Anda di halaman 1dari 4

Nama : Lani Maulidyawati

Program Studi : TW 11

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Garut


Kota Garut adalah kota yang terletak di di timur kota Bandung. Tempat yang
dijuluki Swiss Van Java oleh Charlie Chaplin. Dulu kota ini terkenal dengan jeruknya,
namun saying setelah meletusnya gunung Galunggung pada 1982, jeruk perlahan-
lahan semakin sedikit di kawasan ini. Namun, Kab Garut bukan hanya jerk saja,
banyak potensipotensi yang dapat digali dari wilayah ini, sebagai contohnya dodol
garut yang terkenal ke seantero nusantara Sejarah Kabupaten Garut berawal dari
pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan
produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan
bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813,
Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah
mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten
Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan
Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup
sempit.
Bahasa Masyarakat Garut Berdasarkan tinjauan etnografis, suku bangsa Sunda
adalah suku bangsa yang secara turun-temurun menggunakan bahasa ibu, yaitu
bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Suku Sunda dikenal dengan keramahannya,
kelembutannya, kesopanannya. Ini dibuktikan dengan norma-norma yang ada pada
masyarakat Sunda. Tak terlepas dari masyarakat Garut yang mayoritas suku Sunda.
Masyarakat Garut memakai bahasa Sunda ada yang kasar, lemes, dan bahasa untuk
sesame umur. Sebagai contoh kata punteun seringsekali diucapkan ketika ingin
melewati orang yang ada di sekitar. Hal ini berarti masyarakat Sunda sangat
menghormati norma-norma yang ada sejak dulu.
Bahasa Sunda yang masih dianggap masih murni dan halus adalah bahasa
yang digunakan di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang,
Sukabumi dan Cianjur sedangkan bahasa Sunda yang kurang halus dipakai oleh
masyarakat yang mendiami pantai utara, misalnya Banten, Karawang, Bogor dan
Cirebon. Budaya Adu Domba Garut Wilayah kabupaten Garut, Jawa Barat, selain
dikenal sebagi penghasil dodol dan keramahan warganya. Garut juga memiliki
kebudayaan yang populer yaitu adu domba. Tak terkecuali di wilayahg Garut sendiri,
adu domba ini juga dilakukan di berbagai wilayah seluruh Jawa Barat. Hampir setiap
hari Minggu kebudayaan adu domba ini dilaksanakan.
Pertandingan adu domba ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun, meski
sedang tidak memperebutkan piala, pertandingan sengaja digelar untuk mencari calon
domba yang memiliki potensi menjadi juara. Di kalangan masyarakat Garut, domba
yang memenngkan pertandingan harganya pun ikut melambung tinggi. Unsur lain
yang tidak dipisahkan dengan seni ketangkasan domba ini adalah kehadiran music
nan Rancak khas Sunda. Selain memeriahkan suasana, kendang dan terompet serta
alunan sinden dapat menyemangati peserta. Kini seni ketangkasan domba ini menjadi
bagian dan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Garut. Bahkan kini tersebar
moto”Tandang di Lapang, Gandang di Lapang” yang berarti indah dipandangserta
enak jadi pemenang. Sejarah Adu Domba Asal usul domba Garut adalah persilangan
dari domba local dengan domba jenis Capstaad dari Afrika Selatan dan domba
Merino dari Australi.
Tubuh besar dan berotot, kuda-kuda yang kokoh, serta tanduk besar dan
melengkung. Mereka siap beradu untuk menentukan siapa yang terbaik. Musik khas
sunda ditabuh. Para juri siap untuk menilai dan wasit siap untuk memisahkan mereka
jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Riuh sorak penonton ikut meramaikan
pagelaran ini.
Ya, itulah gambaran kesenian tradisional asal Garut. Adu Ketangkasan
Domba (ngadu domba dalam bahasa sunda). Domba Garut dipercaya berasal dari
domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja yang
memiliki ciri sangat spesifik, yaitu memiliki kombinasi telinga rumpung (rudimenter)
dengan ukuran di bawah 4 cm atau ngadaun hiris dengan ukuran 4 – 8 cm dengan
ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong, warna dominan hitam terutama pada
bagian muka dengan bentuk tubuh ngabaji. Domba Garut, yang berbahasa latin Ovies
Aries ini hasil persilangan antara domba lokal, domba Kaapstad (ekor gemuk) dan
domba Merino yang dibentuk kira-kira pada pertengahan abad ke 19 (±1854) yang
dirintis oleh Adipati Limbangan Garut, sekitar 70 tahun kemudian yaitu tahun 1926
domba Garut telah menunjukan suatu keseragaman. Bentuk tubuh domba Garut
hampir sama dengan domba lokal dan bentuk tanduk yang besar melingkar
diturunkan dari domba 5 Merino, tetapi domba Merino tidak memiliki “insting”
beradu.
Ciri khas domba garut jantan terletak pada ukuran tanduknya yang besar dan
melengkung ke belakang. Tanduk domba jantan dapat berwarna hitam atau putih.
Tanduk yang berwarna dominan hitam dengan belang putih umumnya lebih keras
dan padat. Bagian dalam tanduk tidak kopong.7 Sebaliknya, tanduk yang berwarna
putih atau hitam tanpa corak umumnya memiliki bagian dalam tanduk yang kopong.
Karena itu, tanduk yang belang umumnya lebih bagus dibandingkan dengan tanduk
yang memiliki satu warna saja. Berbeda dengan jantan, domba betina tidak memiliki
tanduk. Karena ukuran tubuh dan tanduknya yang besar dan kuat, domba garut juga
sering dijadikan sebagai domba aduan terutama di daerah asalnya Garut. Aduan
domba garut ini menjadi andalan masyarakat Garut sebagai Kesenian khas daerah.
Semakin kuat, harganya semakin mahal dan dapat dijadikan sebagai standar status
sosial seseorang. Selain itu, domba Garut juga memiliki kulit dan kualitas yang bagus.
Bahkan dapat menjadi salah satu yang terbaik didunia.
Dari ketiga jenis domba itulah lahirlah varieitas baru yang disebut Domba
Garut. Selain dimanfaatkan dagingnya untuk konsumsi, juga sebagai destinasi
pariwisata di Garut. Domba Garut dipercaya berasal dari domba local, khususnya
domba local dari daerah Cibuluh dan Wanaraja yang memiliki ciri sangat spesifik,
yaitu memiliki kombinasi telinga rumpung. Pada tahun 1900, bermula dari anak
gembala yangiseng ketika melihat dombayang digembalakannya memiliki sifat agresif,
maka para pengembala domba garut mengadu domba jantan mereka. Tahun 1905
orang tua para gembala atau juragan pemilik domba, mulai tertarik dan membuat
agenda khusus untuk meyelenggarakan kegiatan yang akhirnya meluas ke wilayah lain
seperti ke Kabupaten Bandung dan Sumedang.
Tahun 1920-1930 kegemaran adu domba Garut ini dilaksanakan di kota
seperti di alun-alun bandung. Tahun 1942-1949 kegiatan adu domba fakum karena
masa perang kemerdekaan. Tahun 1953 mulai marak kembal, bahkan pada 1960
muncul arena-arena adu domba. Tahun 1970-an berdirilah organisasoi HPDI
(Himpunan Peternak Domba Indonesia), kemudian pada tahun 1980 berubah
menjadi HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia) dan
disepakati untuk mengubah istilah adu domba menjadi ketangkasan domba hal ini
untuk mengubah citra adu domba yang negative dan terkesansenantiasa terkait
dengan perjudian menjadi istilah yang memiliki konotasi positif. Selanjutnya dibawah
wadah HPDKI ini hampir setiap tahun menjelahng hari-hari bersejarah diadakan
kontes dan ketangkasan Domba Garut antar kabupaten dan kotamadya se-Jawa
Barat. Tahun 1983 diadakan kontes dan ketangkasan domba di Kecamatan
Mandirancan, Kab Kuningan sekaligus diadakannya rapat HPDKI yang dihadiri
hampir seluruh yang dihadiri hampir dari seluruh cabang.
Salah satu butir rapat yang disetujui ialah mengubah istilah kontes dan
ketangkasan domba menjadi Kontes Seni Ketangkasan Domba, sehingga dalam
penyelenggaraan selanjutnya penekanan tangkas lebih diarahkan pada seni, bukan
pada tangkasnya. Penilaian lebih dititik-beratkan pada adeg-adeg (postur, jinjingan,
ules, warna, bulu, corak, atau motif bulu). Keindahan pengambilan ancang-ancang,
pola serangan atau teknik pukulan, teknik menghindari dan hal-hal lain yang
menyangkut estetika. Garut sebagai kota yang dikelilingi pegunungan memiliki
berbagai macam hasil karya masyarakatnya, baik itu berupa budaya, kesenian, norma,
maupun pariwisatanya.
Tak dipungkiri, meski Garut adalah kota kecil di Jawa Barat. Akan tetapi
dengan adanya budaya yang unik di kabupaten Garut membuat kota yang disebut
swiss van java ini banyak dikunjungi orang. Wisatawan mengenal Garut dari adu
domba-nya, ada yang kenal dari dodol garut-nya, wisata air panas-nya dan sebagainya
yang perlu dikembangkan lagi. Dengan banyaknya potensi yang ada di kabupaten
Garut, maka kehidupan sosial masyarakatnya pun mengalami peningkatan taraf hidup
yang lebih baik. Banyak masyarakat mendirikan hotel-hotel di sekitar lokasi wisata,
maupun pedagang-pedagang.
Garut terkenal ke seantero nusantara hingga mancanegara. Hal ini karena di
kabupaten Garut sendiri memiliki keunikan sendiri, sehingga berbeda dengan wilayah
lainnya. Sebagai contoh jaket kulit garut, ratusan ribu orang berkunjung ke Garut
untuk membeli jaket tersebut. Mencari penjual jaket kulit di Garut tidaklah sulit.
Toko-toko yang menjual jaket kulit dapat ditemui di Jalan Ahmad Yani atau di Jalan
Gagaklumayung, Sukaregang, yang merupakan sentra industri penyamakan kulit dan
produksi produk-produk berbahan baku kulit.Kendati kemacetan selalu menghantui
para wisatawan yang ingin berkunjung.

Di toko-toko yang jumlahnya ratusan tersebut dipajang beraneka ragam jaket


kulit yang umumnya terbuat dari kulit domba. Ada jaket untuk pria dan wanita
dengan berbagai macam model dan warna. Selain jaket kulit, di toko-toko itu pun
dipajang produk fashion lain selain jaket kulit, seperti sepatu, sandal, ikat pinggang,
rompi, dompet, tempat telepon selular, tas, dan topi. Akan tetapi, sampai saat ini
memang jaket kulit menjadi produk yang paling diminati dibandingkan dengan
produk lain.
Agar tidak ketinggalan perkembangan mode, desain jaket kulit biasanya
mengikuti tren mode yang sedang berkembang sesuai kiblat fashion, yakni Italia.
Selain itu, beberapa pemilik toko jaket kulit pun berkonsultasi dengan desainer
tentang model jaket. Konsumen yang memesan dalam jumlah banyak atau hanya satu
potong pun bisa memesan desain sesuai selera asalkan diukur terlebih dahulu.
Prospek pasar jaket kulit yang besar ini terlalu sayang apabila dibiarkan tidak
tertata. Sebenarnya tidak menutup kemungkinan Sukaregang menjadi klaster industri
kulit. Ratusan penyamak dari skala rumah tangga yang hanya menyamak 100-200
lembar kulit per dua minggu hingga pabrik penyamakan berkapasitas ribuan lembar
kulit ada di sini.

Anda mungkin juga menyukai