KELOMPOK 6
Aqila Maretasya Gunawan 1906290756
PROGRAM SARJANA
DEPOK
2021
DAFTAR ISI
BAB I
Latar Belakang 3
Pokok Permasalahan 3
BAB II
Pembahasan
Perkembangan serta Pengaturan E-Court dan E-Litigation di Negara Indonesia 4
Perkembangan dan Pengaturan E-Court dan E-Litigation di Negara Singapura 6
Perbandingan E-Court dan E-Litigation di Negara Indonesia dan Negara Singapura
Secara Umum 10
Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti Elektronik Menurut Undang-Undang di
Negara Indonesia dan Negara Singapura 11
Penerapan Pembuktian Elektronik dalam E-Court dan E-Litigation Pada Studi Kasus
Putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2020/PN Mbn Pengadilan Negeri Muara Bulian 15
BAB III
Kesimpulan 17
Saran 17
Daftar Pustaka 18
BAB 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Di era Revolusi Industri 4.0 dimana perkembangan kemajuan di bidang
teknologi informasi dan telekomunikasi yang sangat cepat, muncul berbagai jenis
alat telekomunikasi seperti e-mail, video call, pesan singkat/SMS dan masih
banyak lagi. atas perkembangan dan kemajuan teknologi yang sangat cepat,
hukum harus dapat merespons perkembangan tersebut.
Salah satu bentuk respons hukum terhadap kemajuan teknologi adalah
diterapkannya Peradilan Elektronik (e-court) dimana hal ini sangat sesuai dengan
Visi Mahkamah Agung menjadi Badan Peradilan Indonesia yang agung, yang
pada poin ke-10 perwujudan Visi Mahkamah Agung dalam Cetak Biru Pembaruan
Peradilan 2010-2035 adalah mewujudkan Badan Peradilan Modern dengan
berbasis teknologi informasi terpadu1. Dalam upaya mewujudkan Visi Mahkamah
Agung tersebut, telah dinyatakan adanya Modernisasi Manajemen Perkara, mulai
dari Pelaporan Perkara berbasis Elektronik, Migrasi ke Manajemen Perkara
Berbasis Elektronik hingga Pengadilan Online.2 Mengingat respon perkembangan
yuridis serta lingkup pembahasan mengenai pembuktian elektronik terhadap
beberapa kasus cukup luas di Indonesia, maka terhadap paper ini membatasi
pembahasan hanya pada Putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2020/PN Mbn.
2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang telah dipaparkan di atas,
penulis kemudian merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan perkembangan dan pengaturan e-court serta
e-litigation di Indonesia dan Singapura?
2. Bagaimanakah keabsahan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian
elektronik pada peradilan perdata di Indonesia dan Singapura?
1
Indonesia, Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 (Jakarta,
2010), hlm. 13-14.
2
Ibid., hlm. 35.
BAB 2
Pembahasan
3
Mahkamah Agung RI, e-Court Mahkamah Agung RI,
https://ecourt.mahkamahagung.go.id/, diakses pada 21 Oktober 2021.
bermaterai; (4) Mengisi identitas para pihak; (5) Unggah berkas perkara
dengan format dokumen; dan (6) Data para pihak sudah terekam dan lanjut
ke pembayaran.
2. E-Payment (Pembayaran Panjar Biaya Perkara Secara Online)
Aturan mengenai e-payment tertulis dalam Pasal 10, 11, dan 12 Perma
Perma No.1 Tahun 2019. Pembayaran Panjar Biaya Online dilakukan ketika
pengguna yang terdaftar telah mendapatkan SKUM atau taksiran panjar
biaya yang diberikan melalui aplikasi e-court. Ketika SKUM diberikan,
komponen biaya apa saja yang ditetapkan dan dikonfigurasikan oleh
Pengadilan telah dihitung serta besaran biaya radius telah ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan. Sehingga, seluruh perhitungan untuk pembayaran panjar
biaya telah diperhitungkan dengan baik dan menciptakan adanya elektronik
SKUM (e-SKUM). Dalam melakukan pembayaran, penambahan, dan
pengembalian panjar biaya perkara ditujukan ke rekening pengadilan pada
bank secara elektronik.
3. E-Summons (Pemanggilan Pihak Secara Online)
Berdasarkan Pasal 11 dan 12 Perma No.3 Tahun 2018, disebutkan
bahwa e-summons adalah panggilan menghadiri persidangan terhadap para
pihak yang berperkara dapat disampaikan secara elektronik ke alamat e-mail
para pihak serta informasi panggilan tersebut dapat dilihat pada aplikasi
e-court.4 Pemanggilan ini hanya dapat ditempuh apabila para pihak
menyetujui untuk dilakukan panggilan secara elektronik. Namun, terdapat
pengecualian bagi pihak tergugat di mana panggilan pertama kan dilakukan
secara manual dan ketika tergugat hadir saat sidang pertama maka akan
dimintakan persetujuan dipanggil secara elektronik atau tidak. Apabila
tergugat setuju, maka panggilan selanjutnya tergugat akan dipanggil secara
elektronik sesuai dengan domisili elektronik yang diberikan dan jika tidak
setuju maka akan tetap dipanggil secara manual.
4. E-Litigation (Persidangan Elektronik)
E-litigation merupakan persidangan secara elektronik sehingga dapat
dilakukan pengiriman dokumen persidangan seperti, Jawaban, Replik,
4
Mahkamah Agung RI, e-Court Mahkamah Agung RI,
https://ecourt.mahkamahagung.go.id/, diakses pada 21 Mei 2021.
Duplik, dan Kesimpulan secara elektronik sebagaimana dijelaskan dalam
Perma No. 1 Tahun 2019.5 Dalam pelaksanaan e-litigation, pemeriksaan
yang dilakukan oleh saksi dan ahli dibuka ruang untuk dilakukan secara
teleconference yang mengartikan bahwa para pihak dan saksi tidak perlu
hadir secara langsung ke kantor Pengadilan dalam proses pemeriksaan.
Kemudahan persidangan secara elektronik memungkinkan adanya
perkembangan dari sisi alat bukti. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi
Elektronik (UU ITE), alat bukti elektronik dapat dikatakan sebagai
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah selama memenuhi persyaratan formil dan
materil yang diatur dalam UU ITE. Namun, hingga saat ini masih belum
terdapat aturan yang mengatur secara konkrit perihal teknis mengenai
pelaksanaan pemeriksaan alat bukti dalam proses e-litigation.
7
CrimsonLogic, “About Service Bureau”,
https://www.elitigation.sg/_layouts/IELS/HomePage/Pages/AboutSB.aspx, diakses pada 22
Oktober 2021.
disahkan oleh panitera. Salinan writ yang sah akan diberikan kepada
penggugat melalui e-litigation atau melalui layanan biro.8
Kedua dari segi aksesibilitas dokumen. Semua pihak yang terdaftar
sebagai pengguna e-litigation dapat mengakses dokumen kasus, memeriksa
dokumen, mengunduh soft copy atau mencetak hard copy dokumen tanpa
harus melakukan permintaan pengecekan kepada biro layanan dan tanpa ada
biaya tambahan yang harus dikeluarkan.9. Ketiga, dari segi integrasi sistem,
e-litigation memungkinkan pihak yang berperkara mendapat notifikasi
real-time apabila terdapat dokumen yang baru diunggah dalam kasus dan
dapat memilih jadwal sidang tanpa harus melalui registry staf pengadilan.10
3. Video Conference
Singapura telah memperkenalkan pengadilan teknologi, sidang virtual
yang dilakukan melalui sistem konferensi video. Fasilitas ini dapat
digunakan pada untuk hearing, baik dihadapan hakim ataupun panitera, di
pengadilan terbuka ataupun ruangan hakim (chamber), ataupun untuk segala
bentuk penyelesaian sengketa lainnya.11 Fasilitas konferensi video yang
tersedia juga dapat digunakan untuk memberikan kesaksian dari saksi yang
rentan atau saksi luar negeri yang tidak dapat hadir secara fisik di
pengadilan. Selain itu, pengacara juga dapat menghubungkan laptop mereka
ke sistem audio-visual, sehingga bukti-bukti yang dimiliki dapat
diproyeksikan ke monitor dan layar untuk dilihat secara simultan oleh
semua orang.12 Berdasarkan s 62A of the Evidence Act (Chapter 97),
disebutkan bahwa apabila terdapat pihak yang ingin memberikan bukti,
maka terlebih dahulu harus meminta izin pengadilan untuk menggunakan
fasilitas konferensi video melalui panggilan. Atas permintaan yang berhasil
untuk menggunakan fasilitas konferensi video, harus dilakukan suatu
8
Supreme Court Singapore, Supreme Court Practice Directions (Amendment No. 6 of
2021), Paragraph 104.
9
Ibid., Paragraph 24.
10
M. Beni Kurniawan, “Implementation of E-Litigation on the Civil Cases in Indonesia
Court as Legal Renewal of Civil Procedural Law,” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 9 (2020),
hlm. 66.
11
Supreme Court Singapore, Supreme Court Practice Directions (Amendment No. 6 of
2021), Paragraph 120 (1).
12
Supreme Court Singapore, “Court Technology”,
https://www.supremecourt.gov.sg/services/visitor-services/court-facilities/technology, diakses pada
22 Oktober 2021.
pengujian peralatan setidaknya 5 hari kerja sebelum hari pertama ditetapkan
untuk sidang guna memastikan kompatibilitas peralatan.13
Walaupun sidang menjadi dapat dilakukan melalui rumah atau lokasi
lain selain pengadilan, namun terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh para pihak yang bersengketa, yaitu diantaranya: (1) lingkungan harus
tenang dan kondusif; (2) tidak boleh ada orang lain yang hadir untuk
mengamati, membantu, atau mengganggu prosesi; dan (3) para pihak harus
dapat menggunakan tempat yang dipilih untuk seluruh durasi. Dalam hal ini,
apabila terdapat salah satu syarat yang dilanggar, maka pengadilan
berwenang untuk membatalkan sidang virtual.
4. E-mediation dan e-negotiation di State Court Singapura
Sejak tahun 2017, State Court Singapura memiliki divisi khusus yang
mengadili sengketa, yaitu Community Justice and Tribunal System
(CJTS).14 CJTS adalah sistem pengajuan dan manajemen kasus secara
elektronik. Proses sengketa yang diselesaikan di CJTS akan dilakukan
secara elektronik, baik dari pendaftaran, asesmen, penjadwalan,
pembayaran, monitoring, proses sengketa, hingga penyelesaian sengketa.15
Tidak semua sengketa perdata dapat diselesaikan dengan CJTS, melainkan
hanya untuk gugatan sederhana (Small Claim Tribunals), sengketa antar
tetangga (Community Dispute Resolution Tribunals), dan sengketa
ketenagakerjaan (Employment Claims Tribunals).16 Adapun bentuk
penyelesaian sengketa CJTS adalah melalui e-negotiation dan e-mediation.
E-negotiation adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan tanpa
adanya bantuan pihak ketiga secara elektronik. Dalam hal e-negotiation,
hanya pengklaim yang dapat menginisiasikan terlebih dahulu kepada
responden. Responden akan menerima pemberitahuan akan dilakukannya
13
Supreme Court Singapore, “Supreme Court Directions”,
https://epd.supremecourt.gov.sg/PART-15-Technology-Facilities.html#120-use-of-the-video-confer
ence-facilities-and-the-mobile-infocomm-technology-facilities, diakses pada 22 Oktober 2021.
14
Ow Yong Tuck Leong, “Access to Justice and Innovative Court Solutions for
Litigants-in-Person,” International Journal on Online Dispute Resolution Vol. 5 (2018), hlm. 9.
15
Singapore State Court, “Using the Community Justice and Tribunals System,”
https://www.statecourts.gov.sg/cws/SmallClaims/Pages/Using-CJTS.aspx, diakses pada 22
Oktober 2021.
16
Ow Yong Tuck Leong, “Access to Justice and Innovative Court Solutions for
Litigants-in-Person,” hlm. 9.
e-negotiation melalui notifikasi email atau SMS pihak responden. Proses
e-negotiation akan berjalan sebanyak 5 putaran (rounds) dimana para pihak
dapat saling berkomunikasi dengan sistem online chat. Apabila tidak
tercapai kesepakatan, maka para pihak dapat mengajukan penyelesaian
sengketa dengan metode e-mediation.
E-mediation adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara
elektronik yang akan dibantu oleh seorang mediator yang ditunjuk oleh
pengadilan. Salah satu pihak dapat mengajukan permintaan e-mediation
kepada pengadilan terlebih dahulu, kemudian pengadilan akan memberikan
notifikasi kepada pihak lainnya seperti e-negotiation. Pengadilan akan
menjadwalkan waktu dan jam dilakukannya e-mediation jika para pihak
telah sepakat. Apabila para pihak berhasil mencapai kesepakatan dari proses
e-negotiation atau e-mediation, maka salah satu pihak dapat mengajukan ke
pengadilan untuk dilakukan pencatatan kesepakatan (“consent order”).
Pengklaim dapat pula mencabut klaimnya, dalam hal tersebut masalah akan
dianggap selesai dan tidak ada proses lebih lanjut di pengadilan. Namun
apabila tidak tercapai kesepakatan atau consent order tidak disetujui oleh
pengadilan, para pihak harus datang ke pengadilan. Consent order tidak
disetujui jika syarat penyelesaian: (i) tidak disetujui oleh pengadilan; (ii)
tidak dapat dilaksanakan; atau (iii) tidak berada dalam yurisdiksi tribunal
atau pengadilan terkait. Jika consent order disetujui maka para pihak akan
mendapat salinan persetujuan pengadilan langsung melalui CJTS.17
20
Johan Wahyudi, “Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian Di
Pengadilan,” (Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Mei 2012), hlm. 123.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 11
tahun 2008, LN No. 58 tahun 2008, TLN No. 4843, Ps. 6.
22
Aristo M. A.Pangaribuan, Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana
(Jakarta: PT Raja Grafindo Pers, 2017), hlm. 320.
23
Mohammad Zakky Mubarok, “Alat Bukti Elektronik Sebagai Bukti Perceraian Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
lain (1) Alat bukti harus kompeten (reliable and credible) sehingga terjamin
validitasnya dan/atau keotentikannya. Menurut Edmon Makarim, informasi
dan/atau dokumen elektronik mempunyai kerentanan informasi dan komunikasi,
sehingga harus melalui e-identification dan e-authentication system (e-IDAS)24;
(2) Alat bukti yang digunakan harus relevan untuk dapat membuktikan fakta dari
suatu kasus; dan (3) Alat bukti harus material untuk memperkuat persoalan yang
dipertanyakan dalam suatu kasus.
Adapun syarat-syarat formil dan materiil Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik agar dapat digunakan sebagai alat bukti di muka
persidangan, antara lain sebagai berikut:25
(1) Syarat Formil berdasarkan Pasal 5 ayat (4) UU ITE
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen
surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis
(2) Syarat Materiil berdasarkan Pasal 6, Pasal 15-16 UU ITE
Segala bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
digunakan sebagai alat bukti harus dapat dijamin keotentikannya,
keutuhannya, dan ketersediaannya
Meskipun dalam UU ITE telah mengatur mengenai alat bukti elektronik, hal
tersebut belum menjamin kepastian hukum mengingat pengaturan tersebut hanya
mencakup hukum materiil.26 Sedangkan mengenai prosedur beracara, belum
terdapat peraturan di Indonesia yang dapat mengakomodasi menangani prosedur
pemeriksaan alat bukti elektronik yang turut dilaksanakan secara elektronik
(online) atau dalam lingkup e-court dan e-litigation.
Untuk mengetahui bahwa suatu dokumen dalam proses pembuktian tersebut
merupakan dokumen yang sah, salah satu cirinya adalah dengan adanya
pembubuhan meterai pada dokumen. Dalam dokumen elektronik ini sendiri
Transaksi Elektronik,”Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(2019) hlm. 42.
24
Edmon Makarim, “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi
Pemerintahan Dan Pemerintahan Publik,” Jurnal Hukum dan Pembangunan No.4 (2015), hlm.
518.
25
Mohammad Zakky Mubarok, “Alat Bukti Elektronik Sebagai Bukti Perceraian Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik,” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(2019) hlm. 44.
26
Dewi Asimah, “Menjawab Kendala Pembuktian dalam Penerapan Alat Bukti
Elektronik”, Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3, No. 2, 2020, 97–110, hlm. 99.
kemudian pada saat ini dikenal dengan apa yang disebut dengan e-meterai, yakni
merupakan label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya
yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas
dokumen.27. Pengaturan utama mengenai penggunaan meterai elektronik diatur di
dalam Undang-Undang tentang Bea Meterai Nomor 10 Tahun 2020. Bea meterai
yang digunakan oleh masyarakat dan lembaga hukum mengalami perubahan dari
bentuk fisik ke bentuk elektronik. Adapun penggunaan bea meterai elektronik
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) No.134/PMK.03/2021,
PMK No. 133/PMK/03/2021 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah
(PP) No. 86 Tahun 2021 tentang pengadaan, pengelolaan, dan penjualan meterai.
Penggunaan e-meterai dilakukan dengan membubuhkannya melalui Sistem
Meterai Elektronik pada Dokumen & Transaksi Elektronik yang terutang Bea
Meterai.28 Adapun tujuan dikeluarkannya meterai elektronik ini sendiri adalah
guna memberikan ekuivalensi antara dokumen kertas dan elektronik serta
kemudahan pembayaran bea meterai yang terutang atas dokumen yang berbentuk
elektronik.29 Pada negara lain, sebagaimana diatur dalam Hague Convention 1961,
e-meterai bahkan dapat dijadikan penunjang legalisasi dokumen publik lintas
negara.30 Selanjutnya, kelebihan e-meterai dibandingkan meterai pada umumnya
adalah meterai elektronik dilengkapi pengamanan teknologi seperti digital
signature X.509 SHA 512, serta fitur-fitur keamanan lainnya.31 Layaknya meterai
konvensional, dalam e-meterai tersebut juga terdapat 22 digit kode unik yang
merupakan nomor seri dari meterai tersebut, yang tentunya akan mendorong
terhindarnya pemalsuan dokumen elektronik yang mana juga mempermudah
akses penelusuran terhadap bukti keotentikan dokumen tersebut. Hal ini juga
27
Indonesia, Undang-Undang Bea Meterai, UU No. 10 Tahun 2020, LN. No. 240 Tahun 2020,
TLN No. 6571, ps. 1 angka 3.
28
E-Meterai, “Simplifikasi Pembubuhan Meterai Pada Sistem Elektronik”,
https://e-meterai.co.id/, diakses pada 28 Oktober 2021
29
ibid
30
Edmond Makarim, “Meterai dan Keautentikan Pembuktian oleh Dr. Edmon Makarim”,
https://law.ui.ac.id/v3/meterai-dan-keautentikan-pembuktian-oleh-dr-edmon-makarim/, diakses pada 28
Oktober 2021
31
Bisnis.com, “Resmi Diluncurkan, Ini Kelebihan Meterai Elektronik atau e-Meterai”,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20211004/9/1450103/resmi-diluncurkan-ini-kelebihan-meterai-elektroni
k-atau-e-meterai, diakses pada 28 Oktober 2021
kemudian akan mempermudah dalam hal pembuktian elektronik untuk menelusuri
keabsahan suatu dokumen elektronik.
Selanjutnya, dapat diterimanya bukti elektronik di Singapore diatur dalam
Evidence Act (EA). Pada awalnya, pengaturan mengenai bukti yang dihasilkan
oleh komputer hanya dapat diterima apabila memenuhi tiga syarat, yakni harus
ada kesepakatan antara para pihak sesuai dengan Section 35 (1) Evidence Act
(EA) yang mengatur bahwa agar para pihak tidak membantah keaslian atau
keakuratan bukti, harus dihasilkan melalui “approved process” di bawah
undang-undang yang telah disertifikasi oleh badan independen yang ditunjuk oleh
Kementerian Hukum atau seringkali disebut sebagai Otoritas Sertifikasi
berdasarkan Undang-Undang. Hal ini diperuntukkan sebagai jaminan yang wajar
untuk konversi dokumen fisik yang akurat ke gambar elektronik seperti yang
diatur pada Pasal 35 (1)(b) EA, di mana bukti harus merupakan hasil dari
pemrosesan komputer dan dapat menghasilkan fotokopi sesuai dengan Pasal 35
(1)(C) EA. Kemudian, apabila pengadilan tidak puas dengan hasil dari komputer
yang telah diakui pada Pasal 35 EA, pengadilan dapat menggunakan diskresi
untuk meminta bukti yang lebih lanjut. Penggunaan Pasal 35 dan 36 EA yang
diperkenalkan pada tahun 1996 digunakan untuk memfasilitasi penggunaan
teknologi informasi dan penerimaan hasil komputer yang dihasilkan oleh
komputer atau jaringan sebagai bukti di dalam ranah kriminal dan perdata.32
Berdasarkan Singapore’s Electronic Transactions Act, electronic record
merupakan setiap catatan yang dihasilkan, dikomunikasikan, diterima atau
disimpan dengan sarana elektronik dalam sistem informasi atau untuk transmisi
dari satu sistem informasi ke sistem informasi lainnya.33 Adapun pembuktian
keabsahan alat bukti elektronik sendiri dibebankan kepada orang yang
mengajukan alat bukti itu sendiri. Pasal 116 undang-undang tersebut mengatur
adanya praduga pada bukti elektronik yang menyatakan bahwa pada dasarnya
semua catatan atau dokumen elektronik akan dianggap sebagai alat bukti yang
otentik apabila telah memenuhi kondisi tertentu dan tidak ada bukti lain yang
bertentangan untuk sebaliknya. Praduga ini secara umum harus diandalkan
32
Rajah & Tann LLP, “Changes To The Evidence Act”, Jurnal Rajah Tann, 2012, hlm. 3
33
Corporate services, “The Electronic Transactions Act,
https://www.corporateservices.com/singapore/electronic-transactions-act-singapore/#records,
diakses pada 22 Oktober 2021.
mengingat sifat dari bukti elektronik itu sendiri yang cenderung sulit untuk
dibuktikan keasliannya. Salah satu syarat untuk mengandalkan praduga tersebut
adalah dengan menggunakan certified imaging system, atau yang dikenal juga
dengan “approved process” seperti yang telah disebutkan di atas. Namun
demikian, dengan adanya amandemen terhadap Evidence Act pada 16 Januari
2012, Pasal 35 dan 36 EA kemudian dicabut. Para pelopor perubahan tersebut
menyatakan bahwa sudah seharusnya alat bukti elektronik diperlakukan sama
seperti barang bukti lainnya. Dengan demikian, aturan yang mengatur mengenai
relevansi ataupun penerimaan alat bukti elektronik akan dipersamakan dengan
cara yang serupa dengan bukti-bukti lainnya. Hal ini juga mengakibatkan
“approved process” menjadi tidak wajib, namun penggunaannya tentu sangat
membantu dalam hal terdapat bukti elektronik yang diajukan dengan
mengandalkan asumsi.
Adapun apabila mengacu pada ketentuan mengenai tata cara pembuktian
biasa sendiri, para pihak diwajibkan untuk mempersiapkan dokumen maupun
bukti-bukti tertulis, serta saling tukar menukar affidavit, yakni sebuah pernyataan
tertulis di atas sumpah oleh pembuatnya, di hadapan penguasa yang berwenang.34
Affidavit ini sendiri kemudian dipertukarkan oleh para pihak sebelum dimulainya
pemeriksaan perkara. Selanjutnya, kecuali apabila beban pembuktian terdapat
pada tergugat, sebelum dimulai persidangan, kuasa hukum penggugat akan mulai
membuka kasus yang diajukannya dengan mengirimkan bukti-bukti tersebut ke
pengadilan dan membawa saksi-saksi yang akan diajukan oleh penggugat serta
membawa para saksi yang juga ia ajukan ke hadapan persidangan untuk diperiksa
dan para saksi penggugat kemudian akan memberikan keterangan.35 Tahapan
tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi tergugat dan
pemeriksaan silang serta pemeriksaan kembali bukti-bukti yang diajukan oleh
kedua pihak.36 Kesimpulan penutup, baik secara lisan maupun tertulis, akan
dilakukan setelah saksi dari kedua belah pihak telah selesai memberikan
keterangan.
34
IPM Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2000)
35
Efa Laela Fakhriah, "Selayang Pandang Tentang Hukum Acara Perdata Singapura",
www.pustakaunpad.ac.id, diakses pada 22 Oktober 2021.
36
Ibid.
2.5 Penerapan Pembuktian Elektronik dalam E-Court dan E-Litigation Pada
Studi Kasus Putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2020/PN Mbn Pengadilan Negeri
Muara Bulian
Originalitas sebuah bukti digital harus terlebih dahulu dibuktikan oleh
seorang ahli seperti seorang digital forensik. Menurut Rubi Alamsyah seorang
pakar digital forensik Indonesia, suatu alat bukti elektronik dianggap sah jika telah
dinilai kondisi dan integritasnya, diuji relevansinya terhadap fakta, diperiksa
kesesuaian dengan laporan, berperan dalam kronologis perkara, berkaitan dengan
bukti lain dan kesaksian dan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.37
Dalam lingkup e-court dan e-litigation acara perdata, alat-alat bukti berupa
dokumen-dokumen atau tanda tangan akan diunggah ke dalam sistem yang
kemudian akan diverifikasi keasliannya dalam suatu sidang tatap muka, sehingga
keabsahan dari alat bukti tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh para pihak
yang sedang berperkara.38
Di dalam Putusan Nomor 13/Pdt.G.S/2020/PN Mbn, Penggugat mengajukan
gugatan sederhana tertanggal 6 November 2020 terhadap Tergugat I dan Tergugat
II melalui mekanisme e-court dan e-litigation. Demi menguatkan gugatannya,
Penggugat mengajukan 10 alat bukti yang terdiri dari 8 alat bukti fotokopi surat
dan dokumen serta 2 alat bukti asli print out dokumen.
Mengenai kedudukan alat bukti berupa fotokopi dari dokumen, Mahkamah
Agung (MA) memberikan penegasan melalui Putusan MA Nomor 3609
K/Pdt/1985, bahwa surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak
pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti. Dalam
perkara a quo, Penggugat kemudian menunjukkan surat dan dokumen aslinya
untuk dicocokkan pada persidangan sehingga Majelis Hakim menerima
kesembilan alat bukti fotokopi tersebut. Kemudian, Penggugat juga mengajukan 2
(dua) alat bukti print out asli berupa payoff dan rekening koran. Adapun payoff
dan rekening koran tergolong ke dalam dokumen elektronik yang dimaksudkan
37
Perkuliahan Hukum Acara Pidana oleh Ibu Flora Dianti tentang “Perbandingan
Electronic Evidence” pada 28 April 2021.
38
Dewi Asimah, “Menjawab Kendala Pembuktian dalam Penerapan Alat Bukti
Elektronik”, Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3, No. 2, 2020, 97–110, hlm. 106.
oleh UU ITE sehingga print out kedua dokumen tersebut merupakan alat bukti
yang sah karena merupakan perluasan dari alat bukti surat.
Demikian, terhadap kedudukan alat bukti elektronik yang diajukan pada
kasus ini telah secara sah dan diakui, serta dapat dipergunakan selama
persidangan secara online (e-court dan e-litigation).
BAB 3
Penutup
3.1 Simpulan
Uraian pembahasan diatas menerus pada kesimpulan sebagai berikut: 1)
Pengaturan terhadap alat bukti elektronik telah diatur melalui UU ITE, yang
secara khusus mengatur tentang bukti elektronik. Dalam Pasal 5 UU ITE,
dikatakan secara tegas bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dan hasil
cetakannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah
dan pengaturan ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia; 2) Dalam praktiknya masih terdapat
kendala-kendala terhadap penerapan alat bukti elektronik seperti (a) Belum
diaturnya alat bukti elektronik dalam hukum acara. (b) Tata cara penyerahan dan
cara memperlihatkan alat bukti elektronik (c) Autentikasi alat bukti elektronik dan
Tanda tangan elektronik. Kendala - kendala tersebut juga ditemukan dalam
pengaturan alat bukti elektronik di Singapura, meskipun alat bukti elektronik telah
diakui dapat digunakan dimuka pengadilan, dalam praktiknya alat bukti elektronik
tidak dianggap sama dengan alat bukti elektronik yang lain.
3.2 Saran
Diperlukannya pembaharuan Hukum Acara sesuai dengan perkembangan
teknologi untuk mengatasi kendala-kendala penerapan alat bukti elektronik,
pembaharuan Hukum Acara tersebut dilakukan dengan mengatur secara tegas
mengenai alat bukti elektronik. Dalam menjawab perkembangan teknologi yang
cepat sebaiknya pengaturan terhadap alat bukti yang semula diatur secara limitatif
dan berurutan dalam satu pasal, menjadi diatur secara terbuka dan terpisah dalam
beberapa pasal tersendiri, dan hanya memberikan batasan dan persyaratan tentang
alat bukti tersebut. Dengan demikian hakim tidak lagi terikat pada alat-alat bukti
yang sudah disebutkan dalam undang-undang saja untuk memeriksa dan memutus
suatu perkara, namun dimungkinkan diterimanya alat bukti yang tidak diatur
dalam hukum acara dan diserahkan kepada hakim untuk menerimanya. Karenanya
melalui perubahan Hukum Acara, diharapkan dapat terjadi perubahan dalam
sistem pembuktian, dari yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad Aang, Ummi Maskanah. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik (Class
Action, Gugatan Sederhana, E-court dan E-litigasi). Jakarta: Logoz Publishing,
2020.
BA, IPM Ranuhandoko. Terminologi Hukum Inggris-Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2000.
Mahkamah Agung. Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Jakarta, 2010.
Pangaribuan Aristo M. A., et al., Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: PT Raja
Grafindo Pers, 2017.
Artikel, Jurnal
Asimah, Dewi. “Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti
Elektronik.” Jurnal Hukum Peratun Vol.3, No.2 (2020). Hlm. 99.
Berutu, Lisfer. “Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dengan
e-Court.” Jurnal Ilmiah Dunia Hukum Vol. 5 Nomor 1 (Oktober 2020). Hlm 46.
Heng, Tan Boon. “E-Litigation: The Singapore Experience.” The Singapore Law
Gazette (November 2011). Hlm. 1.
Kurniawan, M. Beni. “Implementation of E-Litigation on the Civil Cases in Indonesia
Court as Legal Renewal of Civil Procedural Law.” Jurnal Hukum dan Peradilan
Vol. 9 (2020). Hlm. 66-76.
Leong, Ow Yong Tuck. “Access to Justice and Innovative Court Solutions for
Litigants-in-Person.” International Journal on Online Dispute Resolution 2018
Vol. 5 (2018). Hlm. 9-19.
Makarim, Edmon. “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi
Pemerintahan Dan Pemerintahan Publik.” Jurnal Hukum dan Pembangunan
No.4 (2015). Hlm. 518.
Mubarok, Mohammad Zakky. “Alat Bukti Elektronik Sebagai Bukti Perceraian Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik.” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2019). Hlm. 42.
Rajah & Tann LLP. “Changes To The Evidence Act.” Jurnal Rajah Tann, 2012. Hlm.
1-5.
Wahyudi, Johan. “Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian Di
Pengadilan.” Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (Mei 2012).
Hlm. 123.
Peraturan Perundang-Undangan
Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui [Herzien Inlandsch Reglement]. Diterjemahkan
oleh R. Soesilo. Bogor: Politeia, 1985.
Indonesia. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU Nomor 11
Tahun 2008, LN No.58 Tahun 2008, TLN No.4843.
Indonesia. Undang-Undang Bea Meterai. UU No. 10 Tahun 2020, LN. No. 240 Tahun
2020, TLN No. 6571.
Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Administrasi
Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Perma No. 1 Tahun
2019.
Putusan Pengadilan
Dokumen Internasional
Supreme Court Singapore. Supreme Court Practice Directions (Amendment No.6 of
2021).
Singapore. Evidence Act. Amendment No. 4 of 2012.
Internet
Bisnis.com. “Resmi Diluncurkan, Ini Kelebihan Meterai Elektronik atau e-Meterai.”
https://ekonomi.bisnis.com/read/20211004/9/1450103/resmi-diluncurkan-ini-kel
ebihan-meterai-elektronik-atau-e-meterai. Diakses pada 28 Oktober 2021
CrimsonLogic. “About Service Bureau.”
https://www.elitigation.sg/_layouts/IELS/HomePage/Pages/AboutSB.aspx.
Diakses pada 22 Oktober 2021.