Anda di halaman 1dari 9

TUGAS INDIVIDU

AKUNTANSI FORENSIK
“ KASUS DJOKO TJANDRA”

OLEH :

Nama : Ni Kadek Milayanti


NIM : 1702622010311
NO : 14
KELAS : D Malam 2017

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
RINGKASAN KASUS TJOKO TJANDRA

Saat berusia 17 tahun, Djoko bepergian ke Irian Jaya (sekarang provinsi Papua),
di mana pada tahun 1968 ia membuka toko grosir bernama Toko Sama-Sama di ibukota
provinsi tersebut, Jayapura. Pada tahun 1972, ia membuka toko bernama Papindo
di Papua Nugini. Ia membuka bisnis distribusi di Melbourne pada tahun 1974. Pada tahun
1975, ia mendirikan sebuah perusahaan kontraktor bernama PT Bersama Mulia
di Jakarta. Tiga tahun kemudian, sebagai ahli untuk PT Jaya Supplies Indonesia, ia
memperoleh proyek dari Pertamina, PLN dan Kementerian Perindustrian Republik
Indonesia. Dari tahun 1979 hingga 1981, ia mengembangkan pembangkit listrik Belawan
di Sumatra Utara, memperluas kilang minyak di Balikpapan, mengembangkan
Hydrocracking Complex di Dumai, sebuah kilang minyak di Cilacap, dan pupuk Kaltim
di Bontang, Kalimantan Timur.

Pada tahun 1983, ia memasuki sektor properti, dengan mengembangkan blok


kantor. Di antara proyek-proyeknya adalah gedung Lippo Life, Kuningan Plaza
dan BCA Plaza. Ia juga terlibat dalam pengembangan Mal Taman Anggrek, yang
dulunya merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara.

Djoko adalah tokoh utama dalam Grup Mulia, yang dimulai dengan PT
Mulialand, yang didirikan pada awal 1970-an oleh Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa)
dan tiga anaknya: Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok
Kwang) dan Djoko Tjandra. Mulialand terlibat dalam konstruksi dan properti. Properti
mewah yang dikembangkannya meliputi Hotel Mulia Senayan, Wisma Mulia, Menara
Mulia, Wisma GKBI, Menara Mulia Plaza 89, Plaza Kuningan, dan apartemen Taman
Anggrek. Pada 5 November 1986, mereka mendirikan PT Mulia Industrindo, sebuah
perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur kaca dan keramik.

Pada 11 Februari 1999, Djoko Tjandra menghadiri pertemuan di Hotel Mulia di


Jakarta untuk membahas upaya Bank Bali untuk mengumpulkan Rp904 miliar yang
terhutang oleh tiga bank yang diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Tjandra hadir sebagai direktur Era Giat Prima, sebuah perusahaan
yang mengumpulkan komisi sebesar Rp546 miliar agar BPPN mengeluarkan dana.
Sekitar Rp274 miliar uang komisi ditransfer ke rekening Djoko di BNI Kuningan,
sementara sebagian dari uang itu ditransfer ke pejabat dan legislator Indonesia.

Setelah berita tentang skandal Bank Bali mencuat pada akhir Juli 1999, Djoko
diselidiki oleh polisi dan Kejaksaan Agung. Dia ditahan pada tanggal 29 September 1999
dan kemudian ditempatkan di bawah tahanan rumah. Dia diadili di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 9 Februari 2000, didakwa melakukan korupsi karena "mengatur dan
terlibat dalam transaksi ilegal". Jaksa menuntut hukuman 18 bulan, tetapi dia dibebaskan
pada 6 Maret 2000, dengan wakil hakim ketua yang memutuskan kasus itu seharusnya
sudah disidangkan oleh pengadilan perdata.[3] Pada 31 Maret 2000, Pengadilan Tinggi
Jakarta memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memeriksa dan
mengadili Djoko. Dia kembali ke pengadilan pada April 2000 dan dibebaskan pada 28
Agustus 2000. Hakim mengatakan meskipun dakwaan jaksa penuntut atas tindakan
Djoko terbukti secara hukum, tindakan itu bukan merupakan tindak pidana melainkan
tindak perdata. Jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung, yang menguatkan
Djoko tidak bersalah dalam putusan pada tanggal 26 Juni 2001.

Pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali ke


Mahkamah Agung atas pembebasan Djoko. Sehari sebelum putusan dijatuhkan, Djoko
terbang pada 10 Juni 2009 menggunakan pesawat charter dari Bandara Halim
Perdanakusuma Jakarta ke Port Moresby, Papua Nugini. Pada 11 Juni 2009, Mahkamah
Agung menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Djoko Tjandra. Dia kemudian
dinyatakan sebagai buron. [4]

Pada bulan Maret 2016, istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran,


mengunjungi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan mengajukan permohonan
peninjauan kembali atas Pasal 263, Bab 1, Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada 12 Mei 2016, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permintaannya, mencabut pasal KUHP yang memungkinkan jaksa meminta peninjauan
kembali keputusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap.

Setelah keputusan itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo saat itu dipanggil ke
sebuah pertemuan oleh kepala menteri keamanan Wiranto, yang menginginkan dia untuk
mempelajari rekomendasi untuk membersihkan Djoko dari belitan hukumnya. Prasetyo
menolak mengatur amnesti untuk Djoko.

Djoko Tjandra mengunjungi Port Moresby pada tanggal 27 Februari 2009 dan
diberikan Izin Perjalanan Bisnis APEC. Pada 21 Oktober 2010 ia diberikan Izin Tinggal /
Bekerja selama tiga tahun oleh Kedutaan Besar PNG di Jakarta. Pada 25 Agustus 2011, ia
diberikan Izin Tinggal Tetap oleh Menteri Luar Negeri saat itu Ano Pala. Pada Oktober
2011, ia mengajukan permohonan kewarganegaraan melalui naturalisasi. Pada tanggal 29
April 2012, ia diberikan kewarganegaraan PNG oleh Ano Pala, meskipun ia tidak
memenuhi persyaratan konstitusional dan namanya ada di daftar merah Interpol karena ia
dicari sebagai buron di Indonesia.

Pada 4 Mei 2012, Djoko Tjandra menerima Paspor PNG pertamanya. Pada 7 Mei
2012, ia mengajukan paspor lain, yang dikeluarkan dengan nama baru sebagai Joe Chan.
Dia juga mengubah tanggal lahirnya menjadi 27 September 1963. Paspor PNG lain
dikeluarkan atas nama "Joe Chan" pada 20 Januari 2014.Menurut Interpol, ia memiliki
paspor Azerbaijan, yang dilaporkan dicuri pada 24 Juni 2005.

Pada 29 Juni 2020, Jaksa Agung Indonesia ST Burhanuddin mengatakan Djoko


Tjandra telah berada di Indonesia selama tiga bulan terakhir. Dia mengatakan Djoko pada
8 Juni telah mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bersalahnya. Menteri
Hukum & HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa tidak ada catatan Djoko kembali ke
Indonesia pada data imigrasi. Pada 2 Juli 2020, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa ia telah memerintahkan Kantor
Kejaksaan Agung untuk segera menangkap Djoko. Mahfud kemudian mengatakan bahwa
polisi memberi tahu dia bahwa nama Djoko Tjandra telah dikeluarkan dari daftar buron
Interpol pada tahun 2014 karena Kantor Kejaksaan Agung Indonesia tidak pernah
meminta perpanjangan.

Djoko Tjandra berhasil mendapatkan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)


yang dikeluarkan pada 8 Juni 2020 oleh Kelurahan Grogol Selatan di Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan. Kartu itu digunakan dalam pengajuan permintaannya untuk peninjauan
kembali atas hukuman dua tahun penjara. Kepala Kelurahan Grogol Selatan Asep
Subhandi mengatakan kartu itu dikeluarkan dalam waktu kurang dari satu jam, setelah ia
dihubungi oleh pengacaranya Djoko pada 3 Juni 2020. Sebuah paspor Indonesia baru
juga diberikan kepada Djoko Tjandra pada 23 Juni 2020.

Djoko Tjandra dijadwalkan muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7


Juli 2020 untuk sidang pemeriksaan kasusnya, tetapi ia tidak muncul. Pengacaranya,
Anita Kolopaking, mengklaim bahwa ia berada di Kuala Lumpur, Malaysia, dirawat
karena penyakit yang tidak dikemukakan. Juru bicara Imigrasi Indonesia Arvin Gumilang
bersikeras bahwa tidak ada catatan Djoko Tjandra terbang ke Malaysia.

Pada Juli 2020, dua orang perwira polisi dikeluarkan dari jabatannya karena
diduga memfasilitasi perjalanan Djoko Tjandra di Indonesia. Kepala Divisi Hubungan
Internasional Kepolisian Nasional Republik Indonesia Inspektur Jenderal Polisi Napoleon
Bonaparte ditemukan telah melanggar etika, sedangkan Sekretaris Biro Pusat Nasional
Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Polisi Nugroho Wibowo diduga menghapus status
pemberitahuan merah Interpol untuk Djoko Tjandra. Secara terpisah, Brigadir Jenderal
Polisi Prasetijo Utomo, Kepala Biro Pengawasan dan Koordinasi Penyelidik Pegawai
Negeri Sipil di Badan Reserse Kriminal POLRI, dilaporkan mengeluarkan surat
perjalanan pada tanggal 18 Juni yang memungkinkan Djoko Tjandra terbang dari Jakarta
ke Pontianak di Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali lagi pada 22 Juni. Pada 30
Juli 2020, Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia pada
hari yang sama. Operasi pengembalian dipimpin oleh Kabareskrim Listyo Sigit Prabowo.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank
Bali adalah sebagai berikut :

1) Prasetijo Utomo
Bareskrim menetapkan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo menjadi tersangka dalam
dua kasus berbeda terkait Djoko Tjandra, yaitu pemalsuan surat dan korupsi. Di kasus
pertama, polisi menduga mantan Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri ini
menerbitkan Surat Jalan Nomor 77 tanggal 3 Juni 2020 dan Surat Jalan tertanggal 19
Juni 2020 untuk Djoko Tjandra. Selain itu, polisi menyatakan Prasetijo diduga
memfasilitasi Djoko mendapatkan surat bebas Covid-19. Dua surat ini ditengarai
mempermudah Djoko keluar-masuk Indonesia saat mendaftarkan Peninjauan
Kembali. “Dua surat jalan tersebut dibuat atas perintah tersangka PU,” kata Kepala
Bareskrim, Komisaris Jenderal Listyo Sigit saat konferensi pers, 27 Juli 2020. Di
kasus korupsi, Prasetijo diduga menerima suap terkait surat-surat yang Ia terbitkan.
Polisi belum menjelaskan jumlah uang yang diterima oleh Prasetijo. Namun,
penetapan tersangka terhadap dirinya dilakukan dengan barang bukti US$ 20 ribu.
2) Napoleon Bonaparte
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon
Bonaparte ditetapkan menjadi tersangka suap bersama dengan Prasetijo Utomo. Ia
diduga menerima hadiah dan janji terkait penghapusan red notice atas nama Djoko
Tjandra. Polisi belum mendetailkan peran dan uang yang diduga diterima olehnya.
Sama dengan Prasetijo, duit US$ 20 ribu menjadi salah satu barang bukti dalam kasus
ini.
3) Pinangki
Kejaksaan Agung menetapkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi tersangka suap.
Pinangki diduga membantu memuluskan jalan Djoko untuk mengajukan Peninjauan
Kembali terhadap kasusnya. Mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II
Kejagung ini diduga juga pernah bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia. Ia
diduga menerima US$ 500 ribu.
4) Djoko Tjandra
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra ditetapkan
menjadi tersangka pemalsuan surat dan korupsi. Djoko merupakan tersangka ketiga
dalam kasus pemalsuan surat. Adapun dalam kasus korupsi, Djoko menjadi tersangka
pemberi suap kepada Prasetijo dan Napoleon.
5) Anita Kolopaking
Anita Dewi Anggraeni Kolopaking merupakan pengacara Djoko Tjandra dalam
upaya Peninjuan Kembali. Polisi menetapkan dia menjadi tersangka terkait surat
jalan. Anita diduga melobi Prasetijo untuk menerbitkan surat jalan dan surat bebas
Covid-19.
6) Tommy Sumardi
Bersama Djoko Tjandra, polisi menetapkan Tommy Sumardi menjadi tersangka
pemberi suap terkait surat jalan dan penghapusan red notice. Tommy dikenal sebagai
pengusaha yang dekat dengan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Dia juga calon
besan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.

Aliran dana dalam kasus korupsi Djoko Tjandra adalah :

a. Jaksa Pinangki Sirna Malasari dijanjikan uang oleh Djoko Tjandra sebesar 10 juta dollar
Amerika Serikat atau sekitar Rp 145 miliar. Imbalan ini diberikan untuk membereskan
persoalan hukum kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang menjerat Djoko Tjandra
di tahun 2009. Kemudian, Pinangki juga diduga menerima uang tunai sebesar 500.000 dollar
Amerika atau jika dirupiahkan sebesar Rp 7,4 miliar untuk memuluskan rencana. Dari
nominal tersebut, diduga sebesar 50.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 730 juta
mengalir ke Anita Kolopaking.
b. Brigjen Prasetijo Utomo diduga mendapat aliran dana melalu pengusaha bernama Tommy
Sumardi (TS) sebesar 20.000 USD atau sekitar Rp 295 juta untuk melakuakan penghapusan
Red Notice.
c. Irjen Napoleon Bonaparte mengakui menerima suap dari Djoko Tjandra dan Tommy.
Prasetijo menerima sebesar 20 ribu USD. Sementara itu, Napoleon diduga menerima uang
lebih besar dari Prasetijo.
d. Brigjen Nugroho Slamet Wibowo, masih belum diketahui pasti berasa jumlah dana yang
diterima oleh Nugroho dari Djoko Tjandra.
GAMBAR MONEY LOUNDRING DARI KASUS DJOKO TJANDRA

Bank Bali kesulitan 27 SEPTEMBER 1999


menagih piutang ke 9
Perkara korupsi cessie Bank SEPTEMBER
Bank Dagang Bali yang melibatkan Djoko
Nasional Indonesia 1999-8
Tjandra mulai diusut oleh NOVEMBER
(1997) Kejaksaan Agung sesuai 1999
dengan laporan dari Bismar Djoko ditahan
Mannu oleh Kejaksaan.

26 JUNI 2001
28 AGUSTUS 2000
Djoko Tjandra Majelis hakim 9 NOVEMBER
dilepaskan dari memutuskan Djoko 1999- 13
semua tuntutan S Tjandra lepas dari JANUARI 2000
segala tuntutan Djoko Tjandra
(onslag). menjadi tahanan
kota kejaksaan.
10 JUNU
2009 2012 3 JUNI 2020
Djoko Djoko Tjandra Lurah Grogol Selatan
Tjandra kabur diketahui masuk Asep Subhan dihubungi
ke Papua warganegara Papua pengacara Djoko untuk
Nugini Nugini kepengurusan E-KTP

30 JULI 2020 27 JUNI 2020 22 JUNI 2020

Akhirnya polri sukses Kejaksaan Agung Djoko mengajukan


menangkap Djoko Memasukkan nama pembuatan paspor di
Tjandra dalam Djoko Tjandra Kantor Imigran
upayanya saat kabut di sebagai DPO Jakarta Utara
Negeri Jiran.
REFERENSI
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22275/djoko-tjandra-dan-syahril-sabirin-divonis-2-
tahun-penjara/

https://magz.tempo.co/read/opinion/36851/broken-system

https://nasional.kompas.com/read/2016/05/16/19320071/Menangkan.Permohonan.Istri.Djoko.Tjandra
.MK.Nyatakan.Jaksa.Tak.Boleh.Ajukan.PK?page=all

https://id.wikipedia.org/wiki/Djoko_Tjandra

Anda mungkin juga menyukai