Anda di halaman 1dari 119

Sinopsis

Saat arwah laki-laki itu keluar dari raganya, yang dapat Prilly suarakan hanyalah
pertanyaan, “Lo ..., udah mati?”
Satu; Prilly, Sesil, Irish, dan Ali

"Oh Prilly~"
Cewek yang sedang terhanyut dalam tidurnya itu bergidik saat merasakan
sapuan angin meniup telinganya dengan suhu dingin.
Kepalanya yang terbaring di meja, kini terangkat dengan mata yang masih saja
terpejam rapat. Prilly tiduran dikelas lagi. Ini karena Sesil meminta main sampai larut,
jadi Prilly tidak dapat tidur dengan waktu yang cukup.
"Prilly~"
Suara yang terdengar seperti bisikan angin lewat itu kembali terdengar ditelinga
Prilly. Suhu dingin kini dirasakan cewek itu tepat disampingnya. Mata Prilly masih
terpejam rapat saat ia menegapkan duduknya dan merenggangkan tangannya keatas
kepala. "Sesil, udah gue bilang, kalo lo ganggu gue, gue gak mau main lagi sama lo."
"Hihihihi~" suara bisikan cekikikan riang dari Sesil terdengar. Prilly dapat
merasakan aura dingin Sesil kini terbagi ke beberapa tempat di ruang kelasnya. Ah,
makhluk berjenis perempuan berumur 199 tahun itu pasti sedang terbang di ruang
kelas. Prilly mendiamkannya. "Hihihi~ aku cuma ingin bilang, si keriting itu lagi-lagi
bermain dengan anak jahat."
Dan perkataan itu, sukses membuat mata Prilly terbuka lebar. Dan saat itu pula,
Prilly terjengkang kebelakang sambil berteriak, "HUAAA!!!" saat pemandangan
dihadapannya barusan menampakan seorang cewek dengan seluruh wajah yang
tertutupi rambut dan hanya menampakan salah satu matanya yang melotot tajam.
Prilly meringis kesakitan saat; belakang kepala, punggung, dan pantatnya
menyentuh lantai dengan kencang. Sadar posisi jatuhnya tidak elit, Prilly dengan
cepat menyingkir dari kursi—yang tadi terguling bersamanya—dan terduduk dilantai.
Ia mengelus kepala belakangnya yang nyeri, lalu menatap ke atas, dimana disana ada
Sesil yang tertawa cekikikan sambil menatap Prilly.
Sial, Prilly ditertawakan oleh hantu.
Dengan kesal, ia berdecak, lalu berdiri. Matanya menelusuri kelas yang ternyata
sudah banyak teman sekelas yang menertawakannya.
Bibir Prilly manyun, kesal karna ditertawakan satu kelas.
Rasanya, Prilly ingin menangis. Bukan hanya sakit, tapi ia juga malu sudah
menjadi tontonan di kelas.
Mata Prilly kembali melirik pada hantu yang masih duduk diam di depan bangku
yang tadi ditempati Prilly. Mata melotot hantu itu menatap Prilly dengan horror.
Prilly menghela napas. Sebenarnya, ia sudah terbiasa melihat hal seperti itu.
Namun, jika saat membuka mata dan disuguhkan oleh pemandangan seram, siapa
yang tidak akan berteriak?
Prilly Shabira memang memiliki kemampuan melihat makhluk halus. Semua
orang menyebut makhluk halus itu dengan sebutan hantu atau jin. Dan Prilly adalah
salah satu dari sekian banyaknya manusia yang mempunyai indra keenam.
Entah kemampuan ini buruk atau baik, Prilly tidak tahu. Yang pasti, ia bisa
bercakap dengan makhluk tersebut, termasuk berteman.
Contoh saja Sesil. Prilly bertemu dengan hantu jahil itu sekitar 4 tahun yang lalu.
Saat orangtuanya membeli rumah baru dan mereka tinggal ditempat tersebut, Prilly
selalu dijahili Sesil. Tadinya, Prilly ingin pura-pura tidak melihat saja. Namun,
kejahilan Sesil sungguh membuat Prilly tak tahan untuk berteriak.
Hantu perempuan berumur 199 tahun itu akan menciumnya. Tepat dibibir.
Daripada bibirnya diperawani oleh hantu, Prilly lebih memilih menghindar dan
berteriak. Disitulah awal mula mereka berkenalan hingga dapat memiliki hubungan
persahabatan seperti sekarang.
Dan kejahilan Sesil masih saja tak berkurang sampai sekarang. Hantu perempuan
itu selalu membawa hantu menyeramkan dari berbagai tempat agar Prilly dapat
berteriak.
Prilly menghela napasnya. Ia menoleh pada Sesil yang masih cekikikan.
Seolah mengerti tatapan bertanya Prilly, Sesil menahan senyum dan melayang
keluar kelas.
Prilly berjalan mengikuti hantu itu, sedangkan Sesil melayang disamping Prilly.
"Heh, makhluk laknat! Apa lo gak bisa bangunin gue tanpa ngasih hantu nyeremin?"
Sesil kembali cekikikan, tidak mempermasalahkan penghinaan Prilly sebelumnya.
Ya, wajarkan saja. Prilly sudah terbiasa memanggil hantu berumur 199 tahun itu
dengan sebutan kejam. "Abisan, kamu lucu, sih. Padahal kamu udah lama bisa
ngeliat makhluk tak kasat mata, tapi, masih aja takut." jawab hantu perempuan itu
enteng.
Prilly mendengus sambil masih melanjutkan langkahnya. "Emangnya, hati gue
se-dingin itu buat biasa-biasa aja liat hantu serem?"
"Mungkin," jawab Sesil, kemudian kembali terkekeh.
Kembali, Prilly mendengus mendengarnya. "Udahlah, kasih tau aja dimana Irish
sekarang!" perintah Prilly. Ah, ngomong-ngomong, Irish adalah si keriting yang Sesil
maksud.
"Ikuti aku~" ajak Sesil sambil melayang mendahului langkah Prilly.
Prilly berdecak. Cewek itu kemudian berlari, mencoba menyusul Sesil yang
melayang dengan cepat. Sekali lagi, Prilly berdecak dengan sebal. Ingin sekali ia
berteriak pada Sesil untuk mengurangi kecepatan laju melayangnya. Namun, jika ia
melakukannya, seluruh penghuni sekolah pasti menganggapnya aneh.
Katakan saja jika Prilly jaim. Tapi sungguh, ia tak ingin kemampuannya diketahui
orang lain. Itu akan membuatnya dijauhi dan dibully.
Napas Prilly ngos-ngosan saat Sesil sudah berhenti melayang tepat didekat
koridor sepi yang baru Prilly lihat. Ah, sialan. Cowok brengsek itu selalu saja mencari
tempat baru agar tidak dapat ditebak Prilly.
Dengan langkah kesalnya, Prilly memasuki koridor itu, dan bau nikotin yang
menyengat langsung memenuhi indra penciumannya.
Segerombolan cowok berandalan yang sangat Prilly ketahui wajahnya, duduk
diatas meja bekas dengan rokok yang sudah menyelip di bibir mereka.
Prilly mendengus. Matanya lalu bergulir ke sekitaran. Saat mata Prilly
menangkap wujud orang yang dicarinya, emosi Prilly mulai tersulut.
Irish, sepupu perempuannya, sedang dijambak oleh cowok brengsek yang sangat
Prilly kenal.
Dengan emosi yang sudah berkobar bagai api, ia menghampiri tempat kejadian
perkara, lalu bersidekap dada saat berada tepat di TKP. "Heh!" serunya, membuat
keramaian mengganggu itu terhenti. Cowok brengsek yang sedang menjambak
sepupu perempuannya menoleh, menatap Prilly dengan sorot mencemooh. Rahang
Prilly kini mengeras melihat tatapan cowok brengsek itu. "Lepasin sepupu gue!"
Aliando Jevrod–cowok brengsek yang selalu mengganggu sepupu perempuan
Prilly itu kini–tersenyum miring. Jambakan rambut Irish pun terlepas, dan sepupu
perempuannya itu langsung berlari dan bersembunyi dipunggung Prilly. Ali tertawa
sinis. "Lagi-lagi elo. Kenapa lo selalu ganggu kesenangan gue?"
"Lagi-lagi elo," jawab Prilly, menggunakan kalimat yang Ali katakan barusan.
"Kenapa lo selalu ganggu sepupu gue?"
"Karna gue suka," jawab Ali enteng. Cowok itu melebarkan senyum miringnya
saat mata Prilly menajam. "Kenapa? Lo gak suka?"
"Gue aduin lo ke guru—"
"Ancaman basi," potong Ali dengan cepat. Cowok itu berdecak. "Gak cape apa
ganggu gue mulu? Nih yah, kalo lo mau tau, guru-guru itu gak akan pernah dengerin
omongan lo. Sekolah bobrok itu gak peduli gimana kelakuan muridnya."
Prilly manyun, cemberut saat mendengar perkataan Ali barusan seolah
mengatakan bahwa apa yang Prilly lakukan percuma. Memang, sih, sekolah ini
benar-benar sekolah yang hancur. Maka dari itu Prilly dipindahkan oleh ayahnya
kesini.
Yah, atas kelakuan Prilly juga, sih.
Prilly Shabira murid yang pintar. Disekolah manapun, ia selalu menjadi rangking
umum pertama. Namun, saat mendengar sepupu perempuannya dibully, ia dengan
sengaja menurunkan nilainya, dan menjadi rangking umum terakhir.
Sang Papa jelas marah. Akhirnya, karena nilai Prilly sangat jelek saat semester
pertama ditahun keduanya di sekolah, semester ke-dua ia dipindahkan sekolahnya.
Untungnya, pilihan sekolah sang ayah adalah sekolah yang sangat diharapkan Prilly.
Bukan karena sekolahnya bagus, namun karna ia ingin melindungi sepupunya
disekolah ini.
Irish adalah sepupunya yang paling miskin. Yah, bagi Prilly. Namun, bagi murid
sekolah ini, kasta Irish adalah kasta biasa.
Irish dibully bukan karena kastanya. Dari cerita murid sekolah ini, Irish dibully
karena cewek itu harus memenuhi dare dari temannya. Dan dare itu adalah
menembak Ali didepan satu sekolah.
Namun, entah memang Irish benar-benar bego, cewek itu malah berkata, "Maaf
Ali, gue tadi main truth or dare sama temen. Ja-jangan dimasukin hati, ya?" sesaat
setelah menembak Ali.
Tentu saja, cowok bad boy disekolah ini langsung merasa terhina dan mulai
melakukan pembulian pada Irish.
Dan Prilly selalu datang sebagai pahlawan. Ia mengancam akan melaporkan Ali
sambil pura-pura pergi ke ruang kepala sekolah. Dan saat Ali memanggilnya untuk
menghentikan aksi Prilly, cewek itu akan membawa Irish menjauh dari Ali.
Namun ternyata, mau beratus kali Prilly melaporkannya, toh, guru-guru tidak ada
yang bertindak. Menganggap apa yang diceritakan Prilly dengan menggebu itu remeh,
mungkin?
"Bukannya gak peduli, cuma belum bertindak aja. Katanya, sekali lagi gue lapor,
kalian bakal didatengin!"
Ali tertawa terbahak-bahak, membuat Prilly makin cemberut. "Lo pikir kita
percaya? Udah berapa kali sih, lo laporin kita? Lebih dari tiga kali, kan? Tapi apa
tindakan mereka? Gak ada!"
Prilly mendengus. Ia berbalik dan langsung menggenggam tangan Irish. "Ayo
Rish, kita lapor sekarang!" serunya dengan menggebu, lalu melirik pada Ali. "Liatin
aja! Gue bakal buktiin kalo kenakalan kalian bakal ditindak!"
Baru saja Prilly akan melangkah sambil menyeret Irish, tangan Prilly yang lainnya
terasa ditarik, membuat tubuh Prilly pun ikut tertarik.
Seruan kaget dari Prilly terpotong oleh ringisannya saat punggung milik Prilly
menyentuh tembok dengan kencang.
"Prilly!" teriakan Irish membuat Prilly sadar. Dihadapannya, wajah Ali yang
terlihat murka kini amat sangat jelas dipenglihatan.
Prilly dikunci oleh Ali. Punggungnya menempel ditembok, sedangkan tubuh
bagian depannya terhalang oleh tubuh Ali.
Kaki Prilly melemas. Entah kenapa, melihat wajah menyeramkan Ali
membuatnya gemetar ketakutan. Selama ini, Ali tak pernah menampakan wajah
murkannya pada Prilly.
Oh, apa mungkin, Prilly hanya baru menyadari jika selama ini ekspresi yang
diperlihatkan Ali selalu seram? Maka dari itu, semua murid disekolah ini takut pada
Ali.
Ah, tahu begini, Prilly sudah menghindar dari dulu.
Tapi, jika dipikir-pikir, wajah Ali tidak se-seram wajah hantu yang selalu dilihatnya.
Tapi, mengapa Prilly merasa sangat takut?
"Ali! Lepasin Prilly!"
Seruan Irish membuat Prilly tersadar. Ia menelan ludahnya, lalu menatap pada
Irish yang berdiri ditempat sebelumnya. Kaki Irish gemetar, namun cewek itu masih
saja mencoba kuat.
Prilly jadi malu. Ini pasti karna Prilly terlihat lemah dimata Irish. Sekali lagi, Prilly
menelan ludah. "Pergi, Rish, jangan peduliin gue dulu," ujarnya, yang dijawab dengan
gelengan cepat dari Irish. "Gue bakal nyusul lo, oke?"
Irish kini sudah menangis.
Rahang Prilly mengeras. Ia menyimpan tangannya di dada bidang milik Ali, lalu
mencoba mendorong cowok itu walaupun sia-sia. Tenaga cowok memang luar biasa.
"Lo kali ini gak akan gue lepasin," Ali berujar dingin, membuat Prilly menelan
ludah dengan susah payah. "Lo, bakal jadi pengganti Irish."
Prilly terdiam. Menjadi pengganti Irish? "Gak, makasih."
Ali tersenyum sinis. "Itu bukan pertanyaan, sayang."
"Najis," ujar Prilly dengan tenang, walau sebenarnya ia benar-benar takut
sekarang. Sekali lagi, Prilly mencoba mendorong tubuh Ali dengan sekuat tenaga.
"Minggir!"
"Gak, makasih."
Prilly mengigit bibirnya. Dengan keberaniannya yang hampir habis, ia
mendongak, mentap Ali dengan tajam. "Lo tau? Mungkin, gue belum pernah bilang
sama lo, kalo lo itu pengecut! Cowok yang bisanya nyakitin yang lemah itu
pengecut!"
Alis Ali terangkat sebelah. Namun, dari matanya yang berubah makin tajam,
Prilly tahu jika Ali sudah marah.
Prilly tersenyum miring. "Kenapa? Lo tersinggung sama apa yang gue omongin?
Dasar cowok murahan! Pengecut! Brengsek! Sialan! Lo cuma bisa bully yang lebih
rendah dari lo! Dasar gak tau diri! Alay! Manusia rendahan!"
Ekspresi Ali kini benar-benar datar, sedangkan Prilly kini tersenyum penuh
kemenangan.
Apakah perkataan Prilly mengetuk ruang nurani Ali?
Semoga iya. Kan lumayan jika kenakalan remaja bisa berkurang. Walaupun hanya
satu, sih.
Saat Prilly masih menunggu dengan harap-harap cemas, wajah Ali yang kini
menggunjingkan senyum membuat Prilly tersadar.
Bukan. Bukan karna senyum cowok itu amat menawan. Namun, senyum cowok
itu amat menyeramkan. Bagaimana tidak? Bibir Ali melengkung membentuk sebuah
senyuman, namun mata Ali tajam menusuk, membuat Prilly begidik ngeri.
"Lo mungkin bener," ujar Ali kemudian. Senyumnya kini menjadi senyum sinis,
membuat bulu kuduk Prilly berdiri. "Daripada mukul cewek, lebih baik mukul harga
dirinya, kan? Contohnya kayak gini."
Belum sempat Prilly mencerna kalimat Ali, sebuah benda kenyal yang melumat
bibirnya membuat kepala Prilly blank seketika.
Ali menciumnya. Dengan keras dan penuh penekanan. Bibir Prilly terus dilumat,
bahkan dihisap dengan kuat oleh Ali.
Harga diri Prilly tertampar saat suara sorakan dari teman-teman Ali terdengar.
Tangan Prilly yang masih berada di dada Ali terus mendorong tubuh cowok itu
agar menyingkir. Namun, Ali malah melingkarkan tangannya dipinggang Prilly,
membuat tubuh mereka menempel.
Posisi ini, Prilly membencinya.
Bau nikotin dari mulut dan hidung Ali, Prilly membencinya.
Dan ciuman memaksa ini, Prilly amat sangat membencinya.
Rasa asin kini terasa dibibir Prilly. Bibirnya sobek, ia terluka. Tanpa sadar, air
matanya kini sudah menetes dengan deras.
Harga diri Prilly tertampar.
Bibir bergetarnya masih dilumat dengan rakus. Prilly kehabisan napas sekarang,
sedangkan ia dapat mendengar dengusan napas Ali dengan jelas.
Dengan mengerahkan tenaga yang ada, Prilly menggigit bibir bawah Ali dengan
kencang, membuat Ali mengaduh dan bibir cowok itu menjauh, sehingga tak bersatu
lagi dengan bibir milik Prilly.
Dengan kakinya yang sangat lemas, Prilly memaksakan untuk menginjak kaki Ali.
Cowok itu mengaduh sambil memegangi kakinya, sedangkan Prilly langsung
menghampiri Irish dan menyeret sepupu perempuannya itu untuk mengikutinya.
"Prill, lo gak papa?" Irish bertanya saat mereka masih berjalan.
Prilly tidak menjawab. Tentu saja ia kenapa-kenapa.
Bibir Prilly terluka.
Namun, harga diri Prilly yang lebih terluka, lah, yang membuat Prilly tidak
baik-baik saja.

***

"Minggir!" Sesil berseru, mengusir hantu yang berada didepan meja Prilly—hantu
yang ia bawa untuk menjahili Prilly—Namun, hantu itu masih tetap diam. Matanya
yang hanya satu melotot kearah Sesil. Hantu sahabat Prilly itu berdecak. "Bukan
waktunya untuk menjahili Prilly! Kamu gak lihat? Dia sedang menangis!"
Hantu itu tetap saja melotot pada Sesil.
"Apa? Kamu merasa menyeramkan? Hey! Aku lebih tua dari kamu!" seru Sesil. Ia
menjitak hantu itu dengan kesal. "Pergi dari sini!"
Hantu yang Sesil usir itu tetap bergeming.
Sesil mendengus. Ia balas melotot tajam pada hantu itu. Sesil menghirup udara
sebanyak-banyaknya, bersiap meneriaki hantu tersebut. "MEONG!"
Dan, blupp! Hantu yang Sesil usir akhirnya menghilang.
Sesil mencibir. "Masih untung aku tidak mengaum. Dasar hantu junior!" ejeknya,
lalu kembali memperhatikan Prilly dan Irish. "Kenapa kamu bersedih, Prilly?
Seharusnya, kamu beruntung mendapat ciuman disaat masih menjomblo."
Prilly melotot pada Sesil.
Sesil hanya nyengir dan memutar kepalanya 180° dengan tubuh yang tetap diam.
Kebiasaan jika sudah dipelototi oleh Prilly.
Dua; Perdebatan dan Pertengkaran

Sorakan kagum, decakan kagum, dan tepuk tangan dari kawannya terus menggema
di telinga Ali. Mereka membanggakan aksi Ali tadi, namun cowok itu tetap saja diam
ditempatnya sambil menatap daerah kosong yang tadinya ditempati Prilly.
Cewek itu, untuk pertama kalinya menangis. Di hadapan Ali. Dan juga ...,
Menginjak kaki Ali.
Oh bagus. Untung saja Prilly tidak Ali rebus didalam panci panas seperti
musuh-musuhnya yang selalu menyentuhnya dengan kurang ajar.
Ini untuk pertama kalinya. Kaki Ali diinjak dengan sengaja oleh seorang
perempuan.
Rahang Ali mengeras mengingatnya. "Dasar cewek barbar! Udah tau kalah dari
awal, masih aja sempet-sempetnya nginjek kaki gue! Gue cium lehernya, baru tau
rasa, deh!"
Beberapa kawan Ali tertawa mendengarnya.
Radit—salah satu sahabatnya—merangkul bahu Ali dengan akrab sambil tertawa
renyah. "Lo tadi napsu amat, mas. Udah lama gak dapet jatah, ya?"
Ali berdecak, lalu melangkahkan kakinya dan duduk di atas meja yang tersedia
disana.
"Gue terpesona," Tian—kawan Ali lainnya—menceletuk, bertepuk tangan sekali
saat matanya terlihat menerawang ke langit-langit sekolah. "Untuk pertama kalinya,
gue ngeliat cewek itu lemah."
Ali mendengus geli, sedangkan teman-temannya tertawa dan saling menimpali
omongan Tian.
"Tapi kasian, anjir," ucap Radit yang masih berdiri. "Dia tadi nangis, loh. Bibirnya
berdarah, lagi."
Ali menangkat sebelah alisnya. "Lo gak salah ngomong? Cewek semacem dia lo
kasian-in?" ujarnya, lalu berdecak prihatin. "Hey, gue bahkan berpikir kalo dia udah
gak perawan."
Radit menganggukan kepalanya walaupun matanya masih terpancar
kebingungan. "Bener juga sih. Anak SD aja sekarang udah ada yang gak perawan."
"Tau darimana, lo?" tanya Tian.
"Ya ada, lah! Makanya, aktif sosmed dong! Fotonya bahkan kesebar di Line
today."
"Trus, kalo si Prilly udah gak perawan, kenapa dia nangis waktu Ali cium?"
Radit berdecak mendengar pertanyaan Tian. "Ya jaim, lah! Dia kan anak baru.
Trus, ngelawan Ali, lagi."
"Iya, mungkin yah ...," ujar Tian dengan tatapannya yang masih terlihat ragu.
Beberapa detik kemudian, Tian berdecak kesal. "Ya tetep aja kasian! Bibirnya juga
berdarah, lagi," katanya kemudian, ikutan komplen seperti Radit barusan.
Radit terlihat berpikir, padahal yang paling awal komplen adalah dirinya sendiri.
Beberapa detik kemudian, Radit lalu mengangguk setuju. "Lo bener," ucapnya, lalu
menatap Ali. "Li, lo keterlaluan kayaknya."
Ali menangkat kedua alisnya, lalu mengedikan bahu. "Bodo amat. Peduli setan
deh sama kelakuan gue barusan."
"Jangan gitu, Li, tar lo kena karma." kata Tian.
"Iya. Tar nasib lo malah kayak yang di novel-novel atau film-film," tambah Radit.
"Lo mau tiba-tiba jatuh cinta sama dia?"
Ali berpikir sebentar. Jatuh cinta? Pada Prilly? Ah, itu tidak mungkin. Tapi, bisa
saja. Di novel-novel, mungkin setelah ada adegan barusan pasti akan ada adegan
lainnya yang datang secara kebetulan.
Antara akan ada tiba-tiba pahlawan kesiangan diantara kawan Ali dan membuat
Ali cemburu lalu jatuh cinta pada Prilly, atau mungkin karena perjodohan antara
orangtua yang saling mengenal dan saling membutuhkan satu sama lain.
Ali tidak mau jatuh cinta pada Prilly, dan gelengan kepalanya yang cepat
menjawab pertanyaan dari Radit. "Gue gak mau! Gue gak mau jatuh cinta sama
cewek songong itu!"
Radit mengangguk mengerti lalu menepuk bahu Ali dengan prihatin. "Mending,
lo samperin Prilly dan obatin lukanya sebagai tanda permintaan maaf."
"Hah?"
"Kenapa? Lo gak mau ngelakuinnya?"
"Hmm ...," alis Ali mengerut dalam, sedangkan bibirnya dikulum dengan keras. Ia
bingung. Pasalnya, jika Ali melakukan apa yang dikatakan Radit, ia malah akan
menjilat ludahnya sendiri. Dan lagi, Ali juga takut jika kisah cintanya seperti drama
atau novel-novel alay yang sering dibaca Radit. Oh, ini membingungkan.
"Lama, ah!"
Seruan dari Tian yang dilanjutkan dengan tubuh Ali yang diseret dari tempatnya,
membuat Ali mengerjap kaget. "Tian! Lo mau ngapain?!"
Tian seolah tuli. Cowok itu terus menyeret Ali yang memberontak dari tarikan
Tian.
Seolah tidak puas menyiksa kepanikan Ali, teman-temannya mendorong Ali dari
belakang, sedangkan Tian malah tertawa dan menarik tangan Ali kuat-kuat.
"Woy! Woy! Gak lucu!" teriak Ali panik, namun hanya di hadiahi oleh paksaan
berlebih dari teman-temannya. "Woy! Tai! Anjing lo semua!"
Mereka seolah tidak mendengar. Ali kini sudah memasuki koridor anak kelas 11,
dan menjadi tontonan para murid disana.
Ali merasa malu. Ia memang selalu menjadi tontonan orang-orang disekolahnya,
namun, dalam keadaan yang seperti ini, mana bisa Ali biasa saja?
Kini, Ali seolah merasakan bagimana jadi orang yang diseret untuk dibuli.
"Stop, guys! Gak usah seret gini, gue bakal ngelakuin apa yang kalian mau!"
serunya dengan menarik kencang tangannya dari Tian. Mereka berhenti melangkah
dengan tawa mereka yang masih membekas. Ali menghela napas lega saat Tian
melepaskan tangannya. "Tapi, gue butuh salep dulu."

***

Prilly dihantui. Ia dihantui oleh sesuatu yang amat menyeramkan.


Sesuatu itu membuat ia hanya dapat menampakan ekspresi murung dibalik
payung berwarna biru yang digunakannya kini.
Sesuatu itu membuat Prilly menatap kosong ke jalanan dan tidak memperdulikan
Sesil yang sibuk mengganggunya.
Sesuatu itu amat menyeramkan hingga Prilly hanya dapat menggigit bibir
bawahnya dengan gusar.
Sesuatu itu adalah sebuah rasa bersalah. Rasa bersalah itu terus menghantui
Prilly semenjak terakhir ia dan Ali bertemu. Ya, rasa bersalah itu untuk Ali. Si cowok
brengsek yang Prilly maki-maki di kelasnya. Didepan umum. Didepan banyak orang.
Dan kini, Prilly hanya dapat merutuki dirinya sendiri saat perjalanan pulang dari
bank. Dingin menyergap, hujan pun mengguyur dengan deras. Dan yang Prilly
khawatirkan adalah perasaan sakit hati yang mungkin Ali alami.
Argh, jika saja Prilly berpikir positif tadi. Ia pasti tidak akan terjebak dalam rasa
bersalah yang kini dialaminya.
Prilly memang membenci sifat dan perilaku Ali padanya. Namun, ia tidak pernah
berniat membalas dendam pada Ali.
Pasalnya, saat Ali baru memasuki kelas Prilly dan mencarinya, Prilly—yang masih
menangis karena Ali—langsung berdiri dan menatap Ali dengan pandangan bengis.
Ali sempat akan membuka mulutnya, namun, Prilly dengan cepat berkata, "Pergi!"
dengan nada dingin.
Ali sempat akan membuka mulut kembali. Namun lagi-lagi, Prilly menginterupsi
dengan melempar Ali menggunakan tempat pensil miliknya, dan tepat mengenai
pelipis Ali. Cowok itu hanya membeku dengan perlakuan Prilly.
"GUE BILANG PERGI!!" kala itu Prilly berteriak histeris. Meraung dan langsung
melempari Ali dengan alat-alat tulis yang ada di tasnya sambil menangis kencang.
Kelas menjadi hening, apalagi dengan sikap tidak manusiawi yang Prilly lakukan.
Ali hanya diam ditempatnya. Dengan wajah tenang, tatapan menghunus pada Prilly
dengan pancaran mata biasa saja. Tepat diantara dua baris bangku. Dimana bangku
Prilly berjarak 4 langkah lagi dari tempatnya.
"GAK CUKUP DENGAN APA YANG LO LAKUIN, HAH?!" Prilly kembali berteriak. Ia
menangis meraung sambil menatap Ali penuh dendam. "Lo mau ngapain lagi kesini?
Lo mau perkosa gue?" tanyanya dengan pelan, namun menimbulkan suara tarikan
napas kaget dari teman-teman sekelasnya. "Lo bukan cuma brengsek, Ali. Lo gak
berperikemanusiaan. LO UDAH NGERENDAHIN HARGA DIRI GUE!! LO UDAH CIUM
GUE DIDEPAN TEMEN LO DENGAN KASAR DAN BENGIS! LO EMANG IBLIS, ALI! IBLIS!!"
Kini, bisik-bisik terdengar. Anak-anak yang menyaksikan kejadian itu ikut
menatap Ali dengan tatapan jijik dan tajam. Prilly dapat mendengar mereka
bersumpah serapah dengan nada suara pelan. Mungkin, sengaja agar dapat didengar
oleh Ali.
Masih belum mendapati respon, Prilly akhirnya melemparkan tasnya yang sudah
kosong tepat ke muka Ali. "Gue tipe pendendam, Ali. Cerita kita, gak akan kayak
cerita novel romansa. Gue, Prilly Shabira bakal jadiin lo musuh abadi gue! Gue, GAK
AKAN PERNAH MAAFIN APA YANG LO PERBUAT!!"
"ALI!" selesai teriakan dari Prilly, suara teriakan dari arah pintu terdengar.
Teman-teman Ali berdiri disana, menatap Ali dengan mata mereka yang berubah
tegang.
Satu dari mereka melirik Prilly sekilas, lalu berlari masuk ke dalam dan
menghampiri Ali. "Li, lo diapain?" tanya teman Ali, membuat Prilly mendengus geli
dan memalingkan wajahnya dari mereka berdua. "Kening lo berdarah!"
"Gue gapapa," Ali mulai bersuara. Membalas perkataan kawannya yang masih
saja cerewet tentang pelipis Ali yang berdarah. "Gue gapapa, Dit."
"Gapapa apanya?! Lo berdarah gini, Li! Heh, lo, Prilly!"
Medapat panggilan itu, Prilly menoleh pada keduanya. "Apa?"
"Elo kan yang bikin kepala Ali berdarah?!" seru lelaki yang dipanggil Dit oleh Ali.
"Kalo iya, kenapa?" ujar Prilly sewot. Matanya melotot dengan galak.
Cowok itu melotot balik pada Prilly. "Heh, lo gak tau apa?! Niat Ali tuh baik-!"
"Biar gue aja," Ali memotong ucapan kawannya. Ia lalu berjongkok dan
mengambil tas Prilly. Dan penonton adegan itu—termasuk Prilly—sukses dibuat
kaget saat Ali membereskan barang-barang Prilly yang berserakan di lantai.
Prilly hanya melongo. Wajahnya yang tadinya dipenuhi kemarahan mulai
berganti menjadi ekspresi bingung.
Ali lalu berdiri dan maju selangkah mendekati meja Prilly, kemudian menyimpan
tas milik Prilly di meja. Cowok itu lalu memasukan tangannya pada saku celana, dan
emosi Prilly perlahan mereda saat Ali mengeluarkan sebuah salep dari sakunya dan
menyimpan salep itu di meja Prilly. "Gue sadar siapa gue, se-brengsek apa gue, dan
se-bejat apa gue ini. Lo udah nyentuh gue Dua kali, dan gue selalu diem dengan
perlakuan lo. Gue gaada niatan buat minta maaf, karna gue tau itu pasti gak berlaku
buat gue," jelasnya, lalu mengedikan dagunya ke arah salep yang ada di atas meja.
"Obatin aja luka lo. Karna, kata maaf gue gak akan bikin apa yang udah gue perbuat
menghilang."
Setelah itu, Ali pergi dengan kawannya yang mengikuti dari belakang. Tatapan
teman sekelas Prilly yang tadinya menatap jijik pada Ali kini berubah menjadi tatapan
penuh kekaguman. Mereka memuji Ali dengan bisikan, lalu tersenyum saat mereka
menatap punggung Ali yang menjauh.
Prilly tetap diam ditempatnya. Menatap salep warungan yang kini ada dimejanya.
Perlahan, tangannya terulur. Ia mengambil salep itu dengan rasa bersalah yang
menelusup di balik tulang rusuk Prilly.
Prilly merasa bersalah. Hingga sekarang. Mengingatnya, Prilly menghela napas
panjang. Ingin sekali Prilly hanya mengingat keburukan Ali, namun, yang Prilly ingat
justru keburukan dirinya.
"Kamu tidak asik lagi jika sedang galau," Sesil berceloteh. Melayang disisi Prilly,
membuat cewek itu mendesah kedinginan karena aura dingin Sesil. "Hey, kamu
bahkan lupa untuk memakai syal, Prilly."
Prilly menghela napas panjang. "Berenti ngomong, bisa? Gue cape denger
bacotan lo, tau gak?"
Sesil berdecak, lalu meringis kesal. "Aku yakin, kali ini, kamu sangat
membutuhkan informasi dariku."
"Gak penting," ucap Prilly sambil mempercepat langkah kakinya dijalanan yang
becek akibat hujan.
Sesil ikut mempercepat langkahnya dengan melayang. "Aku tidak yakin ...,"
ujarnya sambil bersidekap dada. "Tapi aku yakin, kamu pasti membutuhkan informasi
ini. Karena, informasi ini tentang hal yang membuatmu galau."
Langkah Prilly terhenti, begitu juga dengan Sesil. Hantu perempuan itu melayang
sedikit ke atas, lalu melayang turun hingga wajahnya berhadapan dengan Prilly
sedangkan bagian tubuhnya yang lain berada diatas. Rambut Sesil menjuntai
kebawah, begitupun dengan gaun yang selalu digunakannya. Efek dari badan terbalik
cewek itu. "Informasi apaan?" Prilly bertanya. Mengabaikan kepala Sesil yang
perlahan berputar.
Hantu perempuan itu tertawa, sedangkan tubuhnya kini berputar dengan kepala
Sesil yang tetap dihadapan Prilly. "Dia selesai bertengkar dengan banyak orang, dan
sekarang, dia tepat berada disana," katanya sambil menunjuk bangunan tua yang
berada tepat beberapa langkah didepannya. "Kupikir, dia terkena beberapa pukulan."
Prilly tidak mendengar lagi. Kata bertengkar seolah membuat tubuhnya mati rasa.
Kakinya merespon dengan bergerak cepat kearah gedung tua disana. Ia memasuki
halaman rumah tersebut, dan menemukan beberapa orang bertubuh kekar
tergeletak tak sadarkan diri dilantai.
Tubuh Prilly gemetar ketakutan. Ia menggenggam erat pegangan payungnya
sambil terus melangkah dengan tegang. Prilly menelan ludah dengan perasaan takut
yang menyelimutinya.
"Disana!" Kepala Sesil mucul di samping pundak Prilly. Hantu itu berseru sambil
menunjuk seseorang yang sedang duduk di tanah sambil menundukan kepala dengan
sebelah kaki yang dilipat keatas, dan tangan yang ditumpu di lutut. "Dia masih sadar.
Namun, sepertinya sedang kelelahan."
Dibawah guyuran hujan yang deras, Prilly dapat melihat rambut hitam yang
sangat ia kenali. Dengan potongan rambut rapi khas anak sekolahan. Prilly melangkah
pelan, menghampiri tubuh kelelahan itu dengan seribu perkataan yang ia siapkan.
Sampai dihadapan Ali, Prilly sedikit membungkukan badannya dan menggeser letak
payungnya, membagi keteduhannya dengan cowok yang masih duduk di tanah.
Mungkin, karena merasakan hujan yang tak lagi mengguyurnya, kepala itu
akhirnya mendongak, matanya bertabrakan dengan mata Prilly. Saling menatap
penuh keyakinan. Yakin, jika yang dihadapan mereka benar-benar nyata.
Prilly menghela napas panjang. "Walaupun hubungan kita gak baik, gue gak ada
niatan ninggalin lo ditengah hujan gede gini."
Ali tidak menjawab. Hanya terus menatap Prilly yang balas menatapnya.
Mereka tetap terdiam disana beberapa saat. Ditengah hujan deras, dibawah
payung yang sama, dan dikelilingi oleh tubuh-tubuh tak sadarkan diri.

***

"Hm? Yang ini masih sadar," Sesil berujar sambil melayang turun ke permukaan
tanah. Ia berjongkok, matanya menatap salah satu dari beberapa orang yang tak
sadarkan diri disana ternyata ada yang masih sadar. Mata Sesil berkedip sekali, lalu
mengikuti arah pandang lelaki itu. "Mengapa kamu melihat mereka sebegitunya?"
tanyanya, karena lelaki itu sedang menatap lurus-lurus pada sosok Ali dan Prilly.
Tentu saja, Sesil tidak mendapatkan jawaban. Orang yang diajak bicara oleh Sesil
malah menutup matanya dengan perlahan.
Sesil mengangkat alis, lalu kembali melayang diatas permukaan tanah, dan
langsung berteleportasi untuk menghampiri dua orang disana.
Tiga; Hai, Selamat Pagi!

Gadis itu merasa gondok.


Sumpahnya, Prilly merasa dirinya direndahkan untuk kedua kalinya adalah saat
ini. Bagaimana ini? Bagaimana lelaki itu bisa? Bagaiamana bisa terjadi? Kenapa bisa?
Prilly mendengus dengan beribu pertanyaan yang masih berkecamuk di otaknya.
Ah, sial. Dada Prilly masih saja sesak karena perlakuan kurang ajar cowok itu. Ugh,
sungguh menyesal. Prilly amat sangat menyesal. Masih membekas di ingatannya,
kejadian yang berlangsung beberapa menit lalu. Prilly menggeram dan memasukan
kunci lokernya dengan kasar, memutarnya kencang, dan membuka pintu lokernya
dengan tidak manusiawi hingga pintu loker berkuran sedadanya itu bertabrakan
dengan pintu loker lainnya.
Saat ini, Prilly sedang berada di ruang loker. Seperti biasa, menyimpan dan
mengeluarkan beberapa kebutuhannya disana. Prilly lalu membawa tasnya ke depan,
dan membuka resletingnya dengan kasar. Ia lalu mulai memilah buku-buku di dalam
lokernya, dan memasukannya ke dalam tas. Masih mengingat kejadian beberapa
detik lalu, Prilly mendengus kasar. "Peduli setan! Sumpahnya gue harus peduli
setan!" serunya, lalu menghela napas kasar.
"O-ow, ada yang masih kesal, rupanya. Hmmm, apa karna kejadian yang hanya
10 detik itu?" Kepala Sesil tiba-tiba menembus pintu loker yang masih terbuka. Hantu
perempuan itu lalu terbang dan berhenti di belakang Prilly. "Eyy, Prilly yang kukenal
biasanya tidak baperan."
Prilly mendengus kasar, lalu berbalik menghadap Sesil. "Lo tau? Lo gak akan
ngerti. Sumpahnya, lo pasti gak akan ngerasain apa yang gue rasain," kata Prilly, lalu
bersandar pada lokernya yang masih terbuka. "Argh, gue tau ini bakal kejadian! Gue
tau dia bakal pura-pura gak kenal sama gue!" Prilly berseru, ia melipat tangannya di
depan dada sambil menghentakan sebelah kakinya dengan kesal.
Masih hangat diingatan Prilly, bagaimana kemarin Ali memperlakukannya dengan
gentle dan sangat lelaki. Mengapa Prilly berkata demikian? Bayangkan saja
bagaimana perasaan seorang perempuan yang diutamakan lelaki lain. Ya, Ali yang
saat itu sedang babak belur malah mengantar Prilly pulang, seolah keselamatan Prilly
lah yang paling utama.
Ali bahkan berterimakasih pada Prilly. Dan yang paling membuat Prilly
tercengang adalah; Ali tersenyum pada Prilly.
Dan lagi, sebelum mereka berpisah, Ali sempat melambai pada Prilly!
Lalu sekarang, Ali malah seperti orang yang belum pernah mengalami hal
kemarin bersama Prilly. Buktinya, saat mereka berpapasan dan Prilly melemparkan
senyuman, Ali malah meliriknya 10 detik, dan berlalu tanpa ada senyum sedikit pun.
Argh, Prilly kesal sekali.
"Ya, kamu betul. Seharusnya, kamu sadar kalo kamu sama dia cuma musuh."
ucap Sesil yang masih berada di belakang Prilly.
Prilly mendengus, sempat gondok dengan apa yang dikatakan Sesil barusan. Ia
lalu meresleting kembali tasnya, dan memutar tasnya kembali—agar tergantung di
punggung. "Tapi, seenggaknya, bales senyum gue walaupun tipis atau sedetik,"
ujarnya, lalu kembali berbalik, menatap tubuh Sesil yang terapung beberapa senti di
lantai. "Gue juga gak terlalu ngarep sapaan Hai! atau Selamat pagi, Prilly! dari dia."
Sesil mengangkat kedua alisnya. "Kalau begitu, kamu gak akan semarah ini,
dong."
Prilly mengerjap. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke lantai, dan sial, sudah 2
kali Prilly dibuat gondok oleh Sesil. Dan hey! Ini masih pagi! Apa tidak cukup
kekesalannya hanya ada pada Ali saja? Ah, dasar pagi sialan!
Prilly selalu tidak suka hari Selasa—tidak juga, sih. Prilly tetap tidak suka hari
Senin. Dan hari Selasa ini tidak akan ada masalah jika bukan karena ada kejadian di
hari Senin.
Memikirnya, membuat Prilly berdecak kesal. "Pokoknya, gue kesel!" serunya, lalu
berbalik dan mulai menutup lokernya dengan gerutuan panjang lebar. Baru saja Prilly
akan mengunci loker, sebuah kepala yang tiba-tiba muncul di loker sampingnya,
membuat Prilly berjengit kaget. "AH! Kaget!" Prilly berteriak sambil memegangi
dadanya, dimana disana jantungnya terasa melompat sejenak.
Menyadari yang dilihatnya adalah manusia, Prilly membeku. Bagaimana tidak?
Yang dilihatnya sekarang adalah sesosok laki-laki yang membuatnya uring-uringan
pagi ini. Yang membuatnya benar-benar kesal setengah mati akan perbuatannya yang
tidak sopan pada Prilly.
Ya, orang itu adalah Ali. Dan kedatangan cowok itu yang tiba-tiba, sukses
membuat tenggorokan Prilly tercekat, dan matanya melotot kaget menatap wajah
datar Ali. "L-lo," katanya tercekat, "ng-ngapain disini?"
Ali mengangkat sebelah alisnya. Ia bersandar di loker yang berada di samping
loker milik Prilly, lalu membawa kedua tangannya untuk terlipat di depan dada.
"Kenapa? Gak boleh? Ini kan ruangan fasilitas sekolah."
Prilly tergagap. Ia berkedip beberapa kali, lalu menggigit bibir bawahnya dengan
tegang. "Gu-gue ...," ujarnya gugup, lalu menelan ludah. "L-lo udah dari kapan
disini?"
"Gue?" sekali lagi, alis milik Ali terangkat sebelah. Kemudian, matanya melirik ke
atas, seolah sedang berpikir. "Hm ..., cukup lama sampe tau apa aja yang lo
omongin."
Prilly menahan napas, sedangkan matanya setengah terbelalak. Ia lalu melirik
pada Sesil yang hanya melayang mundur dan menghilang menembus tembok. Mulut
Prilly terbuka setengah, sedangkan matanya berkedip tidak percaya. Memang, ya,
sekalinya tidak berguna, Sesil akan tetap tidak berguna.
"Kenapa ekspresi lo kayak gitu?" Ali membuka suara kembali, membuat Prilly
menatap Ali dengan cemberut. Ali terkekeh kecil. "Wah ..., lo emang beneran
mengejutkan, ya, Prill? Apa yang lo harap-in dari cowok brengsek, sialan, pengecut,
dan rendahan kayak gue, sih?"
Prilly melotot, kemudian cemberut. Ah, Ali ternyata balas dendam. Ternyata,
perkataannya—makian, lebih tepatnya—yang kemarin ditujukan pada Ali masih
membekas diingatan cowok itu. Dan ..., yang membuat Prilly kesal adalah salah satu
balasan dari Ali. Prilly menghela napas kesal. "Ah, gue tau sekarang. Ternyata, cowok
kayak lo emang suka pencitraan! Kemarin aja sok baik, sekarang malah balik lagi jadi
cowok brengsek."
Ali mendengus geli, lalu menegapkan berdirinya—tidak lagi bersandar pada loker.
"Gue emang selalu brengsek. Kemarin, hari ini, besok, dan selamanya, gue masih
dalam sifat gue," balasnya, lalu terkekeh saat Prilly kembali cemberut. "Gue tau lo
marah."
"Ya jelas tau, lah!" Prilly berseru dengan jengkel. Matanya kemudian mendelik,
dan tangannya ia lipat di depan dada. "Lo dari tadi disini denger gerutuan gue. Gue
juga tadi ngatain lo. Bego namanya kalo gak tau."
Ali terkekeh geli, sedangkan Prilly enggan menatap Ali. "Gue gak biasa nyapa
atau senyumin orang, Prilly," katanya, membuat Prilly menoleh dan mendapat
senyuman langsung dari Ali. "Gue gak biasa bilang Hai! atau Selamat pagi! kayak
yang lo harap-in."
Prilly terdiam. Sedikit memajukan bibir bawahnya. Ali selalu seperti ini.
Membuat orang kesal terlebih dahulu, baru menjelaskan semuanya. Seperti kemarin.
Saat Prilly selesai mengamuk, Ali menjelaskan maksud kedatangannya pada Prilly. Ah,
entah mengapa, pemikiran Prilly sangat drama kali ini. Ia berpikir, Ali membiarkan
orang mengatakan kekesalannya, lalu menjelaskan semuanya. Seperti; setelah puas
mengamuk, orang yang diberi amukan akan menjelaskan semuanya setelah orang
yang mengamuk itu tenang.
Melihat diamnya Prilly, Ali tersenyum geli, lalu membawa tangannya untuk
mengacak rambut Prilly, membuat cewek itu melongo. Melihat reaksi Prilly, Ali malah
mendengus geli. "Hai, selamat pagi, Prilly!"
Prilly mengerjapkan matanya di tempat, sedangkan Ali terkekeh kecil lalu
melangkah pergi. Meninggalkan Prilly yang hanya memegangi kepalanya dengan
debaran jantung yang menggila.

***

Setelah Ali menceritakan perihal memar yang didapatnya, Radit menggebrak meja
dengan kencang. "LAGI?!"
Ali hanya menghela napas panjang, lalu mengangguk malas.
Tian berdecak. Ia lalu mengambil beberapa kerupuk yang berada disana, dan
memakannya dengan ganas. "Fwialan." ujarnya tidak jelas karena mulutnya masih
dipenuhi oleh kerupuk.
"Ngomong apa lo?" Ali bertanya. Alisnya mengerut dengan dalam.
"Sialan," ujar Radit. "Dia ngomong sialan."
Ali mengangguk dengan mulutnya yang membentuk huruf O.
Saat ini, mereka sedang di kantin. Seperti biasa, bel istirahat sudah berbunyi dan
mereka sedang makan siang. Kemarin adalah adu kekuatan antara Ali dan beberapa
anak buah seorang ketua gang yang menginginkan Ali.
Ya. Katakan saja jika Ali ini memang hebat dalam berkelahi. Beberapa dari
kawannya bahkan menganggap Ali adalah Bos Besar. Padahal, Ali tak pernah
menginginkan pengikut. Hanya saja, karena ia menolong beberapa orang, Ali
dijadikan seorang pahlawan yang patut dijadikan Bos. Dan, sifat manusia yang tamak
menjadikan Ali senang berkuasa karena memiliki banyak pengikut.
"Jadi, gimana? Lo bisa ngalahin semuanya, kan?" Radit bertanya, membuat Ali
mengangguk dan mengambil salah satu kerupuk disana. Radit mendengus. "Gue
denger, dia punya banyak anak buah. Dan walaupun lo udah ngalahin Sepuluh orang,
mungkin bukan apa-apa buat dia."
Ali hanya bergumam dan mengangguk mengerti, lalu kembali memakan kerupuk.
"Li, lo harus hati-hati," Tian ikut mengingatkan. Tangannya menepuk bahu Ali
beberapa kali. "Dia terlalu ambisius. Dia berjuang sebanyak lo nolak dia."
Ali kembali mengangguk mengerti dan meneruskan aktifitas mengemilnya.
Sekedar informasi saja, Dia yang kawan-kawannya maksud adalah seorang laki-laki
bernama Rasya. Dan berjuangnya Rasya adalah menawari Ali untuk menjadi anak
buah cowok itu. Jangan salah paham. Ini tidak seperti pemikiran kalian bahwa ada
seorang wanita yang Ali tolak mati-matian sangat ambisius untuk memiliki Ali. Tidak.
Ah, dan sekedar info lagi, sahabat yang benar-benar sahabat Ali hanyalah Radit
dan Tian. Mungkin, jika di dunia ini hanya ada 2 orang yang harus sangat Ali percayai
di dunia ini, Ali akan memilih Radit dan Tian.
Saat-saat Ali memakan kerupuk miliknya diantara beberapa kawannya, matanya
beradu pada seorang perempuan yang berdiri sambil menatap menu makanan yang
tertempel di tembok kantin.
Melihat mata bulat cewek itu yang menatap bingung menu disana, membuat
bibir Ali berkedut karena tersenyum. Gila, Ali sangat menyukai semua aura yang
dimiliki Prilly.

***

Embusan asap rokok itu merambat keluar dari hidung mancungnya. Dalam duduknya,
ia membuang puntung rokok yang sudah setengah itu ke lantai. Dengan gerakan
kasar, lelaki itu menginjak rokoknya, lalu mengoyaknya pelan.
Lelaki itu kemudian berdiri, sedangkan beberapa pengikutnya langsung berlutut
sambil menundukan kepala dalam-dalam. Satu diantaranya masih tetap berdiri,
namun kepalanya tertunduk dalam, sama seperti pengikut lainnya. Lelaki itu
membuang napasnya yang berat. "Jadi kemarin, gue gak dapet hasil lagi?"
Tidak ada jawaban. Yang ditanya hanya menunduk takut-takut sambil mencuri
pandang akan apa yang dilakukan laki-laki pemimpin kelompok mereka.
Rasya namanya. Seorang yang sangat gigih ingin memiliki Ali sebagai
pengikutnya, memiliki nama panjang Rasya Arbraham. Memiliki tubuh yang tegap,
walaupun wajahnya tidak serupawan Ali. Yang diinginkan Rasya adalah kekuatan dan
kehebatan Ali. Tanpa uang, Ali bisa memiliki pengikut. Tidak seperti Rasya yang
mengharuskan membayar anak buahnya jika dirinya ingin di hormati.
Rasya kembali membuang napasnya yang berat, lalu mendongak menatap pada
sudut ruangan. "Siapa yang harus disalahin disini?" tanyanya pelan, namun syarat
akan ancaman dari nada datarnya. "Siapa yang harus tanggung jawab disini?"
Kepala pengikutnya makin tertunduk. Takut-takut jika sang pemimpin mengambil
pistol dan menembak mati mereka di tempat.
Asistennya—yang tetap berdiri sambil menunduk takut—sedikit melirik tuannya.
"B-bos ..."
Rasya menatap asistennya sekilas. "Hm? Lo ngaku salah?"
Orang yang ditanya Rasya terlihat menelan ludah, lalu menggeleng cepat dengan
wajah panik. "Bu-bukan."
"Trus apa? Lo nyalahin gue?"
Lagi, yang ditanya menggeleng panik. "Bu-bukan. Sa-saya punya i-ide lain."
Rasya mengedip beberapa kali, lalu sepenuhnya menghadap pada sang asisten.
"Apa?"
Mendapat tatapan penuh, pria yang menjadi pengikut Rasya itu makin
menunduk dalam. "Sa-saya dapet laporan. Ka-katanya, Ali punya p-pacar."
Alis Rasya terangkat sebelah. "Pacar? Cowok?"
Sang asisten mengulum bibir, menahan diri untuk tidak tertawa. Kepalanya
kemudian menggeleng.
"Cewek, berarti?" Rasya kembali bertanya, memastikan.
Yang ditanya mengangguk dengan mantap.
Rasya terdiam. Kakinya lalu kembali melangkah, mendekati kursi yang tadi ia
duduki. Badannya sedikit membungkuk, lalu mencengkram sandaran kursi dengan
erat. Sebuah kobaran api membara didadanya. Semangat untuk melemahkan Ali
melalui orang lain membuat sebuah senyum senang terukir di wajahnya. Rasya
sangat bersemangat. Ia yakin, Ali pasti akan termakan pancingannya.
Jika Rasya tak bisa membawa Ali ataupun kawan Ali sebagai sandera, ia bisa
mendapatkannya melalui orang lain. Orang lemah, yang Rasya yakin takkan dapat
melawan kekuatan seorang lelaki. Yaitu, wanita. Makhluk lemah yang selalu
menyelesaikan masalah dengan tangisan.

***

Sesil mendengus—secara penglihatan manusia. Karena sejatinya, ia sudah tidak


bernapas lagi—saat lagi-lagi, Prilly berbuat aneh. Ya, sangat aneh. Disaat jam-jam
pelajaran, Prilly hanya melongo dan menggigiti pulpen dengan pandangan kosong.
Entah laki-laki bernama Ali itu melakukan apa, tapi sumpah! Sesil dibuat gila oleh
Prilly hari ini!
Untuk entah ke berapa kalinya, Prilly seolah tersentak dan menatap panik pada
Sesil sambil bertanya, "Lo denger? Lo denger itu?"
Sesil mendengus. Ayolah, mengapa perjalanan pulang ke rumah Prilly terasa
sangat lambat? "Tidak! Aku dari tadi jawab itu, Prilly!"
Mata melotot yang tadi ditampilkan Prilly kini berubah menjadi mata menyimpit
was-was. "Aneh ..., gue denger jelas banget."
Sesil hanya mendengus dan melemaskan bahunya. Tubuh melayangnya setia
mengikuti Prilly dari belakang, sedangkan cewek itu sibuk memegangi dadanya
dengan kedua tangan. "Sebenarnya ..., apa yang kamu dengar?"
Mata Prilly terlihat menerawang. Bibirnya lalu bergumam. "Detak jantung
gue ..."
Sesil hanya menghela napas panjang—sebenarnya, memang hanya terlihat.
Karena sejatinya, ia sudah tidak bernapas.
Empat; Penculikan, Perkelahian, dan Arwah Baru

Cowok itu menggeram. Matanya tertuju pada layar ponsel yang masih setia menyala
dengan menampilkan isi pesan yang baru saja masuk. Isi pesannya sangat singkat,
namun sukses membuat Ali emosi karenanya. Sebuah pesan dari Rasya, yang
mengatakan bahwa perempuan yang kemarin bercengkrama bersama Ali, kini tengah
berada dalam sandera Rasya.
Rahang Ali mengeras. Ia meremas ponselnya kuat-kuat, seolah Ali dapat
meremukan tubuh Rasya melalui ponsel tersebut.
Sebenarnya, saat ini Ali tengah berada di perjalanan pulang. Langit sudah
menghitam, warna gelap mendominasi dengan titik-titik bintang yang menyertai. Ini
menandakan hari ini akan berakhir. Namun, tidak bagi Ali. Ia harus menemui Rasya,
dan menyelamatkan Prilly.
Terakhir, Ali mendengus keras di tempatnya. Sambil memasukan ponselnya ke
saku seragam, Ali lalu berlari menuju tempat yang disebutkan oleh Rasya. Tempat
yang sangat Ali ketahui letaknya.
Seharusnya, Prilly tidak menjadi korban disini. Ali tidak tahu bagaimana Prilly
bisa masuk lingkarannya, namun, Ali yakin, penyebabnya adalah Ali.
Dan Ali menggeram, lalu mempercepat larinya. Ayolah, Ali tahu Prilly memang
sangat menyebalkan—juga menggemaskan—namun, menculik sesorang yang tidak
bersalah benar-benar mengesalkan dan menyusahkan.
Dalam perjalanan, Ali memikirkan apa saja alasan Rasya untuk menyandra Prilly
dan menjadikan cewek itu ancaman bagi Ali untuk bergabung dengan Rasya. Ini tidak
adil, dan Ali harus kesusahan karena ketidak adilan tersebut.
Ali mendesis dan mempercepat laju larinya saat sebuah gedung kumuh dengan
beberapa penjaga didepannya sudah dapat Ali lihat. Saat ia akan sampai disana,
penjaga-penjaga bangunan kumuh itu menatap was-was pada Ali dan membuat
barisan siap siaga dengan ketakutan yang kentara.
Ali menghela napas panjang. Ia berhenti dihadapan para penjaga itu, lalu
menatap tubuh-tubuh kekar itu dengan was-was dan siap siaga, namun, dengan
perasaanya yang marah, bukan ketakutan. "Mana Prilly sama Rasya?" tanyanya saat
menyadari lelaki yang membuatnya emosi tidak ada ditempat.
Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya tetap pada formasinya dan melirik
takut-takut pada satu sama lain, lalu menatap Ali kembali.
Ali tertawa sinis. "Gak mau ngasih tau?" tanyanya, dan tetap tidak ada yang
menjawab. Ali tersenyum sinis. "Jadi, kalian lebih milih tulang-tulang kalian patah
sama tangan gue?"
Ali dapat melihat ketakutan dalam diri anak buah Rasya makin menyala,
sedangkan Ali merasa kini keinginan untuk mematahkan tulang-tulang anak buah
Rasya sangat besar dan menguat.
Ali kembali tersenyum sinis, lalu memposisikan tubuhnya. Ia membuat posisi
kuda-kuda, lalu menyimpan kepalan tangan kanannya di depan wajah, sedangkan
tangan kirinya disamping telinga. "Kalo itu mau kalian, maju sekarang!"
Satu diantara mereka—yang Ali yakini adalah pemimpin perang—maju dengan
ragu-ragu, lalu berseru panjang dengan tangannya yang melesat cepat menuju Ali.
Ali yang tahu gerakan tersebuut, langsung menghindar dengan berputar dan
berhenti di belakang tubuh lelaki itu, lalu menyikut punggungnya dengan kencang,
membuat si pemukul tersungkur ditanah. Ali menghela napas panjang, lalu
merapikan seragamnya. Ia lalu menatap satu persatu anak buah lainnya, kemudian
tersenyum miring.
Mereka yang ditatap malah menatap pada pemimpinnya yang sedang
meringis—bahkan menangis—lalu menatap pada Ali dengan pandangan tidak
percaya. Mereka lalu maju serentak menyerang Ali dengan keroyokan.
Ali masih menanganinya dengan tenang. Ia menghindar saat ada orang yang
akan memukulnya, lalu menendang orang itu. Saat Ali diserang oleh 2 orang sekaligus,
ia berjongkok dengan salah satu kakinya yang terjulur, lalu menjegal 2 orang itu
hingga terjatuh ke tanah. Dan saat Ali diserang oleh 3 orang sekaligus. Ia melompat
ke atas, lalu menendang salah satu kepala diantara mereka, dan saat akan mendarat,
ia melayangkan pukulan ke ubun-ubun salah satunya, kemudian tetakhir, ia menjepit
leher orang itu dan membantingnya ke tanah.
Namun, itu belum selesai. Mereka bangun kembali dan terus menyerang hingga
Ali harus menjedotkan kepala salah satu orang disana, sampai Ali merasa, kepala itu
akan retak nantinya. Saat masih memegang kepala itu, Ali mendengus kasar. "Ini gak
akan terjadi kalo kalian gak nyentuh dia. Kalian, emang udah seharusnya kena
hukuman. Bahkan, lebih dari ini," ujarnya dingin, lalu berdiri dan langsung
menendang wajah pemilik kepala itu.
Napas Ali terengah. Namun, ia sama sekali belum tersentuh. Satu tamparan
bahkan sentuhan apapun belum Ali terima.
Ini adalah alasan mengapa Ali berkata bahwa Prilly sudah menyentuhnya 2 kali.
Kerena, selama ini Ali tidak mudah disentuh. Apalagi, dengan sebuah kekerasan.
Prilly adalah yang pertama. Orang pertama yang menyentuh Ali dengan mudahnya.
Ali menghela napas karena lagi-lagi teringat Prilly. Ia menatap satu persatu orang
yang sedang berusaha berdiri sambil menatap sengit dan campuran takut pada Ali.
Ali berdecak. "Bisa berenti, gak? Cuma kasih tau gue aja dan gak usah buang tenaga,
apa susahnya, sih?"
Namun mereka seolah tidak mendengar. Ali mendengus saat mereka kembali
berniat menyerang Ali.

***

Mata itu perlahan mengerjap terbuka. Entah mengapa, lehernya terasa pegal karena
terlalu banyak menunduk. Prilly mengangkat perlahan kepalanya, dan wajah khawatir
Sesil yang pertama kali Prilly temukan.
Mata Prilly menelusuri ruangan gelap dan berdebu disana perlahan, lalu kembali
menatap Sesil. "Gue dimana?"
Wajah Sesil benar-benar menyiratkan kekhawatiran saat melayang mendekati
Prilly, lalu menegapkan berdirinya, membuat Prilly harus mendongak karena ia kini
sedang berada dalam posisi duduk di kursi.
Dan kini Prilly sadar. Ia menunduk, dan dapat melihat kalau tangannya kini
tengah diikat bersamaan dengan kursi yang didudukinya. Panik melanda Prilly. Ia
menggerakan tangannya, kakinya, dan juga tubuhnya dengan gerakan gelisah. Prilly
kembali mendongak dan menatap Sesil dengan tatapan bertanya. "Kenapa gue bisa
disini?"
Sesil terlihat menghela napas panjang, lalu melipat kedua tangannya didepan
dada. "Kamu gak ingat? Kita sedang membicarakan jantung kamu yang berdetak
hingga terdengar sampai telinga, tadi."
Prilly terdiam ditempatnya. Ia mencoba mengingat, dan langsung tahu apa yang
Sesil maksud. Jadi, saat pulang sekolah tadi dan membicarakan perihal jantung Prilly
yang berdebar kencang, Prilly tertarik oleh sebuah tangan dan hidungnya langsung
ditutupi oleh kain berbau aseton sehingga Prilly jatuh pingsan karenanya. Prilly
mengerjap, lalu menghela napas panjang. "Gue diculik? Lagi?"
Sesil menggeleng cepat atas pertanyaan Prilly. "Bukan. Kamu dijadikan sandera."
Mendengarnya, alis Prilly bertautan. "Sandera? Kenapa? Buat apa?"
"Iya. Alasannya, hanya untuk membuat Ali kesini," jawab Sesil, membuat alis
Prilly bertaut makin dalam. "Dan dia sekarang ada disini."
Mulut Prilly menganga setengah. "What the fuck, gitu? Kenapa harus gue yang
diculik? Kenapa gak keluarganya aja?"
Sesil menggeleng. "Gak tau."
"Trus?"
"Trus apa?" tanya Sesil dengan salah satu alisnya yang terangkat sebelah.
Prilly menghela napas lelah, lalu berdecak kesal. "Trus, lo gak mau nolong gue,
gitu? Bukain talinya, kek!"
Sesil mengerjap. Ia terkekeh geli, lalu mulai menjalankan apa yang diperintahkan
Prilly. "Maaf deh. Aku tidak memikirkannya, tadi."
Prilly mendengus sambil mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri.
"Lo emang gitu. Dasar hantu lemot!"
"Dasar! Sudah kutolong, juga," gerutu Sesil sambil cemberut.
Prilly terkekeh kecil, lalu berdiri. Ia menatap Sesil dengan tatapan gemasnya.
"Uuunncchh, makasih Sesilku! Kamu memang sahabat terbaik!" serunya sambil
memberikan 2 jempol pada Sesil, membuat hantu itu tersenyum malu-malu. Prilly
kembali terkekeh. "Udah, ayo kita keluar! Kita harus cari Ali."
Sesil mengangguk, lalu melayang terbang menjauh dari tempat mereka semula,
dan Prilly mengikutinya dengan berlari di belakang. Ah, Prilly tidak menyangka ia
akan berada di situasi seperti ini karena manusia. Ya, karena biasanya, Prilly berada
diposisi seperti ini karena seorang hantu. Namun, itu hanya baru terjadi 2 kali.
Sisanya, Prilly tidak pernah lagi berurusan dengan culik menculik.
Memang, sih. Ia terlalu ikut campur dengan urusan makhluk halus. Bukan
kenapa-kenapa, namun, seperti yang diketahui banyak orang, Prilly memang
mengutamakan sebuah keadilan. Dan itu, terlalu mendarah daging hingga ia
merelakan sekolah dan rangkingnya untuk berada di sekolah bobrok demi
sepupunya.
Tapi, sudah lama sekali Prilly tidak berurusan dengan hantu yang sering minta
tolong padanya. Mungkin, karena Prilly menolak keberadaan mereka. Prilly hanya
tidak mau, ia kembali berada dalam bahaya. Dan Prilly juga tidak ingin jika
orang-orang di sekitarnya malah celaka karena dirinya.
Tak terasa, mereka kini sudah berada di depan pintu. Ah, untung saja ini adalah
sebuah gedung kumuh. Jadi, sangat mudah untuk keluar dari sini.
Napas Prilly terengah takut. Ia menelan ludah, lalu menempatkan tangannya
pada gagang pintu. Dengan menggigit bibir kuat-kuat, Prilly membuka perlahan pintu
tersebut, dan tercengang ditempatnya.
Disana, Ali sedang menghajar habis-habisan orang yang menyerangnya satu
persatu. Ali disana bukan Ali yang ia kenal. Ali disana, seolah mengatakan bahwa
memukuli orang sangat menyenangkan. Dari ekspresinya yang terlihat bersemangat
dengan mata berbinar, Prilly tahu jika Ali menikmatinya.
Setelah membanting satu orang dengan kejam, Ali menghela napas panjang.
"Kasih tau dimana Prilly sama Rasya."
Sudut bibir Ali terluka. Namun, seolah luka itu tidak ada apa-apanya, Ali
mengatakannya dengan lancar tanpa beban.
Sadar dirinya masih terpaku, Prilly menelan ludah, lalu melangkahkan kakinya
selangkah keluar.
Ali seolah tersadar. Ia menatap ke arah Prilly dengan cepat, dan mata mereka
bertemu.
Diantara tubuh-tubuh tergeletak lemas disana, mata mereka terpaku satu sama
lain. Seolah ada magnet dimata Ali, Prilly kembali melangkahkan kakinya untuk
mendekat ke arah Ali, mendekati orang yang mengotori tangannya demi mengetahui
dimana Prilly berada. Namun, Prilly tetap menelan ludahnya dengan gugup. Ia juga
takut pada Ali. Dan Prilly juga tidak tahu. Apakah disini, Prilly kawan atau lawan?
Mereka kini berhadapan. Dengan mata yang masih terpaku satu sama lain. Prilly
menelan ludah. "Lo dateng."
Ali menjawabnya dengan anggukan singkat, lalu tersenyum. "Dan lo selamat."
Seolah virus, Prilly ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
"Uuuu, Ali! Gue gak nyangka lo seromantis ini."
Suara itu membuat keduanya menoleh ke samping, dimana sumbernya berada
disana. Rasya berdiri dengan angkuh disana. Dengan senyum miring dan kedua
tangan yang terlipat didepan dada.
"Udah lama ya, Li, kita ada di satu medan perang," Rasya kembali bersuara.
Matanya lalu bergulir ke arah Prilly. "Dan gue gak salah pilih sandera."
Prilly dapat mendengar suara Ali yang mendengus jengkel. "Ya, dan gue pamit
karna harus bawa balik dia," ujar Ali dingin, lalu menggandeng tangan Prilly. Baru saja
mereka akan berbalik haluan, suara Rasya menghentikan keduanya.
"Liat sini!"
Dan keduanya membeku ditempat. Rasya disana, menodongkan sebuah pistol
kecil pada mereka. Moncongnya berlubang, menjelaskan bahwa apa yang digenggam
Rasya adalah pistol asli.
"Ini penawaran terakhir, Ali," Rasya berujar datar. Ia berjalan 2 langkah
mendekati keduanya. Sebuah senyum sinis tercetak di wajahnya. "Lo pilih salah satu;
kalian berdua mati disini, atau lo jadi anak buah gue."
Ali menghela napas panjang. Wajahnya yang tadi tenang, kini ada segurat rasa
tegang disana. "Lo kenapa harus sejauh ini, sih?"
"Dan lo kenapa nolak gue sejauh ini?" Rasya balik bertanya, melangkah lebih
dekat sambil terus menodongkan pistol tersebut pada Ali. "Ayo pilih!"
Ali menghela napasnya, lalu menatap pada Prilly. "Lo yang pilih," ucapnya,
membuat Prilly mengerjap kaget. "Lo pilih; lo ngasih gue ke dia, atau gue abisin dia
disini."
Prilly terdiam. Ia berkedip beberapa kali, menatap Ali dengan ekspresi bingung.
Prilly juga takut, sebenarnya. Walaupun ia pernah 2 kali di todong senjata tajam,
Prilly tetap saja takut. Namun, jika Prilly memilih opsi pertama dari Ali, itu malah
akan menjadi lebih buruk. Jika suatu saat Ali balas dendam padanya, bagimana? Jadi,
Prilly mengedikan dagunya sekali ke arah Rasya. "Matiin dia."
Ali tersenyum miring. Ia lalu kembali menatap datar pada Rasya. Setelah melihat
ketakutan pada diri cowok dihadapannya, Ali langsung berlari menerjang pada Rasya.
DOR
Jarak membuat Ali membutuhkan beberapa detik untuk kesana, dan Ali
terlambat. Ia berhenti berlari saat rasa panas diperutnya terasa, membuat seluruh
tubuhnya mati rasa saat merasakan sebuah lubang kecil di perutnya. Darah menetes
ke tanah, membuat Prilly melotot karenanya. Cewek itu membeku ditempat, terdiam
menyaksikan kejadian tidak terduga itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Rasya si pelaku membelalak panik. Tubuhnya gemetar ketakutan juga gelisah.
Matanya terfokus pada tubuh yang baru saja ia tembak. Ali tetap berdiri disana,
menyentuh perutnya dengan tangan gemetar. Kepalanya sedikit menunduk,
sedangkan wajahnya sudah memerah menahan sakit. Ali melepaskan tangannya dari
perut, lalu menatap kaget pada telapak tangannya yang sudah dipenuhi darah.
Kaki Ali melemas, dan cowok itu langsung terjatuh ditanah.
"ALI!!" Prilly berseru panik, lalu berlari menghampiri tubuh yang sudah
tergeletak ditanah itu.
Rasya seolah tersadar. Cowok itu kembali menegapkan tubuhnya, dan kembali
menodongkan pistolnya pada Prilly. "Jangan bergerak!" serunya, namun tidak
digubris Prilly yang malah makin mendekati Ali. "Gue bilang, jangan gerak!" Rasya
kembali berseru. Baru saja tangannya akan menarik pelatuk, pistolnya tiba-tiba
terlempar jatuh, lalu menghilang.
Tidak tahu jika Sesil sedang menyembunyikan senjata itu di punggungnya, Rasya
menatap sekitaran dengan gelisah dan ketakutan. Matanya menatap nyalang ke seisi
tempat. Dan saat tidak menemukan siapapun didekatnya, Rasya makin ketakutan dan
lari dari tempat itu secepat kilat.
Prilly bersimpuh disisi tubuh Ali. Matanya menatap nanar pada Ali yang masih
setengah sadar. "A-ali ...," panggilanya dengan tercekat.
Ali yang merasakan tubuhnya yang terasa panas, langsung menekan perutnya
yang masih mengeluarkan darah.

***

Sesil kembali berteleportasi pada Prilly. Ia dapat melihat Prilly kini menangis kencang
saat Ali mengejang kesakitan di tanah. Sesil mengulum bibirnya sekilas. "Prilly, bebat
lukanya. Biar darahnya berhenti."
Prilly mengangguk, lalu mulai membuka kancing seragam sekolahnya satu
persatu, lalu membukanya, dan hanya menyisakan sebuah tank top yang ia kenakan.
Prilly mulai melipat seragamnnya dengan cepat. Setelah itu, Prilly menyimpan kemeja
yang sudah ia lipat ditanah, dan menggunakan tangannya untuk membawa kepala Ali
dan menyimpan kepala itu dipangkuannya. Tangannya yang gemetar lalu membawa
kemeja yang sudah dilipat itu, dan melilitkannya pada pinggang Ali.
Ali merintih. "K-kemeja lo ...," ucap Ali dengan suara bergetar, lalu terbatuk kecil.
"Kekecilan. Sesek."
Prilly menangis, membuat Sesil yang melihatnya hanya menggelengkan kepala.
"Jangan mati, Li," ujarnya dengan kepala tertunduk dalam. "Jangan bikin gue ngerasa
bersalah."
Ali tersenyum mendengar apa yang dikatakan Prilly. Setelah itu, Ali terbatuk
kecang, lalu berakhir dengan embusan napasnya yang kian memberat.
Prilly melotot. Tangisnya bertambah kencang, lalu tangannya mulai
menggenggam tangan Ali. "Jangan mati! Liat gue, dan jangan pernah tutup mata lo!"
Jawaban Ali hanya napasnya yang kian memberat.
Prilly makin menangis.
Sesil berdecak kesal. "Panggil ambulan, bodoh."
Prilly seolah tersadar, dan langsung memeriksa saku-saku seragam Ali, dan
mengambil ponsel disana. Dengan cepat, tangannya mulai bergerak di layar ponsel,
lalu menempelkan layarnya di telinga. "Hallo-"
Dan Prilly juga Sesil langsung terdiam saat mengetahui bahwa mata Ali sudah
tertutup sejak tadi. Namun, yang membuat mereka tercengang adalah saat mereka
melihat visualsasi Ali yang berdiri menghadap Prilly dengan raut bingung.
Sesil dapat melihat Prilly yang melongo menatap Ali. "Lo ..., mati?" tanya Prilly
yang membuat Ali tersadar dan langsung menatap tubuhnya yang berada di
pangkuan Prilly.
Dan Sesil bersumpah. Saat Prilly menoleh pada Sesil, arwah Ali ikut menoleh
padanya.
Lima; Sebuah Fakta

Cewek itu sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit. Tepatnya, di kursi tunggu
ruang operasi. Prilly termenung disana dengan arwah Ali yang berdiri—sedikit
melayang, jelasnya—disampingnya sambil menunduk dalam-dalam. Sesil pergi entah
kemana. Setelah sadar Ali menatapnya, Sesil melotot kaget dan langsung menghilang
dari penglihatan Ali dan Prilly.
Prilly menghela napas panjang, lalu menyenderkan tubuhnya di tembok rumah
sakit. Kepalanya mendongak ke langit-langit rumah sakit, lalu menunduk menatap
darah yang mengering di telapak tangannya. Mata Prilly mulai memanas. Masih
teringat jelas bagaimana Ali tertembak di depan matanya, untuk menyelamatkan
Prilly.
Ah ..., jika saja Prilly tidak memilih opsi kedua, jika saja ia menyuruh Sesil
mengambil pistol itu dari awal, Ali kini tak akan menjadi hantu. Dan hal itu
disebabkan oleh Prilly.
"Ngeliat dari kelakuan lo, gue yakin kalo gue udah mati didalem sana," Ali berujar,
membuat Prilly menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Jangan terlalu nyalahin diri
lo. Gue juga ikut andil karna terlalu menyombongkan kekuatan."
Prilly mengulum bibirnya, lalu mengalihkan pandangan dan menunduk dalam. Ia
terisak kecil disana, merasa menyesal dengan apa yang terjadi hari ini. Dalam dirinya,
sudah tak ada harapan jika yang keluar di ruang operasi saat ini adalah Ali dalam
keadaan hidup, bukan Ali yang sudah menjadi mayat. Tangis Prilly mengencang. Ia
terbatuk karenanya, membuat Prilly harus menutup mulutnya dengan telapak
tangan.
Ali berdecak, namun tetap diam ditempatnya seolah tak memperdulikan Prilly.
Tidak hidup saja, Ali tetap mengesalkan. Menjengkelkan, dan menyebalkan.
Bagaimana bisa lelaki itu membiarkan seorang gadis menangis tanpa menghiburnya
sedikitpun? Memikirkannya, tangis Prilly makin kencang. Dan Ali kembali berdecak
makin kesal.
Kini Prilly berharap Ali benar-benar mati. Tidak juga, sih. Prilly tidak ingin dilanda
rasa bersalah, nantinya. Jadi, harapannya tidak jadi.
"Cewek. Mewek mulu kerjaannya," ejek Ali.
Prilly mendengus. "Mati aja, lo!"
"Udah mati, kali."
Dan Prilly kembali menangis kencang. Ah, sialan. Tidak hidup saja, Ali
benar-benar membuatnya menderita. Ah, andai saja Ali baik dan manis. Pasti, Prilly
sudah langsung terpesona oleh kharismanya. Tapi, cih, sekali lagi, Ali mengesalkan
dan menyebalkan. Mau jadi manusia ataupun hantu, Ali tetap brengsek.
"Udah, deh. Jangan lebay gitu," Ali kembali bersuara, membuat tangis sesegukan
Prilly memelan. "Semua orang mati, kali. Cuma waktunya aja yang gak sama."
Prilly cemberut. Dia mendelik pada Ali dengan tangisnya yang masih tersisa. "Lo
banyak dosa. Gak takut masuk neraka, apa?" ujarnya serak.
Ali terlihat menelan ludah, berbeda dengan matanya yang melotot pada Prilly.
"Lo gila, apa? Gue kan disini, gak di neraka."
"Ini sementara, Ali," balas Prilly sambil menyedot ingusnya. "Lo punya waktu
sebentar disini sebelum dibawa sama malaikat maut."
Ali terlihat mengerjap kaget. "Lo ..., gak bercanda?"
Prilly menggeleng pelan. "Sesil juga bentar lagi dijemput," katanya pelan, lalu
menunduk kembali. "Kalo lo mati, lo bakal dikasih waktu Empat puluh hari dulu buat
nunggu penentuan kapan lo bakal dijemput lagi," Prilly berhenti sejenak untuk
menghela napas panjang dan menelan ludah. "Dan di waktu itu, lo gak bisa
ngumpulin amal apapun. Nolong manusia, gak tentu lo dapet amal karna udah beda
dunia."
Ali masih terdiam ditempatnya. Mungkin, berpikir tetang apa yang Prilly katakan.
Dan kebetulan, yang Prilly katakan adalah kebenaran. Sesil diberi waktu hanya
beberapa tahun. Saat ini, umurnya 199 tahun dan saat 200 tahun, Sesil akan di
jemput. Memikirkannya, mata Prilly kembali memanas. Ini sama saja dengan
perpisahan seperti yang ada di dunia. Seperti ..., mati untuk kedua kalinya. Dan juga,
Prilly tak dapat melihat Sesil lagi. Benar-benar seperti perpisahan kematian, bukan?
"Prilly ...," Ali memanggil pelan, membuat Prilly menoleh dan bergumam. Ali
terlihat menelan ludahnya dengan susah payah. "Gue gak pernah solat, dan
pertanyaan tentang solat adalah yang paling awal ditanyain di alam kubur. Berarti ...,
gue bakal masuk neraka?"
Prilly menghela napas prihatin. "Lo bakal masuk neraka dulu. Gue gak
bisa sampe nentuin kapan. Tapi, kayaknya, bakal lama.”
Ali mengerutkan alisnya dengan sedih. "Jadi ..., gue tetep bakal di masukin ke
neraka?"
Prilly mengangguk pelan. "Iya. Kan dosanya harus dicuci dulu."
Ali duduk dengan lemas—secara penglihatan Prilly, duduk agak
melayang—dilantai. Terlihat sekali jika pandangannya menerawang kosong. "Gue ...,
bakal dipanggang?" tanyanya, lebih pada diri sendiri. "Di apinya ..., Tuhan? Yang
katanya lebih panas dari api dunia?"
Prilly menghela napas prihatin, lalu menggeleng pelan. Prilly juga tidak dapat
memastikan semua orang yang rajin beribadah akan langsung masuk surga. Prilly
juga tidak dapat memastikan dirinya sendiri akan langsung dilempar ke surga. Namun,
Prilly percaya jika selagi masih mempercayai siapa Tuhanmu, ia akan masuk surga.
Pakaian yang terlihat sempurna dimata kita, tidak tentu dapat terlihat sempurna
dimata ahlinya. Begitupun amal. Cerita yang kita buat selama berbulan-bulan dan
terlihat sempurna dimata kita, tidak tentu sempurna dimata ahlinya. Begitupun amal.
Kita mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya selama umur kita. Mungkin, Setahun?
Lima tahun? Sepuluh tahun? Atau Seratus tahun?
Namun, siapa yang dapat menentukan bahwa amal yang kita kumpulkan tidak
ada cacat sedikitpun? Tidak ada kekurangan sedikitpun?
Kebanyakan manusia beribadah untuk memasuki surga Tuhan. Kebanyakan
manusia tidak mengerti, bahwa ibadah adalah jalan kita menyembah Tuhan, memuja
Tuhan, dan berterima kasih pada Tuhan. Agar kita selamat di akhirat, dan menjadi
seseorang yang terpilih untuk diterima disisi-Nya.
"Prill ...,"
"Hm?" balas Prilly sambil menoleh pada Ali yang menatap kosong padanya. Ali
mengerjapkan matanya cepat, lalu beringsut merangkak untuk berlutut di hadapan
Prilly, membuat Prilly melotot kaget karenanya. "Lo ngapain?!"
Ali mengabaikan Prilly. Cowok itu hanya menatap pada mata Prilly, lalu
menangkup tangannya di depan wajah Prilly yang masih menampakan ekspresi kaget.
"Gue mohon, lo harus solat yang khusyu dan do'ain gue."
Prilly melotot kaget. "Lo gila?! Gue lagi gak boleh solat!"
Ali seolah tidak mendengar dan malah menunjukan wajah memohon. "Kalo gitu,
lo baca surat yasin buat gue."
Prilly makin melotot dan langsung menggeleng panik. "Gila apa?! Gue lagi mens,
Ali!"
"Atuuhhh—WHOA!!" bujukan Ali terpotong dengan teriakannya. Cowok itu
menatap horror ke arah Prilly. Bukan, sepertinya Ali menatap horror ke arah belakang
tubuh Prilly, membuat Prilly mengerutkan alisnya karena bingung atas sikap aneh Ali.
Cowok itu terlihat ketakutan. Ali terjengkang ke belakang dan menyeret dirinya
menjauh dari Prilly. "Be-belakang lo!" ucapnya tergagap.
Masih mengerutkan alisnya, Prilly menoleh ke belakang. Dan mata Prilly sukses
melotot kaget melihat penampakan dibelakangnya. "WHOA!!" serunya, lalu berdiri
dengan panik, dan menjauh dari penampakan disana. Prilly tidak heran mengapa Ali
tadi ketakutan. Ternyata, di belakang Prilly ada hantu yang matanya berlubang,
menyisakan sebuah ruang kosong yang gelap ditempat yang seharusnya terdapat
bola mata itu. Bukan hanya itu, di sekitar wajahnya seperti terdapat retakan-retakan
yang biasa berada di tembok.
"Lo kok takut, sih?!" Ali memekik, lalu berdiri melayang disamping Prilly. "Lo kan
punya indra keenam. Masa masih takut?" tanyanya panik.
Prilly berdecak. "Alasan gue, sama kayak lo yang hantu takut sama hantu,"
jawabnya, lalu mendengus kasar. "Dia nyeremin, Ali! Liat tuh! Dia gak punya mata!"
Alis Ali mengerenyit takut. Cowok yang saat ini menjadi hantu itu beringsut
mendekati Prilly dan berdiri di belakang Prilly. "Lo bisa atasin itu, kan? Gue takut,
Prill ..."
Prilly berdecak lagi. Ia menatap ke arah hantu itu dengan alis yang mengerenyit
takut. Dan jantung Prilly serasa meloncat saat mata berlubang itu menatap ke
arahnya. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. "A-ada apa, ya?" tanya Prilly
dengan gugup.
Hantu yang tadinya berdiri sedikit melayang itu, kini malah membungkuk, lalu
melakukan gerakan merangkak ke arah Prilly.
Prilly melotot, sedangkan Ali sudah memekik kencang dan beringsut sembunyi di
belakang tubuh Prilly. Prilly menutup kedua matanya erat-erat, takut akan apa yang
dilakukan hantu itu padanya.
"Tolong aku ..."
Setelah itu, tubuh Prilly terasa mati rasa. Ia merasa terhempas dari langit, dan
angin seolah memasuki tubuhnya secara bertubi-tubi. Mata Prilly terpejam makin
rapat saat angin itu terasa makin menyerang tubuhnya. Setelah itu, Prilly merasa
lemas dan langsung terduduk di lantai. Napasnya terengah, sedangkan seluruh
tubuhnya sudah seperti kesemutan. Prilly membuka matanya perlahan, lalu melirik
ke sekitaran, dan ternyata hantu itu sudah tidak ada. Prilly menormalkan deru
napasnya, lalu mundur dan bersandar di tembok.
"Hantunya ilang?" Ali membuka suara. Ia menatap Prilly dengan wajahnya yang
masih agak ketakutan. "Gila, hantunya cuma mau nakutin kita doang?"
Prilly menghela napas panjang, lalu menganguk lemah.
"Lo kenapa?" tanya Ali, yang dibalas dengan gelengan lemah dari Prilly. "Bohong!
Muka lo pucet banget."
Prilly membuang napasnya. Ia menatap Ali jengkel, lalu mendelik. "Bukannya
telat?!" pekiknya kesal.
"Apanya yang telat?" tanya Ali dengan alis yang terangkat sebelah.
"Elo! Telat khawatirnya! Tadi malah ngumpet di belakang gue, bukannya
lindungin gue," ujar Prilly sambil mendengus kencang.
Ali malah mengangkat bahunya sekilas, lalu memasukan kedua tangannya ke
saku celana seragamnya. Fyi, itu karena arwah Ali keluar saat Ali masih menggunakan
seragam. "Ngeliat dari kelakuan lo, gue yakin kalo lo emang baik-baik aja."
Prilly hanya mendelik kesal.
"Saudari Prilly?"
Suara itu membuat kepala Prilly mendongak, dan ia dapat melihat 2 orang polisi
yang menatap Prilly dengan wajah bertanya. Prilly melotot, lalu beringsut untuk
cepat berdiri. Ia lalu tersenyum kecil saat salah satu polisi itu menggeleng sambil
tesenyum kecil. "Eh, Om Prama."
Polisi yang sedang memegang jurnal itu berkacak sebelah pinggang sambil
tersenyum kecil.
Jika saja Prilly tidak tahu jika lelaki didepannya ini adalah seorang polisi asli, ia
akan mengira jika orang didepannya adalah model yang menggunakan seragam polisi.
Wah, bagaimana lelaki umur 29 tahun didepannya kini terlihat sangat muda? Wah,
Prilly benar-benar kagum. Sudah tampan dan beristeri, tapi terlihat masih lajang. Ah,
andai saja Prilly lahir lebih awal dari isterinya, pasti, ia sudah mengejar Om Prama
sampai dapat.
Om Prama mendengus geli. "Kamu lagi, kamu lagi. Gak capek apa ketemu saya?"
"Enggak sama sekali," jawab Prilly kelewat cepat, lalu tersenyum malu-malu dan
mengedip sok imut.
Om Prama malah tertawa kecil, lalu menghela napas panjang. "Oke. Kalau gitu,
kamu siap saya tanya-tanya?"
"Boleh. Ngajak jadi kekasih gelap juga boleh. Hehehe."
Om Prama malah terkekeh kecil, membuat ketampanannya bertambah maksimal.
"Kamu ini aneh-aneh saja," ujarnya, lalu membuka jurnal di tangannya. "Saya sudah
bertanya-tanya pada pihak rumah sakit, dan cuma kamu yang menjadi saksi disini.
Beberapa orang yang pingsan di tempat kejadian tidak tahu bagaimana kronologi
perihal tertembaknya saudara Aliando. Bisa kamu jelaskan?"
Prilly mengangguk pelan, lalu menceritakan bagaimana kronologi kejadian yang
ia alami. Mulai dari penculikan, hingga saat Ali tertembak dan memanggil ambulan.
"Kamu tidak tahu nama orang yang menembak saudari Ali?" tanya Om Prama.
Memang, sih, Prilly tidak menyebutkan nama lelaki yang menembak Ali.
Penyebabnya, ya karena Prilly memang tidak tahu.
"Rasya," Ali tiba-tiba bersuara. Arwah laki-laki itu kini berdiri agak melayang di
samping Prilly. "Nama dia, Rasya Arbraham. Dia setahun lebih muda dari kita.
Sekolah di SMA tetangga, dan gigih banget pengen jadiin gue anak buahnya."
Prilly mengangguk mengerti dalam hati. "Rasya Arbraham. Nama dia, Rasya
Arbraham," katanya, menjawab pertanyaan Om Prama. "Dia sekolah di SMA tetangga,
SMA Adyata Cendana."
"Kamu yakin?" tanya Om Prama.
Prilly mengangguk mantap. "Dia terkenal, dan saya sering liat dia kalau pulang
sekolah."
Om Prama mengangguk mengerti, lalu menghela napas panjang. "Terima kasih
informasinya. Dan semoga, informasi ini akurat seperti informasi pembunuhan yang
saksinya adalah kamu."
Prilly mengangguk, lalu tersenyum lebar. "Nomor ponsel saya masih yang
kemarin ya, Om."
Om Prama mendengus geli, lalu mengangguk. "Ya, terima kasih atas informasinya,
saya pamit pergi dulu."
Prilly mengangguk cepat, lalu sedikit menganggukan kepalanya. "Ya, hati-hati
dijalan, Om."
Om Prama mengangguk, lalu mulai berjalan diikuti oleh rekannya dari belakang.
Namun, baru saja setengah jalan, Om Prama berbalik lagi dan memanggil Prilly. "Saya
lupa bilang. Teman kamu selesai di operasi, dan sedang koma. Tapi, kamu bisa
menjenguknya, karna kondisinya sudah mulai stabil. Saat ini, dia hanya punya kamu
karena keluarganya sedang dalam perjalanan pulang dari bisnis luar negeri," jelasnya
panjang lebar, lalu pergi meninggalkan Prilly dengan mulut yang menganga lebar di
tempat.
Prilly dapat menebak Ali juga kaget atas informasi tersebut. Pasalnya, ia dan Ali
sama-sama melihat bagaimana proses Ali keluar dari tubuhnya yang terbaring
ditanah.
"Gue ..., masih hidup?" tanya Ali dengan suara pelan. Dan Prilly, hanya
mengangguk kaku menjawabnya.
***

"Gila!!" Sesil memekik. Ia saat ini sedang melayang di atap rumah sakit dimana Prilly
berada. "Dia bisa melihatku, padahal jantungnya masih berdetak?"
Enam; Cara, Kawan, dan Latihan

Cewek itu berdiri mematung disana, menatap pada tubuh—yang terbaring tak
sadarkan diri—itu dengan tidak percaya. Prilly kemudian menghela napas panjang.
"Cobain lo tidur disana." ujar Prilly pada sosok yang wajahnya serupa dengan wajah
orang yang terbaring disana.
Arwah Ali mengangguk, lalu menghampiri tubuhnya yang berada di ranjang
rumah sakit. Ia lalu melayang ditubuhnya yang lain, dan mulai membaringkan
tubuhnya diatas tubuh asli miliknya. Ali terlihat menghela napas panjang—memang
hanya terlihat, karena Prilly benar-benar tidak tahu jika Ali masih bernapas atau tidak
saat menjadi arwah—dan mulai menutup matanya. Perlahan, tubuh arwah milik Ali
turun ke bawah, mencoba memasuki tubuh aslinya.
Prilly menatap dengan harap-harap cemas saat tubuh asli milik Ali dan tubuh
arwah milik Ali mulai menyatu. Prilly bahkan sampai menahan napasnya kuat-kuat
karena gugup yang melandanya. Dan Prilly hanya dapat menghela napas panjang saat
arwah Ali menembus ranjang rumah sakit. Dan Prilly menggeleng prihatin saat tubuh
arwah Ali menembus lantai rumah sakit. "Cowok bego."
Prilly tidak mengerti keadaan yang langka ini. Ia baru tahu jika arwah orang koma
bisa keluar dari tubuhnya. Dan Prilly baru mengalami hal ini. Ah, jika saja Prilly tidak
merasa bersalah pada Ali, ia akan dengan senang hati melewati keribetan ini dan
pergi meninggalkan arwah Ali dengan tubuh aslinya.
Prilly menghela napas lelah. "Gue butuh Sesil, sekarang."
"Memanggilku?"
"WOAH!!" Prilly memundur selangkah, menatap horror pada tubuh melayang
Sesil, saat hantu perempuan itu muncul tiba-tiba dan mengagetkannya. "Lo
ngagetin!"
Sesil malah terkikik, lalu menatap pada tubuh terbaring Ali. "Sudah kuduga dia
masih hidup."
Prilly mengangkat sebelah alisnya, lalu mengikuti arah pandang Sesil, dan
kembali menatap pada Sesil. "Ah, ya, gue butuh penjelasan lo tentang ini."
Sesil mengulum bibirnya, lalu melayang mendekati tubuh terbaring Ali. "Ini
adalah situasi yang serupa saat manusia sedang tertidur. Jiwa manusia yang tertidur
selalu keluar. Mereka pergi kesana kemari hingga menimbulkan sebuah mimpi.
Bedanya, jiwa selalu tahu bagaimana mereka masuk. Namun, arwah tidak tahu
bagaimana harus kembali ke tubuhnya. Mereka bergerak menggunakan otak, tidak
seperti jiwa yang hanya menggunakan medina atau gerak refleks."
Prilly mengerutkan alisnya, lalu mengangguk pelan. "Gue udah lama sering
ngeliat arwah. Tapi, yang kayak gini gak pernah. Makanya gue asing banget sama
keadaan ini," ujarnya, lalu kembali mengangguk pelan. "Trus, cara Ali bisa balik ke
tubuhnya gimana? Dia tadi aja nembus lantai rumah sakit ini."
"Lihat ini," ujar Sesil, lalu melayang ke atas tubuh Ali dan berbaring seperti apa
yang Ali lakukan. Ia mulai menurunkan tubuhnya, mendekatkan tubuh arwahnya
pada tubuh terbaring milik Ali. Namun, baru saja tubuh mereka akan menempel,
sesuatu tak kasat mata seolah menjadi kaca pelindung bagi tubuh Ali, membuat Sesil
seolah menabrak beton, bukannya tubuh.
Dan Prilly tercengang melihatnya. "Kok bisa? Tadi si Ali malah nembus tubunya
sendiri."
Sesil melayang ke atas, lalu melayang rendah dan berdiri disamping Prilly.
"Karena dia bukan tubuhku, jadi, dia menolak. Cara arwah baru itu masuk tubuhnya
gampang," katanya, lalu menoleh pada Prilly yang masih tercengang. "Dia hanya
harus berlatih merasakan tubuh arwahnya. Sepertiku yang bisa memegang barang
dan tekstur lainnya."
Prilly mengangguk mengerti. "Oh, jadi gitu," ujarnya pelan, "gue jadi gak heran
lagi kenapa orang yang koma selama Empat atau puluhan tahun bisa hidup lagi.
Mereka ternyata butuh waktu buat bisa ngerasain tubuh arwahnya."
"Ya, kamu benar."
"Prilly!"
Prilly dan Sesil berjengit. Mereka menatap pada sumber suara, dan dapat
melihat Ali yang menatap horror pada mereka berdua. Ah, hari ini, Prilly banyak
dikejutkan oleh segala jenis makhluk.
"Gue tadi nembus sampe ke dasar bumi! Gila! Gue tadi kayak di kubur di tanah!
Dan waktu terbang kesini, gue ngelihat banyak hantu yang serem, dan—eh?"
curhatan menggebu dari Ali terpotong menjadi sebuah keheranan saat cowok itu
menatap horror pada Sesil yang berdiri disamping Prilly. "Setan."
"Sembarangan!" seru Sesil dengan kesal. "Aku hantu, bukan setan!"
"Sama aja." jawab Ali kurang ajar.
"Sembarangan lo!" Prilly berseru, tidak suka saat kawannya dikatai oleh orang
selain dirinya. "Setan sama hantu itu beda! Jangan samain sobat gue sama setan."
Ali mengangkat sebelah alisnya. "Sobat lo?"
"Iya! Mau apa lo?!" ujar Prilly sewot sambil melipat kedua tangannya di depan
dada.
Ali malah tersenyum pada Sesil. "Hai sobat Prilly. Mohon bantuannya, ya. Gue
hantu baru."
Prilly dan Sesil saling tatap sejenak, lalu kembali menatap Ali. "Lo bisa masuk
tubuh lo lagi, Li. Tapi, ada syaratnya."
Ali mengerjapkan matanya menatap Prilly. "Apa syaratnya?"
"Gampang. Lo cuma harus latihan megang benda dan lainnya."
Ali mengangkat sebelah alisnya. "Cuma gitu doang? Gampang kali!" ujarnya
sombong, lalu melayang mendekati infusan, dan mulai mengulurkan tangannya pada
tiang infusan tersebut. "Eh?" tanya Ali, heran saat tangannya tidak bisa memegang
benda tersebut dan malah menembus. Ali mengerjap, lalu menatap pada kedua
telapak tangannya. "Kok gak bisa?"
Prilly menggeleng prihatin saat Ali terus mencoba dan terus gagal.
"Aku kasihan padanya," Sesil membuka suara. Hantu itu melipat kedua
tangannya didepan dada sambil menggeleng pelan. Ikut prihatin saat Ali lagi-lagi
mencoba memegang benda.
"Gue pengen nge-maklumin," balas Prilly, "tapi kalo dia-nya bego, gue jadi
pengen matiin dia gitu," lanjutnya, lalu menggeleng saat melihat Ali yang mulai
menendang dan menjedotkan kepalanya pada benda-benda lainnya.
Dan bukannya sedih karena tidak bisa memegang sesuatu, Ali malah tertawa dan
menembus semua benda di dalam sana, membuat Prilly dan Sesil menggelengkan
kepala. Ali melayang ke atas dan menembus langit-langit rumah sakit. Beberapa detik
kemudian, kepala Ali menyembul dari sana dan menatap ke arah Prilly dan Sesil.
Cowok itu tertawa kencang. "Kalian semua kebalik!" seru Ali, lalu kembali tertawa.
Prilly berdecak jengah. "Li! Lo gak ada niatan ngasih tau keadaan lo sama
temen-temen lo, apa? Kayaknya, lo nikmatin banget jadi hantu."
Ali terlihat mengerjap, lalu menerawang. "Bener juga. Lo telfon Tian sama Radit,
gih."
"Gue gak punya nomor mereka!" seru Prilly sambil menautkan alisnya dengan
kesal.
Ali berdecak, lalu kembali menghilang di langit-langit rumah sakit. Beberapa
detik kemudian, tubuh Ali melayang turun dan berhenti disamping Prilly. "Hape gue
mana?"
Prilly mengangkat kedua bahunya sekilas. "Gak tau," sedetik kemudian, Prilly
mengerjap, lalu melotot. "Sama Om Prama!"
"Yang polisi tadi?" tanya Ali dengan alis yang bertautan.
Prilly mengangguk cepat. "Dia kan ngehubungin ortu lo tadi."
"Pake hape lo aja. Punya pulsa, kan?"
Prilly kini menggeleng. "Gue gak pernah beli pulsa."
"Oh, yaudah, pake telfon rumah sakit aja."
Prilly hanya mengerjap, lalu mengangguk. Prilly kira, Ali akan mengejeknya.
Secara gitu, handphone Prilly kan mahal. Tapi, kenapa tidak punya pulsa?
Dan saat Prilly mulai melangkah keluar, ia dengan jelas mendengar Ali berkata,
"Hape bagus kalo gak punya pulsa buat apa?"
Prilly hanya mencibir dan keluar dari ruang rawat Ali dengan pintu yang
dibanting kencang.

***
"ALI!!! HUAA!!!"
Prilly menghela napas. Beberapa menit setelah Prilly menelfon kedua sahabat Ali,
Tian dan Radit datang bersamaan. Mereka langsung menanyakan keberadaan Ali dan
bagaimana kondisi Ali. Mengetahui Ali koma, mereka langsung berlutut di tubuh Ali
sambil terisak kencang. Dan Prilly sudah berulang kali menggeleng prihatin
karenanya.
"GUE BAKAL BUNUH RASYA, SEKARANG!" satu kawan Ali yang bernama Tian
berdiri sambil mengusap pipinya dengan kasar dan melangkah ke arah pintu.
Radit ikut berdiri. Ia berlari dan menghadang Tian dengan tubuhnya yang berdiri
didepan pintu. "Lo gila? Ali yang jago banget berantem aja koma, apalagi lo?"
Tian terlihat menahan tangis. Rahangnya mengeras, sedangkan bibirnya
melengkung kebawah. "Gue gak perduli! Gue gak terima Ali diginiin! GUE GAK
TERIMA!"
Radit menggeleng keras sambil menangis terisak. Cowok itu melangkah
mendekat dan menangkup wajah Tian dengan kedua tangan.
Prilly melotot melihatnya. Oh ayolah, tidakkah mereka menyadari kehadiran
seorang perempuan disini? Oh, mata Prilly yang malang. Matanya yang suci kini
harus melihat sebuah melo drama yang dibuat oleh para lelaki. Prilly menggeleng
mengasihani dirinya sendiri.
Dua orang disana seolah tidak perduli bagaimana keadaan mereka saat ini. Radit
masih menangkup wajah Tian dan menatap dalam pada lawannya. "Dengerin gue,
Yan," ujar Radit lembut. "Gue gak mau lo kenapa-kenapa. Gue gak mau sahabat gue
yang lainnya malah celaka. Cukup Ali aja yang koma, gue gak mau kehilangan lo juga.
Lo gak tau apa? Hidup gue bakal hampa tanpa kalian berdua!"
Tian terilhat akan kembali menangis. "Tap-tapi—"
"Sstt," potong Radit sambil menyimpan jari telunjuknya di bibir Tian, membuat
Prilly menahan diri untuk menangis karena terlalu mual melihatnya. Namun sekali
lagi, mereka seolah tidak perduli keberadaan Prilly. "Gue ngerti. Lo juga kehilangan
Ali, Yan," ujar Radit sambil mulai terisak. "Tapi gue juga pengen dingertiin! Gue gak
mau kehilangan kalian berdua!" serunya sambil mulai terisak kencang.
Tian ikut menangis kencang, lalu membawa tubuhnya untuk memeluk Radit dan
menangis bersamaan sambil berpelukan. Dan Prilly menahan diri agar tidak muntah
disana.
Saat Prilly menghela napas panjang sambil menggeleng, ia dapat mendengar
isakan dari sisi kiri dan kanannya. Saat menoleh, Prilly dapat melihat Ali dan Sesil
menangis saat menyaksikan drama dihadapan mereka.
Dan Prilly ikut menangis. Ia menangis karena kasihan pada dirinya sendiri yang
harus terlibat diantara drama mereka.

***

Sesil menghela napas panjang saat melihat Ali yang malah kembali menembus
tembok, dan tidak menabrak. "Kamu harus fokus!" seru Sesil jengkel. Ia menghampiri
Ali dan mulai menubrukan dirinya ke tembok. "Lihat? Ini mudah!"
Ali hanya menatap Sesil dengan cemberut.
Sesil membuang napas. "Ini tidak akan bisa. Prosesnya pasti akan panjang."
Ah, Sesil tidak percaya ini terjadi padanya. Dimana ia harus mengajari seorang
arwah untuk menyentuh barang atau lainnya. Sesaat pulang dari rumah sakit, Prilly
memutuskan untuk membiarkan Sesil membantu Ali.
Prilly memohon pada Sesil, berkata bahwa Prilly merasa bersalah kerena Ali
begitu karenanya. Dan karena Sesil adalah sahabat yang baik, Sesil rela melakukan
permohonan Prilly dan mereka mulai berlatih dirumah Prilly. Cewek itu sudah tidur
karena malam sudah tiba dan Prilly harus melakukan sesuatu besok. Dan karena
mereka—Ali dan Sesil—adalah arwah, mereka tidak tidur. Apalagi jika di malam hari.
Mengingatnya, Sesil menghela napas panjang lalu melayang ke arah guci yang
berada di sudut rumah Prilly. "Sepertinya, kita harus dari tahap yang mudah dulu.
Kita coba untuk memegang sebuah guci, ya."
Ali mengangguk, dan mencoba memegang guci tersebut. Namun gagal. Ia malah
menembusnya, dan lagi-lagi menembus guci itu.
Sesil menggeleng lelah. "Kamu harus merasakannya! Bukan hanya fokuskan
bagaimana rasanya sebuah tangan, kamu juga harus merasakan bagaimana rasanya
memegang benda itu!"
Ali mengangguk, lalu menghela napas panjang. Ia memejamkan matanya sejenak,
lalu kembali membukanya. Tangan Ali terulur perlahan, mencoba menyentuh guci
itu.
Sesil kira setelah melakukan fokus pada tangan, Ali akan mudah memegang guci
tersebut. Namun, lagi-lagi gagal.
Ali nyengir tanpa dosa. "Kayaknya, gue butuh aqua dulu deh biar fokus."
Sesil hanya menggelengkan kepalanya dengan lelah. "Kamu harus fokus!"
perintahnya keras, lalu berteleportasi dan mendarat di kamar Prilly. Melihat Prilly
yang terbaring di kasur, Sesil menghampiri Prilly dan mengguncang pelan tubuh Prilly.
"Prilly ..."
Prilly menggeliat, lalu membuka matanya dengan pelan. Matanya lalu
memincing menatap Sesil. "Kenapa?" tanyanya serak.
Sesil cemberut, lalu menangis kencang. Ia lalu ikut tiduran di kasur dan memeluk
tubuh Prilly. "Temanmu tidak keren, Prill. Arwah baru itu terlalu payah hingga aku
kelelahan mengajarinya."
Prilly mengusap punggung Sesil dengan lembut. "Sabarin aja. Dia emang
nyebelin."
Sesil makin menangis mendengar informasi tersebut.
Tujuh; Nick, Verrel, dan Prilly

Ali sedang berlatih memegang knop pintu kamar Prilly saat knop itu di ambil alih dan
dibuka oleh seorang laki-laki. Lelaki itu masuk tanpa mengetuk pintu, lalu menutup
pintu kamar tersebut.
Ali mengangkat sebelah alisnya, bingung karena lelaki itu tiba-tiba masuk kamar
Prilly tanpa permisi. Penasaran, Ali kemudian menembus pintu kamar Prilly dan
berdiri memperhatikan apa yang terjadi disana dalam diam.
Ali dapat melihat lelaki itu melakukan gerakan pelan untuk duduk di tepi ranjang
Prilly, sedangkan cewek itu masih tertidur pulas dibalik selimut. Lelaki yang duduk di
tepi ranjang Prilly itu kemudian membuka selimut milik Prilly dengan gerakan pelan.
Dari sini, Ali dapat melihat lelaki itu tersenyum saat melakukannya. Ali mendesis
heran, lalu melipat kedua tangannya didepan dada.
Dalam hati, ia bertanya-tanya mengenai identitas lelaki yang kini sedang
mengguncang bahu Prilly dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Adek sayang ..., bangun dong. Matahari udah memunculkan dirinya, tuh," lelaki
itu mulai bersuara. Tanggannya membelai wajah Prilly dengan sayang. Dari sini, Ali
dapat melihat tatapan dalam yang lelaki itu tujukan pada Prilly.
Ali mengerutkan kedua alisnya. Tadi, ia tidak salah dengar, kan? Lelaki itu
memanggil Prilly dengan sebutan adek. Apa itu panggilan sayang? Atau lelaki itu
memang kakak Prilly? Ah, Ali jadi makin penasaran.
Tubuh Prilly merespon panggilan itu dengan menggeliat. Kepalanya bergerak
beberapa kali menjauhi belaian tangan itu. Prilly mendengus berat, sedangkan
matanya masih tertutup rapat. "Nanti, Ma. Lima menit lagi." jawabnya serak.
Ali dan lelaki itu mendengus geli melihat respon Prilly. Dapat dipastikan jika Prilly
bahkan tidak tahu kelakuan menggemaskan dari dalam dirinya itu. Ali membuang
napas karenanya. "Tidur selamanya aja, deh, lo Prill. Jangan bangun-bangun."
Tubuh Prilly kembali menggeliat. Matanya masih terpejam saat tangannya
menggaruk tengkuk. "Apaan sih, lo? Lo ngedo'a-in gue mati?"
"Hm?" Ali mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh kecil. "Gue lupa kalo lo
punya indra keenam," ujarnya, lalu mendengus geli. "Yang bangunin lo cowok, bukan
nyokap lo."
Dari sini, Ali dapat melihat Prilly mengerutkan alisnya. "Cowok?" tanya Prilly,
lebih kepada dirinya sendiri. Matanya yang tadi terpejam rapat, kini terbuka dengan
cepat. Melihat lelaki yang duduk di tepi ranjangnya itu, Prilly langsung terduduk di
kasur. "Nick? Kapan lo pulang?"
"Nick?" tanya Ali heran. "Wah, lo bahkan gak manggil kak ke kakak lo."
"Diem lo setan!" balas Prilly sambil mendelik jengkel pada Ali, membuat Ali
melotot kesal.
"Apaan? Kakak gak ngomong apapun," orang yang tadi dipanggil Nick itu berujar
sambil menautkan kedua alis tebalnya. Mungkin, merasa kalimat yang diucapkan
Prilly ditujukan padanya.
"Bukan lo," kata Prilly, lalu berdecak kesal. "Lo ngapain disini? Sejak kapan lo
disini? Kapan lo pulang?"
"Bangunin kamu, barusan, dan tadi pagi. Ada lagi yang mau ditanyain? Hm?"
Ali tidak tahu apa yang Prilly pikirkan, namun cewek itu tiba-tiba menggaruk
kepalanya dengan frustasi. "Keluar! Keluar! KELUAR!!"
"Kejam banget, kamu, dek," Nick berkata sambil memanyunkan bibirnya. "Kakak
baru aja dateng, udah kamu usir gitu."
"Keluar, gak?" tanya Prilly geram, lalu mendengus kesal. "Keluar, atau lo mau gue
kasih napas naga-baru-bangun-tidur nya gue?"
Ali melotot mendengarnya. "Serem banget ancaman lo," katanya, dan dibalas
delikan sinis dari Prilly.
Berbeda dari Ali yang merasa jijik, kakak Prilly yang bernama Nick itu malah
tersenyum jahil. "Boleh, tapi lewat mulut."
Prilly melotot, dan Ali juga ikut melotot. Ah, Ali tidak tahu lagi siapa lelaki yang
sedang bersama Prilly kini. Diawal, lelaki itu memanggil adek pada Prilly. Namun,
mana ada kakak yang amat mesum pada adiknya sendiri?
Ali jadi mengira jika mereka hanya kakak-adik zone, bukan saudara
sesungguhnya.
Mata Prilly menatap Nick dengan tatapan tidak percaya. Prilly mendesah lelah,
lalu membawa bantal yang tadi digunakan kepala Prilly. Sorot mata Prilly kini
berubah tajam. "Elo yang minta, ya!" ucapnya, lalu menekan bantal tersebut ke
wajah Nick, membekap dengan kasar dan tidak manusiawi.
Ali dibuat kaget dengan kelakuan Prilly. Saking kagetnya, ia menganga sangat
lebar tanpa sabar. Melihat Prilly yang makin gencar menekan bantal pada wajah Nick,
membuat Ali menggeleng tidak percaya. "Dasar cewek hutan!"
Nick terus meronta. Namun, terilhat dati gerakannya yang hati-hati dan tidak
bertenaga saat menggenggam tangan Prilly, Nick seolah menikmatinya. Nick itu
laki-laki. Akan sangat mudah untuk melawan kekuatan seorang wanita. Namun, Nick
tidak mempunyai niatan itu, atau ..., tidak mau terlalu kasar pada Prilly? Entahlah, Ali
pun tak tahu.
Prilly akhirnya melepaskan bantal dari wajah Nick, sedangkan cowok itu
mencoba menormalkan deru napasnya yang terengah. Prilly menghela napas
panjang. “Keluar! Gue udah bilang, KELUAR!!!!”
Ali dan Nick refleks menutup kedua telinganya saat mendengar suara Prilly yang
melengking hingga membuat kedua telinga Ali berdengung.
Nick mengusap telinganya, yang Ali yakini masih berdengung, sama seperti
telinga milik Ali. “Iya, iya, kakak keluar sekarang,” kata Nick, lalu berdiri di samping
ranjang Prilly. “Tar langsung mandi dan sarapan, ya.”
Prilly mengangguk. “Ho’oh.”
Nick menghela napas panjang, lalu mengulurkan tangannya ke kepala Prilly,
membuat Prilly memundurkan kepalanya dengan cepat.
“Ngapain?” tanya Prilly dengan kedua alis yang terangkat, dengan kedua
matanya yang melirik Nick dan tangan yang masih menggantung itu dengan heran.
Nick hanya diam. Mereka saling bertatapan dalam diam dengan sorot mata yang
hanya dimengerti oleh keduanya. Karena sungguh, walaupun dari dekat, Ali tidak
tahu apa arti dari tatapan keduanya.
Tatapan keduanya terputus saat Nick menurunkan tangannya yang
mengggantung dan mengalihkan pandangan dari Prilly. Nick menghela napas panjang,
sedangkan Prilly langsung membuang wajah. Dari sini, Ali dapat melihat sorot mata
Nick yang terdapat kesedihan. “Kakak keluar dulu,” ujarnya. Nick lalu berbalik, dan
melangkah pergi keluar dari kamar Prilly.
Dan hening. Setelah Nick meninggalkan ruangan, Prilly tetap terdiam di
tempatnya sabil menunduk menatap selimut yang menutupi pahanya. Dari sini, Ali
tidak dapat melihat ekspresi Prilly. Namun, Ali yakin jika sorot mata Prilly kini, sama
dengan sorot mata yang diperlihatkan oleh Nick barusan. Setelah terdiam beberapa
menit, Prilly menghela napas panjang, lalu menyingkirkan selimut dari tubuhnya.
Ali melayang di belakang tubuh Prilly saat cewek itu turun dari kasur dan
melangkah ke arah pintu lain yang berada dalam kamar Prilly. “Yang tadi itu, kakak
lo?”
Prilly masih melangkah saat menghela napas panjang. “Gak tau.”
“Yang tadi itu, kalian berantem?”
“Gak tau.”
“Dia kakak lo bukan, sih?”
“Gak tau.”
“Dia emang selama ini tinggal dimana? Kenapa kemarin gue gak liat?”
“Gak tau.”
“Ibu lo masih perawan?”
“Gak tau.”
“Lah, trus lo lahir dari mana?”
“Gak tau.”
Ali kini berhenti berhenti bertanya. Ia tetap melayang di belakang Prilly sambil
menggeleng prihatin. Ali tahu, pasti yang tadi itu bukan hanya sekali-dua kali terjadi
diantara keduanya. Pertengkaran itu pasti telah membuka sebuah luka yang
membuat Prilly jadi galau berat. Masa, Ali bertanya seperti itu malah di jawab tidak
tahu oleh Prilly?
Apa bahkan, Prilly tahu jika Ali ada di belakangnya?
Mereka sudah berada di depan sebuah pintu yang berada di dalam kamar Prilly.
Saat masih berdiri disana, Prilly membalik badannya dengan tatapan malas yang
menyorot pada Ali. “Heh! Lo mau ngikutin gue ke kamar mandi?”
Ali mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menatap pintu tersebut dengan
kedua alis yang terangkat. “Itu kamar mandi?”
“Iya! Sono lo pergi!”
Ali memanyunkan bibirnya sekilas, lalu membalik badan dan melayang pergi.
Entah apa yang terjadi didalam kamar mandi, namun, Ali dapat mendengar suara
Prilly yang berteriak, “KELUAR!!!”
Ali langsung menutup kedua telinganya yang terasa berdengung. “Astaga
dragon.”

***

Prilly melihat ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang yang mungkin saja sedang
berada disini. Saat ini, Prilly sedang berada di Jalan Braga, dimana disini terdapat
banyak sekali tempat makan dengan berbagai macam menu berbeda di
masing-masing kafe.
Prilly mengulum bibirnya, lalu menghela napas panjang saat tak menemukan
orang yang ia cari di sekitar sana. “Apa hari ini dia gak kesini, ya?” tanyanya, lebih
kepada diri sendiri. Ia kemudian berdecak, lalu berbalik badan. Baru saja ia akan
melangkah, bahunya terdorong kuat hingga menyebabkan tubuhnya limbung ke
samping.
“Eh, sori,” si penabrak berucap cepat dengan suaranya yang berat khas laki-laki.
Ia lalu menatap Prilly sejenak, dan kembali melangkah bersama dengan seorang
wanita di rangkulannya.
Prilly berdiri diam di tempatnya dengan mulut yang terbuka setengah dan mata
yang menatap lurus ke depan. Sadar akan siapa yang di tabraknya tadi, Prilly
membalik badannya dengan cepat, menatap punggung tersebut dengan tatapan
datar. “Verrel.”
Si penabrak tadi berhenti berjalan, membuat gadis yang berada di rangkulannya
ikut berhenti melangkah. Dengan kompak, keduanya berbalik menatap Prilly dengan
heran.
“Lo kenal gue?” tanya Verrel—si penabrak.
Mata Prilly kini berkaca-kaca. Ia melangkah dengan cepat ke arah keduanya, lalu
menampar pipi Verrel dengan kencang, membuat pejalan kaki disana menghentikan
langkahnya dan menatap pada ketiga orang disana. Prilly kini menjadi tontonan
orang-orang disana. Namun, ia tidak perduli. Prilly, harus menyelesaikan masalahnya
dengan Verrel saat ini juga.
“Verrel!” gadis yang tadi bersama Verrel, menyentuh pipi Verrel yang memerah
dengan tatapan yang menyorot khawatir pada Verrel.
Yang ditatap hanya menatap pada Prilly dengan sinis. “Heh, lo kenal gue? Kenapa
lo tiba-tiba nampar gue?”
Prilly tersenyum sinis. “Lo gak kenal gue?”
Verrel mendengus sambil tersenyum sinis. “Heh, gue bahkan belum pernah liat
lo!”
“Apa hak lo nampar cowok gue, sih?” tanya gadis yang bersama Verrel. “Apa
karna tadi Verrel nabrak lo? Dia kan udah minta maaf sama lo!”
Prilly menatap sinis pada gaid tersebut. “Sayangnya, bukan itu yang jadi masalah
disini.”
“Ya trus apa?!” balas gadis di samping Verrel dengan nada yang dinaikan.
Prilly menatap gadis itu dengan sorot tajam. “Kalo lo pacarnya,” katanya, lalu
beralih menatap Verrel. “Hubungan gue sama dia ..., apa?”

***

Untuk entah ke berapa kalinya, Ali berdecak di samping Sesil. Dan yang Sesil lakukan
hanya menunduk dan memajukan bibir bawahnya.
“Gara-gara lo, sih!” Ali berujar sebelum menghentakan sebelah kakinya yang
melayang itu ke udara kosong.
Alasan Ali begitu adalah karena mereka berdua di usir oleh Prilly karena ulah
Sesil. Saat Sesil dan beberapa teman-temannya sedang berkumpul di kamar mandi
Prilly, cewek itu mengira jika Sesil sedang berpesta dengan teman hantu
seperjuangannya, dan menggunakan kamar mandi Prilly sebagai tempat pesta
tersebut.
Prilly salah paham, sebenarnya. Namun, mau bagaimana lagi? Mau menjelaskan
pun, Sesil tidak tahu akan beralasan apa.
“Gara-gara lo, sumpah!” Ali kembali berujar, membuat Sesil mendelik jengah
pada Ali. “Apa? Gak mau di salahin?”
Sesil mendengus kesal. Saat ini, mereka sedang berada di Jalan Braga. Entah
tepatnya berada dimana, namun, Sesil dan Prilly pertama kali melakukan jalan-jalan
adalah ke daerah sini.
“Gara-gara lo, anjir. Gara-gara lo ini mah.”
Jengah mendengar suara mengesalkan Ali, Sesil membanting tubuh arwah Ali
dengan kekuatan telekinesisnya.
Ali sukses berteriak, “AAA!!” saat tubuhnya melayang cepat ke langit karena ulah
Sesil.
Sesil hanya mendengus, lalu melayang rendah di permukaan tanah dengan mata
yang menelusuri tempat-tempat disana, mengembalikan memori lama saat Sesil dan
Prilly hanya berdua saja.
Sesil menghela napas, bersamaan dengan Ali yang sudah melayang tepat
disamping Sesil. “Gila. Kok lo se-hebat itu, sih?” tanya Ali dengan nada orang terkejut
yang sangat kentara. “Kapan-kapan, ajarin gue, ya!”
Sesil mendelik jengah. “Plis deh, arwah bodoh. Kamu bahkan belum menguasai
tangan kamu. Kalau begitu, bagaimana kamu melakukan tenaga dalam?”
“Lah? Emang kagak bisa, ya?”
“Pikir saja sendiri.”
“Dasar pelit.”
Sesil mendengus, lalu menghentikan langkahnya.
Ali seolah tersadar akan hal tersebut dan ikut menghentikan langkahnya dua
jengkal dari Sesil. Dia berbalik, menatap Sesil dengan sebelah alis yang dinaikan.
“Kenapa berhenti?”
Sesil bungkam. Kepalanya agak mendongak untuk membalas tatapan Ali. “Aku
ingin kamu berhasil, arwah baru. Waktuku tidak banyak. Sebentar lagi, Prilly dalam
bahaya. Dan kamu harus ada disisinya sebagai tameng. Bukan hanya itu, kamu juga
harus bisa memeluknya. Karna ketahuilah, kawan Prilly hanyalah aku.”
Kini, kedua alis Ali bertautan dalam, sedangkan matanya yang menyimpit,
menyorot pada Sesil. “Lo aneh, deh. Kenapa juga lo tau kalo Prilly lagi dalam
bahaya?”
Sesil bungkam. Matanya beradu dengan mata Ali yang memincing tajam pada
Sesil. Ali terus menatap ke dalam mata Sesil seolah ia akan mendapat jawabannya
dari dalam mata Sesil.
“DASAR BRENGSEK!”
Kontak mata mereka terputus saat suara teriakan yang disusul dengan suara
tamparan, terdengar jelas di tempat dimana mereka berdiri. Dengan kompak, dua
pasang mata itu menoleh pada sumber suara.
“Ada apaan, tuh?” tanya Ali, yang mungkin lebih ke pada dirinya sendiri.
Karena Sesil tahu, dia berkata, “Prilly.” untuk menjawab pertanyaan Ali.
“Hah?” Ali kembali bertanya dengan heran sambil menatap ke arah Sesil yang
matanya hanya tertuju lurus ke sumber suara. “Maksud lo, tadi yang teriak itu Prilly?”
“Bukan,” jawab Sesil sambil menggelengkan kepalanya. “Ada Prilly disana.”
“Ngapain dia disana?”
Sesil hanya menggeleng. Mereka kemudian saling lirik. Seolah tahu apa yang ada
di pikiran lawan, mereka dengan kompak mengangguk.
“Ayo kesana.”
Delapan; Drama, Takdir, dan Memori Prilly

“Nes, percaya sama aku! Aku bahkan gak kenal dia!”


Perempuan yang berdiri dengan bergetar akibat marah di hadapan Verrel, hanya
menatap Verrel dengan tidak percaya dan mata yang sudah mengeluarkan bulir-bulir
air mata.
Vanessa namanya. Dia adalah kekasih Verrel saat ini. Seorang gadis cantik
dengan kulit yang kecoklatan dan tubuh bak model itu, barusan mendengar Prilly
yang menyatakan bahwa ia dan Verrel sudah berpacaran lama. Dan Vanessa adalah
selingkuhannya Verrel.
Namun, Verrel masih bersikukuh jika ia tidak mengenal Prilly sama sekali. Prilly
harus menangis dan berakting dulu agar ia dapat kepercayaan dari Vanessa. Dan
dengan bukti jika ia mengenal siapa saja orang yang berada di hidup Verrel, Prilly
akhirnya dapat membuat Vanessa terpancing dan menampar Verrel keras-keras
setelah mengatai laki-laki itu.
“Buktinya terlalu kuat Rel,” Vanessa berujar lirih. Prilly dapat melihat gadis itu
menelan ludahnya saat menatap dalam-dalam wajah Verrel. “Kamu udah bohongi
aku.”
Verrel menggeleng cepat. Ia mencoba meraih tangan Vanessa, namun Vanessa
mundur dan menggeleng, menolah sentuhan Verrel. “Nes, sumpahnya kamu harus
percaya sama aku!”
Vanessa hanya membuang napasnya, lalu teersenyum, namun air matanya tetap
saja berjatuhan melewati pipinya.
Astaga. Jika saja Prilly tidak terlibat diantara mereka, ia pasti sedang mengira
bahwa dua orang di depannya sedang melakukan syuting untuk FTV terbaru. Dan
Prilly yakin, orang-orang yang sedang menonton mereka juga memikirkan hal yang
sama.
Atensi Vanessa lalu beralih pada Prilly, dan Prilly langsung tersentak lalu mulai
menangis kembali. Vanessa menghampiri Prilly dan tersenyum dengan air matanya
yang terus saja mengalir. “Gue emang ceweknya Verrel. Tapi sumpah, gue gak tau
sama sekali kalo Verrel lagi mendua.”
Prilly mengencangkan tangisnya, lalu berhambur memeluk Vanessa. Dan Prilly
yakin, Verrel sedang mendengus tidak percaya.
Vanessa mengelus punggung Prilly seklias, lalu melepaskan pelukan keduanya. Ia
menatap Prilly dengan dalam. “Gue tau, gue ini emang cuma jadi kerikil aja di
hubungan kalian. Gue tau, kepercayaan lo ke gue cuma sedikit. Maafin gue karna gue
udah jadi penghalang diantara kalian,” ujarnya, lalu tersenyum. “Gue gak akan
ganggu kalian lagi. Gue, gak mau jadi penghalang bagi hubungan orang lain. Gue juga
pernah ngerasain kayak gitu,” lanjutnya sambil tertawa dalam tangisnya.
Bolehkah Prilly tertawa sekarang. Ya ampun, ini sinetron sekali. Lalu apa?
Mereka akan terpisah dengan si cewek yang mejauhi si cowok mati-matian, padahal
si cowok ingin menjelaskan semuanya? Oh my, Prilly tidak menyangka bahwa ia akan
terlibat sejauh ini.
Vanessa lalu mundur beberapa langkah, dan kembali berhadapan dengan Verrel.
Seolah tahu arti dari senyuman Vanessa, Verrel menggeleng cepat. “Gak, Nes!
Aku bisa jelasin!”
Vanessa hanya tersenyum, lalu mundur beberapa langkah, dan berlari dari TKP.
Verrel terlihat ingin mengejar Vanessa, namun, rupanya Verrel lebih penasaran
dengan Prilly. Dengan wajahnya yang frustasi, ia menatap tajam pada Prilly. “Lo itu
siapa, sih?!”
“Prilly, ada apa?”
Sesil tiba-tiba datang di samping Prilly, membuat Prilly menghentikan tangisnya,
dan menatap pada Sesil yang berdiri disamping Ali, lalu kembali menatap Verrel
dengan wajah seriusnya. “Lo percaya hantu?”
Verrel menautkan alisnya. “Hah?”
“Hantu ada diantara kita, para manusia.”
“Maksud lo apaan, sih?!” tanya Verrel dengan jengkel.
“Ikut gue, kalo lo penasaran.”
***

“Jadi, apa maksud lo barusan?”


Pertanyaan yang terlontar dari mulut Verrel membuat Prilly menjauhkan gelas
dari bibirnya, lalu menatap Verrel dengan dingin.
Saat ini, mereka sedang berada di salah satu kafe Jalan Braga, yang menunya
dipenuhi dengan Mie instan. Sesaat setelah mreka berbicara di jalanan trotoar,
akhirnya Verrel menyetujui ajakan Prilly untuk mampir dulu ke salah satu kafe
terdekat. Mungkin, karena Verrel sadar disana jalanan umum, ia menuruti Prilly.
Lagian, kan Prilly tidak ingin orang-orang tahu tentang kemampuannya. Bisa-bisa,
Prilly masuk TV seperti Risa Saraswati, dan banyak hantu yang minta bantuannya.
Dan pasti, yang mereka minta adalah hal menyeramkan. Seperti yang Prilly alami kini.
Sangat meyeramkan dan konyol saat ia melihat adegan-adegan FTV yang Verrel dan
Vanessa mainkan tadi.
“Hey, dia nanya, Prill!” Ali, yang tarnyata mengikuti Prilly sampai sini, mulai
mengeluarkan suara. Dia berdiri di samping kiri Prilly sedangkan Sesil berdiri di
samping kanan Prilly.
“Iya, cepet jawab, Prill. Aku juga ingin tahu.” Kini, giliran Sesil yang bersuara.
Prilly dapat merasakan Ali mengangguk di sampingnya. “Cepet jawab.”
Prilly menghela napas panjang. “Arawahnya Angel datengin gue.”
Verrel sempat melotot, namun kemudian matanya berubah sinis dengan alisnya
yang bertautan. “Paan, sih? Lo pikir, gue percaya.”
“Lo selingkuh, disaat Angel masih buta. Dan saat Angel bisa liat lagi, dia malah
mergokin lo lagi cium kening Vanessa, ya jelas dia marah, lah.”
“Apa maksud lo?” tanya Verrel dengan alis yang bertautan heran. “Maksud lo,
Angel liatin gue sama Vanessa waktu di taman?”
Prilly mengangguk. “Dia mergokin lo, dan dia langsung nangis trus lari. Dan
waktu nyebrang, dia gak liat-liat, dan mati deh.”
“Anjir, sadis banget lo ngomong.” Komentar Ali yang tidak direspon oleh Prilly.
“Eh, kalo ngomong dijaga, ya!” Verrel berujar dengan penuh penekanan dan
nada yang agak di tinggikan. Matanya kini melotot dengan binar tidak bersahabat.
“Lo bikin cerita ginian dari mana, sih? Lo tau gue dari mana? Sosmed? Iya?”
Prilly tersenyum sinis. Ia kembali meminum sisa kopi di cangkirnya hingga habis.
Setelah itu, Prilly menjilat bibirnya untuk menghapus jejak kopi tersebut. “Lo kalo
mikir pake otak, dong! Inget-inget, dimana dia mati waktu itu.”
Alis Verrel yang tertaut jengkel makin bertaut dalam, seolah memikirkan sesuatu.
Entah apa yang Verrel pikirkan, namun kini alisnya yang bertautan perlahan-lahan
menghilang. “Gak mungkin ...”
Prilly kembali tersenyum sinis. “Makanya, jangan suka selingkuh. Walaupun dia
dah mati, tapi bisa aja balas dendam lewat orang lain. Karma selalu berlaku.”
“Lo bohong, kan? Selama ini, gue memperlakukan Angel dengan baik. Selama
gue buta, gue gak pernah ninggalin dia. Dia gak mungkin balas dendam sama gue.”
Lagi, senyum sinis tercetak di bibir Prilly. “Lo sadarm, gak, sih kalo lo
mengkhianati dia sampai mati?”
“Lo kenapa selalu ngulang kata itu, sih?!”
“Kata apa? Mati, maksud lo? Emangnya gue salah apa? Bukannya dia emang dah
mati, ya?”
Rahang Verrel terlihat mengeras. Ia menatap Prilly dengan tatapan tidak percaya.
“Lo!”
“Apa, sih? Alay banget deh lo. Lo aja gak ada bener-benernya. Mau ngatain gue
gak sopan, gitu?”
“Dan lo gak sadar kalo lo dari tadi ngomong gak sopan?” tanya Ali, yang tidak di
indahkan oleh Prilly.
“Ngeliat kelakuan lo, gue makin gak percaya sama lo.”
Untuk ke sekian kalinya, Prilly tersenyum sinis. “Lo cuma mau memungkiri kalo lo
adalah alasan Angel mati.”
Rahang Verrel makin mengeras. Ia berdiri dengan cepat, lalu menunjuk Prilly
dengan telunjukan. Matanya menajam, sedangkan alisnya bertaut jengkel. “Gue
peringatin sekali lagi. GUE GAK PERCAYA, SAMA LO.”
Prilly hanya menatap lurus ke depan. Ia menyilangkan tangannya di depan dada,
lalu menyilangkan kakinya dengan angkuh. “Bener. Lo gak mau mengakui kalo lo
penyebab Angel mati.”
“LO-!”
Bugh!
Semuanya terjadi dengan cepat. Saat tangan Verrel melayang ke arah Prilly,
tubuh Verrel terjengkang ke belakang sebelum tangannya mengenai Prilly.
Semua yang berada disana langsung berdiri dan menatap Verrel yang sudah
terkapar di lantai. Orang-orang disana terlihat kaget, tak terkecuali Prilly. Ia menatap
ke sampingnya, dan wajah Ali yang terlihat agak marah mengarah pada Verrel.
“A-Ali ...”
Panggilan Prilly membuat Ali menoleh dan mengedikan dagunya sekilas,
“Kenapa?”
“L-lo ..., tadi nonjok orang?”
Ali mengerjapkan matanya, lalu menatap pada tangan kanannya yang masih
terkepal sehabis memukul Verrel. Ali terlihat termenung saat berkata. “Gue ..., bisa
nonjok?”
Prilly mendengus geli, membuat Ali meliriknya sekilas, lalu ikut mendengus geli.
“Wah ..., selamat ya, Ali.”
Ali sangat senang, namun, ada yang lebih senang dari Ali.
Sesil. Dia menatap Ali dengan binar tidak percaya dan mata yang sudah
berkaca-kaca. “Kamu berhasil.”
Napas Ali berpacu dengan cepat saat ia tertawa dan menatap tangannya dengan
tidak percaya.
Prilly tertawa kecil melihat ekspresi Ali. Harusnya, sedari dulu Prilly menyarankan
Sesil agar Ali memukul orang saja. Kan, kebiasaan Ali adalah memukul orang. Jadi,
seharusnya dulu yang Sesil latih bukanlah mencoba merasakan tekstur benda, tapi
mencoba merasakan sebuah kulit.
Pandangan Prilly teralih pada Verrel yang mencoba berdiri dengan gelisah, lalu
menatap nyalang pada sekitar Prilly. Prilly berdiri, lalu menyelendangkan tali tasnya
di bahu kanan. Ia menatap datar pada Verrel. “Sebenernya, kesalahan lo cuma satu.
Lo berkhianat sama Angel. Soal Angel yang mati, sebenernya bukan salah lo juga, sih.
Lo cuma salah satu orang yang terlibat dalam takdirnya Angel. Dan yang tadi ...,” jeda,
Prilly melangkah mendekati Verrel yang berdiri dengan gemetaran. “Lo di pukul
hantu.”
Verrel melotot ketakutan, membuat Prilly tersenyum sinis, lalu melenggang pergi
keluar dari kafe tersebut.
Ali dan Sesil menyusul dengan melayang sedikit di samping Prilly.
Prilly tersenyum pada Ali. “Selamat, ya.”
Ali tersenyum malu-malu, lalu mengangguk. “Thank’s.”
Prilly mengangguk, lalu menatap pada Sesil. “Lo napa nangis, dah?”
Sesil sedang sesegukan saat menjawab. “Terharu.”
Ali dan Prilly tersenyum kecil, lalu saling lirik dan melebarkan senyuman.
“Ayo kita rayain!” seru Prilly dengan semangat.
“Kemana?”
“TSB, mau?”
“Mau!!”
“Eh, gue kangen tubuh gue. Kita ke RS dulu aja, ya?”
“Oke, deh.”

***

Prilly mengalihkan pandangannya dari kaca transparan di pintu ruangan VIP dimana
Ali di rawat, lalu menatap Ali dengan bibir bawah yang dimajukan. “Ada ortu lo di
dalem. Nanti aja deh, ya?”
Ali menggigit bibir bawahnya. Ia menghela napas panjang. “Tapi, gue pengen liat
mereka juga.”
“Ya udah, lo sendiri aja sana. Sambil cobain megang tubuh lo. Bisa jadi, lo
langsung masuk, kan?”
Ali terlihat ragu. Sedetik kemudian, ia mengangguk. “Oke, deh,” ujarnya, lalu
menembus pintu rumah sakit.
Prilly baru saja akan pergi di depan pintu, namun suara seseorang membuat
Prilly menghentikan langkahnya.
“Prilly?”
“Om Prama?”
“Loh? Kenapa gak masuk?”
Prilly menautkan alisnya. “Hm?”
Prama tersenyum kecil. “Saya tadi SMS kamu. Nyuruh kamu ke sini buat ketemu
orangtuanya Ali.”
Prilly melotot. Ia lalu mulai merogoh saku celananya, lalu tas miliknya. Dan tidak
ada. Ternyata, Prilly meninggalkan ponselnya. Efek terlalu lama jomblo dan tidak ada
yang harus Prilly kabari selain orangtua dan kakaknya, jadilah ponsel Prilly tertinggal.
Merasa bodoh, Prilly nyengir. “Hehehe, ketinggalan, Om.”
Prama mendengus geli. “Saya kira, kamu kesini karena pesan dari saya.”
Prilly hanya dapat melebarkan cengirannya.
“Karena udah takdir, ayo kita ke dalam.”
Prilly mengangguk cepat, lalu masuk ke dalam dengan Prama yang membukakan
pintu untuknya. Saat masuk ke dalam, terlihat sekali wajah-wajah suram yang
menatap sedih pada tubuh koma Ali. Begitu pula dengan Alinya sendiri. Saat Prilly
masuk, ia dapat melihat wajah kusut Ali, lalu ikut menatap pada tangan arwah Ali
yang memegang tangan raga Ali.
Ali mendengus, lalu menunduk dalam.
“Selamat sore, Pak, Bu.” Prama bersuara. Menyapa dua orang yang sedari tadi
hanya diam tanpa pergerakan apapn.
Kedua orang yang sedang duduk disana mengangkat wajahnya untuk menatap
Prilly dan Prama. Lalu, dengan kompak berdiri dan saling bersalaman.
“Gimana keadaan Ali?” Prama kembali bersuara. Mereka mengobrol sambil
berdiri karena hanya ada 2 kursi di ruangan tersebut.
“Tadi, sih, susternya bilang kalo Ali makin stabil. Tapi, tetep aja gak
bangun-bangun,” jawab Ayah Ali, lalu menatap pada Prilly. “Ini siapa? Temannya Ali?”
Baru saja Prilly akan menjawab, Prama lebih dulu menyeret maju tubuh Prilly,
dan berkata. “Ini pacarnya Ali yang saya ceritakan kemarin.”
Prilly melotot, lalu saling lirik dengan Ali yang juga melotot kaget. Prilly kembali
menatap pada kedua orangtua Ali. “Sa—”
“Ohhh, pacarnya Ali, ya?” Ibu Ali kini bersuara. Ia menatap Prilly dengan lembut.
“Wah, kamu cantik banget.”
“Saya—”
Kembali, omongan Prilly terpotong saat tubuhnya di dekap dan suara tangisan
Ibunda Ali terdengar di telinga Prilly. “Saya tau, kamu kangen banget sama Ali. Kayak
saya dan yang lainnya. Kamu seharusnya tidak berusaha tegar dan ayo menangis
sepuasnya. Saya bisa mendengarkan keluh kesah kamu.”
Prilly kebingungan. Ia belum membalas pelukan Ibu Ali saat Ali tiba-tiba muncul
di hadapannya dengan wajah sedihnya.
“Nangis, plis. Buat nyokap gue percaya kalo lo cewek gue.”
Prilly melotot dengan wajah yang mengatakan lo-gila-?
“Plis?”
Prilly mengeraskan rahangnya di dalam hati. Ia balas memeluk Ibunda Ali, lalu
mulai menangis dengan pelan. Ah, berterima kasih saja untuk hantu-hantu yang
selalu menyuruhnya ini-itu sehingga ia bisa berakting menangis dengan lancar.

***

Saat Sesil hanya menonton Prilly yang berkating menangis, Ali mendekatinya dan
melayang rendah di samping Sesil.
“Si Prilly sebenernya tadi kenapa, sih? Dia ngapain juga bantuin hantu gitu dan
malu-maluin diri sendiri di jalanan?”
Sesil menggeleng. “Dengar dari ceritanya, sih, aku pikir, ada hantu yang
meminta tolong pada Prilly.”
“Maksud lo, hantu juga bisa minta tolong sama manusia?”
Sesil mengangguk sekilas. “Bisa, kalau hantu itu tahu jika manusia itu bisa
melihatnya. Akhir-akhir ini, sih, Prilly jarang menolong hantu. Dia terkesan menjauhi
hantu dan berpura-pura tidak melihat hantu tersebut. Tapi, sepertinya ada yang
meminta tolong pada Prilly saat aku tidak di sampingnya.”
Ali hanya mengangguk, lalu kembali memperhatikan Prilly dan Ibunya yang
menangis sambil berpelukan.
Sesil menghela napas panjang. “Aku benar-benar senang saat kamu mulai bisa
merasakan tanganmu.”
Ali tersenyum kecil. “Gue apalagi.”
“Tapi ngomong-ngomong ...,” jeda, Sesil mengerutkan alisnya menatap Ali. “Saat
aku tidak ada di samping Prilly adalah saat Prilly sedang bersama kamu di rumah
sakit untuk pertama kalinya. Apa mungkin ..., kamu melihat hantu disini?”
Ali mengerutkan alisnya, berpikir. Seolah mengetahui jawabnnya, Ali
mengerjapkan matanya, lalu melotot. “Apa mungkin, hantu mata bolong waktu itu,
ya?”
“Hantu mata bolong?”
Ali mengangguk cepat. “Iya, gue sempet denger hantu itu bilang tolong aku, trus
abis itu ngilang, deh.”
Sesil mengangguk mengerti. “Mau aku beritahu rahasia?”
“Apa?”
“Hantu itu tidak hilang,” ujar Sesil sambil menggeleng. “Dia hanya menjadi
memori Prilly. Untuk meminta bantuan, memang arwah harus merelakan dirinya
tidak di jemput dan hanya menjadi sebuah kenangan bagi orang yang dimintai
tolong.”
“Lah? Ribet banget.”
Sesil mendengus geli. “Tidak juga. Memori yang didapat oleh Prilly hanya
memori saat arwah itu meninggal.”
“Hah? Tapi, kok, si Prilly bisa tau nama Verrel sama Vanessa, tadi?”
“Mendengar dari perkataan Prilly pada Verrel tadi, sih, mungkin Verrel dan
Vanessa terlibat dalam kejadian itu.”
Ali mengangguk mengerti. “Ooohhh, gitu.”
Sesil hanya mendengus dan menatap pada Prilly.
“Berarti ..., secara gak langsung, Prilly ngeliat kematian dengan mata kepalanya
sendiri.”
Dan Sesil bersumpah. Saat Ali menatap dalam pada Prilly, ia dapat melihat
tangan dari raga Ali bergerak.
Ini tidak boleh terjadi.
Setidaknya, jangan saat ini. Karena, ada hal yang harus Ali jaga.
Dan Ali, tidak boleh kembali pada raganya sebelum melakukan apa yang Sesil
harapkan.
Sembilan; Tragedi di Rumah Hantu

“YUHU!! TAMAN BERMAIN!!” Sesil berseru semangat. Ia berlari memasuki gerbang


dengan menembus penghalang tersebut. Ali ikut berseru semangat, lalu melayang
mengikuti Sesil.
Melihatnya, Prilly tersenyum kecil, lalu menghentikan langkahnya di
kasir—anggaplah mbak-mbak yang mengabil tiket itu adalah kasir.
Mungkin, karena melihat Prilly yang tadi tersenyum, mbak-mbak tersebut ikut
tersenyum kecil. “Sendiri aja, mbak?” tanya kasir itu saat Prilly memberikan tiketnya.
Prilly tersenyum, lalu menggeleng. “Saya bareng temen.”
Penjaga itu mengangguk saat besi yang menghalangi Prilly itu sudah dapat di
dorong.
Prilly melangkah memasuki Taman Bermain Indoor itu, lalu berlari kecil saat Ali
melambaikan tangannya dengan semangat. “Kita kemana dulu?” Prilly bertanya
sambil melirik Ali dan Sesil bergantian.
Sesil menampakkan wajah berpikir. Mungkin, bingung juga karena permainan
disini kebanyakan adalah permainan yang ekstrim. “Bagaimana jika ke rumah hantu
dulu?”
Ali dan Prilly kompak mendengus geli. “Dasar setan, lu!” ledek Prilly
“Iya, dasar setan. Gak bosen apa liatin makhluk satu spesies mulu?” tambah Ali,
membuat Sesil mengerucutkan bibirnya dengan sebal.
“Kalau tidak mau, yasudah. Aku bisa melayang dan menembus kesana,” Sesil
berujar, lalu membuang wajahnya dengan ekspresi sebal.
Prilly tersenyum kecil. “Oke, kita kesana dulu,” putusnya, lalu menoleh pada Ali
yang hanya mengedikan bahu tidak perduli. Prilly kembali menatap Sesil, lalu
mengangguk dua kali. “Ayo!”
Saat sampai disana, Prilly dan kawan-kawan hantunya disambut oleh penjaga
yang menggunakan kostum malaikat maut. Penjaga itu sempat menakuti Prilly,
namun Prilly hanya berjalan dengan santai tanpa memperdulikan penjaga tersebut.
Hih, jika hanya malaikat maut, sih, Prilly tidak takut. Walaupun, takut juga, sih,
sebenarnya. Ya, siapa yang tidak takut jika disambut oleh malaikat maut asli?
Walaupun Prilly dapat melihat hantu, namun, ia tidak ditakdirkan juga untuk melihat
malaikat maut.
Saat mereka mulai memasuki wahana tersebut, Prilly di sambut dengan
dekorasi-dekorasi menyeramkan. Dan setiap langkah Prilly juga diiringi oleh alunan
lagu menyeramkan dan lampu-lampu yang agak temaram. Hmm, ini seram, sih.
Namun, tidak berhasil membuat Prilly ketakutan.
Mungkin, bukan hanya Prilly. Masih banyak diluaran sana yang dapat melihat
hantu. Dan jika ditanya tempat apa yang paling menyeramkan, mungkin, Prilly dan
semua orang yang mempunyai indra keenam akan menjawab; tempat dimana
hantu-hantu itu mati.
“Prill, gue pengen nanya, deh.” Ali berkata saat mereka sudah berbaris sehabis
difoto. Sesil menunggu di barisan paling depan, yah, dapat dikatakan, Sesil tidak
berbaris dan hanya menunggu mereka di gerbang.
Sedangkan Prilly yang manusia biasa harus diam di barisan. Dia kan bukan hantu
yang tidak terlihat oleh orang-orang. Prilly mendengus. “Nanya apaan?”
“Lo ..., emang gitu, ya?” tanya Ali tidak jelas.
Prilly mengangkat sebelah alisnya, lalu menoleh pada Ali. “Apaan, sih? Gak jelas
banget lo ngomongnya.”
Ali terlihat bingung. Ia menggaruk tengkuknya dengan gerakan canggung. “Ya ...,
itu.”
Prilly menatap Ali dengan datar, namun sebelah alisnya masih terangkat tinggi.
Sebenarnya, apa yang Ali katakan sehingga membuat orang seperti Ali bisa canggung
seperti itu? Oh, bahkan Prilly dapat mendengar suara jam berdetak di kepalanya
saking lamanya menunggu pertanyaan Ali.
Disaat otak Prilly menirukan tok-tak tok-tak dari jam, Ali melirik Prilly, lalu
mengalikan pandangannya, dan kembali melirik pada Prilly yang masih menunggu
ucapan Ali selanjutnya, lalu kembali mengalikan pandangannya. Tak lama kemudian,
Ali mendengus. “Lo ..,” jeda, Ali berdeham sejenak. “... emang harus, ya, ikut campur
urusan hantu?”
Prilly terdiam. Kedua alisnya terangkat tinggi, sedang matanya menatap datar
pada Ali. “Lo cuma nanya gitu doang, tapi lamanya ngelebihin detik waktu?”
Ali hanya cengengesan.
Prilly mendengus. “Gak harus juga, sih.”
“Maksudnya? Gak papa gitu kalo lo gak bantuin hantu-hantu itu? Gak akan
dihantuin sama hantu yang minta tolong sama lo?”
Prilly tersenyum, lalu menggeleng. “Ada saatnya, rasa bersalah lebih nakutin
daripada hantu.”
Ali menautkan alisnya, tidak mengerti. “Maksud lo?”
Prilly menelan ludah, lalu mengangguk untuk menyetujui perkataannya sendiri.
“Ya, rasa bersalah lebih nakutin,” ujarnya lirih, lalu menghela napas panjang. “Kita ini
beda dunia sama hantu. Dan kalau hantu itu minta bantuan sama gue, itu berarti
mereka punya tekad yang kuat dan harus merelakan diri mereka buat pergi ke dunia
Limbo.”
“Dunia Limbo?”
Prilly menghela napas panjang. “Gue gak tau banyak tentang dunia itu. Dulu
malah gue gak tau sama sekali tentang dunia itu. Sesil bilang, hantu bisa meninggal
untuk kedua kalinya. Dan saat meninggal itu, mereka bakal masuk dunia Limbo.”
“Hah?” Ali mengerutkan kedua alisnya dengan heran.
Sebenarnya, Prilly tidak tahu apa-apa tentang Dunia Limbo ini. Ia pernah
mendengar Dunia Limbo ini dari salah satu anime yang ia tonton. Prilly awalnya tidak
percaya. Namun, mengetahui Sesil lebih banyak pengalaman di dunianya, mau tidak
mau, Prilly harus mempercayainya.
“Itu gak masuk akal, Prill.”
Prilly tersenyum kecil. “Ya, itu juga gak masuk di akal gue,” katanya, lalu terkekeh
kecil. “Gue bukan hantu, tapi Sesil makhluk halus dan emang tau banyak tentang
dunianya sendiri.”
Ali diam. Mungkin berpikir tentang hal-hal yang barusan di ucapkan Prilly.
Prilly menghela napas panjang. “Gue juga gak tau kalo misalkan minta tolong ke
manusia bisa se-rumit itu,” ucapnya, kemudian mendengus. “Sesil bilang, dunia
Limbo itu dunia yang kejam. Dunia kutukan yang diciptakan untuk menyiksa
hantu-hantu yang melanggar aturan Tuhan. Disana, hanya ada kegelapan, monster
yang mengerikan, dan jalan yang tidak ada ujungnya.”
“Dan lo akan ngerasa bersalah kalo gak bantuin hantu-hantu itu karna udah
ngerelain diri mereka buat masuk ke dunia Limbo ini,” Ali memberi pernyataan. Dan
Prilly membenarkannya dengan mengangguk pelan. “Makanya, lo ngebantuin hantu
itu biar lo nggak ngerasa bersalah?”
Prilly mengangguk pelan.
“Walaupun apa yang lo lakuin tadi itu lo terkesan gak tau malu?”
Prilly terdiam. Memang benar, mengaku jika dirinya adalah pacar orang lain dan
menghancurkan hubungan orang lain itu termasuk dalam kategori tidak tahu malu.
Namun, bisa dibilang, rasa malu lebih baik daripada rasa bersalah. Prilly mengangguk
untuk menjawab pemikirannya. “Itu lebih baik.”
“Apanya yang lebih baik? Tadi itu, lo terkesan murahan, tau gak?” Prilly hanya
menelan ludah. “Lo ngoceh terlalu banyak.”
“Ngoceh apaan?! Lo emang cewek yang nekatnya gak ketulungan banget! Orang
lain aja yang lo pikirin, sedangkan diri sendiri gak lo hargain.”
Prilly menghela napas panjang, lalu menatap sengit ke arah Ali. “Lo tau apaan,
sih?! Lo itu cuma orang luar, ya!”
“Gue gini karna gue perduli, Prill!” Ali berujar dengan alisnya yang bertaut kesal.
Prilly terdiam dan melongo di tempatnya, sedangkan Ali menatap sengit ke arah Prilly.
“Lo itu udah masuk ke dalam dunia gue. Lo udah di culik karna gue, udah ketemu
Dua sahabat gue, dan udah ketemu ortu gue juga. Apa lo masih nganggep gue orang
luar?”
Lalu apa? Prilly harus menganggap Ali itu apa? Seorang musuh yang tidak
sengaja menjadi hantu? Atau seorang teman yang harus membantu temannya? Prilly
ini siapa, sih? Jika Ali dikatakan teman, rasanya tidak mungkin. Prilly tidak ingin
berteman. Ia benar-benar tidak ingin orang lain tahu akan segala hal tentang dirinya.
Menanggapi pemikirannya, ia menelan ludah. “Gue gak butuh rasa peduli lo.”
“Lo butuh bantuan.”
“Lo apaan, sih?!”
“Ya, lo bahkan gak tau malu buat dianggap gila karna ngomong sendiri.”
“Li! Udah ya! Gue gak mau debat!”
“Sadar diri dikit, dong Prill! LO ITU MANUSIA!”
Prilly tersentak. Ia terdiam setelah mendengar bentakan keras dari Ali. Mengapa
jadi seperti ini? Memangnya, apa yang membuat Ali berteriak padanya untuk bangun
dan menyadari jika dirinya adalah seorang manusia? Memangnya, salah ya jika Prilly
bermain dengan hantu? Apa salah jika Sesil adalah satu-satunya sahabat yang ia
punya?
Tidak ada jawaban dari berbagai pertanyaan yang terngiang di otaknya. Prilly
hanya diam, begitupun dengan Ali yang meresapi rasa marahnya sendiri.
“Hey! Sebentar lagi, bagian kita!”
Seruan semangat itu membuat keduanya tersadar dan mengalihkan pandangan
pada Sesil yang sedang tersenyum ke arah keduanya dengan mata yang berbinar
senang.
Tidak ada yang membuka percakapan kembali setelahnya. Mereka tetap diam
hingga roda yang mengangkut orang-orang untuk masuk ke rumah hantu itu datang.
Prilly kemudian melangkah masuk.
“Adek sedirian? Gak sama teman-temannya?” penjaga rumah hantu bertanya
pada Prilly yang sudah masuk beberapa langkah ke dalam.
Prilly hanya diam dan tidak menjawab. Tentu saja, ia bersama teman-temannya
yang hanya dapat dilihat oleh matanya seorang.
“Hmm, kalau gitu, naik sama pengunjung yang lain—“
“Gak usah. Saya sendiri aja.”
“Tapi, harus Empat orang yang—“
“Saya bayar Empat kursi itu, gak usah khawatir,” Prilly berucap final. Ia
melangkah dan duduk di salah satu kereta yang berada di depan, sedangkan Sesil
duduk di samping.
Dan Ali ..., entah dia ikut atau tidak. Prilly tidak ingin perduli.
***

Sore itu, Sesil duduk di atap sambil menatap langit mendung yang bergerak cepat ke
arah selatan. Ia dan yang lainnya pulang setelah waktu menunjukkan jam 5 sore, dan
Prilly sedang diam dikamarnya sambil menatap ponselnya terus menerus. Sesil
tentunya tahu mengapa Prilly bersikap begitu. Itu karena perdebatannya dengan Ali
barusan. Dan Sesil amat sangat tahu jika keduanya kini sedang malas untuk saling
berbicara satu sama lain.
Sesil tahu kondisi, dan ia tidak mencampuri urusan keduanya.
“Hey, lo gue cariin dari tadi.”
Suara itu membuat Sesil mengalihkan pandangannya, dan menengok kebelakang
untuk melihat si sumber suara.
Ali mendengus, lalu mendekat dan berdiri melayang di samping Sesil. “Kapan
gue harus latihan lagi? Gue bosen, nih. Hantu gak kayak manusia. Kalo manusia sih,
good loking, lah. Lumayan. Bisa cuci mata. Lah ini? Dalem rumah Prilly isinya setan
semua.”
Sesil tertawa, lalu ikut melayang di hadapan Ali. “Kayaknya, kamu benar-benar
orang yang tepat, deh.”
Ali mengangkat sebelah alisnya, lalu mendengus. “Gue sering banget denger
kalimat itu. Dari cewek, dan dari cowok. Tapi maaf, ya, gue gak tertarik dalam sebuah
hubungan.”
Sesil terkekeh pelan medengarnya. “Aku serius, tahu!”
“Jangan serius-serius, tar lo baper.”
“Ali,” Sesil berkata sambil memegang bahu Ali. Mungkin, karena ini pertama
kalinya Sesil menyebut nama Ali, cowok itu mengerutkan alisnya dengan bingung.
“Jika suatu saat dimana kamu sangat harus untuk membunuhku, jangan pernah ragu.
Apalagi, jika itu demi kebaikan sahabatku, Prilly.”
“Lo kok aneh, sih?” tanya Ali dengan alis yang masih bertautan dalam. “Ada
sesuatu yang lo rahasiain, ya?”
Sesil menggeleng, lalu tersenyum pada Ali. “Jangan lagi berteriak pada Prilly. Aku
akan menggentayangimu jika kamu melakukannya lagi.”
Mata Ali kini melotot. “Kapan gue ter—” jeda, seolah teringat sesuatu, mata Ali
melotot kaget menatap Sesil. “Lo denger?”
Sesil hanya tersenyum sedih. “Prilly paling tidak suka jika dimarahi tentang
sikapnya yang selalu menolong hantu. Dia selalu merasa jika kelahirannya adalah
kesalahan bagi orang lain, dan tak pernah menyalahkan kemampuannya. Karena
yang dia tahu, apapun yang menjadi takdirnya adalah yang terbaik. Tangis hanya
selingan. Akan ada hal bahagia yang Prilly percayai di setiap kejadian dalam
hidupnya,” jelas Sesil panjang lebar, lalu tersenyum pada Ali. “Kamu mungkin bisa
membujuknya untuk operasi mata, Li. Selama ini, Prilly hanya bersahabat denganku,
dan tidak pernah mempunyai sahabat manusia.”
Ali hanya diam dan menatap Sesil lurus-lurus. Dari matanya, Sesil tahu jika Ali
merasa bersalah.
Sesil tertawa karenanya. “Aku tidak apa-apa. Aku bukan hantu yang baperan.
Kamu tidak usah berasa bersalah seperti itu padaku.”
Ali mengerjap tersadar, lalu melotot ganas. “Siapa juga yang ngerasa bersalah?!”
Sesil mengangkat dagunya, menantang. “Lalu, tatapan yang kamu berikan itu,
apa artinya?”
Pelototan Ali berkurang. Matanya melirik ke atas, lalu ke sekitaran. “Gue
cuma ...,” jeda, Ali melirik liar ke sekitaran. Seolah tahu jawabannya, Ali melotot
kembali pada Sesil. “... takut aja elo entar berubah pikiran buat bantuin gue gara-gara
tersinggung sama apa yang gue omongin disana.”
Sesil tertawa, lalu melapaskan tangannya dari bahu Ali. “Ayo, kita minta maaf
dulu pada Prilly. Setelah itu, melatih organ tubuhmu yang lain.”
Ali mengangguk, lalu melayang kembali.
“Eh, tunggu,” Sesil memegang tangan Ali, membuat Ali terdiam dan menatap
Sesil heran. Sesil menghela napas panjang, lalu menutup matanya. Ia berkonsentrasi,
mengucap beberapa mantera yang ia hadiahkan pada Ali.
“Ngapain?”
Sesil membuka matanya, lalu tersenyum menatap wajah heran milik Ali. “Hanya
memberi hadiah perpisahan sebelum aku dijemput.”
Ali hanya menganggukan kepalanya 2 kali.
Mereka kemudian melanjutkan melayang ke dalam rumah.
Sepuluh; Fakta Lain, Sebuah Ciuman dan Do’a Sesil

Ali dan Sesil sedang berada di pintu saat suasana tegang di dalam rumah Prilly
membuat langkah keduanya berhenti. Disana, terdapat seorang pria paruh baya yang
berdiri dengan raut wajah emosi di hadapan Nick dan Prilly. Keduanya menunduk
dalam, sedangkan sebuah koper kini berdiri di samping tubuh Nick.
“HARUS BERAPA KALI AYAH TEKANKAN AGAR KALIAN BERHENTI BERTEMU?!”
Seruan murka itu membuat semua penghuni yang mendengarnya berjengit
kaget. Prilly dan Nick sampai-sampai makin menunduk dan agak memundurkan
tubuhnya.
Ali menoleh pada Sesil, namun Sesil hanya menatap sendu padanya, lalu ikut
menunduk seolah Sesil pun ikut di bentak. Ali mengerenyit karenanya. Didengar dari
suara pria paruh baya itu, Ali yakin bahwa pria yang mereka lihat kini adalah Ayah
Prilly. Dan barusan saja, kata Ayah keluar dari mulut pria tersebut. Jelas sekali bukan?
Dan pertanyaannya, mengapa Prilly dan Nick dilarang bertemu? Bukankah
mereka adalah kakak-beradik?
“Nick! Harus berapa lama lagi Ayah pisahkan kalian agar kamu dapat berpikir,
hah?!” Pria itu kembali bersuara. Telunjuknya ia gerak-gerakan pada Nick saat
mengatakan berentetan kata tersebut. Wajah pria itu memerah, sedangkan
hidungnya kembang kempis dengan gerakan kasar.
“Ayah ..., Nic—maksudnya, Kak Nick kan kakak Prilly, masa—”
“DIAM KAMU!”
Mata Ali memincing melihat Ayah Prilly. “Sialan.”
Prilly berjengit kaget. Kepalanya makin tertunduk dan kalimatnya terpotong saat
mendapat bentakan dari Ayahnya.
“KAMU MASIH ANGGAP DIA KAKAK?! MANA ADA KAKAK YANG MENCINTAI
ADIKNYA SENDIRI?! MANA ADA KAKAK YANG TEGA BERKATA BAHWA DIA INGIN
NAMANYA DIHAPUS DARI KARTU KELUARGA DEMI MENDAPATKAN KAMU?! MANA
ADA, HAH?!”
Ali kini terdiam membeku mendengar pertanyaan yang bagaikan sebuah
pernyataan bagi Ali itu. Nick pada Prilly ... apa?
Sedangkan di sana, Prilly menunduk dalam. Bahunya terlihat bergetar, dan
isakan kecil keluar dari mulutnya.
“Ayah ..., jangan keras-keras sama—”
PLAK!
Nick terlempar ke lantai. Kalimatnya terpotong saat Ayahnya menampar pipi
kanan Nick dengan kencang.
Ali melotot, tidak menyangka dengan perlakuan seorang Ayah yang ada
dihadapanya kini. Seumur hidup, baru kali ini Ali melihat kekerasan pada anak seperti
ini.
“KAMU YANG HARUSNYA SAYA BERI PELAJARAN!! APA TIDAK CUKUP SAYA HANYA
MENGASINGKAN KAMU?! APA SAYA HARUS MEMASUKKAN KAMU KE RUMAH SAKIT
JIWA? HAH?!” kali ini, bukan hanya pukulan yang mengenai Nick. Pria paruh baya itu
menendang seluruh tubuh Nick, tanpa terlewat. Pantat, perut, punggung, bahkan
wajah Nick sudah terkena tendangan Ayahnya.
“Ayah! Kak Nick gak gila!” Prilly yang masih menangis berseru sambil menahan
tubuh Ayahnya agar tidak menendang tubuh Nick lagi.
Ayah Prilly mundur, lalu menampar pipi Prilly kuat-kuat.
Gerakan tidak terduga itu membuat mulut Ali terbuka setengah. Jantung Ali
terasa berhenti saat melihat Prilly terduduk di lantai sambil menundukan kepalanya
dalam-dalam. Tadi itu ..., Ali tak salah melihat, kan?
Prilly ..., barusan di tampar Ayahnya?
“AYAH!” Nick membentak kencang, yang di balas diamnya Ayah Prilly. Nick
buru-buru merangkak menghampiri Prilly, lalu membawa kepala Prilly agar bersandar
di bahunya. Nick menatap ayahnya marah. “Ayah keterlaluan.”
Sesuatu dalam diri Ali terasa bergejolak. Melihat Prilly yang menangis sesegukan
di lantai membuatnya marah dan tidak terima. Mata Ali kini memincing tajam
menatap Ayah Prilly. Entah apa yang menimpanya. Yang pasti, tubuh Ali kini berada
dibelakang Ayah Prilly. Tangan Ali terangkat, hendak memukul kepala belakang pria
paruh baya itu. Namun, Sesil tiba dihadapannya, dan tiba-tiba Ali kini berada di atap
rumah Prilly.
Mata Ali melotot. Ia lalu menatap Sesil sambil menurunkan kepalan tangannya
yang masih terangkat. “Ngapain lo berhentiin gue?” tanya Ali dengan dingin. “Dan,
kenapa lo bisa mindahin gue kesini?”
Sesil ikut menyorot dingin, lalu menggeleng. “Salah. Seharusnya, aku yang
bertanya demikian. Kenapa kamu ingin memukul Ayah Prilly?”
“Karna dia Ayah yang emang pantes di pukul.”
“Alasannya?”
“Karna dia udah mukul anaknya? Apalagi?”
Sesil memejamkan matanya, lalu menghela napas panjang. Mata Sesil lalu
terbuka, dan sorot mata sendu kini menatap pada Ali. “Seorang Ayah, pantas
memukul anaknya jika sang anak berbuat kesalahan.”
“Apa maksud lo?” tanya Ali dengan mata memincing tajam. “Prilly gak ada salah.
Kenapa dia harus dipukul?”
“Hey arwah, ada saat dimana, situasi mengharuskan seseorang mengambil jalan
tercepat agar menyadarkan anaknya.”
“Dan apa caranya harus dengan kekerasan?”
“Lalu kamu? cara kamu menyelesaikan masalahmu adalah dengan bertengkar,
kan? Itu namanya juga kekerasan!” balas Sesil, dan kini Ali hanya diam. Sesil lalu
mendengus. “Lagian, memangnya, Ayah Prilly punya masalah sama kamu? kenapa
jadi kamu yang emosi dan ingin memukul Ayah Prilly?”
Ali mengerjap. Ia kini diam termenung mendengar kalimat Sesil yang berupa
fakta. Benar juga. Mengapa Ali harus marah? Hellow! Ini seorang Ali, loh. Cowok
tidak peduli sekitar. Yang hanya memprioritaskan sahabat dan keluarganya. Lalu Prilly?
Hanya sekedar teman, kan? Teman bukan, sih?
Lalu, mengapa Ali merasa tempat Prilly bukan hanya itu? Mengapa Ali merasa
tempat Prilly adalah lebih dari teman.
Alis Ali mengerenyit heran. Ini aneh, bukan?
“Arwah bodoh ..., kamu sepertinya harus sadar,” ucap Sesil, yang membuat Ali
makin bingung. “Saat di Braga tadi, aku berpikir bahwa yang membuatmu dapat
merasakan tanganmu adalah Prilly. Bukan perasaan bagaimana kulit menyentuh
kulit.”
Alis Ali makin bertautan mendengarnya. “Maksud lo?”
Sesil malah melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menatap Ali seolah
menantang. “Aku tak akan memberitahukannya. Itu rahasia!”
Ali melotot marah. Baru saja Ali akan memaksa Sesil untuk memberitahu, Sesil
sudah menghilang dari hadapannya, membuat Ali makin melotot kesal karenanya.

***
Ali kembali masuk ke dalam rumah Prilly. Dan suasana hening kini menyambutnya.
Ayah Prilly dan Nick sendiri sudah tidak ada di sana. Prilly dan Nick pun entah
kemana. Hanya ada seorang pembantu yang menatap anak tangga rumah Prilly
dengan sendu.
Mengetahui arah tatapan pembantu itu, Ali melayang ke lantai atas dan
menembus masuk ke kamar Prilly. Dan disanalah perempuan itu berada. Sedang
tidur membelakangi Ali dengan bahu yang bergetar hebat, juga isakan kecil yang
terdengar.
Prilly masih menangis. Sendiri. Dan Sesil? Entah hantu aneh yang satu itu ada
dimana.
Ali kini mendengar suara sesegukan dari Prilly, dan bahunya makin bergetar. Ali
menghela napas, dan saat itulah ia merasakan sebuah sentakan kecil di jantungnya.
Mata Ali menatap lurus-lurus pada tubuh bergetar Prilly. Kakinya lalu melangkah
menghampiri Prilly. Ingin sekali Ali memeluk tubuh itu. Merengkuhnya dan membuat
tangis itu terhenti karena pelukan Ali. Namun, tubuh transparan Ali yang menembus
membuat harapan Ali hanya sekedar harapan. Yang ada, Ali malah menembus tubuh
Prilly, bukannya merengkuh Prilly.
Mata Ali terus menatap punggung Prilly. Hingga tanpa ia sadari, sebuah
dorongan kuat untuk duduk di ranjang Prilly dan mengusap rambut indah itu
menghampiri relung hati Ali. Ia duduk di tepi ranjang, tanpa menembus kasur Prilly.
Seolah merasakan getaran kasur tersebut, Prilly tersentak dan langsung
membalikan tubuhnya. Mata mereka bertemu. Prilly dengan mata sendu yang
terdapat genangan air mata, dan Ali yang menatap datar tanpa ekspresi.
“A-Ali,” Prilly langsung terduduk dan menghapus air matanya dengan kasar. Ia
menatap Ali lalu menunduk sedikit, entah menatap apa. “Lo duduk.”
Dan Ali sadar. Ia menunduk dan menemukan fakta bahwa ia sedang duduk di
tepi kasur Prilly. Kepala Ali lalu kembali terangkat, menatap Prilly yang tersenyum
kecil, lalu menatap kembali pada Ali dengan matanya yang memerah. “Jangan nangis.
Gue gak suka.” Ucap Ali langsung
Prilly tersentak. Matanya melotot sekejap, lalu mengerjap perlahan. Cewek itu
lalu tersenyum kecil. “Apaan, sih, lo? Alay, deh.”
Ali hanya diam. Tatapannya lurus mengarah pada Prilly.
Dan perilakunya itu membuat Prilly menunduk dalam. “Udah berapa kali, sih, lo
bikin gue nangis? Kenapa tiba-tiba jadi ngomong gitu?”
“Dua kali. Dan gue gak mau lagi,” jawab Ali dengan cepat, membuat Prilly
menggaruk tengguknya, yang Ali yakin tidak gatal.
Ali menelan ludah saat merasakan sebuah sengatan kecil di jantungnya.
Menyadari ucapannya barusan pada Prilly, ia menggaruk kepalanya.
Prilly tersentak kembali, lalu melotot. “Kepala lo ...”
Prilly tidak melanjutkan ucapannya lagi. Karena Ali pun, sudah tahu apa yang
akan Prilly katakan. Ali dapat merasakan kepalanya. Dua kali Ali dapat merasakan
organ tubuhnya. Duduk, dan menggaruk. Ali melakukannya tanpa latihan.
Prilly tersenyum kecil. Tangannya lalu terulur, mengusap rambut Ali dengan
senyum yang bermain di bibirnya, membuat Ali tertegun. “Lo pinter banget, sih?
Latihan keras, ya? Pengen cepet-cepet balik ke raga lo? Hm?”
“Lo nyentuh gue. Total, Tiga kali.”
Senyum Prilly pudar. Ia mengerjap, lalu mendengus kesal. Tangannya lalu turun,
dan langsung Ali cekal pergelangan tangan Prilly. Mata perempuan itu mengerjap,
lalu menatap Ali lurus-lurus. “A-Ali ...”
Ali merespon panggilan Prilly dengan menarik tangan Prilly agar mendekat.
Matanya membalas tatapan Prilly lurus-lurus. “Kenapa gue selalu diem waktu lo
nyentuh gue?”
Prilly mengerjap. Seketika, pipinya sedikit memerah, dan Prilly terlihat menelan
ludahnya. “H-hah?”
Ali kembali tidak mengindahkan keheranan Prilly. Ia mendekatkan wajahnya,
agar dapat melihat wajah Prilly makin dekat. “Lo terlalu misterius. Apa hubungan lo
sama Nick?”
Ali dapat merasakan Prilly menahan napasnya kali ini. Mata yang penuh
keheranan itu kini berubah sendu. Ali terus menatap Prilly, mengintimidasi
perempuan itu dengan tatapannya.
“Kasih tau gue,” Ali memberikan perintah absolut. Matanya terus menatap mata
sendu Prilly, dan melihat sebuah rasa lelah disana.
Genangan air terlihat di mata Prilly. Perempuan itu menghela napas panjang, lalu
tersenyum kecil. “Lo kepo, deh—”
“Kasih tau gue,” potong Ali dengan tatapan yang terus mengarah pada Prilly.
Mata yang penuh genangan itu makin terlihat lelah. Prilly mengigit bibir
bawahnya, lalu menghela napas panjang. “Nick kakak kandung gue. Dia jatuh cinta
sama gue karna gue bagaikan pengganti cinta pertamanya yang udah meninggal. Dan
kalo lo berpikir cinta pertamanya ngedatengin gue, lo bener. Makasih karna udah liat
gimana ancurnya keluarga gue, dan nyoba buat mukul bokap gue. Gue liat lo tadi.
Dan gue yakin, lo ngetawain gue setelah ini,” jawab Prilly cepat, lalu tertawa kecil,
menertawakan dirinya sendiri.
Ali mendapat sengatan kembali di jantungnya. Bibir Prilly memang membentuk
tawa. Namun, beberapa tetes air turun di kelopak mata Prilly. Perempuan itu kembali
sesegukan dengan kepalanya yang agak tertunduk.
Ali menelan ludah dengan pahit. Tangannya kemudian melepas tangan Prilly
yang masih ia genggam, lalu terulur untuk mengangkat dagu Prilly, membuat wajah
mereka kembali bertemu. Namun, Prilly memejamkan matanya rapat-rapat, enggan
menatap Ali. Melihatnya, Ali membuang napasnya pelan. “Tatap gue ...” ujarnya lirih.
Mata yang tadinya tertutup rapat itu, perlahan terbuka, dan langsung menyorot
tepat di manik mata Ali.
Tatapan Ali melembut, menatap Prilly dengan dalam. “Jangan nangis lagi. Gue
gak suka.”
Prilly terlihat menelan ludahnya, dan terdiam.
Mata mereka saling bertemu. Tepat, dan pas. Tangan Ali menggenggam jemari
Prilly dengan lembut. Tepat, dan juga pas. Mereka terdiam lama. Saling mendalami
tatapan lawannya masing-masing. Tatapan Ali turun, menatap bibir Prilly, lalu
kembali menatap manik mata Prilly.
Entah dorongan dari mana, Ali menutup matanya, dan mengecup bibir itu lama
dan dalam. Merasakan bagaimana rasa manis bibir merah merekah itu, meminta izin
pada pemilik bibir itu untuk bibirnya mengecap rasa manis yang tersaji di sana.
Jantung Ali berdentum. Ia melepaskan kecupannya, lalu menatap wajah Prilly
yang memerah dengan mata yang tertutup.
Mata itu lalu terbuka, menatap Ali dengan dalam.
Ali kembali mendalami mata Prilly, lalu melirik bibirnya sekilas, meminta izin.
Prilly menjawab dengan matanya yang tertutup.
Ali tersenyum. Ia memiringkan kepalanya, lalu menempelkan bibirnya dengan
Prilly. Diamnya Prilly seolah menjawab bahwa Prilly memperbolehkan Ali
menciumnya. Bibir Ali lalu bergerak, mengecup bibir atas dan bibir bawah Prilly.
Genggaman tangan mereka makin erat. Dan Prilly membalas ciuman Ali dengan
gerakan lembut. Bibir Prilly, terasa tepat dan pas.

***

Sesil melihatnya. Dua orang yang berciuman dengan penuh perasaan dan terlihat
saling melengkapi. Cocok, dan terlihat tanpa beban. Sebuah senyuman membentuk
menghiasi wajah Sesil. Kepalanya lalu mendongak menatap langit. Ia menghela napas
lega. “Tuhan, terima kasih karena kau begitu adil pada hambamu. Kau memberikan
yang terbaik disetiap langkah yang manusia jalani. Seperti sahabatku yang satu itu.
Dalam kekurangannya, ia mendapatkan yang terbaik untunya di kemudian hari.”
Sesil kembali menatap pada Dua orang yang masih asyik memberitahu perasaan
satu sama lain. Senyumnya melebar. Tak lama lagi, Sesil harus menerima saat dimana,
Prilly tak lagi menganggapnya sahabat.
Sebelas; Cerita Ali, Informasi, dan Saatnya

“Sebelas, gue yakin sebelas.”


“Percaya padaku. Dua belas adalah isinya.”
“Eh enggak, deng. Sembilan, tau!”
“Tidak! Dua belas! Aku yakin.”
“Sotoi banget, lo! Belajar aja kagak.”
“Hei! Aku hidup lebih lama darimu!”
“Huuu! Tua aja bangga, lo!”
“Dasar arwah tengik! Benar-benar mengesalkan!”
“Dasar setan bego! Mati aja lo!”
“Aku sudah mati, jika kamu lupa.”
“Oh iya. Hehehe.”
“Dasar arwah bodoh!”
“DIEM!!” Prilly berteriak, lalu melotot ke belakangnya, menatap tajam pada Ali
dan Sesil yang sedari tadi berdebat tidak penting padanya. Niat hati ingin meminta
bantuan atas jawaban dari hukuman yang Prilly kerjakan saat ini, mereka malah
berdebat, padahal yang Prilly butuhkan adalah kerja sama.
Ini karena Ali. Prilly tidak bisa tidur selamaman karena detak jantungnya
berdegup gila dan menyeramkan. Membayangkan ciuman Ali dengannya, pipi Prilly
berubah menjadi berwarna merah. Padahal, plis, Ali sudah menciumnya bahkan
sebelum kejadian kemarin.
Ali membuat kepalanya penuh, dan hanya memikirkan lelaki itu, sehingga Prilly
tidur jam 4 pagi dan bangun terlambat. Maka dari itu, karena pelajaran pertama
adalah guru matematika, Prilly disuruh mengisi soal yang sudah tertulis di papan tulis
depan kelas.
Eh? Apa tadi? Depan kelas?
Seketika, Prilly menyadari keberadaannya. Ia menatap sekelilingnya, dan ternyata
anak-anak satu kelas sedang menatapnya dengan penasaran. Prilly tersadar. Barusan,
ia berteriak. Dan ini, di depan kelas.
“Apa Prilly? Kamu menyuruh saya diam?”
Prilly menunduk malu. Ia menggenggam erat sepidol di tangannya, sedangkan
sudut matanya melirik tajam pada Sesil dan Ali yang membentuk jarinya menjadi V,
lalu melayang mundur dan menembus tembok. Prilly mendengus kesal. “Ti-tidak,
Pak.”
“Lalu? Siapa yang kamu suruh diam?”
“Otak saya, Pak.”
“Memangnya otak kamu ngapain? Kenapa kamu menyuruh otak kamu untuk
diam?”
“Karna gak bisa diem, Pak. Mikirin doi mulu dari tadi.”
Sekelas menertawainya, dan Prilly hanya mengedikan bahu sekilas. Tidak peduli.
Guru matematikanya terlihat kesal mendengar jawaban Prilly. “Yasudah, suruh
terus otak kamu diam, kalau begitu.”
“Oke, Pak. Berarti, saya gak usah ngerjain soal ini, kan?”
“Loh?” tanya pria paruh baya itu dengan alis yang bertautan. “Kenapa tidak
mengerjakan soalnya?”
“Kan tadi bapak nyuruh otak saya diem. Dan ngerjain soal ini kudu mikir, Pak.
Gimana saya mikir, kalo otak saya diem?”
Kembali, kelas menertawainya, dan Prilly mengulum bibirnya untuk menahan
senyum bangga.
Pria paruh baya yang sedang berdiri di lorong antara dua barisan bangku itu
menghela napas panjang dan menatap Prilly dengan sorot datar. “Oke. Kamu tidak
perlu menyelesaikan soal tersebut.”
Prilly mengangkat wajahnya sambil tersenyum lebar. Baru saja ia akan
melangkah untuk duduk di bangkunya, suara guru matematikanya membuat langkah
Prilly terhenti.
“Tapi, kamu berdiri di luar kelas sambil menjewer telinga sendiri dengan sebelah
kaki yang terangkat.”
Mulut Prilly terbuka setengah disaat satu kelas menyorakinya sambil tertawa.
Prilly mendengus kesal sambil menghentakan kakinya keluar kelas.
Benar apa kata timeline, ternyata. Memang, perempuan itu selalu benar. Tapi,
jika berhadapan dengan guru killer, kalimat itu tidak akan berlaku lagi. Sekalipun,
guru killernya itu pria.

***

Prilly menyimpan kepalanya diatas meja kantin, lalu menghela napas panjang. “Kaki
gue ...” desahnya sambil mengusap telinganya yang memerah akibat cubitannya
sendiri.
Prilly memejamkan matanya rapat, lalu mengubah posisi kepalanya, membuat
pipi kanannya menempel di meja. Matanya lalu bertemu dengan samping wajah Ali.
Ya, hanya sampingnya. Karena Ali kini sedang menatap lurus-lurus, entah menatap
apa.
Penasaran, Prilly lalu mengangkat kepalanya dan mengikuti arah pandang Ali.
Disana, terdapat anggota gang Ali yang terlihat lesu dan tidak semangat. Beberapa
diantara mereka malah terlihat tidak ada kerjaan. Seperti menatap ponsel sejenak,
lalu menghela napas panjang dan menatap lesu ke sembarang arah. Atau yang duduk,
berdiri, lalu duduk lagi, menghela napas panjang kemudian menopang wajahnya
yang lesu dengan kedua tangan.
Di jidat mereka, seolah terlihat tulisan yang di caps lock, bold, italic, dan
underline. Terpampang dengan jelas kalimat KANGEN LEONANDRA ALI disana. Wajah
Ali juga sama. Lesu dan sendu.
“Lo kangen sama mereka?” akhirnya, apa yang ada di otak Prilly dapat ia
suarakan.
Ali menoleh pada Prilly. Tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Ya. Gue kangen
ketawa bareng mereka.”
Prilly menatap Ali kasihan. “Yang sabar, ya.”
Ali mendengus geli dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Udah? Gitu doang?
Serius?”
Prilly mengangguk ragu. “Ya ...,” jawabnya, membuat Ali tertawa kecil. “Emang,
gue harus gimana?”
Ali tersenyum miring. Ia memajukan wajahnya ke wajah Prilly, membuat Prilly
mengerjap dan menelan ludahnya dengan susah payah. Ali tersenyum kecil. “Cium
gue, sama kayak kemarin gue menghibur lo dengan ciuman gue.”
Prilly melotot. Ia mengerjap cepat saat jantungnya berdentum dengan keras
karena wajah mereka yang terlampau dekat. Darah Prilly berdesir lembut, membuat
tubuhnya terasa lemas dan ngilu pada urat tangannya. Prilly bisa merasakan
napasnya yang terasa lebih hangat saat pipi hingga telinganya memanas.
Ali sudah memiringkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya. Prilly menelan
ludah, lalu mengerjapkan matanya dengan cepat.
Ali terlihat menahan tawa. Matanya menatap Prilly, lalu Ali memundurkan
wajahnya dengan cepat, kemudian tertawa kencang.
Prilly melotot, mengetahui bahwa Ali sedang mengerjainya. “Sialan, lo ya!”
serunya sambil menjambak rambut Ali hingga kepalanya tertarik kebelakang.
“Aduh!” keluh Ali sambil masih tertawa dan mengusap kepalanya yang menjadi
korban kekejaman Prilly.
Prilly mendengus, lalu membuang wajahnya dari Ali dan kembali menatap para
lelaki lesu yang berada di beberapa meja depan Prilly.
Prilly jadi penasaran. Kenapa juga mereka terlihat lesu begitu? Seharusnya, kan,
mereka itu bahagia karena Ali tidak ada. Secara gitu, loh, Ali kan kelihatannya bossy
dan menyebalkan. Apalagi tatapannya itu. Mengintimidasi dan ultimatum. Membuat
siapapun, termasuk Prilly akan merasa harus untuk mengikuti perintahnya.
“Li, kenapa mereka gak bahagia lo koma?” Prilly bertanya sambil menatap pada
teman-teman Ali.
Tawa Ali yang masih tersisa berhenti. Dan Prilly dapat merasakan sebuah jitakan
pelan di kepalanya, membuat Prilly mengaduh. “Sembarangan ya, kalo ngomong!”
seru Ali sambil melotot galak.
Prilly menatap sengit pada Ali, tidak terima kepalanya dijitak walaupun pelan.
“Gue nanya, bego! Ngapain pukul-pukul?”
“Nanya kok nggak pake kosa kata yang baik dan benar?”
“Ya elah. Gue kan penasaran. Kenapa temen-temen lo tuh kayaknya sedih banget
lo koma? Lo kan keliatannya bossy banget ama mereka.”
Ali mengangkat sebelah alisnya, lalu menatap pada kawannya yang disana.
“Entahlah. Kenapa juga, ya?” ujarnya, sambil menatap jahil pada Prilly.
Prilly melotot pada Ali. “Serius, ih!”
Ali tertawa, lalu mengangguk. “Oke, oke. gue ceritain,” ucapnya, lalu
mengembuskan napas panjang. “Gue, Tian, sama Radit itu temenan dari orok.
Karena nyokap sama bokap sahabatan sama orangtuanya Tian sama Radit. Kita terus
barengan, sampe tiap masuk sekolah pun, kita harus sama. Lo tau? Gue ini yang
paling pinter diantara mereka. Dan mereka itu bodoh dan harus masuk SMA swasta.
Yah, mereka bisa, sih, nyogok ke SMA negeri. Tapi, mereka lebih milih sekolah yang
aturannya gak ketat. Jadi kita masuk sini. Jadi, wajar dong kalo gue kangen mereka,
begitupun sebaliknya. Kita ..., udah kaya keluarga.”
Prilly mengangkat sebelah alisnya dengan sorot mata tidak sabaran saat Ali
menghentikan ceritanya. “Udah? Gitu aja?”
Ali mendengus geli. “Lo mau gue ceritain apa lagi?”
Prilly melotot sebal. “Semuanya, lah! Segalanya tentang lo. Apalagi?”
Ali menahan tawanya, lalu mengangguk mengerti. “Sisa temen gue yang lainnya,
gue gak tau kenapa mereka gitu. Yang pasti, mereka adalah mantan gangster dan
kalo keluar harus dipukulin dulu. Gue nolong, dan mereka tiba-tiba pengen jadi
temen gue. Sisanya lagi, gue tolong waktu mau kelewat nakal. Narkoba, dan sex. Gue
nahan mereka yang kenakalannya lebih dari ngerokok dan minum. Bikin mereka
sadar, dan tiba-tiba kita temenan.”
Prilly melotot, menatap Ali tidak percaya. “Serius? Lo nolong mereka?”
Ali mengangguk mengiyakan. “Iya. Emang lo kira gimana?”
Alis Prilly berkerut dalam sambil menatap teman-teman Ali. “Gue kira, mereka
mau temenan sama lo karena uang.”
Ali mendengus geli. “Gue baru tau temen bisa dibeli.”
“Dan gue kira, lo itu bad boy. Keluarga lo ancur, dan lo suka mainin cewek.
Pemikiran mainin cewek itu dateng waktu lo cium gue dengan seenaknya! Nyebelin,
tau gak?”
Ali mendengus. “Keluarga gue baik-baik aja. Gue emang bukan cowok baik-baik.
Dan gue gak pernah mainin cewek karna gue juga punya kakak cewek.”
“Nah, trus, kenapa lo jago berantem gitu dan bully Irish?”
Ali terdiam sejenak. Seolah berpikir dan menerawang. Entah apa yang Ali
pikirkan, namun, tatapan matanya jadi melembut. “Ini karna cinta pertama gue.”
Prilly terdiam. Jantungnya seperti terhantam dan tercubit dengan kejam. Apa
tadi? Cinta pertama?
“Waktu kecil, kakak gue pernah dinakalin sama anak kecil,” Ali melanjutkan
ceritanya, tanpa melihat raut wajah Prilly yang tegang. “Yah, dia nangis lah karna
jatoh. Umur gue waktu itu sekitar 5 tahunan. Gue nyoba jadi super hero dan mau
nolong kakak gue. Tapi, anak-anak yang—mungkin—anak SD itu ada Tiga orang.
Makanya gue kalah. Tiba-tiba, ada cewek. Anak kecil juga. Dia bawa batu gede sama
Dua tangan. Keliatan kayak yang keberatan, tapi tetep maksain,” Ali menceritakan
kalimat terakhirnya sambil tersenyum. “Dia bikin anak-anak itu ketakutan.
“Waktu mereka pergi, anak cewek itu simpen batunya di tanah. Tangannya
berdarah. Tapi, dia natap gue dengan marah. Ya gue aneh sama dia. Tapi, waktu dia
bilang, Kamu harus berani dan kuat kalau mau jadi pahlawan. Kalau kamu gak bisa
lindungi diri sendiri, gimana kamu mau lindungi orang lain? gue tau kalo dia marah
karna gue lemah. Semenjak itu, gue bertekad untuk gak lemah lagi. Makanya, gue
kuasai banyak bela diri sampe sekuat sekarang,” selesai menceritakannya, Ali
tersenyum pada Prilly. “Udah.”
Prilly tersenyum. “Se—” tercekat. Suara Prilly mencicit. Ia berdeham, lalu
menelan ludah dan tersenyum. “Sesederhana itu? Dan hubungannya sama Irish?”
Ali tersenyum sambil mendengus geli. “Itu gak sederhana. Dia bikin gue pengen
kuat dan bisa lindungi orang-orang di sekitar gue. Dan untuk Irish, gue sebel aja sama
dia karna bikin gue malu.”
Prilly tersenyum, lalu mengangguk pelan. Dalam hati, Prilly menghela napas
panjang. “Kakak lo? Dia sekarang dimana?”
“Kakak gue di Jepang. Dia kuliah disana.”
Prilly kembali mengangguk dengan mulutnya yang membentuk O panjang.
“Pulangnya, ke RS, yuk. Tengok gue.”
“Ayo. Omong-omong, Sesil mana?”
“Sesil? Katanya, dia lagi nyari hantu terserem buat lo. Dia nebak kalo ntar sampe
rumah, lo pasti tidur.”
Prilly mendengus. Dasar Sesil!

***

“Ah, Prilly! Kebetulan kamu ada disini.”


Sampai di rumah sakit, Prilly di sambut dengan Om Prama yang membawa kertas
di tangannya sambil tersenyum senang pada Prilly. Melihatnya, alis Prilly bertautan.
“Om? Ada Apa?”
“Rasya. Dia sudah di tangkap,” jawab Om Prama dengan senyum yang masih
tercetak di wajahnya.
“Beneran, Om?” tanya Prilly dengan senyum lebar dan mata yang berbinar
senang.
Om Prama mengangguk menjawab Prilly. “Ya. Kemarin, Rasya berada di hiburan
malam. Dan saat menggeledah rumahnya, terdapat benda bukti berupa data diri Ali
beserta orang-orang yang berada di sisi Ali. Terbukti, bahwa Ali memang sudah
menjadi incaran Rasya.”
“Wah, makasih ya, Om,” ucap Prilly sambil menggerakan badannya dengan
gemulai dan mengedip manja pada Om Prama.
“Dasar genit.” ledek Ali yang berada di belakangnya.
Prilly mengabaikan dan tetap bersikap sok imut pada Om Prama.
Om Prama tertawa melihat sikap Prilly. “Kamu lucu sekali, Prilly. Seperti anak
anjing saya.”
Prilly melotot, sedangkan Ali di belakangnya tertawa. Prilly mendengus kesal
sambil menghentakan kakinya. “Om! Masa aku disamain sama anak anjingnya Om!”
Om Prama tertawa ringan, menambah daftar saat-saat tertampan Om Prama di
mata Prilly. “Saya bercanda. Lagian, saya tidak punya anjing.”
“Oemji, untung Om ganteng, deh. Kalo enggak, udah aku lempar dari gedung RS
ini,” ujar Prilly dengan kesal.
Om Prama lagi-lagi tertawa. Tangannya lalu terulur, mengusap lembut puncak
kepala Prilly.
Prilly melotot. Ia tertegun dengan pipinya yang perlahan memerah.
Om Prama mendengus geli. Tangannya yang berada di puncak kepala Prilly lalu
mengacak rambut perempuan itu, membuat Prilly menggerutu. Om Prama tertawa.
“Sudah, sana! Saya ada kerjaan dulu. Pacar kamu pasti menunggu.”
Prilly melotot. “Om! Dia bukan—”
“Dah!!”
Kalimat Prilly yang ingin menyangkal tentang hubungannya dengan Ali lagi-lagi
terpotong. Om Prama sudah pergi dari hadapannya, dan Prilly tidak dapat
menjelaskan yang sebenarnya. “Ish, kenapa, ya? Setiap gue mau jelasin hubungan
kita, pasti kepotong mulu,” gerutunya sambil menatap Ali sebal.
“Karna hubungan kita emang se-jelas itu.”
“Hah?” Prilly bertanya dengan alis yang terangkat sebelah. Itu tadi Ali bilang apa,
sih? Kenapa bisik-bisik?
“Enggak. Gue seneng aja Rasya ketangkep. Gitu.”
Prilly mengangguk sambil ber-“Oh” ria.
Mereka lalu kembali melangkah untuk menuju ke dalam rumah sakit tersebut.
“Oh iya,” Ali menghentikan langkahnya, membuat Prilly yang ada di belakang Ali
menembus tubuh itu, dan rasa dingin menjalari tubuh Prilly.
Prilly berbalik, ingin menggerutu dan komplen terhadap gerakan tiba-tiba itu.
Namun, kepala Ali yang tepat di depan wajahnya membuat semua umpatan Prilly
tertelan kembali.
Mata Ali memincing, menatap Prilly tajam. “Jangan pernah lo blushing di depan
cowok lain. Ngerti?”
Prilly menelan ludah. Ia mengerjap, lalu mengangguk. Dan tanpa sadar, pipinya
memerah saat ini.
Ali mendengus geli, lalu mengusap pelan rambut Prilly. “Bagus,” ucapnya, lalu
menembus melewati Prilly lagi.
“Hey! Kenapa gue harus nurutin omongan dia?” Prilly menggerutu, lalu berlari
menyusul Ali yang sudah agak menjauh.

***

Sesil menunduk dalam. Hantu dengan badan tegap di depannya membuat Sesil
sangat gugup. Kepala Sesil makin tertunduk saat tubuh tegap itu bersidekap dada.
“Hari ini, Sesil. Malam ini, bawa dia kesana.”
Sesil mengangguk cepat. “B-baik.”
“Bagus. Sekarang, jemput dia.”
Sesil mengangguk cepat lagi, lalu berteleportasi dengan cepat. Ini saatnya.
Malam ini, adalah hari dimana Sesil akan di jemput.
Duabelas; Dunia Limbo, dan Kehilangan

Prilly dan Ali sedang turun dari taksi saat keduanya melihat Sesil yang berdiri
memunggungi mereka. Artinya, Sesil berdiri—agak melayang—sambil menghadap
rumah Prilly tanpa masuk. Entah apa yang Sesil lihat dan Sesil pikirkan
sampai-sampai sahabat Prilly itu hanya diam disana tanpa masuk ke dalam
rumah. Teringat sesuatu, batin Prilly tersentak. Mata Prilly melotot, menatap
punggung Sesil. Prilly menelan ludahnya, lalu berjalan cepat menghampri Sesil yang
masih memunggunginya. “Sesil ...” panggilnya pelan, lirih dan berbisik.
Sesil berjengit, lalu berbalik. Menatap pada Prilly dengan wajah sendunya.
“Prilly ..., hari ini ..., aku—”
“Stop!” Prilly mengangkat tangannya, menghentikan kalimat Sesil. Sebuah
tekanan terasa di leher Prilly saat ia mencoba menelan ludahnya. Begitu sesak.
Begitu menyakitkan. Pada akhirnya, akan ada akhir di setiap kehidupan. Tidak ada
keabadian, dan akan terus terjadi perpisahan. Prilly amat sangat tahu, jika hal itu
akan datang cepat atau lambat. Menyadarinya, mata Prilly terasa berembun. Ia
menelan ludah, lalu membuang napasnya dengan pelan. Prilly tersenyum pada Sesil
yang menatapnya sendu. “Hari ini, ayo kita senang-senang!”
Sesil diam sejenak, tidak menjawab. Kepalanya lalu menunduk, kemudian
terangkat lagi. Sesil tersenyum lemah pada Prilly, lalu menggeleng. “Aku tidak bisa.
Waktunya sangat sedikit. Aku harus bawa kamu ke suatu tempat.”
“Oh, gitu,” Prilly menjawab lemah sambil sedikit menundukan kepalanya. Dan air
matanya turun saat Prilly mendongak sambil menatap Sesil dengan senyuman yang
tercetak di bibirnya. “Oke. Ayo kita pergi!”
Sesil tersenyum lemah. Ia melayang cepat dan memeluk Prilly erat-erat.
Prilly tertegun. Air matanya berhenti turun. Kaget akan reaksi Sesil yang tiba-tiba.
Dan juga, kaget dengan bahunya yang basah akibat tangis Sesil. “Sesil ...” ucap Prilly,
lalu membalas pelukan sahabatnya tak kalah erat, dan menangis disana. Terisak
kencang sambil memeluk erat tubuh dingin Sesil. “Jangan pergi! Jangan pergi, Sesil!”
“Maafkan aku, Prilly ...,” balas Sesil sambil terisak. “Aku harus pergi. Maafkan
aku.”
Prilly menjawab dengan pelukannya yang makin erat. Mengatakan perasaannya
yang saat ini tidak ingin Sesil pergi dan meningalkannya sendiri. Sudah cukup hanya
keluarganya yang meninggalkan Prilly, jangan sahabatnya.
Prilly sudah kehilangan kakaknya. Prilly sudah kehilangan orangtuanya. Mereka
memang ada, memang nyata. Tapi terlalu jauh. Terlalu menghindari. Dan tidak dapat
tergapai.
Sementara Sesil, sahabat hantunya. Yang memang adalah makhluk astral.
Makhluk harus yang sangat dekat, sangat nyata, dan selalu disisinya. Prilly tidak ingin
Sesil menjadi jauh, menjadi semu, dan tidak dapat Prilly temui.
Intinya, Prilly tidak ingin berpisah dengan Sesil. Sahabat Prilly satu-satunya.

***

“Rumah siapa, nih?”


Suara Prilly menggema saat ia memasuki sebuah rumah kumuh yang kosong dan
dipenuhi oleh sarang laba-laba disana. Ali mengikuti di belakang Prilly dan berdiri di
samping cewek itu. Sedangkan Sesil berada di hadapan mereka sambil memunggungi
keduanya.
“Limbo.”
“Hah?” tanya Ali dan Prilly heran.
Sesil berbalik. Ia tersenyum, dan tangannya melambai pada Prilly, menyuruh
untuk mendekat.
Prilly mendekat pada Sesil dengan alis yang bertautan akibat heran. Sedangkan
Ali diam ditempatnya sambil melihat-lihat sekelilingnya. Sampai di hadapan Sesil,
Prilly menatap aneh pada Sesil. “Kita mau ngapain?”
Sesil hanya tersenyum kecil, lalu menghilang di hadapan Prilly.
Prilly makin heran. Ia memutar tubuhnya untuk mencari-cari Sesil, lalu
menyadari. Kini, bukan hanya mereka bertiga yang berada di rumah ini. Tapi,
berpuluh-puluh hantu juga berkumpul dan mengelilingi Prilly. Dari berbagai jenis.
Kuntilanak, pocong, tuyul, genderewo, dan lain-lain. Ini terlalu banyak. Prilly tidak
dapat menghitungnya.
“Apa-apaan, ini?”
Itu bukan suara Prilly. Melainkan suara Ali yang sekarang tidak terlihat di mata
Prilly, membuat Prilly menelusuri pandangannya ke segala arah. Namun nihil, Ali tak
dapat Prilly temukan. Tidak dapat Prilly lihat. Yang Prilly temukan adalah Sesil. Berdiri
dengan mencolok seolah dia adalah ketua dalam barisan itu. Prilly tertegun, dan
menatap Sesil dengan heran. “Sesil ...,” panggilnya, namun tak kunjung dijawab. “Ini
apaan?”
Sesil tidak menjawab. Dia malah merentangkan tangannya ke depan, dan sebuah
cahaya yang horizontal dan mencapai langit tiba-tiba datang dari tanah yang Prilly
pijaki.
Prilly menunduk, dan ia baru sadar bahwa dirinya sedang berada dalam
lingkaran setan. Dimana ada bintang dengan lingkaran luar yang menyentuh titik-titik
sudut bintang tersebut. Prilly menelan ludahnya dengan pahit. Rasa gugup kini
melanda Prilly. Jantung Prilly berdentum cepat, dan napasnya mulai terengah
ketakutan. Prilly lalu melangkah mendekati cahaya horizontal yang terlihat
transparan itu. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menembus cahaya itu, namun
nihil. Prilly seolah berada dalam kaca tebal.
Prilly mengetuk-ngetuk cahaya tersebut, mencoba mencari setidaknya jalan
keluar yang diharapkan Prilly. Tidak menmukannya, akhirnya Prilly menatap Sesil,
meminta penjelasan. “Kenapa ...?” tanya Prilly berbisik, dengan sorot mata yang
terus menatap Sesil.
Sesil tidak menjawab. Ia lalu menggerakan tangannya pelan—menyapu udara.
Dan cahaya itu semakin bertambah terang. Prilly merasa kehabisan napas. Udara
disekitarnya terasa panas sampai-sampai Prilly merasa udaranya kian menipis setiap
detik.
“PRILLY!!”
Mata Prilly kembali menelusuri setiap sudut saat ia mendengar teriakan Ali.
Napas Prilly tercekat. Ia terengah, lalu terbatuk di tempatnya. “ALI!!” balasnya sambil
berteriak kencang. Dan satu suara yang ia keluarkan terasa menyiksa. Mencengkram
jantungnya hingga sesak dan membuat Prilly lemas. Kakinya terasa tidak dapat lagi
menopang tubuh Prilly. Ia terduduk di sana, lalu kembali terbatuk.
“PRILLY!! TUNGGUIN GUE!!”
Menunggu apa? Apa yang harus Prilly tunggu? Kematian? Prilly sedang di jadikan
tumbal, bukan?
Prilly terbatuk. Tangannya yang lemah terulur, mengusap cahaya yang tersentuh
bagai kaca oleh Prilly. Mengusap tepat ditempat dimana Sesil berdiri disana dengan
tangannya yang terus menyapu udara, sedangkan matanya menatap Prilly datar.
“Kenapa?” tanya Prilly, lalu terbatuk kembali. “Apa yang mau lo lakuin ke gue?”
“Aku—tidak, lebih tepatnya kami—akan membuka pintu limbo dengan
menumbalkan ingatanmu.”
Alis Prilly bertaut. Ia menelan ludahnya dengan susah payah saat merasa tak bisa
lagi menghirup udara. Matanya fokus menatap Sesil, namun salah satu hantu yang
terlempar ke arah cahaya tersebut membuat Prilly mengalihkan pandangannya.
Tubuh hantu tersebut seolah tertahan pada cahaya horizontal itu, lalu mengejang,
kemudian menghilang dengan sebuah asap hitam yang mengiringi.
“PRILLY!!”
Suara Ali kembali terdengar. Prilly mendongak, menatap kilatan secepat cahaya
yang muncul di langit-langit ruangan, bersamaan dengan tubuh Ali yang kemudian
terlihat setelahnya. Lelaki itu lalu melayang turun secepat kilat, dan satu persatu
hantu menabrak cahaya horizontal yang mengelilingi Prilly, lalu menghilang.
Mulut Prilly terbuka setengah, kagum dengan kekuatan Ali yang mirip seperti
hantu sungguhan. Prilly kembali terbatuk. Tangannya memegang dada sebelah kiri,
dimana disana terdapat jantung miliknya yang berdetak lemah.
“Kamu tahu, Prilly? Tidak banyak manusia yang memilki kemampuan
sepertimu,” Sesil kembali bersuara. Tangannya terus menyapu udara, seolah dengan
melakukan hal tersebut, Sesil dapat terus memperbesar cahaya horizontal yang
mengelilingi Prilly. “Kamu sial karena memilikinya, Prilly. Hantu-hantu yang
menghilang itu, bukannya berada di ingatanmu. Tapi, kamulah pintu masuk limbo.”
Tangan Prilly terkepal. Jari kakinya merapat saat udara di sekitarnya semakin
menipis saja. Ia membuang napasnya dengan pelan, mencoba bernapas normal
sebisa mungkin.
Sebuah kabut hitam berada di atas kepala Prilly. Kabut itu terus bertambah dan
memanjang ke atas. Prilly menunduk. Ia memejamkan matanya rapat-rapat sambil
menekan dada kirinya, berharap dapat menekan rasa sesak yang membuatnya mati
rasa.
“Selama ini, aku memang berkerja sama dengan mereka,” Sesil kembali bersuara,
membuat Prilly menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Saat malaikat maut
menjemputku, pintu dunia lain akan terbuka. Saat itulah, aku dapat menyusup masuk
dan mencoba membuka dunia limbo. Dan ini caranya. Dengan menggunakan kamu
sebagai tumbal.”
Tubuh Prilly ambruk. Ia tidak dapat lagi menopang tubuhnya. Terasa lemas, dan
semakin sesak saja jantungnya. Prilly menelan ludah. Matanya lalu terbuka, menatap
Sesil yang terus saja menyapu udara dengan tangannya. Sahabatnya. Yang saat ini,
menunbalkan Prilly. Ya, sahabat yang menumbalkan sahabatnya. Begitu miris. Apa
selama ini, hanya Prilly yang menganggap bahwa mereka bersahabat?
Apa canda tawa mereka selama ini, adalah kebohongan?
Apa setiap tangis dan duka yang menemani, adalah sebuah kepalsuan?
Apa Prilly salah, berharap mempunyai sahabat satu-satunya, walaupun bukan
manusia?
Apa ia terlalu hina, untuk sekali saja mempunyai seseorang yang berarti
untuknya?
Ayah, Ibu, Kakak, dan keluarganya menjauh.
Apa ia hanya harus hidup sendirian?
“PRILLY!! JAGA KESADARAN LO!!”
Mata Prilly terbelalak. Ia menatap Ali yang kini melayang di udara dengan
tangannya yang mengepal. Tatapannya terarah lurus pada Prilly. Walaupun samar,
Prilly dapat melihat rahang Ali yang mengeras.
“APAPUN YANG TERJADI, GUE GAK BAKAL NINGGALIN LO!”
Teriakan itu membuat tubuh Prilly membeku. Matanya kini terarah lurus pada Ali
yang kembali membanting satu persatu hantu pada cahaya. Dan Prilly baru sadar jika
jumlah hantu tersebut sudah berkurang banyak.
Air mata Prilly turun. Ia menangis disana, menyadari jika kali ini ia tak lagi
sendirian.
Ali bersamanya.
Ali disisinya.
Ali takkan meninggalkannya.
Prilly menangis kencang. Terisak disana, tanpa peduli dengan jantungnya yang
kian melemah. Hatinya terlalu diselimuti rasa sesak kebahagiaan.
Masih ada yang peduli pada Prilly. Satu orang sudah sangat cukup bagi Prilly.
Kepala Prilly pening. Matanya terasa memberat, membuat Prilly harus menutup
matanya.
Asap hitam itu semakin membanyak, dan tak ada satupun oksigen yang mengisi
paru-parunya.
Prilly sudah pasrah. Jika saja ia mati disini, yang ia harapkan hanya satu.
Ali berada disaat terakhirnya.
Saat Prilly sudah merasa kesadarannya kian menipis, udara di sekitarnya menjadi
dingin. Matanya Prilly mengerjap. Ia terbatuk saat udara di sekitarnya berlomba
masuk mengisi paru-parunya. Prilly terduduk, lalu meraup oksigen sebanyaknya.
Matanya lalu melirik sekitaran, dan menyadari jika cahaya-cahaya itu sudah tidak
ada.
“Aku tau, kamu akan berguna.”
Suara itu membuat Prilly mengalihkan pandangannya. Ia dapat melihat Sesil
yang terbaring di tanah dengan Ali yang berdiri dengan kepala tertunduk dalam.
Pandangan Prilly turun, dan menemukan tangan terkepal Ali bergetar hebat.
“Kenapa?” tanya Ali dengan nada lirih. “KENAPA LO TEGA-TEGANYA NGORBANIN
PRILLY?!”
“Aku tidak tega,” jawab Sesil pelan. Dari jauh, Prilly dapat melihat sudut bibir
Sesil berkedut. “Makanya, aku memberimu hadiah itu.”
Ali mengangkat wajahnya dengan cepat. Matanya melotot ke arah Sesil, seolah
tidak percaya dengan apa yang Sesil katakan barusan.
Prilly merangkak pelan ke arah keduanya. Namun, tenaganya seolah masih
terkuras habis. Ia masih gemetaran dan tak dapat menghampiri Ali dan Sesil.
Akhirnya, Prilly menghela napas panjang, dan menatap kedua orang yang masih
bertatapan itu. “Ali ...,” panggil Prilly, lalu terbatuk kencang. Ternyata,
tenggorokannya masih lemah untuk diajak beraktifitas.
“Prilly,” Ali balik memanggil. Ia melayang cepat ke arah Prilly, lalu berlutut di
hadapan Prilly. Tangan Ali lalu terulur untuk menyentuh pipi Prilly. “Lo gak papa?”
Sakit. Prilly sakit. Sebuah senyum kecil yang mampir di bibir Prilly, menghilang
dengan cepat saat air matanya turun mengenai kedua tangan Ali yang berada di
pipinya. “Gue takut, Li. Gue takut.”
Ali menghapus air mata Prilly dengan jarinya, lalu membawa kepala Prilly ke
dadanya. Mendekap Prilly dengan erat.
Prilly terkejut selama sedetik. Kaget karena Ali dapat merasakan tubuhnya
sehingga dapat memeluk tubuh Prilly. Prilly mengabaikannya. Ia mendekap
erat-erat tubuh Ali, dan menenggelamkan kepalanya disana. Menangis
sekencang-kencangnya. Dadanya masihlah sesak. Bukan karena udaranya yang
menipis. Namun karena untuk ke sekian kalinya, Prilly merasa terbuang.
Memangnya, manusia sekuat apa, sih? Manusia itu lemah! Buktinya, saat
seorang sahabat mengkhianati, yang dapat dilakukan hanya menangis.
Prilly sakit. Teramat sakit hingga membuatnya menginginkan mati saja.
“Nangis aja. Jadiin gue sandaran lo.” ucap Ali di atas kepalanya.
Prilly makin menangis. Ia memejamkan matanya erat-erat. Dan mencoba
mencengkram tubuh Ali. Eh? Tubuh Prilly tersentak. Ia mencoba menjauhkan
tubuhnya dari Ali. Mata Prilly terbelalak saat menyadari dirinya hanya duduk
sendirian di tempat yang sama. “Ali?” tanyanya dengan tercekat.
“Prill? Lo kenapa?”
Suara Ali terdengar. Prilly menyapukan pandangannya, mencari-cari wujud Ali,
namun nihil. Hanya ruang kosong nan gelap yang dapat Prilly lihat. “ALI!! LO
DIMANA?!” teriaknya. Prilly mulai resah. Ia berdiri, namun kembali terduduk saat
kakinya tak kuat menopang tubuhnya.
“Prilly ..., lo kenapa?”
Prilly menatap langit-langit ruangan. Mencoba mencari asal suara tersebut. "Ali!
Gue gak bisa liat lo!” serunya, lalu menangis kencang sambil menatap sekitar
ruangan.
“Prill ..., gue ngerasa aneh. Tubuh gue—Prill! Tubuh gue!”
“ALI!!” Prilly mencoba berdiri. Ia berlari keluar saat merasa suara Ali kian
menjauh.
“PRILL!!”
“ALI!!” teriak Prilly sekuat tenaga, lalu kembali terisak kencang. Prilly terduduk.
Kakinya kembali melemah, dan tubuhnya terasa sangat lelah. Kepala Prilly
mendongak menatap langit dengan air mata yang terus melewati pipinya. Prilly
menunduk, lalu kembali mengangkat kepalanya. "AAAHHHHH!!!!"
Itulah hal terakhir yang Prilly lakukan. Berteriak membuang sepercik rasa
sakitnya, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang dan tubuhnya ambruk di
tanah yang dingin.
Tigabelas; Kembali dan Rasa Takut

Suara pintu di buka, lalu dentuman pintu tertutup terdengar saat Nick memasuki
ruangan dimana adiknya di rawat saat ini. Matanya beredar memperhatikan sekitar.
Suasananya masih sama. Dengan sang Ayah yang menggenggam tangan Prilly yang
terbebas infus, lalu sang Mama yang memijat kaki Prilly, sesekali mengusap bahu
suaminya dengan prihatin.
Semenjak berita ditemukannya Prilly oleh seorang polisi membuat mereka
langsung menuju rumah sakit dimana Prilly dilarikan. Seorang perempuan
menemukan Prilly tergeletak di tanah. Dan kebetulan, orang itu adalah seorang
perawat yang akan pergi di shift malam. Pihak rumah sakit memberitahu polisi, dan
polisi mengabari keluarganya.
Dua hari Prilly tidak sadarkan diri. Dan 2 hari juga kekhawatiran menyelimuti
mereka. Siapa yang tidak khawatir akan hal ini? Dalam kurun waktu sehari, Prilly
mengalami dehidrasi, hipotermia, dan kekurangan oksigen dalam tubuh. Hal itu
mengharuskan perawatan intensif selama beberapa jam karena tubuh Prilly yang
sangat lemah.
Prilly berhasil di tolong, namun belum juga bangun dari tidur panjangnya.
Semua yang ada diruangan ini dirundung rasa bersalah. Apalagi Ayahnya.
Terakhir kali mereka bertemu, ingatan yang di berikan sang ayah adalah memukuli
Prilly. Maka dari itu, saat pagi Prilly belum bangun, Ayahnya berkata, “Ini salah Ayah,
ya? Ayah jahat, ya? Makanya kamu gak mau bangun. Takut lihat ayah? Iya? Pegen ya,
ayah gak ada disisi kamu?” lalu saat malamnya, kalimat yang diungkapkan ayahnya
berganti menjadi; “Maafkan ayah. Ayah gak akan pukul kamu lagi, sayang. Bangun,
ya? Ayah janji, waktu kamu bangun, kita bakal sama-sama lagi. Hm? Itu kan yang
selalu kamu pengen? Bangun ya ...?”
Bukan hanya ayahnya yang selalu bermonolog sambil menatap Prilly. Nick pun
sama. Saat berdiri di samping Prilly, Nick selalu bergumam, ”Kakak yang salah, ya,
Dek? Kakak sadar, sekarang. Seharusnya, kakak lindungi kamu, bukannya
mengharapkan kamu jadi seseorang yang selalu kakak kangenin. Sekarang kamu
tidur disini. Dan kakak sadar, kakak kangen adik kakak, yaitu kamu.”
Sedangkan Ibunya lebih sering menatap dalam wajah pulas Prilly, lalu mengusap
rambut Prilly sambil menangis. Tidak ada kata yang keluar—atau mungkin, terlalu
banyak kata yang harus dikeluarkan. Dan Ibunya hanya dapat mengeluarkan sebuah
tangisan pedih dan menyayat hati.
Nick mendengus. Ia melangkah, lalu menyimpan sebuah kantung kresek yang
sedari tadi berada di genggmannya. Nick menatap Prilly sejenak, lalu menatap Ayah
dan Ibunya bergantian. “Nick tadi beli Nasi Padang di depan. Dari pagi kalian gak
makan.”
Ayah dan Ibunya kompak menoleh, lalu mengangguk.
“Bentar lagi Ayah makan,” jawab Ayahnya, lalu menatap kesamping, pada istrinya.
“Kamu makan dulu, sana. Ntar kamu sakit.”
Ibunya menggeleng cepat, menolak tanpa kata-kata. “Nanti aja. Bareng kamu.”
Ayahnya mendengus, lalu menatap pada Nick. “Kamu ambilin sendoknya, ya,
Nick. Kita makan bareng.”
Nick mengangguk. Ia lalu menunduk, menatap pada adiknya yang masih
berbaring. Dalam hati, ia bergumam pada adiknya. Memberi informasi bahwa kedua
orangtuanya masih se-romantis dulu. Masih se-romantis saat mereka masih tertawa
bersama di meja makan.
Tangan Nick lalu terulur. Ia mencoba meraih jari Prilly yang mana di punggung
tangannya tertancap jarum infus. Namun, baru saja tangan Nick akan sampai kesana,
sebuah gerakan muncul pada jari telunjuk Prilly, membuat Nick mengurungkan
niatnya. Mata Nick membelalak tidak percaya. Ia lalu mengalihkan tatapannya,
menatap pada kedua mata Prillly yang bergerak-gerak. “Prilly ...” panggilnya tidak
percaya, dan mata itu terbuka sempurna, lalu mengerjap pelan. Nick tersentak. “Ayah!
Bunda! Prilly bangun!”
Dua orang itu berdiri cepat dengan terkejut. Mereka berteriak histeris,
menyerukan syukur setelah melihat apa yang dilihat oleh Nick. Tangis membuncah.
Keduanya buru-buru menatap Prilly yang balas menatap keduanya.
“A-yah, Bun-da,” Prilly berusaha mengeluarkan suaranya. Terlihat bersusah payah,
dan harus menelan ludahnya berkali-kali. Matanya bergulir memperhatikan tiga
orang disana. Dan perlahan, air menggenang di kedua kelopak matanya.
“Kamu jangan ngomong dulu ya, sayang,” Ayah berujar lembut, lalu mengusap
pelan rambut Prilly. Tangannya terangkat, menekan tombol merah yang berada di
tembok.
“Prilly di mana?” Kali ini Prilly bertanya, dengan nada suara serak namun tidak
terlihat kesusahan seperti barusan.
“Kamu di rumah sakit, sayang,” Bunda kini berujar. Mengusap lengan Prilly
sambil menampilkan senyumnya yang terlihat bahagia. Air mata tak berhenti
mengaliri kedua pipinya. “Kamu koma selama Dua hari.”
Prilly diam sejenak. Ia lalu kembali menatap satu persatu orang disana, dan air
matanya kembali menggenang. “Kalian disini. Kita lengkap, dan Prilly seneng,”
ucapnya, yang membuat ekspresi orang-orang disana menjadi tegang. Air mata Prilly
akhirnya tidak tertahankan, dan turun dari sudut maanya. “Apa Prilly harus sakit dulu,
ya? Prilly harus, ya, koma dulu biar kita bareng lagi? Prilly pengen kita gini terus. Apa
Prilly harus koma selamanya? Prilly yang koma gak nyusahin, kan?”
“Prilly ...,” Ayahnya memanggil. Air matanya mengalir selagi tangannya terus
mengusap rambut puterinya.
“Kamu ini ngomong apa, sayang?” Bundanya menangis terisak. Kencang dan tak
terkendali.
“Prilly minta maaf,” ucap Prilly sambil terus menangis. “Prilly bandel terus, nggak
mau dengar omongan orangtua.”
Nick menggigit bibirnya, lalu membuang muka. Ia tersenyum, sedangkan kedua
matanya mengeluarkan air mata. Buru-buru, ia mengusap kasar pipinya saat seorang
dokter dan satu perawat memasuki ruangan tersebut. Nick menunduk dalam, lalu
keluar dari ruangan sana. Senyum kembali terbit menghiasi wajah Nick, dan air
matanya lagi-lagi mengalir.
Perasaan bahagia membuncah di hatinya. Nick yakin, keluarganya akan kembali
seperti dulu lagi.
***

Prilly keluar dari ruangannya sambil menutup pintu ruang rawat dengan
tangannya yang tidak memegang tiang infus. Baru saja ia akan berbalik untuk
berbelok ke arah koridor, Nick datang dengan gelas plastik di genggamannya. Saat
melihat Prilly, Nick menghentikan langkahnya tanpa mengalihkan tatapan menilai
dari Prilly.
“Mau kemana lo?” tanya Nick dengan kedua alis yang mengerut.
Prilly menggigit bibir bawahnya sambil melirik segala arah. Gugup. Itu yang Prilly
alami. Bagaimana ini? Bagaimana cara Prilly mengatakan bahwa ia ingin menengok
Ali?
Prilly benar-benar khawatir.
Terakhir ia melihat Ali, adalah benar-benar yang terakhir. Entah bagaimana
keadaan lelaki itu, Prilly tidak tahu. Dan Prilly benar-benar penasaran. Apakah Ali
masih ada?
Atau sudah tiada?
Sesaat setelah Prilly sadar, Prilly melihat seragam dokter yang memeriksanya,
dan langsung teringat pada Ali yang ternyata dirawat di rumah sakit yang sama
seperti Prilly.
“Hey, lo kok bengong?” Nick kembali bertanya. Tangannya bergerak pelan di
depan wajah Prilly, membuat Prilly mengedip beberapa kali karena tersadar.
“Gu-gue ...,” jeda, Prilly berdeham sekali. “Temen gue dirawat disini juga. Gue
mau nengok.”
Nick mengangguk pelan. “Mau gue anter?”
“Gak usah!” tolak Prilly cepat—terlalu cepat, malah. Menyadarinya, Prilly
menelan ludah saat Nick menatapnya dengan tatapan curiga. “Mak-maksud gue, gue
takut ngerepotin lo. Hehe,” koreksinya gugup, lalu nyengir canggung.
Nick mengangkat sebelah alisnya tanpa menurunkan tatapan curiganya. “Gue
gak repot, kok. Gue anter lo.”
Prilly menelan ludahnya dengan susah payah. Sial. Jika saja Ali benar-benar Prilly
anggap teman, pasti Prilly tidak akan segugup tadi. Namun, mengetahui hubungan
mereka tidak bisa Prilly deskripsikan dengan kata teman, Prilly benar-benar tak bisa
menahan rasa gugupnya. Memikirkannya, membuat Prilly menghela napas panjang.
Ia mengangguk untuk menyetujui perkataan Nick.
Akhirnya, Prilly pergi ke ruang rawat Ali dengan Prilly yang membawa tiang infus
dan Nick yang berjalan di samping Prilly. Tidak ada obrolan yang berarti selama awal
perjalanan. Namun, saat di tengah-tengah perjalanan, Nick mengatakan hal yang
membuat langkah Prilly terhenti.
“Gue minta maaf. Selama ini, gue selalu nganggap lo orang lain.”
Prilly menoleh. Ia terdiam menatap Nick yang kepalanya agak menunduk.
“Gue ngaku, gue salah. Setelah lo kerasukan waktu itu ...,” jeda, Nick menghela
napas panjang, lalu menunduk dalam. “Gue selalu ngeliat cinta pertama gue dalam
diri lo. Yang ternyata, cinta juga sama gue,” lanjutnya sambil tertawa kecil. “Gue baru
nganggap lo adik lagi, setelah gue kehilangan kepribadian lo selama dua hari ini. Ya,
gue sadar. Lo adalah lo. Dan dia adalah dia. Gue minta—”
“Lo mau mati, ya?" tanya Prilly, memotong omongan kakaknya.
Nick mengangkat wajahnya yang berkerut heran. “Hah?”
“Lo dari tadi minta maaf mulu. Emangnya ini lebaran? Atau lo lagi sekarat dan ini
kata-kata terakhir?”
Alis Nick bertaut dalam. Namun, beberapa detik kemudian bibirnya tertarik ke
atas, membentuk sebuah senyuman lebar. “Apaan, sih, dek? Lo jayus banget, gila,"
ejeknya, lalu tertawa kecil.
Prilly ikut tertawa kecil mendengarnya. “Ya anjir, gue kan jadi canggung
dengernya. Gak usah ngomong gitu, deh. Aneh, tau gak?”
Nick tertawa kecil. Mereka lalu kembali melanjutkan perjalanannya sambil
sesekali membicarakan hal-hal random dan saling bertanya kabar. Dan sesekali,
mereka tertawa karena umpatan atau lelucon yang Nick buat dengan bahasa
Thailand, sehingga membuat Prilly sebal karena tidak mengerti apa yang Nick
katakan.
Sampai di ruangan yang Prilly tuju, ia menghentikan langkah dan menelan
ludahnya dengan pelan. Mata Prilly menatap Nick dengan was-was. “Apa dia masih
disini, ya?”
Nick mengangkat sebelah alisnya dengan heran. “Dia siapa?”
Prilly menggeleng, mengenyahkan pikiran negatif yang menghantui pikirannya
sekejap. Ali tidak boleh mati. Ali tidak mungkin mati. Ali tidak akan mati secepat itu.
Prilly mensugesti pada hatinya, namun, mata Prilly yang mulai berkaca-kaca tidak
bisa berbohong.
Prilly sangat khawatir. Prilly benar-benar khawatir.
Apa Ali masih ada?
Prilly tidak pernah mendengar kabar apapun. Ponselnya dirumah, dan Prilly
benar-benar takut apa yang ada di pikirannya benar terjadi.
“Lo sebenernya kenapa, Prill?" Nick bertanya sambil menatap Prilly cemas,
menyadari adiknya kini terlihat sangat sedih. “Bilang sama gue, siapa yang ada di
dalam sana?”
Napas Prilly tidak beraturan. Ia mendongak, menatap dengan matanya yang
sudah siap menumpahkan air bening. “Gimana ini, Kak? Orang di dalam sana, antara
mau gue temui dan paling takut buat gue liat. Orang di dalam sana, mungkin
berharga banget buat gue,” ungkapnya. Dan Prilly tidak dapat menahannya lebih
lama lagi. Ia tersedak tangisnya yang tumpah. Kepala Prilly menunduk, sedangkan
tangannya sibuk mengusap pipinya yang lembab tanpa henti.
Nick menghela napas panjang. Tangannya lalu terulur, mengusap pelan kepala
Prilly. “Lo jangan nangis. Kita ke dalem, ya?”
Prilly menggeleng cepat. “Takut ...”
“Apa yang lo takuti?”
“Arwah dia!” Prilly berseru. Ia kembali mendongak, memperlihatkan wajahnya
yang sudah terlihat kacau karena tangisnya. “Gue takut yang gue liat adalah hantu!
Gue takut bukan raganya yang menatap gue, tapi arwahnya! Itu yang gue takutin, Kak!
Arwah yang paling menyeramkan itu yang gue takutin!”
“Tapi lo gak akan dapat kepastian kalo nangis doang disini!” Nick ikut berseru. Ia
menguncang bahu Prilly dengan pelan. “Teguhin hati lo dan terima apapun yang lo
lihat di dalam sana, dan apa yang melihat lo nantinya! Jangan jadi pengecut! Lo tau
gimana beraninya lo itu! Lo tau betapa kuatnya lo! Lo bisa, Prilly! Lo harus bisa!”
Prilly menangis keras. Ia menggelengkan kepalanya dengan mantap. “Gak mau.”
“Ada gue, Prill. Kalo lo jatuh, gue bisa jadi penopang lo. Percaya sama gue. Ya?”
Nick membalas dengan suara lembutnya. Ia mengusap bahu Prilly dengan jari-jarinya,
membuat Prilly tertegun.
Berbagai pikiran menghampiri Prilly. Ia bertanya-tanya, bagaimana skenario yang
ia dapatkan setelah melihat apa yang ada di dalam sana. Dan gelengan kepala Prilly
yang tegas membuat Nick berdecak. “Kita balik aja. Gue gak bisa!”
“Enggak! Lo aja yang balik. Gue penasaran sama orangnya.”
Prilly melotot. “Apaan, sih! Jangan, dong!”
“Ya terserah gue. Lo aja yang pergi, gih,” ucap Nick dengan cuek sambil
menghampiri pintu ruangan tersebut.
“Eh! Kok gitu?” Prilly berujar sambil merentangkan tangannya di depan pintu,
melarang Nick untuk masuk. “Jangan, dong! Tolong ngertiin gue.”
Nick menggeleng. “Gue gak ngerti. Dan gak mau ngerti.”
“Nick! Berhenti egois!”
“Berhenti jadi pengecut!”
“Lo gak akan ngerti!”
“Lo yang lari dari masalah! Kenapa harus gue mengerti?”
“Plis, kali ini aja, biarin gue untuk jadi pengecut!”
“Gak ada! Lo bukan Prilly kalo lo pengecut.”
Prilly menahan napas mendengar kalimat terakhir dari Nick. “Pergi, gue mohon!”
“Lo aja yang pergi, gue gak mau!” tolak Nick mantap, lalu berjalan mendekat ke
pintu dan mencoba membuka knop pintu tersebut.
“Jangan!”
“Minggir!”
“Biar gue aja!” seru Prilly, dan Nick berhenti. Kakaknya itu mundur selangkah,
seolah mempersilahkan. Prilly menghela napas panjang setelah sebelumnya
memelototi Nick. Sambil menelan ludah, tangan Prilly terulur untuk menggenggam
knop pintu tersebut. Prilly menghela napasnya berulang kali, lalu membuka pintu
tersebut perlahan.
Pertama yang Prilly lihat adalah Mama Ali yang tadinya duduk, lalu tersentak
bangun dan menatap Prilly dengan wajah berbinar. Prilly menahan napas. Melihat
wajah berbinar itu, sedikit beban Prilly terangkat. Prilly lalu melebarkan pintunya,
dan dua sahabat Ali yang kini Prilly lihat, membalas tatapan Prilly dengan raut heran.
Prilly hanya membalas dengan memaksakan senyum.
Pintu tersebut lalu dibuka Prilly makin lebar, dan wajah Ali yang miring ke arah
jendela membuat Prilly menahan napas. Ali hidup. Namun tidak menatapnya,
melainkan menatap jendela dengan tatapan merenung dan melamun.
Jantung Prilly berdebar cepat. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. “A—”
”Eh, cewek galak, kok lo disini lagi?”
Sialan. Sahabat Ali yang bernama Tian itu minta mati. Prilly jadi tidak mood
untuk memanggil nama Ali dengan lembut. Akhirnya, Prilly menatap garang pada
Tian. “Mau minta tolong buat bawa monyet ke kandangnya lagi.”
Tian melotot mendengarnya. “Kok kesini? Lo harusnya ke kebun binatang!”
“Karna, elo monyetnya!” seru Prilly sebal. “Ngeselin!”
“Elo yang ngeselin! Kenapa baru datang?!”
Pekikan itu membuat Prilly mengalihkan tatapannya pada Ali yang barusan
mengeluarkan suara. Prilly menahan napasnya. Jantungnya kembali berdebar dengan
kencang. Ia membeku disana, diam mematung tanpa menjawab pertanyaan Ali.
Ali menatap Prilly dengan alis yang bertaut. Bukan karena marah, namun tersirat
beribu kalimat khawatir yang tidak dapat di ungkapkan. “Kesini!” suruhnya, yang
membuat Prilly tersentak dan mengikuti perkataan Ali.
Prilly mendekat sambil membawa infusan di tangannya.
Dan tatapan Ali berubah menjadi sendu saat melihat infusan tersebut. Tangan Ali
terulur, menggenggam tangan Prilly yang lain dan menusapnya pelan. Ali mendesah
panjang, lalu menarik Prilly untuk mendekat, dan menyimpan kepalanya tepat di
perut Prilly. “Begini sebentar, baru gue bisa tenang.”
TENANG PANTATMU! Batin Prilly berteriak. Bagaimana bisa tenang? Disaat
orang-orang yang ada disana menatap kaget pada mereka berdua, dan disaat jantung
Prilly berdegup begitu kencangnya.
Ali pasti bisa mendengarnya!
Empatbelas; Ali, Surat Sesil, dan Cinta Pertama Ali

Ruangan itu masih hening. Tidak ada yang berani berbuat apapun saat beberapa lalu
Ali yang sedari tadi murung di ranjangnya, kini sedang bermanjaan dengan Prilly yang
ia peluk dengan erat. Ali dapat menebak apa yang mereka pikirkan.
“Oh, ternyata ini yang membuat Ali murung sedari tadi,” atau, “Oh, ternyata Ali
nunggu Prilly dateng.”
Begitu kira-kira yang orang-orang di ruangan ini pikirkan.
Dan memang benar. Ali menunggu Prilly. Setelah kejadian dimana Ali tiba-tiba
merasa terbang cepat seolah tertarik kembali ke dalam tubuhnya, ia terbangun tanpa
Prilly disisinya. Ali sempat berpikir bahwa itu mimpi. Mimpi yang terasa nyata dan
menyenangkan. Dan Ali, menyesal karena telah bangun disaat Prilly berada dalam
pelukannya.
Dua hari. Tepat 2 hari Prilly tidak menjenguknya. Dan Ali benar-benar merasa
frustasi. 2 sahabat Ali mengihibur, dan selalu bertanya, “Lo gak amnesia, kan? Lo
inget gue, kan? Atau, apa lo bukan Ali? Karna Ali sabahat gue bukan pendiem dan
pemurung.”
Ali hanya merindukan Prilly. Ia bahkan sempat berpikir bahwa dirinya sama saja
dengan hantu-hantu yang lain. Setelah tidak ada urusan, Prilly tidak akan peduli lagi
dan menganggap semuanya tidak pernah terjadi. Apalagi, dengan status mereka yang
bahkan bukan teman dekat di sekolah. Malah, Ali dan Prilly bisa dikatakan sebagai
musuh. Ali tadinya akan marah sesaat setelah dia masuk sekolah. Bahkan, Ali
berencana untuk membalas dendam.
Namun, melihat Prilly datang dengan sebuah infusan di tangannya membuat
rasa marah itu berganti menjadi rasa khawatir. Dalam hati, Ali bertanya-tanya. Sejak
kapan Prilly sakit? Apa karena kejadian saat Ali masuk ke raganya?
Lamunan Ali terputus saat ia mendengar sebuah isakan dari atas kepalanya. Ali
menjauhkan tubuh Prilly, lalu mendongak, menatap wajah Prilly yang kini berurai air
mata.
Ali tersenyum geli. “Lo kenapa?” tanyanya sambil menatap lembut pada Prilly.
Prilly sudah sesegukan. Ia memukul kepala Ali dengan gemas, membuat lelaki itu
meringis. “Gue sebel, tau!” seru Prilly, lalu sesegukan. “Gue kira lo udah mati!
Bego!!” Prilly memaki Ali sambil terus menangis dan memukul-mukul bahu Ali tanpa
tenaga.
Ali tertawa kecil, mengetahui bahwa Prilly menangis untuknya. Ali lalu menarik
tangan Prilly, dan mendorong belakang kepala perempuan itu agar keningnya
bersandar di bahu Ali. Perlahan, tangan Ali mengusap lembut rambut Prilly yang
masih bergerak-gerak akibat tangisnya. “Udah, gue ada disini.”
“Lo gak pamit!”
“Lo juga gak ada insiatif.”
“Gue juga gak tau!! Ali nyebelin!!”
Ali terkekeh pelan, lalu menghela napas panjang. Ia tidak membalas ucapan Prilly,
dan hanya menikmati pelukannya pada Prilly. 2 hari tidak bertemu, benar-benar
menyiksa Ali. Entah apa yang Ali rasakan, namun, Prilly seolah kebutuhan baginya.
Bagi senyuman seorang Ali.
“Mohon maaf, nih, yah, bro. Tapi, seorang kakak rasanya agak sebel ngeliat adek
perempuannya di peluk tanpa izin gitu.”
Mendengar kalimat tersebut, Ali melepaskan pelukannya, lalu menatap pada
lelaki yang berdiri di dekat pintu. Mengetahui siapa orangnya, buru-buru Ali menarik
Prilly agar berdiri tepat di sampingnya, lalu menatap sengit pada Nick. “Lo ngapain
disini?!” tanyanya galak.
Nick mengangkat sebelah alisnya, dengan mata yang menatap heran pada Ali.
“Loh? Gue kakaknya, nih. Serius respon lo kayak gitu?”
Ali tersenyum sinis. “Gue gak sudi ngerespon baik sama orang yang pengen apa
yang udah jadi milik gue!”
Alis Nick bertaut bingung, namun sedetik kemudian, wajahnya berubah kaget
dan menatap Prilly seolah menuntut penjelasan.
Prilly hanya cengengesan. “Sori. Gak sengaja, kok.”
Nick mendengus sebal. “Sekarang gak lagi. Lo boleh miliki dia, tapi lo harus lulus
dari syarat-syarat yang gue buat.”
“Gak penting!” ucap Ali acuh, lalu membuang wajah dari Nick.
Nick melotot pada Ali. “Awas loh, ya! Lo gak akan bisa ajak adek gue jalan
seenaknya!”
"Gak butuh izin lo!”
"Heh! Lo liatin aja ntar!”
Ali hanya meledek dan terus membuang wajah dari Nick, membuat Prilly
terkekeh. Jengah dengan keadaan ramai, Ali berdecak, lalu menghela napas panjang.
“Kalian semua, boleh keluar dulu? Ali mau ngomong berdua sama Prilly.”
Nick melotot, lalu terlihat ingin kembali mendebat jika saja kedua teman Ali yang
pengertian itu menarik Nick sambil berkata, "Udahlah! Biarin aja mereka berduaan!”
“Ya tapi Prilly—”
"Bacot, lo! Gue cium, mau?" ancam Tian, yang membuat Nick melotot dan
langsung bungkam. Namun, sorot mata Nick masih memperlihatkan ancaman tersirat
di dalamnya.
Ali tertawa melihat ketakutan Nick. Ia lalu melakukan gerakan mengusir dengan
tangannya. Tak lama, kelima orang di sana pergi, dan hanya meninggalkan Ali dan
Prilly berdua.
Ali menggeser duduknya menjadi di ujung ranjang, nyaris mengenai penghalang
brangkar. Ali lalu menepuk ruang kosong ranjang di sisi kanannya. “Sini!”
Prilly menurut dan langsung duduk di ruang kosong ranjang Ali.
Ali tersenyum, lalu memeluk Prilly dan menidurkan mereka berdua di ranjang. Ali
menghirup dalam aroma rambut Prilly, lalu mengusap pelan rambut hingga
punggung Prilly. “Lo kemana aja, sih? Kenapa bisa sakit?”
Prilly mengangkat bahunya sekilas. Ia tidak bisa membalas pelukan Ali karena
infusan di tangannya. “Gak tau. Gue juga gak ngerti gimana cara mereka nemuin gue.
Yang pasti, keadaan gue sakit. Dehidrasi, kekurangan oksigen dan hipotermia—"
"Hipoterm—?" Ali tidak meneruskan ucapannya yang akan mengulangi akhir
kata dari Prilly. Laki-laki itu malah menggeram marah, lalu mengeratkan pelukannya.
"Sialan. Apa yang lo lakuin sampe bisa kayak gitu, Prill ...?”
Prilly menggeleng tidak tahu, lalu menyimpan keningnya di dada Ali. "Gak tau.
Gue pingsan sesaat setelah lo pergi. Gue inget, gue sempet lari keluar buat cari
keberadaan lo.”
Dan hening. Setelah Ali terlihat menegang sejenak, yang di lakukan keduanya
hanya bernapas dan saling menempel, mencari kehangatan di relung hati karena
kerinduan keduanya. Ali benar-benar merasa bodoh. Merasa tidak berdaya. Ali amat
sangat tidak berguna saat menjadi hantu. Dan Ali benci itu. Benci saat Ali tidak bisa
melindungi Prilly. Ali menelan ludahnya saat satu pemikiran bersarang di kepalanya.
Tangannya mendekap tubuh Prilly makin erat, sedangkan matanya terpejam
rapat—ketakutan. "Prill ..., gue gak mau kehilangan lo.”
Prilly hanya diam dan membenarkan letak kepalanya di dada Ali.
Ali menghela napas panjang. "Lo tau? Waktu lo dalam bahaya kayak waktu itu ...,
gue bener-bener frustasi. Awalnya, gue ngerasa gak bisa ngapa-ngapain dan cuma
diam ketakutan. Sampai ..., gue denger suara Sesil di kepala gue.”
"Sesil?" tanya Prilly kaget, lalu mengangkat wajahnya menjadi berhadapan
dengan Ali.
“Sesil ngasih gue hadiah, yang gue baru tau ternyata itu adalah kekuatan
teleportasi,” Ali tersenyum, lalu menyentuhkan hidungnya dengan hidung Prilly. Mata
Ali kembali terpejam rapat. "Gue takut, beneran takut. Gue gak perah ngerasain takut
yang sebesar itu," jeda, Ali membuka matanya, menatap sayu pada Prilly. "Gue takut
kehilangan lo ...," lanjutnya, lalu menghela napas panjang. "Sampai akhirnya, Sesil
teriak di kepala gue. Gue harus punya tujuan. Gue harus bertahan. Dan katanya, dia
percaya sama gue dan karna itu, dia ngasih kekuatannya buat gue. Awalnya, ya gue
mana percaya? Duh, Sesil berkhianat, jadi, gue gak tau harus percaya sama siapa.
Dan akhirnya, tujuan gue muncul. Yaitu ...," jeda, Ali tesenyum. "Melindungi lo.”
Prilly tersenyum tipis. Terlihat sekali bahwa Prilly merasa tidak dapat melakukan
apapun untuk membalas perkatan Ali. Tatapannya dalam, terharu, terpukau, dan
penuh rasa syukur.
Ali menghela napas, lalu memeluk Prilly dengan matanya yang terpejam nyaman.
Tidak bisa dipungkiri, Ali pun merasa malu. Masalahnya, ini yang pertama kalinya.
Perasaan selalu ingin bersama, merindukan sebesar itu, dan merasa ingin melindungi
orang lain bagi Ali adalah yang pertama. Ah, betapa Ali mencintai Prilly. Eh?
"Apa lo bilang?" Prilly bertanya sambil mengangkat kepalanya, membuat Ali
menyadari bahwa ia mengatakan pemikirannya keras-keras. "Lo tadi bilang ..., apa?”
Ali membasahi bibirnya dengan gugup, lalu menelan ludah. Jantungnya
memompa amat kencang, membuat napas Ali agak tersendat karenanya.
"Gu-gue ...," jeda, Ali menghela napas panjang. "Ya," jawabnya pasrah. "Gue jatuh
cinta lagi setelah gue pikir gak bisa jatuh cinta lagi ke orang selain cinta pertama gue.”
Prilly tersenyum manis. Sangat manis, dan Ali amat sangat tidak ingin senyum itu
dimiliki oleh lelaki selain dirinya. "Gue juga.”
Ali menahan senyumnya, membuat ujung bibirnya miring ke kiri. "Apa? Juga
apa?”
Prilly mengulum bibirnya malu-malu, lalu menundukan kepalanya. "Gue cinta lo,
bangsat.”
Ali terkekeh kecil, lalu mengeratkan pelukannya pada Prilly. Lagi-lagi, Ali tak
dapat menahan diri untuk tidak menghirup aroma rambut Prilly kuat-kuat. “You're
officialy mine.”
“Terserah.”
Ali terkekeh mendengar jawaban Prilly yang seolah tidak memiliki jawaban lain.
Bibir Ali mengecup puncak kepala Prilly, lalu turun ke kening Prilly. Terasa hangat
yang berbeda saat bibir Ali menyentuh kening Prilly lama. "Cepet sembuh, Prill. Gue
gak mau lagi liat lo dalam keadaan yang gak gue inginkan.”
"Emang, keadaan yang lo inginkan apaan?”
Ali tersenyum, lalu mengangkat wajah Prilly dengan menempelkan jari telunjuk
di dagu perempuan itu. Ali lalu mengecup hidung Prilly, kemudian tersenyum cerah.
“Lo yang bahagia sama gue. Selamanya,” jawabnya kemudian. Ali dapat melihat rona
merah perlahan menjalari hidung hingga telinga Prilly, membuat Ali mencubit gemas
pipi Prilly. “Ini pipi kenapa bisa merah gini?”
Prilly mencebik kesal, lalu menepis tangan Ali di pipinya. “Nyebelin lo!”
Ali tertawa, lalu mengelus pipi yang masih memerah itu dengan punggung
tangannya. Menghela napas, mata Ali tak berhenti memandangi Prilly yang balik
menatapnya. Menelisik tiap detail wajah Prilly, dan menyimpan wajah itu di
ingatannya. Sungguh, Ali masih ketakutan. Dadanya masih berdenyut ngilu dan
hatinya masih resah. Pandangan Ali perlahan menjadi sayu, dan Ali hanya dapat
melihat Prilly dengan tatapan kosongnya.
"Kenapa?" Prilly bertanya dengan nada lirihnya, mungkin menyadari perubahan
wajah Ali.
Ali menggeleng, menolak untuk memberitahu Prilly. Hal itu sukses membuat
Prilly cemberut dengan wajah ngambeknya. Ali menghela napas panjang melihat
tatapan merajuk Prilly. "Gue takut lo marah kalo tau isi pikiran gue.”
Alis Prilly terangkat sebelah. "Kenapa gue harus marah?”
"Karna lo menganggap kemampuan melihat makhluk halus itu bukan kesialan?"
jawab Ali yang menjurus kepada pertanyaan, dan sukses membuat Prilly terdiam
tanpa ekspesi. Ali mendengus pelan. "Jujur, Prill, setelah kejadian itu, gue
bener-bener takut. Gue ngerasa pengen nikahin lo sekarang juga biar gue khawatir
lagi karna saat gue bangun, yang pertama liat pasti lo.”
"Apasih, Li!" Prilly berdecak, lalu membuang pandangannya dari Ali.
Ali menghela napas dan kembali menangkup wajah Prilly agar menatap padanya.
Namun, Prilly malah menurunkan pandangan dan enggan menatap Ali. “Hey, look me
in the eyes," ucapnya lembut, membuat mata itu akhirnya membalas tatapan Ali. Ali
menghela napas kembali, lalu membasahi bibirnya dengan lidah. "Prill, lo harus sadar.
Gue beneran takut, Prill. Kemampuan lo itu berbahaya. Gue pernah membayangkan,
gimana kalo seandainya gue gak ada di sisi lo waktu kejadian itu. Dan gimana kalo
seandainya, gue bener-bener kehilangan lo disaat lo udah masuk terlalu jauh di
dalam hati gue. Prill ..., gue mohon, amat sangat memohon, untuk lo ilangin
kemampuan itu, Prill. Cara apapun akan gue lakuin. Yang penting, kemampuan sialan
lo itu bener-bener gak ada. Dan bikin ketakutan gue ikut ilang. Plis, Prill ...”
Prilly yang tadinya menatap tanpa ekspesi, kini memandang Ali dengan tatapan
kasihan dan pasrah. Prilly lalu menghela napas panjang. “Li ..., gue juga pernah coba
hilangin ini semua.”
Ali mengedip cepat beberapa kali. "Lo pernah ...?" Ali tidak melanjutkannya saat
mendapat anggukan dari Prilly. Lelaki itu melotot kaget. "Trus ...”
Prilly menghela napas panjang. "Awalnya, bokap bawa ustadz buat nutup mata
batin gue. Tapi, ustadz itu bilang bukan mata gue yang bermasalah, tapi diri gue yang
bermasalah. Entahlah, gue juga gak ngerti banget. Katanya, ada roh kiriman yang
nyasar dan malah ada di diri gue dan bakal bikin hal-hal di sekitar gue gak berjalan
bener. Bokap gak percaya, dan langsung ke dokter buat operasi mata. Tapi tetep,
gue tetep bisa liat hantu di sekitar kita. Umur gue waktu itu masih kecil banget, Li.
Gue masih menginjak SD.”
Ali ikut menghela napas panjang dan perlahan mendengar perkataan Prilly. “Gue
akan cari dukun yang kirim roh itu, Prill ..., gue akan lakuin apapun.”
Prilly menggigit bibir bawahnya dengan kuat, dan terlihat kilatan takut di
matanya. Dan setelah itu, air mata Prilly mengalir melewati pipinya. “Ini sebabnya
gue takut waktu masuk sini, Li. Gue bawa kesialan buat lo. Karna kutukan ini. Lo tau?
Saat lo ketembak Rasya waktu itu, gue bener-bener ngerasa—”
"Sssttt," desis Ali, memotong perkataan Prilly sambil memeluk erat tubuh Prilly.
"Gue gak pernah mikir itu kesialan, Prill. Gue selalu berpikir hal itu yang bikin gue
dapatin lo. Kebahagiaan gue.”
“Tapi—”
“Sssttt," Ali kembali memotong dan mengeratkan pelukannya sambil mengusap
lembut punggung Prilly. "Gue minta maaf. Maaf karna gue bikin lo inget hal itu.”
Prilly tidak menjawab, namun suara napas Prilly yang tidak lagi tersenggal karena
tangisan kini mulai terdengar kembali seperti semula.
“Aw!” Ali berseru kesal saat sebuah benda putih menutupi pandangannya. Ia lalu
mengambil kertas itu, dan berniat membuangnya, saat kertas itu malah melayang
kembali ke wajahnya. Merasakan gerakan di sengaja itu, Ali lalu buru-buru membuka
kertas tersebut. Dan kalimat demi kalimat yang di tulis dengan warna merah itu
membuat mata Ali melotot. “Prill! Prill!" panggilnya, membuat Prilly mengangkat
wajahnya yang basah dan bergumam tidak jelas. “Liat ini.”
Prilly meraih kertas yang Ali ulurkan lalu membacanya. Ali tersenyum, lalu
kembali membaca surat itu.

Prilly menoleh, lalu tersenyum lebar. Dan Ali tidak menyiakan waktu untuk
merasakan senyuman itu dengan bibirnya. Hanya kecupan biasa, Ali lalu kembali
tersenyum.
Ali mendengus geli, dan tidak dapat menahan senyum lebarnya. "Semuanya ...,
berjalan lancar, kan?”
Senyum Prilly melebar. Seolah teringat sesuatu, Prilly mengangkat jari
telunjuknya. "Ah, satu lagi.”
Alis Ali mengerenyit bingung. “Apalagi?”
“Lo masih inget nama cinta petama lo?”
Ali mengangguk mantap. “Gue sempet manggil dia. Dan nanya namanya. Nama
dia Atata. Kenapa lo inget itu? Cemburu?”
Prilly tersenyum miring. “Agatha, bukan Atata, brengsek.”
Alis Ali kembali mengerenyit. Sedetik kemudian, Ali melebarkan matanya,
menatap Prilly dengan kaget. “Maksud lo ...?”
Prilly tersenyum miring. “Yes, I'm your first love. Agatha Prilly, it's me, your
Atata.”
Senyum semringah tercetak sangat lebar di wajah Ali. Laki-laki itu kemudian
memeluk Prilly erat-erat. Ya, Ali memang sangat bahagia hari ini. Semuanya, terasa
amat berjalan benar dan sesuai.

Anda mungkin juga menyukai