Anda di halaman 1dari 3

Kisah Cinta Piano Tua

14 Februari 2016
Ting!
Dentingan suara piano yang sempurna! Berakhir harmonis, indah, menyusup ke dalam
hatinya yang selalu dirundung sedih. Sherira membuka pintu ruangan itu perlahan.
Tidak ada siapa-siapa.
Yeah. Bukan apa-apa. Sejujurnya ia sudah sering mendengar ocehan teman-teman dan ibu
panti kalau ruangan itu memang ada apa-apanya. Tapi bagaimanalah, apakah ia harus menuruti
isu itu? Tidak. Hatinya bersikeras tidak mau. Lagipula ia sudah berada di panti asuhan ini sejak masa
dimana seharusnya ia merasakan gendongan ibunya, candaan ayahnya, menggelitikinya saat ia
belum mampu tertawa bahkan mengedipkan mata.
Sherira, apa yang kau lakukan disana?
Suara ibu panti mengejutkannya. Ia menoleh kebelakang. Tergagap. Nngg...
Semoga malam ini ibu tidak lagi terpaksa memberi jatah makanmu ke kucing-kucing liar di
pekarangan.
Baiklah. Sherira patuh. Tujuh belas tahun ia berada di panti ini seharusnya ia mengerti. Ia
adalah apa yang ia punya sekarang. Tidak lebih tidak kurang.
Sherira berjalan pelan menuju ruang makan. Teman-temannya seperti biasa menggosipi
berita artis yang selalu tayang setiap sore di televisi ruang tengah. Ia mengambil tempat duduk agak
ke pojok. Seperti biasanya.
Mau berbagi makanan denganku?
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Oh, si-blasteran rupanya. Sherira tersenyum
sepersekian detik, kemudian menunduk cepat. Bersiap untuk mencari tempat duduk lain.
Eh, tunggu! Frizzy, si-blasteran menahan tangannya. Sherira menghentikan langkahnya. Ia
sering melihat adegan seperti yang dialaminya saat ini di sinetron yang ditonton teman-temannya.
Tokoh wanita dalam sinetron itu langsung merona dan malu-malu. Tapi ia tidak. Berbeda. Ia
memang tidak bisa merasakan apa-apa dalam berbagai hal.
Ikut denganku, yuk! Frizzy berbisik, kemudian menengok ke kanan-kiri. Ia mengangguk
mantap. Lalu menyeret tangan Sherira sambil setengah berlari.
Sherira terpana. Selama tujuh belas tahun hidupnya yang suram, ia tak pernah merasakan
perasaan seperti yang ia rasakan saat ini. Ah, bukan. Ini bukan jatuh cinta seperti yang kau kira. Ini
kurang lebih seperti merasa....kembali?
Kita sudah sampai. Frizzy melempar senyum kearahnya. Sherira balas tersenyum. Ia baru
saja akan mulai bertanya saat Frizzy berbicara.
Kamu tahu tidak kenapa aku membawamu kemari? Tanyanya dengan sorot mata kosong.
Sherira diam. Apakah itu sebuah pertanyaan? Bahkan ia tidak mampu lagi membedakan antara
pertanyaan dan pernyataan. Hidupnya hampa.
Katakan padaku kalau kamu melihat sesuatu, ya. Tambah Frizzy. Sherira menurut dalam
hati. Kemudian Frizzy membuka pintu ruang piano tua itu perlahan-lahan.
Sherira terpana. Sedari tadi ia memang mendengar suara permainan piano. Tapi ia tak
pernah berkesempatan untuk melihat siapa yang memainkannya. Dan kini dilihatnya seseorang
dengan seseorang lainnya sedang duduk disana. Di kursi piano tua. Memainkan sebuah lagu yang
tidak dikenalnya dengan lincah.
Bukan hanya itu yang membuatnya terpana. Seseorang itu.. yang jemarinya sedang menari-
nari diatas tuts piano.. wajahnya sangat mirip dengan Frizzy.. Dan seseorang disebelahnya,
perempuan itu.. wajahnya.. oh, bukankah itu wajahnya? Seseorang itu sangat mirip dengannya..
Sherira menatap Frizzy penuh tanda tanya. Mereka...
Frizzy tersenyum. Senyum yang menyimpan sejuta rahasia. Kamu sudah mengingatnya
sekarang. Tidak ada alasan lagi bagimu untuk melupakannya, Sherira.
Sherira tersenyum tanpa sadar. Manis, sangat manis, hingga membuat Frizzy tak kuasa
melihatnya. Ia meraih tangan Sherira dan membawanya berjalan menuju ujung lorong. Berjalan
berdua. Menuju ruang keabadian.

14 Februari 2014
Ayolah, mainkan aku sebuah lagu saja! Sherira merengek manja sambil menatap piano
dihadapannya. Frizzy terlihat malas-malasan. Oh, bukan. Frizzy kelihatan gugup. Membuat Sherira
semakin gemas.
Kamu kenapa? Kamu sudah memenangkan kontes itu. Dan kamu berjanji untuk memainkan
satu lagu untukku. Kamu tidak lupa, kan?
Frizzy menunduk lagi, lalu menengadahkan kepala dengan cepat sambil tersenyum lebar.
Well, aku akan memainkannya. Tapi dengan satu syarat. Ucap Frizzy dengan logatnya yang
kebarat-baratan. Sherira selalu geli saat penyakit Frizzy yang satu itu kumat. Tapi, yahh. Dia
memang blasteran sih. Meski belum pernah bertemu orangtuanya, logat Britishnya terdengar begitu
kental.
Asal kamu jangan minta yang aneh-aneh saja. Jawab Sherira manyun. Frizzy tersenyum
lebar, lagi. Kamu harus mengatakan apa yang kamu rasakan setelah mendengar permainanku
nanti.
Sherira tertawa kecil. Syarat macam apa itu? Tapi baiklah. Ayo, jangan menunda waktu
lagi.
Frizzy meletakkan kesepuluh jarinya diatas tuts piano. Mulai memainkan lagu kesukaannya.
Sherira menutup mata dan mencoba mencari apa yang dirasakannya.
Ting! Frizzy mengakhiri permainannya dengan sebuah dentingan indah. Sherira membuka
matanya perlahan sambil menghela napas perlahan.Apa kau membuat sendiri lagu ini?
Frizzy tersentak. Lalu mengangguk. Menurutmu bagaimana?
Sherira tersenyum. Boleh aku menebak judulnya? Frizzy semakin terlihat gugup. Tidak
menyangka akan menerima tanggapan seperti ini. Tidak boleh. Ia harus mengatakan judulnya lebih
dulu.
Loving You When The Sunsets Gone
Loving You When The Sunsets Gone
Accomplished! Mereka serentak mengatakan deretan kata-kata yang sama. Sherira sontak
kegirangan. Wah, aku hebat! Aku bisa menebak judul lagumu! Kalau begitu ayo mainkan aku satu
lagu lagi!
Cup! Tanpa kata-kata, Frizzy mengecup pipi Sherira lembut. Tidak lama. Hanya sepersekian
detik. Cukup sudah. Sherira sudah tahu semuanya.
Frizzy...? Sherira menatap Frizzy yang sedang tersenyum manis kearahnya. Tapi bukan itu
yang membuatnya kemudian terdiam dan menatap Frizzy lama. Kenapa kau melihatku seperti itu?
tanya Frizzy heran.
Sherira setengah bergumam. Frizzy.. di belakangmu.. Ada api..
***

Anda mungkin juga menyukai