Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN STUDI LAPANG EVOLUSI

(TRINIL DAN SANGIRAN)


(Disusun guna memenuhi tugas praktikum mata kuliah Evolusi)

Oleh:
Desy Rochmiyah Sari (150210103095)
Irma Surya Ningsih (150210103096)
Vini Sinta Agustine (150210103105)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah-
Nya, kami dapat menyelesaikan laporan studi lapangan ini tepat waktu. Tak lupa
juga kami sampaikan terima kasih kepada :
1. Prof.Drs. Suratno, M. Si. Dan Slamet Hariyadi, M.Si, selaku dosen
pengajar mata kuliah Evolusi yang telah membimbing dan memberikan
kajian materi.
Kami sadar bahwa sesungguhnya laporan yang telah kami susun adalah
jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, kritik dan saran yang bersifat
membangun akan selalu kami nantikan. Selain itu, semoga laporan kami ini dapat
membantu dan bermanfaat dalam pembelajaran.

Jember, 25 Juni 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………….


DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
BAB 1. PENDAHULUAN …………………………………………………
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….
1.3 Tujuan ………………………………………………………………
1.4 Manfaat …………………………………………………………….
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………...
2.1 Pengertian Evolusi …………………………………………………
2.2 Kejadian Alam Semesta ……………………………………………
2.3 Kejadian Makhluk Hidup……………………………………………
2.4 Fosil …………………………………………………………………
2.5 Pengertian dan Fungsi Museum……………………………………..
2.6 Tentang Museum Trinil……………………………………………..
2.7 Tentang Museum Sangiran………………………………………….
BAB 3. METODE PENELITIAN ...............................................................
3.1 Waktu dan Tempat…………………………………………………..
3.2 Alat dan Bahan ……………………………………………………..
3.3 Prosedur Kerja………………………………………………………
BAB 4. HASIL PENGAMATAN ………………………………………….
BAB 5. PEMBAHASAN …………………………………………………..
BAB 6. PENUTUP …….……………………………………………………
6.1 Kesimpulan ........................................................................................
6.2 Saran ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan warisan budayanya dan
keanekaragaman budayanya. Sumberdaya tersebut dapat terwujud dalam bentuk
seperti kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur, dan kawasan bersejarah.
Selain itu indonesia juga sebagai Negara yang menjadi pusat penelitian evolusi.
Evolusi adalah proses yang terjadi secara berangsur-angsur dalam kurun
waktu yang lama. Evolusi juga merupakan suatu resons terhadap interaksi antara
organisme dan lingkungannya yang menyebabkan suatu perubahan. Evolusi
dalam biologi berarti perubahan pada sifat – sifat terwariskan suatu populasi
organisme dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Evolusi pada dasarnya
berarti proses perubahan dalam jangka waktu tertentu. Dalam konteks biologi
moderm, evolusi berarti perubahan frekuensi gen dalam suatu populasi.
Akumulasi perubahan gen ini menyebabkan terjadinya perubahan pada mahluk
hidup. Charles Darwin (1809-1882) mengatakan bahwa spesies hidup sekarang
berasal dari spesies lain yang hidup dimasa lampau. Dan bila diurut lebih lanjut,
semua spesies makhluk hidup termasuk manusia diturunkan dari nenek moyang
yang sama.
Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah
banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori
Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh
mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa
evolusi. Indonesia juga tak luput sebagai Negara yang menjadi pusat penelitian
evolusi. Salah satu contohnya yaitu adanya dua museum utama yang merupakan
pusat penelitian evolusi. Dua museum tersebut adalah Situs Purbakala Trinil di
Ngawi dan Situs Purbakala Sangiran di Solo. Kedua museum ini merupakan
museum situs purbakala yang telah diakui dengan baik di Indonesia bahkan di
tingkat Internasional.
Situs Purbakala Trinil merupakan tempat kajian palaentologi manusia.
Dubois adalah tokoh paleontologi pertama yang melakukan penelitian di Trinil.
Dubois mendapatkan fosil manusia purba berupa batok kepala (calvaria) pada
tahun 1890, dan fosil ini diberi nama Pithecantropus erectus “manusia kera
berjalan tegak”. Sedangkan Situs Purbakala Sangiran yang terletak di Solo juga
merupakan situs paleontologi. Von Koenigswald merupakan ilmuwan yang
melakukan penelitian di Sangiran dan telah mendapatkan banyak fosil baik fosil
non Human dan fosil Human. Sehingga dengan adanya hal tersebut maka situs
purbakala sangiran menjadi situs yang sangat menarik dan situs purbakala
sangiran ini tidak hanya milik ilmuan indonesia saja melainkan juga sudah
menjadi situs milik ilmuan diseluruh dunia.
Situs Sangiran merupakan salah satu situs bersejarah yang terletak di Desa
Krikilan, Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen. Situs sangiran menyimpan
koleksi benda-benda peninggalan kehidupan pada masa prasejarah (Dwiyantoro,
2012). Situs Sangiran telah ditetapkan sebagai warisan dunia (World Heritage)
oleh UNESCO dengan nama Sangiran the Early Man Site. Alasan penetapan Situs
Sangiran sebagai warisan dunia adalah Situs Sangiran merupakan salah satu situs
kunci untuk pemahaman evolusi manusia yang tergambar melalui fosil-fosil
(manusia dan binatang) dan alat-alat paleolitik yang ditemukan di Sangiran. Situs
Sangiran memberikan gambaran evolusi Homo sapiens yang dimulai sejak Kala
Plestosen Bawah hingga saat ini (Hidayat, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah situs manusia purba di Trinil dan Sangiran?
2. Bagaimana cara mendeteksi bahwa disuatu tempat diperkirakan
terdapat fosil?
3. Bagaimana cara membedakan antara batuan biasa dengan fosil atau
dengan sisa – sisa tumbuhan dan hewan yang belum menjadi fosil?
4. Bagaimana cara mengetahui usia fosil secara umum?
5. Bagaimana cara menangani fosil yang baru ditemukan?
6. Bagaimana tipe struktur dan tekstur tanah ?
7. Bagaimanakah sejarah Situs Purbakala Sangiran dan munculnya
sangiran dome?
8. Bagaimana fase – fase terbentuknya benua?
9. Bagaimana urutan – urutan evolusi manusia?
10. Bagaimana evolusi bumi menurut bigbang?
11. Jenis apa saja fosil yang ditemukan di Trinil dan Sangiran?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah situs manusia purba di Trinil dan Sangiran
2. Mengetahui cara mendeteksi bahwa disuatu tempat diperkirakan
terdapat fosil.
3. Mengetahui cara membedakan antara batuan biasa dengan fosil atau
dengan sisa – sisa tumbuhan dan hewan yang belum menjadi fosil.
4. Mengetahui usia fosil.
5. Mengetahui cara menangani fosil yang baru ditemukan.
6. Mengetahui tipe struktur dan tekstur tanah.
7. Mengetahui sejarah Situs Purbakala Sangiran dan munculnya sangiran
dome.
8. Mengetahui fase – fase terbentuknya benua.
9. Mengetahui urutan – urutan evolusi.
10. Mengetahui evolusi menurut teori bigbang.
11. Mengetahui fosil apa saja yang ditemukan di Trinil dan Sangiran.

1.4 Manfaat
1. Dapat menambah pengetahuan mengenai sejarah terbentuknya situs
manusia di Purba Trinil dan Sangiran.
2. Dapat melihat secara langsung bukti-bukti evolusi yang berupa fosil.
3. Dapat menambah pengetahuan mengenai cara mendeteksi tempat –
tempat yang diperkirakan terdapat fosil.
4. Dapat menambah pengetahuan terutama pada mata kuliah evolusi.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Evolusi


Evolusi merupakan salah satu teori maupun cabang dalam khasanah ilmu
pengetahuan. Teori tersebut menyatakan terjadinya sebuah perubahan pada
makhluk hidup atau spesies secara gradual (perlahan – lahan). Perubahan yang
dihasilkan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan spesies
atau makhluk hidup yang baru. Teori evolusi menjadi sebuah teori yang tenar
ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuan Inggris Chalres Darwin (1809-1882).
Salah satu ilmuan yang meneliti kejadian evolusi ( teori evolusi) ini dalah
charles darwin. Beliau menyebutkan di teori terbut manusia berasal berasal dari
keturunanHominid, yaitu makhluk hidup yang berciri – ciri diantara mabusia dan
kera. Banyak fosil-fosil hominid ini tersebar diseluruh bagian dunia. Fosil
hominid tertua yang pernah ditemukan adalah Australophithecus memiliki
kapsitas otak sebesar 450 cc. Hominid ini sudah bisa berjalan dengan posisi tegak.
Posisi tegak ini sangat penting karena, posisi ini memberikan beberapa
keuntungan bagi hominid ini. Contohnya hominid ini sudah bisa melihat benda
jarak yang jauh dan ia sudah bisa memindahkan berat ke tangan.
Teori evolusi Darwin dihasilkan dari sebuah ekspedisi yang Darwin lakukan
pada saat pelayaran menjelajahi daratan maupun lautan Amerika Selatan. Namun
seiring dengan perjalanan waktu teori evolusi mengalami penyempurnaan atau
modifikasi hingga sampai saat ini. Seperti halnya teori evolusi Darwin menjadi
teori evolusi sintesis modern. Teori tersebut hingga sampai saat ini menjadi
populer dikalangan masyarakat umum. Didalam gagasan teori evolusinya yang
Darwin jelaskan dalam bukunya The On the Origin of Species terdapat dua pokok
gagasan yang Darwin jelaskan dalam bukunya tersebut. Pertama adalah spesies-
spesies yang ada sekarang ini merupakan keturunan dari spesies moyangnya.
Diedisi pertama bukunya, Darwin tidak menggunakan kata evolusi. Darwin
menyebutnya modifikasi keturunan (descent with modifcation). Gagasan utama
yang kedua adalah seleksi alam sebagai mekanisme modifikasi keturunan (Luthfi
dan Khusnuryani, 2005: 6).
Teori evolusi pertama kalinya dicetuskan oleh Jean Baptiste de Monest
Lamark, seorang sarjana biologi Perancis, yang hidup di tahun 1744 – 1829. Ia
mengatakan bahwa suatu kehidupan berawal dari tumbuh-tumbuhan yang
berkembang menjadi binatang dan akhirnya menjadi manusia. Teori ini lama tidak
mendapat perhatian dunia karena dirasa aneh. Baru setelah Charles Darwin,
seorang ahli zoologi Inggris, yang hidup pada tahun 1809 – 1882
mempublikasikan bukunya “Ueber die Entstebung der Arten durch naturliche”
(On the origin of species by means of natural selection) di tahun 1859, teori
evolusi mulai dikenal banyak orang. Garis besar isi dari buku itu adalah suatu
spesies makhluk hidup terjadi berkat seleksi alam dan hanya makhluk yang
bertahan hiduplah yang bisa menjaga populasinya dari keganasan alam, sehingga
species makhluk hidup yang ada sekarang berasal dari species-species di masa
lampau dan sel-sel purba bahan dasar makhluk hidup itu diciptakan oleh tuhan
(Stanislaus, 2008 : 30).
2.2 Kejadian Alam Semesta
Menurut para ahli, alam semesta terjadi dari suatu “ledakan dahsyat” (big
bang) dari titik tunggal yang bervolume nol dan inilah awal mula alam semesta.
Titik tunggal ini mengandung pengertian berupa zat atau materi dengan kecepatan
yang tidak terbatas (Yunus, dkk., 2006 : 8).
Menurut teori ini, mungkin miliaran tahun silam, terdapat tumpukan gas
yang terdiri dari hidrogen dan helium yang berotasi, kemudian gas ini pecah
karena peristiwa (ruang hampa) yang disebut big bang, membentuk benda-benda
langit yang kini disebut dengan galaksi (pembentukan alam semesta tahap
pertama). Dalam alam ssemesta ini terdapat miliaran galaksi masing-masing
berotasi pada sumbunya. Selanjutnya galaksi ini pecah lagi menjadi miliaran
bintang, salah satu di antara bintang itu adalah matahari, dan tahap selanjutnya gas
yang membentuk bintang itu pecah lagi membentuk planet-planet yang berotasi
pada sumbunya dan beredar mengelilingi bintang, diantaranya adalah matahari
(Yunus, dkk., 2006 : 8).
Materi yang terdapat di alam semesta itu mula-mula berdesakan satu sama
lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi sehingga hanya berupa proton,
nuetron dan elektron yang tidak mampu membentuk susunan yang lebih berat
karena mengembung. Kemudian suhu menurun sehingga proton dan nuetron
berkumpul membentuk inti atom. Kecepatan mengembung ini menentukan
macam atom yang terbentuk. Ahli ilmu alam telah menghitung bahwa masa
mendidih tidak lebih dari 30 menit. Bila kurang dari 30 menit artinya
mengembung lebih cepat, alam semesta ini didominasi oleh unsur hidrogen. Jika
lebih dari 30 menit, berarti mengembung lambat, alam semesta didominasi unsur
berat (Yunus, dkk., 2006 : 8).
Selama 250 juta tahun sesudah ledakan dasyat, energi sinar lebih dominan
terhadap materi, transformasi keduanya bisa terjadi sesuai dengan rumus Einstein,
E = mc2. Selama proses pengembungan ini, energi sinar banyak terpkai dan
materi makin dominan. Setelah 250juta tahun, masa dari materi dan sinar enjadi
sama. Sebelum itu, tidak dibayangkan bahwa materi larut dalam air panas radiasi
seperti garam larut dalam air (Yunus, dkk., 2006 : 9).
Pada masa itu, setelah lewat 250 juta tahun, materi dan gravitasi dominan,
terdapat diferensiasi yang tadinya homogen. Bola-bola gas galaksi terbentuk
dengan garis tengah lebih kurang 40.000 tahun cahaya dan bermassa 250 juta kali
massa matahari kita. Awan gas gelap itu kemudian berdiferensiasi atau
berkondensasi menjadi bola-bola gas bintang yang berkontraksi sangat cepat
(Yunus, dkk., 2006 : 9).
Akibat konstraksi dan pemadatan itu, suhu naik sampai 20.000.000 derajat
celcius, yaitu threshold reaksi inti dan bintang pun mulai bercahaya. Karena
sebagian besar dari materi terisap ke pusat bintang, planet dibentuk dari
sisasisanya yaitu butir – butir debu berbenturan satu sama lain dan membentuk
massa yang elbih besar, berseliweran di ruang angkasa dan semakin lama semaki
besar (Yunus, dkk., 2006 : 9).
Proses kondensasi bintang dan pembentukan planet membutuhkan waktu
beberapa ratus juta tahun. Kita mengetahui bahwa bulan bergerak menjauhi bumi,
hal ini berarti bahwa beberapa miliar tahun yang lalu bumi dan bulan ini satu dan
bulan merupakan pecahan dari bumi yang memisahkan diri (Yunus, dkk., 2006 :
9).
Alam semesta terjadi karena adanya ledakan dari titik tunggal yang
bervolume nol. Ledakan yang luar biasa dahsyat ini menandai mulainya alam
semesta. Jadi alam semesta muncul dari ketidakadaan, dengan kata lain bahwa
alam semesta ini pastilah ada yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Jadi,
alam semesta yang besar diciptakan oleh sang pencipta yang Maha besar (Yunus,
dkk., 2006: 9 – 10).
2.3 Kejadian Makhluk Hidup
Setelah bumi terbentuk dengan segala isinya dan peristiwa yang terkandung
di dalamnya, kemudian bagaimana awal mulanya kejadian makhluk hidup, yaitu
tumbuhan, hewan dan manusia. Dalam ajaran agama, semua makhluk hidup apa
pun titik awalnya berasal dari ciptaan tuhan (Yunus, dkk., 2006 : 10).
Asal – usul makhluk hidup berasal dari materi yang tidak hidup (zat
anorganik) yang terdapat di alam. Pendapat ini juga dikenal dengan teori
Abiogenesis. Teori ini dipelopori oleh seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles
(384 – 322 SM) (Yunus, dkk., 2006 : 10).
Pokok dari teori evolusi itu adalah bahwa hewan, tumbuhan, dan juga
manusia dalam berbagai abad yang lalu telah berkembang dari makhluk yang
berbentuk lebih sederhana. Semuanya itu melalui proses evolusi yang telah
berlangsung beribu – ribu tahun, bahkan berjuta – juta tahun, dimulai dengan satu
atau beberapa bentuk makhluk yang sederhana secara perlahan – lahan
berkembang ke pelbagai bentuk (Widodo, 1989) (Lukman, 2008).
Teori sel antara lain menyatakan bahwa: 1) sel merupakan unit struktural
dan fungsional yang paling kecil dari makhluk hidup, dan 2) sel merupakan unit
hereditas yang paling kecil dari makhluk hidup (Robertis, 1988) (Lukman, 2008).
Pernyataan pertama mengandung arti bahwa sebuah sel dapat melakukan
aktivitas hidup karena dilengkapi dengan “mesin” atau organel-organel untuk
melakukan aktivitas tersebut, misalnya mitokondria, kloroplas, dsb. Sebagai unit
hereditas berarti sel mengandung materi genetic (ADN) yang mengendalikan
berbagai aktivitas sel. Dalam kenyataannya memang terdapat jenis-jenis
organisme yang tubuhnya hanya tersusun dari satu sel (uniseluler), misalnya
Paramaecium, Euglena dan masih banyak yang lain. Alberts (1989) menyatakan
bahwa setiap organisme dan semua sel yang membentuknya dipastikan berasal
dari atau diturunkan oleh sejenis sel purba melalui evolusi.
Karena makhluk hidup dapat berupa sebuah sel tunggal, maka dalam
pandangan evolusi, sel yang ada sekarang mestinya juga berkembang dari sel
yang lebih sederhana, dan sel yang lebih sederhana tersebut juga merupakan hasil
evolusi (Lukman, 2008).
Luria (1978) memberi batasan makhluk hidup sebagai unit penerus
keturunan (bahan genetik) yang berkembang sejalan dengan evolusi. Di dalam sel
eukariot terdapat beberapa organel yang memiliki struktur seperti sel prokariot.
Organel tersebut, yaitu mitokondria dan kloroplas, memiliki ADN dan ribosom
yang memungkinkan mensintesis protein. Kalau kita ikuti definisi Luria di atas
dan juga kita bandingkan dengan struktur umum sel prokariot, maka dipandang
dari sudut evolusi baik mitokondria maupun kloroplas kemungkinan semula
merupakan semacam sel prokariot (Lukman, 2008).
Evolusi merupakan salah satu teori maupun cabang dalam khasanah ilmu
pengetahuan. Teori tersebut menyatakan terjadinya sebuah perubahan pada
makhluk hidup atau spesies secara gradual (perlahan – lahan). Perubahan yang
dihasilkan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan spesies
atau makhluk hidup yang baru. Teori evolusi menjadi sebuah teori yang tenar
ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuan Inggris Chalres Darwin (1809 – 1882).
Teori evolusi Darwin dihasilkan dari sebuah ekspedisi yang Darwinlakukan pada
saat pelayaran menjelajahi daratan maupun lautan Amerika Selatan (Sutrisno,
2015).
Namun seiring dengan perjalanan waktu teori evolusi mengalami
penyempurnaan atau modifikasi hingga sampai saat ini. Seperti halnya teori
evolusi Darwin menjadi teori evolusi sintesis modern. Teori tersebut hingga
sampai saat ini menjadi populer dikalangan masyarakat umum. Didalam gagasan
teori evolusinya yang Darwin jelaskan dalam bukunya The On the Origin of
Species terdapat dua pokok gagasan yang Darwin jelaskan dalam bukunya
tersebut. Pertama adalah spesies-spesies yang ada sekarang ini merupakan
keturunan dari spesies moyangnya. Diedisi pertama bukunya, Darwin tidak
menggunakan kata evolusi. Darwin menyebutnya modifikasi keturunan (descent
with modifcation). Gagasan utama yang kedua adalah seleksi alam sebagai
mekanisme modifikasi keturunan (Luthfi dan Khusnuryani, 2005: 6) (Sutrisno,
2015).
Dari awal kemunculan teori evolusi Darwin telah memunculkan polemik
dari berbagai kalangan naturalis (ilmuan), akademisi maupun agamawan.
Ketidaksepakatan terhadap konsep evolusi Darwin diawali oleh Uskup Samuel
Wilberforce pada saat pertemuan British AssocDarwintion for the Advancement
of Scince (sekarang dikenal sebagai BA), diadakan di Oxford University Museum
pada 1860 (The Natural History Museum, 2008: 2) (Sutrisno, 2015).
Sebagai kalangan agamawan mengaggap kreasionisme sesuai dengan ajaran
agama. Karena hal tersebut sudah tersirat atau dinashkan dalam kitab suci agama
samawi. Seperti halnya Harun Yahya yang merupakan pioner kreasionisme islam
yang tampil didepan dalam mengkampayekan kreasionisme dari presfektif islam.
Harun Yahya dan penganut kereasionisme islam mencoba menukil dalil AlQuraan
sebagai sebuah pijakan untuk menolak teori evolusi. Seperti surat At Tin 4 dan Al-
Baqarah 30.
Kesahihan teori evolusi hingga sampai saat ini masih menjadi sebuah
pembahasan yang belum menemukan sebuah konklusi. Berbagai klaimpun terjadi
diantara kubu yang menganggap bahwa pendapat masing – masing yang paling
benar. Terutama dari kalangan evolusionis (pendukung) ataupun kreasionisme
(penentang) dua arus yang mendominasi terkait asal usul makhluk hidup
(Sutrisno, 2015).
Awal tahun 1940 – an, Weidenreich (1943) mendiskusikan tentang evolusi
dari kelompok populasi manusia yang berbeda pada tiap – tiap wilayah. Dalam
monografi yang dia tulis mengenai Sinanthropus atau Homo erectus dari
Zhoukoudian, Cina, Weidenreich mengidentifikasi beberapa pola morfologi yang
bersifat regional, atau dengan kata lain morfologi yang merupakan karakteristik
Asia Timur antara Sinanthropus dan kelompok – kelompok populasi manusia
hidup di Asia, terutama di Cina bagian utara. Ciri khas atau karakteristik
morfologi Asia Timur tersebut adalah: tonjol sagittal and cekungan paranasal;
sutura metopica; tulang inca; ciri mongoloid pada pipi, maxilla, telinga;
platymerisme pada femur; tuberositas deltoid pada humerus; bentuk shovel
shaped pada incisivus atas; sutura nasofrontal dan frontomaxillary yang lurus
(Wolpoff et al., 1984).
Berdasarkan kekhasan karakteristik morfologi ini, Weidenreich menarik
kesimpulan bahwa Sinanthropus adalah nenek moyang langsung dari Homo
sapiens di Cina yang juga mempunyai hubungan lebih dekat dengan populasi
populasi Mongolia daripada dengan populasi – populasi lainnya. Lebih jauh
Weidenreich memperkenalkan teori Polycentric yang mengatakan bahwa evolusi
manusia modern tidak terbatas dan terpusat pada geogra fis tertentu tetapi
melintasi semua area di seluruh dunia. Dalam proses tersebut selalu ada variasi
yang besar dengan tendensi yang mengarah pada perbedaan rasial. Proses evolusi
dan perbedaan rasial ini terjadi dalam waktu yang lama dimulai dari pertenga han
sampai pada akhir Pleistosin atas dengan variasi interupsi yang diduga sebagai
akibat dari perubahan lingkungan. Dengan demikian, Weidenreich mengajukan
asumsi awal dari Multiregional Evolution Model (Wollpoff et al., 1984)
Melanjutkan pemikiran dari Weidenreich, para pendukung Polycentric
Model mengembangkan teori ini dengan menekankan pada perbedaan morfologi
pada fosil terutama yang ditemukan di Asia Timur dan Australasia. Thorne (1977,
dalam Wolpoff et al., 1984) mengajukan hipotesis the Centre and Edge dimana ia
menyatakan bahwa polimorpisme kurang tampak pada wilayah – wilayah
pinggiran sebagai akibat dari tingginya tingkat seleksi. Di sisi lain, populasi di
wilayah periferi lebih condong menjadi monomorpis sebagai akibat dari gene flow
yang datang dari berbagai arah. Dengan demikian tingkatan gene flow pada
daerah periferi memungkinkan adanya perbedaan dan sekaligus sebagai
stabilisator pola morfologi Wolpoff et al. (1984) menemukan sejumlah karakter
yang menjadi kekhasan fosil Asia Timur, yang dipandang mempunyai relevansi
dengan Polycentric Model. Fosil-fosil tersebut adalah: Yuanmou, Lantian,
Zhoukoudian, Hexian, Dali, Maba, Dingcun, Changyang, Ziyang, Chilinshan,
Liujiang dan Upper Cave. Wu (1997) melengkapi model ini berdasarkan fakta
bahwa ada beberapa karakter morfologi umum yang dimiliki bersama baik oleh
Homo erectus Pekinensis maupun kelompok populasi Mongolia modern. Selain
fosil dari Asia Timur, karakteristik Australasia juga ditemukan pada spesimen dari
Sambungmacan, Sangiran, Ngandong, Wajak, Keilor, Cohuna, Kow Swamp dan
Wilandra Lakes. Berdasarkan hasil pengamatan ini Wolpoff et al. menyimpulkan
bahwa ada bukti mengenai diferensiasi lokal dan bukti mengenai kontinuitas
genetik di area periferi (Wolpoff et al., 1984, 1985, 1989, 199 2; Frayer et al.,
1993).
Pemikiran dasar dari Weidenreich dan pengembangan hipotesis dari
Polycentric Model ini kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi dasar dari
teori Multiregional Evolution Model yang menurut para pendukung teori MRE
adalah merup akan sebuah penjelasan pola evolusi manusia modern pada masa
Pleistosin
1. Seleksi alamiah (natural selection)
Proses evolusi adalah perubahan – perubahan struktur organisme sepanjang
waktu. Perubahan-perubahan tersebut dilandasi oleh sebuah mekanisme yang
bersifat kausal, yakni seleksi alamiah. Seleksi alamiah mempunyai tiga unsur,
yaitu (a) Variasi (variation). Hewan dalam satu spesies yang sama dapat bervariasi
dalam berbagai cara, misalnya dalam hal panjang sayap, struktur sel, kemampuan
berkelahi dan sebagainya, (b) Warisan (inheritance), hanya sejumlah variasi yang
akan diwariskan secara ajeg dari orangtua kepada keturunannya. Variasi-variasi
lain tidak akan diwariskan kepada keturunan. Hanya variasi yang diwariskan saja
yang akan berperan dalam proses evolusi. (c) Seleksi (selection). Organisme yang
mempunyai sifat – sifat tertentu yang dapat diwariskan akan memproduksi lebih
banyak keturunan dibandingkan dengan organisme yang kurang memiliki sifat –
sifat yang dapat diwariskan oleh karena sifat-sifat tersebut membantu
memecahkan problem khusus dan dengan demikian memberi sumbangan kepada
reproduksi dalam satu lingkungan tertentu (Buss et al., 1998) (Hastjarjo, 2003).
2. Adaptasi (adaptation)
Adaptasi adalah produk proses evolusioner. Adaptasi adalah satu
karakteristik yang berkembang secara reliabel dan dapat diwariskan yang muncul
menjadi satu ciri satu spesies melalui seleksi alamiah oleh karena karakteristik
tersebut membantu secara langsung atau tidak langsung untuk memfasilitasi
reproduksi selama periode evolusinya (Buss et al., 1998). Fungsi adaptasi adalah
untuk memecahkan satu problem adaptif. Pengertian adaptasi dalam psikologi
evolusioner ini berbeda dengan pengertian adaptasi yang umum dipakai oleh
psikologi. Pengertian umum adaptasi biasanya menunjuk pada pengertian yang
menyangkut kebahagiaan pribadi, kesesuaian sosial, kemampuan menyesuaikan
diri dengan kondisi yang berubah atau kesejahteraan hidup (Hastjarjo, 2003).
Adaptasi merupakan karakteristik yang bersifat dapat diwariskan. Adaptasi
diturunkan oleh orang tua kepada anak keturunan. Agar supaya adaptasi dapat
diwariskan kepada keturunan maka perlu ada gen adaptasi. Meskipun adaptasi
merupakan karakteristik yang diwariskan, faktor lingkungan mungkin memainkan
peranan penting dalam perkembangan ontogenetiknya (Buss et al., 1998)
(Hastjarjo, 2003).
Satu karakteristik dinilai sebagai adaptasi jika memenuhi dua kriteria (Buss
et al., 1998), yakni (a) karakteristik tersebut harus secara ajeg muncul dalam
bentuk yang lengkap pada saat yang tepat dalam kehidupan organisme, (b)
karakteristik itu merupakan karakteristik yang tipikal dari semua atau kebanyakan
anggota spesies (Hastjarjo, 2003).
Adaptasi tidak selalu harus ada pada saat kelahiran. Misalnya, gerakan
dengan dua kaki merupakan satu karakteristik yang berkembang secara ajeg dari
manusia, namun kebanyakan manusia baru mampu berjalan dengan dua kaki pada
usia setahun (Hastjarjo, 2003).
2.4 Fosil
Fosil ialah sisa tulang belulang binatang atau sisa-sisa tumbuhan dari zaman
purba yang membatu atau yang tertanam di bawah lapisan tanah (Badudu dan
Zein, 2001). Suatu benda bisa disebut fosil apabila memiliki syarat antara lain:
merupakan sisa organisme, terawetkan secara alamiah, pada umumnya
padat/kompak/keras, mengandung kadar oksigen dalam jumlah sedikit, dan
berumur lebih dari 10.000 tahun (Palmer, 2002).
Proses pembentukan fosil dimulai dari masukknya air yang mengandung
mineral ke dalam sel-sel tulang atau benda dari suatu organisme yang membusuk
sehingga menjadi batu. Proses terbentuknya fosil materi lain, yaitu karena
permineralisasi secara kimiawi dan fisika melalui proses yang sangat panjang
(Andianto et al., 2012).
Berdasarkan temuan fosil dan keanekaragaman kehidupan yang ada di bumi
ini adalah hasil kelangsungan evolusi melalui tiga pola dasar yaitu pola sekuensial
(berjenjang), divergen (menyebar), dan parallel (sejajar) (Raharjo, 1995:37).
Perubahan-perubahan kecil yang terjadi lungkang gen dapat terjadi dalam
lungkang gen suatu populasi akan berlangsung dari suatu generasi ke generasi
berikutnya, terkait dengan frekuensi genotip dan kisaran variasi fenotipnya, pola
ini disebut pola sekuensial (berjenjang). Pola dasar evolusi yang kedua yakni
evolusi divergen yang terjadi berdasarkan temuan fosil oleh para ilmuwan,
memperlihatkan bahwa adanya perkembangan populasi baru sebagai fragmentasi
atau sempalan dari populasi lama. Pola dasar evolusi yang ketiga yakni pola dasar
parallel (sejajar). Pola ini menjelaskan pola evolusi yang menunjukkan
kecenderungan yang terpisah antar populasi tapi memiliki nenek moyang yang
sama (Yahya, 2004:38 – 40).
Sekitar 2 juta tahun yang lalu, munsullah Homo Hobilis, Spesies ini
diperkirtakan merupakan keturunan dari Australopiyhecus Africanus. Homo
Hobilis sudah meiliki kemampuan untuk membuat peralatan peralatan kasar dari
batun –batuan dan tulang hewan. Mereka bertahan hingga 1,5 juta tahun yang
lalu, kemudian mereka digantika oleh Homo erectus.
Homo erectus adalah jenis Hominid yang kemungkinan besar yang
merupakan keturunan dari Homo Hobilis.Homo erectus memiliki kapsitas otak
yang lebih besar dari pada Homo Hobilis. Mereka sudah mampu membuat alat
yang lebih halus dan rapi dari bebatuan dan tulang hewan. Kemudian Homo
Erectus menurunkan Homo Neanderthalensis. Homo Neanderthalensis hidup di
gua – gua dan telah mengubur orang mati. Dibeberapa wilayah merka dapat
bertahan hingga 40000 tahun yang lalu. Akan tetapi mereka punah dan digantikan
oleh homo sapiens manusia modern (Siska, 2015).
2.5 Pengertian dan Fungsi Museum
Dalam Jurnal Kebudayaan Vol.2 (2012: 234) pengertian museum menurut
definisi International Council of Museum (ICOM) sebagai berikut: A museum is a
non profit permanent institution, in the service of society and its development and
open the public, which acquires, concerves, researches, communicates and
exhibits, for the purpose of study, education and enjoyment, material of man and
his environment. (Museum adalah sebuah lembaga tetap yang tidak mencari
keuntungan pribadi belaka, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka
untuk umum yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memerkan untuk
tujuan studi, pendidikan, dan kesenangan (kepuasan batin), barang-barang
pembuktian manusia dan lingkungannya).
Museum sebagai suatu lembaga tetap juga berhak merawat dan melindungi
serta memamerkan koleksi benda – benda sejarah, maka museum memiliki
beberapa fungsi. Menurut Oka A.Yoeti (2006: 14), terdapat dua fungsi museum
yaitu pertama melindungi dan menjaga kelestarian benda-benda bukti material
hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya. Kedua, mengkomunikasikan
dan menyebarkan informasi mengenai benda – benda tersebut kepada masyarakat
melalui publikasi, bimbingan edukatif cultural dan pameran.
Hal serupa juga disampaikan oleh Mohammad Iskandar (2009: 103) bahwa
koleksi yang tersimpan dalam museum, selain untuk penyelamatan maupun objek
penelitian kepurbakalaan atau arkeologis, juga berfungsi untuk memperkenalkan
peninggalan-peninggalan budaya Indonesia. Hal senada juga dijelaskan dalam
Undang-undang No.11 Tahun 2010 Tantang Cagar Budaya Pasal 18 ayat 2,
museum merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan,
memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan dan/atau struktur yang telah
ditetapkan sebagai cagar budaya atau yang bukan cagar budaya, dan
mengakumulasikannya kepada masyarakat.
2.6 Tentang Museum Trinil
Museum Trinil merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada
zaman Pleistosen tengah ± 1 juta tahun yang lalu. Selain ditemukan data manusia
purba, di Trinil juga menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya baik flora
maupun faunanya. Soenatris juga mengemukakan asal-usul kata Trinil yaitu
Penggalian manusia purba (Pithecanthropus Erectus) di tiga perbatasan desa
ditengah bengawan Solo, yaitu sebelah barat desa Kawu, sebelah utara desa
Gemarang dan sebelah timur desa Ngancar. Selain itu juga Eugene Dubois
menggunakan kata Trinil untuk menyebut kode penemuan, dan akhirnya menjadi
nama “Museum Trinil” (Soebijantoro, 2013).
Museum Trinil berdiri sekitar tahun 1980-1981 dimana pendirian museum
ini pada awalnya dirintis oleh salah seorang penduduk setempat bernama
Wirodiharjo pada tahun 1968. Mulai didata koleksinya tahun 1979 dengan
semakin banyak ditemukan fosil-fosil purba baik oleh para arkelog maupun warga
sekitar. Kemudian pembangunan Museum Trinil diresmikan oleh Soelarso Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur pada tanggal 20 November 1991 (Soenatris Hadi,
2001: 2).
Museum ini merupakan sebuah bangunan tempat untuk menampung dan
memamerkan benda-benda peninggalan sejarah di Ngawi kepada masyarakat agar
dapat dipakai sesuai dengan fungsi dan manfaat yang telah disebutkan di atas.
Museum Trinil adalah sebuah museum purbakala yang terletak di di Desa Kawu,
Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Situs ini lebih kecil dari
situs Sangiran. Trinil merupakan kawasan di lembah Bengawan Solo yang
menjadi hunian kehidupan purbakala dan sekarang didirikan sebuah museum di
kawasan ini. Koleksi-koleksi yang ada di Museum Trinil lebih identik dengan
dengan peninggalan pada masa prasejarah. Situs Trinil dulu ada suatu sejarah
penelitian Paleoanthropologi oleh E. Dubois yaitu pada tahun 1891-1893 dan
ditemukanlah fosil manusia purba phithecantropus erectus. Museum Trinil berdiri
pada tahun 1980 sebelumnya dirintis oleh Wirodiharjo pada tahun 1968 dan
dibangunlah Museum yang baru ini pada tanggal 20 November 1991, diresmikan
oleh Kepala Daerah Tk 1 Jawa Timur Bapak Soelarso. Ditinjau dari koleksinya
Museum Trinil merupakan meseum khusus, karena koleksinya hanya satu jenis
yaitu “fosil” seperti manusia purba, gajah, kerbau, badak, kuda nil purba, dan juga
ditemukan fosil kerang dan tumbuhan (Fathoni, 2015:25).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan tentang pengertian
Museum Trinil adalah suatu gedung yang menyimpan, memelihara, merawat serta
memamerkan benda-benda sejarah berupa benda-benda purbakala terletak di
Kabupaten Ngawi. Disamping berfungsi sebagai tempat penyimpanan bendabenda
purbakala untuk sarana edukasi, Museum Trinil juga digunakan sebagai tempat
rekreasi (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014).
1. Struktur Kepengurusan Museum Trinil
Museum Trinil merupakan salah satu museum yang masuk dalam kategori
jenis museum lokal dimana ruang lingkup tugasnya terbagi atas provinsi dan juga
kabupaten. Sehingga untuk kepengurusan Museum Trinil tersebut juga berasal
dari dua golongan atau kelompok, yaitu pengelola museum dari Pemerintah
Kabupaten Ngawi dan pengurus dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan
Mojokerto Jawa Timur. Berikut ini adalah daftar pengelola Museum Trinil:
a. Pengelola dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan
1) Catur Hari Gumono (Pengelola Museum Trinil)
2) Agus H.W (Pengelola Museum Trinil)
3) Mardi (Pengelola Museum Trinil)
4) Sugianto (Pengelola Museum Trinil)
5) Suwardi (Pengelola Museum Trinil)
6) Juwono (Pengelola Museum Trinil)
7) Suwono (Pengelola Museum Trinil)
8) Yayuk S. (Pengelola Museum Trinil)
9) Nanik Limawati (Pengelola Museum Trinil)
10) Sri Wardayati (Pengelola Museum Trinil)
b. Pengelola dari Pemerintah Kabupaten Ngawi
1) Martha Karuniawati (Kepala Museum Trinil)
2) Sujono (Pengelola Museum Trinil)
3) Suyono (Pengelola Museum Trinil)
4) Suryono (Pengelola Museum Trinil)
5) Suprapto (Pengelola Museum Trinil)
6) Sulistyo Budi (Pengelola Museum Trinil)
Dari paparan tersebut nampak Museum Trinil merupakan museum lokal
yang terbagi ke dalam museum provinsi dan museum kabupaten, maka dalam
pengelolaan Museum Trinil tersebut juga terbagi dua yaitu pengelolaan dari pihak
Pemerintah Kabupaten Ngawi dan pengelolaan dari BPCB (Badan Pelestarian
Cagar Budaya) Trowulan. Pemerintah Kabupaten Ngawi lebih cenderung
mengelola dalam hal sarana prasarana, seperti penataan taman bermain maupun
area parkir kendaraan di museum. Sedangkan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya
Trowulan Mojokerto Jawa Timur, dalam pengelolaan Museum Trinil lebih
difokuskan pada koleksi-koleksi yang tersimpan di museum baik koleksi yang
dipamerkan maupun koleksi yang masih berada di laboratorium (sumber: daftar
pengelola Museum Trinil 2014) (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014).
2. Koleksi Museum Trinil
Apabila dilihat dari jenis museum yang ada di Indonesia, museum Trinil
tergolong dalam museum khusus yaitu koleksi-koleksi yang ada di Museum Trinil
hanya satu jenis saja yang berkaitan dengan dengan satu cabang seni maupun
cabang ilmu yaitu kepurbakalaan. Jumlah koleksi yang ada di Museum Trinil
±131 fosil purba yang terdiri fosil manusia purba, fosil binatang purba dan fosil
tumbuhan purba, sedangkan yang ada di laboratorium ±1000 fosil purba. Koleksi
yang dimiliki Museum Trinil terdiri dari fosil manusia purba diantaranya:
a. Fosil gigi geraham manusia purba Pithecanthropus Erectus
b. Fosil tengkorak manusia purba Pithecanthropus Erectus
c. Fosil tulang paha manusia purba Pithecanthropus Erectus
d. Fosil atap tengkorak manusia purba Pithecanthropus Erectus
e. Fosil tengkorak manusia purba Pithecanthropus Soloensis
Sedangkan koleksi fosil hewan purba yang ada di ruang pameran Museum
Trinil maupun yang ada di laboratorium diantaranya fosil gajah purba atau fosil
gading purba, fosil kerbau purba, badak kuda nil purba, fosil kerang dan
tumbuhan purba (wawancara WR-02, 27 April 2014) (Astutik, Yuli &
Soebijantoro, 2014).
3. Sejarah Museum Trinil
Menurut WR-02 kata Trinil diartikan sebagai penggalian manusia purba
(Pithecanthropus Erectus) di tiga perbatasan desa ditengah bengawan Solo, yaitu
sebelah barat desa Kawu, sebelah utara desa Gemarang dan sebelah timur desa
Ngancar. Selain itu, Eugene Dubois menggunakan kata Trinil untuk menyebut
kode penemuan, dan akhirnya menjadi nama “Museum Trinil”. Pendirian museum
ini dirintis oleh salah seorang penduduk setempat bernama Wirodihardjo pada
tahun 1968 (wawancara 27 April 2014) (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014).
Wirodihardjo atau Wiro Balung lahir pada tanggal 18 Agustus 1918 di Desa
Gemarang Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi. Penyebutan nama Wiro
Balung itu melakat dikarenakan Wirodihardjo suka mengumpulkan balung atau
tulang dalam hal ini yang dimaksudkan adalah fosil-fosil yang telah ditemukan.
Pada tahun 1930 Wirodihardjo lulus dari Sekolah Rakyat atau SR. Kemudian
melanjutkan ke Gubernemen pada masa penjajahan Belanda dan lulus tahun 1932.
Pada tahun 1941 Wirodihardjo menjadi BKR (Barisan Keamanan Rakyat) di desa
dan masuk menjadi pasukan Seinedan pada tahun 1942 ketika Indonesia masa
penjajahan Jepang. Setelah Indonesia merdeka Wirodihardjo menjadi hansip,
sedangkan pada tahun 1965 – 1967 diangkat menjadi Bayan Desa Kawu (Astutik,
Yuli & Soebijantoro, 2014).
Sesudah menjabat sebagai Bayan, Wiro menjadi petani biasa.
Ditengahtengah kesibukannya menjadi petani tersebut, Wiro menjadi tenaga
pembantu ekspedisi penelitian Eugene Dubois dan Salenka ilmuan asal Belanda.
Berbekal dari pengalaman tersebut Wiro mulai gemar mengumpulkan fosil-fosil
disekitar tepian sungai Bengawan Solo yang arah alirannya melalui Dukuh Pilang
Desa Kawu dimana penemuan fosil yang Wiro lakukan tersebut secara tidak
sengaja. Kemudian fosil yang Wiro temukan pada saat itu diteliti oleh Eugene
Dubois dan Salenka. Ternyata fosil – fosil tersebut merupakan salah satu jenis
fosil Pithecanthropus Erectus. Penemuan tersebut mengundang banyak perhatian
masyarakat sekitar, sehingga hal itu menyebabkan Wiro termotivasi untuk
mengumpulkan fosil-fosil yang lain. Tujuan pengumpulan yang dilakukan Wiro
hanya sebatas ingin melestarikan benda-benda peninggalan sejarah tersebut.
Sedangkan penemuan fosil oleh masyarakat yang tidak sengaja atau secara
kebetulan diberikan imbalan jasa misalnya berupa rokok maupun beras. Hal itu
dilakukan dengan harapan bahwa nantinya fosil yang ditemukan tidak dijual
kepada orang luar atau orang asing (Astutik, Yuli & Soebijantoro, 2014).
2.7 Tentang Museum Sangiran
Museum adalah khasanah pengetahuan, peran museum sangat penting yaitu
men jadi sumber ilmu pengetahuan sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan se-
bagai tempat pendidikan (Arbi, 2002:17). Selain itu museum merupakan wahana
edukatif yang dapat dimanfaatkan cukup efektif bagi masyarakat luas. Oleh
karena itu, perlu dibangun kesadaran bersama pentingnya memberdayakan fungsi
edukatif pada museum secara efektif, baik dari pengelola museum maupun
masyarakat luas sebagai pengguna museum. Museum dapat juga menjadi sarana
efektif untuk menjadi mitra pendidikan dan ilmu penge-tahuan, termasuk untuk
kalangan pelajar, mahasiswa, gurudandosen (Ernifiati, 2012).
Sangiran merupakan situs terpenting untuk perkembangan berbagai bidang
ilmu pengetahuan terutama untuk penelitian dibidang antropologi, sejarah,
arkeologi, biologi, paleoantropologi, geologi, dan tentu saja untuk bidang
kepariwisataan. Keberadaan Museum Situs Sangiran sangat bermanfaat untuk
mempelajari kehidupan manusia prasejarah karena situs ini dilengkapi dengan
fosil manusia purba, hasil – hasil budaya manusia purba, fosil flo-ra dan fauna
purba beserta gambaran stratigrafinya (Hidayat,2004:5).
Sangiran merupakan sebuah situs manusia purba terpenting di Indonesia,
bahkan terkemuka di dunia karena termasuk salah satu dari sedikit situs hominid
dunia. Situs ini memiliki luas 56 km² terletak sekitar 15 kilometer sebelah utara
Surakarta, yang secara administratif Sangiran terletak di Kabupaten Sragen dan
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Besarnya potensi kandungan Situs
Sangiran yang sangat signifikan bagi pemahaman evolusi manusia, lingkungan,
dan budayanya selama 2 juta tahun tanpa terputus, maka situs ini pada tahun 1977
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar
budaya dan bahkan pada tahun 1996 mendapatkan pengakuan dunia sebagai situs
yang terdaftar dalam World Heritage List UNESCO dengan nomor 593
(Siswanto, 2007).
Museum Situs Sangiran ini terletak di Desa Krikilan, Kecamatan
Kalijammbe, Kabupaten Sragen, JawaTengah. Museum Situs Sangiran merupakan
museum arkeologi yang menyimpan fosil manusia purba berdiri tegak terlengkap
di Asia. Museum Situs Sangiran menyimpan berbagai peninggalan sisa sisa
kehidupan mahkluk hidup pada masa purba sehingga ditetapkan sebagai Warisan
Budaya Dunia pada tahun 1996. Peran museum bukan hanya tempat
perkembangan ilmu pengetahuan saja melainkan sebagai tempat bersosialisasi dan
rekreasi, contoh museum yang memiliki peran tersebut yaitu Museum
Ronggowarsito dan Museum Jago. Kedua museum tersebut telah memberikan
kontribusi yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan meskipun belum
ditetap-kan sebagai Warisan Budaya Dunia (Ernifiati, 2012).
Situs Sangiran berada pada bentang Solo Depression yang dibatasi oleh
Gunung Lawu di timur dan Gunung Merapi-Merbabu di barat, serta Pegunungan
Kendeng di utara dan Pegunungan Sewu di selatan. Situs ini merupakan sebuah
kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Secara geomorfologis, kubah ini
terbentuk oleh proses pengangkatan akibat tenaga endogen dan kemudian bagian
puncak kubah terbuka melalui proses erosi, sehingga membentuk cekungan besar
di pusat kubah yang diwarnai oleh perbukitan bergelombang. Pada cekungan
itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang
kehidupan di masa lampau, ditinjau dari aspek paleoantropologis, paleontologis,
geologis maupun arkeologis. (Widianto, 2006).
Di Situs Sangiran terekam rangkaian lapisan litologi yang lengkap serta
berkelanjutan mulai sejak akhir Kala Pliosen Atas hingga laipsan resen. Mulai
dari formasi Kalibeng yang tertua berumur sekitar 2,4 – 1,8 Juta tahun berupa
lempung biru dari lingkungan laut dalam. Diatasnya adalah formasi Pucangan
yang berasal dari Kala Plestosen Bawah berumur 1,8 – 0,73 Juta tahun berupa
lahar serta endapan lempung hitam berfasies vulkanik dan rawa. Disusul oleh
formasi kabuh yang berasal dari Kala Plestosen Tengah berumur 0,73 – 0,20 Juta
tahun berupa endapan pasir fluvio – volkanik yang mencerminkan lingkungan
daratan. Setelah itu adalah forasi Notopuro yang berasal dari Kala Plestosen Akhir
berumur 0,25 – 0,12 Juta tahun berupa lahar dan pasir – gravel fluvio – volkanik.
Di bagian paling atas Situs Sangiran berupa endapan resen alluvial Kali Cemoro,
Brangkal dan Pohjajar (Noerwidi, 2013).
BAB 3. METODE PENGAMATAN

3.1 Waktu dan Tempat


Kegiatan studi lapang dilaksanakan pada :
Hari/Tanggal : Sabtu/12 Mei 2018
Tempat : Trinil Ngawi dan Sangiran Surakarta
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah :
Alat : Kamera, alat tulis, buku kerja, dan papan dada.
Bahan : Fragmen (Fr) fosil dan catatan sejarah di setiap situs yang
dikunjungi
3.3 Prosedur Kerja
Melakukan pencatatan terhadap penjelasan yang diberikan oleh pemateri
dan melakukan pengamatan terhadap fragmen fosil yang terdapat pada Situs
Trinil dan Museum Sangiran
3.3.1 Catatan dan bukti fosil di situs Trinil Ngawi dan Sangiran
Surakarta.

Melakukan pengmatan terhadap fosil yang terdapat dalam


museum

Mengamati lingkungan sekitar dan tipe – tipe tanah yang


diduga merupakan bekas ditemukannya fosil serta
mengamati fosil yang ada

Untuk melengkai data kemudian melakukan dokumentasi


terkait fosil yang ditemukan
3.3.2 Pengamatan lapangan di Situs Sangiran Surakarta tentang
catatan dan bukti fosil Mollusca.

Melakukan pengmatan terhadap geomorfologi lapisan


tanah bekas ditemukannya fosil Mollusca dan cara
mengidentifikasi tanah (struktur dan tekstur)

Untuk melengkai data kemudian melakukan dokumentasi


terkait fosil yang ditemukan
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Situs Trinil Ngawi


Hari/Tanggal : Sabtu, 12 Mei 2018
Jam : 07.30
Keadaan Cuaca : Panas, cerah
Ketinggian : 600 mdpl

A. Sejarah Situs Trinil


Pada tahun 1891 situs trinil pertama kali digali oleh orang berkebangsaan
Belanda bernama Eugene Debuis. Terakhir pengalian dilakukan pada tahun 1893
dan semenjak itu tidak dilakukan penggalian kembali. Pada penggalian tersebut
ditemukan 3 fosil Pitechantropus erectus (PE) antara lain meliputi fosil
tengkorak, gigi geraham, dan tulang paha, dengan tinggi tubuhnya kira – kira
sudah seperti manusia modern sebesar 165 cm - 171 cm, dengan berat badan 100
kg, volume otak 900 cc, dan besar volume otak PE ini terletak di antara kera 600
cc dengan manusia modern 1500 cc. Pada Situs Trinil dapat ditemukan beberapa
jenis fosil hewan antara lain buaya, kura-kura, badak, kuda nil, dan gajah.
Alasan Dubois melakukan penelitian dan pengamatan di pulau jawa
karena mendengar penemuan fosil Homo wajakensis di tulungagung oleh BD Van
Rietschoten pada 24 oktober 1889. Kemudian Dubois menemukan endapan-
endapan purba di aliran sungai Bengawan Solo, dan tanpa diduga menemukan
akumulasi temuan fosil binatang di dasar sungai. Penggalian fosil binatang purba
di dasar sungai inilah yang nantinya akan mengungkapkan kronologi kehidupan
selama jutaan tahun yang lalu, hingga akhirnya Dubois sampai di lekukan sungai
bengawan solo Trinil, Ngawi Jawa Timur. Nama Trinil sendiri meliputi tiga desa
yang menjadi objek penelitian. Dubois yakni Desa Kawu, Ngancar, dan
Gemarang yang hingga sekarang masih banyak ditemukan berbagai jenis fosil di
kawasan sungai pada saat musim kemarau.
B. Cara mendeteksi bahwa disuatu tempat diperkirakan terdapat fosil
Adanya tanah kapur di suatu tempat, karena tanah kapur merupakan tanah
yang paling baik untuk perubahan tulang – beulang menjadi fosil. Dengan formasi
tanah yaitu materi penyusun tanah yang terdiri dari kapur, kerikil , kerakal atau
pasir. Ditemukan secara tidak sengaja oleh warga sekitar saat mencangkul,
mencari pasir, mandi , dll.

C. Cara membedakan batuan biasa dengan fosil atau dengan sisa-sisa


tumbuhan dan hewan yang belum memfosil
Batuan dan fosil sama – sama memiliki sifat yang keras. Batuan biasa
memliki ciri tekstur yang halus, sedangkan fosil hewan atau tumbuhan
bertesktur kasar, akan terlihat bekas – bekas serat, jaringan, dan pembuluh
pengangkut pada fosil tumbuhan, dan bekas sumsum pembuluh darah pada
fosil hewan. Sedangkan hewan yang atau tumbuhan yang belum memfosil
tingkat kekerasannya lebih lunak dari hewan atau tumbuhan yang sudah
memfosil.

D. Cara umum mengetahui usia fosil


 Dengan menggunakan metode peluruhan radioaktif. Unsur yang sering
digunakan untuk kegiatan ini adalah atom karbon-14 (C-14). Dan juga
dapat dilakukan dengan mengetahui berada pada formasi tanah bagian
apa serta kandungan karbon yang dimiliki.
 Sebagai contoh adalah tulang. Fosil tulang akan mengalami proses
peleburan menjadi debu terlebih dahulu. Kemudian apabila ditemukan
kandungan tulang yang berupa kalsium dan perekat, akan dideteksi
umurnya. Selain itu juga dapat menggunakan peralatan modern yaitu
berupa alat pendeteksi usia.
 Dilihat dari dimana letak fosil ditemukan berdasarkan tekstur dan kontur
tanah.
E. Penanganan fosil bila baru ditemukan
 Fosil dibersihkan dari debu dan tanah, kemudian disimpan di tempat yang
steril.
 Penanganan kelembapan udara. Dapat dilakukan dengan menggunakan sel
silika sehingga tidak asam atau dapat mengantisipasi tumbuhnya jamur.
Sel silika ini dapat mengabsorpsi kelembapan udara yang dapat
menghambat pertumbuhan jamur
 Fosil dibersihkan dengan kuas, dicuci alkohol, diteliti pembersihan di
laboratorium, diidentifikasi kemudian dipamerkan.

F. Tipe, Struktur dan Tekstur Tanah


pH tanah : Basa (7>)
Kelembaban Tanah : Rendah
Struktur Tanah : Kasar
Tekstur Tanah : Kasar, pasir, padas

G. Fase-fase terbentuknya benua


Untuk fase-fase terbentuknya benua tidak dijelaskan oleh Pemandu
dari Situs Trinil.
H. Urut-urutan evolusi manusia
Urutan evolusi manusia dimulai pada:
 7 – 2,5 juta tahun yang lalu, ditemukan manusia purba pertama, yaitu
Austrolapitheus africanus, menjadi Austrolopitheus robustus yang
kemudian menjadi Austrolopitheus boisei.
 Pada 2,5 juta tahun yang lalu, perjalanan manusia berlanjut menjadi
Homo habilis.
 Pada 1,8 juta tahun yang lalu Homo habilis berubah menjadi Homo
erectus.
 Pada 400-150 juta tahun yang lalu Homo erectus berubah menjadi
Homo sapiens purba.
 Pada 200 juta tahun yang lalu Homo sapiens berubah menjadi Homo
Neanderthal.
 Pada 35 ribu tahun yang lalu menjadi Homo Neanderthal berubah

menjadi cro-magnon dan sekarang sudah menjadi manusia modern.

I. Fosil Tumbuhan yang Ditemukan

Est.
Nama Fr. Fosil Ciri-ciri Gambar/ photo
Usia
Fosil kayu Kayu - - Berasal dari
lembah
bengawan
solo
- Ditemukan
tahun 1987
J. Jenis Fosil Hewan non-Human

Nama Fr. Fosil Est. Usia Ciri-ciri Gambar/ photo

1. Kerbau Tanduk 1 – 0,5 juta - Ditemukan di pengkol


(Bubalus tahun yang desa Gemaran Kec.
palaeokera lalu Kedunggalar
bau) - Penemu: Sardi, 1993
- Zaman: Pleistosen

2. Gajah Gading - - Panjang 3m


(Stegodon gajah - Kepala berbentuk
triganoche segitiga
palus - Panjang tuuh 7-8 m
Loury) - Hidup di jaman
pleistosen
3. Stegodon Mandibula - Gigi geraham berwarna
sp dextra hitam pada masa
pleistosen tengah 2-0,7
juta tahun yang lalu,
ukuran panjang 77 cm,
lear 18,5 cm dan tinggi
23 cm
4. Bovidae Tulang kaki - - ditemukan di trinil
caesta

5. Bibos Tanduk - - tanduk utuh


palandosoi banteng
cus Horn

6. Bovidae Tulang - - ditemukan di trinil


astragalus tumit area

7. Bovidae Tulang 0,5 juta - Panjang + 1 m.


caesta rusuk tahun yang
lalu
8. Bibos Gigi - - Ditemukan 12 buah
palasandai banteng
cus molar

9. Stegodon Cranium - - Panang 56 cm, lebar 47


sp cm dan tinggi 43 cm
- Ditemukan satu buah

10. Bovidae Tulang - - Ditemukan di Trinil ,


caesta kering jumlahnya satu buah

K. Jenis Fosil Human (manusia)


Fosil human yang ada di museum Trinil kesemuanya merupakan
duplikat yang terdiri dari: Homo sapiens, Homo neanderthalensis,
Australopihecus africanus, Pithecanthropus soloensis, dan
Pithecanthropus erectus.

Estimasi
Nama Fr. Fosil Ciri-ciri Gambar/ photo
Usia
1. Homo erectus cranium - Bentuk cranium
masih seperti kera

2. Australopithe Tulang - bentuk craniumnya


cus ufricanus tengkorak masih seperti kera
(Cranium) dengan tulang kening
yang menonjol

3. Pithecantrop Tulang - Ditemukan hanya


us erectus s4 tengkorak bagian accinitalnya
(Cranium)

4. Pitecantropus Tulang - Merupakan duplikat


erectus tengkorak aslinya yang telah
(Cranium) retak menjadi
beberapa bagian
5. Pitecantropus Tulang - Volume otak 1300
erectus tengkorak cc dengan tinggi
(Cranium) badan 165 -180 cm

4.1.2 Situs Sangiran Surakarta


Hari/Tanggal : Sabtu, 12 Mei 2018
Jam : 13.00
Keadaan Cuaca : Panas, cerah
Ketinggian :-
A. Sejarah Situs Sangiran/Munculnya Sangiran Dome
Laut (lempeng) rawa, pada 900 ribu tahun yang lalu terjadi gunung
meletus. Dome merupakan bukit yang terdiri dari lapisan tertua dimana tebahan
oksigen dari sisi kiri dan kanan sehingga membentuk bukit. Situs sangiran
merupakan situs paleontologis di Pulau Jawa dan merupakan salah satu kajian
pusat seluruh manusia purba yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1996,
dimulai dengan kedatangan hewan dan organisme ke Pulau Jawa akibat adanya
jembatan es atau karna adanya jembatan es maka manusia berimigrasi dari Afrika
ke Jawa pada 1500 tahun yang lalu. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 59
km² meliputi tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta
Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Situs
Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran yang merupakan bagian dari
depresi Solo, di kaki Gunung Lawu (17 km dari kota Solo).
Penelitian tentang manusia purba dan binatang purba diawali oleh Gustav
Heinrich Ralph von Koenigswald, seorang ahli paleoantropologi dari Jerman. Von
Koenigswald atau yang lebih dikenal dengan nama GHR menemukan sejumlah
alat serpih dari batuan jaspis dan kalsedon di daerah Sangiran. Jumlahnya sekitar
1000 lebih dan dikenal dengan sebutan “Sangiran Flakes Industry”. temuan awal
tersebut disusul dengan temuan penting berikutnya yaitu fosil rahang bawah
(mandibula) yang diperkirakan sebagai fosil Meganthropus paleojavanicus, serta
fosil Pithecanthropus erectus yang dikenal sebagai “manusia Jawa”.
Di dalam kegiatannya Von Koeningswald dibantu oleh Toto Marsono,
Kepala Desa Krikilan pada masa itu. Setiap hari Toto Marsono atas perintah Von
Koeningswald mengerahkan penduduk Sangiran untuk mencari “balung buto”
(Bahasa Jawa = tulang raksasa). Demikian penduduk Sangiran mengistilahkan
temuan tulang-tulang berukuran besar yang telah membatu yang berserakan di
sekitar ladang mereka. Balung buto tersebut adalah fosil yaitu sisa-sisa organisme
atau jasad hidup purba yang terawetkan di dalam bumi. Setelah Von
Koeningswald tidak aktif lagi melaksanakan penelitian di Sangiran, kegiatan
mengumpulkan fosil masih diteruskan oleh Toto Marsono sehingga jumlah fosil
di Pendopo Kelurahan semakin melimpah. Dari Pendopo Kelurahan Krikilan
inilah lahir cikal-bakal Museum Sangiran.

B. Evolusi Bumi Menurut Teori Bigbang


 12 milyard tahun yang lalu, terdapat bumi.
 4,5 milyard tahun yang lalu dengan proses pendinginan dan dengan
atmosfer tipis, sehingga banyak meteorit dan petir yang memicu adanya
organisme bersel satu.
 Pada masa Camrian terciptalah Protista.
 Pada masa Silurian terciptalah hewan dan dan tumbuhan yang akar
sekundernya di air.

 Pada masa Devontan mulai tercipta adanya tanaman khas.

 Pada masa Carboniferus air melimpah dan menenggelamkan hewan


sehingga membentuk fosil, sampai dengan sekarang.

C. Urutan Sejarah Perkembangan Evolusi Manusia


Hasil spesies saat ini merupakan perkembangan spesies zaman dahulu.
Berikut urutan skema sejarah perkembangan evolusi manusia. Austropithens
africanus
Austrophitens robustus Homo habilis Homo erectus
Homo sapiens
D. Tipe Struktur dan Tekstur Tanah
pH tanah : Basa
Struktur Tanah : lempung biru berpadas, dan lempung hitam terutama
bagian atas, dan berkapur
Tekstur Tanah :-

E. Fosil Tumbuhan yang Ditemukan

Nama Fr. Fosil Est. Usia Ciri-ciri

Fosil kayu Kayu 500 tahun yang - Terdapat berkas – berkas


lalu pembuluh dan berwarna cokelat
kotor

F. Jenis Fosil Hewan non-Human

Nama Fr. Fosil Est. Usia Ciri-ciri


1.Badak Purba Badak purba 700.000 tahun -hidup di padang terbuka
Rhinoceros yang lalu sangiran
sondalaus - Badak jantan dewasa
mencapai 3,6 ton
- Hewan terberat setelah
gajah

2.Harimau Harimau purba 500.000 tahun - Hidup di sabana luas


Purba yang lalu
(Panthera
tigris)

1. Kura-kura Kura kura 2 juta tahun -Dapat tumbuh dengan


raksasa raksasa yang lalu panjang 2,5 m lebar 0,9 m,
(Geochelo dan berat 850 kg.
ne atlas)

4.Crocodylus Predator jalur - - Panjang tubuh 7 meter


siamensis basah - Menguasai perairan
Thailand, Vietnam

5.Mustodon Gigi lepas 1 juta – 0,5 juta - Memiliki 4 gading


tahun yang lalu - 2 berukuran besar tumbuh
dirahang dan dua lainnya
berukuran mungil di rahang
6.Stegodon Gigi lepas 1 juta – 0,5 juta Beratap tengkorak menonjol,
tahun yang lalu membentuk segitiga, ukuran
tubuhnya lebih besar daripada
gajah sekarang

7.Elephans Gigi lepas 0,5 juta tahun - Banyak ditemukan di


yang lalu lapisan kabuh, bentuknya
seperti gajah sekarang

8.Sus sp. Babi purba 700 ribu tahun - Ditemukan dalam keadaan
yang lalu tidak utuh
- Warna cokelat
- Terdapat cekungan bekas
gigi.

9.Crab fosil Kepiting 66,5 – 54 juta - Bentuknya panjang dengan


tahun yang lalu ujung melebar
- Besar dan kuat

10.Mollusca 1,6 juta tahun - Hidup dilaut


yang lalu - Berupa mollusca laut,
kerang
G. Jenis Fosil Human (Manusia)

Nama Fr. Fosil Est. Usia Ciri-ciri

1.Homo Tulang Tengkorak 1,8 juta – 900 - Alis tebal, hidung pesek,
erectus artik (Cranium) ribu thn yg umur relative pendek 35-
lalu 50 thn
- Volume otak 850 cc
- Tinggi 166 cm

2.Homo Tulang Tengkorak - - tinggi 106 cm


floriensis (Cranium) - volume otak 380cc

2.Wajak man Tulang tengkorak - - Hidup sekitar 11.000 thn


(Cranium) yg lalu merefleksikan
manusia modern homo
sapiens

4. Homo Tulang tengkorak 800.000- - Ditemukan dilapisan


erectus tipik (Cranium) 300.000 thn kabuh sangiran
yg lalu - Rahang lebih ramping,
gigi lebih kecil
disbanding tipe artik
5.Homo Tulang Tengkorak 200.000- - Kapasitas otak lebih
erectus (Cranium) 100.000 thn besar, dan lebih tinggi
progresif yg lalu - Sebagian besar
ditemukan di Ngandong,
Selopuro, dan Sambung
macan

6. Homo Tulang Tengkorak 2,4 – 1,5 - Pertama kali muncul


habilis (Cranium) jutaaa thn yg dengan bentuk cranium
lalu yang lebih kecil dari
homo erectus

7. Homo Tulang Tengkorak 100.000 tahun - Spesies berkembang


sapiens (Cranium) yang lalu pesat
- Memiliki volume otak
yang sempurna

8. Austrapit Tulang Tengkorak 3,3 – 2,1 juta - Memiliki rahang yang


ne (Cranium) thn yg lalu menonjol
africanus

4.2 Pembahasan

Pada studi lapang kali ini, kami mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas
Jember mengunjungi Trini dan Sangiran dalam pelajaran evolusi untuk
menambah wawasan mengenai teori evolusi, bukti evolusi, dan manusai purba.
Lokasi pertama tempat pengamatan kami lakukan di Trinil yang terletak di
pedukuhan Pilang, Ds. Kawu, Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur. Sedangkan tempat kedua yang kami kunjungi adalah Sangiran terletak di
sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa krikilan, kec.
Kalijambe, Kab.Sragen).

Situs Purbakala Trinil


Trinil sebenarnya adalah nama suatu kawasan yang banyak ditemukan fosil
dan menjadi obyek penelitian Eugene Dubois yang meliputi 3 desa yaitu Desa
Kawu, Gemarang, dan Desa Ngancar. Ketiga desa ini berada di lekukan sungai
Bengawan Solo, yang kala itu sungai Bengawan Solo masih memiliki debit air
yang lumayan banyak laksana sungai Nil diMesir. Karena itulah, kawasan obyek
penelitian Dubois itu dinamakan Trinil. Trinil berasal dari kata tri dan nil. Tri
bermakna tiga, artinya kawasan tersebut terdiri atas 3 desa yang menjadi obyek
penelitian Dubois, dan nil menggambarkan sungai Nil. Karena kala itu, sungai
Bengawan Solo merupakan sungai yang besar dengan volume air yang melimpah,
dan terpanjang di Pulau Jawa.Kawasan ini menjadi terkenal dengan sebutan Trinil
memang tidak terlepas dari kiprah Dubois.
Pada waktu itu, teori akbar tentang evolusi membahana dilontarkan
oleh Charles R Darwin pada abad 19 telah mengusik pikiran cemerlang seorang
bocah kelahiran Eijden, Belanda pada tahun 1858 yaitu Eugene Dubois.Sewaktu
kecil, Dubois memang telah menunjukkan minat besar akan masa lalu. Di waktu
senggang, dikorek-koreknya tanah pekarangan dan hutan di sekitar rumahnya
untuk mengumpulkan contoh batu, tulang-tulang binatang dan lain sebagainya.
Setelah lulus sekolah kedokteran, ia berminat sekali untuk mendaftarkan diri
bekerja di Hindia Belanda dengan tujuan utama mencari missing link, yang
menurutnya harus dicari di daerah tropis yang tidak pernah tersentuh dinginnya
es. Namun minat besarnya sebagai ilmuwan tidak serta merta bisa terwujud
lantaran ada aturan bahwa orang Belanda yang ingin bekerja di Hindia Belanda
diwajibkan untuk masuk militer dulu. Akhirnya, Dubois mengikuti pelatihan
camp militer di Belanda sebagai wajib militer, dan lulus sebagai dokter militer.
Di Pulau Jawa, Dubois tertarik dengan endapan Sungai Bengawan Solo
yang diyakininya menyimpan kronologi kehidupan selama jutaan tahun. Pada
tahun 1891, di daerah Trinil, Ngawi, Jawa Timur, ditemukan atap tengkorak dan
gigi manusia “yang menyerupai kera”. Dan setahun kemudian ditemukan pula
tulang paha kiri dari individu yang sama. Temuan tersebut oleh Dubois diberi
nama Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak).
Pithecanthropus erectus adalah homo erectus dari Jawa. Fosil ini
dimasukkan dalam genus homo erectus, yang mulai muncul ke dunia pertama kali
pada periode 1,8 juta tahun yang lalu di Afrika dan menyebar ke seluruh
permukaan dunia hingga mencapai Pulau Jawa, dan punah sekitar 100.000 tahun
silam.
Jawaban pasti tentang polemik berkepanjangan akan missing link terjawab
telak di tangan Dubois. Sejak itu, nama Pithecanthropus erectus dan Trinil,
Ngawi, Jawa Timur bergema nyaring di dunia ilmiah dan kisahnya telah ditulis
dengan tinta emas dalam lembaran publikasi dunia.
Selama adanya aktivitas ekskavasi di Trinil, seorang warga bernama
Wirodiharjo tertarik untuk ikut mengamati aktivitas tersebut. Beliau berpikir,
untuk apa fosil-fosil tulang itu digali dan dikumpulkan. Setelah mengetahui tujuan
eksakvasi yang dilakukan oleh Dubois dengan dibantu tentara bawahannya yang
tinggal di Benteng Van Den Bosch.
Wirodiharjo sejak tahun 1967 mempunyai gagasan
mengumpulkan/melestarikan tinggalan fosil-fosil yang sering dijumpai di tepian
Sungai Bengawan Solo. Kemudian fosil tersebut disimpan di rumahnya hingga
1/3 rumahnya terisi fosil. Sehingga, Wirodiharjo lebih dikenal sebagai
Wirobalung, karena aktivitasnya yang suka mengumpulkan balung buto atau fosil-
fosil manusia purba.
Akhirnya, pada tahun 1980/1981 Pemda mendirikan Museum Mini untuk
menampung fosil koleksi Wirodiharjo. Lalu, mengingat hasil
penggalian/penemuan serta tugu sebagai monument penunjuk arah tempat
ditemukannya fosil Pithecanthropus erectus tinggalan Dubois yang sudah dikenal
sejak tahun 1891 maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur membangun Museum
Trinil, dan diresmikan bersamaan dengan peringatan 100 tahun penemuan
Pithecanthropus erectus oleh Gubernur Jatim Soelarso pada tanggal 20 November
1991.
Museum ini terletak di Dusun Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar,
Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, ± 15 Km dari Kota Ngawi jalan menuju
ke arah Solo. Museum ini menempati bekas rumah dan pekarangan milik
Wirodiharjo yang telah dilakukan ganti rugi, dan persis berada di tepian Sungai
Bengawan Solo.
Penyelidikan intensif untuk menemukan sisa-sisa fosil misal dengan
menggunakan instrumen khusus seperti Geiger counter atau dengan 3D scanner.
Alat Geiger counter adalah alat berbasis deteksi aktivitas radioaktivitas dan dalam
hal ini diarahkan untuk mendeteksi aktivitas obyek-obyek yang memiliki unsur
aktivitas isotop karbon-13. Semestinya unsur-unsur fosil akan memiliki
kandungan isotop karbon-13 ini yang selanjutnya dapat ditangkap keberadaannya
oleh alat ini meskipun obyek ini berada dalam tanah. Hanya saja teknik ini
kurang dapat diintensifkan penggunaannya karena memiliki selektivitas yang
kurang tinggi dan juga banyak obyek non purbakala yang kemungkinan ikut
terdeteksi. Alternatif lain adalah dengan menggunakan scanner obyek secara tiga
dimensi yang berbasis radiasi infra merah atau gelombang radio. Alat ini dapat
mendeteksi keberadaan obyek padat di dalam tanah dan dapat diprediksikan
secara visual bentuk dari obyek yang terdeteksi.
Proses penyelidikan ini dapat dilakukan pada suatu wilayah luas secara
komprehensif, sehingga seluruh wilayah tersebut pernah dilakukan scanning.
Untuk suatu titik yang diduga terdapat obyek purbakala maka selanjutnya dapat
dilakukan penggalian. Tentu saja masing-masing cara ini tidak akan
menyelesaikan seluruh permasalahan, karena seringkali lokasi dan titik kedalaman
suatu obyek dalam tanah sangat bervariasi, namun tentunya langkah ini dapat
membantu pemetaan wilayah dari suatu area yang berpotensi sebagai situs
purbakala.
Fosil berbeda dengan batuan biasa. Fosil tumbuhan misalnya, penggantian
sebagian tubuh fosil tumbuhan dengan pengisian mineral lain (cth : silika) dimana
fosil tersebut diendapkan. Ketika menjadi fosil, maka strukturnya akan menjadi
keras dan berongga. Syarat untuk menjadi fosil adalah sebagai berikut:
Mempunyai bagian yang keras, segera terhindar dari proses-proses kimia
(oksidasi & reduksi), tidak menjadi mangsa binatang lain, terendapkan pada
batuan yang berbutir halus >>> agar tidak larut, terawetkan dalam batuan
sedimen, dan terawetkan dalam waktu geologi (minimal 500.000 tahun.
Pada situs purbakala trinil ini menggunakan 2 cara untuk mengetahui umur
fosil yakni metode penentuan secara relatif (dengan fosil/stratigrafi) dan metode
penentuan secara radiometric (absolut).

Penentuan umur batuan secara relatif


Penentuan umur relatif batuan pada 2 lapisan yang berbeda dalam 1
penampang dapat ditentukan dengan melihat lapisan yang terlebih dahulu
diendapkan, yang terendapkan pertama lebih tua umurnya daripada yang
terendapkan kemudian. Proses ini berlangsung terus sampai semua lapisan
tersusun dalam suatu skala umur relatif yang memperlihatkan urutan kejadiannya.
Setiap lapisan memperlihatkan sejarah geologi dari bumi kita. Proses
sedimentasi misalnya merupakan suatu bagian dari proses pengendapan. Granit
ataupun batuan beku lainnya merupakan gambaran adanya intrusi batuan beku
pada kerak bumi. Batuan beku ekstrusif menunjukkan suatu kejadian vulkanisme.
Batuan metamorf merupakan akibat terjadinya kenaikan suhu dan tekanan di
dalam bumi, yang berasal dari aktivitas tektonik atau instrusi dari gunung berapi.
Suatu proses geologi merupakan suatu kejadian alam yang didalamnya termasuk
pengendapan deformasi dan instrusi.
Penentuan secara radiometric (absolut)
Salah satu teknik yang paling umum adalah pewaktuan radioaktif. Teknik
ini menggunakan laju peluruhan isotop radioaktif untuk menentukan seberapa
lama di masa lalu benda tersebut terbentuk. Isotop radioaktif meluruh seiring
waktu dengan kecepatan relatif konstan, yang disebut waktu paruh (half life).
Half-life mengukur seberapa lama waktu diperlukan separuh isotop radioaktif
untuk meluruh menjadi bentuk s tabil. Tiap peluruhan isotop radioaktif meluruh
dengan laju berbeda. Sebagai contoh, peluruhan isotop karbon 14 memiliki laju
lebih cepat daripada potasium 40, namun semua peluruhan karbon 14
kecepatannya sama.

Pewaktuan potassium argon menggunakan isotop radioaktif potasium 40.


Potasium alaminya meluruh menjadi gas argon. Kedua unsur ini (bersama yang
lainnya) terkandung dalam batuan gunung berapi. Ketika batuan tersebut meleleh,
ia melepaskan gas seperti argon ke atmosfer. Saat ia mendingin dan mengeras,
batuan vulkanis menjebak gas-gas kedalam kristal-kristal kecil. Potasium 40 terus
meluruh menjadi gas argon, namun gasnya tidak dapat lari dari batuan. Ahli
geologi dapat melelehkan batu tersebut dan mengukur gas argon yang terlepas,
yang akan menentukan seberapa lama waktu telah berlalu semenjak batu tersebut
meleleh.

Waktu paruh potasium 40 adalah 1,3 miliar tahun. Karena perlu setidaknya
200 ribu tahun agar ada cukup gas argon untuk menumpuk dan memungkinkan
pengukuran yang akuraat, teknik potasium-argon digunakan untuk menentukan
waktu benda yang lebih tua. Pewaktuan radiokarbonmenggunakan karbon 14,
yang memiliki waktu paruh hanya 5730 tahun; ia hanya mampu menentukan usia
benda yang paling tua berusia 50 ribu tahun. Teknik pewaktuan mutlak lainnya
mencakup termoluminesens dan resonansi spin elektron.

Di dalam museum terdapat sekitar 450 fosil purbakala yang sudah


diregistrasi. Sedangkan sekitar 1.000 fosil masih belum diregistrasi dan disimpan
di laboratorium. Sebagian besar fosil yang ada di sana memiliki masa yang sama,
jaman pleistosin tengah, usianya antara 1 juta hingga 500 tahun silam. Termasuk
golongan homoerectus yaitu pada jaman batu.

Tidak ada perawatan khusus untuk fosil-fosil itu, hanya dengan bantuan
silikon atau silica gel untuk menghindari pelembaban atau penjamuran di dalam
etalase, karena sangat tidak mungkin untuk mengangkat atau membersihkan
secara langsung atas fosil-fosil itu mengingat kondisinya yang relatif rapuh.
Butiran-butiran silikon itu dimasukkan dalam gelas kecil dan diletakkan dalam
etalase kaca tempat fosil-fosil itu disimpan.
Adapun struktur dan testur tanah pada museum ini adalah mencakup pH
yang tergolong basa, kelembapan tanah yang rendah, struktur tanah kasar, serta
tekstur tanah yang keras, berpasir, dan padas.
Jika berbicara mengenai evolusi pastilah membahas pula mengenai
pembentukan benua sehingga terjadi beberapa benua yang ternyata memiliki
kemiripan dari fauna dan flora. Benua dan samudra terbentuk melalui proses yang
sangat panjang. Dahulu bentuk benua dan samudra tidak seperti sekarang ini.
Setelah melalui proses yang panjang maka terbentuklah benua seperti pada saat
ini.
Ada seorang ilmuwan asal Jerman yang bernama Alfred Wagener yang
mengemukakan teori tentang pembentukan benua. Menurut Alfred Wagener,
sebelum zaman Carbon (+ - 300 juta tahun yang lalu), semua benua yang ada
sekarang ini tergabung menjadi satu yang disebut Benua Pangea. Benua Pangea
kemudian terpecah menjadi dua benua, yaitu Benua Laurasia(di bagian utara)
dan Benua Gondwana (di bagian selatan). Proses pecahnya benua Pangea ini
terjadi sekitar 135 juta tahun lalu. Selanjutnya Benua Laurasia bagian barat
bergerak ke utara menjauhi benua Gondwana yang akhirnya membentuk benua
Benua Amerika Utara. Sedangkan Benua Gondwana di selatan terpecah menjadi
beberapa benua, yaitu sebagai berikut. Bagian barat bergeser tents ke arah barat
menjadi Benua Amerika Selatan. Bagian timur bergerak ke timur menjadi Benua
Afrika. Bagian yang lebih kecil di bagian timur terus bergerak ke arah timur laut
dan menjadi India. Satu bagian lagi terpecah menjadi dua, yaitu bagian timur terus
begerak kearah timur laut, dan pecahan bagian barat terus bergerak ke arah
selatan.
Perkembangan selanjutnya, Amerika Utara bergabung menjadi satu dengan
Amerika Selatan, Eurasia menjadi Benua Eropa dan Benua Asia. Bagian paling
selatan yang bergerak ke selatan menjadi benua Antartika dan bagian dan bagian
selatan yang bergerak ke timur laut menjadi Benua Australia.
Selain benua, manusia pun mengalami evolusi. Adapaun urutan evolusi
manusia adalah sebagai berikut: yang pertama adalah manusia kera afrika selatan
yang memiliki ciri-ciri dapat berdiri tegak dan berjalan dengan dua kaki, memiliki
tinggi badan kurang lebih 1,5 meter, memiliki volume otak hanya sekitar 450–600
cm3, habitat hidup di tempat terbuka. Kedua yakni manusia kera africa timur yang
memiliki volume otak yang lebih besar dibandingkan manusia kera Afrika yang
lain yaitu ±650 cm3, sehingga intelegensinya lebih tinggi dan sudah menggunakan
alat bantu untuk memotong dari batu. Ketiga yakni manusia Jawa yang memiliki
ciri-ciri dapat berdiri dan berjalan dengan dua kaki, memiliki volume otak kurang
lebih 770– 1000 cm3, dapat berkomunikasi dengan berbicara, dapat membuat alat
berburu dan menggunakan api, dan hidup kurang lebih 500.000 s.d. 300.000 tahun
yang lalu. Keempat yakni manusia Peking yang memiliki ciri-ciri memiliki
volume otak yang agak besar yaitu kurang lebih 900– 1200 cm3, diperkirakan
hidup sekitar 500.000 tahun yang lalu, mampu menggunakan senjata dan perkakas
dari tulang dan batu, sudah menggunakan api, dan mempunyai kebudayaan yang
lebih maju. Kemudian ada Homo sapiens yang diperkirakan hidup kurang lebih
400.000 tahun. Kemudian yang terakhir ada manusia modern yang memiliki ciri-
ciri memiliki volume otak ± 1400–1500 cm3, memiliki tinggi badan ± 1,6 m,
memiliki peradaban yang maju, mempunyai peralatan yang lebih baik, suka
berburu, sudah terdapat hubungan sosial dan upacara ritual, diperkirakan hidup
sekitar 100.000–40.000 tahun yang lalu.
Pada situs purbakala Trinil ini kami menemukan berbagai macam fosil,
yakni diantaranya fosil tumbuhan, fosil hewan non human, dan fosil manusia.
Pengamatan pertama yakni engenai fosil tumbuhan. Fosil adalah bukti dari adanya
evolusi. Evolusi tumbuhan sangat erat hubungannya dengan proses fotosintesis.
Evolusi fotosintesis dimulai dengan tidak dipecahnya molekul air dan tanpa
pelepasan oksigen sampai dengan terjadinya pemisahan antara fotosintesis dan
respirasi. Evolusi tipe-tipe fotosintesis seperti C dan CAM merupakan respons
terhadap menurunnya rasio CO2 dan O dan kondisi atmosfir dengan radiasi yang
intensif (Ai, 2012). Adapaun fosil tumbuhan yang ditemukan hanya ada satu yaitu
fosil kayu yang diperkirakan hidup pada tahun 1987. Fosil kayu ini memiliki ciri-
ciri berwarna abu-abu kotor, dan ditemukan di lembah Bengawan Solo.
Sedangkan untuk fosil hewan non human, kami mendapatkan 10 fosil,
antara lain fragmen fosil tanduk kerbau (Bubalus palaeokarabau Horn) yang
berusia 1-0,5 juta tahun yang lalu. Fosil tanduk kerbau ini memiliki ukuran lebih
besar daripada tanduk kerbau yang sekarang. Kemudian ada fragmen gading gajah
(Stegodon trigonochepalus ivory) yang berusia 1-0,5 juta tahun yang lalu. Fosil
ini memiliki ukuran lebih panjang daripada gading gajah pada zaman sekarang.
Ketiga yaitu ada fragmen tulang rahang bawah gajah (Stegodon trigonochepalus
ivory), fragmen fosil tulang kaki (Bovidae casta), fosil tanduk banteng (Bibos
palandosoicus Horn), fragmen fosil tulang tumit (Bovidae astragalus) , fosil
tulang rusuk (Bovidae casta), fragmen gigi banteng (Bibos palandosoicus Horn)
yang ditemukan sebanyak 12 buah. Selain itu juga ada fosil tulang tengkorak gaah
purba (Stegodon trigonochepalus ivory) dan terakhir yakni tulang kering (Bovidae
casta) yang hanya ditemukan satu buah.
Fosil manusia yang kami temukan ada 5, antara lain fosil tengkorak
Austrasophitecus Africanus cranium yang memiliki bentuk craniumnya masih
seperti kera dengan tulang kening yang menonjol. Fosil tengkorak Homo sapiens
cranium yang merupkan duplikat tngkorak manusia modern yang sudah menyebar
hampir di seluruh dunia. Fosil tengkorak Pithecanthropus erectus cranium yang
merupakan duplikat, aslinya telah retak menjadi beberapa bagian,
menggambarkan manusia purba dewasa. Yang terakhir ada fosil tengkorak
Pithecanthropus soloensis cranium yang memiliki volume otak 1000-1300 cc
dengan tinggi badan berkisar antara 165-180 cm. Fosil tengkorak Pithecantropus
erectus s4 yang hanya ditemukan bagian accinitalnya.
Fosil manusia pertama yang ditemukan pada daerah Trinil ini yaitu Homo
erectus. Vomoerectusoleh Dubois tahun 1894 pada formasi Kabuh. aerah tersebut
secara stratigrafis dapat dibagi menjadiri 3 formasi, formasi paling tua adalah
Formasi Kalibeng yang terdiri atas batulempung berfasies laut dalam berumur
Pliosen Atas, serta batulanau dan batugamping yang mencirikan laut dangkal
berumur Pliosen. Formasi Pucangan selaras menindih Formasi Kalibeng dan
terdiri dari breksi volkanik dengan sisipan batulempung dan batulanau. Formasi
Kabuh menindih selaras Formasi Pucangan, terdiri dari batupasir dan batulanau
dengan sisipan perlapisan kerikilan, Fosil manusia purba ditemukan pada lapisan
kerikil di dalam formasi ini. Formasi Notopuro terdiri dari batupasir dan kerikil
mengandung bola batu apung cukup banyak (Setyanta, dkk, 2014).

Pada studi lapang matakuliah evolusi, tempat yang kedua yaitu museum
Sangiran, fosil yang ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan di museum
Trinil. Selain fosil, terdapat juga pembelajaran tentang terbentuknya bumi dengan
video yang ditampilkan. Pada pengamatan pertama, mendengarkan dari tourguide
museum tentang sejarah terbentuknya Sangiran. Sangiran terbentuk pertama kali
berasal laut (lempeng) rawa, pada 900 ribu tahun yang lalu terjadi gunung
meletus. Situs sangiran merupakan situs paleontologis di Pulau Jawa dan
merupakan salah satu kajian pusat seluruh manusia purba yang didirikan pada
tanggal 7 Desember 1996. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 56 km² meliputi
tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta Kecamatan
Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Munculnya situs Sangiran diketahui
karena adanya Sangiran dome. Dome merupakan bukit yang terdiri dari lapisan
tertua berusia ,8 juta tahun yang lalu, dimana tebahan oksigen dari sisi kiri dan
kanan sehingga membentuk bukit. Situs Sangiran berada di dalam kawasan
Kubah, yang diapit empat gunung besar di kaki Gunung Lawu Purba, gunung
Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Kendeng Sangiran yang merupakan
bagian atas yang mengalami depresi sungai purba, dan sungai kali cemara.

Seperti yang dijelaskan oleh pemandu museum, di museum Sangiran


terdapat urutan gambar evolusi perkembangan manusia. Urutan pertama dimulai
dengan tersier – lemuria – Dryopithecus – Ramacus – Ardipithecus ramidus –
Australopithecus africanus – Homo habilis – Homo erectus – Neanderthals –
Homo sapiens. Di dalam proses evolusi terdapat dasar untuk mengetahui
kelompok dari perkembangan perkembangan evolusi manusia seperti yang
dikemukakan oleh Charles Darwin. Di dalam proses evolusi manusia terdapat
beberapa proses penting yang terjadi. Pertama, adalah sikap tubuh dan cara
bergerak. Sikap tegak merupakan fase yang sangat penting dan memberikan
pengaruh besar pada proses evolusi selanjutnya. Dari dapat dilihat perbedaan
antara manusia dengan hewan primata lainnya; mereka menggunakan mulut untuk
melakukan pekerjaan seperti itu, tetapi manusia melakukannya dengan tangan.
Kedua, evolusi kepala termasuk di dalamnya adalah otak. Volume otak semakin
besar, pengaruh pada berkembangnya keinginan dan prakarsa serta
pengendaliannya, kepribadian, daya simak, pemikiran, dan asosiasi serta integrasi
pengalaman. Ketiga berkaitan dengan perkembangan biososial manusia. Evolusi
pada aspek ini menyangkut tiga hal penting, yaitu: pembuatan alat, organisasi
sosial, dan komunikasi dengan bahasa. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan
semakin berkembangnya kemampuan otak untuk berpikir. Dampaknya ialah
timbulnya kepandaian baru dalam pemakaian dan pembuatan alat-alat dari kayu,
batu, dan sebagainya. Kepandaian ini menimbulkan perubahan dalam cara
mencari makan dan mengolah makanan. Kemungkinan berburu binatang-binatang
besar mulai ada dan ini perlu dilakukan secara berkelompok.

Menurut para ahli, alam semesta terjadi dari suatu “ledakan dahsyat” (big
bang) dari titik tunggal yang bervolume nol dan inilah awal mula alam semesta.
Titik tunggal ini mengandung pengertian berupa zat atau materi dengan kecepatan
yang tidak terbatas (Yunus, dkk., 2006 : 8). Menurut teori ini, mungkin miliaran
tahun silam, terdapat tumpukan gas yang terdiri dari hidrogen dan helium yang
berotasi, kemudian gas ini pecah karena peristiwa (ruang hampa) yang disebut big
bang, membentuk benda-benda langit yang kini disebut dengan galaksi
(pembentukan alam semesta tahap pertama). Materi yang terdapat di alam semesta
itu mula-mula berdesakan satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat
tinggi sehingga hanya berupa proton, nuetron dan elektron yang tidak mampu
membentuk susunan yang lebih berat karena mengembung. Kemudian suhu
menurun sehingga proton dan nuetron berkumpul membentuk inti atom (Yunus,
dkk., 2006 : 8). Alam semesta terjadi karena adanya ledakan dari titik tunggal
yang bervolume nol. Ledakan yang luar biasa dahsyat ini menandai mulainya
alam semesta. Jadi alam semesta muncul dari ketidakadaan, dengan kata lain
bahwa alam semesta ini pastilah ada yang menciptakan dari tidak ada menjadi
ada. Jadi, alam semesta yang besar diciptakan oleh sang pencipta yang Maha
besar (Yunus, dkk., 2006: 9 – 10).
Hasil pengamatan yang ditemukan di situs Sangiran yaitu fosil kayu, fosil
Rhinoceros sondaicus, Panthera tigris, Geochelone atlas, Crocodylus siamensis,
mustodon, stegodon, elephans, Sus sp., crab fosil, dan mollusca. Fosil human yang
ditemukan yaitu Homo erectrus artik, Homo erectrus tipik , Homo erectrus
progresif, wajak man, homo sapiens, Homo habilis, Homo floriensis,
Austrolopothecis atricanus, cromagnon, manusia cromagnon.
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

a. Evolusi merupakan proses yang berjalan terus menerus, yang dimulai


dengan bentuk kehidupan yang pertama dan masih berlangsung terus
hingga sekarang yang dapat berwujud penyederhanaan, atau kemunduran
atau kemajuan.
b. Fosil adalah bagian tubuh atau jejak sisa makluk hidup yang telah berusia
ribuan tahun bahkan jutaan tahun yang telah membatu.
c. Beberapa contoh penetapan umur fosil :berdasarkan peristiwa laju erosi,
berdasarkan peristiwa laju sedimentasi, kandungan garam, penentuan
umur dengan zat radioaktif.
d. Situs museum Trinil merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba
pada jaman Plestosin tengah, kurang lebih satu juta tahun yang lalu.
e. Koleksi Situs trinil : Gajah purba (Stegodon trogonocephalus), Bovidae,
Gibon, Kuda nil (Hipopotamus sp), kerang Tridagna, Badak (Bibos
palaeosundaicus, Anthropopithecus, Pithecanthropus erectus, Bubalus
paleokerabau, Rhinoceros sondaicus, Cervus hippelapus, dan Testudine
sp.
f. Bentuk geografi Sangiran yaitu terdiri dari formasi Kalibeng, Pucangan,
Kabuh dan Notopuro.
g. Situs Sangiran merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba yang
muncul pada jaman Plestosin atas atau sekitar 3 juta tahun yang lalu,
berlanjut sampai jaman Plestosin bawah (1,8-0,8 juta tahun yang l alu) dan
Plestosin tengah (0,8-0,18 juta tahun yang lalu).
h. Koleksi museum Sangiran : Fosil manusia, antara lain Australopithecus
africanus, Pithecanthropus mojokertensis (Pithecantropus robustus),
Meganthropus palaeojavanicus, Pithecanthropus erectus, Homo soloensis,
Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah),
Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus
palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi),
Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp
(rusa dan domba). Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya),
ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca
(kelas Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan
foraminifera. Batu-batuan, antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome,
Agate, Ametis. Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi,
kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak.
5.2 Saran

Sebaiknya peserta dibagi kedalam beberapa kelompok dan


didampingi lebih dari satu pemandu agar kegiatan penelitian menjadi lebih
efisien dan informasi yang didapatkan lebih detail. Selain itu, perlu
dilakukan kesesuaian prosedur penelitian dengan kenyataan di lapangan
karena ada beberapa prosedur yang tidak terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA

Ai, Nio Song. 2012. Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan. Jurnal Ilmiah Sains,
Volume 12 Nomor 1.

Andianto, NE Lelana, A Ismanto. 2012. Identifikasi Fosil Kayu dari Kali Cemoro
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Biologi,
Prospektif Biologi dalam Pengelolaan Sumber Hayati. Fakultas Biologi,
UGM. Yogyakarta.

Arbi,Yunus. 2002. Museum dan Pendidikan. Jakarta: Kementrian Kebudayaan


dan Pariwisata.

Astutik, Yuli & Soebijantoro. 2014. Dampak Kunjungan Wisatawan Terahdap


Pelestarian Museum Trinil Tahun 2010 – 2013. Jurnal penelitian.
.
Dwiyantoro, S. 2012. Museum Sangiran: Historisitas dan Relevansinya sebagai
Sumber Pembelajaran Sejarah. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang:
Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan IPS FKIP
Universitas Jember.

Ernifiati, E. 2012. Perkembangan Museum Situs Sangiran dan Pengaruhnya


terhadap Ilmu Pengetahuan tahun 1974-2004. Journal of Indonesian
History. Vol. 1 No.2. ISSN 2252-6633 Hal.118-124.

Fathoni, M. Rais. 2015. Perubahan Lingkungan Situs Trinil Sejak Kala Pliosen.
Jurnal Sangiran. 4:23-40.

Hastjarjo, Decky. 2003. Mengenal Sepintas Psikologi Evolusioner. Jurnal buletin


Psikologi, Vol, XI (2).

Hidayat, M. 2015. Strategi Pengelolaan Situs Sangiran sebagai Warisan Dunia.


Jurnal Manusia Purba Sangiran. (Online).
(sangiranmuseum.com/wpcontent/.../001-P-Dayat.pdf). diakses 18 Juni
2018.

Hidayat, Rusmulia.D. 2004. Museum Situs Sangiran (Sejarah Evolusi Manusia


Purba Beserta Situs dan Lingkungannya). Sangiran: Koperasi Museum
Sangiran.

Lukman, Aprizal. 2008. Evolusi Sel Sebagai Dasar Perkembangan Makhluk


Hidup Saat Ini. Jurnal Biospecies, Vol, 1 (2). Jambi.

Luthfi, M. J. dan A. Khusnuryani. 2005. Agama dan Evolusi: Konflik atau


Kompromi. Kaunia Jurnal Sains dan Teknologi. 1(1):1-9.
Noerwidi, Sofwan dan Siswanto. 2013. Sangiran-Patiayam: Perbandingan
Karakter Dua Situs Plestosen di Jawa. Yogyakarta: Balai Arkeologi.

Palmer, D. 2002. Buku saku Fosil. Penerjemah: Yulin Lestari. Jakarta: Erlangga.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Fosil). Diakses tanggal 18 Juni 2018.

Raharjo, Boy. 1995. Evolusi. Yogyakarta:Universitas Atmajaya .

Setyanta, B, dkk. 2014. Penentuan Umur Fosil Manusia Purba Di Jawa


Berdasarkan Magnetostratigrafi. J.G.S.M, Volume 15 Nomor 1.

Siska. 2015. Manusia dan Sejarah (Sebuah Tinjauan Filosofis). Jakarta:


Garudhawaca.

Siswanto. 2007. “Komponen Lingkungan Pendukung Kehidupan Manusia Kala


Plestosen di Situs Patiayam, Kudus”, Berita Penelitian Arkeologi No. 22,
pp. 8-15, Yogyakarta: Balai Arkeologi.

Stanislaus, Surip. 2008. Harmoni Kehidupan- Asal-usul Alam Semesta,


mengembalakan Ciptaan. Yogyakarta : Kanisius.

Sutrisno, Wahyudi. 2015. Teori Evolusi Darwin Dalam Perspektif Islam. Naskah
Publikasi Skripsi.

Widianto, Harry, Retno Handini dan Bagyo Prasetyo. 2006. “Dari


Pithecanthropus ke Homo erectus : Situs, Stratigrafi dan Pertanggalan
Temuan Fosil Manusia di Indonesia”, Berkala Arkeologi Tahun XXVI Edisi
No. 2 / November, pp. 114-129, Yogyakarta: Balai Arkeologi.

Yahya, Harun. 2004. Al Quran dan Sains. Bandung: Dzikra.

Yunus, Rosman. dkk. 2006. Teori Darwin Dalam Pandangan Sains & Islam.
Jakarta : Prestasi.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai