Anda di halaman 1dari 7

Chapter 1

Hai, nama aku Felicia Azaleana Richardo. Anak kedua dari Bapak Jeremy Richardo dan Ibu
Azalea Anna. Aku punya satu kakak tapi dia cowo, namanya Justin Bieber. Ga deng, becanda,
namanya Justin Azaleano Richardo. Nama tengah kita dari nama mama, kalo nama belakang?
Ya dari nama papa. Jadi kesimpulannya, orang tua kita males bikin nama. Oiya hari ini aku lagi
kesel sama Aldo, soalnya dia nyolong gelas yang aku taroh di kulkas tadi. Gausa aneh ya,
kenapa gelasnya di taroh di kulkas? Biar kalo di pake, airnya jadi dingin. Soalnya kita ga
dibolehin minum air dingin hehe. Udah dulu yaa:>

Seorang gadis menutup buku diarynya lalu menghela nafas. Diary itu baru saja papanya belikan
tadi malam. Ia beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menyusuri koridor. Ia hendak
memasuki kelas karena waktu yang sudah menunjukan bahwa jam pertama akan segera di
mulai. Selama berjalan ia berbicara, tapi dalam hati. “Seru juga ya nulis diary”. Felicia Azaleana
Richardo, cucu terakhir dari Bapak Richardo itu memang pendiam dan cuek. Dia lebih suka
menyampaikan apa yang ada dalam hatinya lewat tulisan. Hanya pada orang-orang terdekatnya
saja ia bisa sedikit lebih terbuka.

“Feliiii oh my God, Fel tadi gue jajan cilor di depan, lo tau ga sii-” Seorang siswi dengan seragam
yang sama dengannya, datang dengan cilor di tangannya. Siswi itu adalah Gizelle, teman dekat
Feli.
“Nggak” Jawab Feli, singkat padat dan jelas.
“Belom ish, ihhh abang cilor nya ganteng pisann.”
“Parah lo seleranya abang-abang cilor.”
“Biarin wlee.”

Mereka berdua pun berjalan memasuki kelas mereka, yaitu kelas XI MIPA B. Disana sudah
berkumpul beberapa teman dekat Feli yang lainnya. Beberapa orang mungkin heran dengan
keberuntungan mereka yang selalu satu kelas dari dulu. Definisi tak terpisahkan yang
sebenarnya. Disana ada Kiran, Iren, Zara, Farel, Marcello, Angga, dan Aldo. Mereka bersepuluh
sudah berteman sejak SD dan masih berteman sampai sekarang.
"Buset jajan nggak ngajak-ngajak." Kata Marcel pada Gizelle yang sedang asik nyemil cilor.
"Ngapain juga gue ngajakin lo." Jawab Gizelle tanpa mengalihkan pandangannya dari cilor
kesayangannya, karena trauma cilornya di colong lagi.

Ketika yang lain sedang mengobrol dan bercanda bersama, Feli malah sibuk dengan pikirannya
sendiri. Ntah apa yang ia pikirkan dari tadi. Mulai dari A jadi B, mikirin C lagi. Pikirannya campur
aduk sampai ia terkejut saat Kiran menepuk pundaknya. “Mikirin apaan sih?” Pertanyaan Kiran
tak di gubris oleh Feli. “Ada utang lo? Ntar gue bayarinn.” Feli ingin menjelaskan apa yang
sedang mengganggu pikirannya, namun ia bingung bagaimana menyampaikannya. Selain itu, ia
tak mau menambah-nambah beban pikiran orang lain. “Ihhh bebebku ini kenapa sih? Cerita
dungs.” Melihat raut wajah Feli, Kiran mengerti bahwa sahabatnya itu sedang memikirkan
banyak hal. Sudah biasa.
Beberapa saat kemudian guru Fisika yaitu Pak Feris pun masuk, dan hari yang sebenarnya
dimulai.

Bel pulang sekolah adalah surga bagi para murid, dan saat ini tinggal 1 menit lagi. 1 menit
terasa seperti 1 jam. Semua orang saat ini memerhatikan jam dinding yang tinggal bergeser
sedikit lagi menuju jam pulang mereka. Dan 1… 2… 3 “Kringgg! Kringgg! Jam pelajaran telah
berakhir.” Seluruh murid dari seluruh kelas yang ada di SMA Taruna bangsa langsung keluar dari
kelas. Kerumunan ada dimana-mana, membuat Feli ingin cepat-cepat pergi dari sekolah.
“Fel, lo pulang sama Om Firman dulu ya. Gue ada basket ntar sore, alang-alang kalau pulang
sekarang.”
“Oke.”

Farel yang sejak tadi sudah menunggu pun menghampiri Feli. “Ayo bareng.” Ajak Farel yang
langsung menarik tangan Feli lalu berjalan menuju parkiran sekolah. Tanpa perlu berpikir dua
kali, Feli langsung menerima tawaran Farel. Hal itu karena cowok yang sedang menarik
tangannya itu adalah sahabat yang telah bersama dengannya sejak berumur 4 tahun. Orang
yang telah mendengar keluh kesahnya selama 12 tahun. Tentu saja Feli mempercayai Farel.

Cowok dengan jaket kulit yang membalut tubuhnya itu mengambil helm lalu memasangkan di
kepala Feli. Ia memerhatikan wajah polos sahabatnya itu, lalu tersenyum. “Kenapa sih?” Tanya
Feli kesal karena merasa diledeki. “Lo seriusan anak SMA Fel?” Feli membuang muka dengan
wajah kesalnya yang sangat menggemaskan. Farel duduk di motornya dan menyuruh Feli
segera naik. “Pegangan.” Feli berpegangan dan menyandarkan kepalanya pada punggung Farel.

Beberapa kali Farel mengintip pada kaca spion, wajah datar Feli membuatnya merinding. Ia
melihat Feli menghela nafas lalu bersembunyi di balik punggungnya. “Fel, kenapa sih?” Tanya
Farel sambil terus fokus pada jalan raya. “Nggak.” Jawaban Feli sama seperti biasanya. Cowok
dengan jaket kulit itu ikut menghela nafas ketika mendengar jawaban Feli.
“Gue kangen Justin.” Jawab cewek dengan hoodie berwarna biru muda itu.
“Yaudah tinggal video call, hidup lo ribet bener Fel. Apa perlu gue pinjemin handphone gue?”
Ucap Farel mengomeli Feli.
“Oiya bener juga ya.” Feli menjawab dengan polosnya. Setelah mendapat saran yang sangat
berguna dari Farel, Ia kembali menyandarkan kepalanya pada punggung Farel.

Kini motor Farel sudah sampai di depan sebuah rumah yang sangat besar. Dua pilar besar yang
menopang di kiri dan kanan membuat rumah itu terlihat mewah. Pak Sandi selaku satpam di
rumah itu segera membukakan pagar.
“Gue langsung ya.” Ucap Farel ketika Feli sudah turun dari motornya. Cewek dengan rambut
sepinggang itu pun membalas dengan tersenyum tipis. Farel pun pergi meninggalkan rumah
Feli.
“Bapak kira non pulang sama Pak Firman hehe.”
“Loh, Om Firman mana?”
“Tadi sih katanya mau jemput non, Saya kirain udah dikabarin pulangnya sama den Farel.”
“Mampus gue.”

Feli berlari masuk ke dalam rumah dan buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil
Handphone di dalam tasnya dan segera mencari kontak Pak Firman. Jika Aldo tau dia pulang tak
bersama Pak Firman tanpa mengabari, Ia bisa di ceramahi.
“Aduhh, gue ngasi nama kontak Om Firman apa sih.” Feli terus mencari nama Pak Firman pada
kontak di handphonenya, dan akhirnya ia berhasil menemukannya.
“Halo, Om?”
“Halo, non. Non Feli dimana? Om udah nunggu di sekolah dari tadi, kok-” Tanya Pak Firman
pada Feli.
“Aaa Om pulang aja langsung nggak papa. Feli tadi udah pulang sama Farel” Feli menjawab
dengan nafas memburu.
“Oh, oke deh. Om pulang ya.”
“Iya, Om. Bye.”

Feli menghela nafas lega, ia hendak berbalik badan, karena merebahkan tubuhnya pada kasur
kesayangannya. “Pulang sama siapa?” Jantung Feli berdetak sangat cepat, Ia mengurungkan
niatnya yang ingin berbalik badan sebelumnya. Siapa itu? Kenapa Feli merasa merinding?
Cewek itu memberanikan diri untuk berbalik badan, dan benar saja, itu adalah Rivaldo Aleanor
Richardo. Sepupu paling menyebalkan sejagat raya, julukan yang diberikan Feli pada Aldo.
“Emm, sama Farel tadi.”
“Ooh, oke.” Kata Aldo dengan santai, lalu pergi menuju kamarnya. Respon Aldo membuat Feli
heran.
“Eh? Tumben nggak ngomel?” Tanya Feli dengan tatapan serius pada Aldo yang hendak
menutup pintu kamarnya.
“Ngapain juga, Farel kan temen gue.”

Setelah mendengar jawaban dari sang sepupu tercinta, Feli pun kembali ke kamarnya dan
segera merebahkan tubuhnya pada kasur. Ia menatap langit-langit kamarnya, lalu pojok kamar
yang penuh dengan polaroid yang menggantung di dindingnya. Lagi-lagi Ia menghela nafas.
Orang-orang akan berpikir bahwa kehidupan Feli sangat nyaman dan menyenangkan. Rumah
mewah, keluarga terpandang, keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya,
kemampuan akademik yang tinggi, prestasi, dan lainnya. Banyak orang yang berpikir seperti itu.
Tapi sebenarnya kehidupan yang Feli alami selama ini tidak seindah yang orang lain pikirkan.
“Fel, bersih-bersih dulu. Habis itu turun, makan malem.” Ucap Aldo dari balik pintu kamar Feli
yang tertutup rapat. Tanpa membalas ucapan Aldo, Feli langsung melakukan apa yang di suruh
oleh sepupunya itu.

Feli melihat jam analog yang menggantung di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukan
pukul 5 lewat 40 menit. Ia langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Selang 15 menit Feli sudah selesai dengan piyama berwarna biru dengan gambar semangka. Ia
mengeringkan rambutnya dengan hair dryer dan menyisirnya. Dirasanya sudah cukup, ia pun
keluar dari kamar dan turun menuju dapur dimana Aldo sudah menunggunya.

Aldo dan Feli adalah sepupu sekali, dan mereka sangat dekat sejak kecil. Hal itu disebabkan
orang tua Feli maupun Aldo sibuk bekerja sampai-sampai anak mereka harus di urus orang lain,
dan tinggal satu rumah. Aldo yang merupakan anak bungsu sangat menginginkan adik
perempuan, sehingga ia sangat menyayangi Feli layaknya adik kandung.

Cewek dengan piyama berwarna biru itu duduk di sebelah Aldo dengan wajah datar seperti
biasa. Feli meletakkan dagunya di atas tangan yang dilipat di atas meja makan.
“Lo kenapa sih? Kaya gak ada semangat hidup.” Aldo bertanya sambil menatap wajah Feli.
“Lo sadar nggak sih ada yang kurang dan beda di hidup kita sama anak-anak lain?” Bukannya
menjawab, Feli justru bertanya hal lain.
“Apa emangnya?” Tanya Aldo tanpa menjawab pertanyaan Feli.
“Kasih sayang orang tua.” Jawab Feli sambil menoleh pada Aldo, lalu ia kembali melihat ke
depan dengan tatapan kosong.
“Kenapa lo mikirnya gitu?” Tanya Aldo lagi, sambil meniru gaya Feli yang meletakkan dagunya
di atas tangan yang dilipat di atas meja.
“Ya gue iri aja sama orang lain, tiap hari ada orang tuanya di rumah, dimasakin mamanya.”
Jawab Feli menjelaskan apa yang belakangan ini ia pikirkan. Aldo baru menyadari bahwa
sepupunya ini hanya statusnya yang merupakan siswa kelas 2 SMA, tapi sifatnya masih seperti
anak kecil. Pertanyaan itu sudah pernah Feli lontarkan saat mereka masih SD, namun saat itu
Aldo sepemikiran dengan Feli.
“Fel, orang tua kita sayang kok sama kita. Mereka sibuk nyari uang buat biaya hidup kita,
sekolah, sampai mereka lupa ngelakuin yang mereka mau. Kalau mereka nggak sayang, dari
kemarin-kemarin udah di rumah mulu, ngumpul sama temen-temen, nggak kerja. Mereka udah
ngelakuin yang terbaik.” Aldo menjelaskan dengan sabar.

Walaupun mereka seumuran, Aldo tetap menganggap Feli adik yang lebih muda darinya. Jika
dilihat dari tanggal lahir mereka berdua, Aldo memang sedikit lebih tua dari Feli. Namun kata
sedikit itu memang sangat kecil bedanya. Aldo dan Feli hanya beda satu jam, tetapi beda hari.
Rivaldo Aleanor Richardo lahir pada tanggal 21 November 2005 pada pukul 11.00 malam hari,
sedangkan Felicia Azaleana Richardo lahir pada tanggal 22 November 2005 tepat pukul 00.00
saat hari itu baru dimulai. Hal ini membuat beberapa orang bingung, bagaimana bisa mereka
berdua lahir di waktu yang nyaris sama. Padahal lahir dari ibu yang berbeda. Apakah ibu dari
kedua anak ini janjian pada saat membuatnya? Tanya saja pada pabriknya.
“Aldo.” Kata Feli sambil mengunyah makanannya.
“Apa?”
“Kenapa nama tengah kita mirip sih woi?” Pertanyaan itu membuat Aldo tersedak, karena
selama ini Feli tak pernah membicarakan hal itu.
“Hmm, mungkin karena mama kita kembar?” Jawab Aldo membuat Feli menganggukan
kepalanya, ia menganggap hal itu masuk akal. Yups, Feli dan Aldo adalah sepupu sekali dari
pihak Ayah maupun Ibu. Alea dan Azalea adalah nama dari ibunda Aldo dan Feli.

Setelah menyelesaikan makan malam, mereka kembali ke kamar untuk melakukan kesibukan
masing-masing. Feli masuk ke kamar lalu duduk di sebuah sofa yang terletak di dekat jendela
yang mengarah ke balkon kamarnya. Ia meraih handphonenya lalu mencari kontak Justin untuk
segera menelpon kakaknya itu.
“Halo, Fel. Kenapa?”
“Nggak, lagi pengen nelpon aja.”
“Ciee kangen yee. Emang gue ngangenin sih.”
“Ge’er banget lo.”
“Terus lo ngapain nelpon gue? Tumben.”
“Lo kapan pulangnya?”
“Belum tau.”
“Hmm, yaudah deh. Gue mau belajar aja. Bye.”
“Eh eh bentar, bukannya besok lo udah libur semester?”
“Iya.”
“Istirahat dek. Belajar boleh, tapi tetep ingat kesehatan. Okay?”
“Hmm.”
“Yaudah, bye.”

Tanpa mendengarkan nasihat dari sang kakak tercinta, Feli tetap membuka bukunya. Ia mau
mempelajari ulang materi dari mata pelajaran fisika yang belum terlalu ia pahami. Sebenarnya
materi itu sudah lewat, dan pada saat test akhir semester Ia mendapatkan 100 di mata
pelajaran itu. Tetapi karena ia belum benar-benar memahami materinya, maka ia berniat
mempelajarinya lagi.

Feli duduk pada kursi tempat ia belajar yang menghadap sebuah jendela yang cukup besar. Dari
jendela itu, ia bisa melihat bintang yang sangat banyak menghiasi langit malam ini. Terkadang
Feli suka berbicara sendiri saat malam hari, sambil menatap langit. Ia suka berbicara pada
bintang, seakan benda langit itu bisa mendengarkan keluh kesahnya. Walaupun bintang tak
selalu kelihatan, ia tahu bahwa bintang selalu ada disana.
Cewek berambut sepinggang itu mulai membuka halaman demi halaman buku pelajaran fisika
miliknya. Ia mulai mengerjakan beberapa latihan soal untuk meyakinkan dirinya bahwa ia sudah
benar-benar memahami materi tersebut. Waktu terus berjalan, jam digital yang terletak di
meja belajarnya sudah menunjukan pukul 22.15. Namun Feli merasa alang-alang jika berhenti
sekarang, maka ia melanjutkan belajarnya lagi.

Aldo masuk ke kamarnya lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia memijat pelipisnya lalu
mengambil secarik kertas yang berada di atas meja belajarnya. Kertas itu adalah sebuah surat
yang ia dapatkan tadi sore saat pulang dari sekolah. Ia membuka surat itu dan membaca
kalimat demi kalimat yang tertulis pada kertas tersebut. Ia menghela nafas kasar saat
mengetahui isi surat itu. Segera ia menyimpan surat penting itu di tempat yang aman dan tak
akan ditemukan orang lain, yaitu di dalam sebuah kotak mirip brankas yang ia simpan di dalam
lemari pakaian.

Dilihatnya notifikasi yang masuk pada handphonenya.


Gizelle: Jangan biarin Feli sering-sering begadang.

Kemudian ia melihat jam pada pojok kiri atas handphonenya sudah menunjukan pukul 23.30. Ia
keluar dari kamarnya dan melihat ke arah kamar Feli. Kamar sepupunya itu masih terbuka
sedikit. Segera ia menghampiri kamar tersebut. Betapa terkejutnya Aldo saat melihat Feli masih
duduk di kursi belajarnya.

“Tidur lagi, Fel.” Ucapnya lembut. Namun tak ada respon, membuat Aldo bingung dan segera
masuk ke dalam kamar. Ternyata Feli sudah tertidur dengan pulpen di tangannya dan lampu
belajar yang masih menyala. Aldo tak tega untuk membangunkannya. Perlahan ia mengambil
pulpen dan buku milik Feli dan meletakkannya pada tempatnya.

Aldo menarik kursi tempat Feli duduk dengan hati-hati, kemudian ia mengangkat tubuh cewek
itu dan memindahkannya pada tempat tidur. Ia selalu berpikiran negatif ketika melihat wajah
pucat Feli. Aldo pun cepat-cepat memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan cewek itu.
Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Aldo menghela nafas lega ketika
mengetahui bahwa sepupunya itu masih bernyawa. Cowok itu menarik selimut hingga
menutupi leher Feli.

Feli sudah memasuki alam mimpinya, ia tertidur sangat pulas. Aldo pun segera meninggalkan
kamar Feli dan hendak kembali ke kamarnya. Namun ia berhenti ketika melihat secarik kertas
yang terletak di atas nakas di dekat tempat tidur Feli.
Chapter 2
Gizelle: Libur ngapain nich?
Kiran: Berpetualang mencari sugar daddy
Angga: Klo gtu gue mau nyari sugar mommy juga
Irene: Aku sedang merindukan air laut yang asin
Zara: Air di toilet rumah gue asin Kim. Mau?
Irene: Ya Allah Kim cape
Kiran: Yaudah pantai aja shay
Kim: AYOLAH AYOO
Aldo: Kapan?
Gizelle: Gue free kapan aja
Angga: Pake mobil lo ya Aldo sayangku
Irene: Merinding gue anjir
Angga: Lo yang cewe-cewe panggil sayang-sayang bebeb-bebeb boleh, masa kita gaboleh.
Aldo: Stress
Kiran: Anak asuh Marcel
Marcel: Memfitnah itu sarang dosa
Zara: Aldo trauma dikejar bencong di Caffe
Kiran: WUAHAHAHA
Farel: Jadi kapan?
Zara: Yauda gas ntar sore pantaiii
Angga: Azek
Farel: Jamber?
Irene: Gausa make jam segala ntar lo pada ngaret, cape gue
Kiran: Ngaca dong shay

Feli menatap layar ponselnya sambil tersenyum tipis, sesekali ia tertawa akibat candaan teman-
temannya. Ia sangat bersyukur memiliki teman seperti mereka. Ketika sedang asik membaca
chat dari teman-temannya, tiba-tiba Aldo mengetuk pintu kamarnya.
“Fel.” Ucap Aldo sambil mengetuk pintu kamar Feli.
“Masuk.”

Anda mungkin juga menyukai