Anda di halaman 1dari 6

Kasus korupsi e-KTP

Alur Lelang dan Pelaksanaan e-KTP


Skandal korupsi e-KTP merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun. Penyimpangan proyek pengadaan ini dimulai dari
proses anggaran, lelang hingga tahap pelaksanaan. Berikut alur lelang dan pelaksanaan e-KTP sebagaimana dikutip
dari surat dakwaan yang disusun jaksa pada KPK.
1. 11 Februari 2011
-Penetapan HPS Terdakwa II Sugiharto yang ditunjuk sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) menetapkan harga
perkiraan sendiri (HPS) dan analisa harga satuan per keping blangko e-KTP tahun 2011-2012 sejumlah Rp
5.951.886.009.000. Perinciannya Rp 2.291.231.220.000 pada tahun 2011 dan Rp 3.660.654.789 pada tahun 2012.
Penetapan HPS ini disebut jaksa KPK tidak didahului dengan data harga pasar setempat, namun berdasarkan price list
yang disusun tim Fatmawati yang telah dinaikkan harganya (mark up) dan tidak memperhatikan diskon terhadap
barang-barang tertentu.
- Spesifikasi Teknis
Sugiharto juga menandatangani spesifikasi teknis dan kerangka acuan kerja (KAK) yang disusun oleh FX Garmaya
Sabarling, Tri Sampurno dan Berman Jandry Hutaosoit. Sugiharto menyatukan 9 lingkup pekerjaan menjadi 1 paket
pekerjaan. "Dengan maksud untuk meminimalisir peserta lelang sehingga dapat memenangkan konsorsium PNRI,
serta pelaksanaannya dilaksanakan dengan menggunakan perjanjian tahun jamak," kata jaksa.
2. 21 Februari 2011
Panitia pengadaan yang diketuai Drajat Wisnu Setyawan mengumumkan pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012
melalui koran Tempo dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemendagri. Ada 5 lingkup pekerjaan proyek
pengadaan e-KTP dalam dokumen pemilihan yakni pengadaan perangkat keras, pengadaan perangkat lunak,
pengadaan blangko e-KTP berbasis chip, penyediaan jaringan komunikasi data serta bimbingan dan pendampingan
teknis.
3. 8 April 2011
Panitia pengadaan menerima 8 dokumen penawaran dari konsorsium Berca Link JST, konsorsium Lintas Peruri Solusi,
konsorsium PNRI, konsorsium Mukarabi Sejahtera, konsorsium Mega Global Jaya Grafia Cipta, konsorsium PT Telkom,
konsorsium PT Astra Graphia dan konsorsium Transtel Universal.
4. 18 April-20 Mei 2011
Panitia pengadaan melakukan evaluasi teknis terhadap 8 konsorsium. Evaluasi dilakukan terkait metodologi dan
spesifikasi teknis, evaluasi dokmen usulan teknis mengenai jaringan komunikasi dan data dan evalasi teknis terkait
pengujian perangkat dan output atau proof of concept (POC). "Berdasarkan serangkaian evaluasi teknis tersebut
sampai degnan dilakukannnya proses uji coba alat dan output, ternyata tidak ada peserta lelang (konsorsium) yang
dapat mengintegrasikan key management server (KMS) dengan hardware security module (HMS)," ujar jaksa.
Nmun Irman dan Sugiharto tetap memerintahkan Drajat Wisnu Setyawan dan Husni Fahmi melanjutkan proses lelang
sehingga konsorsium PNRI dan konsorsium Astragraphia dinyatakan lulus.
5. 20 Juni 2011
Panitia pengadaan menyampaikan usulan penetapan pemenang pelaksana pekerjaan e-KTP tahun 2011 dan 2012
dengan usulan pemenang konsorsium PNRI (harga penawaran Rp 5.841.896.144.993 dan pemenang cadangan
konsorsium Astragraphia dengan harga penawaran Rp 5.950.304.787.554
6. 21 Juni 2011
Mendagri saat itu Gamawan Fauzi menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang berdasarkan surat
keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Konsorsium PNRI ini beranggotakan Perum PNRI, PT LEN
Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT Sandipala Artha Putra.
7. 1 Juli 2011
Konsorsium PNRI menandatangani kontrak pekerjaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan Rp
5.841.896.144.993. Dalam pelaksanaannya konsorsium PNRI mensubkontrakan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan
tertulis dari Sugiharto. Dalam pelaksanaannya, konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan
sebagaimana ditetapkan dalam kontrak. Dalam kontrak disebut pekerjaan tahun 2011 blangko e-KTP sebanyak
67.015.400 keping di 197 kabupaten/kota dan pada tahun 2012 pengadaan blangko e-KTP sebanyak 105.000.000
keping di 300 kabupaten/kota. "Namun untuk mengakomodir hasil pekerjaan konsorsium PNRI yang tidak memenuhi
target pekerjaan dan agar Sugiharto tetap dapat melakukan pembayaran kepada konsorsium PNRI," ujar jaksa.
Sugiharto atas persetujuan Irman juga melakukan 9 kali perubahan atau addendum kontrak.
"Terdakwa II (Sugiharto) telah melakukan pembayaran kepada konsorsium PNRI secara bertahap ayng setelah
dipotong pajak seluruhnya Rp 4.917.780.473.609," papar jaksa. Padahal harga wajar atau harga riil pelaksanaan
pengadaan e-KTP 2011-2013 sejumlah Rp 2.552.408.324.859. Selain itu konsorsium PNRI hanya dapat melakukan
pengadaan blangko e-KTP sebanyak 122.109.759 keping di bawah target pekerjaan dalam kontrak awal yakni
konsorsium PNRI wajib melakukan pengadaan, personalisasi dan distribusi e-KTP sebanyak 172.015.400. Dalam
perkara ini, eks pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama
Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang/jasa, Isnu Edhi Wihaya (ketua konsorsium Percetakan
Negara RI, Setya Novanto saat itu ketua Fraksi Golkar dan Drajat Wisnu Setyawan sebagai ketua panitia pengadaan
barang/jasa di Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri.

Proses Pengadaan e-KTP


Pada pelaksanaannya, proyek e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau pihak
terkait. Untuk memutuskan konsorsium mana yang berhak melakukan proyek, maka pemerintah kemudian
melaksanakan lelang tender pada 21 Februari hingga 15 Mei 2011. Di sela-sela proses lelang, Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) bernama Government Watch (Gowa) menilai bahwa terjadi kejanggalan pada proses lelang.
Mereka beranggapan bahwa perusahaan yang mengikuti tender tidak sesuai dengan persyaratan seperti yang
terangkum dalam PP 54/2010. Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya pada 21 Juni 2011 pemerintah
mengumumkan konsorsium yang menjadi pemenang lelang. Mereka adalah konsorsium PNRI yang terdiri dari
beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha
Putra. Hasil itu diambil berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Sebagai tindak lanjut,
konsorsium PNRI kemudian melakukan penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran
2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak tersebut disepakati pada 1 Juli 2011.
Mulanya proses perekaman e-KTP ditargetkan akan dilaksanakan secara serentak pada 1 Agustus 2011. Namun karena
terlambatnya pengiriman perangkat peralatan e-KTP, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18 Agustus 2011
untuk 197 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Kecurigaan Korupsi
Belum sampai perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota, pihak kepolisian mengabarkan bahwa mereka
mencurigai terjadinya korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender
yang menyatakan bahwa terjadinya ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat lelang tender
berlangsung. Kecurigaan bahwa adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga dirasakan oleh Government Watch
(GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi
upaya pemenangan terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi yang
telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut mereka mendapatkan petunjuk berupa
dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan
menemukan fakta bahwa telah terjadi 11 penyimpangan, pelanggaran dan kejanggalan kasat mata dalam pengadaan
lelang.
KPK turut mencium kejanggalan dari proses proyek e-KTP. Pada awal September 2011 KPK menuding bahwa
Kemendagri tidak menjalankan 6 rekomendasi dalam pelaksanaan proyek e-KTP. Keenam rekomendasi tersebut
adalah: 1) penyempurnaan desain.; 2) menyempurnakan aplikasi SIAK dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh
wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan migrasi non SIAK ke SIAK; 3) memastikan tersedianya jaringan
pendukung komunikasi data online/semi online antara Kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi
dapat dilakukan secara efisien; 4) Pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik sebagai media
verifikasi untuk menghasilkan NIK yang tunggal; 5) Pelaksanakan e-KTP setelah basis database kependudukan
bersih/NIK tunggal, tetapi sekarang belum tunggal sudah melaksanakan e-KTP; dan 6) Pengadaan e-KTP harus
dilakukan secara elektronik dan sebaiknya dikawal ketat oleh LKPP.[26] Menanggapi tudingan KPK, Kemendagri
kemudian memberikan bantahan. Reydonnyzar Moenek, juru bicara Kemendagri menjelaskan bahwa Kemendagri
telah menjalankan 5 rekomendasi. Memang ada rekomendasi yang tidak dijalankan, namun itu hanya 1. Satu
rekomendasi tersebut adalah tentang permintaan NIK tunggal saat proses e-KTP dilaksanakan. Berdasarkan penjelasan
Reydonnyzar, Kemendagri tidak bisa memenuhi rekomendasi tersebut karena bisa mengubah waktu dan pembiayaan
e-KTP.
Tak lama setelah itu Konsorsium Lintas Peruri Solusi melaporkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia
lelang dalam proses pengadaan e-KTP, Sugiharto dan Drajat Wisnu Setiawan ke Polda Metro Jaya dengan barang bukti
berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga orang saksi. Konsorsium
Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga dana untuk e-KTP
membesar hingga Rp 4 triliun lebih dalam proses tender. Kenyataannya, penawaran yang diajukan oleh Konsorsium
Lintas Peruri Solusi lebih rendah, yakni sebesar Rp 4,75 triliun namun yang memenangkan tender justru konsorsium
PNRI yang mengajukan penawaran lebih tinggi, yakni sebesar Rp 5,84 triliun dari anggaran senilai 5,9 triliun. Mereka
juga menuding bahwa panitia lelang telah menerima uang sebesar Rp 50 juta pada 5 Juli 2011 dari konsorsium
pemenang tender.
Seiring berjalannya waktu, indikasi korupsi pada proyek e-KTP semakin terbuka lebar. Pada 2012 Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan indikasi korupsi pada proyek e-KTP lebih awal ketimbang KPK berdasarkan
temuan investigator. Indikasi tersebut tertuang pada keputusan KPPU berupa hukuman pada Konsorsium Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT Astragraphia untuk membayar denda Rp 24 miliar ke negara karena
melanggar pasal 22 UU No. 4/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada
November 2012. Konsorsium PNRI didenda sebesar Rp 20 miliar sedangkan PT Astragraphia didenda Rp 4 miliar. Denda
tersebut harus dibayar ke kas negara melalui bank pemerintah dengan kode 423755 dan 423788 (Pendapatan
Pelanggaran di bidang persaingan usaha).
Indikasi korupsi juga dipaparkan oleh Muhammad Nazaruddin pada 31 Juli 2013. Saat diperiksa oleh KPK terkait
kasus Hambalang, ia menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza Syarief, ia juga
menuding telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total proyek sebesar RP 5,9 triliun, 45% di
antaranya merupakan mark-up. Ia juga mengatakan bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini. Mendengar hal itu, Gamawan Fauzi merasa
geram. Ia pun melaporkan Nazaruddin ke Polda Metro Jaya karena menilai bahwa tuduhannya tidak benar. Kendati
demikian, saat itu KPK belum bisa memastikan kebenaran dari kecurigaan-kecurigaan yang ada karena tahap
penyidikan KPK terhadap kasus e-KTP masih pada tahap awal.

Perkembangan Kasus
Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan Sugiharto, Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri
sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP.[11] Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang
dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat
1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64
Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.[8][32][33] Untuk mengusut kasus
ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus
e-KTP di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu Setyawan, Pringgo
Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati[6]. Sugiharto pun tak luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan
18 Mei 2015. Pada waktu bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti Pamuji
Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT Solid Arta Global sebagai saksi.
Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per 30 September 2016, KPK
menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi
serupa dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan
wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp 2,9 milyar dan 6.000
dollar Singapura.
Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah melakukan pemeriksaan selama 4 jam
di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan Guntur. Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK
pada 21 Desember 2016 setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan penyelidikan, Irman
dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat
permohonan sebagai justice collaboratoruntuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.
Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR
dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian menghimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut
untuk mengembalikannya ke negara.[38] Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017 KPK menerima uang
sebesar Rp 250 miliar dengan rincian Rp 220 miliar berasal dari sejumlah korporasi, satu perusahaan dan satu
konsorsium sedangkan Rp 30 miliar berasal dari anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya.
Penyerahan uang itu dilaksanakan usai pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif kemudian
mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.
Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-KTP ke Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017. Berkas tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu
lembar dan atas nama Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan tersangka dan saksi.
Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas nama Sugiharto, 173 saksi atas nama Irman dan
keterangan dari lima orang ahli. Ditumpuk menjadi tiga bagian, tinggi berkas tersebut mencapai sekitar 1,5 meter.

Pencarian bukti baru


Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi kemudian mengadakan
sidang. Dalam perjalanannya, ada lebih dari 10 sidang yang dilaksanakan. Namun sidang perdana terkait kasus korupsi
e-KTP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017. Dalam sidang pertama, hadir dua orang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sugiharto dan Irman dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh
Jaksa Penuntut Umum dengan tebal sekitar 120 halaman.
Selanjutnya Pengadilan Negeri mengadakan sidang kedua pada Kamis, 16 Maret 2017. Pada sidang kali ini KPK telah
menghadirkan 8 saksi dari 133 saksi untuk proses persidangan. Beberapa di antaranya adalah Gamawan Fauzi selaku
mantan Menteri Dalam Negeri, Yuswandi Temenggung selaku Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraeni selaku
mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri, Elvius Dailami selaku Direktur Fasilitas Dana Perimbangan Ditjen Keuangan
Kemendagri, Chaeruman Harahap selaku mantan Ketua Komisi II DPR dan Winata Cahyadi selaku Direktur PT Karsa
Wira Utama. Dari 8 saksi hanya 6 orang saja yang datang. Dua lainnya yakni mantan Menteri Keuangan Agus
Martowardojo berhalangan sementara mantan Direktur Jenderal Adminsitrasi Kependudukan Kemendagri Rasyid
Saleh tidak jadi diperiksa dalam sidang karena datang terlambat.
Terdapat beberapa hasil pada sidang kedua. Gamawan mengaku bahwa ia telah menerima beberapa kali pemberian
uang namun menurutnya, uang tersebut berhubungan dengan keperluan berobat dan honor kerja. Hasil lainnya
adalah Sekjen Kemendagri, Diah Anggarini, mengaku telah menerima uang sebanyak dua kali, yakni sebesar 300.000
dollar AS dari Irman dan uang sebesar 200.000 dollar AS dari Andi Agustinus selaku pengusaha pemenang tender. Diah
juga menjelaskan bahwa telah terjadi pertemuan antara Irman, Sugiharto, Andi Narogong dan Setya Novanto di Hotel
Gran Melia. Selain itu penyidik KPK juga mendapatkan catatan tentang skema pengendali korupsi e-KTP anggaran e-
KTP 2011-2012 dengan pagu Rp 5,9 triliun di rumah Chairuman Harahap. Setya Novanto dan Anas Urbaningrum adalah
dua nama yang disebut dalam catatan tersebut.
Pada sidang kedua terdapat perbedaan keterangan antara keterangan yang Gamawan Fauzi sampaikan dengan
keterangan yang Chairuman Harahap katakan. Gamawan Fauzi menuturkan bahwa perubahan anggaran proyek e-KTP
diusulkan oleh Komisi II DPR RI periode 2009-2014. Namun Chairuman malah menjelaskan bahwa Kementerian Dalam
Negeri-lah yang melakukan pengusulan.
Petunjuk tentang kasus e-KTP tidak hanya didapatkan dari para saksi, melainkan juga dari Irman selaku tersangka.
Menurut penuturannya, Setya Novanto sempat menyampaikan pesan mendesak kepada Diah Anggraini yang
disampaikan melalui perantara Zudan Arif Fakruloh selaku biro hukum Kemendagri pada 2014. Berdasarkan
penjelasan Irman, isi dari pesan itu adalah tentang wanti-wanti agar ia tidak membuka suara kepada KPK terkait
hubungannya dengan Setya Novanto dalam kasus KPK.
Pengusutan kasus korupsi e-KTP lalu berlanjut pada sidang ketiga yang diadakan pada 23 Maret 2017. Dari 7 saksi yang
diundang, hanya 6 saja yang hadir. Pada sidang kali ini, nama Andi Narogong menjadi nama yang paling banyak disebut.
Sidang ini menghasilkan temuan bahwa Andi Narogong yang berperan sebagai pelaksana proyek e-KTP telah
melakukan pertemuan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin. Andi Narogong juga
menjadi orang yang telah memberikan uang kepada Diah Anggraini. Temuan lainnya adalah 51 persen atau sekitar Rp
2,662 triliun dari anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun digunakan untuk pembiayaan e-KTP sementara sisanya yakni
49 persen atau setara dengan Rp 2,558 triliun dibagi-bagi ke berbagai pihak, tak terkecuali dengan anggota Komisi II
DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI.[43][44]. Juru bicara KPK Febri Diansyah mempertegas, KPK tidak melakukan tebang
pilih dalam memeriksa keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus mega korupsi yang merugikan dana negara hingga
Rp2,3 triliun itu.

Tersangka Ketiga
Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK akhirnya memutuskan untuk
menetapkan tersangka baru: Andi Narogong pada Rabu, 23 Maret 2017. Ia adalah orang ketiga yang ditetapkan
sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP setelah Irman dan Sugiharto. Tanpa pikir panjang, keesokkan harinya
penyidik KPK lalu menangkap Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (Sprindik). Cara-cara kotor yang dilakukan Andi dalam proyek e-KTP membuat KPK menetapkannya sebagai
tersangka. Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi berperan dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan
KTP elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan anggota komisi II
DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai
dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga
melakukan mark up dalam pengadaan KTP elektronik.
Seminggu setelah penangkapan Andi, tepatnya pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat.
Sidang kali ini menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar
Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada sidang keempat terjadi pengakuan yang
kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan Novel Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel,
Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat persidangan
Miryam justru membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa
ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan
konfrontasi tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam melakukan sanggahan karena adanya ancaman
beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temuan lainnya dalam sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari
Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Miryam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang
pada akhirnya disangkal pula oleh Miryam.Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
menerima aliran dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut saat Ganjar Pranowo bersaksi dalam
sidang di Pengadilan Tipikor.
Sidang kasus e-KTP belum selesai. Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini hadir
9 saksi untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat
beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang
untuk proyek e-KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010.
Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut
pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul
Umam Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.
Tidak kooperatifnya Miryam S Hani pada sidang sebelumnya membuat per 5 April 2017 KPK menetapkan Miryam S
Hani sebagai tersangka. Bukan sebagai koruptor, melainkan sebagai pemberi keterangan palsu saat menjadi saksi pada
sidang keempat. Ia pun disangkakan pada Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kecurangan lelang dan rekayasa konsorsium


Babak baru dari kasus e-KTP kemudian berlanjut pada sidang keenam yang diadakan pada 6 April 2017. Sidang keenam
menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang
kali ini Novanto membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp 547,2 miliar. Pun
dengan Anas dan Markus yang membantah bahwa mereka telah menerima uang dari proyek e-KTP. Sementara hasil
dari sidang ketujuh yang digelar pada 10 April 2017 adalah terdapat pengakuan dari anggota tim teknis Kementerian
Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun mereka menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di
samping itu mereka juga mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP yang
tidak digabungkan.
Memasuki sidang kedelapan yang berlangsung pada Kamis, 13 April 2017 yang dihadiri 10 saksi, KPK menemukan fakta
bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu diberikan uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi
pemberian uang oleh kakak Andi Narogong yakni Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang tersebut juga
terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karena dalam proses lelang konsorsium tidak
melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan. Sementara itu hasil yang didapatkan pada sidang
kesembilan yang digelar pada 17 April 2017 adalah adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk
meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto dan Irman menjadi
dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.
Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi pada Kamis, 20 April 2017, KPK menemukan fakta-fakta baru terkait
kasus e-KTP. Nama Setya Novanto disebut telah mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan
penuturan tim IT proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga diakui oleh Irvanto
Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto. Sementara itu menurut penuturan Jimmy
Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Andi Narogong memang sengaja dalam membuat tiga konsorsium dalam proyek e-
KTP. Dari ketiga konsorsium tersebut, Andi telah mempersiapkan satu konsorsium pemenang lelang, yakni Konsorsium
PNRI sedangkan konsorsium Astragraphia dan Murakabi hanya sebagai pendamping.
Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada 27 April 2017. Selain adanya
keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto, dalam sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni
Presiden Direktur PT Avidisc Crestec Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek
e-KTP karena ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR, Olly
Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan Anggaran DPR dan menyanggah
tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang ditemukan adalah
terjadinya kecurangan karena konsorsium E-KTP memilih perangkat lunak yang tak lolos uji kompetensi.[57][58] Adapun
pada sidang keduabelas yang digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa Andi Narogong memegang andil
terhadap pengaturan proyek e-KTP.

Peran Markus Nari dan Anang Sugiana


Jumlah tersangka korupsi pada proyek e-KTP tidak berhenti pada Sugiharto, Irman, Andi Narogong dan Setya Novanto
saja. Markus Nari dan Anang Sugiana Sudiharjo menambah daftar panjang otak di balik kasus korupsi ini. Per 19 Juli
2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai
salah satu tersangka berdasarkan Pasal 3 atau 2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam penambahan anggaran e-KTP
di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 milyar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-
KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 milyar, berupaya
menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus e-KTP dan diduga memengaruhi anggota
DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Dua bulan setelah penetapan Markus, barulah pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana
Sudiharjo, direktur utama PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Penetapan
tersebut dilakukan berdasarkan dua bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh
Irman, Sugiharto dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang
kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1)
subsider Pasal 3 Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada 9 November 2017 KPK melakukan penahanan terhadap Anang. Anang kemudian dimasukkan ke dalam Rumah
Tahanan Guntur selama 20 hari ke depan.

Keterlibatan Setya Novanto


Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di
DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk 2011-2012. Penetapannya menjadikan ia sebagai
tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya
Novanto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga
merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan
Tipikor.[66] Tindakan Setya Novanto disangkakan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keesokkan harinya, yakni pada Selasa, 18 Juli 2017 Setya Novanto mekakukan jumpa pers di Gedung Kompleks
Parlemen Senayandengan didampingi empat petinggi DPR lainnya, yakni Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus
Hermanto dan Taufik Kurniawan. Dalam kesempatan itu ia mengatakan kepada para media bahwa ia menghargai
proses hukum yang berlaku dan menjelaskan bahwa ia telah meminta surat resmi dari KPK terkait penetapannya
sebagai tersangka. Di sisi lain ia juga mengatakan bahwa ia merasa didzalimi.
Pada 22 Juli 2017 telah terjadi pertemuan antara Setya Novanto dengan Hatta Ali selaku Ketua Mahkamah
Agung dalam sidang terbuka disertasi politisi Partai Golkar Adies Kadir di Surabaya, Jawa Timur. Ahmad Doli Kurnia,
Ketua Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) kemudian melaporkan peristiwa itu kepada Komisi Yudisial (KY) pada 21
Agustus 2017. Mereka curiga bahwa Setya Novanto telah melakukan upaya kepada Mahkamah Agung agar ia bisa
terbebas dari hukum, terutama lewat sidang praperadilan. Laporan GMPG ditanggapi dengan positif oleh Ketua
KY Aidul Fitriciada Azhari namun dibantah oleh Setya Novanto dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
mengklarifikasi bahwa keberadaan Hatta Ali di Surabaya adalah murni sebagai penguji disertasi Adies Kadier dan tidak
ada kaitannya dengan kasus e-KTP. Menanggapi pelaporan Doli, Golkar kemudian memecatnya sebagai politisi di
Partai Golkar.
Selagi KPK sedang menyelidiki kasus Novanto dengan memeriksa para saksi, Setya Novanto mendaftarkan gugatan
praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 4 September 2017. Dalam sidang
praperadilan, hakim tunggal yang akan bertugas adalah Hakim Chepi Iskandar.

Anda mungkin juga menyukai