Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Penyakit akibat kerja merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat.
Upaya pembangunan kesehatan yang meliputi pencegahan, pemeliharaan, pengobatan
dan rehabilitasi juga berlaku terhadap penanggulangan penyakit akibat kerja baik
pada pekerja formal maupun informal. Penyakit akibat kerja disebabkan oleh
berbagai faktor yaitu fisik, kimia, biologi, ergonomi, dan psikososial. Contoh faktor
fisik adalah akibat tekanan panas yang berlebihan, suhu yang tinggi, kelembaban,
cahaya, benturan. Contoh faktor kimia yaitu penggunaan bahan-bahan kimia atau
paparan bahan kimia di atas ambang batas seperti natrium, aluminium dan
penggunaan bahan-bahan kimia lainnya. Contoh faktor biologis adalah parasit,
paparan jamur dan lain sebagainya. Contoh faktor ergonomi yaitu angkat angkut
berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak repetitif, penerangan, visual
display terminal (VDT), dan lain-lain. Contoh faktor psikososial adalah beban kerja
kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja monoton, hubungan interpersonal,
kerja shift, lokasi kerja, dan lain-lain.1
Produktivitas pekerja yang menurun disebabkan oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang menyebabkannya adalah adanya penyakit akibat kerja. Data dari
World Health Organization (WHO) menemukan bahwa kasus penyakit akibat kerja
yang paling banyak adalah penyakit muskuloskeletal (48%), penyakit paru obstruksi
kronis (11%), gangguan kesehatan mental (10%), tuli akibat bising (9%) dan
keracunan pestisida (3%). Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang
cukup luas yaitu perlindungan keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja
serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Tenaga kerja
harus memperoleh perlindungan dari berbagai soal di sekitarnya yang dapat menimpa
dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya.2 Upaya mencegah
timbulnya penyakit khususnya pada tenaga kerja, dapat dilakukan dengan berbagai

1
cara pengendalian yaitu pengendalian secara teknik, administrasi dan pemakaian alat
pelindung diri. Pemakaian alat pelindung diri merupakan syarat terakhir guna
menanggulangi bahaya yang terjadi di tempat kerja. Macam alat pelindung diri di
antaranya alat pelindung kepala, pelindung tangan, pelindung kaki, tali, dan sabuk
pengaman. Pelindung hidung dan mulut (masker) merupakan alat pelindung
pernapasan dari penghisapan (inhalasi) debu, gas, uap, kabut, asap, sehingga masker
ini sangat diperlukan oleh tenaga kerja.2
Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat bekerja pada kondisi yang
tidak nyaman dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut International
Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan
oleh penyakit atau yang disebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi
dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja di
mana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap
tahunnya.2
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya perlindungan
kepada tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja terhadap bahaya dari
akibat kecelakaan kerja. Tujuan K3 adalah mencegah, mengurangi bahkan
menghilangkan risiko penyakit dan kecelakaan akibat kerja (KAK) serta
meningkatkan derajat kesehatan para tenaga medis sehingga produktivitas kerja
meningkat.3
Dalam rangka identifikasi masalah atau bahaya potensial, maka dilakukan
Heath Risk And Assesment yaitu suatu survey pada tempat kerja dengan cara
observasi dan pengumpulan data perusahaan atau tempat kerja yang berhubungan
dengan resiko, potensial bahaya serta solusi dari dampak yang ditimbulkannya, yang
pada kesempatan ini dilakukan di PT. Glory Industrial Seamarang, yang merupakan
suatu perusahaan garmen.
Bahaya potensial yang dapat menjadi perhatian adalah berbagai jenis bahaya
potensial seperti bahaya fisik, biologis, kimia, psikis dan mekanik, serta sumbangan

2
bahaya potensial dari bidang ergonomi seperti posisi tubuh pekerja saat bekerja dan
sebagainya.4

1.2 Tujuan Penelitian


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi faktor-faktor risiko yang
berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja atau
perusahaan.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mampu mengidentifikasi dan menganalisa bahaya potensial di suatu
perusahaan atau tempat kerja
b. Mampu mengidentifikasi dan menganalisa risiko kesehatan atau
keselamatan yang dapat ditimbulkan oleh bahaya potensial di suatu
perusahaan atau tempat kerja
c. Mampu mengidentifikasi dan menganalisa faktor risiko ergonomi di
tempat kerja
d. Mampu mengidentifikasi dan menganalisa risiko kesehatan atau
keselamatan yang dapat ditimbulkan oleh faktor risiko ergonomi di suatu
perusahaan atau tempat kerja
e. Mampu mengidentifikasi dan memberikan masukan terkait langkah-
langkah pengendalian untuk mencegah risiko kesehatan atau keselamatan

3
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapakan dapat menambah wawasan dan pengalaman
mengenai manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
1.3.2 Bagi Perusahaan atau Tempat Kerja
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan untuk
proses evaluasi berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat
kerja atau perusahaan

1.3.3 Bagi Fakultas Kedokteran UNIMUS


Dapat digunakan sebagai kepustakaan yang digunakan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kedokteran okupasi

1.3.4 Bagi Peneliti Selanjutnya


Sebagai acuan dan referensi pada penelitian berikutnya mengenai
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Pada awal perkembangannya, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
mengalami beberapa perubahan konsep. Konsep K3 pertama kali dimulai di Amerika
Tahun 1911 dimana K3 sama sekali tidak memperhatikan keselamatan dan kesehatan
para pekerjanya. Kegagalan terjadi pada saat terdapat pekerjaan yang mengakibatkan
kecelakaan bagi pekerja dan perusahaan. Kecelakaan tersebut dianggap sebagi
nasib yang harus diterima oleh perusahaan dan tenaga kerja. Bahkan, tidak jarang,
tenaga kerja yang menjadi korban tidak mendapat perhatian baik moril maupun
materiil dari perusahaan. Perusahaan berargumen bahwa kecelakaan yang terjadi
karena kesalahan tenaga kerja sendiri untuk menghindari kewajiban membayar
kompensasi kepada tenaga kerja. Pada Tahun 1931, H.W. Heinrich mengeluarkan
suatu konsep yang dikenal dengan Teori Domino. Konsep Domino memberikan
perhatian terhadap kecelakaan yang terjadi. Berdasar Teori Domino, kecelakaan dapat
terjadi karena adanya kekurangan dalam lingkungan kerja dan atau kesalahan tenaga
kerja. Dalam perkembangannya, konsep ini mengenal kondisi tidak aman (unsafe
condition) dan tindakan tidak aman (unsafe act).
Pada awal pengelolaan K3, konsep yang dikembangkan masih bersifat kuratif
terhadap kecelakaan kerja yang terjadi. Bersifat kuratif berarti K3 dilaksanakan
setelah terjadi kecelakaan kerja. Pengelolaan K3 yang seharusnya adalah bersifat
pencegahan (preventif) terhadap adanya kecelakaan. Pengelolaan K3 secara preventif
bermakna bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kegagalan dalam pengelolaan
K3 yang berakibat pada kerugian yang tidak sedikit bagi perusahaan dan tenaga kerja.
Pengelolaan K3 dalam pendekatan modern mulai lebih maju dengan diperhatikannya
dan diikutkannya K3 sebagai bagian dari manajemen perusahaan. Hal ini mulai
disadari dari data bahwa kecelakaan yang terjadi juga mengakibatkan kerugian yang
cukup besar. Dengan memperhatikan banyaknya resiko yang diperoleh perusahaan,

5
maka mulailah diterapkan Manajemen Resiko, sebagai inti dan cikal bakal Sistem
Manajemen K3. Melalui konsep ini sudah mulai menerapkan pola preventif terhadap
kecelakaan yang akan terjadi.
Manajemen Resiko menuntut tidak hanya keterlibatan pihak manajemen tetapi
juga komitmen manajemen dan seluruh pihak terkait termasuk pekerja. Dalam
penerapan K3 di sekolah, maka diperlukan keterlibatan manajemen sekolah, guru,
teknisi, dan siswa. Pada konsep ini, bahaya sebagai sumber kecelakaan harus
teridentifikasi, kemudian perhitungan dan prioritas terhadap resiko dari potensi
bahaya, dan terakhir pengendalian resiko. Peran manajemen sangat diperlukan
terutama pada tahap pengendalian resiko, karena pengendalian resiko membutuhkan
ketersediaan semua sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan/sekolah dan hanya
pihak manajemen yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Dari perjalanan
pengelolaan K3 diatas semakin menyadarkan akan pentingnya K3 dalam bentuk
manajemen yang sistematis dan mendasarkan agar dapat terintegrasi dengan
manajemen perusahaan yang lain. Integrasi ini diawali dengan kebijakan dari
perusahaan untuk menerapkan suatu Sistem Manajemen K3 untuk mengelola K3.
Sistem Manajemen K3 mempunyai pola Pengendalian Kerugian secara Terintegrasi
(Total Loss Control) yaitu sebuah kebijakan untuk mengindarkan kerugian bagi
perusahaan, property, personel di perusahaan dan lingkungan melalui penerapan
Sistem Manajemen K3 yang mengintegrasikan sumber daya manusia, material,
peralatan, proses, bahan, fasilitas dan lingkungan dengan pola penerapan prinsip
manajemen yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do), pemeriksaan (check),
peningkatan (action).
Dalam sejarah perjalanan Sistem Manajemen K3, tercipta beberapa standar
yang dapat dipakai perusahaan. Standar-standar tersebut antara lain:
a. HASAS 18000/18001 Occupational Health and Safety Management
Systems,
b. Voluntary Protective Program OSHA,
c. BS 8800,

6
d. Five Star System,
e. International Safety Rating System (ISRS),
f. Safety Map,
g. DR 96311
h. Aposho Standar 1000
i. AS/ANZ 4801/4804, dan
j. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.05/Men/1996 (SMK3 yang
berbentuk Peraturan Perundang-Undangan

Kini pengelolaan K3 dengan penerapan Sistem Manajemen K3 sudah menjadi


bagian yang dipersyaratkan dalam ISO 9000:2000 dan CEPAA Social Accountability
8000:1997. Akan tetapi sampai saat ini belum terdapat satu standar internasional
tentang Sistem Manajemen K3 yang disepakati dan dapat diterima banyak negara,
sebagaimana halnya Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 dan Sistem Manajemen
Mutu Lingkungan ISO 14000.

2.2 Kesehatan Kerja


Produktifitas optimal dalam dunia pekerjaan merupakan dambaan setiap
manager atau pemilik usaha, karena dengan demikian sasaran keuntungan akan dapat
dicapai. Kesehatan (Health) berarti derajat/ tingkat keadaan fisik dan psikologi
individu (the degree of physiological and psychological well being of the individual).
Kesehatan Kerja, yaitu : suatu ilmu yang penerapannya untuk meningkatkan kulitas
hidup tenaga kerja melalui peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit akibat
kerjayang diwujudkan melalui pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan asupan
makanan yang bergizi. Program kesehatan di perusahaan bertujuan untuk
mewujudkan lingkungan perusahaan yang aman, nyaman dan sehat bagi seluruh
pekerjai, dan pengunjung, di dalam dan di lingkungan perusahaan. Sehingga kejadian
pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh kegiatan
perusahaan dapat di tekan atau bila mungkin di hilangkan. Empat pilar strategi yang

7
telah ditetapkan tuntuk mendukung visi Kementrian Kesehatan dalam rangka
merujudkan “kesehatan kaerja” adalah:
a. Strategi paradigma sehat yang harus dilaksanakan secara serempak dan
bertanggung jawab dari semua lapisan. Termasuk partisipasi aktif lintas
sektor dan seluruh potendi masyarakat.
b. Strategi Profesionalisme, yaitu memelihara pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau.
c. Strategi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), guna
memantapkan kemandirian masyarakat hidup sehat, diperlukan peran aktif
dan pembiayaan.
d. Strategi Desentralisasi, intinya adalah pendelegasian wewenang yang
lebish besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur system
pemerintahan kerumahtanggaannya sendiri.

Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan


yang diselenggarakan oleh ILO di Linz Australia, dihasilkan beberapa definisi
sebagai berikut :
a. Penyakit Akibat Kerja: penyakit akibat kerja ini mempunyai penyebab
yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada
umumnya terdiri dari satu agen penyebeb yang mudah diakui.(pekerjaan
sebagai pencetus sakit atau penyakit) atau lebih dikenal dengan sebagai
man made disease. Pencegahan dapat dimulai dengan pengendalian
secermat mungkin pengganggu kesehatan atau pengganggu kerja.
Gangguan ini terdiri dari:
1) Beban kerja (berat, sedang, ringan, atau fisik, psikis, dan sosial).
2) Beban tambahan oleh faktor-faktor lingkungan kerja seperti faktor
fisik, kimia, biologi, dan psikologi.

8
3) Kapasitas kerja, atau kualitas karyawan sendiri yang meliputi: kemahiran,
ketrampilan, usia, daya tahan tubuh, jenis kelamin, gizi,ukuran tubuh, dan
motivasi kerja.
b. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan –Work related disease adalah
penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pada
pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor resiko lainnya dalam
berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
c. Penyakit yang mengenai populasi pekerja adalah penyakit yang terjadi pada
populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat kerja, namun dapat
diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan.

2.3 Sebab-Sebab Terjadinya Kecelakaan dalam Bekerja


Dalam pelaksanaannya K3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan
sistem dan produktifitas kerja.
Kecelakaan, adalah kejadian yang tak terduga dan tak diharapkan. Tak
terduga oleh karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsure kengajaan, lebih-
lebih dalam bentuk perencenaan. Ttidak diharapkan oleh karena peristiwa kecelakaan
disertai kerugian materiil maupun penderiaan dari yang paling ringan sampai kepada
yang paling berat dan tidak diinginkan. Secara teoritis istilah- istilah bahaya yang
sering ditemui dalam lingkungan kerja meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. Hazard (sumber bahaya). Suatu keadaan yang memungkinkan / dapat
menimbulka kecelakaan, penyakit, kerusakan atau menghambat kemampuan
pekerja yang ada
b. Danger (tingkat bahaya). Peluang bahaya sudah tampak (kondisi bahaya sudah
ada tetapi dapat dicegah dengan berbagai tindakan prventif.
c. Risk, prediksi tingkat keparahan bila terjadi bahaya dalam siklus tertentu

9
d. Insident. Munculnya kejadian yang bahaya (kejadian yang tidak diinginkan,
yang dapat/ telah mengadakan kontak dengan sumber energi yang melebihi
ambang batas badan/struktur
e. Accident. Kejadian bahaya yang disertai adanya korban dan atau kerugian
(manusia/benda)

2.4 Hazard (Bahaya)


2.4.1 Definisi
Hazard atau bahaya merupakan sumber potensi kerusakan atau situasi yang
berpotensi untuk menimbulkan kerugian. Sesuatu disebut sebagai sumber bahaya
hanya jika memiliki risiko menimbulkan hasil yang negatif.1
Bahaya diartikan sebagai potensi dari rangkaian sebuah kejadian untuk muncul
dan menimbulkan kerusakan atau kerugian. Jika salah satu bagian dari rantai kejadian
hilang, maka suatu kejadian tidak akan terjadi. Bahaya terdapat di mana-mana, baik
di tempat kerja atau di lingkungan, namun bahaya hanya akan menimbulkan efek jika
terjadi sebuah kontak atau eksposur.1

2.4.2 Klasifikasi
Dalam terminologi keselamatan dan kesehatan kerja (K3), bahaya
diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu:1
2.4.2.1 Bahaya Keselamatan Kerja (Safety Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada timbulnya kecelakaan
yang dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian, serta kerusakan
properti perusahaan. Dampaknya bersifat akut. Jenis bahaya keselamatan
antara lain:
a. Bahaya mekanik, disebabkan oleh mesin atau alat kerja mekanik seperti
tersayat, terjatuh, tertindih dan terpeleset.
b. Bahaya elektrik, disebabkan peralatan yang mengandung arus listrik

10
c. Bahaya kebakaran, disebabkan oleh substansi kimia yang bersifat
flammable (mudah terbakar)
d. Bahaya peledakan, disebabkan oleh substansi kimia yang sifatnya
explosive
2.4.2.2 Bahaya Kesehatan Kerja (Health Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada kesehatan dan
menyebabkan gangguan kesehatan serta penyakit akibat kerja. Dampaknya
bersifat kronis. Jenis bahaya kesehatan antara lain:1
a. Bahaya fisik, antara lain kebisingan, getaran, radiasi ion dan non-
pengion, suhu ekstrim dan pencahayaan.
b. Bahaya kimia, antara lain yang berkaitan dengan material atau bahan
seperti antiseptik, aerosol, insektisida, dust, mist, fumes, gas, vapor.
c. Bahaya ergonomi, antara lain repetitive movement, static posture,
manual handling dan postur janggal.
d. Bahaya biologi, antara lain yang berkaitan dengan makhluk hidup yang
berada di lingkungan kerja yaitu bakteri, virus, protozoa dan fungi
(jamur) yang bersifat patogen.
e. Bahaya psikologi, antara lain beban kerja yang terlalu berat, hubungan
dan kondisi kerja yang tidak nyaman.

2.5 Penyakit Akibat Kerja


Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan pekerjaan atau
lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja terjadi sebagai pajanan faktor fisik, kimia,
biologi, ataupun psikologi di tempat kerja. World Health Organization (WHO)
membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja:
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya karsinoma
bronkhogenik.

11
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktor-
faktor penyebab lainnya, misalnya bronkhitis khronis.
4. Penyakit di mana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada
sebelumnya, misalnya asma.
5. Golongan psikososial: lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.

2.6 Hazard Identification Risk Assesment Control (HIRARC)


2.6.1 Definisi HIRARC
HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian
bahaya. HIRARC juga merupakan bagian dari sistem manajemen risiko (risk
management) namun khusus pada K3. HIRARC merupakan salah satu persyaratan
yang harus ada pada perusahaan dalam menerapkan sistem manajemen K3
berdasarkan OHSAS. HIRARC berdasarkan dibagi menjadi 3 tahap yaitu:2
a. Identifikasi bahaya (hazard identification)
b. Penilaian risiko (risk assessment)
c. Pengendalian risiko (risk control)
2.6.2 Klasifikasi Aktivitas Kerja yang akan Dinilai
Aktivitas kerja yang akan dinilai merupakan pekerjaan yang dilakukan sehari-
hari oleh para pekerja dan merupakan aktivitas yang spesifik, misalnya melakukan
pengambilan sampel darah dan lain-lain.2

2.6.3 Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)


Identifikasi bahaya adalah proses pencarian terhadap bahaya yang ada pada
semua jenis kegiatan, situasi, produk dan jasa yang dapat menimbulkan potensi
cedera. Identifikasi potensi bahaya adalah suatu proses aktivitas yang dilakukan untuk
mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat kerja sehingga
dapat dikatakan identifikasi bahaya merupakan suatu upaya untuk mengetahui,

12
mengenal dan memperkirakan adanya bahaya pada suatu sistem yang di dalamnya
termasuk peralatan, tempat kerja, prosedur maupun aturan. Hazard yang diidentifikasi
meliputi:2,4

a. Health Hazard
Merupakan agen yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja pada
pekerja, dapat diklasifikasikan menjadi kimia, biologi, fisika, ergonomi

b. Safety Hazard
Berbagai macam jenis penyebab bahaya yang dapat menyebabkan cedera
pada pekerja ataupun kerusakan pada properti, misalnya kabel listrik yang
tidak pada tempatnya, mengangkat beban berat, bekerja di ketinggian tanpa
pengaman, dll.

c. Enviromental Hazard
Berbagai agen yang berbahaya yang terlepas ke lingkungan kerja, misalnya
larutan desinfektan, karbon monoksida, dll.

2.6.4 Penilaian Risiko (Risk Assesment)


Risiko merupakan kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kerugian
pada pekerja pada suatu periode waktu tertentu. Penilaian risiko merupakan
suatu proses untuk menentukan pengendalian terhadap tingkat keseringan
(likehood of occurance) dan keparahan (severity) risiko terjadinya kecelakaan
kerja atau penyakit akibat kerja.

13
Langkah-langkah melakukan risk assesment:2,4

a. Tentukan derajat kemungkinan (likehood) terjadinya risiko


Bisa ditentukan berdasarkan pengalaman kejadian-kejadian sebelumnya.

Tabel 2.1 Derajat Kemungkinan Terjadinya Risiko


Likehood Example Rating
Most likely Sangat mungkin terjadi risiko akibat hazard yang ada 5
ditempat kerja
Possible Kemungkinan besar terjadi bahaya, tetapi tidak setiap saat 4
Conceivable Bisa terjadi suatu saat dimasa mendatang 3
Remote Tidak pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir 2
Unconceivable Secara praktis tidak mungkin terjadi dan belum pernah 1
terjadi sebelumnya

b. Menentukan derajat keparahan (severity) dari risiko yang terjadi


Derajat keparahan bisa didasarkan pada kesehatan manusia, kerusakan
lingkungan dan properti. Dibagi menjadi 5 kategori yaitu:

Tabel 2.2 Derajat Keparahan dan Risiko yang Terjadi


Severity Example Rating

Catastrophic Banyak sekali fasilitas dan properti yang rusak dan tidak 5
dapat diperbaiki

Fatal Kurang lebih terdapat satu kerusakan fasilitas yang cukup 4


besar

Serious Terdapat luka yang tidak fatal dan mengakibatkan kecacatan 3


permanen

Minor Kecacatan yang tidak permanen 2

Negligible Terdapat luka minor (lecet, robek, dan lain-lain) 1

14
c. Tentukan derajat risiko
Secara kualitatif, risiko dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

R=LxS

R = Risiko

L = Likehood

S = Severity

Tabel 2.3 Matrix Risiko


Severity
Likehood 1 2 3 4 5
5 5 10
4 4 8 12
3 3 6 9 12
2 2 4 6 8 10
1 1 2 3 4 5

Keterangan :

15 – 25 : Risiko tinggi, membutuhkan tindakan yang segera untuk


mengontrol hazard dan harus terdokumentasikan secara baik.

5 – 14 : Risiko sedang, membutuhkan pendekatan perencanaan dalam


mengontrol hazard dan sewaktu-waktu dilakukan kontrol bila
diperlukan. Tindakan harus terdokumentasikan dengan baik.

1–4 : risiko rendah, kontrol terhadap hazard tidak diperlukan namun


apabila risiko akan diselesaikan dengan cepat dan efisien, maka
tindakan tetap harus terdokumentasikan dengan baik.

15
d. Tetapkan Tindakan yang akan Dilakukan (Hazard Control)
Tindakan yang dapat dilakukan dapat bersifat jangka pendek dan jangka
panjang atau menerapkan jangka pendek terlebih dahulu dengan
mempersiapkan tindakan jangka panjang. Beberapa tipe tindakan yang dapat
dilakukan berdasarkan Hierarchy of control adalah sebagai berikut:2,4

Gambar 2. 1 Hierarchy of Control 2

1) Eliminasi
Pengendalian dilakukan dengan cara menghilangkan sumber bahaya
(hazard). Upaya ini merupakan pilihan utama atau dapat dikatakan sebagai solusi
terbaik untuk menghilangkan sumber risiko secara menyeluruh. Namun cara ini
sulit untuk dilakukan karena kecenderungan sebuah perusahaan apabila
mengeliminasi substansi atau proses akan megganggu kelangsungan proses
produksi secara keseluruhan.

2) Substitusi
Pengendalian yang bertujuan mengurangi risiko dari bahaya dengan
cara mengganti proses, atau melakukan penggantian terhadap bahan yang
berbahaya dengan bahan yang lebih aman. Prinsip pengendalian ini adalah

16
menggantikan sumber risiko dengan sarana atau peralatan lain yang lebih
aman atau lebih rendah tingkat risikonya. Dalam pengaplikasiannya cara ini
membutuhkan langkah trial and error untuk mengetahui apakah teknik atau
subtansi pengganti dapat berfungsi sama efektifnya dengan proses
sebelumnya.

3) Rekayasa atau Engineering Control


Upaya ini dilakukan untuk menurunkan tingkat risiko dengan mengubah
desain tempat kerja, mesin, peralatan atau proses kerja menjadi lebih aman.
Ciri khas dalam tahap ini seperti membuat lokasi kerja yang memodifikasi
peralatan, melakukan kombinasi kegiatan, perubahan prosedur, dan
mengurangi frekuensi dalam melakukan kegiatan berbahaya. Terdapat tiga
macam cara engineering yaitu :

i. Isolasi
Prinsip dari sistem ini adalah dengan cara menghalangi pergerakan bahaya
dengan cara memberikan pembatas atau pemisah terhadap bahaya maupun
pekerja.

ii. Guarding
Prinsip dari sistem ini adalah mengurangi jarak atau kesempatan kontak antara
sumber bahaya dan bekerja.

iii. Ventilasi
Cara ini merupakan langkah yang paling efektif untuk mengurangi kontaminasi
udara, berfungsi untuk kenyamanan, kestabilan suhu dan mengontol
kontaminan.

4) Administratif
Langkah ini merupakan salah satu pilihan terakhir karena pada dasarnya
langkah ini mengandalkan sikap dan kesadaran dari pekerja. Langkah ini
hanya cocok untuk jenis risiko tingkat rendah. Upaya dalam langkah ini

17
difokuskan pada pembuatan ataupun evaluasi pada prosedur seperti SOP
ataupun aturan-aturan lain di dalam sistem sebagai langkah mengurangi
tingkat risiko. Selain itu terdapat beberapa pengendalian administratif di
antaranya sebagai berikut:2,4
i. Rotasi dan Penempatan Pekerja
Langkah ini bertujuan untuk mengurangi tingkat paparan yang diterima
pekerja dengan membagi waktu kerja dengan pekerja yang lain.
Penempatan pekerja terkait dengan masalah fitness for work dan
kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
ii. Pendidikan dan Pelatihan
Langkah ini sebagai pendukung pekerja untuk mengambil keputusan
dalam melakukan pekerjaan secara aman. Dengan pengetahuan dan
pengertian terhadap bahaya pekerjaan, maka akan membantu pekerja
untuk mengambil keputusan dalam menghadapi bahaya.
iii. Penataan dan Kebersihan
Tidak hanya meminimalkan insiden terkait dengan keselamatan,
melainkan juga mengurangi debu dan kontaminan lain yang bias menjadi
jalur pemajan. Kebersihan pribadi juga sangatlah penting karena dapat
mengarah kepada kontaminasi melalui ingesti maupun kontaminasi silang
antara tempat kerja dan tempat tinggal.
iv. Perawatan secara berkala terhadap peralatan penting untuk meminimalkan
penurunan performance dan memperbaiki kerusakan secara lebih dini.
v. Jadwal Kerja
Metode ini menggunakan prinsip waktu kerja, di mana pekerjaan dengan
risiko tinggi dapat dilakukan saat jumlah pekerja yang terpapar paling
sedikit.
vi. Monitoring pelaksanaan standar keselamatan kerja (inspeksi dan patroli)
secara rutin serta memelihara komunikasi tentang pesan keselamatan
kerja melalui media seperti poster, buletin, stiker, bahkan memberikan

18
contoh dengan panutan, sangatlah perlu digalakkan agar keselamatan dan
kesehatan kerja tetap dapat terjaga.
5) Alat Pelindung Diri (APD)
APD merupakan seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh
pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari
kemungkinan adanya paparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Langkah ini merupakan langkah
terakhir yang dilakukan dengan cara memberikan fasilitas kepada pekerja
dan berfungsi untuk mengurangi keparahan akibat dari bahaya yang
ditimbulkan. Langkah ini membutuhkan beberapa faktor agar berhasil, di
antaranya adanya pelatihan atau intruksi kerja bagi setiap pegawai dalam
penggunaan dan pemilharaannya.
1. Monitoring Kontrol
Semua kontrol yang telah dilakukan untuk menghilangkan atau
meminimalkan terjadinya risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja harus monitoring efektifitasnya.2,4

19
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian


1. Ruang Lingkup Keilmuan
Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini meliputi ilmu kedokteran
okupasi khususnya mengenai hazard identification, risk assessment, and risk
control.
2. Ruang Lingkup dan Waktu
a. Tempat
Unit Sewing PT. Glory Industrial Semarang I Bawen
b. Waktu
Penelitian dilakukan pada tanggal 7 Desember 2019

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasi dan survey yang
memberikan pendekatan yang sistematis dan obyektif untuk menilai bahaya dan
risiko yang terkait yang akan memberikan ukuran objektif dari suatu yang
teridentifikasi bahaya serta menyediakan metode untuk mengendalikan risiko
menggunakan instrumen Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk
Control dan Ergonomic Risk Assessment (HIRARC) serta memberikan penilaian
risiko yang dilakukan oleh pemilik perusahaan/ pimpinan unit kerja yang
bertujuan untuk mengidentifikasi factor risiko ergonomis yang paling sering
muncul dan dapat menyebabkan bahaya pada pekerja.

20
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pekerja unit sewing yang terdiri dari
komponen penjahit dan pembentukan pola di PT. Glory Industrial Semarang I
Bawen.
2. Sampel
Sampel pekerja diambil dengan cara purposive sampling yaitu memilih
responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif dan praktis, bahwa
responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai. Besar sampel
sebanyak 10 petugas.
D. Bahan dan Alat Penelitian
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer. Data
primer didapatkan dari:
a. Hasil observasi langsung menggunakan Hazard Identification, Risk
Assessment, and Risk Control dan ergonomic risk assessment (HIRARC).
b. Hasil wawancara terhadap pekerja unit Sewing.
E. Prosedur Pengambilan Data
1. Perencanaan
a. Menyiapkan tabel Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk
Control dan ergonomic risk assessment (HIRARC).
b. Menyiapkan anamnesis terkait Industrial Hazard.
2. Pelaksanaan
a. Pengamatan langsung menggunakan tabel Hazard Identification, Risk
Assessment, and Risk Control dan ergonomic risk assessment (HIRARC).
b. Anamnesis terkait Industrial Hazard.
c. Pengumpulan dan pencatatan data.
d. Pengolahan data
e. Pelaporan hasil pengamatan

21
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Tabel 4.1 Hazard Form
Tempat kerja PT. Glory Industrial Semarang I Bawen Diperiksa Wirawan Amirul Bahri, Dwi Agus
Lokasi Pekerjaan Unit Sewing oleh : Kurniawan, Hanif Agung Prabowo
Nama, Jabatan Karyawan Nama,
Jabatan
Tanggal 8 Desember 2019 Tanggal
(mulai...
sampai...)
Review date

Identifikasi Hazard Analisis Risiko Risiko Kontrol

No Aktivitas Hazard Dampak / Efek Pengendalian Likelihood Severity Risiko Kontrol yang Orang yang
Bekerja dari Hazard Risiko yang (sering) (dampak) Direkomendasikan Bertanggung
Tersebut Ada Jawab
(Tanggal dan
Status)
1 Menjahit 1. Safety Hazard Tertusuk jarum Standar 4 1 4 1. Monitoring Tim HSE
(menggunakan Operasional kepatuhan
jarum jahit) Prosedur pekerja terhadap
(SOP) SOP yang telah
tersedia
2. Mengganti jarum
jahit yang telah
tertusuk
2. Health Hazard Bissinosis Penggunaan 2 3 6 1. Monitoring Tim HSE dan
(Debu textil) APD kepatuhan Dokter
petugas terhadap Perusahaan
penggunaan APD
2. Memberikan
sosialisai dampak

22
dari tidak
menggunakan
alat pelindung
diri
3. Hazard Fisik Gangguan saraf Penggunaan 5 2 10 1. Memberikan Dokter
(Getaran) perifer (Carpal Glove anti penyuluhan Perusahaan
Tunnel vibration tentang Carpal
Syndrome) Tunnel Syndrome
2. Memberikan
sosialisai dampak
dari tidak
menggunakan
alat pelindung
diri
4. Hazard Muskuloskeletal Tersedia kursi 5 3 15 1. Memberikan Dokter
Ergonomic disease (LBP, dan meja jahit penyuluhan Perusahaan
(Postur tubuh Cervical yang dapat tentang bahaya dan Tim HSE
yang salah: Syndrome) diatur Low Back Pain,
duduk Cervical
membungkuk Syndrome
dan menunduk 2. Menyediakan
saat menjahit) kursi dan meja
jahit yang dapat
diatur
ketinggiannya
3. Stretching
berkala
5. Hazard Gangguan Pindah bagian 4 3 12 1. Memberikan Tim HSE dan
Psikososial psikologis kerja konsultasi Dokter
(Beban Kerja) mengenai beban Perusahaan
kerja
2. Waktu kerja dan
waktu istirahat
disesuaikan
dengan beban

23
kerja

2. Membuat 1. Safety Hazard 1. Tertusuk 1. Standar 4 3 12 1. Monitoring Tim HSE dan


Pola (Menggunakan paku Operasio kepatuhan Dokter
gunting, 2. Infeksi nal pekerja terhadap Perusahaan
setrika, dan Tetanus Prosedur SOP yang telah
paku) 3. Luka sobek (SOP) tersedia
4. Luka bakar 2. Pengguna 2. Mengganti jarum
an APD paku yang telah
tertusuk
3. Monitoring
kepatuhan
petugas terhadap
penggunaan APD
4. Memberikan
sosialisai dampak
dari tidak
menggunakan
alat pelindung
diri
2. Hazard 1. Muskuloskel 1. Tersedia 5 3 15 1. Memberikan Tim HSE dan
ergonomic etal disease kursi dan penyuluhan Dokter
(Postur tubuh (LBP, meja tentang bahaya Perusahaan
salah: berdiri, Cervical yang Low Back Pain,
membungkuk, syndrome) dapat Cervical
menunduk saat diatur Syndrome
membuat pola) 2. Menyediakan
kursi dan meja
yang dapat diatur
ketinggiannya
3. Stretching
berkala

24
BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di PT. Glory Industrial Semarang I Bawen


khususnya di Bagian Penjahitan (Sewing). Jenis pekerjaan yang diteliti yaitu
pegawai saat melakukan kegiatan pembuatan pola bahan produk pakaian dan
pegawai saat melakukan penjahitan produk pakaian.

1. Pembuatan Pola Bahan Produk Pakaian


Pada pekerjaan pembuatan pola bahan produk pakaian pegawai memiliki
kegiatan dalam melakukan pekerjaan yaitu pegawai memulai melakukan
pekerjaan dalam posisi berdiri dengan sedikit membungkukkan badan dengan
sudut ±45o, kemudian pegawai mengukur pola dengan penggaris, lalu pegawai
menandai pola dengan cara melubangi bahan produk dengan paku tajam,
selanjutnya pegawai menggunting bahan produk sesuai pola, lalu memberikan
bahan produk yang sudah diberi pola ke pegawai di bagian penjahitan. Kegiatan
pembuatan pola juga menggunakan setrika pada saat pressing pola.

Posisi berdiri yang terlalu lama dan posisi berdiri yang salah seperti
membungkuk saat melakukan kegiatan pembuatan pola bahan produk dapat
menimbulkan bahaya ergonomik. Berdiri terlalu lama dapat memberikan tekanan
dan kompresi pada discus intervertebralis sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya low back pain akibat aktivitas berdiri yang terlalu lama (prolonged
standing).1 Nilai derajat risiko dari hazard posisi berdiri yang terlalu lama adalah
15 dimana menunjukan risiko tinggi yang membutuhkan pendekatan, perencanaan
dan tindakan segera dalam mengontrol hazard dan tindakan harus
didokumentasikan dengan baik.

Melubangi bahan produk dengan paku tajam dan pengguntingan pola


menggunakan gunting memiliki bahaya safety yaitu dapat berpotensi untuk
tertusuknya tangan pegawai dengan ujung paku yang tajam maupun terluka oleh
akibat kesalahan dalam menggunting. Paku maupun gunting yang digunakan

36
dapat berpotensi berkarat maupun kotor sehingga bila tertusuk ke tangan pegawai
selain dapat menimbulkan luka dapat pula berdampak menyebabkan penyakit
infeksi oleh bakteri seperti tetanus, hal ini dapat diperburuk bila pegawai tidak
melakukan pekerjaan dengan hati-hati dan tanpa menggunakan sarung tangan.2
Penggunaan setrika dalam pembuatan pola juga dapat berpotensi untuk terjadinya
kecelakaan kerja sehingga menimbulkan luka bakar pada pegawai. Nilai derajat
risiko dari hazard pembuatan pola adalah 12 dimana menunjukan risiko sedang
yang membutuhkan pendekatan dan perencanaan dalam mengontrol hazard dan
sewaktu-waktu dilakukan kontrol bila perlu, tindakan harus didokumentasikan
dengan baik.

Kontrol yang dapat dilakukan pada pekerjaan kegiatan pembuatan pola bahan
produk pakaian untuk mengurangi risiko penyakit akibat kerja antara lain :
a. Administrative Control
i. Memberikan sosialisasi tentang penggunaan alat kerja yang baik dan
benar
ii. Memberikan penyuluhan tentang bahaya cervical syndrome, low back
pain, luka bakar, penyakit tetanus akibat luka.
iii. Rolling kegiatan dengan pegawai di bagian yang lain
iv. Streching berkala
b. Enginering control
i. Menyediakan kursi dan meja yang dapat diatur ketinggiannya
ii. Menggunakan meja yang lebih lebar sebagai penyangga siku saat
bekerja

2. Penjahitan Produk Pakaian


Pada pekerjaan penjahitan produk pakaian pegawai memiliki kegiatan dalam
melakukan pekerjaan yaitu pegawai memulai melakukan pekerjaan dalam posisi
duduk dengan sedikit membungkukkan badan dengan sudut ±30o, kemudian
pegawai melakukan penjahitan dengan menggunakan mesin jahit, lalu

37
memberikan bahan produk yang sudah dijahit ke pegawai di bagian quality
control.

Kegiatan penjahitan dengan menggunakan mesin jahit terdapat bahaya


getaran dari mesin jahit, gerakan berulang tangan saat bekerja, dan posisi tangan
saat kerja. Kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah bertahan
secara tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka gerakan tangan akan
mengakibatkan tepi ligamentum karpi transversum bersentuhan dengan saraf
medianus secara berlebihan. Hal ini kan mengakibatkan persendian tangan yang
mengalami tekanan atau peregangan yang berlebihan sehingga akan mengalami
penebalan pada ligamentum karpi transversum. Penebalan ini akan mempersempit
terowongan karpal dan dapat menghimpit saraf. Paparan getaran dari mesin jahit,
gerakan berulang, dan posisi tangan saat kerja dapat berpotensi terjadinya carpal
tunnel syndrome.3,4 Nilai derajat risiko dari hazard getaran mesin jahit, Gerakan
berulang, dan posisi tangan saat bekerja adalah 10 dimana menunjukan risiko
sedang yang membutuhkan pendekatan dan perencanaan dalam mengontrol
hazard dan sewaktu-waktu dilakukan kontrol bila perlu, tindakan harus
didokumentasikan dengan baik.

Kegiatan penjahitan dengan jarum jahit tajam memiliki bahaya safety yaitu
dapat berpotensi untuk tertusuknya tangan pegawai dengan ujung jarum yang
tajam. Jarum jahit yang digunakan dapat berpotensi berkarat maupun kotor
sehingga bila tertusuk ke tangan pegawai selain dapat menimbulkan luka dapat
pula berdampak menyebabkan penyakit infeksi oleh bakteri seperti tetanus, hal ini
dapat diperburuk bila pegawai tidak melakukan pekerjaan dengan hati-hati dan
tanpa menggunakan sarung tangan.2 Nilai derajat risiko dari hazard safety
penjahitan dengan jarum jahit tajam adalah 4 dimana menunjukan risiko ringan
yang memungkinkan tidak dibutuhkan pendekatan dan perencanaan dalam
mengontrol hazard dan sewaktu-waktu dilakukan kontrol bila perlu, tindakan
sebaiknya didokumentasikan.

38
Posisi duduk yang terlalu lama dan posisi duduk yang salah seperti
membungkuk saat melakukan kegiatan penjahitan produk pakaian dapat
menimbulkan bahaya ergonomik. Duduk terlalu lama dapat memberikan tekanan
berlebih pada discus intervertebralis sehingga dapat terjadi kompresi dan
meningkatkan risiko terjadinya nyeri pada leher (cervical syndrom) dan nyeri
punggung bawah (low back pain) akibat aktivitas duduk yang terlalu lama dan
postur duduk yang salah.5 Nilai derajat risiko dari hazard posisi duduk yang
terlalu lama adalah 15 dimana menunjukan risiko tinggi yang membutuhkan
pendekatan, perencanaan dan tindakan segera dalam mengontrol hazard dan
tindakan harus didokumentasikan dengan baik.

Pada kegiatan penjahitan terdapat paparan debu tekstil bahan produk


pakaian yang berpotensi untuk terhirup oleh pegawai, sehingga dapat
mengakibatkan penyakit pada sistem pernapasan seperti ISPA, pneumoconiosis,
dan bissinosis. Nilai derajat risiko dari hazard debu tekstil adalah 6 dimana
menunjukan risiko sedang yang membutuhkan pendekatan dan perencanaan
dalam mengontrol hazard dan sewaktu-waktu dilakukan kontrol bila perlu,
tindakan harus didokumentasikan dengan baik.

Kegiatan penjahitan setiap pegawai diberikan target capaian kerja perbulan,


bila target tepenuhi selama satu bulan maka pegawai akan mendapatkan reward
berupa tambahan pendapatan intensif yang lebih. Namun bila pegawai tidak
mencapai target kinerja perbulan maka akan mendapatkan peringatan (critical
process), sehingga hal tersebut mengakibatkan beban psikis bagi pegawai. Beban
psikis tersebut dapat dikategorikan sebaga hazard psikososial sehingga dapat
menjadikan gangguan kesehatan jiwa dan psikologis bagi pegawai. Nilai derajat
risiko dari hazard psikososial adalah 12 dimana menunjukan risiko sedang yang
membutuhkan pendekatan dan perencanaan dalam mengontrol hazard dan
sewaktu-waktu dilakukan kontrol bila perlu, tindakan harus didokumentasikan
dengan baik.

39
Kontrol yang dapat dilakukan pada pekerjaan penjahitan antara lain :

a. Administrative Control
i. Memberikan sosialisasi tentang penggunaan alat kerja yang baik dan benar
ii. Memberikan penyuluhan tentang bahaya cervical syndrome, low back
pain, dan penyakit tetanus akibat luka.
iii. Rolling kegiatan dengan pegawai di bagian yang lain
iv. Streching berkala
v. Penggunaan alat pelindung diri seperti masker untuk menghindari paparan
debu
vi. Pengaturan jam kerja dan istirahat
vii. Konsultasi dengan dokter perusahaan terkait beban dan target kerja
b. Enginering control
i. Menyediakan kursi dan meja kerja yang dapat diatur ketinggiannya

40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada pekerja PT. Glory
Indutrial Semarang I Bawen didapatkan beberapa bahaya yang ditemukan pada
unit sewing berupa:
1. Hazard fisik seperti tertusuk jarum jahit dan tersengat listrik mesin jahit.
Jika tertusuk jarum suntik dapat menyebabkan hazard biologi yaitu infeksi
serta luka bakar karena tersetrum listrik.
2. Hazard Kimia seperti debu textil yang dapat menyebabkan penyakit paru –
paru seperti pneumokoniasis dan bisinosis.
3. Hazard ergonomi seperti postur tubuh yang salah dan posisi statis dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan musculoskeletal diseases seperti
LBP, cervical syndrome, dan frozen shoulder.
4. Hazard psikosial karena beban kerja yang dapat menyebabkan performa
pekerja menurun.

B. Saran
Perlu dilakukan beberapa tindakan agar dapat melindungi pekerja PT. Glory
Indutrial Semarang I Bawen agar tidak terkena dampak dari bahaya kerja
seperti:
1. Administrative control yaitu melakukan monitoring kepatuhan pekerja
dengan SOP yang berlaku, melakukan penyuluhan mengenai penyakit
akibat kerja, dan melakukan pelatihan postur tubuh yang baik.
2. Engineering control berupa menyediakan kursi dan meja jahit yang dapat
diatur ketinggiannya serta menyediakan troli untuk pemindahan produk.
3. Personal Protective Equipment (PPE) yaitu membiasakan diri
menggunakan alat pelindung diri (APD) saat melakukan pekerjaan yang
berisiko menyebabkan penyakit.

41
DAFTAR PUSTAKA
1. Harianto R. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC; 2010.
2. A. M. Sugeng Boediono. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan
Kerja Dalam Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Badan Penerbit UNDIP
Semarang. Hal 171-180. 2005.
3. A. M. Sugeng Boediono. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan
Kerja Dalam Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Badan Penerbit UNDIP
Semarang. Hal 171-180. 2005.
4. Anies. 2014. Kedokteran Okupasi: Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan
Upaya Penanggulangan dari Aspek Kedokteran. Ar-Ruzz Media.Yogyakarta
5. Ahmad A C, Mohd I N, Othman M K, et Muhammad N H. Hazard Identification,
Risk Assessment and Risk Control (HIRARC). MATEC Web of Conferences.
Malaysia: IBCC; 2016.
6. Departemen of Occupatinal Safety and Health Ministry Of Human Resources
Malaysia. Guideslines On Ergonomics Risk Assesment At Workplace. Malaysia:
Departemen of Occupational; 2017.
7. Hasegawa T, Katsuhira J, Oka H, Fujii T, Matsudaira K. 2018. Association of
low back load with low back pain during static standing. PLoS ONE 13(12):
e0208877. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0208877
8. Protecting All Against Tetanus: Guide to sustaining maternal and neonatal
tetanus elimination (MNTE) and broadening tetanus protection for all
populations. Geneva: World Health Organization; 2019.
9. Muarrofah, Dian. 2017. Hubungan Antara Kejadian Carpal Tunnel Syndrome
Dengan Produktivitas Pekerja Wanita Bagian Sewing Pt Maxmoda Indo
Global Demak. Semarang: UNNES
10. Pillai D. et al. 2018. Prevalence of Low Back Pain in Sitting Vs Standing
Postures in Working Professionals in the Age Group of 30-60. India: IJHSR

42

Anda mungkin juga menyukai