Anda di halaman 1dari 10

SKANDAL KASUS KORUPSI BANK BALI YANG DILAKUKAN

OLEH DJOKO TJANDRA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Dosen Pengampuh : Maryatun Kabatiah, S.Pd. M.Pd

Disusun Oleh :

Cecilia Miranda Br Lumban Gaol 7223210008


Itsqon Wafi Fauzan Nst 7222510008
Maya Martiza Sari 7223210011
Muhammad Baihaqi 7221210014
Putri Sandrina Sitompul 7223210015
Radhika Narwastu 7222510001
Zaky Asdhika Sinaga 7222610003

PRODI MANAJEMEN JURUSAN MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TAHUN 2023
PEMBAHASAN
KRONOLOGI KASUS
Kasus skandal korupsi Bank Bali yang terjadi sejak tahun 1999 kembali diperbincangkan publik.
Ini setelah terpidana korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, berhasil
ditangkap Bareskrim Polri. Direktur PT Era Giant Prima (EGP) itu diketahui bersembunyi
Malaysia sebelum ditangkap tim khusus Bareskrim. Dia digelandang ke Indonesia setelah
melarikan diri sejak tahun 2009. Djoko Tjandra diketahui sempat keluar masuk Indonesia. Pada 8
Juni 2020, dia sempat ke Jakarta untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan atas kasus yang membelitnya. Dia juga sempat mengurus KTP di Kelurahan
Grogol dan sempat mengajukan pembuatan paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara.
Dilansir dari Kontan, Jumat (31/7/2020), kasus Djoko Tjandra terkait cessie Bank Bali bermula
saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam
di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan
Bank Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga
bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak
kunjung cair.
Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima
(EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara
Partai Golkar menjabat direktur utamanya. Januari 1999, antara Rudy Ramli dan Era Giat
menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang
besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih.
Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp
905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60 persen atau Rp
546 miliar, masuk rekening Era Giat. Konon, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini.
Saat itu sejumlah tokoh politikus disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan
tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil. Isu ini terus menggelinding bak bola liar, setelah pakar
hukum perbankan Pradjoto angkat bicara. Pradjoto mencium skandal cessie ini berkaitan erat
dengan pengumpulan dana untuk politik. Perlahan-lahan, kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie
itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN.
Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa.
Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat. Ketua
BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian
membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat, penyelidikan dimulai. Setyanovanto lalu menggugat
BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat
banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada November 2004,
memenangkan BPPN. Tak cukup di situ, Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata
dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April
2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.
Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung
memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit
itu hak Bank Bali. Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan
sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil
Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN). Mereka
dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp
546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali. Dari
kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu Djoko Tjandra, Syahril,
dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004.
Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun,
belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Yang
kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas.
Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah
Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar
biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA
akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun
penjara. Namun belakangan, Djoko Tjandra sudah terlebih dahulu kabur ke luar negeri.
Djoko Tjandra, buronan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, berhasil dibekuk dan tiba di
Indonesia, Kamis (30/7). Ia ditangkap di Malaysia atas kerjasama Polri dan Kepolisian Diraja
Malaysia, mengakhiri masa 11 tahun pencarian.
Djoko merupakan Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Pada 1999 ia terjerat kasus korupsi atas
pengalihan tagihan piutang Bank Bali dan Bank Umum Nasional sebesar Rp 789 miliar. Dari
pengalihan piutang ini, Djoko memperoleh keuntungan sebesar Rp546,1 miliar. Kasus ini mencuat
setelah muncul dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses pencairan piutang tersebut. Pada
saat itu, Pande Lubis adalah Wakil Ketua BPPN, Syahril Sabirin menjabat Gubernur Bank
Indonesia, dan Djoko Tjandra adalah pemilik EGP.
Djoko Dibebaskan 2000
Namun, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra pada
28 Agustus 2000. Alasan pembebasan, lantaran perbuatannya bukan pidana melainkan perdata.
Peninjauan kembali 2008
Setelah Djoko delapan tahun menikmati kebebasan, Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan
Kembali (PK) atas putusan bebas Djoko ke Mahkamah Agung pada 2008. PK diterima, Djoko
dinyatakan bersalah dan ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Uang sebesar Rp 546,1 miliar
miliknya pun bakal disita untuk diserahkan ke negara.
Buron
Sejak saat itu, drama perburuan Djoko dimulai. Djoko dikabarkan melarikan diri ke luar negeri.
Pada 2015, ia sempat dikabarkan melarikan ke Papua Nugini. Namun perjanjian ekstradisi dengan
Papua Nugini belum membuahkan hasil.
Keberadaan Djoko tercium
Setelah lama kehilangan jejak, pada Juni 2020 kemarin nama Djoko kemudian mencuat. Djoko
Tjandra sempat berada di Indonesia tanpa terdeteksi aparat penegak hukum dan pihak
keimigrasian. Bahkan, dia sempat membuat E-KTP dan mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni. Akan tetapi, Djoko tidak hadir dalam
sidang PK. Kuasa Hukum Djoko, Andi Putra Kusuma mengatakan kliennya sakit. Selamat empat
persidangan Djoko tidak pernah hadir. "Djoko tidak bisa hadir karena beliau tidak enak badan.
Kita ada suratnya, keteranganya, kita serahkan ke majelis," kata Andi kepada wartawan di PN
Jakarta Selatan, Senin (29/6).
Walhasil, PN Jakarta Selatan tidak menerima permohonan PK Djoko Tjandra. Permohonannya
tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Meski demikian, absennya Djoko dari sidang seolah
memberikan titik terang keberadaan Djoko. Sedikit demi sedikit jejak Djoko didedah. Mulai dari
pembuatan KTP di Grogol Selatan, hingga surat sakit dari klinik di Malaysia. Pihak imigrasi yang
luput mencatat nama Djoko pun ikut diulik. Sejumlah pejabat tinggi kepolisian yang diduga
terlibat memuluskan jalan Djoko selama berada di Indonesia pun ikut terciduk. Polri juga baru saja
menetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking sebagai tersangka. Dia diduga turut
berperan dalam pelarian Djoko Tjandra selama menjadi buronan.
Tim khusus dibentuk
Akhirnya Presiden Joko Widodo memberikan perintah penangkapan Djoko pada Kapolri Jenderal
Idham Azis. Hal ini pun ditindaklanjuti dengan pembentukan tim khusus untuk mencari Djoko.
Setelah pencarian secara intensif, tim mendeteksi keberadaan Djoko di Malaysia. "Kapolri kirim
surat ke kepolisian Diraja Malaysia kita bersama melakukan kegiatan upaya pencarian. Dari
pencarian tersebut, kami mendapat informasi yang bersangkutan ada di Malaysia dan
menindaklanjuti dengan kegiatan police to police," kata Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit.
Pada Kamis (30/7) pria kelahiran 70 tahun silam ini ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia tiba
di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta bersamaan dengan gema takbir Hari Raya Idul Adha.
Djoko bungkam, tertunduk lesu dengan kondisi diborgol, mengenakan masker dan baju oranye.
PENDAPAT KELOMPOK SETELAH MENYIMAK KASUS HUKUM

Setelah menyimak kasus hukum korupsi Bank Bali Djoko Tjandra, kami kelmpok 3
berpendapat bahwa kasus ini merupakan salah satu kasus korupsi terlama yang diadili di Indonesia.
Kasus ini juga telah menjadi sorotan publik karena adanya dugaan keterlibatan oknum aparat
hukum dalam pelarian Djoko Tjandra.

Secara umum, kami setuju dengan tindakan pihak pengadilan terhadap perbuatan hukum
Djoko Tjandra. Djoko Tjandra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi di kasus suap
red notice dan fatwa Mahkamah Agung. Tindakan Djoko Tjandra tersebut merupakan pelanggaran
terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, ia layak untuk dihukum sesuai dengan
aturan yang berlaku.

Berikut adalah beberapa pendapat kami mengenai kasus ini:

Kasus ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah besar di Indonesia. Korupsi
telah merugikan negara dan masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. Kasus Djoko Tjandra ini
merupakan bukti bahwa korupsi masih merajalela di Indonesia, bahkan oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan dan kekayaan.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih perlu diperbaiki. Djoko
Tjandra sempat kabur ke luar negeri selama 12 tahun sebelum akhirnya ditangkap. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih belum efektif dalam mencegah terjadinya
kasus korupsi.
Kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen pemerintah dalam
memberantas korupsi. Putusan pengadilan terhadap Djoko Tjandra merupakan bukti bahwa
pemerintah Indonesia tidak akan berkompromi dengan korupsi. Pemerintah akan terus berupaya
untuk memberantas korupsi, termasuk dengan menindak tegas para pelaku korupsi.
PENDAPAT KELOMPOK TENTANG TINDAKAN PIHAK PENGADILAN TERHADAP
KASUS HUKUM TERSEBUT

Menurut kelompok 3 djoko tjandra seharusnya divonis seumur hidup atau paling tidak
dipenjara selama 20 tahun dan denda minimal 20 juta dan palimh banyak 1 miliar seperti yang
kita lihat Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan
Tipikor, pasal ini berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat
tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak
Rp1 miliar, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya.

Berdasarkan UU diatas seharusnya djoko tjandra diberi hukum sesuai UU diatas dan
harus layak diberi hukuman seberat beratnya.
PASAL DALAM UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESAI YANG
MEMPERKUAT ATAU MENDUKUNG KEPUTUSAN PIHAK PENGADILAN
Hukuman terhadap Djoko Tjandra, yaitu 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, sudah sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Pasal
ini menjamin bahwa setiap orang, termasuk Djoko Tjandra, berhak untuk diadili secara adil dan
mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya.

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, merdeka, dan
mengembangkan diri, serta mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal ini juga menjamin bahwa Djoko
Tjandra berhak untuk mendapatkan hukuman yang adil dan tidak diskriminatif.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, hukuman terhadap Djoko Tjandra sudah sesuai dengan UUD
1945. Djoko Tjandra telah diadili secara adil dan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan
perbuatannya, yaitu korupsi. Hukuman tersebut tidak diskriminatif dan tidak melanggar hak-hak
asasi manusia Djoko Tjandra.

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai pasal-pasal UUD 1945 yang relevan dengan
kasus Djoko Tjandra:

Pasal 28D ayat (1): Pasal ini menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Dalam
kasus Djoko Tjandra, Djoko Tjandra telah diadili secara adil oleh pengadilan, yaitu Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung. Pengadilan-pengadilan
tersebut telah mempertimbangkan semua bukti yang ada, termasuk keterangan saksi, ahli, dan
barang bukti. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim memutuskan bahwa Djoko
Tjandra terbukti bersalah melakukan korupsi.
Pasal 28E ayat (1): Pasal ini menjamin bahwa setiap orang berhak untuk hidup, merdeka, dan
mengembangkan diri, serta mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam kasus Djoko Tjandra, Djoko
Tjandra telah dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, yaitu 4,5 tahun
penjara dan denda Rp 100 juta. Hukuman tersebut tidak diskriminatif dan tidak melanggar hak-
hak asasi manusia Djoko Tjandra.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan dari kasus ini. Pertama, Djoko
Tjandra sempat kabur ke luar negeri selama 12 tahun sebelum akhirnya ditangkap. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih perlu diperbaiki untuk mencegah terjadinya
kasus serupa di masa depan. Kedua, Djoko Tjandra sempat mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan. Namun, permohonan PK tersebut ditolak oleh
Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih berjalan dengan
baik dan tidak bisa diintervensi oleh pihak-pihak tertentu.
Mengenai jumlah denda telah ditetapkan dan ditinjau oleh MA sedemikian aga memberi efek
jera terhadap Djoko Tjandra, walaupun dalam hal ini tidak sama nminalnya dengan semua uang
yang sudah dikorupsi.

PENDAPAT KELOMPOK TENTANG PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN


DI NEGARA INDONESAI

Menurut kelompok 3 mengenai penegakan hukum yang berkeadilan di negara Indonesia


jika di amati secara keseluruhan masih sangat jauh dari kata adil. Fakta empiris terbukti,
ketidakadilan dalam masyarakat dan perbedaan penanganan suatu perkara yang mencolok antara
si kaya dan si miskin atau si penguasa dan si rakyat jelata, sudah menjadi gambaran yang dianggap
biasa terjadi. Tentu ditinjau dari segi asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the
law, bahkan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
HAM inilah yang kurang disensitifkan oleh para penegak hukum. Padahal penegak hukum
selalu mendengungkan dalam penegakkan hukum harus berdasarkan irah-irah demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dalam memaknai keadilan, ada kewajiban untuk
menghormati HAM masing-masing individu atau masyarakat.
Adanya kesenjangan dalam perlakuan di bidang penegakan hukum, jelas bertentangan
dengan arti dari keadilan itu sendiri, seperti yang dijelaskan pada penelitian Aristoteles, pantas
adalah suatu bentuk sama; yaitu melibatkan prinsip bahwa kasus sama seharusnya diperlakukan
dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda.
LAMPIRAN
SUMBER
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200731090542-12-530910/kronologi-11-tahun-
berliku-perburuan-djoko-tjandra
https://money.kompas.com/read/2020/07/31/085014526/djoko-tjandra-ditangkap-ini-kronologi-
skandal-korupsi-bank-bali?page=all
https://ejournal.unib.ac.id/jsn/article/view/22002/11530
https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20231017-memahami-suap-menyuap-dalam-
delik-korupsi

Anda mungkin juga menyukai