Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FEBRIYANTI SALEH Y,S

STAMBUK : C 301 18 126


KELAS : AK 6
TUGAS MID : ETIKA BISNIS

ETIKA PROFESI KASUS KORUPSI E-KTP

Kisruh kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) kembali
mencuat. Penanganan perkara yang merugikan negara sebesar 2 Trilyun Rupiah dinilai lambat. Mantan
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, pada 30
September 2016 resmi berstatus sebagai tersangka. Irman diduga melakukan penggelembungan harga
dalam perkara e-KTP.
Penetapan tersangka Irman bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 22 April 2014, Sugiharto
mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan
dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keduanya
diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam mega proyek e-KTP. Irman, yang ketika
ditetapkan sebagai tersangka menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan
Pelayanan Publik, merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek e-KTP. Sedangkan Sugiharto
adalah Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut.
Mereka lalu disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Kasus korupsi e-KTP sendiri memang telah menjadi perhatian serius KPK. Sejak silam, KPK
menyatakan kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai angka yang besar. “Yang KPK terima
kerugian negaranya lebih dari Rp 2 Triliun,” kata Ketua KPK, Agus Rahardjo, di Jakarta, 17 Juni lalu,
seperti dilansir cnnindonesia.com. Jumlah tersebut didapat berdasarkan audit yang dilakukan Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Wakil Ketua KPK, Laode Syarif mengatakan, jumlah yang besar membuat kasus e-KTP
menjadi perhatian khusus KPK. “Beda dengan kasus biasa,” katanya, di Kalibata, Jakarta, 18 Oktober
2016. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun mengamini pentingnya
pengusutan terhadap kasus tersebut. “E-KTP proyek yang fantastis,” cetusnya, di Jakarta, 24 Oktober
2016.
Program e-KTP yang ramai diperbincangkan pasca penetapan tersangka Irman dimulai secara
nasional pada 2011 dan 2012 lalu. Kendati demikian, proyek e-KTP sejatinya telah dimulai sejak 2
tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan uji petik e-
KTP di 6 wilayah, yakni Makassar, Padang, Denpasar, Jogjakarta, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten
Jembrana. Uji petik dilakukan dalam rangka mempersiapkan program e-KTP berskala nasional. Proyek
uji petik tersebut dilaksanakan oleh konsorsium Lintas Peruri Solusi.
Namun implementasi uji petik e-KTP menjumpai berbagai permasalahan. Selain hambatan
dalam hal teknis dan non teknis, seperti teknologi yang digunakan kerap bermasalah dan data
kependudukan yang tidak mutakhir, proyek tersebut bermasalah akibat kasus korupsi yang timbul.
Kejaksaan Agung pada Juni 2010 menetapkan empat tersangka dalam Penyidikan Perkara Pengadaan
Perangkat Keras, Perangkat Lunak, sistem dan blanko KTP pada Dirjen Administrasi Kependudukan
Departemen Dalam Negeri Tahun Anggaran 2009. Empat orang tersangka tersebut yaitu, Irman, yang
ketika itu menjabat sebagai Direktur Pendaftaran Penduduk Kementerian Dalam Negeri, Ketua Panitia
Pengadaan Barang Paket P. 11, Drs. Dwi Setyantono MM, Direktur PT. Karsa Wira Utama, Suhardjijo,
dan Direktur Utama PT. Inzaya Raya, Indra Wijaja.
Penyidikan terhadap kasus tersebut dihentikan oleh Kejaksaan Agung disebabkan bukti yang
tidak cukup. Surat Perintah Penghentian Penyidikan seperti dilansir cnnindonesia.com lalu diterbitkan
pada tanggal 6 Januari 2012. Tama menerangkan, program e-KTP memang telah bermasalah sedari
awal. Hal tersebut setidaknya terlihat dari pemantauan ICW yang menyoroti program tersebut sejak
masih berupa uji coba. Kehadiran program e-KTP seakan mengabaikan program sebelumnya yang
telah dijalankan sejak tahun 2003 hingga 2008, yaitu Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK).
Program e-KTP, baik versi ujicoba dan penerapan berskala nasional dianggap tidak terintegrasi
dengan SIAK. “Sudah habis ratusan milyar, tiba-tiba 2009 diluncurkan program uji coba e-KTP di
enam wilayah. SIAK seperti dilupakan begitu saja.” Tama menambahkan, 2011 lalu ketika program e-
KTP dimulai, ICW telah mengendus adanya permasalahan, diantaranya pada proses pelaksanaan
tender. “KPK dan LKPP juga sampai melakukan pengawasan.”
KPK ketika itu memberikan rekomendasi kepada Kemendagri, diantaranya berupa pengadaan
yang harus dilakukan secara elektronik dan imbauan pengawalan prosesnya oleh LKPP. Sedangkan
LKPP memberikan rekomendasi agar panitia pengadaan menunda pemberitan berita acara
aanwijzing/addendum dokumen pemilihan, dan bila diperlukan memberi kesempatan kedua untuk
aanwijzing. LKPP juga sampai 18 April 2011 tidak mendapat agenda kelanjutan proses pendampingan,
sehingga tak lagi dilibatkan dalam proses tender.
Indikasi kecurangan dalam proses tender terlihat dari dua hal, yaitu post-bidding dan dugaan
persekongkolan tender. Pasca pengumuman tender, spesifikasi alat yang akan digunakan dalam proses
pembuatan e-ktp, yaitu signature pad, diubah. Tindakan tersebut dinilai melanggar Pasal 79 ayat 2
Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 yang melarang tindakan post-bidding. Soal post-bidding sendiri
menjadi salah satu poin yang disinggung oleh LKPP.
Adapun dugaan persekongkolan tender terlihat dari beberapa hal, yaitu persekongkolan antar
peserta, yang juga melibatkan pihak panitia dan konsultan pengadaan. Menengok hal tersebut Tama
kembali menekankan pentingnya penelusuran kembali terhadap kasus tersebut. “Yang pasti ini menjadi
PR buat KPK. Penanganan perkara lambat, padahal informasi sudah banyak,” ujarnya. Tama
menengarai banyak pihak-pihak lain yang turut terlibat. Program dengan total biaya sebesar 6 Trilyun
Rupiah tidak mungkin hanya melibatkan pihak Kemendagri saja. Rantai pengadaan barang dan jasa
menurutnya jelas melibatkan banyak pihak.
Dalam proses perencanaan misalnya, KPK diminta tidak abai menengok aktor legislatif. Pihak
swasta yang terlibat dalam proyek e-KTP juga diminta tidak luput dari perhatian. “KPK harus
melihatnya secara utuh,” katanya. Penetapan tersangka di luar pihak Kemendagri lalu menjadi mungkin
untuk dilakukan.
Laode Syarif mengakui kasus e-KTP tak sulit untuk dituntaskan. Pihak-pihak yang terlibat, baik
di dalam maupun di luar negeri membuatnya menjadi kasus yang rumit. Kendati demikian ia
memastikan KPK akan memberikan perhatian serius terhadap kasus e-KTP. “Jumlah kerugian negara
besar, juga sangat berpengaruh bagi upaya pembangunan di negeri ini.”
Disinggung mengenai informasi dari mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad
Nazaruddin yang menyebut nama-nama yang terlibat dalam kasus e-KTP, Laode mengatakan akan
menelusuri informasi tersebut, “Dia salah satu sumber informasi, tapi bukan satu-satunya. Kami akan
menanyakan banyak pihak,” ujarnya. Adapun ditanyai kemungkinan nama lain yang kerap disebut,
yakni mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Agus Rahardjo enggan untuk menjawab lebih
lanjut. “Coba saya teliti dulu. Seberapa besar kemungkinan dia diperiksa? Ya belum tahu.,” ujarnya di
Jakarta, 28 September lalu.
Gamawan sendiri, dikutip dari Tempo.co menampik keterlibatannya dalam kasus korupsi e-
KTP. “Oh pasti nggak pernahlah, nggak pernah, saya jamin itu,” kata Gamawan seusai diperiksa KPK
pada Kamis 20 Oktober 2016. Laode lalu menjanjikan kasus e-KTP akan dituntaskan pada periode
pimpinan KPK yang sekarang. Ia juga memastikan akan menelusuri semua aliran dana yang
berhubungan dengan e-KTP. “Termasuk semua yang ikut menerima dari hasil e-KTP tersebut,”
pungkasnya.
ANALISIS:
Dari kasus korupsi e-ktp yang dilakukan oleh berbagai pihak menurut saya sangat merugikan
rakyat Indonesia dan juga tidak hanya masyarakat yang dirugikan tetapi Negara juga karena kerugian
yang mencapai 2 triliun yang disebabkan oleh oknum-oknum yang melakukan korupsi mereka hanya
memikirkan diri mereka dan tidak pernah menyadari bahwa perilaku mereka itu sudah banyak
membuat sengsara rakyat dan negeri ini, tidak hanya itu juga karena adanya kasus korupsi tersebut
proses pembuatan e-ktp terhamabat sehingga kita harus menunggu berbulan-bulan untuk
mendapatkannya e-ktp.
Akibat korupsi e-ktp ternyata berdamapak juga pada perekonomian Negara seperti
meningkatnya kemiskinan, pengangguran dan juga kesenjangan sosial karena dana pemerintah yang
harusnya untuk rakyat justru masuk ke kantong para pejabat dan orang - orang yang tidak bertanggung
jawab yang hanya mementingkan diri mereka. Dan tidak hanya itu akibat korupsi e-ktp masyarakat
sering mengalami kesulitan dalam menggunakan hak pilihnya ketika pemilihan dikarenakan salah satu
syarat dalam pemilihan itu adalah harus memiliki e-ktp sebagai mana telah diatur oleh UUD Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dari kasus korupsi diatas sudah sangat jelas melanggar kode etika profesi yang dilakukan oleh
para pejabat –pejabat Negara karena tidak bisa menjaga kepercayaan masyarakat dan tidak menunjukan
tanggung jawab mereka sebagai pengabdi negara, hal ini dibuktikan dengan melakukan penggelapan
uang dana e-ktp, para oknum tersebut tidak bisa menjaga kepercayaan masyarakat setelah apa yang
dilakukan terhadap penggelapan yang mereka perbuat.
Dari kasus ini beberapa prinsip dasar akuntansi yang dilanggar adalah sebagai berikut:
a. Tanggung jawab profesi
Sebagai pejabat Negara yang telah dipercayai oleh masyarakat dan Negara mereka tidak
menunjukan tanggung jawab mereka dan tidak mejalankan tugas mereka secara professional, hal ini
dibuktikan dengan melakukan penggelapan uang dana e-ktp. Dalam kasus ini jelas bahwa
tanggung jawab itu hilang, mereka tidak memakai nurani dan moral hingga timbul korupsi.
b. Kepentingan public
Kepentingan utama profesi di pemerintahan adalah bagaimana rakyat merasa puas dengan kinerja
yang mereka buat, bukan sebaliknya hanya membuat sengsara rakyat dan hanya mementingkan diri
sendiri.
c. Integritas
Dalam Integritas mengharuskan seseorang untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa
dikalahkan oleh keuntungan pribadi, tetapi dalam kasus ini sudah sangat jelas bahwa mereka tidak
memiliki integritas dalam melakukan perannya sebagai pejabat negara karena menggelapkan dana
e-ktp sampai triliun milik rakyat dan negara hal ini menunjukan bahwa mereka bertindak tidak
jujur hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi tanpa memikirkan kepentingan orang banyak.
d. Objektifitas
Para pejabat yang melakukan korupsi tidak memelihara objektifitas dalam melakukan perannya
sebagai pengabdi negara.
e. Perilaku profesional
Dalam prinsip perilaku profesional, para pejabat negara mereka tidak berperilaku konsisten.
Padahal mereka telah menjadi kepercayaan rakyat dan negara dalam menjalanan tugas mereka
sebagai pengabdi negara Seharusnya mereka menjaga kepercayaan yang diberikan dengan tidak
melakukan penggelapan dana e-ktp yang merugikan rakyat dan negara.
Kasus ini merupakan sebuah tamparan keras bagi Kementerian Dalam Negeri dan pemerintahan
pada umumnya, rakyat dapat menilai bahwa proses penganggaran masih sangat rentan dipolitisasi dan
dikorupsi. Dua hal utama yang mungkin dapat menjadi solusi menghilangkan praktik ini adalah dengan
keterbukaan dan perbaikan pembahasan anggaran yang lebih teliti.
Pertama adalah keterbukaan, akuntabilitas, lalu perbaikan didalam kemampuan pemerintah
untuk menciptakan kepastian dari sisi yang disebut unit cost. Unit Cost atau biaya satuan mengacu pada
biaya yang dihitung dengan cara membagi biaya keseluruhan dengan jumlah atau kualitas output.
Dengan begitu resiko terjadinya potensi mark up dapat diminimalisasi.
Namun tidak hanya itu diperlukannya pengawasan dalam hal menjalankan proses
penganggaran. Pengawasan ini utamanya dilakukan oleh lembaga hukum, KPK adalah ujung tombak
pemberantasan korupsi di Indonesia, namun belakangan ini karena tidak karuannya UU yang mengatur
awal berdirnya KPK, lembaga ini telah dilemahkan oleh berbagai pihak. Pengawasan yang kedua
adalah langsung oleh masyarkat utamanya oleh mahasiswa, penganggaran perlu di publikasi dan
dipelajari oleh masyarakat, dari mana dan untuk keperluan apa saja anggaran itu digunakan.
Namun hal yang paling dasar adalah mengubah hati dan pikiran kita sebagai rakyat Indonesia
untuk lebih peduli dan tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi, karena Allah swt. punya alasan
menempatkan kita dalam satu planet. Allah swt, ingin kita punya jiwa sosial yang tinggi, yang sadar
bahwa hidup kita hanya sementara dan menjadi bermanfaat bagi sesama manusia adalah satu-satunya
hal yang harus kita tuju selain kesempurnaan ibadah kita kepada Allah swt, secara pribadi.
Untuk itu hukum atau Undang Undang yang ada harus lebih tegas dalam menyikapi kasus
korupsi karena masih kurang para koruptor yang meerjalela diluar sana karena Hukum dan UU di
negara kita msih lemah. Buktinya sampai saat ini masih banyak pejabat pejabat Negara yang
melakukan tindakan menjijikan seperti itu, mengambil uang dan hak rakyat padahal mereka sudah
mendapatkan gaji dan fasilitas yang sangat memadai tetapi karena keegoisan meraka dan hanya
mementingka diri mereka mereka melakukan korupsi sesuka hati mereka. Seharusnya pemerintah
membuat Undang Undang baru yang menyatakan “Setiap Pejabat yang melakukan tindakan Korupsi
maka akan dihukum Mati “. Mungkin dengan seperti itu para pejabat yang ingin melakukan korupsi
akan berfikir berulang kali sebelum melakukan korupsi.
Saran saya kita sebagai rakyat Indonesia sebagiknya harus berfikir dua kali dalam melakukan
korupsi sebab kita ketahui kita pernah dijajah oleh bangsa lain dan ingat seberapa kerasnya usaha
pahlawan yang berjuan mati-matian untuk membela dan berjuang agar bangsa kita dan rakyat tidak
mengalami sengsara dan tetap bersatu seharusnya kita sebagi rakyat harus menjaga negara Indonesia
ini dan memajukan negara agar perjuangan pahlawan tidak sia-sia bukan malah sebaliknya kita kembali
menjajah negara kita sendiri dengan melakukan korupsi sehingga membuat rakyat dan negara sengsara.

Anda mungkin juga menyukai