Anda di halaman 1dari 8

KRONOLOGI KASUS DJOKO TJANDRA, DARI BANK BALI HINGGA JADI WN

PAPUA NUGINI
Liputan6.comLiputan6.com
20 Jul 2020, 13:52 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak yang mengetahui bahwa perjalanan kasus cessie Bank Bali
yang melibatkan nama Djoko Tjandra sudah berlangsung lama. Bahkan, kasus yang mulai
tercium aparat penegak hukum sejak lebih dari dua dasawarsa silam itu belum juga bisa menjerat
Djoko Tjandra masuk bui meski sudah jadi terpidana.
Direktur Eksekutif Indonesia Bureaucracy and Service Watch (IBSW) Nova Andika
mengatakan, kasus ini mulai masuk ranah hukum pada akhir 1999.
"Ketika itu kasusnya mulai diusut Kejaksaan Agung," ujar Nova dalam keterangan tertulis yang
diterima Liputan6.com, Senin (20/7/2020)
Berikut koronologi perjalanan kasus yang melibatkan Djoko Tjandra hingga yang
bersangkutan menjadi warga negara Papua Nugini:
27 September 1999
Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan
Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa
Agung.
29 September 1999-8 November 1999
Djoko ditahan oleh Kejaksaan.
9 November 1999-13 Januari 2000
Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.
14 Januari 2000-10 Februari 2000
Djoko kembali ditahan oleh kejaksaan.
9 Februari 2000
Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
10 Februari 2000-10 Maret 2000
Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali
menjadi tahanan kota.
6 Maret 2000
Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap
kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa
mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
31 Maret 2000
Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.
19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar
Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili
Djoko Tjandra.

DISIDANG DAN DILEPASKAN


April 2000-Agustus 2000
Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT
Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari
Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali
berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara
sebesar Rp 904.642.428.369.
Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut
membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya
perkara sebesar Rp 7.500.
Sedangkan uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account
Bank Bali agar dikembalikan pada negara.
28 Agustus 2000
Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam
putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko
Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan
pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan
hukum.
21 September 2000
Antasari Azhar selaku JPU mengajukan kasasi.
26 Juni 2001
Majelis hakim Agung MA melepaskan Djoko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil
dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi
dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkostar mengenai permohonan kasasi Djoko
Tjandra yang diajukan oleh JPU.
12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar
menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank
Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud
dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.
17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di
atas.
19 Juni 2003
BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat
keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada
dua keputusan MA yang bertentangan.
25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur
atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

KABUR SEBELUM VONIS


1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang
dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus
Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546
miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya
Novanto.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan
terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara,
Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima
Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko
Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali
sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie
Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.
16 Juni 2009
Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali
panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko
dinyatakan sebagai buron.
Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat
carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan
kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.
Hingga titik ini, Djoko Tjandra tak lagi bisa disentuh.

KRONOLOGI 2
JAKARTA - Terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra ditangkap. Sebelas tahun pelarian
Djoko Tjandra sebagai buron berakhir. Lebih panjang dari pelariannya, kasus Djoko Tjandra
telah bergulir selama 21 tahun sejak 1999. Berikut kronologi kasus Djoko Tjandra.
"Iya, benar (Djoko Tjandra ditangkap)," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat
dihubungi, Kamis, 30 Juli.
Djoko Tjandra terlibat kasus pengalihan hak yang menyebabkan pergantian kreditur Bank Bali
senilai Rp904 miliar. Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kejagung sempat menahan Djoko Tjandra pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000.
Namun, hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra dari
tuntutan. PN Jakarta Selatan menilai perbuatan Djoko Tjandra perdata, bukan pidana.
Pada 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) untuk
kasus Djoko Tjandra. Hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan mewajibkan Djoko
Tjandra membayar Rp15 juta. Selain itu, uang Rp546,166 miliar milik Djoko Tjandra di Bank
Bali dirampas negara.
PERJALANAN KASUS DJOKO TJANDRA
September 1999, perkara korupsi cessie Bank Bali mulai diusut berdasar laporan Direktur
Tindak Pidana Korupsi Bismar Mannu kepada Jaksa Agung. Per tanggal 29 September hingga 8
November 1999, Djoko Tjandra ditahan oleh Kejagung.
Di tanggal 9 November 1999, Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tahanan kota oleh Kejagung,
sebelum kembali ditahan pada 14 Januari 2000. Penahanan dilakukan hingga 10 Februari 2000.
Hari itu, Djoko Tjandra kembali ditetapkan sebagai tahanan kota oleh Wakil Ketua PN Jakarta
Selatan, satu hari setelah kasus cessie Bank Bali diajukan ke PN Jakarta Selatan pada 9 Februari
2000.
Tanggal 6 Maret 2000, PN Jakarta Selatan lewat putusan sela hakim menyatakan dakwaan jaksa
untuk Djoko Tjandra tak dapat lagi diterima. 10 Maret 2000, Djoko Tjandra pun dibebaskan dari
status tahanan kota. Jaksa kemudian mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
Babak baru kasus Djoko Tjandra terjadi pada 19 April 2000. Ketua PN Jakarta Selatan menunjuk
Soedarto, Muchtar Ritonga, dan Sultan Mangun sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili
Djoko Tjandra. Nama pertama menjadi hakim ketua majelis.
Upaya perlawanan jaksa membuahkan hasil. Persidangan Djoko Tjandra yang berstatus Direktur
Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Antasari Azhar yang kala itu duduk sebagai jaksa
penuntut umum (JPU) didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Berbagai fakta menunjukkan kerugian negara hingga Rp904.642.428.369 akibat
pemindahbukuan bendaharawan negara ke Bank Bali berdasar penjaminan transaksi PT Bank
Dagang Negara Indonesia (BDNI) terhadap Bank Bali.
Djoko Tjandra (Istimewa)

Djoko Tjandra dituntut satu tahun enam bulan penjara. Ia juga dituntut denda Rp30 juta subsider
enam bulan kurungan serta kewajiban bayar perkara Rp7.500. Selain itu, uang Rp546 miliar
milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali ditarik kembali oleh negara.
Agustus 2000, Majelis Hakim melepas Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Dalam putusannya,
majelis hakim menyatakan perbuatan Djoko Tjandra bukan pidana melainkan perdata. Meski
begitu, dalam putusannya, majelis hakim mengakui bahwa dakwaan JPU terbukti secara hukum.
Pada 21 September 2000, JPU Antasari Azhar mengajukan kasasi.
Satu tahun berselang, 26 Juni 2001, majelis hakim agung MA menjawab kasasi JPU Antasari
Azhar. Djoko Tjandra dilepaskan dari segala tuntutan. Pengambilan keputusan diwarnai
perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo
Alkostar hingga akhirnya diketuk lewat mekanisme voting.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat pada direksi Bank Permata. Tertanggal
12 Juni 2003, surat itu memerintahkan Bank Permata menyerahkan barang bukti uang Rp546,4
miliar. Bank Permata, di hari yang sama menyurati Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) untuk meminta petunjuk. Permintaan itu tak terkabul karena putusan kasasi MA
memenangkan BPPN.
Direksi Bank Permata kemudian meminta fatwa MA terkait permintaan Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan terkait uang Rp546,4 miliar. BPPN juga meminta fatwa MA sekaligus penundaan
eksekusi putusan MA. Alasannya, ada dua keputusan yang bertentangan.
Tanggal 25 Juni 2003, fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. MA menyatakan MA tak
bisa ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tanggal 1 Juli 2003, Antasari
Azhar yang menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung menyebut
BPPN telah menghambat proses hukum yang sedang bergulir di Kejagung.
Maret 2004, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Agus Martowardojo, Direktur Utama
PT Bank Permata. Pemanggilan dilakukan sebagai lanjutan rencana eksekusi pencairan dana
Rp546,4 miliar PT Era Giat Prima yang dimiliki Djoko Tjandra dan Setya Novanto.

Baca juga:

Sampai di Halim, Djoko Tjandra Bakal Langsung Dibawa ke Bareskrim


Ditangkap di Malaysia, Djoko Tjandra Tiba di Indonesia
Warganet Pantau Proses Penjemputan Buronan Djoko Tjandra

BURON
Oktober 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk skandal korupsi cessie
Bank Bali ke MA. Pengajuan PK dikabulkan pada Juni 2009. Majelis PK MA kala itu diketuai
oleh Djoko Sarwoko. Beberapa nama lain yang duduk sebagai anggota majelis adalah I Made
Tara, Mansyur Kertayasa, Komariah E Sapardjaja, serta Artidjo Alkostar.
Dalam PK itu, Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara, denda Rp15 juta, serta pengembalian
uang Rp546.166.116.369 ke negara. 16 Juni 2009, Djoko Tjandra mangkir dari panggilan
Kejagung. Ia diberikan satu kesempatan lain dan kembali mangkir dalam panggilan kedua itu.
Sejak itu, Djoko Tjandra Buron.
Djoko Tjandra diduga melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea. Ia diyakini telah
meninggalkan Indonesia sejak 10 Juni 2009 --atau satu hari sebelum MA membacakan vonis--
menggunakan pesawat carteran.
Pada Juli 2012, Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan Djoko Tjandra telah diberikan
kewarganegaraan oleh pemerintah Papua New Guinea. Di titik ini, Djoko Tjandra tak lagi
tersentuh.
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus Djoko Tjandra semakin banyak menyeret pihak-pihak yang diduga
membantu buronan kasus korupsi cessie Bank Bali itu keluar-masuk Indonesia. Jaksa, pengacara,
pengusaha dan terakhir dua jenderal polisi ikut menjadi tersangka dalam kasus ini.
Total sudah ada enam orang jadi tersangka, baik dalam tindak pidana umum, maupun tindak
pidana korupsi. Berikut adalah keenam tersangka tersebut:
1. Prasetijo Utomo
Bareskrim menetapkan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo menjadi tersangka dalam dua kasus
berbeda terkait Djoko Tjandra, yaitu pemalsuan surat dan korupsi. Di kasus pertama, polisi
menduga mantan Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri ini menerbitkan Surat Jalan Nomor
77 tanggal 3 Juni 2020 dan Surat Jalan tertanggal 19 Juni 2020 untuk Djoko Tjandra. Selain itu,
polisi menyatakan Prasetijo diduga memfasilitasi Djoko mendapatkan surat bebas Covid-19. Dua
surat ini ditengarai mempermudah Djoko keluar-masuk Indonesia saat mendaftarkan Peninjauan
Kembali. “Dua surat jalan tersebut dibuat atas perintah tersangka PU,” kata Kepala Bareskrim,
Komisaris Jenderal Listyo Sigit saat konferensi pers, 27 Juli 2020.
Di kasus korupsi, Prasetijo diduga menerima suap terkait surat-surat yang Ia terbitkan. Polisi
belum menjelaskan jumlah uang yang diterima oleh Prasetijo. Namun, penetapan tersangka
terhadap dirinya dilakukan dengan barang bukti US$ 20 ribu.
2. Napoleon Bonaparte
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte
ditetapkan menjadi tersangka suap bersama dengan Prasetijo Utomo. Ia diduga menerima hadiah
dan janji terkait penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra. Polisi belum mendetailkan
peran dan uang yang diduga diterima olehnya. Sama dengan Prasetijo, duit US$ 20 ribu menjadi
salah satu barang bukti dalam kasus ini.
3. Pinangki
Kejaksaan Agung menetapkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi tersangka suap. Pinangki
diduga membantu memuluskan jalan Djoko untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap
kasusnya. Mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Kejagung ini diduga juga
pernah bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia. Ia diduga menerima US$ 500 ribu.
4. Djoko Tjandra
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra ditetapkan menjadi
tersangka pemalsuan surat dan korupsi. Djoko merupakan tersangka ketiga dalam kasus
pemalsuan surat. Adapun dalam kasus korupsi, Djoko menjadi tersangka pemberi suap kepada
Prasetijo dan Napoleon.
5. Anita Kolopaking
Anita Dewi Anggraeni Kolopaking merupakan pengacara Djoko Tjandra dalam upaya Peninjuan
Kembali. Polisi menetapkan dia menjadi tersangka terkait surat jalan. Anita diduga melobi
Prasetijo untuk menerbitkan surat jalan dan surat bebas Covid-19.
6. Tommy Sumardi
Bersama Djoko Tjandra, polisi menetapkan Tommy Sumardi menjadi tersangka pemberi suap
terkait surat jalan dan penghapusan red notice. Tommy dikenal sebagai pengusaha yang dekat
dengan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Dia juga calon besan mantan Perdana Menteri
Malaysia Najib Razak.

Anda mungkin juga menyukai