalam mencapai tujuan ini.
a. Struktur Tata Kelola Perusahaan
Pemerintah yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat
yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-
sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang
bersih (Clean Governance) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur,
transparan, dan bertanggung jawab, dengan menerapkan asas: Transparency,
Accountability, Responsibility, Independency, Fairness, Participation, Rule of law,
strategic vision. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik
dan efektif (Good Governance) dan bersih (Clean Governance), bebas dari praktik KKN.
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan
(1) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan dengan cara memperbaiki tata
kelola perusahaan mencakup pemilihan anggota dewan yang berkualitas dan independen
terutama komite audit. Dalam kasus e-KTP hal ini dapat dilakukan dengan pemilihan
pemimpin menggunakan sistem yang lebih ketat, seperti ada tes tentang spikologi,
intelektual, dan kepemimpinan, agar dapat dinilai apakah calon-calon tersebut mampu
menjadi pemimpin yang baik, jujur, dan bertanggung jawab sehingga tidak melakukan
tindak kejahatan apapun di kemudian hari;
(2) Kemandirian lembaga peradilan;
(3) Profesionalitas dan intergritas aparatur pemerintah;
(4) Penguatan partisipasi;
(5) Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah
b. Berperilaku Secara Etis (Tone at The Top)
Tone at the top masih menjadi kunci untuk mencegah kecurangan. Sikap
pemimpin (manajer kunci dan dewan direksi) harus mempunyai integritas yang tinggi
untuk tidak terlibat dan membudayakan tindakan antifraud dengan terus berbicara tentang
kecurangan, mengkomunikasikan kebijakan kecurangan, dan mendorong semua orang
untuk terlibat dalam mencegah dan mendeteksi kecurangan. Tanpa penekanan dan
dukungan manajemen kunci, hampir tidak mungkin memiliki budaya semacam itu.
Adanya upaya sinergi kelembagaan secara simultan merupakan hal yang penting.
Memperkuat KPK dalam memerangi korupsi tentu merupakan upaya yang penting.
Namun melakukan sinergi kelembagaan yang relevan dengan segala upaya penanganan
korupsi – termasuk di dalamnya penguatan BPK sebagai satu-satunya institusi negara
yang memiliki tanggung jawab melakukan pemeriksaan keuangan negara–akan menjadi
lebih strategis. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Setya Novanto selaku
Ketua DPR dan berada pada posisi puncak seharusnya menjadi contoh bagi anggotanya
untuk tidak melakukan fraud. Namun justru dia yang menjadi pelaku fraud. DPR sebagai
lembaga kontrol pemerintah seharusnya menjadi role model bagi terwujudnya
pemerintahan yang bersih, namun nyatanya DPR menjadi lembaga paling korup
berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency
International Indonesia (TII), pada 7 Maret 2017. Kebijakan dan Prosedur
Kebijakan menentukan tujuan dan prinsip entitas, sedangkan prosedur
menentukan tindakan yang diambil entitas untuk memastikan tujuan tersebut tercapai.
Oleh karena itu, fondasi untuk budaya antifraud dan lingkungan untuk setiap entitas yang
serius mencegah kecurangan adalah kebijakan kecurangan dan prosedur yang dibuat
dengan hati-hati berdasarkan kebijakan.
Pada kasus e-KTP ini banyak sekali kebijakan yang dilanggar oleh oknum-oknum
pelaksana proyek. Misalnya Kemendagri tidak menjalankan 6 rekomendasi dalam
pelaksanaan proyek e-KTP. Memilih konsorsium yang tidak memenuhi syarat. Memilih
perangkat lunak yang tidak lolos uji kompetensi, dan lain sebagainya
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurai tindak kejahatan korupsi
antara lain :
 Meminimalisir adanya hubungan yang special dari pihak yang terlibat dalam sistem
kerja sehingga dapat menimbulkan persekongkolan dan kerjasama untuk
melakukan tindak korupsi berasama-sama tidak terjadi.
 Sikap pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi untuk tidak terlibat dan
membudayakan tindakan anti fraud. Dan sikap pemimpin yang selalu memikirkan
tentang dampak dari keputusan yang dia ambil
Persepsi Deteksi
Dalam kasus ini, beberapa cara untuk meningkatkan persepsi deteksi meliputi:
a. Pengawasan (Surveillance)
Kasus proyek e-KTP mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi.
Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi mendorong perilaku tidak peduli pada
aspek prudent (kehati-hatian). Kemendagri membiarkan membiarkan uang proyek
bertebaran ke berbagai pihak. Misalnya: pengakuan dari anggota tim teknis Kementerian
Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun mereka menyebutnya sebagai uang
transportasi dan uang lembur. Di samping itu mereka juga mengaku bahwa mereka tidak
menjalankan rekomendasi yang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP
yang tidak digabungkan.
Hal seperti ini sebenarnya mampu ditangani Kemendagri dengan membentuk
pengawas independen, yang benar-benar direkrut melalui beberapa tahap tes sehingga
diyakini pengawas independen ini tidak akan melakukan tindak kejahatan korupsi
b. Masukan atau Saran Tanpa Nama (Anonymous Tips)
Petunjuk telah terbukti menjadi metode terbaik dalam mendeteksi kecurangan dan
juga langkah pencegahan. Praktik terbaik untuk program petunjuk anonim mencakup
keterlibatan manajemen yang tepat, penanganan keluhan secara independen oleh pihak
ketiga, dan menggunakan beberapa metode komunikasi dengan sistem yang mudah,
ringan, dan nyaman bagi para karyawan untuk memberikan petunjuk.
Pada kasus e-KTP mulanya kecurigaan bermula dari laporan konsorsium yang
kalah tender yang menyatakan bahwa terjadinya ketidak sesuaian prosedur yang
dilakukan oleh panitia saat lelang tender berlangsung. KPK turut mencium kejanggalan
dari proses proyek e-KTP. Pada awal September 2011 KPK menuding bahwa
Kemendagri tidak menjalankan 6 rekomendasi dalam pelaksanaan proyek e-KTP.

6. FRAUD DETECTION
Common detection methods
 Surprise audit
Surprise Audit efektif untuk meningkatkan Persepsi Deteksi. Operasi Tangkap
Tangan (OTT) yang dilakukan KPK akan sangat bermanfaat mencegah sebelum
sebuah kejahatan menjadi besar. OTT KPK dapat sampai ke level Kementrian, dan
apabila saat itu KPK datang untuk melakukan audit dadakan, besar kemungkinan
kasus E-KTP akan terungkap lebih cepat. Terjadinya kasus e-KTP ini sepertiinya
tidak hanya disengaja tapi juga karena adanya kesempatan. Kelonggaran pada
sistem pengendalian terjadi karena pemimpin tidak memiliki peraturan ataupun
kebijakan akan suatu sistem dalam pengerjaan proyek tersebut.
 Anonimus tip (informasi rahasia dari informan yang disembunyikan) dan sistem
aduan oleh pegawai, vendor dan konsumen dapat diakses, nyaman, dan mudah
dipergunakan.

7. GATHERING EVIDENCE
Sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP masih menganut
Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah
upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya
adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. Hal ini didalam pembuktian pidana
di Indonesia mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti
di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.
Bukti (evidence) adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh kelima indera
dan berbagai jenis bukti—seperti kesaksian dari saksi, rekaman, dokumen, fakta-fakta,
data atau objek konkret—yang disajikan secara legal pada persidangan untuk
membuktikan sebuah anggapan atau pernyataan mendorong kepercayaan di benak para
juri. Dalam menimbang bukti-bukti, pengadilan dan juri dapat mempertimbangkan hal-
hal seperti sikap para saksi, kecondongan atau bias kepada dan terhadap terdakwa, dan
hubungan dengan terdakwa. Sehingga, bukti dapat berupa pernyataan (testimoni), tidak
langsung, petunjuk, kesimpulan, dan bahkan teori yang diberikan oleh saksi ahli. Bukti
secara sederhana adalah segala sesuai yang dapat membuktikan atau tidak membuktikan
segala hal yang dipertanyakan.
Pada kasus ini terdapat beberapa bukti yang didapatkan KPK dari keterangan
saksi, petunjuk, surat, maupun keterangan terdakwa. Berikut tentang bukti tersebut:
1. Bukti-Bukti Primer:
 barang bukti berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan
uang Rp 50 juta dan tiga orang saksi
 mendapatkan catatan tentang skema pengendali korupsi e-KTP anggaran e-KTP
2011-2012 dengan pagu Rp 5,9 triliun di rumah Chairuman Harahap
 CCTV dari rumah Setya Novanto
2. Bukti Sekunder
 keterangan saksi :
 Diah Anggraini. Diah menjelaskan bahwa telah terjadi pertemuan antara
Irman, Sugiharto, Andi Narogong dan Setya Novanto di Hotel Gran Melia
 Tim Teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan konsorsium dalam
proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto dan
Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.
 Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto
dan Johanes Richard Tanjaya. Nama Setya Novanto disebut telah mendapat
bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim IT
proyek e-KTP
 Katerangan terdakwa
 Irman Gusman. Menurut penuturannya, Setya Novanto sempat
menyampaikan pesan mendesak kepada Diah Anggraini yang disampaikan
melalui perantara Zudan Arif Fakruloh selaku biro hukum Kemendagri pada
2014, isi dari pesan itu adalah tentang wanti-wanti agar ia tidak membuka
suara kepada KPK terkait hubungannya dengan Setya Novanto dalam kasus
KPK
 pengakuan dari Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Miryam
sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS
 Irman, Sugiharto dan Andi Narogong .Dalam persidangan membeberkan
fakta bahwa Anang Sugiana terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah
uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong
8. NON-FINANCIAL EVIDENCE
Pada kasus e-KTP ini untuk memperoleh bukti non-keuangan, analisis tentang Body
Language dari para saksi dan terdakwa, analisis pernyataan dari para saksi, dan alisis
SCAN sangat membantu.
1. Body Language
 Pada Video yang berjudul “Ling - Lung Setnov Saat Ditanya Hakim Tipikor,
Pengadilan Perdana Setya Novanto Kasus Korupsi eKTP” yang diunggah oleh
CNN Indonesia , juga menggambarkan Body Language yang aneh seperti
menunduk terus menerus, tidak berani menatap hakim, maupun jaksa penuntut
umu, dan izin ke kamar kecil berkali-kali dengan alasan sedang diare. Padahal
diketahu sebelum siding dimulai dokter telah menyatakan bahwa setya novanti
sedang dalam keadaan sehat.
2. Analisis Pernyataan
 Miryam membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel sebelumnya
yaitu penuturan Novel, Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pemberian uang
kepada anggota DPR RI. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan oleh
penyidik saat itu sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan.
3. Analisis SCAN
 Video yang berjudul “Ling - Lung Setnov Saat Ditanya Hakim Tipikor,
Pengadilan Perdana Setya Novanto Kasus Korupsi eKTP” yang diunggah oleh
CNN Indonesia (https://www.youtube.com/watch?v=zL_7deVlgkY), dalam
video tersebut Setya Novanto pura-pura linglung saat ditanya hakim tipikor.
Ketika ditanya siapa namanya, apakah benar amanya setya novanto? Dia hanya
diam saja dan apakah tempat lahirnya dibandung? Dan dia menjawab jawa
timur, padahal jelas-jelas setya novanto lahir di Bandung. Sehingga siding di
Skor oleh hakim.

Anda mungkin juga menyukai