Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

AKUNTANSI FORENSIK DAN INVESTIGASI FRAUD

DISUSUN OLEH:

NAMA : GRACIA B M LEASA

NIM : 2017 30 199

MK : FORENSIC ACCOUNTING & AUDIT


EXAMATION

UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas Makalah
Akuntansi Forensik dengan baik. Penyusunan makalah ini
tidak terlepas dari peran teman – teman kelas dan dosen
pengampuh mata kuliah Akuntansi Forensik dalam pembuatan
makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini tidak lepas
dari kekurangan- kekurangan. Oleh karena itu, Saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Akhirnya saya
mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dalam memahami mengenai Akuntansi Forensik

02, Desember 2020

Gracia B M Leasa
 Kronologi Kasus Djoko Tjandra

Awal mula terbongkar Terbongkarnya keberadaan Djoko Tjandra di


Indonesia setelah sebelumnya dinyatakan buron sejak 2009, saat
Komisi III DPR menggelar kerja bersama dengan Jaksa Agung
Sanitiar Burhanuddin di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada
29 Juni lalu. Saat itu, Burhanuddin mengaku mendapat informasi
bahwa Djoko Tjandra telah mendaftarkan permohonan peninjauan
kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dikabarkan,
Djoko Tjandra mendaftarkan PK-nya pada 8 Juni. Saat itu, ia
mengaku, Kejaksaan Agung 'kecolongan'. Sebab, Djoko Tjandra
dikabarkan sudah tiga bulan terakhir berada di Indonesia.

Dibantah Menkumham

Namun, pernyataan itu dibantah oleh Menteri Hukum dan HAM


Yasonna H Laoly. "Dari mana data bahwa dia (Djoko Tjandra) tiga
bulan di sini, tidak ada datanya kok," kata Yasonna dalam siaran
pers, 30 Juni 2020. MAKI: Mengobati Rasa Malu Rakyat Indonesia Ia
pun mengaku heran dengan pernyataan yang menyebut Djoko Tjandra
sudah berada di Indonesia. Pasalnya, Kemenkumham tidak mencatat
kedatangan Djoko Tjandra ke Tanah Air. "Di sistem kami tidak ada.
Saya tidak tahu bagaimana caranya. Sampai sekarang tidak ada,"
ujarnya.

Kronologi versi Kemenkumham

Dalam keterangan yang sama, Kepala Bagian Humas dan Umum


Direktorat Jenderal Imigrasi Arvin Gumilang pun menyampaikan
kronologi terkait status Djoko Tjandra. Arvin mengatakan, awalnya,
pada 24 April 2008, KPK meminta pencegahan terhadap Djoko yang
berlaku selama 6 bulan. Lalu, pada 10 Juli 2009, terbit red notice
dari Interpol atas nama Djoko Tjandra. Kemudian, pada 29 Maret
2012, terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan
Agung yang berlaku selama 6 bulan. Pada 12 Februari, 2015, terdapat
permintaan DPO dari Sekretaris NCB Interpol Indonesia terhadap
Djoko Tjandra alias Joe Chan yang disebut berstatus sebagai warga
negara Papua Nugini. "Ditjen Imigrasi menerbitkan surat perihal
DPO kepada seluruh kantor Imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris
NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri," ujar Arvin. Baca juga:
Profil Djoko Tjandra, Si Joker Buronan Kasus Bank Bali Lalu, pada
4 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol
bahwa red notice atas nama Djoko Tjandra telah terhapus dari basis
data sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari
Kejaksaan Agung. "Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan
menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Sistem Perlintasan pada
13 Mei 2020," kata Arvin. Kemudian, pada Sabtu (27/6/2020) lalu,
Ditjen Imigrasi kembali menerima permintaan DPO dari Kejaksaan
Agung sehingga nama Djoko kembali dimasukkan dalam sistem
perlintasan dengan status DPO. "Di samping kronologi di atas, perlu
disampaikan juga bahwa atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Joe
Chen tidak ditemukan dalam data perlintasan," kata Arvin.

Punya e-KTP

Belakangan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)


Boyamin Saiman mengungkap bahwa Djoko Tjandra memiliki e-KTP
saat mendaftarkan PK ke PN Jaksel. E-KTP itu, sebut dia, diduga
dibuat pada hari yang sama saat Djoko Tjandra mendaftarkan PK
tersebut. Dari informasi yang diperoleh Boyamin, perekaman dan
pencetakan e-KTP dilakukan di Kantor Dinas Dukcapil Jakarta
Selatan. "Djoko S Tjandra diduga bisa melakukan KTP-el pada
tanggal 8 Juni 2020 dan diduga melakukan rekam data pada tanggal
yang sama, 8 Juni 2020," kata Boyamin dalam keterangan tertulis, 6
Juli 2020 Setelah diusut, Lurah Grogol Selatan Asep Subahan berada
di balik cepatnya proses perekaman dan pencetakan e-KTP Djoko
Tjandra. Hal itu diketahui berdasarkan investigasi yang dilakukan
oleh Inspektorat Provinsi DKI. Asep Subahan pun akhirnya dicopot.

Surat jalan

Tak hanya membeberkan soal e-KTP, MAKI juga mengungkap adanya


dugaan bantuan dari sebuah instansi kepada Djoko Tjandra. Boyamin
menyebut, Djoko Tjandra mendapat surat jalan yang memudahkan
dirinya untuk bepergian di Tanah Air. Surat jalan itu akhirnya
dilaporkan ke berbagai pihak, mulai dari Ombudsman RI, Komisi III
DPR hingga Bareskrim Polri. Belakangan terungkap bahwa surat
jalan itu diterbitkan secara sepihak oleh Kepala Biro Koordinasi dan
Pengawasan PPNS Bareskri Polri, Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Prasetijo pun dicopot dari jabatannya. Kini Prasetijo telah
ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar disiplin dan
kode etik. Selain Prasetijo, ada dua jenderal lain yang dimutasi
karena diduga melanggar kode etik perihal polemik red notice untuk
Djoko Tjandra. Keduanya yaitu, Kepala Divisi Hubungan
International Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB
Interpol Indonesia Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo.
Dugaan keterlibatan jaksa

Selain surat jalan, Boyamin mengungkap adanya dugaan keterlibatan


jaksa dalam kasus pelarian Djoko Tjandra. Hal itu terungkap dari
adanya foto oknum jaksa saat bertemu dengan Djoko Tjandra. Atas
hal tersebut, MAKI melaporkan hal itu ke Komisi Kejaksaan pada 24
Juli lalu. Belakangan, identitas oknum jaksa yang dimaksud
terungkap, yaitu Pinangki Sirna Malasari, Kasubag Pemantauan dan
Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung. Baca juga: Djoko
Tjandra Diperkirakan Tiba Pukul 22.00, Polisi Berjaga di Halim Foto
Pinangki bersama Djoko Tjandra dan pengacaranya, Anita
Kolopaking, beredar luas di media sosial. Pertemuan itu diduga
dilakukan di Malaysia. Kejagung pun bertindak cepat. Pinangki
akhirnya diperiksa oleh Bidang Pengawasan Kejagung. Dari hasil
pemeriksaan, diketahui Pinangki sembilan kali melakukan perjalanan
ke luar negeri pada tahun 2019 ke Singapura dan Malaysia. Diduga
dalam salah satu perjalanan tersebut, Pinangki bertemu dengan Djoko
Tjandra yang berstatus buron. Kini, Pinangki telah dijatuhi hukuman
disiplin dan dicopot dari jabatannya karena bepergian ke luar negeri.

PK Djoko Tjandra ditolak

Setelah empat kali menggelar sidang, PN Jakarta Selatan akhirnya


menolak permohonan PK yang diajukan Djoko Tjandra. Selama
pelaksanaan sidang, yaitu pada 29 Juni, 6 Juli, 20 Juli, dan 27 Juli,
Djoko Tjandra tidak pernah hadir ke pengadilan karena alasan sakit.
Keputusan penolakan permohonan tersebut tertuang dalam surat
penetapan dengan nomor 12/Pid/PK/2020/PN.Jkt.Sel tertanggal 28
Juli 2020. "Amarnya menyatakan permohonan peninjauan kembali
dari pemohon atau terpidana Joko Soegiarto Tjandra tidak dapat
diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah
Agung," kata Humas PN Jaksel Suharno ketika dihubungi, Rabu
(29/7/2020). Baca juga: Djoko Tjandra Ditangkap, Jalan Panjang
Kasus Buron Kelas Kakap Suharno mengatakan permohonan tersebut
tidak memenuhi syarat formil yang tertuang dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA). Edaran yang dimaksud yaitu, SEMA
Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan
Kembali dalam Perkara Pidana juncto SEMA Nomor 7 Tahun 2014.
"Tidak memenuhi syarat formil sebagaimana ketentuan SEMA Nomor
1 Tahun 2012 juncto SEMA Nomor 7 Tahun 2014," tutur dia. Jika
menilik SEMA Nomor 1 Tahun 2012, MA menegaskan bahwa
permintaan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli
warisnya. Dalam SEMA juga tertulis bahwa permintaan PK yang
diajukan oleh kuasa hukum tanpa dihadiri terpidana harus dinyatakan
tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke MA.

Anita Kolopaking tersangka

Di sisi lain, Bareskrim Polri menetapkan pengacara Djoko Tjandra,


Anita Kolopaking, sebagai tersangka. Penetapan tersebut dilakukan
setelah Bareskrim memeriksa 23 orang saksi dan mengantongi barang
bukti yang cukuop. "Hasil kesimpulannya adalah menaikkan status
saudari Anita Dewi A Kolopaking menjadi tersangka," kata Kepala
Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono seperti dikutip dari tayangan
Kompas TV, Kamis malam. Baca juga: LIVE STREAMING: Polri
Tangkap Djoko Tjandra Anita dijerat Pasal 263 ayat (2) KUHP
terkait penggunaan surat palsu. "Dan juga kita kenakan Pasal 223
KUHP yaitu barangsiapa dengan melepaskan atau memberi
pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas
perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim," ucap
dia. Sebelumnya, Anita telah dipanggil untuk diperiksa penyidik
Bareskrim sebanyak tiga kali, yaitu Selasa (21/7/2020), Rabu
(22/7/2020), dan Kamis (23/7/2020) kemarin. Anita juga telah
dicegah ke luar negeri sejak 22 Juli 2020. 20 hari berikutnya.

 Identifikasi Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepis anggapan yang


menyebut lembaga antirasuah itu tidak berani mengambil alih
kasus Djoko Tjandra dari Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung.
Hal itu disampaikan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam
menanggapi kritik Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
menilai KPK hanya melakukan pencitraan saat gelar perkara
bersama Bareskrim Polri dan Kejagung, namun tidak
mengambilalih penanganan kasusnya. "Kami menghargai
pandangan dari siapapun soal hal tersebut, termasuk tentu dari
rekan-rekan di ICW. Namun perlu kami sampaikan bahwa ini
bukan soal berani atau tidak berani pengambilan kasus dari APH
(aparat penegak hukum) lain," kata Ali, Senin (14/9/2020). Baca
juga: KPK Undang Polri-Kejagung Gelar Perkara Kasus Djoko
Tjandra, ICW Harap Tak Cuma Formalitas Ali menegaskan,
pengambilalihan kasus dari aparat penegak hukum lain tidak boleh
berdasarkan pada keberanian. Namun, harus berdasarkan aturan
hukum yaitu Pasal 6, 8, dan 10A Undang-undang KPK. Pasal 6 UU
KPK menyatakan, tugas-tugas KPK antara lain berkoordinasi
dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan
tindak pidana korupsi serta melakukan supervisi terhadap instansi
terebut. Baca juga: Kasus-kasus Djoko Tjandra yang Tertunda
Kelengkapan Berkas... Pasal 8 UU KPK mengatur, pelaksanaan
tugas koordinasi tersebut sedangkan Pasal 10A UU KPK mengatur
kewenangan KPK untuk mengambilalih penanganan perkara kasus
korupsi dari Kepolisian dan Kejaksaan. Adapun sejumlah alasan
agar KPK dapat mengambil alih penanganan perkara tersebut
antara lain, laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi
tidak ditindaklanjuti, penanganan tindak pidana korupsi tanpa
penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, serta penanganan tindak pidana korupsi
mengandung unsur tindak pidana korupsi "Di sini adalah
bagaimana cara berhukum yang benar tentu dengan mengikuti
ketentuan uu yang berlaku yang dalam hal ini Pasal 6, 8 dan 10 A
UU KPK," ujar Ali. Baca juga: KPK Belum Putuskan soal
Pengambilalihan Kasus Jaksa Pinangki dari Kejagung Sebelumnya,
peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai gelar perkara yang
dilakukan KPK bersama Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung
hanyalah pencitraan agar KPK terlihat serius menanggapi kasus
Djoko Tjandra. "Sebab, publik berharap besar bahwa hasil akhir
dari gelar perkara tersebut menyimpulkan bahwa KPK mengambil
alih seluruh penanganan perkara yang ada di Kejaksaan Agung dan
Kepolisian. Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya," kata
Kurnia, Sabtu (12/9/2020). Adapun pada Jumat (11/9/2020), KPK
melakukan gelar perkara kasus Djoko Tjandra bersama Bareskrim
Polri dan Kejaksaan Agung. Usai gelar perkara, pimpinan KPK
menyatakan pihaknya belum memutuskan mengambil alih
penanganan perkara tersebut

 Audit Investigasi
- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan investigasi
terkait skandal terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko
Tjandra yang belakangan ini menjadi perhatjan publik.
Ombudsman telah meminta keterangan kepada Kejaksaan
Agung, Polri, Ditjen Imigrasi, Inspektur Jenderal Kemenkum
HAM, Ditjen Dukcapil, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dan ahli dilakukan sejak Juli-Agustus 2020.

- Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala menyatakan,


berdasarkan hasil pemeriksaan dan analisa peraturan
perundang-undangan serta dokumen, terjadi maladministrasi
pada Kejaksaan Agung. Maladministrasi tersebut berupa
penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.

- “Sementara itu, pada Polri juga berupa penundaan berlarut,


penyimpangan posedur dan penyalahgunaan wewenang.
Sedangkan pada Ditjen Imigrasi berupa tindakan tidak
kompeten dan penyimpangan prosedur, dan pada Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan berupa tindakan tidak patut,” kata
Adrianus dalam keterangannya, Rabu (7/10).

- Kewenangan tersebut sesuai ketentuan Pasal 7 huruf d


Undang – Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman
RI, bahwa Ombudsman bertugas melakukan investigasi atas
prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.

- Ombudsman meminta sejumlah lembaga tersebut melakukan


tindakan korektif antara lain memperbaiki
sistem dan kualitas pelayanan publik bagi masing-masing
instansi. Kepada Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung,
Kapolri, Menteri Hukum dan HAM serta Mendagri,
Ombudsman meminta dilakukan tindakan korektif terkait
proses pemeriksaan terhadap pihak internal maupun pihak
eksternal yang diduga terkait dengan kasus Djoko Soegiarto
Tjandra.
- Sementara itu, anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu
menegaskan, masing-masing lembaga dapat melakukan
pembaharuan dan perbaikan pada SPPT-TI, SIMKIM dan
SIAK untuk memuat Daftar DPO dan red notice, pembuatan
dan perbaikan peraturan pada masing-masing instansi
tersebut, dan sinergitas dan koordinasi antar masing-masing
instansi penegak hukum dan instansi lain terkait DPO dengan
melibatkan Kemenkopolhukam, KPK dan Komisi Kejaksaan.

- “Kami akan memantau pelaksanaan tindakan korektif tersebut


dan meminta tindak lanjut dalam waktu 30 hari” tegas Ninik.

- Ninik Rahayu menegaskan, perlunya sinergi yang efektif


antar aparat penegak hukum agar penyelesaian permasalahan
Djoko Soegiarto Tjandra lebih obyektif, transparan dan
akuntabel. “Ombudsman berharap persoalan yang sama tidak
terulang kembali di masa mendatang,” tandasnya.

Anda mungkin juga menyukai