Wajahnya terlihat datar. Namun, ketika hendak masuk ke dalam mobil tahanan, terlihat senyum tipis
di wajahnya. BW akhirnya dapat dibawa ke Rutan Cipinang menggunakan mobil tahanan setelah dua
kali hendak dijemput petugas Kejari, dengan alasan sakit.
"Memang kemarin dua kali sempat batal kami tahan karena beralasan sakit. Tapi memang hal itu
dibuktikan dengan menunjukkan surat keterangan dokter. Tapi hari ini, tersangka telah datang sendiri
ke sini, dan kami bawa ke Rutan Cipinang," kata Silvia Desty Rosalina, Kasie Pidana Khusus
Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, di kantornya, Senin (13/10/2014) siang.
Kejari Jakarta Timur sebelumnya telah menetapkan Kepala Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan
Jakarta Timur, berinisial BW, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Hutan
Kota Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur, pada Senin (26/5/2014) lalu.
BW diduga menyalahi spesifikasi bangunan dalam proyek hutan kota senilai Rp 10,9 miliar dengan
nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar. Pihaknya menilai ada kelebihan pembayaran yang
kurang dan tidak sesuai. Akibatnya, negara mengalami kerugian.
"Total anggaran Rp 10,9 miliar dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar," kata Silvia.
Beberapa bukti di antaranya pekerjaan yang tak sesuai, seperti pengurukan tanah, pembuatan atap
gazebo, dan rangka atap baja. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tersangka dijerat
dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Perbuatan Tindak Pidana Korupsi
dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun.
"Presiden dan Kapolri harus mengusut tuntas, jangan didiamin meski melibatkan pengusaha besar dan pejabat tinggi
negara. Umumkan namanya ke publik," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman
menjawab Harian Terbit, Kamis (3/9/2015).
Ihwal perusahaan besar yang merugikan negara Rp180 triliun itu disampaikan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus
(Dirtipideksus) Mabes Polri Brigjen Pol Victor Edi Simanjuntak. Dia mengemukakan, pencopotan Komjen Pol Budi Waseso
bergulir ketika pihaknya berencana melakukan penggeledahan terhadap sebuah perusahaan besar. Pasalnya, perusahaan
tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 180 triliun.
"Kita mau menggeledah perusahaan besar yang merugikan negara sebesar Rp 180 triliun itu. Tapi nggak bisa karena
penyidik takut. Orang bintang tiga saja dicopot. Perusahan itu melibatkan swasta dan pejabat negara," ujar Victor di Gedung
DPR, Kamis (3/9). Oleh karena itu, pihaknya masih menunggu mental para penyidik kembali untuk melakukan
penggeledahan. "Ada ribut-ribut ketika kita mau menggeledah suatu tempat, kerugian negaranya fantastis. Minggu depan
kalau keberanian polisi muncul lagi kita kerjakan. Satu penyidik bilang Kabareskrim saja dicopot apalagi kita," ungkapnya.
Dia mengaku, pihaknya telah bersusah payah untuk membangun mental para penyidik. "Kami sudah berusahpayah
mendidik penyidik supaya berani. Karena banyak korupsi, ekonomi melemah. Semanat mereka, ada berita (pencopotan
Budi Waseso-red) ini jadi jatuh," jelasnya.
Dia menegaskan, jika jabatan Komjen Pol Budi Waseso sebagai Kabareskrim dicopot, Victor pun siap untuk melepaskan
jabatannya. "Saya siap untuk dicopot. Kalau bisa saya duluan (yang dicopot-red)," imbuhnya.
Boyamin Saiman mendesak Bareskrim jangan hanya umbar pengungkapan kasus tersebut tanpa implementasi. Sebagai
penyidik harusnya jangan `down` ketika atasannya hendak di mutasi. Tugas penyidik mengusut kasus hingga tuntas.
"Kan masih ada Kapolri dan Wakapolri, MAKI mendesak Bareskrim untuk lanjutkan pengungkapan kasus korupsi Rp 180
triliun tersebut. Presiden Jokowi dan Kapolri jangan diam saja, harus memerintahkan tim penyidik untuk mengusutnya
dengan tuntas," cetus Boyamin.
Dia berpendapat, jangan jadikan isu pencopotan Buwas menjadi kendala pengungkapan korupsi ratusan triliun itu. "Ungkap
saja, implementasikan jangan hanya umbar pernyataan akan mengungkap atau menggeledah. Aksi nyata sajalah. Jangan
pikirkan ego sektoral sebagai penyidik. Rakyat pasti mendukung kok jika kasus itu diungkap secara profesional," urainya.
Terpisah, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengungkapkan masih ada 10 kasus besar yang nilai kerugian
negaranya ditaksir di atas Rp 100 miliar. Sayangnya keburu digulirkan isu pencopotan jabatan Kabareskrim, sehingga
terhenti.
"Pemberantasan korupsi sedianya tak saja menjadi kerja KPK, namun juga lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan,"
tukas Masinton dalam diskusi di Presroom Gedung DPR, Kamis (3/9). Anggota Baleg DPR itu berpandangan ada kekuatan
besar di balik wacana pencopotan Buwas. Jenderal polisi bintang tiga itu, kata Masinton, memang bergerak agresif
mengungkap berbagai skandal korupsi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon Junaedi Mahesa, mengatakan, Istana negara seolah melindugi mafia.
Wacana santer pencopotan Buwas dinilai menegaskan polisi yang berani dan tegas mesti disingkirkan. Padahal, dalam
penegakan hukum dibutuhkan polisi yang tegas dan berani.
"Kita rindu polisi yang tegas dan berani. Apakah tegas dan berani Buwas melanggar hukum? Kalau tidak, kenapa dicopot.
Kalau melanggar, melanggar yang mana? Kalau pemerintah mencopot ini melemahkan penegakan hukum. Orang yang
digeledah itu RJ Lino itu bekingnya banyak banget. Ada apa dengan JK," pungkasnya.
Malinda Dee Divonis 8 Tahun Penjara
JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis
delapan tahun penjara kepada Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo (49). Majelis hakim yang diketuai
Gusrizal dalam sidang di ruang sidang utama PN Jaksel menilai terdakwa Malinda terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang didakwakan kepadanya.
"Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo hukuman penjara
selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar rupiah," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan
putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2012).
Hakim menilai seluruh dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship Manager Citibank itu terbukti
secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang dikenakan kepada Malinda terdiri atas dua dakwaan terkait
tindak pidana perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU No 7/1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Malinda juga dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No
25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal
3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1)
KUHP.
Putusan majelis hakim berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa dalam
pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki anak-anak yang membutuhkan asuhan orangtua.
Sementara itu, hal yang memberatkan, antara lain, adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam menyampaikan
keterangan di persidangan.
1) Mengenai perbuatan mengurangi keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal dengan total Rp 570.952.000 ,-
2) Gayus terbukti menerima suap sebesar Rp 925.000.000 ,- dari Roberto Santonius, konsultan pajak terkait
dengan kepengurusan gugatan keberatan pajak PT. Metropolitan Retailmart.
3) Pencucian uang terkait dengan penyimpanan uang yang disimpan di safe deposit box Bank Mandiri cabang
Kelapa Gading serta beberapa rekening lainnya.
4) Gayus menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, serta kepala Rutan Iwan
Susanto yang jumlahnya sebesar Rp 1.500.000 ,- hingga Rp 4.000.000 ,-.
5) Gayus memberikan keterangan palsu kepada Penyidik perihal uang sebesar Rp 24.600.000.000 didalam
rekening tabungannya.
3.2 Potensi kerugian yang ditanggung oleh Negara
Korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan mengakibatkan negara harus menanggung kerugian sebesar Rp
645,99 Milyar dan US $ 21,1 juta dan dua wajib pahak yang terkait dengan sunset policy dengan potensi
kerugian sebesar Rp 339 Milyar.
3.3 Pasal serta jeratan hukum yang menjerat kasus Gayus Tambunan
1) Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dimana Gayus
Tambunan diduga memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000 ,-, terkait
penanganan keberatan pajak PT. Surya Alam Tunggal Sidoarjo.
2) Pasal 5 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, dimana Gayus Tambunan dituding
melakukan penyuapan sebesar $ 760.000 terhadap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan
Mardiyani.
3) Pasal 6 ayat 1a No.31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi karena Gayus diketahui memberikan uang
sebesar US $ 40.000 kepada Hakim Muhtadi Asnus, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di
Pengadilan Negeri Tangerang.
4) Pasal 22 No.31 Tahun 1999 mengenai Undang – undang tidak pidana korupsi, dimana gayus didakwa telah
dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.
3.4 Kronologi kasus gayus
Pada tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan
mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SDPD). Dalam surat tersebut tersangka Gayus
diduga melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang dan penggelapan dengan diketahuinya rekening
sejumlah Rp 25 Milyar pada Bank Panin cabang Jakarta milik Andi Kosasih pengusaha asal Batam yang
menggunakan jasa pihak kedua untuk melakukan penggandaan tanah, yang setelah ditelusuri ternyata berkas
tersebut belum lengkap.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 12 Maret, Gayus hanya dituntut satu tahun
percobaan dan divonis bebas. Pada tanggal 24 Maret 2010, Gayus bersama 10 rekannya meninggalkan
Indonesia menuju Singapura. Tanggal 30 Maret 2010, polisi berhasil mengetahui keberadaan Gayus di
Singapura.
Pada tanggal 31 Maret 2010, tim penyedik memeriksa tiga orang lainnya selain Gayus Tambunan termasuk
Bridgen Edmond Ilyas. Pada tanggal 7 April 2010, anggota III DPR mengetahui keterlibatan seorang Jenderal
Bintang Tiga yang ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak dengan aliran dana sebesar Rp 24 Milyar.
3.5Keputusan sidang akhir kasus Gayus Tambunan
Keputusan sidang akhir terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan oleh Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta adalah hukuman sebesar 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 300.000.000 ,- dengan ketentuan apabila
denda tidak dapat dibayarkan maka akan ada penggantian berupa pidana kurungan selama 3 bulan.
"Kami memutuskan untuk menunda. Majelis meminta waktu," ujar Hakim Tito Suud di
Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/11/2015).
Majelis Hakim kemudian menjadwalkan ulang pembacaan putusan sela ini pada 19
November 2015 pekan depan. Dan pada kesempatan itu, hakim juga mengumumkan bahwa
persidangan akan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta yang berada di kawasan Bungur,
Jakarta Pusat.
"Sekaligus memberitahukan jika sidang selanjutnya akan dilakukan di Gedung Pengadilan
Tipikor di Bungur," kata Tito.
Sementara itu, usai hakim mengetuk palu tanda sidang ditunda Ilham Arief
Sirajuddin langsung menemui pendukungnya yang telah memadati Gedung Tipikor Jakarta.
Di hadapan pendukung yang kebanyakan ibu-ibu ini, politisi Partai Demokrat tersebut
meminta terus didoakan agar dapat menjalani proses hukumnya dengan baik.
"Semua orang tidak ada yang mau masuk penjara. Saya ambil hikmahnya, dalam hidup
sudah ada yang atur. Ini jalan Tuhan. Tidak ada yang tahu apa yag terjadi. Tidak ada yang
saya minta kecuali doa," kata Ilham. Pada perkara ini, Ilham yang merupakan mantan Wali
Kota Makassar ini telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 5,5 miliar dan memperkaya
Direktur PT Traya Tirta, Hengky Widjaja, sebesar Rp 40,33 miliar yang seluruhnya
bersumber dari selisih penerimaan pembayaran dengan pengeluaran riil PT Traya Tirta
Makassar.
Dalam dakwaan, Ilham yang pernah memenangkan praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 45,8 miliar.
Perbuatan Ilham itu diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal
55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. (Nil/Mut)
Kasus Korupsi TVRI, Nota Keberatan Mandra Ditolak Majelis Hakim
Komedian Mandra dikawal petugas usai menjalani sidang perdana beragenda pembacaan dakwaan
di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/8/2015). Mandra terjerat kasus korupsi pengadaan program
siap siar TVRI pada 2012. (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak seluruh
nota keberatan atau eksepsi yang diajukan terdakwa kasus dugaan korupsi program siap siar di TVRI pada
2012, Mandra Naih. Menurut Ketua Majelis Hakim Arifin, surat dakwaan yan disampaikan jaksa penuntut umum
pada Kejaksaan Agung yang dibacakan beberapa waktu lalu telah sesuai aturan yang berlaku.
"Menyatakan keberatan terdakwa tidak bisa diterima," ujar Arifin saat membacakan putusan sela atas eksepsi
Mandra Naih di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/9/2015). Dengan demikian, hakim langsung memutuskan
sidang dilanjutkan serta memerintahkan jaksa untuk menghadirkan saksi-saksi yang telah dipersiapkan untuk
sidang lanjutan pada Senin 14 September mendatang.
"Jadi sidang lanjutan akan digelar pada Senin 14 September pekan depan," kata hakim.
Meski tampak kecewa, artis yang namanya meroket lewat sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan' tersebut mengaku
tetap menghormati keputusan hakim. Namun, ia berharap hakim dan jaksa dapat membongkar dalang di balik
kasus yang membuatnya harus mendekam di balik jeruji besi ini.
"Kita akan ikuti prosesnya, dan mudah-mudahan semuanya dapat dibongkar sampai ke akar. Tapi kalau tidak
bersalah jangan dong dihukum," kata Mandra.
Ada 3 Tersangka
Pada perkara ini, Mandra didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 12 miliar. Komedian Betawi itu
diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi
sehingga menimbulkan kerugian negara.
Mandra ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur PT Viandra Production. Selain
Mandra, Kejagung juga menetapkan tersangka lain yakni Iwan Chermawan selaku Direktur PT Media Art Image
dan Yulkasmir selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) yang merupakan pejabat teras di TVRI.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka atas surat perintah penyidikan tertanggal 11 Februari 2015. Dalam
dakwaannya, penuntut umum menyebut Mandra diduga melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Iwan
Chermawan dan Irwan Hendarmin yang juga Direktur Program dan Berita TVRI.
Atas perbuatannya, Mandra didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b atau Pasal
3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Pasal 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP. (Ado/Ans)
Hakim Pengadilan Tipikor Tolak Keberatan Eks Sekjen ESDM
Mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno menjalani sidang pembacaan putusan sela di
pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (25/5/2015). Dalam sidang tersebut, majelis hakim menolak
keberatan atau eksepsi Waryono Karno. (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak nota
keberatan atau eksepsi terdakwa Waryono Karno yang diajukan kuasa hukumnya. Waryono sebelumnya
didakwa jaksa dengan 3 dakwaan. "Menolak keberatan dari penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya," ujar
Ketua Majelis Hakim Artha Theresia saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin
(25/5/2015).
Dengan ditolaknya eksekpsi ini, Majelis kemudian memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
melanjuktan sidang ini. "Memerintahkan penuntut umum melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama terdakwa
Waryono Karno," ujar Hakim Artha.
Majelis menolak eksepsi karena eksepsi yang diajukan kuasa hukum Waryono tidak beralasan menurut hukum.
Eksepsi yang diajukan kuasa hukum itu menilai dakwaan Jaksa tidak menguraikan lengkap dan jelas mengenai
tindak pidana yang dilakukan Waryono, termasuk soal penerimaan gratifikasi di dalamnya.
Majelis menyebut dalam dakwaan sudah menerangkan perbuatan pidana berupa penerimaan gratifikasi yang
berhubungan dengan tugas dan jabatan Waryono sebagai Sekjen ESDM saat itu. Menurut Majelis, tidak
disebutkannya pemberian gratifikasi dan untuk kepentingan apa gratifikasi tersebut diberikan, tidak membuat
dakwaan Jaksa tidak menjadi lengkap, cermat dan jelas.
"Karena dalam Pasal 12 B ayat 1 huruf a diatur bahwa gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta lebih, pembuktian
gratifikasi bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi," ujar Hakim Artha.
Waryono Karno sebelumnya didakwa dengan 3 dakwaan. Dalam dakwaan pertama, jaksa mendakwanya telah
memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Atas perbuatannya itu, dia didakwa telah merugikan
keuangan negara sebesar Rp 11.124.736.447. Waryono diancam pidana dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubang dengan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pada dakwaan kedua, Waryono didakwa telah memberikan suap sebesar US$ 140.000 kepada Sutan
Bhatoegana selaku ketua Komisi VII DPR. Perbuatan Waryono tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal
5 ayat (1) huruf a subsidair Pasal 13 UU Tipikor. Dakwaan terakhir, Waryono disebut telah menerima gratifikasi
berupa uang sebesar US$ 284.862 dan US$ 50.000. Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 12 B UU Tipikor. (Mut)
Sidang Kasus Suap DPRD Muba Jadi Perhatian Pengunjung
Selasa, 17 November 2015 10:23
PALEMBANG, BN -- Sejumlah pihak kerabat dan keluarga pengunjung sidang tampak
cermat mendengarkan pembacaan vonis majelis hakim pada sidang vonis di Pengadilan
Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Klas I Palembang, Senin (16/11).
Pantauan Harian ini, tampak kursi pengunjung sidang dipenuhi pihak kerabat dan keluarga
kedua terdakwa.
Sementara ini majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Parlas Nababan SH dan dua hakim
anggota yakni Subandi SH dan Gustina SH secara bergantian membacakan pertimbangan
vonis putusan.
Pada sidang tuntutan sebelumnya, Syamsudin Fei dan Faisyar masing-masing dituntut
hukuman pidana kurungan penjara dua tahun dan denda sebesar Rp 50 juta dengan
subsider tiga bulan kurungan penjara.
Keduanya adalah terdakwa kasus OTT KPK dalam perkara dugaan suap untuk melancarkan
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2014 dan Pengesahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Musi Banyuasin 2015.
Dalam tuntutan JPU KPK Ali Fikri SH tim JPU lainnya, kedua terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Dan, berlanjut sebagaimana diatur
dalam pasal 5 ayat 2 huruf a UU nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP junto pasal
64 ayat 1 KUHP sesuai dakwaan pertama.
Seperti diberitakan sebelumnya, tim satgas KPK melakukan OTT di rumah Bambang
Karyanto (BK), anggota DPRD Muba yang berlokasi di Jalan Sanjaya RT 06 RW 02
Kecamatan Alang-Alang Lebar Palembang, Jumat (19/6) malam sekitar pukul 20.30.
MEDAN | DNA - Penuntut umum menuntut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Tapteng, Binton Simorangkir dituntut satu tahun dan enam bulan penjara dalam
persidangan kasus perkara dugaan korupsi pelaksanaan proyek steiger di Desa Binasi Kecamatan
Sorkam, Tapanuli Tengah (Tapteng) dalam persidangan yang berlangsung di ruang Kartika
Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Senin (16/11/2015).
Dalam persidangan tersebut, tuntutan yang dibacakan Agustini dan Eva juga menuntut enam
terdakwa lainnya, yakni Wesly Sitompul dan Sondang Lumbangaol, keduanya selaku pengawas
proyek, Rosdiana Hutasohit, Parasian Simanungkalit dan Rosehat L Tobing, ketiganya selaku Panitia
Pemeriksa Proyek, dan Robert Hamonangan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan
tuntutan masing satu tahun dan enam bulan penjara.
Selain menuntut agar majelis hakim yang diketuai Didik, penuntut umum juga menuntut kepada
masing-masing terdakwa membayar denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan kurungan.
Dalam persidangan tersebut, jaksa menyebutkan bahwa ketujuh terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana korupsi pada proyek tersebut yang merugikan negara Rp1,4 miliar.
Ketujuhnya dijerat JPU melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 20/2001 sebagai perubahan dari UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP (dakwaan
subsider).
Sementara untuk dakwaan primer, JPU menilai ketujuh terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan
melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU No 20/2001 sebagai perubahan
dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Menanggapi putusan tersebut, ketujuh terdakwa melalui penasihat hukumnya akan mengajukan
pledoi (pembelaan) pada sidang selanjutnya.
Binton Simorangkir sendiri usai dibacakan tuntutan sempat menangis. Berbeda dengan enam
terdakwa lainnya.
Seperti diketahui, tujuh terdakwa sendiri dinilai JPU tidak melaksanakan tugasnya sebagai PPK, KPA,
tim pengawas maupun panitia pemeriksa. Mereka mengerjakan proyek tersebut tidak sesuai dengan
spesifikasi teknis dan dokumen kontrak kerja.
Bahkan proyek tersebut juga mengalami kerusakan dan ambruk sehingga tidak dapat dipergunakan.
Alhasil negara dirugikan sebesar Rp 1,4 Milliar berdasarkan hasil audit. (dna|ams)
Korupsi Alkes Kabupaten Asahan 2012 tersebut tidak hanya menghukum Ari Sumarto dan Achmad
Ridwan, sebelumnya Majelis Hakim yang diketuai Parlindungan Sinaga juga sudah memvonis
hukuman satu tahun empat bulan penjara atau 16 bulan terhadap mantan Kepala Dinas (Kadis)
Kesehatan Kabupaten Asahan, Herwanto dalam persidangan Februari lalu
Herwanto bersalah melakukan perbuatan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes), kedokteran dan
Keluarga Berencana di Dinas Kesehatan Asahan Tahun Anggaran (TA) 2012 yang diperkirakan
merugikan negara sebesar Rp 3,4 miliar. Herwanto divonis bersama tiga terdakwa dalam
persidangan yang sama. Mereka yakni Ibnu Alfi selaku Bendahara Pengeluaran Dinkes Asahan,
divonis dengan 1 tahun 3 bulan penjara, kemudian Irfan Nasution selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) Dinas Kesehatan Asahan, serta Nasrun Achdar selaku rekanan masing- masing 1 tahun
penjara.(dna|ams)
Mantan Sekjen ESDM Waryono Karno Divonis 6 Tahun Penjara
Kerabat mencium pipi mantan Sekjen Kementerian ESDM, Wayono Karno usai sidang lanjutan di
Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/8/2015). Waryono dituntut 9 tahun penjara dan denda sebesar
Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan
vonis terhadap mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Waryono Karno hukuman 6 tahun penjara. Majelis hakim mengatakan, Waryono
terbukti melakukan sejumlah tindak pidana korupsi di lingkungan kerjanya.
"Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama," ujar Ketua Majelis Hakim Artha Theresia di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Rabu (16/9/2015).
Selain hukuman badan, anak buah mantan Menteri ESDM Jero Wacik ini juga dijatuhi
hukuman denda Rp 300 juta subsider kurungan.
Hakim menilai, Waryono telah terbukti bersalah seperti yang diuraikan jaksa dalam 3
dakwaan sekaligus. Pertama, ia disebut telah memperkaya diri sendiri, orang lain, dan
korporasi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.124.736.447 dengan ancaman
pidana Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, dia dinilai telah menyuap sebesar US$ 140 ribu kepada Ketua Komisi VII DPR Sutan
Bhatoegana. Perbuatannya diancam pidana Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor. Terakhir, ia didakwa
telah menerima gratifikasi berupa uang US$ 5284.862 dan US$ 50 ribu dari Kepala SKK
Migas Rudi Rubiandini. Ia pun diancam pidana Pasal 12 B UU Tipikor.
"Terbukti telah terjadi peralihan atau perpindahan kekuasaan uang yang bersumber dari
Rudi Rubiandini sebesar US$ 140 ribu melalui perintah terdakwa," kata hakim.
Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta majelis hakim
menghukum Waryono dengan hukuman penjara 9 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6
bulan kurungan.
Atas putusan ini, baik jaksa KPK maupun pihak Waryono Karno menyatakan akan berpikir
terlebih dulu sebelum memutuskan untuk banding atau tidak. (Ado/Sun)
Majelis hakim juga menyatakan, Sutan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 12 huruf a juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor).
Adapun hal-hal yang meringankan bagi Sutan adalah sebagai kepala rumah tangga yang
masih memiliki tanggungan keluarga. Sementara hal memberatkan, yakni perbuatan Sutan
tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang digencarkan pemerintah.
Perbuatannya dinilai bertentangan dengan slogan-slogan antikorupsi yang selalu
didengungkannya.
Politisi Partai Demokrat itu juga dianggap tidak mengakui kesalahan, berbelit-belit dalam
memberi keterangan, serta sikapnya tidak mencerminkan sebagai anggota DPR. Hal itu kian
memberatkannya sebagai terdakwa.
Vonis ini sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, Jaksa
menuntut Sutan dengan hukuman pidana 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider
6 bulan kurungan. (Ndy/Yus)
Penyuap Kepala Bappebti Terima Divonis 3 Tahun Penjara
Ekspresi mantan Direktur PT Bursa Berjangka Jakarta Bihar Sakti Wibowo saat mendengarkan
keterangan saksi pada sidang lanjutan kasus penyuapan Kepala Bappeti Syahrul R Sempurnajaya, di
Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/7). (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Liputan6.com, Jakarta - Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada
terdakwa kasus dugaan suap penerbitan izin usaha lembaga kliring berjangka, PT
Indokliring Internasional, Mohammad Bihar Sakti Wibowo dengan hukuman penjara selama
3 tahun.
Selain hukuman badan, mantan Direktur PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) ini juga dihukum
membayar denda sebesar Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.
"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam dakwaan primer," ujar Hakim Ketua
Aswijon di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/8/2015).
Hakim menilai, Bihar Sakti Wibowo terbukti memberikan suap kepada Kepala Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) saat itu, yakni Syahrul Raja
Sampurnajaya sebesar Rp 7 miliar. Pembarian ini dimaksudkan agar Bappebti memuluskan
penerbitan izin usaha lembaga kliring berjangka, PT Indokliring Internasional.
Dan atas perbuatannya, hakim pun menjerat Bihar Sakti Wibowo dengan Pasal 5 ayat 1
huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidaka
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55
ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah
yang bersangkutan tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat memberantas
tindak pidana korupsi.
"Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan, mengakui terus terang
kesalahannya, menyesali perbuatan dan masih memiliki tanggungan keluarga," tutur hakim.
Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang menuntut terdakwa dihukum selama 4 tahun penjara. Dan atas putusan
ini jaksa pun masih berpikir untuk mengajukan banding. Sementara terdakwa menerima dan
tidak akan banding.
"Saya mengerti Yang Mulia, saya menerima (vonis 3 tahun penjara)," jawab Bihar Sakti
Wibowo saat ditanya tanggapannya terkait vonis tersebut. (Ndy/Mut)
Hakim Diminta Kejatisu Batalkan SP3 Kasus korupsi pengadaan lahan RSUD Nisel
(DNABERITA.com)
MEDAN | DNA - Front Komunitas Indonesia Satu (FK-1), meminta hakim tunggal Toto Ridarto untuk
memerintahkan pihak Kejatisu untuk melanjutkan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan RSUD
Nias Selatan (Nisel) yang kini telah di SP3kan oleh pihak Kejatisu.
"Kita Berharap putusan dalam sidang prapid ini, memutuskan agar melanjutkan kasus korupsi yang
telah menetapkan 17 tersangka dalam kasus tersebut,"sebut tim kuasa hukum FKI-1 Wardaniman
Larosa usai menghadiri sidang prapid di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (21/10/2015).
Tentunya ini seiring dengan upaya prapid yang diajukan dan telah berjalan, bahwa pihaknya
mengajukan prapid karena ada kekeliruan oleh pihak penyidik yang menghentikan proses penyidikan
yang sudah berjalan selama dua tahun
Begitu pula alasan pengajuan penghentian dikarenakan para tersangka telah membayar kerugian
negara ini tidak bisa menjadi acuan. Seharusnya, meski telah mengembalikan proses tetap berjalan
dan bukan menghentikannya.
Diterangkan Warda, bukti-bukti yang terungkap berdasar fakta persidangan adalah pernyataan saksi
ahli Hukum Pidana Khusus Tipikor dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr G Widiartana SH
MHum yang berpendapat bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan sifat dan
unsur-unsur melawan hukum sehingga pelaku wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya secara
hukum.
"Sangat jelas apa yang disampaikan saksi ahli ini sesuai pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tipikor jadi jelas SP3 yang diterbitkan Kejatisu ini tidak sah dimata
undang-undang," tegas Warda.
Lanjutnya, bahkan saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak Kejatisu dari BPK RI, R Aryo Seto Bomantari
berpendapat bahwa pengembalian keuangan negara hanya bersifat administrasi. Aryo juga bahkan
menyatakan seperti LHP yang dikeluarkan oleh pihaknya atas kasus dugaan mark up harga tanah
pengadaan Balai Benih Induk (BBI) yang juga di Nisel meski uang negara juga telah dikembalikan
namun kasusnya tetap berlanjut hingga berkekuatan hukum tetap.
"Itu adalah pernyataan saksi ahli dari BPK yang dihadirkan pihak kejaksaan bukan dari kita, nah
bukankah itu bukti nyata," ungkap Warda.
Fakta terungkap lainnya, jelas Warda bahwa Ahli Hukum Administrasi Negara dari USU, DR Mirza
Nasution menyatakan LHP BPK RI terbit terlebih dahulu kemudian diusulkan laporan hasil
pemantauan atas penyelesaian kerugian daerah.
Sehingga tenggang waktu pengembalian terhitung sejak diketahui kerugian negara yang tercatat
dalam LHP BPK Ri. Dimana dalam perkara ini pengembalian kerugian negara telah melampaui
tenggang waktu yan ditentukan selama 60 hari karena diketahui LHPnya pada 4 Juli 2013 dan baru
dikembalikan 4 November 2013. Dimana kembali peristiwa ini telah melanggar Pasal 23 UU Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
"Sekali lagi kami berharap dengan semua fakta itu, maka hakim harus memberikan putusan
terbaiknya karena dampak keputusan ini nantinya akan sangat berpengaruh bagi penegakkan hukum
bukan hanya di Sumut tetapi di Indonesia. Karena bila hakim memutuskan bahwa apa yang dilakukan
oleh Kejatisu itu tidak melanggar maka hancurlah negara kita ini," tegas Warda.
Lembaga Kajian Kebijakan Publik Sekjen (LKKP) Hans menyebutkan terbitnya Surat Penghentian
Penyidikan Perkara (SP3) untuk kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di RSUD Nias Selatan
(Nisel) yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dinilai syarat akan intervensi
politik.
Menurutnya ada campur tangan politikus terkait SP3 kasus ini. Sebab berdasarkan kajian yang
mereka lakukan, salah seorang tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut saat ini tercatat
sebagai calon Walikota Gunung Sitoli berpasangan dengan saudara salah seorang menteri.
Sementara terkait gugatan yang diajukan sejumlah lembaga terkait penghentian perkara ini di PN
Medan, Sekjen Lembaga Kajian Kebijakan Publik (LKKP), Hans Wijaya berharap hakim tunggal yang
menangani perkara ini tidak terpengaruh dengan adanya intervensi politik sebab menurutnya
penerbitan SP3 kasus itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
Putusan terhadap gugatan SP3 dugaan korupsi RSUD Nisel ini dijadwalkan pada Kamis 21 Oktober
2015 di PN Medan.
Sejumlah lembaga yang melakukan gugatan berencana akan menggelar aksi meminta agar hakim
yang menangani perkara ini mengabulkanan gugatan mereka.
Sebelumnya, 11 Agustus 2015, pihak kejatisu mengeluarkan SP3 atas diri para tersangka dengan
alasan mereka telah mengembalikan uang kerugian negara tersebut.