Anda di halaman 1dari 44

Tugas Kelompok

AUDIT FORENSIK DAN INVESTIGASI


“Studi Kasus Akuntansi Forensik Pada Lembaga
Pemerintahan Pusat - Kasus Korupsi E-KTP”

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Audit Forensik Dan
Investigasi yang diampu oleh Ibu Ika Maya Sari, SE., M.Si

Disusun oleh:

Kelompok 1 : Asma Idah B1C119075


Binti Siti Fatimah B1C119080
Cantika Nur Imaningsih B1C119082
Dian Nafsan Natiqah B1C119088
Jumaria B1C119117
Lin Wisly Jipu B1C119121
Mellian B1C119124

Kelas B
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Studi Kasus Akuntansi Forensik Pada Lembaga
Pemerintahan Pusat – Kasus Korupsi E-KTP” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna
untuk memenuhi tugas mata kuliah Audit Forensik dan Investigasi.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampuh


mata kuliah Audit Forensik dan Investigasi dan kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini, sehingga dapat selesai dengan tepat waktu. Semoga tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca
mengenai Studi Kasus Akuntansi Forensik Pada Lembaga Pemerintahan Pusat.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan
makalah ini.

Kendari, 28 Mei 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.............................................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................2

2.1. Identifikasi Kasus........................................................................................................................2

2.2. Wawancara Dan Interogasi..........................................................................................................4

2.3. Pengumpulan Bukti Audit..........................................................................................................19

2.4. Perkembangan Pelaksanaan Audit.............................................................................................22

2.5. Pelaporan Hasil Investigasi........................................................................................................32

BAB III PENUTUP...................................................................................................................................40

3.1. Kesimpulan................................................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di sektor publik (keuangan negara), khususnya di Indonesia, akuntansi forensik menjadi
kebutuhan besar dalam upaya memerangi pemberantasan korupsi. Seperti yang kita ketahui, Indonesia
sudah setengah abad bergulat dengan masalah korupsi. Dorongan yang kuat juga terlihat dari
Amerika Serikat melalui Foreign Corrupt Practices Act-nya dan negara OECD lainnya. Korupsi di
negara-negara yang dipimpin oleh penguasa yang diktatorial cenderung merupakan mega korupsi yang
melibatkan keluarga dan kroni mereka. Karena itu tatanan kelembagaan yang menjamin check
and balance, termasuk pemantauan pers, sangatlah penting dalam memerangi korupsi.
Peran Akuntansi forensik dalam mengungkap kecurangan di Indonesia dari waktu ke waktu
semakin terus meningkat. Akuntansi forensik banyak diterapkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) mengumpulkan bukti-bukti hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang
dilaporkan kepada instansi tersebut. Akuntansi forensik juga digunakan oleh Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK), Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta
Inspektorat Jenderal Kementrian untuk menggali informasi selama pelaksanaan audit investigasi.
Pada pembahasan kali ini terkait Studi Kasus Akuntansi Forensik Pada Lembaga Pemerintahan
Pusat, kami akan membahas mengenai kasus yang cukup menyita perhatian publik karena sudah sangat
merugikan pemerintah pusat atau negara, dimana ini dilakukan oleh salah satu tokoh atau pejabat tinggi
yang menduduki tahta tertinggi pada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat itu.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hasil identifikasi kasus yang terjadi dalam Kasus Korupsi E-KTP ?

2. Bagaiamana hasil Wawancara Dan Interogasi dalam Kasus Korupsi E-KTP ?

3. Bagaimana Pengumpulan Bukti Audit dalam Kasus Korupsi E-KTP ?

4. Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan Audit dalam Kasus Korupsi E-KTP ?

5. Bagaimana Pelaporan Hasil Investigasi dalam Kasus Korupsi E-KTP ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Identifikasi Kasus


Kasus ini berawal saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran
untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), salah satu
komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kemendagri telah menyiapkan dana
sebesar Rp 6 Triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk
Kependudukan (NIK) Nasional dan dana senilai Rp 258 Milyar untuk biaya pemutakhiran data
kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota
se-Indonesia. Prosedur pembuatan KTP elektronik yakni perekaman data penduduk dengan
menunjukkan KTP lama setelah itu tinggal menunggu hingga proses selesai dan e-KTP bisa
diambil di dinas pencatatan sipil. Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai di
tahun 2013. Proyek e-KTP sendiri merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki
sistem data kependudukan di Indonesia. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan
Komisi Pemberantasan Konupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat
itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Lelang e-KTP dimulai sejak tahun 2011, dan banyak
bermasalah karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana.

Kejanggahan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP
membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government
Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan
demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan
terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin,
Miryam S. Hani, Triyuni Soemartono, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta
bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai
penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi

2
beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR.
Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya
Novanto. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun
statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan sebagai pembuat keterangan palsu
saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh
KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara
sidang perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan
sidang yang berjalan setelah itu untuk para tersangka.

Sampai sekarang, penanganan korupsi megaproyek KTP Elektronik masih terus berjalan.
Dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis
bersalah. Mereka adalah Setya Novanto (mantan ketua DPR RI), Irman dan Sugiharto (dua
mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri), Made Oka Masagung dan Andi Naragong
(Pengusaha), Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus
keponakan Novanto), Anang Sugiana Sudiharjo (Direktur Utama PT Quadra Solution), dan
Markus Nari (mantan anggota DPR). Ada 2 tersangka lain yang divonis bersalah karena dinilai
menghalangi proses penyidikan KPK, diantaranya adalah Fredrich Yunadi (Pengacara) dan
Bimanesh Sutarjo (Dokter). Terakhir kali KPK menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi
proyek e-KTP pada Agustus 2019. Para tersangka e-KTP tersebut adalah Miryam S Haryani
(mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura), Isnu Edhi Wijaya (Direktur Utama
Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI), Husni Fahmi (Ketua
Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP) dan Paulus Tanos (Dirut PT Shandipala
Arthaputra).

2.1.1. Faktor Penyebab terjadinya korupsi


Berikut ini beberapa faktor penyebab terjadinya korupsi ditinjau dari unsur fraud triangle:
 Tekanan (Pressure): adanya tekanan finansial dari pelaku. Untuk menjadi politisi
dan duduk di kursi DPR membutuhkan biaya yang besar. Agar modal yang
dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR payback, maka dibutuhkan cara-cara instan
untuk mendapatkan keuntungan dan menutup biaya politik secara cepat. Selain itu
lifestyle dan tekanan gengsi juga menjadi pressure bagi pelaku untuk melakukan
fraud.

3
 Rasionalisasi (Rationalization): fakta mengenai banyaknya tokoh pejabat yang
memperkaya diri pada periode jabatannya dan hal ini membentuk rasionalisasi
“mereka saja melakukan, bahkan mengambil lebih banyak, mengapa saya tidak.”
Bentuk rasionalisasi lainnya adalah perbuatan fraud yang mereka lakukan bukan
untuk kekayaan pribadi melainkan untuk kepentingan partai. Jadi perbuatan itu
memang sudah wajar dan lazim terjadi dimana-mana.
 Kesempatan (Opportunity): penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki.
Setya Novanto sebagai ketua DPR merasa punya wewenang untuk menyetujui semua
program anggaran pemerintah, termasuk diantaranya adalah proyek e-ktp.

2.2. Wawancara Dan Interogasi


Selama proses investigasi E-KTP, terhitung KPK telah memeriksa ratusan saksi. Berikut
ini beberapa keterangan yang diberikan baik dari para saksi maupun pelaku yang terekspos
media:

2.2.1. Sehubungan tersangka Setya Novanto


 Kamis, 11/1/2018. Komisaris PT Berkah Langgeng, Abadi July Hira hadir dalam
sidang untuk terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Dalam sidang
tersebut, dia mengaku rekening miliknya di UOB Bank di Singapura pernah
mendapat kiriman uang dari Biomorf Mauritius. Uang yang ditransfer itu sebesar 2,6
juta dollar Amerika Serikat dari perusahaan Biomorf Mauritius. Uang itu selanjutnya
diteruskan kepada keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi. Dalam
keterangan, pengiriman uang itu dicatat sebagai pembayaran software development.
Padahal, July tidak pernah melakukan pembelian software dengan Biomorf
Mauritius. Perusahaan Biomorf Mauritius adalah perusahaan asing yang menjadi
salah satu penyedia produk biometrik merek L-1. Produk tersebut digunakan dalam
proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Perwakilan
perusahaan Biomorf tersebut adalah Johannes Marliem. Dalam fakta sidang
sebelumnya, Marliem merupakan salah satu pengusaha yang memberikan uang
kepada Setya Novanto.
 Kamis, 25 Januari 2018. Mantan Wakil Ketua Banggar DPR Mirwan Amir hadir
sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Mirwan
4
menerangkan, Banggar DPR tak pernah membahas anggaran proyek e-KTP.
Menurut dia, Banggar DPR hanya membahas soal Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Sepengetahuan Mirwan, pembahasan anggaran proyek e-
KTP dilakukan oleh Komisi Pemerintahan DPR dan Kemengari sebagai perwakilan
pemerintah. Sebab, wewenang pembahasan anggaran ada di dua instansi tersebut.
Mirwan mengatakan pimpinan Banggar tak bisa mengintervensi anggaran e-KTP.
 Kamis, 25 Januari 2018. Mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman
bersaksi pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta pusat. Irman tak
membenarkan pernyataan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong ihwal
pertemuannya dengan Setya. Menurut Irman, dirinya mengenal Setya Novanto
melalui perantara Andi. Irman memaparkan, saat pertama kali bertemu Andi di
ruang kerjanya, Andi hendak memperkenalkanya dengan Setya. Hal itu untuk
membahas proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Adapun Andi
menyatakan agar Irman tak khawatir dengan persoalan uang. Sebab, Andi akan
memfasilitasi keperluan dana yang diperlukan Irman. Agar kucuran dana mulus,
Irman harus diperkenalkan dulu dengan Setya Novanto. Andi juga menyebutkan,
Setya adalah pemegang kunci atau penentu anggaran proyek e-KTP.
 Kamis, 1 Februari 2018. Mantan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Chairuman Harahap bersaksi untuk tersangka Setya Novanto di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Keterangan yang disampaikan Chairuman
berbeda dengan Mirwan. Chairuman menyampaikan, banggar DPR memiliki peran
dalam penyusunan anggaran proyek e-KTP. Menurutnya, pemerintah melalui
kementerian dalam negeri (kemendagri) memang mengajukan pagu anggaran ke
DPR terlebih dulu. Anggaran untuk proyek-proyek besar dibahas di Komisi II
DPR. Adapun Komisi II DPR menyetujui anggaran tersebut. Baru setelahnya
anggaran e-KTP dibahas di banggar. Banggar bisa menolak usulan Komisi II. Tak
hanya itu, Chairuman juga membantah kesaksian Mantan Direktur Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman yang
mengaku ditelepon Chairuman guna menanyakan soal fee lima persen untuk
anggota dewan yang bakal turut menikmati aliran dana e-KTP. Menurut
Chairuman, tak pernah juga Setya meminta bantuan mengenai proyek e-KTP.

5
 Kamis, 1 Februari 2018. Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta
hadir dalam sidang kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-
KTP) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, dengan terdakwa Setya Novanto. Setya Budi
Arijanta menegaskan banyak penyimpangan dalam proyek pengadaan e-KTP.
Karena itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang saat itu menjabat
Kepala LKPP, Agus Rahardjo, memutuskan instansinya mengundurkan diri dan tak
lagi mendampingi Kementerian Dalam Negeri terkait dengan proyek e-KTP.
Menurut Budi, pelanggaran dalam proyek e-KTP antara lain aspek pemaketan,
penyusunan dokumen tidak kualitatif, dan menggunakan kontrak lump sum.
Padahal proyek e-KTP seharusnya menggunakan kontrak harga satuan. Menurut
Budi, tidak ada perusahaan pemenang lelang yang memenuhi syarat teknis. Tak
hanya itu, ada penyimpangan dalam proses lelang. Kementerian Dalam Negeri tak
melewati mekanisme lelang dalam mencari perusahaan pemenang proyek.
 Kamis, 22 Februari 2018. Anang Sugiana hadir menjadi saksi atas tersangka Setya
Novanto. Anang Sugiana mengakui ada aliran dana proyek e-KTP yang masuk ke
kantong anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Anang, pembayaran
ke anggota DPR diatur oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang
merupakan terpidana korupsi e-KTP.
2.2.2. Sehubungan tersangka Irman dan sugiharto
 Senin, 19/9/2016. Irman sempat diperiksa sebagai saksi oleh KPK untuk tersangka
bekas Pejabat Pembuat Komitmen Dirjen Dukcapil Sugiharto. Irman mengklaim,
tidak ada kejanggalan yang terjadi dalam proses pengadaan proyek E-KTP. Ia
menyatakan proyek sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ia menyebut,
pengadaan proyek merupakan kesepakatan antara pemerintah dengan Komisi II DPR.
 Kamis, 16/3/2017. Diah Anggraeni hadir dalam sidang kasus korupsi proyek e-
KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Ada beberapa informasi menarik
yang dibeberkan oleh Diah. Diah Anggraeni mengaku menerima aliran dana 500 ribu
dolar AS atau setara Rp 4,5 miliar dari terdakwa Irman dan pengusaha Andi
Agustinus (Andi Narogong). Menurut Diah Anggraeni, uang diberikan secara
bertahap pada 2013. Pertama, terdakwa Irman menyerahkan uang 300 ribu dolar AS

6
dan kemudian 200 ribu dolar AS dari Andi Narogong. Uang 300 ribu dolar AS yang
diantar sendiri oleh Irman diterima Diah Anggraeni di rumahnya. Namun menjawab
pertanyaan Ketua Majelis Hakim Jhon Hasalan Butar Butar, Diah mengaku tidak
tahu menahu mengenai asal muasal uang itu. Usai menerima uang dari Andi, Diah
kemudian menghubungi Irman terkait uang 300 ribu dolar AS. Menurut Diah, Irman
hanya menjawab jika ingin mengembalikan uang itu maka sama dengan bunuh diri.
Diah Anggraeni pada akhirnya tidak pernah mengembalikan uang tersebut kepada
Andi Narogong dan Irman. Diah berdalih hanya menyimpan uang tersebut selama
hampir setahun dan kemudian diserahkan kepada KPK setelah Diah diperiksa
penyidik. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Diah Anggraini menerima uang 2,7
juta dolar AS (setara Rp 24,5 miliar) dan Rp 22,5 juta. Jumlah suap dalam surat
dakwaan jauh lebih besar dari yang diakui Diah Anggraeni, 500 ribu dolar AS. Diah
juga beralasan sibuk ketika ditanya kenapa tidak segera mengembalikan uang
tersebut dan hanya menyimpan uang tersebut dalam jangka waktu kurang dari 1
tahun. Diah mengaku baru mengetahui uang yang diterima tersebut berkaitan dengan
pengadaan KTP elektronik saat dipanggil penyidik KPK. Diah juga mengungkapkan
pesan rahasia Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di
DPR. Novanto minta Diah mewanti-wanti Irman agar mengaku tidak mengenal
dirinya. Permintaan tersebut disampaikan Novanto saat bertemu Diah di acara
pelantikan Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
 Kamis, 16 Maret 2017. Terdakwa korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik
(e-KTP) Irman menyanggah kesaksian mantan Sekretaris Jenderal Kementerian
Dalam Negeri, Diah Anggraini, dalam sidang korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Irman mengatakan beberapa keterangan Diah tidak benar dan sangat
merugikannya. Irman membeberkan kesaksian Diah yang dianggapnya tidak benar
adalah soal keinginan Diah mengembalikan uang US$ 300 ribu (sekitar Rp 4 miliar).
Sebelumnya, Diah mengaku diberi Irman senilai tersebut namun dikembalikan
seminggu setelahnya, yakni pada 2013. Menurut Irman, Diah menerima uang itu
pada 2012 dan berniat mengembalikannya pada 2014. Irman mengatakan keinginan
Diah untuk mengembalikan uang itu terjadi setelah Sugiharto, mantan Direktur
Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil

7
Kementerian Dalam Negeri, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Hal ini, kata Irman, diperkuat oleh pernyataan Diah yang
pernah meminta Sugiharto menghadapnya setelah diperiksa KPK pada 2014.
Pernyataan Diah lain yang disanggah oleh Irman adalah soal kedekatannya dengan
Andi Agustinus alias Andi Narogong, penyelenggara pengadaan proyek e-KTP. Saat
bersaksi, Diah mengatakan Irman lebih dekat dengan Andi. Irman mengatakan
sebetulnya Diah yang lebih dekat dengan Andi. Ia mengatakan bahwa Diah pernah
meneleponnya dan mengatakan bahwa Andi adalah orang baik yang bisa pegang
komitmen padahal saat itu ia baru kenal dengan Andi. Selain itu, Irman juga
membantah pertemuan di Hotel Sultan yang dihadiri oleh Ketua Komisi II
Chairuman Harahap, Irman, Sugiharto, dan Diah. Menurut dia, pertemuan itu hanya
dihadiri tiga orang saja. Chairuman tak ikut dalam pertemuan seperti yang disebutkan
Diah. Keterangan Diah yang merugikan Irman lainnya adalah soal pesan Ketua DPR
Setya Novanto yang dititipkan ke biro hukum Kementerian Dalam Negeri Zudan
Arif Fakrulloh. Pesan yang dimaksud adalah permintaan Setya kepada Irman agar
mengatakan tidak kenal dengannya jika ditanya oleh KPK. Selanjutnya, Irman juga
menyangkal pernyataan Diah yang mengatakan bahwa untuk usulan konsep tahun
jamak (multiyears) proyek e-KTP, Irman menyampaikannya langsung kepada
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tanpa melalui Diah. Padahal, kata dia,
sebelum menghadap Gamawan dia lebih dulu menghadap Diah. Terakhir, kesaksian
Diah yang dianggap merugikan adalah pernyataan bahwa Irman sering meminta uang
kepada Andi untuk diberikan kepada Gamawan Fauzi. Ia mengatakan bahwa
kesaksian Diah ini sangat keji dan menyangkal hal tersebut. Diah masih tetap pada
kesaksiannya meski telah mendengar sanggahan Irman. Namun, ada satu hal yang ia
klarifikasi yakni terkait dengan kehadiran Chairuman dalam pertemuan di Hotel
Sultan.
 Senin, 22 Mei 2017. Junaidi hadir sebagai saksi dalam sidang e-KTP di Pengadilan
Tipikor Jakarta. Bendahara pembantu proyek pengadaan kartu tanda penduduk
elektronik (e-KTP) itu menuturkan pernah dimintai oleh terdakwa kasus e-KTP
Irman untuk membuat laporan fiktif perihal dana talangan supervisi di proyek
tersebut. Menurut Junaidi, surat kesaksian itu dibuat berdua dengan Suciati. Namun

8
ia tak mengetahui maksud dari Irman meminta untuk membuat kesaksian tersebut.
Diduga kesaksian itu menjadi bukti saat pemeriksaan di KPK. Saat itu Junaidi
mengatakan dalam pertemuan di rumah Irman, ada Suciati yaitu staf dari Irman.
Menurut dia, Irman meminta agar memberi kesaksian di KPK seolah-olah
menerima uang dalam bentuk dolar. Padahal ia memastikan tidak pernah menerima
uang berkaitan dengan proyek e-KTP dalam bentuk valuta asing. Sementara itu
Irman membenarkan bahwa ada dana talangan untuk tugas supervisi proyek e-KTP.
Namun ia meluruskan bahwa uang dalam bentuk dolar memang tidak diserahkan
kepada Junaidi, tetapi ke Suciati.
 Senin, 22 Mei 2017. Endah Lestari hadir sebagai saksi atas tersangka Irman dan
Sugiharto. Endah yang saat itu menjadi Panitia pemeriksa dan penerimaan barang
mengaku diminta oleh Irman menyatakan dalam berita acara pemeriksaan (BAP)
bahwa pencetakan blangko e-KTP sebanyak 145 juta keping. Jumlah itu berbeda jauh
dengan fakta di lapangan yang hanya mencapai 122 juta keping. Saksi lainnya adalah
Junaidi, Kasubag Perbendaharaan Sesditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri.
Menurut pengakuan Junaidi, ia diperintah Sugiharto untuk memusnahkan berkas-
berkas terkait proyek e-KTP saat KPK menggeledah kantornya. Dalam proyek ini,
Junaidi merupakan bertugas mengurusi dokumen pengeluaran dan pemasukan selama
proyek e-KTP berlangsung. Junaidi mengaku berkas yang dibakarnya itu adalah
catatan penerimaan dan pengeluaran di luar yang berasal dari pagu anggaran resmi
untuk proyek e-KTP. Junaidi juga mengaku membuat Surat Pertanggungjawaban
(SPJ) fiktif dalam pembukuan anggaran proyek ini. SPJ fiktif itu dibuat karena
Sugiharto belum mengembalikan uang Rp2,5 miliar yang dipinjam. Uang itu diambil
dari dana pagu yang tersimpan di brankas dan pinjaman bendahara. Hingga
menjelang tutup buku, uang tersebut tidak juga dikembalikan Sugiharto.
 Senin, 12/6/2017. Dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta, Dua terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi KTP-
Elektronik mantan dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)
Kemendagri Irman dan mantan direktur Pengelolaan Informasi Administrasi
Kependudukan (PIAK) Dukcapil Sugiharto mengaku mengembalikan uang. Mereka
juga mengaku menyesali perbuatannya dalam proyek tersebut. Irman juga mengaku

9
menyesali perbuatannya menerima uang dan mengikuti intervensi pihak luar untuk
mengawal konsorsium dalam pengadaan KTP-E.
 Jumat, 15/9/2017. Diah Anggraini hadir sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan
Tipikor, Jakarta Pusat. Diah sempat berkata dikorbankan oleh Irman untuk
melindungi seseorang saat menjadi saksi terdakwa korupsi pengadaan e-KTP Andi
Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
Jakarta Pusat. Namun, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri
tersebut enggan menyebutkan nama orang yang diduga dilindungi oleh Irman.
2.2.3. Sehubungan tersangka Made Oka Masagung
 Selasa, 7 Agustus 2018. Manager Country Enterprises Hewlett Packard (HP), Charles
Sutanto Ekapradja, menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi proyek e-KTP untuk
terdakwa Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Charles mengaku tiga
kali bertemu dengan Setya Novanto untuk membahas proyek e-KTP. Pertemuan itu
dijembatani oleh Made Oka Masagung.
 Rabu, 21/11/2018. Dalam sidangnya sebagai terdakwa di Pengadilan tipikor Jakarta,
Made Oka Masagung membantah menjadi perantara suap ke mantan anggota DPR
RI, Setya Novanto senilai USD 3,8 juta. Made mengaku bahwa dirinya tidak pernah
terlibat pertemuan di ruko fatmawati, proses lelang, hingga pemenang lelang. Made
juga meminta majelis hakim mempertimbangkan sikap kooperatifnya yang
memberikan surat kuasa ke penyidik untuk menelusuri aliran uang USD 3,8 juta.
2.2.4. Sehubungan tersangka Andi Narogong
 Jumat, 13 Oktober 2017. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dalam
kapasitasnya sebagai Mantan Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR hadir
sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus e-KTP untuk terdakwa Andi Narogong.
Ganjar Pranowo menceritakan pengalamannya saat ditawari goodie bag berisi uang
oleh seorang laki-laki di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Ganjar,
goodie bag tersebut diberikan setelah dia menghadiri rapat di Komisi Pemerintahan
DPR terkait dengan anggaran proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. 
 Kamis, 13/4/2017. Staf pusat Teknologi Informasi dan Penerapan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Sampurno hadir sebagai saksi terhadap
tersangka Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam kesaksiannya,

10
Tri mengaku sempat diberi uang dari Vidi Gunawan, adik tersangka korupsi e-
KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong. Uang sebesar Rp 2 juta itu diberikan saat
keduanya berada dalam sebuah taksi.
 Kamis, 30/11/2017. Dalam sidang pemeriksaan terdakwa yang dilaksanakan di
Pengadilan tipikor Jakarta, Andi mengakui beberapa hal:
1) Andi Akui ada "mark up" dan kerugian negara dalam proyek e-KTP
Andi mengakui bahwa benar telah terjadi penggelembungan nilai (mark up)
dalam proyek pengadaan e-KTP. Menurut Andi, mark up tersebut merupakan
kerugian negara.
2) Andi sebut adik Gamawan Fauzi dapat ruko dari proyek e-KTP
Andi menyebut bahwa uang korupsi proyek e-KTP mengalir kepada anggota
DPR dan pejabat di Kementerian Dalam Negeri. Salah satu yang ikut
menerima jatah dalam bagi-bagi fee tersebut adalah Azmin Aulia yang
merupakan adik kandung mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Menurut Andi, Azmin diberikan sebuah ruko di Grand Wijaya, Kebayoran,
Jakarta Selatan. Ruko tersebut diberikan kepada Azmin oleh Direktur Utama
PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos.
3) Jatah untuk Setya Novanto dan DPR 7 juta dollar AS
Andi memastikan Setya Novanto dan anggota DPR lain sudah menerima uang
7 juta dollar Amerika Serikat. Pemberian itu merupakan kesepakatan bahwa
DPR akan menerima fee dari pengusaha sebesar 5 persen.
4) Jatah untuk Setya Novanto lewat Made Oka Masagung
Awalnya, menurut Andi, konsorsium pelaksana e-KTP dipersulit pihak
Kementerian Dalam Negeri. Konsorsium tidak diberikan uang muka untuk
menjalankan proyek. Setelah mendengar keluhan itu, kata Andi, Setya Novanto
mengatakan bahwa para pengusaha akan dikenalkan dengan temannya, Made
Oka Masagung. Menurut Andi, Setya Novanto memperkenalkan Oka
Masagung sebagai orang yang punya jaringan luas di bidang perbankan.
Namun, selain mengenai masalah uang muka proyek, menurut Andi, Setya
Novanto juga meminta agar fee untuk dirinya dan DPR diberikan melalui Oka
Masagung.

11
5) Chairuman Harahap dan Setya Novanto menagih uang untuk DPR
Andi menyebut Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap dan Ketua Fraksi
Golkar Setya Novanto menagih uang untuk dibagikan kepada anggota DPR.
Uang tersebut sebagai bentuk komitmen para pengusaha yang mengerjakan
proyek e-KTP. Penagihan itu dilakukan di Equity Tower, SCBD, Jakarta.
Pertemuan itu juga dihadiri pengusaha Paulus Tanos.
6) Adik Gamawan Fauzi salah satu kunci dalam proses lelang e-KTP
Andi menyebut bahwa Azmin Aulia adalah salah satu kunci penentu pemenang
lelang dalam proyek e-KTP. Azmin merupakan adik kandung Gamawan Fauzi
yang saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri. Azmin memiliki kedekatan
dengan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos.
7) Setya Novanto dapat jam tangan seharga 135.000 dollar AS
Andi mengaku pernah memberikan jam tangan Richard Mille seharga 135.000
dollar AS kepada Setya Novanto. Jam tangan tersebut merupakan hadiah ulang
tahun Setya Novanto. Selain itu, Andi mengakui bahwa hadiah arloji mewah
tersebut sekaligus ucapan terima kasih atas bantuan Setya Novanto yang telah
meloloskan anggaran proyek pengadaan e-KTP di DPR. Pembelian jam tangan
itu dilakukan Andi bersama Johannes Marliem.
8) Uang kepada Setya Novanto diputar ke Singapura
Andi mengakui bahwa uang untuk Setya Novanto lebih dulu dikirim ke
rekening perusahaan milik Oka Masagung di Singapura. Uang tersebut berasal
dari PT Quadra Solutions yang diwakili Anang Sugiana Sudihardjo dan PT
Biomorf yang diwakili Johannes Marliem.
9) Pertemuan di rumah Setya Novanto Dalam persidangan
Andi menyebut ada beberapa kali pertemuan di kediaman Setya Novanto.
Pertemuan itu dihadiri sejumlah pengusaha, salah satunya yang juga keponakan
Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi. Tidak cuma soal pembagian fee.
Menurut Andi, pertemuan itu sampai membicarakan hal-hal teknis dalam
pengadaan barang dan jasa untuk proyek e-KTP.

12
10) Setya Novanto kembalikan jam tangan Pada awal 2017
Setya Novanto mengembalikan jam tangan Richard Mille seharga 135.000
dollar AS kepada Andi Narogong. Jam tangan tersebut dikembalikan saat kasus
korupsi proyek pengadaan e-KTP ramai dibicarakan publik.
2.2.5. Sehubungan tersangka Irvanto Hendra Pambudi Cahyo
 Selasa, 7/8/2018. Pengusaha PT Media Solutions, Muda Ikhsan Harahap, bersaksi
dalam sidang terdakwa Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta.
Muda Ikhsan mengatakan pernah menerima uang dari keponakan Setya Novanto,
Irvanto Hendra Pambudi. Saat itu, keponakan Setya Novanto tersebut menerima uang
transfer dari pihak lain melalui dirinya. Dia mengaku menerima uang dari Irvanto
untuk digunakan buat ongkos naik pesawat menuju Singapura dan Jakarta. Selain itu
ia juga mengaku sudah mengembalikan uang SGD 1.700 ke KPK. Uang tersebut
diperoleh dari proyek e-KTP.
 Selasa, 18/9/2018. Keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo,
menegaskan pengakuannya pernah menyerahkan langsung duit korupsi proyek e-
KTP dalam persidangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia mengaku memberikan
duit kepada tujuh anggota DPR. Dalam persidangan, Irvanto menyebut tujuh orang
itu adalah Melchias Markus Mekeng, Markus Nari, Chairuman Harahap, Ade
Komarudin, Agun Gunadjar Sudarsa, Jafar Hafsah, dan Nurhayati Assegaf.
Semuanya gabungan dolar Singapura dan Amerika dengan total 4,9 juta. Besaran
uang yang diberikan berbeda-beda. Berikut rincian duit yang dipaparkan Irvanto:
1) Melchias Markus Mekeng dan Markus Nari SGD 1 juta
2) Chairuman Harahap USD 1,5 juta
3) Ade Komarudin USD 700 ribu
4) Agun Gunandjar Sudarsa USD 1,5 juta
5) Jafar Hafsah USD 100 ribu
6) Nurhayati Assegaf USD 100 ribu
Irvanto kemudian memerinci satu per satu saat mengirimkan uang itu. Untuk
Melchias dan Markus, Irvanto memberikannya di ruangan Novanto, sedangkan jatah
Chairuman diserahkannya di Hotel Mulia. Lalu untuk Ade Komarudin, Irvanto

13
mengaku memberikan langsung di ruangan politikus Partai Golkar itu. Sedangkan
bagian Agun diberikan Irvanto di Senayan City dan kompleks DPR, Kalibata, Jakarta
Selatan. Untuk Jafar Hafsah, Ia mengaku mengantarkan uang tersebut keruangannya.
Namun Made Oka, yang juga duduk sebagai terdakwa, mengaku tidak pernah
mengantarkan uang langsung ke DPR. Jafar, yang dihadirkan sebagai saksi dalam
perkara itu, pun membantah. Ia mengaku tidak menerima apapun bahkan tak
mengenal Irvanto. Nama-nama yang disebut Irvanto itu sebelumnya juga membantah
hal tersebut. Mereka juga sudah pernah diperiksa KPK di tingkat penyidikan dan
hingga kini statusnya sebagai saksi.
 Selasa, 18/9/2018. Setya Novanto bersaksi untuk Irvanto dalam sidang di Pengadilan
Tipikor Jakarta. Setya Novanto menyebut nama-nama anggota DPR penerima aliran
duit korupsi proyek e-KTP. Menurut Novanto, orang-orang itu menerima duit yang
diberikan langsung melalui keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo. "Kalau
boleh saya sebutkan adalah yang pertama diberikan kepada Chairuman (Harahap)
USD 500 (ribu), kepada Pak Jafar (Hafsah) ini 100 (ribu USD), kepada Akom (Ade
Komaruddin) adalah 700 (ribu USD), dan kepada Agun (Gunandjar Sudarsa) adalah
1 juta (USD), dan kepada Melchias Mekeng dan Markus Nari, ini diberikan di
ruangan saya, ruangan Ketua Fraksi, di mana Saudara Irvan (Irvanto) ini memberikan
atas perintah Saudara Andi (Agustinus alias Andi Narogong), ini memberikan 1 juta
(USD). Ini totalnya 3,2 (juta USD). Ini yang dituduhkan pada saya," kata Novanto.
Kemudian Novanto menyampaikan Irvanto tidak pernah menerima untuk dirinya
sendiri. Dia malah kemudian menyebutkan beberapa nama lagi yang disebut
menerima duit e-KTP. Hal itu diketahuinya pada konfrontasi dengan Irvanto untuk
pertama kalinya dengan KPK.
 Selasa, 25/9/2018. Andi Nagorong bersaksi dalam sidang Irvanto di Pengadilan
Tipikor Jakarta. Ia membantah tuduhan koruptor e-KTP Setya Novanto yang
mengatakan bahwa keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, membagikan
uang ke para anggota DPR atas perintah Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi
juga merupakan terpidana dalam perkara tersebut. Justru sebaliknya, menurut Andi,
Novanto yang memerintahkan keponakannya itu membagikan uang ke para anggota
DPR. Selain itu, Andi juga berargumen bila uang yang dibagikan ke para anggota

14
DPR itu berasal dari konsorsium. Sedangkan, uang yang didapatnya dari proyek
diserahkan pada Irman dan Sugiharto. Dalam persidangan 14 April 2018, Novanto
mengaku pernah bertanya ke Irvanto soal bagi-bagi duit ke anggota dewan. Novanto
mengatakan bila Andi yang memerintah Irvanto membagikan uang e-KTP.
 Rabu (21/11/2018), Irvanto membacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam sidang
di Pengadilan Tipikor Jakarta. Keponakan Setya Novanto itu mengakui kesalahannya
telah menjadi perantara atau kurir aliran duit korupsi dari proyek e-KTP. Irvanto pun
berharap hukumannya bisa diperingan.
2.2.6. Sehubungan tersangka Anang Sugiana Sudiharjo
 Senin, 25/9/2017.Willy Nusantara Joan hadir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta sebagai saksi. Willy mengaku, Anang melalui Multikom --perusahaan milik
Anang di Singapura, pernah mengirim 2 juta dolar AS ke salah satu perusahaan Oka.
Uang itu untuk membeli saham Neural Pharmaceutical, salah satu perusahaan
farmasi. Namun Willy mengaku transaksi tersebut akhirnya dibatalkan, lantaran
perusahaan tersebut mengalami kendala di proses uji coba obat. Sehingga, Oka
akhirnya mengembalikan uang ke Anang sebesar 1,85 juta dolar AS. 
2.2.7. Sehubungan tersangka Markus Nari
 Senin, 9/7/2018. Mantan anggota DPR Abdul Malik Haramain diperiksa penyidik di
gedung KPK. Abdul menerangkan penyidik KPK bertanya tentang tersangka kasus
proyek e-KTP Markus Nari. Ia mengaku tidak mengetahui permintaan uang terkait
proyek pengadaan e-KTP, tetapi tidak menjelaskan secara terperinci keterangan yang
disampaikan kepada penyidik KPK itu.
 Selasa, 10/7/2018. Mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap mengaku
diperiksa penyidik KPK soal penganggaran e-KTP. Dia mengatakan tak ada
keterangan baru yang disampaikan terkait proses e-KTP. Dia mengatakan saat
pembahasan anggaran tak ada permintaan uang dari anggota DPR kepada
Kemendagri. Chairuman juga mengaku tak tahu soal aliran dana yang disebut
diterima sejumlah anggota DPR
 Jumat, 13/7/2018. Mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati diperiksa sebagai saksi
kasus dugaan korupsi e-KTP dengan tersangka Markus Nari. Dia mengaku ditanyai
soal posisi Markus di Komisi II DPR. Ia mengaku bertugas di Komisi II pada 2009-
15
2010. Dia juga mengatakan masih sempat mengikuti dan tahu pembahasan e-KTP di
komisi tersebut. Namun dia mengatakan tak tahu soal ada-tidaknya pembagian uang
terkait proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Wa Ode mengaku sudah pindah dari
Komisi II saat pembahasan anggaran e-KTP pada 2010-2011.
 Rabu, 8/5/2019. Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi
diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka dugaan korupsi e-KTP Markus Nari.
Gamawan mengaku ditanya soal Markus Nari. Ia mengaku kenal dengan Markus di
DPR, tapi tidak pernah berbicara dengan Markus. Gamawan juga menjelaskan
anggaran untuk proyek e-KTP. Dia mengatakan tak ada penambahan anggaran per
tahun karena proyek tersebut memang dikerjakan multiyears.
 Jumat, 10/5/2019. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memenuhi panggilan
KPK. Ganjar diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek e-KTP dengan
tersangka Markus Nari. Dia dipanggil dalam kapasitasnya sebagai mantan anggota
DPR RI. Dia mengaku ditanya soal pembahasan anggaran di DPR oleh penyidik
KPK. Ganjar, yang merupakan mantan pimpinan Komisi II DPR, menyebut
pembahasan anggaran dilakukan bersama mitra Komisi II, yaitu Kementerian Dalam
Negeri. Saat itu, kata Ganjar, ada kebutuhan untuk pencetakan e-KTP di sekitar 100
kabupaten sehingga dibutuhkan tambahan anggaran.
 Senin, 24/6/2019. Ketua Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng diperiksa
KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Markus
Nari. Dia menyebut ada dua pertanyaan baru yang diajukan penyidik kepadanya,
yaitu apakah dia mengenal Markus serta dimana lokasi rapat. Mekeng memang
pernah diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi e-KTP sebelumnya. Dia
menyebut pemeriksaannya kali ini untuk melengkapi penyidikan Markus yang segera
dilimpahkan untuk penuntutan. Selain itu, Mekeng sempat berbicara soal anggaran
proyek e-KTP yang menurutnya ditentukan oleh pemerintah. Mekeng menyatakan
DPR hanya membahas dan kemudian menyetujui anggaran itu.
 Selasa, 25/6/2019. Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly
diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka
Markus Nari. Yasonna mengaku ditanya soal risalah rapat saat dirinya duduk di
Komisi II DPR.. Selain Yasonna, mantan Anggota DPR yang juga eks Menpan-RB

16
Taufiq Effendi juga diperiksa sebagai saksi untuk Markus. Dia mengatakan dirinya
ditanya soal rapat di DPR. Dia menyatakan tak ada uang yang diberikan saat proses
pembahasan anggaran perpanjangan proyek e-KTP.
 Rabu, 2/10/2019. Dalam sidang pengadilan mantan anggota DPR Markus Nari,
terdapat beda keterangan antara 2 saksi yang terlibat. Dua saksi itu adalah Andi
Agustinus alias Andi Narogong (menyatakan tidak pernah member uang kepada
Markus) dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (menyatakan pernah memberi uang
kepada Markus). Andi merupakan pihak swasta dalam pusaran kasus itu, sedangkan
Irvanto adalah keponakan Setya Novanto yang berperan sebagai perantara aliran
uang.
 Senin,21/10/2019. Markus Nari hadir sebagai terdakwa dalam persidangan di
Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia membantah pernah menerima uang hasil korupsi
proyek e-KTP. Mantan anggota DPR itu malah mengomentari keterangan terdakwa-
terdakwa sebelumnya yang berubah-ubah. Awalnya Markus mengaku pernah
mengikuti rapat dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membahas proyek
e-KTP ketika bertugas di Komisi II DPR. Markus menyampaikan bila pembahasan
dilakukan dengan Sugiharto, mantan pejabat Kemendagri yang telah divonis dalam
kasus korupsi e-KTP tersebut.
 Senin, 28/10/2019. Markus Nari menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Eks
anggota DPR Markus Nari dituntut 9 tahun penjara karena diduga menerima uang
proyek e-KTP. Markus menyebut kasus yang dituduhkan kepadanya tak ada
buktinya.
 Senin, 11/11/2019. Markus Nari kembali menjalani sidang di Pengadilan Tipikor
Jakarta. Eks anggota DPR Markus Nari divonis 6 tahun penjara karena terbukti
melakukan pidana korupsi dengan memperkaya diri dari proyek e-KTP. Markus Nari
membantah menerima uang USD 400 ribu dan mengatakan bahwa majelis hakim
kurang mempertimbangkan banyak hal. Atas vonis penjara 6 tahun yang di berikan
oleh hakim, Markus Nari juga mengajukan upaya banding. Hal itu disampaikan
kuasa hukum Markus Tommy Sihotang.

17
2.2.8. Keterangan saksi ahli:
 Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus
Husein menyebut aktor di balik pengaturan aliran uang korupsi proyek e-KTP
mengkombinasikan empat modus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Modus-
modus itu dipakai untuk menyamarkan asal-usul uang. Berikut 5 modus TPPU yang
disebutkan Yunus:
1) Bersembunyi dalam perusahaan yang dikuasai pelaku
2) Penyalahgunaan perusahaan sah tanpa izin perusahaan
3) Pemakaian identitas palsu
4) Memanfaatkan kemudahan di negara lain seperti membuat perusahaan
5) Membeli atau menggunakan aset tanpa nama, seperti uang tunai, emas,
perhiasan, dan lukisan
Yunus kemudian mengatakan, dalam perkara korupsi e-KTP, ada penggunaan 4 dari
5 modus itu, yaitu nomor 1, 2, 4, dan 5. Keempatnya dikombinasikan secara
terencana. "Jadi kalau ini saya lihat ada empat modus dikombinasikan. Patut diduga
ini direncanakan karena memahami transaksi ini perlu informasi lengkap dan
membuat puzzle yang baik. Ini uang pergi ke mana dan ke siapa saja. Kami lihat ini
ada kesengajaan," ucap Yunus. "Selama kasus ini diperlukan cara-cara sehingga asal-
usulnya tersembunyi, tersamarkan, dengan cara-cara seperti ini. Mencari asal-
usulnya susah. Karena, setelah diterima, (uang) diputar-putar lagi, jadi ada modus-
modus TPPU yang dipakai," imbuh Yunus.
 Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo mengatakan sistem
kontrak tahun jamak atau multi years contract bukanlah sesuatu yang haram. Hal itu
disampaikan Agus usai menjalani pemeriksaan di KPK terkait korupsi proyek e-KTP
yang sistem kontraknya multi years. "Multi years contract ini bukan sesuatu yang
salah. Justru multi years contract itu diperlukan karena multi years contract itu tidak
terkait dengan anggaran, tetapi terkait dengan program atau proyek yang kalau mau
dikerjakan, pengerjaannya lebih dari satu tahun," kata Agus usai menjalani
pemeriksaan sebagai saksi di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat
(17/5/2019). Agus menyebutkan untuk proyek e-KTP, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) yang mengajukannya dengan sistem itu. Agus yang saat itu menjabat

18
sebagai Menkeu memberikan persetujuan. "Betul di dalam proyek itu ada
permohonan dari Kementerian Dalam Negeri untuk meminta persetujuan multi years
contract dan setelah dilakukan pembahasan, telaah, dan semua dokumen dipenuhi,
disetujui oleh Menteri Keuangan," kata Agus. "Tapi yang ingin saya ingin katakan,
multi years contract itu adalah sesuatu yang lazim dan memang harus ada, karena
kalau seandainya kita tidak punya persetujuan multi years contract, kontrak atau
proyek yang baru dikerjakan satu tahun kemudian tahun berikutnya terpaksa harus
dilakukan tender lagi oleh kontraktor, bisa-bisa kontraktornya kontraktor yang beda,"
imbuh Agus.

Berdasarkan kabar terbaru dari kasus E-KTP, tim penyidik Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan empat saksi terkait dugaan
megakorupsi e-KTP. Empat saksi yang dijadwalkan hadir yakni mantan Dirut PT Pura Barutama,
Yohanes Moelyono; Dirut PT Pura Barutama Yohanes Slamet; karyawan PT Pura Barutama,
Suwandi Utomo; dan karyawan PT Pura Barutama, Susan Suhartini.

2.3. Pengumpulan Bukti Audit


Berikut ini bukti-bukti yang telah dikumpulkan auditor selama proses investigasi kasus
E-KTP:

2.3.1. Bukti terkait tersangka Setya Novanto :


 Keterangan dari ahli
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Bob Hardian mengatakan, dari
150 juta keping Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP), baru 7,4 juta
keping yang sudah diverifikasi. Padahal, proses verifikasi penting untuk memastikan
kebenaran data pada setiap keping e-KTP.
 Keterangan saksi
Dari keterangan Rizwan diketahui bahwa keponakan Setya Novanto yaitu Irvanto
Hendra Pambudi Cahyo menggunakan PT Inti Valuta Money Changer dan PT Perka
Langgeng Abadi untuk memindahkan uang senilai US$ 2,6 juta dari Mauritius ke
Singapura. Dari pemindahan uang tersebut, dua perusahaan tadi dapat fee sebesar Rp
100 per dollar atau senilai Rp 260 juta yang dibagi dengan persentase 60% atau

19
senilai Rp 156 juta untuk PT Inti Valuta Money Changer dan 40% atau senilai Rp
104 juta untuk PT Perka Langgeng Abadi.
 Bukti surat
KPK sebagai termohon dalam gugatan praperadilan Setya Novanto akan melakukan
pembuktian melalui dokumen-dokumen yang berupa akta perjanjian, surat tentang
pembayaran, termin-termin pembayaran, juga berita acara pemeriksaan saksi baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.
2.3.2. Bukti terkait tersangka Sugiharto (ketua panitia lelang proses pengadaan e-KTP) :
 Bukti surat
Berupa surat kontrak pada 1 Juli 2011 dan surat jaminan penerimaan uang Rp 50
juta.
 Keterangan Saksi
Sugiharto terima US$200. Mantan staf Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Yosep Sumartono membeberkan, ia sendiri yang mengambil uang dari Johannes
Marliem medio pada April-Mei 2011. Yosep menemui Johannes di Mal Grand
Indonesia atas perintah Sugiharto. Yosep mengaku ada juga uang dari Direktur PT
Quadra Solution Ahmad Fauzi sebesar US$100 ribu untuk Sugiharto. Uang itu
dibawa langsung ke rumah Yosep pada 2011.
2.3.3. Bukti terkait tersangka Markus Nari :
 Keterangan Saksi
Keterangan keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo ihwal
pemberian uang sebesar US$1 juta yang diberikan di ruang kerja mantan Ketua DPR
Setya Novanto. Dalam pemberian itu, Irvanto menyebut Markus ditemani Ketua
Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng.
 Bukti surat
Salinan BAP Markus dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
 Bukti Kendaraan
Penyitaan mobil Toyota Land Cruiser warna hitam.

20
2.3.4. Bukti terkait tersangka Anang Sugiana Sudihardjo :
 Keterangan Saksi
KPK telah memeriksa puluhan saksi untuk menyelesaikan pemberkasan Anang.
Saksi yang dihadirkan berasal dari pengacara, pegawai money changer BOSS dan
sejumlah karyawan swasta. Total ada 60 yang saksi telah diperiksa. Unsur saksi
lainnya karyawan PT Softorb Technology Indonesia.
 Bukti surat
Anang turut terlibat mengarahkan dan mengkondisikan proses lelang bersama Andi
Agustinus Narogong, yakni membuat dokumen penawaran dan spesifikasi teknis
yang telah disetujui oleh panitia lelang agar konsorsiumnya dimenangkan panitia
lelang.
2.3.5. Bukti terkait tersangka Andi Narogong:
● Keterangan saksi
Bekas Direktur PNRI Isnu Edhy Wijaya memberikan kesaksian ihwal proyek e-KTP
dalam persidangan dengan terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri,
Irman dan Sugiharto. Isnu mengaku Irman memintanya berkoordinasi dengan Andi
untuk proyek e-KTP. Menurut dia, Andi berperan penting dalam mengumpulkan
pihak yang kompeten untuk proyek tersebut, seperti Johannes Tan dan Paulus Tanos.
Konteks pertemuannya adalah untuk memenangkan proyek e-KTP.
● Bukti surat
KPK menemukan barang bukti elektronik dan nomor dokumen pada saat melakukan
penggeledahan di kediaman Andi dan kedua adiknya di daerah Cibubur.
2.3.6. Bukti terkait Irman:
● Keterangan saksi
Diah Anggraini pada kesaksiannya mengatakan bahwa ia mendapat uang dari Irman
sebesar US$ 300 ribu pada 2013 dan berniat mengembalikannya sepekan kemudian.
● Bukti elektronik
Yakni percakapan diduga Novanto dengan sejumlah pihak, termasuk Irman,
Sugiharto, dan Andi Narogong terkait dugaan rencana mencatut anggaran proyek
KTP-el.

21
2.3.7. Bukti-bukti lain yang terkumpul :
1. Alat bukti surat, meliputi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam, tulisan tangan
Miryam saat dimintai keterangan dalam penyidikan, dan konsep atau revisi BAP oleh
Miryam.
2. Alat bukti saksi. Sejumlah orang, kata Setiadi, telah diperiksa, antara lain Elsa
Syarief Dalam perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Yosep Sumartono
dalam perkara terdakwa kasus korupsi KTP-el Irman dan Sugiharto.
3. Alat bukti petunjuk. Rekaman video kesaksian Miryam persidangan Tipikor kasus
KTP-elektronik dan rekaman pemeriksaan saat penyidikan jadi modal tambahan
KPK menjerat Miryam.
4. Alat bukti lainnya. Pengusulan anggaran e-KTP yang tadinya menggunakan PHLN
(Pinjaman dan Hibah Luar Negeri) untuk diubah menjadi rupiah murni. Menurut
surat Dakwah KPK, penggunaan APBD sebagai sumber anggaran proyek e-KTP
adalah bagian dari grand design, agar 51% dari APBD dapat dipergunakan untuk
belanja modal dan 49% nya untuk dibagi-bagikan. Selain itu, penggunaan teknologi
kartu e-KTP tidak sesuai dengan proposal yang diajukan. Ada ketidaksesuaian antara
teknologi kartu dan teknologi perangkat pembaca e-KTP. Teknologi yang dipakai
sesuai proposal adalah iris technology, mata, tetapi kemudian yang banyak dilakukan
selama ini menggunakan finger (jari).

2.4. Perkembangan Pelaksanaan Audit


2.4.1. Kronologi Awal
● Laporan kepada KPK tanggal 23 Agustus 2013.
Pihak kepolisian mengabarkan bahwa mereka mencurigai terjadinya korupsi pada
proyek e-KTP. Kecurigaan itu berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender
yang menyatakan bahwa terjadi ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh
panitia saat lelang tender berlangsung. Kecurigaan adanya praktek korupsi pada
proyek e-KTP juga dirasakan oleh Government Watch (GOWA) yang berbuntut pada
laporan kepada KPK pada 23 Agustus 2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi
upaya pemenangan terhadap satu konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender
berdasarkan investigasi yang telah dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011.

22
● Pada tanggal 31 Juli 2013 Mohammad Nazaruddin juga memaparkan adanya indikasi
korupsi terhadap proyek e-KTP. Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang,
ia menyerahkan bukti-bukti terkait korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza
Syarief, ia juga menuding telah terjadi penggelembungan dana pada proyek e-KTP.
Dari total proyek sebesar RP 5,9 triliun, 45% di antaranya merupakan mark-up. Ia
juga mengatakan bahwa Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terlibat dalam kasus ini.

2.4.2. Perkembangan Kasus


● Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya
menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka
pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran
2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64
Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460
juta.
● Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian melanjutkan pemenuhan
berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP di Kementerian
Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat Wisnu
Setyawan, Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati. Sugiharto pun tak
luput dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015. Pada waktu
bersamaan KPK juga memeriksa para pegawai Kemendagri dan pihak swasta seperti
Pamuji Dirgantara, karyawan Misuko Elektronik dan Andreas Karsono, karyawan PT
Solid Arta Global sebagai saksi.
● Per 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil
Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan
Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan
penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya
senilai 573.000 dollar AS, Rp2,9 miliar dan 6.000 dollar Singapura.

23
● Pada 19 Oktober 2016 KPK melakukan penahanan terhadap Sugiharto setelah
melakukan pemeriksaan selama 4 jam di Gedung KPK. Ia ditahan di Rumah Tahanan
Guntur. Berbeda dengan Sugiharto, Irman justru baru ditahan oleh KPK pada 21
Desember 2016 setelah mengalami pemeriksaan selama 12 jam. Untuk kepentingan
penyelidikan, Irman dijebloskan ke rumah tahanan selama 20 hari ke depan. Walau
ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice
collaborator untuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP.
● Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti
terkait keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP. Mereka kemudian
menghimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk
mengembalikannya ke negara. Dua hari kemudian, tepatnya pada 10 Februari 2017
KPK menerima uang sebesar Rp250 miliar dengan rincian Rp220 miliar berasal dari
sejumlah korporasi, satu perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp30 miliar
berasal dari anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya.
Penyerahan uang itu dilaksanakan usai pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK.
Mereka yang kooperatif kemudian mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus
penyidikan.
● Perkembangan kasus e-KTP kemudian bergulir pada terjadinya pelimpahan kasus e-
KTP ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi oleh KPK pada 1 Maret 2017.
Berkas tersebut merupakan berkas atas nama Sugiharto sebanyak 13 ribu lembar dan
atas nama Irman sebanyak 11 ribu lembar yang mencakup berita acara pemeriksaan
tersangka dan saksi. Dalam berkas tersebut terdapat keterangan dari 294 saksi atas
nama Sugiharto, 173 saksi atas nama Irman dan keterangan dari lima orang ahli.

2.4.3. Penetapan tersangka ketiga


● Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi kemudian mengadakan sidang. Sidang perdana terkait kasus korupsi
e-KTP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017.
Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya,
KPK memutuskan untuk menetapkan tersangka ketiga setelah Irman dan Sugiharto,
yakni Andi Narogong. Penetapan dilakukan pada Rabu, 23 Maret 2017. Penyidik

24
KPK menangkap Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik).
Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi ditetapkan sebagai tersangka karena ia
berperan dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik
dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan
anggota komisi II DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur
tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai dengan lokasi rukonya serta terlibat
dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga
melakukan penggelembungan dana dalam pengadaan KTP elektronik.
● Pada 30 Maret 2017 Pengadilan Negeri menggelar sidang keempat. Sidang kali ini
menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo,
Agun Gunanjar Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada
sidang keempat terjadi pengakuan yang kontradiktif antara Miryam S Haryani
dengan Novel Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel,
Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI.
Akan tetapi, saat persidangan Miryam justru membantah berita acara persidangan
yang dituturkan Novel sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan
oleh penyidik saat itu sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus
melakukan konfrontasi tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam
melakukan sanggahan karena adanya ancaman beberapa anggota DPR RI periode
2009-2014. Temuan lainnya dalam sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari
Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Miryam sebanyak empat kali
dengan total 1,2 juta dollar AS yang pada akhirnya disangkal pula oleh Miryam.
Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menerima aliran
dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut saat Ganjar Pranowo
bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor.
● Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada Senin, 3 April 2017. Kali ini 9
orang saksi hadir untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah
satunya adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut
penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek e-
KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai

25
Demokrat 2010. Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar
Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah
juga telah menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan
Khatibul Umam Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.

2.4.4. Kecurangan lelang dan rekayasa konsorsium


● Pada 6 April 2017. Sidang keenam menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah
Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang kali ini Novanto
membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp
547,2 miliar. Pun dengan Anas dan Markus yang membantah bahwa mereka telah
menerima uang dari proyek e-KTP.
● Hasil dari sidang ketujuh yang digelar pada 10 April 2017 adalah terdapat pengakuan
dari anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun
mereka menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di samping itu
mereka juga mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan
lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP yang tidak digabungkan.
● Sidang kedelapan yang berlangsung pada Kamis, 13 April 2017 yang dihadiri 10
saksi, KPK menemukan fakta bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu
diberikan uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi pemberian uang oleh
kakak Andi Narogong yakni Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang
tersebut juga terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karena dalam
proses lelang konsorsium tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001
sesuai persyaratan.
● Hasil yang didapatkan pada sidang kesembilan yang digelar pada 17 April 2017
adalah adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk
meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi
syarat. Sugiharto dan Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini.
● Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi pada Kamis, 20 April 2017, KPK
menemukan fakta-fakta baru terkait kasus e-KTP. Nama Setya Novanto disebut telah
mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim IT

26
proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga
diakui oleh Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya
Novanto. Sementara itu menurut penuturan Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby,
Andi Narogong memang sengaja dalam membuat tiga konsorsium dalam proyek e-
KTP. Dari ketiga konsorsium tersebut, Andi telah mempersiapkan satu konsorsium
pemenang lelang, yakni Konsorsium PNRI sedangkan konsorsium Astragraphia dan
Murakabi hanya sebagai pendamping.
● Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada
27 April 2017. Selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto,
dalam sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PT
Avidisc Crestec Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium
untuk proyek e-KTP karena ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota
Badan Anggaran DPR, Olly Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi
oleh para calo dari Badan Anggaran DPR dan menyanggah tentang terjadinya
penerimaan uang sebesar 1,2 juta dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang
ditemukan adalah terjadinya kecurangan karena konsorsium E-KTP memilih
perangkat lunak yang tak lolos uji kompetensi. Adapun pada sidang keduabelas yang
digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa Andi Narogong memegang andil
terhadap pengaturan proyek e-KTP.

2.4.5. Peran Markus Nari dan Anang Sugiana


● Per 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus
politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka berdasarkan Pasal 3
atau 2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam
penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5
miliar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp
1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 miliar,
berupaya menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus

27
e-KTP dan diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan
keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
● Pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama
PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP.
Anang terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan
anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Pada 9 November 2017 KPK melakukan
penahanan terhadap Anang.

2018

● Pada Selasa 26 Juni 2018 KPK mengaku akan segera melakukan finalisasi berkas untuk
tersangka Mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi dalam
kasus dugaan korupsi e-KTP. Untuk merampung berkas Irvanto, sejauh ini, KPK telah
memeriksa sekitar 115 saksi. Terkait unsur-unsur dari 115 saksi yang telah diperiksa KPK
adalah anggota DPR-RI baik yang masih aktif ataupun sudah mantan, mantan menteri
dalam negeri, pejabat dan PNS Kemendagri, pegawai LKPP dan BPPT, pengurus DPD
partai di jawa tengah swasta, serta Notaris/PPAT. Setelah perampungan berkas Irvanto,
kata Febri, KPK berharap dapat segera melakukan tahap baru dalam kasus e-KTP.
Sementara itu dalam rangka merampungkan berkas Irvanto, hari ini KPK melakukan
pemeriksaan terhadap beberapa politisi Partai Demokrat, antara lain Nurhayati Ali Asegaf,
Marzuki Ali, Taufiq Efendi, Djamal Aziz Attamini, dan pengusaha Alexander W. Saksi-
saksi tersebut masih akan bertambah sesuai dengan kepentingan pemeriksaan KPK.

● Pada persidangan Senin 30 Juli 2018 Anang Sugiana Sudihardjo dinyatakan terlah terbukti
secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan korupsi. Hakim menyebutkan Anang,
yang ingin mengikuti proyek e-KTP, bertemu Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya.
Dalam pertemuan itu, Isnu menyampaikan bahwa proyek e-KTP yang dikerjakan
Kemendagri milik Andi Narogong.
Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, didakwa turut melakukan korupsi proyek e-KTP. Selain
Irvanto, orang kepercayaan Novanto yaitu Made Oka Masagung juga didakwa bersama-
sama dengan Irvanto. Khusus untuk Novanto, Irvanto disebut jaksa menerima USD 3,5

28
juta dengan cara barter uang melalui perusahaan penukaran uang atau money changer.
Selain itu, Made Oka juga menerima USD 1,8 juta dan USD 2 juta yang ditujukan untuk
Novanto.

● Pada Kamis, 13 September 2018, Jaksa eksekusi pada Unit Kerja Pelacakan Aset,
Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) melakukan pemindahbukuan dari
rekening Setya Novanto di Bank Mandiri ke rekening KPK untuk kepentingan pembayaran
uang pengganti sebesar Rp1.116.624.197. Pemindahbukuan tersebut dilakukan Jaksa
Eksekusi setelah mendapat surat kuasa dari Setya Novanto. Setya Novanto menyatakan
akan kooperatif untuk membayar uang pengganti. Sebelumnya, Novanto sudah melunasi
denda Rp 500 juta rupiah terkait hukumannya yang terbukti melakukan korupsi e-KTP.
Namun Novanto belum menyelesaikan pembayaran uang pengganti sebesar USD 7.3 juta.

● Putusan pengadilan pada 5 Desember 2018 menyatakan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-
sama. Terdakwa divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengdilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta. Keponakan mantan Ketua DPR Setya Novanto itu juga dihukum
membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Irvanto terbukti merekayasa proses lelang dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk
berbasis elektronik (e-KTP). Irvanto juga terbukti menjadi perantara suap untuk sejumlah
anggota DPR RI. Irvanto dinilai secara langsung maupun tidak langsung, turut serta
memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan e-KTP.

2019

● KPK melanjutkan penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Markus Nari. Kali ini, KPK
memanggil mantan Sekretaris Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil
(Sesdirjen Dukcapil) Triyuni Soemartono sebagai saksi.
Markus Nari merupakan salah satu dari delapan tersangka e-KTP yang diproses KPK.
Penyidikan untuk Markus Nari sempat vakum usai ketujuh tersangka lainnya menjalani

29
persidangan dan divonis bersalah oleh pengadilan Tipikor.
Dalam perkara ini, Markus Nari diduga menerima uang untuk memuluskan pembahasan
anggaran perpanjangan proyek pada tahun anggaran 2013. KPK menduga Markus Nari
menerima Rp 4 miliar yang diserahkan oleh Sugiharto yang kini menjadi terpidana kasus e-
KTP.

● Pada 7 Mei 2019 KPK melakukan penyitaan terhadap satu mobil Toyota Land Cruiser
warna hitam yang diduga milik Markus Nari dan dimaksudkan sebagai barang bukti. KPK
menyatakan pihaknya akan menelusuri asal uang pembelian mobil tersebut untuk
mengetahui apakah mobil itu dibeli dari uang dugaan korupsi e-KTP atau tidak.

● Rabu 8 Mei 2019 KPK memeriksa mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan
Fauzi terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Dia diperiksa sebagai saksi untuk
tersangka Markus Nari. Selain memanggil Gamawan, KPK memanggil Sekjen DPR Indra
Iskandar. Dia juga dipanggil sebagai saksi untuk Markus Nari.

● Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Markus Nari menjalani pemeriksaan perdana setelah
ditahan KPK pada Selasa 9 April 2019.

● Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi
e-KTP dengan tersangka Markus Nari pada Selasa 10 Mei 2019. Dalam proses
pemeriksaan Ganjar ditanyai soal anggaran. Ganjar, yang merupakan mantan pimpinan
Komisi II DPR, menyebut pembahasan anggaran dilakukan bersama mitra Komisi II, yaitu
Kementerian Dalam Negeri. Saat itu, kata Ganjar, ada kebutuhan untuk pencetakan e-KTP
di sekitar 100 kabupaten sehingga dibutuhkan tambahan anggaran.

● KPK menetapkan 4 tersangka baru dalam pusaran kasus korupsi proyek e-KTP. Keempat
tersangka itu, disebut KPK, memiliki peran yang berbeda-beda.
Pada Selasa 13 Agustus 2019, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di
kantornya mengatakan, dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah mencermati
fakta-fakta yang muncul di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK menemukan

30
bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dugaan korupsi
pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan
Secara Nasional atau KTP Elektronik.
Empat tersangka yang dijerat adalah:
- Miryam S Haryani sebagai anggota DPR periode 2014-2019;
- Isnu Edhi Wijaya sebagai Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia
(PNRI) dan Ketua Konsorsium PNRI;
- Husni Fahmi sebagai Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP; dan
- Paulus Tannos sebagai Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra.

● Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 11 November 2019, menyatakan bahwa
Markus Nari terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Markus Nari divonis 6 tahun
penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Markus bersalah memperkaya
diri sendiri USD 400.000 dari proyek e-KTP.

2020

● Pada 23 Juni 2020 Penyidik KPK mengungkapkan telah memanggil mantan Sekjen
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Diah Anggraeni terkait kasus korupsi proyek e-
KTP. Diah bakal diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Ketua Konsorsium Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya. Selain Diah, KPK memanggil staf
Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Husni Fahmi, yang juga merupakan tersangka dalam kasus ini. Husni juga dipanggil
sebagai saksi untuk Isnu.

2021

● 1 Desember 2021, Penyidik KPK memeriksa eks Direktur Utama Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI), Isnu Edhi Wijaya (ISE), terkait kasus korupsi proyek
e-KTP. Isnu diperiksa sebagai tersangka korupsi pengadaan e-KTP.

31
Ali menyebut penyidik mendalami posisi dan peran Isnu selaku Dirut Perum PNRI maupun
pimpinan Konsorsium PNRI dalam pelaksanaan lelang. Selain itu, peran Isnu dalam
pelaksanaan pembagian pekerjaan proyek e-KTP kepada anggota konsorsium turut
didalami penyidik.

2022

● Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi
terkait pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk
Kependudukan secara nasional (KTP-elektronik) atau e-KTP. Keduanya, yakni mantan
Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya dan mantan Staf Pusat
Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Husni Fahmi.
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka ISE dan HSF dilakukan penahanan selama 20
hari, terhitung 3 Februari 2022. Kedua tersangka tersebut ditahan di Rutan Cabang KPK
pada Pomdam Jaya Guntur.

● KPK kini masih punya utang untuk menahan satu buron tersangka korupsi e-KTP, yakni
Paulus Tannos. Deputi Penindakan KPK meyakini perjanjian ekstradisi Indonesia dan
Singapura bisa membantu KPK melacak para buron, termasuk Harun Masiku. Paulus
diketahui terakhir terlacak berada di Singapura. Karyoto mengatakan KPK juga tentu akan
mengejar buron lainnya setelah ekstradisi tersebut dijalin.

2.5. Pelaporan Hasil Investigasi


2.5.1. Pelaporan Hasil Investigasi Pada Kasus E-KTP
Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dinilai sebagai kasus yang masif dan
sangat terstruktur. Diduga, proyek itu direncanakan untuk dapat dikorupsi. Babak baru kasus e-
KTP dimulai di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Kamis 9 maret 2017, Mantan Dirjen Dukcapil
Kemendagri Irman dan anak buahnya yang bernama Sugiharto didakwa terlibat kasus yang
diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.

32
1) Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil
Kemendagri) Sugiharto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-
KTP pada Selasa 22 April 2014. Tersangka yang telah mendapatkan status justice
collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam
sidang e-KTP itu juga diperkaya sebesar 450.000 dollar AS dan Rp460 juta. Ia telah
divonis terbukti bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan hukuman 5
tahun penjara dan membayar denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

2) Pada Jumat 30 September 2016, mantan Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman


ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Menurut jaksa,
Irman bersama-sama dengan Sugiharto terlibat dalam pemberian suap terkait proses
penganggaran proyek e-KTP untuk tahun anggaran 2011-2013. Irman yang
merupakan atasan Sugiharto itu diperkaya sebesar 573.700 dollar AS, Rp 2,9 miliar
dan 6.000 dollar Singapura. Ia divonis 7 tahun penjara dan membayar denda Rp500
juta subsider 6 bulan kurungan.

3) Pada Kamis 23 Maret 2017, KPK menetapkan Andi Agustinus atau yang dikenal
sebagai Andi Narogong sebagai tersangka ketiga pada kasus e-KTP. Ia yang
merupakan pengusaha pelaksana proyek e-KTP. Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Andi Narogong delapan tahun penjara. Andi
yang berperan sebagai pengatur tender proyek e-KTP itu diwajibkan membayar denda
RP1 miliar atau menggatikannya dengan hukuman enam bulan kurungan.

4) Pada Senin 17 Juli 2017, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto ditetapkan sebagai tersangka keempat korupsi proyek e-KTP. Ketua KPK
Agus Rahardjo menerangkan bahwa Setya Novanto diduga memiliki peran dalam
proses pengadaan e-KTP. Diantaranya, perencanaan, pembahasan anggaran, hingga
pengadaan barang dan jasa melalui tersangka lainnya yaitu Andi Narogong. Pada
tanggal 24 April 2018, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta

33
subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta.

5) KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka kelima dalam kasus e-KTP pada
Rabu 19 Juli 2017. Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu ditetapkan sebagai
tersangka terkait kasus dugaan merintangi proses penyidikan dan memberikan
keterangan tidak benar pada persidangan perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada tanggal 2 Oktober 2020, Plt Juru Bicara
KPK Ali Fikri mengatakan eksekusi terhadap Markus Nari merupakan pelaksanaan
putusan Mahkamah Agung RI yang menjatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda
Rp300 juta subsider 8 bulan kurungan pada tingkat kasasi. MA juga menjatuhkan
hukuman membayar uang pengganti sebesar 900.000 dollar AS yang jika tidak
dibayar diganti dengan 3 tahun penjara. Hukuman tambahan lain yang dijatuhkan
kepada Markus adalah pencabutan hak untuk menduduki jabatan public selama 5
tahun terhitung setelah menjalani masa pidana.

6) KPK menahan Anang Sugiana Sudihardjo yang merupakan Direktur Utama PT


Quadra Solution, salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium pemenang
proyek pengadaan e-KTP, tahun anggaran 2011-2012. Ia ditetapkan sebagai tersangka
kasus korupsi e-KTP pada Rabu 27 September 2017. Pada tanggal 28 Juni 2018, Jaksa
Komisi KPK menuntut eks Direktur PT Quadra Solution Anang Sugianan Sudihardjo
dengan hukuman 7 tahun penjara dengan denda 1 miliar subside 6 bulan kurungan.
Selain itu, Jaksa menuntut Anang membayar uang pengganti sebesar Rp39 miliar
paling lambat sebulan setelah divonis hukum. Jika tidak bisa membayar, maka harta
bendanya disita dan akan dilelang. Tetapi jika hasil lelang tidak mencukupi, maka
hukumannya ditambah 7 tahun penjara.

7) KPK mengeksekusi Irvanto Hendra Pambudi ke lapas Sukamiskin, Bandung Jawa


Barat. Irvanto divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi E-KTP. Pada tanggal
17 Desember 2018, dilakukan eksekusi terhadap Irvanto. Sesuai putusan Pengadilan

34
Tipikor, Jakarta Pusat, Irvanto dijatuhkan hukuman atas kasus korupsi E-KTP selama
10 tahun penjara dengan denda 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

8) Teman rekan Irvanto Hendra Pambudi, Made Oka Massangung juga terbukti
melakukan tindak pidana korupsi E-KTP. KPK mengeksekusi pengusaha Made Oka
ke Lapas Kelas I Tangerang. Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat,
Made Oka dan Irvanto terbukti memperkaya orang lain, yaitu Setya Novanto. Menurut
hakim, keduanya memperkaya mantan ketua DPR RI itu sebesar USD 7,3 juta. Hakim
pun menjatuhkan hukuman terhadap Made Oka 10 tahun penjara dan denda 500 juta
subsider 3 bulan kurungan.

2.5.2. Dampak Terjadinya Kasus Korupsi E-KTP


Adapun dampak dari terjadinya kasus korupsi E-KTP dalam berbagai bidang, yaitu:
1. Bidang Ekonomi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bahwa kerugian Negara akibat
kasus mega korupsi E-KTP adalah sebesar 2,3 triliun. Hal ini akan menambah tingkat
kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial karena dana pemerintah yang
seharusnya untuk rakyat justru masuk ke kantong para pejabat dan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab lainnya. Kebiajakan-kebijakan pemerintah yang tidak
optimal ini akan menurunkan kualitas pelayanan pemerintah dalam berbagai bidang.

2. Bidang Demokrasi
Beberapa ahli berpendapat bahwa korupsi E-KTP cederai Demokrasi, hal ini
dikarenakan absennya E-KTP akan membuat warga Negara kesulitan untuk
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, karena setidaknya ada 3 aturan dalam
Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan E-KTP
sebagai syarat.

3. Bidang Pelayanan Medis


Tanpa E-KTP warga akan kesulitan dalam mendapat pelayanan medis, khususnya
untuk menjadi peserta BPJS, dalam hal ini data peserta BPJS harus sesuai E-KTP,

35
karena tidak hanya Nomor Induk Kependudukan (NIK), data BPJS kesehatan juga
harus mengacu pada sidik jari dan iris mata sebagaimana yang telah terekam dalam
E-KTP.

2.5.3. Upaya Pencegahan Kasus Korupsi E-KTP

Adapun upaya pencegahan kasus korupsi E-KTP, yaitu:

1. Lingkungan Pencegahan
 Tata Kelola Pemerintah yang Bersih (Good Governance)

Pemerintah yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh


masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintahan Negara yang berkaitan
dengan sumber-sumber social, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya
pemerintahan yang bersih (Clean Governance ), adalah model pemerintahan yang
efektif, efisien,, jujur, transparan, dan bertanggung jawab, dengan menerapkan asas :
Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, Fairness, Participation,
Rule of law, strategic vision. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata
pemerintahan yang baik dan efektif (Good Governance) dan bersih (Clean
Governance), bebas dari praktik KKN. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik
dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok good governance, setidaknya dapat
dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni :

a) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.


Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan
DPRD, mutlakdilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai
pengontrol jalannya pemerintahan.
b) Kemandirian lembaga peradilan,
c) Profesionalitas dan intergritas aparatur pemerintah,
d) Penguatan partisipasi
e) Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.

36
 Tone At The Top

Sikap pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi untuk tidak terlibat dan
membudayakan tindakan anti fraud. Upaya dan komitmen pencegahan fraud harus
berasal dari pimpinan terlebih dahulu. Setya Novanto selaku Ketua DPR dan berada
pada posisi puncak seharusnya menjadi contoh bagi anggotanya untuk tidak
melakukan fraud. Namun justru dia yang menjadi pelaku fraud. DPR sebagai lembaga
kontrol pemerintah seharusnya menjadi role model bagi terwujudnya pemerintahan
yang bersih, namun nyatanya DPR menjadi lembaga paling korup berdasarkan survei
Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International
Indonesia (TII), pada 7 Maret 2017.

2. Persepsi Deteksi
Beberapa cara untuk meningkatkan persepsi deteksi meliputi:
 Pengawasan (Surveillance)
Idealnya, strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme pengawasan yang
efektif itu mulai bisa diberlakukan sejak proses perencanaan proyek, kelayakan,
penghitungan anggaran proyek, tahap lelang, pelaksanaan atau realisasi proyek
hingga tahap memonitor spesifikasi material proyek. Mekanisme pencegahan
sekaligus pengawasan ini sudah bisa diterapkan berkat dukungan teknologi
informasi. Sejumlah perusahaan besar swasta asing menggunakan teknologi
dimaksud sejak perencanaan proyek, kalkulasi anggaran hingga pengontrolan
spesifikasi material proyek. Pada kasus proyek E-KTP yang bermasalah, KPK tentu
menemukan beberapa modus.
Kasus proyek E-KTP mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi.
Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi mendorong perilaku tidak peduli
pada aspek prudent (kehati-hatian). Pada tahap persetujuan dan pencairan anggaran
proyek ini, jelas bahwa aspek prudent diabaikan. Kalau saja pengawasan lintas
instansi terkoordinasi dengan efektif, kasus proyek E-KTP pasti tidak pernah ada.
 Surprise Audit
Surprise Audit efektif untuk meningkatkan Persepsi Deteksi. Operasi Tangkap
Tangan (OTT) yang dilakukan KPK akan sangat bermanfaat mencegah sebelum

37
sebuah kejahatan menjadi besar. OTT KPK dapat sampai ke level Kementrian, dan
apabila saat itu KPK datang untuk melakukan audit dadakan, besar kemungkinan
kasus E-KTP akan terungkap lebih cepat.

3. Pendekatan Klasik

Tinjauan pendekatan klasik terhadap pengurangan pencurian, penipuan, dan


penggelapan sangat membantu dalam mengembangkan program pencegahan dan
pengendalian kecurangan secara efektif. Pendekatan klasik untuk E-KTP adalah sebagai
berikut :
 Pendekatan Perintah / Instruksi (Directive Approach)
Sebenarnya dalam hal ini, para pejabat yang terlibat dalam kasus E-KTP telah
disumpah untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan jujur dan menjauhi tindakan
suap dan korup, namun hal ini tetap tidak menghentikan mereka untuk tidak berbuat
curang. Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam hal ini telah berkali-kali
menegaskan bahwa pelaksanaan proyek pemerintahan harus dilakukan secara jujur
dan jauh dari suap dan korupsi
 Pendekatan Pencegahan (Preventive Approach)
Perlu dilakukannya kajian menyeluruh mengenai pejabat pemerintahan yang
terlibat dalam pengadaan lelang Proyek E-KTP dengan peserta lelang. Perlu
dipastikan bahwa tidak ada hubungan khusus antara peserta lelang dengan pejabat
penyelenggara lelang.
 Pendekatan detektif (Detective Approach)
Sedari awal haruslah melibatkan BPK dalam proses penyelenggaraan lelang
mengingat bahwa proyek ini bernilai besar, melibatkan banyak pihak serta proses
yang rumit sehingga rawan terjadi fraud.
 Pendekatan Observasi (Observation Approach)
BPK yang sedari awal harus dilibatkan dapat memantau perubahan gaya hidup
dari pejabat penyelenggara lelang. Perubahan gaya hidup Setya Novanto, dapat
digunakan sebagai tanda awal untuk mencegah kerugian fraud yang semakin banyak.

38
 Pendekatan Investigasi (Investigative Approach)
Investigasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari ketidakwajaran yang terjadi di
dalam kasus Proyek E-KTP, sebagai contoh adanya hubungan khusus antara
penyelenggara lelang dengan peserta lelang Proyek E-KTP.
4. Ukuran Pencegahan Lain
 Pemeriksaan Latar Belakang (Backgroundcheck)
Seperti yang sudah dipaparkan di atas sebelum di lanjutkannya proses lelang E-
KTP, perlu dilakukan pemeriksaan latar belakang oleh BPK terkait ada tidaknya
hubungan khusus antara pejabat yang terkait penyelenggaraan proyek E-KTP dengan
peserta lelang. Pemeriksaan ini berguna untuk mencegah terjadinya kolusi didalam
lelang sehingga pemenang lelang ditetapkan dengan cara yang tidak sah.
 Hasil Audit Reguler Kasus E-KTP (Reguler Audit)
 Siklus Akuntansi (Accounting Cycle)
Adapun tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah memeriksa seluruh
posisi laporan keuangan seluruh peserta lelang kemudian membandingkannya dengan
posisin laporan keuangan perusahaan setelah lelang di tutup. Apabila terdapat
pengeluaran kas atau cek dalam jumlah besar namun dengan catatan akuntansi yang
tidak kuat, maka selanjutnyua auditor dapat segera melakukan audit investigasi untuk
membuktikan apakah transaksi tersebut telah disajikan wajar atau tidak.

39
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pada 23 Agustus 2013, telah terjadi kasus korupsi pada proyek E-KTP yang dimana
telah ditetapkan 8 orang sebagai yang bersalah atau dalang dalam kasus korupsi E-KTP
diantaranya adalah Setya Novanto (mantan ketua DPR RI), Irman dan Sugiharto (dua
mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri), Made Oka Masagung dan Andi Naragong
(Pengusaha), Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera
sekaligus keponakan Novanto), Anang Sugiana Sudiharjo (Direktur Utama PT Quadra
Solution), dan Markus Nari (mantan anggota DPR). Ada 2 tersangka lain yang divonis
bersalah karena dinilai menghalangi proses penyidikan KPK, diantaranya adalah Fredrich
Yunadi (Pengacara) dan Bimanesh Sutarjo (Dokter).

Kasus korupsi ini berawal dari pihak kepolisian yang mencurigai terjadinya
korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan tersebut muncul dari laporan konsorsium yang
kalah tender yang menyatakan bahwa terjadi ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan
oleh panitia saat lelang tender berlangsung. Kecurigaan tersebut juga dirasakan oleh
Government Watch (GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK pada 23 Agustus
2011. kasus ini diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.

Akibat dari kasus korupsi E-KTP, ada beberapa bidang yang kena dampaknya
diantaranya:

1. Bidang Ekonomi, KPK memastikan bahwa kerugian Negara akibat kasus mega
korupsi E-KTP adalah sebesar 2,3 triliun.
2. Bidan Demokrasi, membuat warga Negara kesulitan untuk menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu.
3. Bidang Pelayanan Medis, Tanpa E-KTP warga akan kesulitan dalam mendapat
pelayanan medis, khususnya untuk menjadi peserta BPJS.

40
DAFTAR PUSTAKA

Yusniarti Vina, “Ringkasan Artikel Audit Forensik Periode Ke-2”,


https://id.scribd.com/document/446272469/RINGKASAN-AUDIT-FORENSIK-PERIODE-KE-2-docx,
2022.

41

Anda mungkin juga menyukai