Anda di halaman 1dari 12

Kliping Kasus-kasus Korupsi dan Kronologisnya

Divonis Bersalah, Terdakwa Korupsi Ini Masih Terima Uang Pengembalian


Palangka Raya - Dengan mengenakan pakaian serba putih, terdakwa Mistirna Singah menghadiri
sidang terakhirnya dengan agenda putusan. Majelis hakim yang diketuai Mulyanto didampingi
anggotanya, Anuar Sakti Siregar dan Agus Maksum menjatuhkan vonis satu tahun atau 365 hari
pidana penjara di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri
(PN) Palangka Raya, Kamis (12/11).
“Mengadili, menyatakan terdakwa Mistirna Singah telah bersalah sebagaimana dakwaan ke satu
subsidair,” tambah Mulyanto.
Majelis hakim juga memutus Mistirna membayar pidana denda Rp 50 juta, bila tidak dibayar maka
diganti dengan pidana kurugan selama dua bulan.
Dalam kasus tipikor ini, kerugian negara yang ditimbulkan oleh Mistrina Rp 208 juta. Sementara,
Mistirna sempat menitipkan uang Rp 213 Juta kepada tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kapuas.
“Kepada terdakwa tidak dibebankan uang pengganti, untuk itu diperintahkan kepada JPU
menyetorkan uang titipan Rp 208 Juta ke kas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kapuas dan sisanya
Rp 4 juta dikembalikan kepada terdakwa,” terang Mulyanto kembali menguraikan putusan.
Rupanya, atas putusan ini, baik tim JPU maupun tim Penasihat Hukum (PH) masih menyatakan pikir-
pikir. Sehingga, majelis hakim menerangkan putusan belum inckrah (memiliki kekuatan hukum tetap,
red).
Sebagaimana diberitakan, Mantan Anggota DPRD Kapuas periode 2009-2014 ini dituntut pidana
penjara 1 tahun 3 bulan. Kemudian, pidana denda Rp 50 Juta subsidair tiga bulan kurungan. Seperti
yang diketahui, Mistirna pada kasus ini dinyatakan telah menikmati tunjangan dan gaji sebagai
anggota DPRD Kapuas periode 2009-2014 tersebut. Padahal seharusnya sudah tidak menjabat lagi
sebagai anggota dewan, karena telah di Pergantian Antar Waktu (PAW).
Tetapi, dalam persidangan terungkap bahwa Surat Keputusan (SK) PAW terdakwa ini tidak
diteruskan untuk diparipurnakan oleh Ketua DPRD Kapuas pada masa itu, saksi Robert L Gerung.
Padahal sebagai ketua dewan, saksi mengetahui adanya SK tersebut.
Sumber: http://kaltengpos.web.id

Kasus TPPU Muhammad Nazaruddin P21


Jakarta - Plh Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati menyebutkan mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat Muhammad Nazaruddin bakal menjalani penahanan di Rutan KPK.
Pasalnya, perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Nazar bakal dilimpahkan ke
penuntutan.
"MNZ datang dalam rangka tahap II kasus TPK (Tindak Pidana Korupsi) dan TPPU," kata Yuyuk
Andriati dalam pesan singkat, Senin (16/11).
Dengan pelimpahan ini, lembaga antikorupsi punya waktu 14 hari untuk pelimpahan Nazar ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta. Nazar yang sudah berstatus narapidana untuk
sementara terpaksa meninggalkan Lapas Sukamiskin. "(Ada) pemindahan dari Sukamiskin ke Rutan
KPK," jelas dia.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Lapas Sukamiskin, Edi Kurniadi, bahwa KPK akan meminjam
terpidana kasus korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games itu. Namun, dia belum tahu sampai
kapan lembaga antikorupsi bakal menahan Nazar.
"Tergantung berapa hari kebutuhan dari KPK. Bisa sebulan bisa setahun," aku Edi.
Nazaruddin ditetapkan menjadi tersangka pencucian uang pada 13 Februari 2012. Puluhan saksi
telah dipanggil dan aset-aset milik Nazar telah disita penyidik KPK.
Nazaruddin diduga mencuci uang sebesar Rp300,85 miliar dengan membeli saham PT Garuda
Indonesia dengan menggunakan uang korupsi terkait pemenangan PT Duta Graha Indah. Dana
sebesar Rp300 miliar untuk 400 juta lembar saham dan 850 juta untuk Mandiri Sekuritas.
Pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia itu dilakukan lima perusahaan yang merupakan
anak perusahaan Permai Grup milik Nazar. Perusahaan tersebut adalah PT Permai Raya Wisata, PT
Exartech Technology Utama, PT Cakrawala Abadi, PT Darmakusumah, dan PT Pacific Putra
Metropolitan.
Atas dugaan itu, Nazaruddin dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, subsider Pasal 5 Ayat (2),
subsider Pasal 11 Undang-Undang Tipikor. Selain itu, dia juga dijerat dengan Pasal 3 atau Pasal 4
juncto Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.
Saat ini Nazaruddin diketahui tengah menjalankan hukuman tujuh tahun penjara di Lapas
Sukamiskin. Vonis itu merupakan putusan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung pada 23 Januari
2013 lalu.
MA juga menjatuhkan hukuman denda Rp 300 juta kepada Nazaruddin. Apabila denda Rp 300 juta
tidak dibayar, Nazar diwajibkan menggantinya dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang memberi
vonis empat tahun 10 bulan penjara denda Rp200 juta pada 20 April 2012. Vonis Pengadilan Tipikor
tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa dengan pidana penjara selama tujuh tahun.
Di persidangan, Nazar terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar. Nazar juga dinilai memiliki andil
membuat PT Duta Graha Indah menang lelang proyek senilai Rp191 miliar di Kementerian Pemuda
dan Olahraga.
Sumber: http://skalanews.com

SURYADHARMA ALI DIMASUKKAN KE RUTAN GUNTUR


10 April 2015
Mantan Menteri Agama dan Mantan Ketua Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali, resmi
ditahan karena diduga melakukan korupsi penyelenggaraan haji.
Suryadharma ditahan di Rumah Tahanan Guntur Jakarta setelah menjalani pemeriksaan di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Jumat (10/04).
Mantan menteri ini diperiksa dari pagi hari sampai pukul 19.00 tapi dilaporkan menolak
menandatangani berita acara karena merasa diperlakukan secara tidak adil.
KPK menuduhnya melakukan korupsi penyelenggaraan haji dari tahun 2010-2013 yang
menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,8 triliun.
Suryadharma diduga menyalahgunakan wewenang sebagai menteri agama dalam proses pengadaan
pemondokan haji, katering, perjalanan ibadah haji, dan transportasi.
Penyelidikan KPK terkait dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa haji ini didasarkan pada
temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, PPATK.
Saat ditetapkan sebagai tersangka Suryadharma menggugat KPK lewat permohonan praperadilan di
PN Jakarta Selatan karena penyidik KPK dipandang belum memiliki bukti kuat.
Gugatan praperadilannya telah ditolak pengadilan.

Kasudin Pertanian Jaktim Akhirnya Masuk Penjara


Senin, 13 Oktober 2014 | 13:26 WIB
Mohamad Yusuf BW Kasudin Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur, akhirnya pasrah ketika
petugas Kejaksaaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur, menjebloskannya ke dalan Rutan Cipinang, Senin
(13/10/2014) siang.
JAKARTA, KOMPAS.com — BW, Kasudin Pertanian dan Kehutanan Jakarta Timur, pasrah ketika
petugas Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur, menjebloskannya ke dalam Rutan Cipinang, Senin
(13/10/2014) siang.
BW ditetapkan menjadi tersangka karena menyalahi spesifikasi bangunan dalam proyek hutan kota
senilai Rp 10,9 miliar dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar. Pantauan Warta Kota, BW
keluar dari ruang penyidik sekitar pukul 12.15. Ia mengenakan batik biru dan celana panjang hitam.
Dalam perjalanan dari ruang penyidik ke mobil tahanan terlihat tangan kirinya selalu memegangi
perutnya.

Wajahnya terlihat datar. Namun, ketika hendak masuk ke dalam mobil tahanan, terlihat senyum tipis
di wajahnya. BW akhirnya dapat dibawa ke Rutan Cipinang menggunakan mobil tahanan setelah dua
kali hendak dijemput petugas Kejari, dengan alasan sakit.
"Memang kemarin dua kali sempat batal kami tahan karena beralasan sakit. Tapi memang hal itu
dibuktikan dengan menunjukkan surat keterangan dokter. Tapi hari ini, tersangka telah datang sendiri
ke sini, dan kami bawa ke Rutan Cipinang," kata Silvia Desty Rosalina, Kasie Pidana Khusus
Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, di kantornya, Senin (13/10/2014) siang.
Kejari Jakarta Timur sebelumnya telah menetapkan Kepala Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan
Jakarta Timur, berinisial BW, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Hutan
Kota Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur, pada Senin (26/5/2014) lalu.
BW diduga menyalahi spesifikasi bangunan dalam proyek hutan kota senilai Rp 10,9 miliar dengan
nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar. Pihaknya menilai ada kelebihan pembayaran yang
kurang dan tidak sesuai. Akibatnya, negara mengalami kerugian.
"Total anggaran Rp 10,9 miliar dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar," kata Silvia.
Beberapa bukti di antaranya pekerjaan yang tak sesuai, seperti pengurukan tanah, pembuatan atap
gazebo, dan rangka atap baja. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tersangka dijerat
dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Perbuatan Tindak Pidana Korupsi
dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun.

Usut Pejabat Tinggi Diduga Terlibat Kasus Korupsi Rp 180 Triliun


Jakarta, HanTer-Berbagai kalangan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Badrodin Haiti untuk mengusut
tuntas sebuah perusahaan besar yang merugikan negara hingga Rp 180 triliun. Presiden Jokowi harus mengungkap ke
publik siapa pejabat negara dan pengusaha yang terlibat.

"Presiden dan Kapolri harus mengusut tuntas, jangan didiamin meski melibatkan pengusaha besar dan pejabat tinggi
negara. Umumkan namanya ke publik," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman
menjawab Harian Terbit, Kamis (3/9/2015).
Ihwal perusahaan besar yang merugikan negara Rp180 triliun itu disampaikan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus
(Dirtipideksus) Mabes Polri Brigjen Pol Victor Edi Simanjuntak. Dia mengemukakan, pencopotan Komjen Pol Budi Waseso
bergulir ketika pihaknya berencana melakukan penggeledahan terhadap sebuah perusahaan besar. Pasalnya, perusahaan
tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 180 triliun.
"Kita mau menggeledah perusahaan besar yang merugikan negara sebesar Rp 180 triliun itu. Tapi nggak bisa karena
penyidik takut. Orang bintang tiga saja dicopot. Perusahan itu melibatkan swasta dan pejabat negara," ujar Victor di Gedung
DPR, Kamis (3/9). Oleh karena itu, pihaknya masih menunggu mental para penyidik kembali untuk melakukan
penggeledahan. "Ada ribut-ribut ketika kita mau menggeledah suatu tempat, kerugian negaranya fantastis. Minggu depan
kalau keberanian polisi muncul lagi kita kerjakan. Satu penyidik bilang Kabareskrim saja dicopot apalagi kita," ungkapnya.
Dia mengaku, pihaknya telah bersusah payah untuk membangun mental para penyidik. "Kami sudah berusahpayah
mendidik penyidik supaya berani. Karena banyak korupsi, ekonomi melemah. Semanat mereka, ada berita (pencopotan
Budi Waseso-red) ini jadi jatuh," jelasnya.
Dia menegaskan, jika jabatan Komjen Pol Budi Waseso sebagai Kabareskrim dicopot, Victor pun siap untuk melepaskan
jabatannya. "Saya siap untuk dicopot. Kalau bisa saya duluan (yang dicopot-red)," imbuhnya.
Boyamin Saiman mendesak Bareskrim jangan hanya umbar pengungkapan kasus tersebut tanpa implementasi. Sebagai
penyidik harusnya jangan `down` ketika atasannya hendak di mutasi. Tugas penyidik mengusut kasus hingga tuntas.
"Kan masih ada Kapolri dan Wakapolri, MAKI mendesak Bareskrim untuk lanjutkan pengungkapan kasus korupsi Rp 180
triliun tersebut. Presiden Jokowi dan Kapolri jangan diam saja, harus memerintahkan tim penyidik untuk mengusutnya
dengan tuntas," cetus Boyamin.
Dia berpendapat, jangan jadikan isu pencopotan Buwas menjadi kendala pengungkapan korupsi ratusan triliun itu. "Ungkap
saja, implementasikan jangan hanya umbar pernyataan akan mengungkap atau menggeledah. Aksi nyata sajalah. Jangan
pikirkan ego sektoral sebagai penyidik. Rakyat pasti mendukung kok jika kasus itu diungkap secara profesional," urainya.
Terpisah, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengungkapkan masih ada 10 kasus besar yang nilai kerugian
negaranya ditaksir di atas Rp 100 miliar. Sayangnya keburu digulirkan isu pencopotan jabatan Kabareskrim, sehingga
terhenti.
"Pemberantasan korupsi sedianya tak saja menjadi kerja KPK, namun juga lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan,"
tukas Masinton dalam diskusi di Presroom Gedung DPR, Kamis (3/9). Anggota Baleg DPR itu berpandangan ada kekuatan
besar di balik wacana pencopotan Buwas. Jenderal polisi bintang tiga itu, kata Masinton, memang bergerak agresif
mengungkap berbagai skandal korupsi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon Junaedi Mahesa, mengatakan, Istana negara seolah melindugi mafia.
Wacana santer pencopotan Buwas dinilai menegaskan polisi yang berani dan tegas mesti disingkirkan. Padahal, dalam
penegakan hukum dibutuhkan polisi yang tegas dan berani.
"Kita rindu polisi yang tegas dan berani. Apakah tegas dan berani Buwas melanggar hukum? Kalau tidak, kenapa dicopot.
Kalau melanggar, melanggar yang mana? Kalau pemerintah mencopot ini melemahkan penegakan hukum. Orang yang
digeledah itu RJ Lino itu bekingnya banyak banget. Ada apa dengan JK," pungkasnya.
Malinda Dee Divonis 8 Tahun Penjara

JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis
delapan tahun penjara kepada Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo (49). Majelis hakim yang diketuai
Gusrizal dalam sidang di ruang sidang utama PN Jaksel menilai terdakwa Malinda terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang didakwakan kepadanya.
"Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo hukuman penjara
selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar rupiah," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan
putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2012).
Hakim menilai seluruh dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship Manager Citibank itu terbukti
secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang dikenakan kepada Malinda terdiri atas dua dakwaan terkait
tindak pidana perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU No 7/1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Malinda juga dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No
25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal
3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1)
KUHP.
Putusan majelis hakim berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa dalam
pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki anak-anak yang membutuhkan asuhan orangtua.
Sementara itu, hal yang memberatkan, antara lain, adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam menyampaikan
keterangan di persidangan.

Dugaan yang dituduhkan kepada Gayus

1) Mengenai perbuatan mengurangi keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal dengan total Rp 570.952.000 ,-
2) Gayus terbukti menerima suap sebesar Rp 925.000.000 ,- dari Roberto Santonius, konsultan pajak terkait
dengan kepengurusan gugatan keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart.
3) Pencucian uang terkait dengan penyimpanan uang yang disimpan di safe deposit box Bank Mandiri cabang
Kelapa Gading serta beberapa rekening lainnya.
4) Gayus menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, serta kepala Rutan Iwan
Susanto yang jumlahnya sebesar Rp 1.500.000 ,- hingga Rp 4.000.000 ,-.
5) Gayus memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar Rp 24.600.000.000 didalam
rekening tabungannya.
3.2 Potensi kerugian yang ditanggung oleh Negara
Korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan mengakibatkan negara harus menanggung kerugian sebesar Rp
645,99 Milyar dan US $ 21,1 juta dan dua wajib pahak yang terkait dengan sunset policy dengan potensi
kerugian sebesar Rp 339 Milyar.
3.3 Pasal serta jeratan hukum yang menjerat kasus Gayus Tambunan
1) Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dimana Gayus
Tambunan diduga memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000 ,-, terkait
penanganan keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal Sidoarjo.
2) Pasal 5 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, dimana Gayus Tambunan dituding
melakukan penyuapan sebesar $ 760.000 terhadap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan
Mardiyani.
3) Pasal 6 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi karena Gayus diketahui memberikan uang
sebesar US $ 40.000 kepada Hakim Muhtadi Asnus, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di
Pengadilan Negeri Tangerang.
4) Pasal 22 No.31 Tahun 1999 mengenai Undang – undang tidak pidana korupsi, dimana gayus didakwa telah
dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.
3.4 Kronologi kasus gayus
Pada tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan
mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SDPD). Dalam surat tersebut tersangka Gayus
diduga melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan dengan diketahuinya rekening
sejumlah Rp 25 Milyar pada Bank Panin cabang Jakarta milik Andi Kosasih pengusaha asal Batam yang
menggunakan jasa pihak kedua untuk melakukan penggandaan tanah, yang setelah ditelusuri ternyata berkas
tersebut belum lengkap.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 12 Maret, Gayus hanya dituntut satu tahun
percobaan dan divonis bebas. Pada tanggal 24 Maret 2010, Gayus bersama 10 rekannya meninggalkan
Indonesia menuju Singapura. Tanggal 30 Maret 2010, polisi berhasil mengetahui keberadaan Gayus di
Singapura.
Pada tanggal 31 Maret 2010, tim penyedik memeriksa tiga orang lainnya selain Gayus Tambunan termasuk
Bridgen Edmond Ilyas. Pada tanggal 7 April 2010, anggota III DPR mengetahui keterlibatan seorang Jenderal
Bintang Tiga yang ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak dengan aliran dana sebesar Rp 24 Milyar.
3.5Keputusan sidang akhir kasus Gayus Tambunan
Keputusan sidang akhir terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan oleh Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta adalah hukuman sebesar 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 300.000.000 ,- dengan ketentuan apabila
denda tidak dapat dibayarkan maka akan ada penggantian berupa pidana kurungan selama 3 bulan.

Vonis Angie, Cermin Tajamnya Kepekaan


Kamis, 21 November 2013 | 18:27 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Terdakwa Angelina Sondakh menjalani sidang di Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, Jakarta, Kamis (22/11/2012). Angie menjadi terdakwa dalam
kasus dugaan korupsi penerimaan hadiah dalam penganggaran di Kemenpora dan Kemendiknas.
KARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi mengapresiasi vonis kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung
terhadap terdakwa koruptor. Kali ini, vonis kasasi MA terhadap politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, dikuatkan
menjadi 12 tahun dari semula 4 tahun 6 bulan.Selain hukuman penjara 12 tahun, Angelina Sondakh alias Angie juga
diwajibkan membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar Amerika Serikat subsider 5 tahun penjara.Vonis
memberatkan itu diputuskan dalam sidang kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar (Ketua Kamar Pidana MA) dengan hakim
anggota MS Lumme dan Mohammad Askin, kemarin. Angie terbukti melanggar Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan
Tipikor karena aktif meminta uang (fee) dari sejumlah proyek di Kementerian Pendidikan Nasional. Angie juga dinilai
bersalah karena aktif menggiring anggaran.
Catatan Kompas, Hakim Agung Artidjo selama ini dikenal dengan putusan-putusan yang memberatkan para terdakwa
dibandingkan dengan putusan di pengadilan tingkat pertama ataupun banding. Ia, misalnya, memperberat hukuman
Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun.Ia juga memperberat hukuman Gayus Halomoan P Tambunan dari 10
tahun menjadi 12 tahun, membatalkan vonis bebas Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat dan Bupati Sragen Untung
Sarono Wiyono, serta memperberat hukuman bagi Muhammad Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara.
Terhadap putusan Artidjo atas Angie, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, hal itu mencerminkan ketajaman
kepekaan dan keadilan sosial. Apalagi, vonis diputuskan di tengah-tengah pusaran pemikiran hukum para penegak hukum
yang masih bermazhab ultrakonservatif positivistik dan tandus dari roh keadilan, seperti tecermin dalam rendahnya
beberapa vonis terdakwa korupsi.
”Korupsi bukan saja kejahatan berwatak extraordinary, melainkan juga kejahatan yang membunuh rakyat pelan-pelan.
Maka, vonis kasasi MA atas terdakwa Angie ini mencerminkan rasa kepekaan dan keadilan sosial,” kata Busyro, Rabu
malam.
KPK berharap vonis kasasi MA terhadap kasus-kasus korupsi yang mencerminkan kepekaan terhadap keadilan sosial
tersebut dapat menjelma menjadi yurisprudensi. Wakil Ketua KPK yang lain, Bambang Widjojanto, mengatakan, KPK
sangat mengapresiasi putusan vonis terhadap Angie. KPK pun, lanjut Bambang, akan mempelajari dengan serius vonis
tersebut karena ada gap yang sangat lebar dengan putusan hukum di pengadilan tingkat sebelumnya.
”Putusan ini menegaskan bahwa harapan itu masih ada. Semoga putusan ini akan dijadikan pembelajaran bagi hakim lain,”
kata Bambang.
Eksekusi putusan
Terkait dengan eksekusi terhadap putusan itu, Deputi Penindakan KPK Warih Sadono mengatakan akan segera
melaksanakannya. ”Eksekusi segera dilakukan setelah jaksa menerima petikan putusan atau ekstrak vonis. Tahap pertama
eksekusi pidana pokok tentang penjara. Untuk eksekusi amar putusan lain tentu harus dipelajari secara lengkap setelah
mendapatkan salinan putusan,” ucap Warih.
Soal uang pengganti yang harus dibayarkan Angie, Warih mengatakan, akan diupayakan agar mantan Puteri Indonesia
tersebut membayar uang pengganti dari hartanya yang sudah diblokir atau disita. Namun, dia belum tahu secara detail
berapa jumlah harta Angie yang telah diblokir dan disita KPK. ”Jika tidak mampu atau tidak mencukupi, dilaksanakan pidana
penjara subsidernya,” lanjutnya.
Progresif dan menjerakan
Secara terpisah, peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, menyatakan, putusan majelis kasasi
itu adalah putusan yang progresif dan mampu menjerakan koruptor. Putusan tersebut harus menjadi tolok ukur dan standar
bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa korupsi.
”Kalau bicara efek jera dalam pemberantasan korupsi, cara pandang hakim seharusnya seperti cara pandang hakim MA
dalam putusan Angie ini. Efektifkan pidana tambahan. Sita uang hasil korupsi. Kalau tidak dilakukan, orang tidak takut
korupsi karena hanya akan dikenai hukuman badan (penjara) saja, sementara uang hasil korupsinya aman. Setelah bebas,
ia masih bisa menikmati hasil korupsi. Ini yang ada di benak koruptor saat ini,” ungkap Erwin.

Hakim Belum Mufakat, Putusan Sela Kasus Korupsi PDAM Ditunda


Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta
memilih untuk menunda putusan sela kasus dugaan korupsi proyek Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) di Kota Makassar dengan terdakwa Ilham Arief Sirajuddin.
Penundaan ini dilakukan lantaran majelis hakim yang diketuai oleh Tito Suud tersebut belum
mencapai kata mufakat dalam rapat permusyawaratan hakim mengenai kelanjutan perkara
ini.

"Kami memutuskan untuk menunda. Majelis meminta waktu," ujar Hakim Tito Suud di
Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/11/2015).
Majelis Hakim kemudian menjadwalkan ulang pembacaan putusan sela ini pada 19
November 2015 pekan depan. Dan pada kesempatan itu, hakim juga mengumumkan bahwa
persidangan akan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta yang berada di kawasan Bungur,
Jakarta Pusat.
"Sekaligus memberitahukan jika sidang selanjutnya akan dilakukan di Gedung Pengadilan
Tipikor di Bungur," kata Tito.
Sementara itu, usai hakim mengetuk palu tanda sidang ditunda Ilham Arief
Sirajuddin langsung menemui pendukungnya yang telah memadati Gedung Tipikor Jakarta.
Di hadapan pendukung yang kebanyakan ibu-ibu ini, politisi Partai Demokrat tersebut
meminta terus didoakan agar dapat menjalani proses hukumnya dengan baik.
"Semua orang tidak ada yang mau masuk penjara. Saya ambil hikmahnya, dalam hidup
sudah ada yang atur. Ini jalan Tuhan. Tidak ada yang tahu apa yag terjadi. Tidak ada yang
saya minta kecuali doa," kata Ilham. Pada perkara ini, Ilham yang merupakan mantan Wali
Kota Makassar ini telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 5,5 miliar dan memperkaya
Direktur PT Traya Tirta, Hengky Widjaja, sebesar Rp 40,33 miliar yang seluruhnya
bersumber dari selisih penerimaan pembayaran dengan pengeluaran riil PT Traya Tirta
Makassar.
Dalam dakwaan, Ilham yang pernah memenangkan praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 45,8 miliar.
Perbuatan Ilham itu diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal
55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. (Nil/Mut)
Kasus Korupsi TVRI, Nota Keberatan Mandra Ditolak Majelis Hakim
Komedian Mandra dikawal petugas usai menjalani sidang perdana beragenda pembacaan dakwaan
di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/8/2015). Mandra terjerat kasus korupsi pengadaan program
siap siar TVRI pada 2012. (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak seluruh
nota keberatan atau eksepsi yang diajukan terdakwa kasus dugaan korupsi program siap siar di TVRI pada
2012, Mandra Naih. Menurut Ketua Majelis Hakim Arifin, surat dakwaan yan disampaikan jaksa penuntut umum
pada Kejaksaan Agung yang dibacakan beberapa waktu lalu telah sesuai aturan yang berlaku.
"Menyatakan keberatan terdakwa tidak bisa diterima," ujar Arifin saat membacakan putusan sela atas eksepsi
Mandra Naih di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/9/2015). Dengan demikian, hakim langsung memutuskan
sidang dilanjutkan serta memerintahkan jaksa untuk menghadirkan saksi-saksi yang telah dipersiapkan untuk
sidang lanjutan pada Senin 14 September mendatang.
"Jadi sidang lanjutan akan digelar pada Senin 14 September pekan depan," kata hakim.
Meski tampak kecewa, artis yang namanya meroket lewat sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan' tersebut mengaku
tetap menghormati keputusan hakim. Namun, ia berharap hakim dan jaksa dapat membongkar dalang di balik
kasus yang membuatnya harus mendekam di balik jeruji besi ini.
"Kita akan ikuti prosesnya, dan mudah-mudahan semuanya dapat dibongkar sampai ke akar. Tapi kalau tidak
bersalah jangan dong dihukum," kata Mandra.
Ada 3 Tersangka
Pada perkara ini, Mandra didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 12 miliar. Komedian Betawi itu
diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi
sehingga menimbulkan kerugian negara.
Mandra ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur PT Viandra Production. Selain
Mandra, Kejagung juga menetapkan tersangka lain yakni Iwan Chermawan selaku Direktur PT Media Art Image
dan Yulkasmir selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) yang merupakan pejabat teras di TVRI.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka atas surat perintah penyidikan tertanggal 11 Februari 2015. Dalam
dakwaannya, penuntut umum menyebut Mandra diduga melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Iwan
Chermawan dan Irwan Hendarmin yang juga Direktur Program dan Berita TVRI.
Atas perbuatannya, Mandra didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b atau Pasal
3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Pasal 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP. (Ado/Ans)
Hakim Pengadilan Tipikor Tolak Keberatan Eks Sekjen ESDM
Mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno menjalani sidang pembacaan putusan sela di
pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (25/5/2015). Dalam sidang tersebut, majelis hakim menolak
keberatan atau eksepsi Waryono Karno. (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak nota
keberatan atau eksepsi terdakwa Waryono Karno yang diajukan kuasa hukumnya. Waryono sebelumnya
didakwa jaksa dengan 3 dakwaan. "Menolak keberatan dari penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya," ujar
Ketua Majelis Hakim Artha Theresia saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin
(25/5/2015).

Dengan ditolaknya eksekpsi ini, Majelis kemudian memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
melanjuktan sidang ini. "Memerintahkan penuntut umum melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama terdakwa
Waryono Karno," ujar Hakim Artha.
Majelis menolak eksepsi karena eksepsi yang diajukan kuasa hukum Waryono tidak beralasan menurut hukum.
Eksepsi yang diajukan kuasa hukum itu menilai dakwaan Jaksa tidak menguraikan lengkap dan jelas mengenai
tindak pidana yang dilakukan Waryono, termasuk soal penerimaan gratifikasi di dalamnya.

Majelis menyebut dalam dakwaan sudah menerangkan perbuatan pidana berupa penerimaan gratifikasi yang
berhubungan dengan tugas dan jabatan Waryono sebagai Sekjen ESDM saat itu. Menurut Majelis, tidak
disebutkannya pemberian gratifikasi dan untuk kepentingan apa gratifikasi tersebut diberikan, tidak membuat
dakwaan Jaksa tidak menjadi lengkap, cermat dan jelas.
"Karena dalam Pasal 12 B ayat 1 huruf a diatur bahwa gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta lebih, pembuktian
gratifikasi bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi," ujar Hakim Artha.

Waryono Karno sebelumnya didakwa dengan 3 dakwaan. Dalam dakwaan pertama, jaksa mendakwanya telah
memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Atas perbuatannya itu, dia didakwa telah merugikan
keuangan negara sebesar Rp 11.124.736.447. Waryono diancam pidana dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubang dengan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Pada dakwaan kedua, Waryono didakwa telah memberikan suap sebesar US$ 140.000 kepada Sutan
Bhatoegana selaku ketua Komisi VII DPR. Perbuatan Waryono tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal
5 ayat (1) huruf a subsidair Pasal 13 UU Tipikor. Dakwaan terakhir, Waryono disebut telah menerima gratifikasi
berupa uang sebesar US$ 284.862 dan US$ 50.000. Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 12 B UU Tipikor. (Mut)
Sidang Kasus Suap DPRD Muba Jadi Perhatian Pengunjung
Selasa, 17 November 2015 10:23
PALEMBANG, BN -- Sejumlah pihak kerabat dan keluarga pengunjung sidang tampak
cermat mendengarkan pembacaan vonis majelis hakim pada sidang vonis di Pengadilan
Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Klas I Palembang, Senin (16/11).
Pantauan Harian ini, tampak kursi pengunjung sidang dipenuhi pihak kerabat dan keluarga
kedua terdakwa.
Sementara ini majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Parlas Nababan SH dan dua hakim
anggota yakni Subandi SH dan Gustina SH secara bergantian membacakan pertimbangan
vonis putusan.
Pada sidang tuntutan sebelumnya, Syamsudin Fei dan Faisyar masing-masing dituntut
hukuman pidana kurungan penjara dua tahun dan denda sebesar Rp 50 juta dengan
subsider tiga bulan kurungan penjara.
Keduanya adalah terdakwa kasus OTT KPK dalam perkara dugaan suap untuk melancarkan
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2014 dan Pengesahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Musi Banyuasin 2015.
Dalam tuntutan JPU KPK Ali Fikri SH tim JPU lainnya, kedua terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Dan, berlanjut sebagaimana diatur
dalam pasal 5 ayat 2 huruf a UU nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP junto pasal
64 ayat 1 KUHP sesuai dakwaan pertama.
Seperti diberitakan sebelumnya, tim satgas KPK melakukan OTT di rumah Bambang
Karyanto (BK), anggota DPRD Muba yang berlokasi di Jalan Sanjaya RT 06 RW 02
Kecamatan Alang-Alang Lebar Palembang, Jumat (19/6) malam sekitar pukul 20.30.

Korupsi Proyek Steiger, Kadis Perkomin Tapteng dituntut 18 Bulan Penjara


(DNABERITA.com)

MEDAN | DNA - Penuntut umum menuntut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Tapteng, Binton Simorangkir dituntut satu tahun dan enam bulan penjara dalam
persidangan kasus perkara dugaan korupsi pelaksanaan proyek steiger di Desa Binasi Kecamatan
Sorkam, Tapanuli Tengah (Tapteng) dalam persidangan yang berlangsung di ruang Kartika
Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Senin (16/11/2015).
Dalam persidangan tersebut, tuntutan yang dibacakan Agustini dan Eva juga menuntut enam
terdakwa lainnya, yakni Wesly Sitompul dan Sondang Lumbangaol, keduanya selaku pengawas
proyek, Rosdiana Hutasohit, Parasian Simanungkalit dan Rosehat L Tobing, ketiganya selaku Panitia
Pemeriksa Proyek, dan Robert Hamonangan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan
tuntutan masing satu tahun dan enam bulan penjara.
Selain menuntut agar majelis hakim yang diketuai Didik, penuntut umum juga menuntut kepada
masing-masing terdakwa membayar denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan.
Dalam persidangan tersebut, jaksa menyebutkan bahwa ketujuh terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana korupsi pada proyek tersebut yang merugikan negara Rp1,4 miliar.
Ketujuhnya dijerat JPU melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 20/2001 sebagai perubahan dari UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP (dakwaan
subsider).
Sementara untuk dakwaan primer, JPU menilai ketujuh terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan
melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU No 20/2001 sebagai perubahan
dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Menanggapi putusan tersebut, ketujuh terdakwa melalui penasihat hukumnya akan mengajukan
pledoi (pembelaan) pada sidang selanjutnya.
Binton Simorangkir sendiri usai dibacakan tuntutan sempat menangis. Berbeda dengan enam
terdakwa lainnya.
Seperti diketahui, tujuh terdakwa sendiri dinilai JPU tidak melaksanakan tugasnya sebagai PPK, KPA,
tim pengawas maupun panitia pemeriksa. Mereka mengerjakan proyek tersebut tidak sesuai dengan
spesifikasi teknis dan dokumen kontrak kerja.
Bahkan proyek tersebut juga mengalami kerusakan dan ambruk sehingga tidak dapat dipergunakan.
Alhasil negara dirugikan sebesar Rp 1,4 Milliar berdasarkan hasil audit. (dna|ams)

Korupsi Alkes, Direktur Borimex Dihukum 3 Tahun Penjara

para terdakwa alkes asahan (DNABERITA.com)


MEDAN | DNA - Direktur PT Borimex, Ari Sumarto Taslim, dihukum 3 tahun tahun penjara dalam
persidangan kasus korupsi proyek pengadaan alat kesehatan (Alkes) dan kedokteran tahun anggaran
(TA) 2012 dengan dana bersumber dari P-APBN 2012 sebesar Rp6,9 Milliar dalam persidangan yang
berlangsung diruang Kartika Pengadilan Tipikor Medan, Senin (02/11/2015).
Sidang yang diketuai majelis hakim tipikor, Parlindungan Sinaga juga membebankan Ari Sumarto
Taslim untuk membayar denda denda Rp50 juta subsider enam bulan dan uang pengganti sejumlah
Rp2,9 miliar dengan subsider 1,5 tahun kurungan. Sedangkan Achmad Ridwan Anggota Taslim yang
disidangkan dalam berkas terpisah juga dihukum satu tahun dan tiga bulan penjara dan denda Rp 50
juta subsidair 6 bulan kurungan.
Keduanya terbukti melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana. Sementara, uang yang dititipkan terdakwa sebesar RP80 juta dan Rp420
juta ditetapkan majelis hakim untuk disita untuk negara.
Namun, vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suheri Wira
yang menuntut Ari Sumarto Taslim dengan pidana kurungan 4,5 tahun, sementara Achmad Ridwan
dengan pidana 1,5 tahun.
“Seperti yang saya katakana di hadapan majelis hakim, kami mengajukan banding atas putusan
tersebut. Kami tetap mengajukan tuntutan sesuai dengan apa yang kami sampaikan sebelumnya.
Kami akan proses banding tersebut segera,” ujar Suheri.

Korupsi Alkes Kabupaten Asahan 2012 tersebut tidak hanya menghukum Ari Sumarto dan Achmad
Ridwan, sebelumnya Majelis Hakim yang diketuai Parlindungan Sinaga juga sudah memvonis
hukuman satu tahun empat bulan penjara atau 16 bulan terhadap mantan Kepala Dinas (Kadis)
Kesehatan Kabupaten Asahan, Herwanto dalam persidangan Februari lalu
Herwanto bersalah melakukan perbuatan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes), kedokteran dan
Keluarga Berencana di Dinas Kesehatan Asahan Tahun Anggaran (TA) 2012 yang diperkirakan
merugikan negara sebesar Rp 3,4 miliar. Herwanto divonis bersama tiga terdakwa dalam
persidangan yang sama. Mereka yakni Ibnu Alfi selaku Bendahara Pengeluaran Dinkes Asahan,
divonis dengan 1 tahun 3 bulan penjara, kemudian Irfan Nasution selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) Dinas Kesehatan Asahan, serta Nasrun Achdar selaku rekanan masing- masing 1 tahun
penjara.(dna|ams)
Mantan Sekjen ESDM Waryono Karno Divonis 6 Tahun Penjara
Kerabat mencium pipi mantan Sekjen Kementerian ESDM, Wayono Karno usai sidang lanjutan di
Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/8/2015). Waryono dituntut 9 tahun penjara dan denda sebesar
Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan
vonis terhadap mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Waryono Karno hukuman 6 tahun penjara. Majelis hakim mengatakan, Waryono
terbukti melakukan sejumlah tindak pidana korupsi di lingkungan kerjanya.
"Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama," ujar Ketua Majelis Hakim Artha Theresia di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Rabu (16/9/2015).
Selain hukuman badan, anak buah mantan Menteri ESDM Jero Wacik ini juga dijatuhi
hukuman denda Rp 300 juta subsider kurungan.
Hakim menilai, Waryono telah terbukti bersalah seperti yang diuraikan jaksa dalam 3
dakwaan sekaligus. Pertama, ia disebut telah memperkaya diri sendiri, orang lain, dan
korporasi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.124.736.447 dengan ancaman
pidana Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, dia dinilai telah menyuap sebesar US$ 140 ribu kepada Ketua Komisi VII DPR Sutan
Bhatoegana. Perbuatannya diancam pidana Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor. Terakhir, ia didakwa
telah menerima gratifikasi berupa uang US$ 5284.862 dan US$ 50 ribu dari Kepala SKK
Migas Rudi Rubiandini. Ia pun diancam pidana Pasal 12 B UU Tipikor.
"Terbukti telah terjadi peralihan atau perpindahan kekuasaan uang yang bersumber dari
Rudi Rubiandini sebesar US$ 140 ribu melalui perintah terdakwa," kata hakim.
Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta majelis hakim
menghukum Waryono dengan hukuman penjara 9 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6
bulan kurungan.
Atas putusan ini, baik jaksa KPK maupun pihak Waryono Karno menyatakan akan berpikir
terlebih dulu sebelum memutuskan untuk banding atau tidak. (Ado/Sun)

Sutan Bhatoegana Divonis 10 Tahun Penjara


Mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana saat tiba di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin
(27/7/2015). Sutan akan menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan Jaksa KPK.
(Liputan6.com/Yoppy Renato)
Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis hukuman
pidana 10 tahun penjara terhadap terdakwa kasus dugaan penerimaan gratifikasi
pembahasan APBN-P tahun 2013 Kementerian ESDM dengan Komisi VII DPR Sutan
Bhatoegana. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan
kepada Sutan.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hukuman pidana 10 tahun penjara dan
denda Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan," ujar Ketua Majelis Hakim Artha Teresia saat
membacakan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (19/8/2015).
Mantan Ketua Komisi VII DPR itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menerima
hadiah atau gratifikasi dalam pembahasan APBN-P Kementerian ESDM 2013. Dia disebut
terbukti menerima US$ 140 ribu dari eks Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno dan
US$ 200 ribu dari mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini.
Selain itu Sutan juga dinilai terbukti menerima hadiah lain berupa tanah dan rumah di Jalan
Kenanga Raya Tanjungsari, Medan, Sumut dari Komisaris PT SAM Mitra Mandiri, Saleh
Abdul Malik. Semua itu disebut diterima Sutan selama menjabat Ketua Komisi VII DPR
periode 2009-2014.

Majelis hakim juga menyatakan, Sutan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 12 huruf a juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor).
Adapun hal-hal yang meringankan bagi Sutan adalah sebagai kepala rumah tangga yang
masih memiliki tanggungan keluarga. Sementara hal memberatkan, yakni perbuatan Sutan
tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang digencarkan pemerintah.
Perbuatannya dinilai bertentangan dengan slogan-slogan antikorupsi yang selalu
didengungkannya.
Politisi Partai Demokrat itu juga dianggap tidak mengakui kesalahan, berbelit-belit dalam
memberi keterangan, serta sikapnya tidak mencerminkan sebagai anggota DPR. Hal itu kian
memberatkannya sebagai terdakwa.
Vonis ini sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, Jaksa
menuntut Sutan dengan hukuman pidana 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider
6 bulan kurungan. (Ndy/Yus)
Penyuap Kepala Bappebti Terima Divonis 3 Tahun Penjara
Ekspresi mantan Direktur PT Bursa Berjangka Jakarta Bihar Sakti Wibowo saat mendengarkan
keterangan saksi pada sidang lanjutan kasus penyuapan Kepala Bappeti Syahrul R Sempurnajaya, di
Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/7). (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Liputan6.com, Jakarta - Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada
terdakwa kasus dugaan suap penerbitan izin usaha lembaga kliring berjangka, PT
Indokliring Internasional, Mohammad Bihar Sakti Wibowo dengan hukuman penjara selama
3 tahun.
Selain hukuman badan, mantan Direktur PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) ini juga dihukum
membayar denda sebesar Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.
"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam dakwaan primer," ujar Hakim Ketua
Aswijon di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/8/2015).
Hakim menilai, Bihar Sakti Wibowo terbukti memberikan suap kepada Kepala Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) saat itu, yakni Syahrul Raja
Sampurnajaya sebesar Rp 7 miliar. Pembarian ini dimaksudkan agar Bappebti memuluskan
penerbitan izin usaha lembaga kliring berjangka, PT Indokliring Internasional.
Dan atas perbuatannya, hakim pun menjerat Bihar Sakti Wibowo dengan Pasal 5 ayat 1
huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidaka
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55
ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah
yang bersangkutan tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat memberantas
tindak pidana korupsi.
"Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan, mengakui terus terang
kesalahannya, menyesali perbuatan dan masih memiliki tanggungan keluarga," tutur hakim.
Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang menuntut terdakwa dihukum selama 4 tahun penjara. Dan atas putusan
ini jaksa pun masih berpikir untuk mengajukan banding. Sementara terdakwa menerima dan
tidak akan banding.
"Saya mengerti Yang Mulia, saya menerima (vonis 3 tahun penjara)," jawab Bihar Sakti
Wibowo saat ditanya tanggapannya terkait vonis tersebut. (Ndy/Mut)

Hakim Diminta Kejatisu Batalkan SP3 Kasus korupsi pengadaan lahan RSUD Nisel

(DNABERITA.com)

MEDAN | DNA - Front Komunitas Indonesia Satu (FK-1), meminta hakim tunggal Toto Ridarto untuk
memerintahkan pihak Kejatisu untuk melanjutkan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan RSUD
Nias Selatan (Nisel) yang kini telah di SP3kan oleh pihak Kejatisu.
"Kita Berharap putusan dalam sidang prapid ini, memutuskan agar melanjutkan kasus korupsi yang
telah menetapkan 17 tersangka dalam kasus tersebut,"sebut tim kuasa hukum FKI-1 Wardaniman
Larosa usai menghadiri sidang prapid di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (21/10/2015).
Tentunya ini seiring dengan upaya prapid yang diajukan dan telah berjalan, bahwa pihaknya
mengajukan prapid karena ada kekeliruan oleh pihak penyidik yang menghentikan proses penyidikan
yang sudah berjalan selama dua tahun
Begitu pula alasan pengajuan penghentian dikarenakan para tersangka telah membayar kerugian
negara ini tidak bisa menjadi acuan. Seharusnya, meski telah mengembalikan proses tetap berjalan
dan bukan menghentikannya.

Diterangkan Warda, bukti-bukti yang terungkap berdasar fakta persidangan adalah pernyataan saksi
ahli Hukum Pidana Khusus Tipikor dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr G Widiartana SH
MHum yang berpendapat bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan sifat dan
unsur-unsur melawan hukum sehingga pelaku wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya secara
hukum.
"Sangat jelas apa yang disampaikan saksi ahli ini sesuai pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tipikor jadi jelas SP3 yang diterbitkan Kejatisu ini tidak sah dimata
undang-undang," tegas Warda.
Lanjutnya, bahkan saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak Kejatisu dari BPK RI, R Aryo Seto Bomantari
berpendapat bahwa pengembalian keuangan negara hanya bersifat administrasi. Aryo juga bahkan
menyatakan seperti LHP yang dikeluarkan oleh pihaknya atas kasus dugaan mark up harga tanah
pengadaan Balai Benih Induk (BBI) yang juga di Nisel meski uang negara juga telah dikembalikan
namun kasusnya tetap berlanjut hingga berkekuatan hukum tetap.
"Itu adalah pernyataan saksi ahli dari BPK yang dihadirkan pihak kejaksaan bukan dari kita, nah
bukankah itu bukti nyata," ungkap Warda.
Fakta terungkap lainnya, jelas Warda bahwa Ahli Hukum Administrasi Negara dari USU, DR Mirza
Nasution menyatakan LHP BPK RI terbit terlebih dahulu kemudian diusulkan laporan hasil
pemantauan atas penyelesaian kerugian daerah.
Sehingga tenggang waktu pengembalian terhitung sejak diketahui kerugian negara yang tercatat
dalam LHP BPK Ri. Dimana dalam perkara ini pengembalian kerugian negara telah melampaui
tenggang waktu yan ditentukan selama 60 hari karena diketahui LHPnya pada 4 Juli 2013 dan baru
dikembalikan 4 November 2013. Dimana kembali peristiwa ini telah melanggar Pasal 23 UU Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
"Sekali lagi kami berharap dengan semua fakta itu, maka hakim harus memberikan putusan
terbaiknya karena dampak keputusan ini nantinya akan sangat berpengaruh bagi penegakkan hukum
bukan hanya di Sumut tetapi di Indonesia. Karena bila hakim memutuskan bahwa apa yang dilakukan
oleh Kejatisu itu tidak melanggar maka hancurlah negara kita ini," tegas Warda.
Lembaga Kajian Kebijakan Publik Sekjen (LKKP) Hans menyebutkan terbitnya Surat Penghentian
Penyidikan Perkara (SP3) untuk kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di RSUD Nias Selatan
(Nisel) yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dinilai syarat akan intervensi
politik.

Menurutnya ada campur tangan politikus terkait SP3 kasus ini. Sebab berdasarkan kajian yang
mereka lakukan, salah seorang tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut saat ini tercatat
sebagai calon Walikota Gunung Sitoli berpasangan dengan saudara salah seorang menteri.
Sementara terkait gugatan yang diajukan sejumlah lembaga terkait penghentian perkara ini di PN
Medan, Sekjen Lembaga Kajian Kebijakan Publik (LKKP), Hans Wijaya berharap hakim tunggal yang
menangani perkara ini tidak terpengaruh dengan adanya intervensi politik sebab menurutnya
penerbitan SP3 kasus itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
Putusan terhadap gugatan SP3 dugaan korupsi RSUD Nisel ini dijadwalkan pada Kamis 21 Oktober
2015 di PN Medan.
Sejumlah lembaga yang melakukan gugatan berencana akan menggelar aksi meminta agar hakim
yang menangani perkara ini mengabulkanan gugatan mereka.
Sebelumnya, 11 Agustus 2015, pihak kejatisu mengeluarkan SP3 atas diri para tersangka dengan
alasan mereka telah mengembalikan uang kerugian negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai