Kecurigaan Korupsi
Belum sampai perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota, pihak kepolisian mengabarkan bahwa mereka
mencurigai terjadinya korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender
yang menyatakan bahwa terjadinya ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat lelang tender
berlangsung. Kecurigaan bahwa adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga dirasakan oleh Government Watch
(GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi
upaya pemenangan terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi yang
telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut mereka mendapatkan petunjuk berupa
dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan
menemukan fakta bahwa telah terjadi 11 penyimpangan, pelanggaran dan kejanggalan kasat mata dalam pengadaan
lelang.
KPK turut mencium kejanggalan dari proses proyek e-KTP. Pada awal September 2011 KPK menuding bahwa
Kemendagri tidak menjalankan 6 rekomendasi dalam pelaksanaan proyek e-KTP. Keenam rekomendasi tersebut
adalah: 1) penyempurnaan desain.; 2) menyempurnakan aplikasi SIAK dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh
wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan migrasi non SIAK ke SIAK; 3) memastikan tersedianya jaringan
pendukung komunikasi data online/semi online antara Kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi
dapat dilakukan secara efisien; 4) Pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik sebagai media
verifikasi untuk menghasilkan NIK yang tunggal; 5) Pelaksanakan e-KTP setelah basis database kependudukan
bersih/NIK tunggal, tetapi sekarang belum tunggal sudah melaksanakan e-KTP; dan 6) Pengadaan e-KTP harus
dilakukan secara elektronik dan sebaiknya dikawal ketat oleh LKPP.[26] Menanggapi tudingan KPK, Kemendagri
kemudian memberikan bantahan. Reydonnyzar Moenek, juru bicara Kemendagri menjelaskan bahwa Kemendagri
telah menjalankan 5 rekomendasi. Memang ada rekomendasi yang tidak dijalankan, namun itu hanya 1. Satu
rekomendasi tersebut adalah tentang permintaan NIK tunggal saat proses e-KTP dilaksanakan. Berdasarkan penjelasan
Reydonnyzar, Kemendagri tidak bisa memenuhi rekomendasi tersebut karena bisa mengubah waktu dan pembiayaan
e-KTP.
Tak lama setelah itu Konsorsium Lintas Peruri Solusi melaporkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia
lelang dalam proses pengadaan e-KTP, Sugiharto dan Drajat Wisnu Setiawan ke Polda Metro Jaya dengan barang bukti
berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga orang saksi. Konsorsium
Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga dana untuk e-KTP
membesar hingga Rp 4 triliun lebih dalam proses tender. Kenyataannya, penawaran yang diajukan oleh Konsorsium
Lintas Peruri Solusi lebih rendah, yakni sebesar Rp 4,75 triliun namun yang memenangkan tender justru konsorsium
PNRI yang mengajukan penawaran lebih tinggi, yakni sebesar Rp 5,84 triliun dari anggaran senilai 5,9 triliun. Mereka
juga menuding bahwa panitia lelang telah menerima uang sebesar Rp 50 juta pada 5 Juli 2011 dari konsorsium
pemenang tender.
Seiring berjalannya waktu, indikasi korupsi pada proyek e-KTP semakin terbuka lebar. Pada 2012 Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan indikasi korupsi pada proyek e-KTP lebih awal ketimbang KPK berdasarkan
temuan investigator. Indikasi tersebut tertuang pada keputusan KPPU berupa hukuman pada Konsorsium Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT Astragraphia untuk membayar denda Rp 24 miliar ke negara karena
melanggar pasal 22 UU No. 4/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada
November 2012. Konsorsium PNRI didenda sebesar Rp 20 miliar sedangkan PT Astragraphia didenda Rp 4 miliar. Denda
tersebut harus dibayar ke kas negara melalui bank pemerintah dengan kode 423755 dan 423788 (Pendapatan
Pelanggaran di bidang persaingan usaha).
Indikasi korupsi juga dipaparkan oleh Muhammad Nazaruddin pada 31 Juli 2013. Saat diperiksa oleh KPK terkait
kasus Hambalang, ia menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza Syarief, ia juga
menuding telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total proyek sebesar RP 5,9 triliun, 45% di
antaranya merupakan mark-up. Ia juga mengatakan bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini. Mendengar hal itu, Gamawan Fauzi merasa
geram. Ia pun melaporkan Nazaruddin ke Polda Metro Jaya karena menilai bahwa tuduhannya tidak benar. Kendati
demikian, saat itu KPK belum bisa memastikan kebenaran dari kecurigaan-kecurigaan yang ada karena tahap
penyidikan KPK terhadap kasus e-KTP masih pada tahap awal.
Perkembangan Kasus
Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan Sugiharto, Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri
sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP.[11] Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang
dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat
1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64
Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.[8][32][33] Untuk mengusut kasus
ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus
e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan, Pringgo
Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati[6]. Sugiharto pun tak luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan
18 Mei 2015. Pada waktu bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti Pamuji
Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT Solid Arta Global sebagai saksi.
Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per 30 September 2016, KPK
menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi
serupa dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan
wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp 2,9 milyar dan 6.000
dollar Singapura.
Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah melakukan pemeriksaan selama 4 jam
di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur. Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK
pada 21 Desember 2016 setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan penyelidikan, Irman
dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat
permohonan sebagai justice collaboratoruntuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.
Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR
dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian menghimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut
untuk mengembalikannya ke negara.[38] Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK menerima uang
sebesar Rp 250 miliar dengan rincian Rp 220 miliar berasal dari sejumlah korporasi, satu perusahaan dan satu
konsorsium sedangkan Rp 30 miliar berasal dari anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya.
Penyerahan uang itu dilaksanakan usai pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif kemudian
mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.
Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-KTP ke Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017. Berkas tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu
lembar dan atas nama Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan tersangka dan saksi.
Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto, 173 saksi atas nama Irman dan
keterangan dari lima orang ahli. Ditumpuk menjadi tiga bagian, tinggi berkas tersebut mencapai sekitar 1,5 meter.
Tersangka Ketiga
Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK akhirnya memutuskan untuk
menetapkan tersangka baru: Andi Narogong pada Rabu, 23 Maret 2017. Ia adalah orang ketiga yang ditetapkan
sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP setelah Irman dan Sugiharto. Tanpa pikir panjang, keesokkan harinya
penyidik KPK lalu menangkap Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (Sprindik). Cara-cara kotor yang dilakukan Andi dalam proyek e-KTP membuat KPK menetapkannya sebagai
tersangka. Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi berperan dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan
KTP elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan anggota komisi II
DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai
dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga
melakukan mark up dalam pengadaan KTP elektronik.
Seminggu setelah penangkapan Andi, tepatnya pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat.
Sidang kali ini menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar
Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada sidang keempat terjadi pengakuan yang
kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan Novel Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel,
Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat persidangan
Miryam justru membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa
ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan
konfrontasi tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam melakukan sanggahan karena adanya ancaman
beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temuan lainnya dalam sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari
Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Miryam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang
pada akhirnya disangkal pula oleh Miryam.Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
menerima aliran dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut saat Ganjar Pranowo bersaksi dalam
sidang di Pengadilan Tipikor.
Sidang kasus e-KTP belum selesai. Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini hadir
9 saksi untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat
beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang
untuk proyek e-KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010.
Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut
pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul
Umam Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.
Tidak kooperatifnya Miryam S Hani pada sidang sebelumnya membuat per 5 April 2017 KPK menetapkan Miryam S
Hani sebagai tersangka. Bukan sebagai koruptor, melainkan sebagai pemberi keterangan palsu saat menjadi saksi pada
sidang keempat. Ia pun disangkakan pada Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.