Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pada bab ini peneliti akan menguraikan konsep yang berhubungan dengan

penelitiannya diantaranya : 1) Teknik Modeling, 2) Toilet Training, 3) Anak Usia

Todler, 4) kerangka konsep dan 5) hipotesis

2.1. Teknik Modeling

2.1.1. Pengertian

Pemodelan (modelling) yaitu mencontohkan dengan menggunakan belajar

observasional (Abdul Mujib, 2014). Modelling berakar dari teori Albert Bandura

dengan teori belajar sosial. Modelling merupakan belajar melalui observasi

dengan menambahkan atau mengurangi tingkah laku yang teramati,

menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.

(Gantika Komalasari, 2011). Dalam hal ini klien dapat mengamati seseorang yang

dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh

tingkah laku sang model. Dalam hal ini konselor dapat bertindak sebagai model

yang akan ditiru oleh klien.

Dalam pencontohan, konseli mengamati seorang model dan kemudian

diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model tersebut. Bandura

menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa

pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain

beserta konsekuensi-konsekuensinya

Kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan

7
8

mencontoh tingkah laku model- model yang ada. Reaksi- reaksi emosional yang

yang terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu

mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi- situasi yang

ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang

dilakukannya. Pengendalian diripun bisa dipelajari melalui pegamatan atas model

yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti dan orang-

orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang

menempati status yang tinggi dan terhormat dimata mereka sebagai pengamat.

Menurut Bandura bahwa strategi modeling adalah strategi dalam konseling

yang menggunakan proses belajar melalui pengamatan terhadap model dan

perubahan perilaku yang terjadi karena peniruan. Sedangkan menurut Nelson

strategi modeling merupakan strategi pengubahan perilaku melalui pengamatan

perilaku model. Selain itu, Pery dan Furukawa mendefinisikan modelling sebagai

proses belajar observasi, dimana perilaku individu atau kelompok, para model,

bertindak sebagai suatu perangsang gagasan sikap atau perilaku ada orang lain ang

mengobservasi penampilan model (Muhammad Nur Salim, 2010).

Terdapat dua konsep yang berbeda yang digunakan dalam modellling, yaitu

antara coping dan mastery. Mastery model menampilkan perilaku ideal,

contohnya bagaimana menangani ketakutan. Sebaliknya, coping model pada

dasarnya menampilkan bagaimana ia tidak merasa takut untuk menghadapi hal

yang semula menakutkan (Sutarjo, 2011).

Pengaruh dari peniruan melalui modeling menurut Bandura adalah :

1. Pengambilan respon atau keterampilan baru dan memperlihatkan dalam


9

perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh dari pengamatannya

dengan pola perilaku yang baru.

2. Hilangnya respon takut setelah melihat tokoh (sebagai model) melakukan

sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan perasaan takut, namun pada tokoh

yang dilihatnya tidak berakibat apa- apa atau akibatnya bahkan positif.

3. Pengambilan suatu respon dari respon- respon yang diperlihatkan oleh tokoh

yang memberikan jalan untuk ditiru

(Singgih Gunarsah, 2017)

Modelling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan

oleh model saja, tetapi juga modeling melibatkan penambahan atau pengurangan

tingkah laku yang teramati, menggenalalisir berbagai pengamatan sekaligus, dan

melibatkan proses kognitif (Alwisol, 2010)

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa modelling

adalah suatu strategi yang digunakan untuk membantu seseorang yang mengalami

kesulitan menghadapi suatu kondisi yangmenakutkan, pelatihan perubahan

perilaku yang lebih baik melalui observasi terhadap perilaku yang dimodelkan.

2.1.2. Tujuan Modeling

Strategi modeling dapat digunakan untuk membantu siswa memperoleh

perilaku baru melalui model hidup maupun model simbolik, menampilkan

perilaku yang sudah diperoleh dengan cara yang tepat atau pada saat

pembelajaran, mengutangi rasa takut dan cemas, memperoleh keterampilan sosial

dan mengubah perilaku verbal, serta mengobati kecanduan narkoba (Muhammad

Nur Salim, 2010). Pada prinsipnya, terapi behavior itu sendiri bertujuan untuk
10

memeroleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku lama yang merusak diri dan

memperkuat, serta mempertahankan perilaku yang diinginkan yang lebih sehat.

Tujuan konseling behavior dengan teknik modeling adalah untuk merubah

perilaku dengan mengamati model yang akan ditiru agar konseli memperkuat

perilaku yang sudah terbentuk (Gerald Corey, 2009).

2.1.3. Macam-Macam Modeling

Macam-macam modelling (pencontohan) menurut Corey ada 3

yaitu:

1. Model yang nyata (live model), contohnya konselor yang dijadikan sebagai

model oleh konselinya, atau guru, anggota keluarga atau tokoh lain yang

dikagumi. Live model digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku

tertentu khususnya situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk

percakapan sosial dan interaksi dengan memecahkan masalah. Model yang

hidup (live model) diperoleh konseli dari konselor atau orang lain dalam

bentuk tingkah laku yang sesuai, pengaruh sikap, dan nilai-nilai keahlian

kemasyarakatan. Keberadaan konselorpun dalam keseluruhan proses, konseli

akan membawa langsung (live model) baik dalam sikap hangat maupun dingin.

Live Model dapat digunakan untuk mengatasi perilaku maladaptive, seperti

kasus pola asuh orang tua yang otoriter terhadap anak, perilaku agresif,

pecandu rokok, dan sebagainya (Gantika Kumalasari, 2011).

2. Model simbolik (symbolic model). Adalah tokoh yang dilihat melalui film,

video atau media lainnya. Contohnya seseorang yang menderita neurosis yang

melihat tokoh dalam film dapat mengatasi masalahnya dan kemudian ditirunya.
11

Tujuan dari model simbolik adalah untuk merubah perilaku yang kurang tepat.

Dalam modeling simbolis, model disajikan melalui bahan-bahan tertulis, audio,

video, film atau slide. Symbolik modeling membentuk gambaran orang tentang

realitas sosial diri, dengan cara itu dapat memotret berbagai hubungan manusia

dan kegiatan yang mereka lakukan. Contohnya model simbolik digunakan

untuk mengatasi ketergantungan atau kecanduan obat-obatan dan alkhohol,

bagaimana membantu individu mengatasi phobia, membantu membantu

menghadapi gangguan kepribadian yang berat seperti psikosis, dan sebagainya

(Muhammad Nur Salim, 2010)

3. Model ganda (multiple model) yang terjadi dalam kelompok. Seseorang

anggota dari suatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari suatu sikap

baru, setelah mengamati bagaimana anggota lain dalam kelompoknya bersikap

(Singgih dan Gunarsih, 2017). Misalnya bagaimana mengurangi rasa

keminderan, menumbuhkan sikap percaya diri,dan perilaku-perilaku yang

menyimpang lainnya

2.1.4. Prinsip-Prinsip Modeling

Menurut Gantika Komalasari mengemukakan bahwa prinsip-prinsip

modeling adalah sebagai berikut:

1. Belajar bisa memperoleh melalui pegalaman langsung maupun

tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut

konsekuensinya.

2. Kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh

tingkah laku model yang ada.


12

3. Reaksi-reaksi emosional yang terganggu bisa dihapus dengan mengamati

orang lain yang mendekati obyek atau situasi yangditakuti tanpa mengalami

akibat menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.

4. Pengendalian diri dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai

hukuman.

5. Status kehormatan sangat berarti.

6. Individu meng mati seorang model dan dikuatkan untuk mencontohkan

tingkah laku model.

7. Modeling dapat dilakukan dengan model symbol melalui film dan alat visual

lainnya.

8. Pada konseling kelompok terjadi model ganda karena peserta bebas meniru

perilaku pemimpin kelompok atau peserta lain

9. Prosedur modeling dapat menggunakan berbagai teknik dasar

modifikasi perilaku

(Gantika Komalasari, 2011)

2.1.5. Tahap Belajar melalui Modeling

Menurut Woolfolk (dalam bukunya M. Nur Salim), ada empat tahap belajar

melalui pengamatan perilaku orang lain (modelling) yang data dideskripsikan

sebagai berikut:

1. Tahap Perhatian (attention processi) Gredler berpendapat bahwa perilaku

yang baru tidak bisa diperoleh kecuali jika perilaku tersebut diperhatikan dan

dipersepsi secara cermat. Pada dasarnya proses perhatian (atensi) ini

dipengaruhi berbagai faktor, yaitu faktor ciri-ciri dari perilaku yang diamati
13

dan ciri-ciri dari pengamat. Ciri-ciri perilaku yang memengaruhi atensi adalah

kompleksitasnya yang relevansinya. Sedangkan cirri pengamat yang

berpengaruh pada proses atensi adalah keterampilan mengamati, motivasi,

pengalaman sebelumnya dan kapasitas sensori.

2. Tahap Retensi

Belajar melalui pengamatan terjadi berdasarkan kontinuitas. Dua kejadian

yang diperlukan terjadi berulang kali adalah perhatian pada penampilan

model dan penyajian simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka

panjang. Jadi untuk dapat meniru perilaku suatu model, seseorang harus

mengingat perilaku yang diamati. Menurut Bandura, peranan kata- kata,

nama, atau bayangan yang kuat dikaitkan dengan kegiatan- kegiatan yang

dimodelkan sangat penting dalam mempelajari dan mengingat perilaku.

Karena pada dasarnya, tahap ini terjadi pengkodean perilaku secara simbolik

menjadi kode- kode visual dan verbal serta penyimpanan kode-kode tersebut

dalam memori jangka panjang

3. Tahap Reproduksi

Pada tahap ini model dapat melihat apakah komponenkomponen suatu urutan

perilaku telah dikuasai oleh pengamat. Agar seseorang dapat mereproduksi

perilaku model dengan lancar dan mahir, diperlukan latihan berulang kali dan

umpan balik terhadap aspek- aspek yang salah menghindarkan perilaku keliru

tersebut berkembang menjadi kebiasaan yang tidak diinginkan

4. Tahap Motivasi dan Penguatan

Penguatan memegang peran penting dalam pembelajaran melalui


14

pengamatan. Apabila seseorang mengantisipasi akan memperoleh penguatan

pada saat meniru tindakan suatu model, maka ia akan lebih termotivasi untuk

menaruh perhatian, mengingat dan memproduksi perilaku tersebut. isamping

itu, penguatan penting dalam mempertahankan pembelajaran (Muhammad

Nur Salim, 2011). Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau

pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah

laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai

tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidaka ada, maka tidak

bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tinkah laku model

yang diganjar, daripada tingkah laku yang dihukum. Motivasi banyak

ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan

karakteristik modelnya. Cirri- cirri model seperti usia, status sosial, seks,

keramahan dan kemampuan penting untuk menentikan tingkat

imitasi

2.1.6. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencontohan (Modelling)

Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam percontohan (modeling)

1. Ciri model seperti usia, status sosial, jenis kelamin, keramahan, dan

kemampuan penting dalam meningkatkan imitasi.

2. Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa.

3. Anak cenderung meniru model yang standart prestasinya dalam

jangkauannya.

4. Anak cenderung mengimitasi oramg tuanya yang hangat dan terbuka


15

2.1.7. Pengaruh Modeling

Modeling dapat mempengaruhi beberapa hal yaitu :

1. Pengambilan respon atau keterampilan baru dan memperlihatkannya dalam

perilaku baru.

2. Hilangnya respon takut setelah melihat tokoh melakukan sesuatu yang

menimbulkan rasa takut konseli, tidak berakibat buruk bahkan berakibat

positif.

3. Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk melakukan

sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan tidak ada hambatan

(Gantika Komalasari, 2011)

2.1.8. Langkah-Langkah Modeling

Berikut merupakan langkah-langkah dalam penerapan modeling :

1. Menetapkan bentuk penokohan (live model, symbolic model, multiple model).

2. Pada live model, pilih model yang bersahabat atau teman sebaya yang

memiliki kesamaan seperti: usia, status ekonomi, dan penampilan fisik.

3. Bila mungkin gunakan lebih dari satu model

4. Kompleksitas perilaku yang dimodelkan harus sesuai dengan tingkat perilaku

konseli.

5. Kombinasikan konseling dengan aturan, instruksi, behavior rehearsal dan

penguatan.

6. Pada saat konseli memperhatikan penampilan tokoh, berikan penguatan

alamiah

7. Bila mungkin buat desain pelatihan untuk konseli menirukan model secara
16

tepat, sehingga akan mengarahkan konseli pada penguatan alamiah. Bila

ridak, maka buat perencanaan pemberian penguatan utuk setiap peniruan

tingkah laku yang tepat.

8. Bila perilaku bersifat kompleks, maka episode modeling dilakukan mulai dari

yang paling mudah ke yang lebih sukar.

9. Scenario modeling harus dibuat realistic.

10. Melakukan pemodelan dimana tokoh menunjukan perilaku yang

menimbulkan rasa takut bagi konseli

(Gantika Komalasari, 2011)

2.2. Toilet Training

2.2.1. Pengertian

Toilet training adalah suatu usaha untuk melatih anak agar mampu

mengontrol dalam melakukan buang air kecil ( BAK) dan buang air besar ( BAB)

(Hidayat, 2011). Toilet training merupakan proses pengajaran untuk mengontrol

buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) secara benar dan teratur

(Zaivera, 2009). Toilet training adalah sebuah pembiasaan pelatihan buang air

(Koraag, 2010). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan definisi

toilet training adalah sebuah usaha pembiasaan mengontrol buang air kecil (BAK)

dan buang air besar (BAB) secara benar dan teratur.

Latihan ini termasuk dalam perkembangan psikomotorik, karena latihan

ini membutuhkan kematangan otot–otot pada daerah pembuangan kotoran (anus

dan saluran kemih). Latihan ini hendaknya dimulai pada waktu anak berusia 15
17

bulan dan kurang bijaksana bila anak pada usia kurang dari 15 bulan dilatih

karena dapat menimbulkan pengalaman–pengalaman traumatik. Toilet training

merupakan latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat berpengaruh

pada perkembangan moral anak selanjutnya ( Suherman, 2010)

2.2.2. Tahapan Toilet Training

Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan

seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan

membiasakan anak masuk ke dalam WC anak akan cepat lebih adaptasi. Anak

juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan

jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak ketika

anak terlihat ingin buang air.

Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu – waktu tertentu setiap hari,

terutama 20 menit setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak

dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol)

dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil

melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan

menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik (Pambudi,

2016)

Prinsip dalam melakukan toilet training ada 3 langkah yaitu melihat

kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri :

1. Melihat kesiapan anak

Salah satu pertanyaan utama tentang toilet training adalah kapan waktu

yang tepat bagi orang tua untuk melatih toilet training. Sebenarnya tidak
18

patokan umur anak yang tepat dan baku untuk toilet training karena setiap anak

mempunyai perbedaan dalam hal fisik dan proses biologisnya. Orang tua harus

mengetahui kapan waktu yang tepat bagi anak untuk dilatih buang air dengan

benar. Para ahli menganjurkan untuk melihat beberapa tanda kesiapan anak itu

sendiri, anak harus memiliki kesiapan terlebih dahulu sebelum menjalani toilet

training. Bukan orang tua yang menentukan kapan anak harus memulai proses

toilet training akan tetapi anak harus memperlihatkan tanda kesiapan toilet

training, hal ini untuk mencegah terjadinya beberapa hal yang tidak diinginkan

seperti pemaksaan dari orang tua atau anak trauma melihat toilet.

2. Persiapan dan Perencanaan

Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal yang

perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut gunakan istilah yang mudah

dimengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air besar (BAB) /

buang air kecil (BAK) misalnya poopoo untuk buang air besar (BAB) dan

peepee untuk buang air kecil (BAK).

Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada anak sebab pada

usia ini anak cepat meniru tingkah laku orang tua. Orang tua hendaknya segera

mungkin mengganti celana anak bila basah karena enkopresis (mengompol)

atau terkena kotoran, sehingga anak akan merasa risih bila memakai celana

yang basah dan kotor. Meminta pada untuk memberitahu atau menunjukkan

bahasa tubuhnya apabila ia ingin buang air kecil (BAK) atau buang air besar

(BAB) dan bila anak mampu mengendalikan dorongan buang air maka jangan

lupa berikan pujian pada anak (Farida, 2011)


19

Selain itu ada juga persiapan dan perencanaan yang lain seperti:

a. Mendiskusikan tentang toilet training dengan anak

Orang tua bisa menunjukkan dan menekankan bahwa pada anak kecil

memakai popok dan pada anak besar memakai celana dalam. Orang tua

juga bisa membacakan cerita tentang cara yang benar dan tepat ketika

buang air.

b. Menunjukkan penggunaan toilet

Orang tua harus melakukan sesuai dan jenis kelamin anak (ayah dengan

anak laki-laki dan ibu dengan anak perempuan). Orang tua juga bisa

meminta kakaknya untuk menunjukkan pada adiknya bagaimana

menggunakan toilet dengan benar (disesuaikan juga dengan jenis kelamin).

c. Membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak

Pispot ini digunakan untuk melatih anak sebelum ia bisa dan terbiasa

untuk duduk di toilet. Anak bila langsung menggunakan toilet orang

dewasa, ada kemungkinan anak akan takut karena lebar dan terlalu tinggi

untuk anak atau tidak merasa nyaman. Pispot disesuai dengan kebutuhan

anak, diharapkan dia akan terbiasa dulu buang air di pispotnya baru

kemudian diarahkan ke toilet sebenarnya. Orang tua saat hendak membeli

pispot usahakan untuk melibatkan anak sehingga dia bisa menyesuaikan

dudukan pispotnya atau bisa memilih warna, gambar atau bentuk yang ia

sukai

d. Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak

Suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet training ini, seringkali
20

dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa

menunjukkan kalau ada kemajuan yang dilakukan anak dengan sistem

reward yang tepat. Anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa

melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah terjadi

tuntutan untuknya sehingga hal ini akan menambah rasa mandiri dan

percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode peluk cinta serta pujian di

depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil melakukan sesuatu

atau mungkin orang tua bisa menggunakan sistem stiker / bintang yang

ditempelkan dibagian ” keberhasilan” anak

Ketika orang tua sudah melakukan 2 langkah di atas maka bisa masuk ke

langkah selanjutnya yaitu toilet training. Proses toilet training ada beberapa hal

yang perlu dilakukan yaitu

1). Membuat jadwal untuk anak

Orang tua bisa menyusun jadwal dengan mudah ketika orang tua tahu

dengan tepat kapan anaknya biasa buang air besar (BAB) atau buang air

kecil ( BAK). Orang tua bisa memilih waktu selama 4 kali dalam sehari

untuk melatih anak yaitu pagi, siang, sore dan malam bila orang tua tidak

mengetahui jadwal yang pasti BAK ( buang air kecil ) atau BAB ( buang

air besar) anak

2). Melatih anak untuk duduk di pispotnya

Orang tua sebaiknya tidak memupuk impian bahwa anak akan segera

menguasai dan terbiasa untuk duduk di pispot dan buang air disitu. Awalnya

anak dibiasakan dulu untuk duduk di pispotnya dan ceritakan padanya bahwa
21

pispot itu digunakan sebagai tempat membuang kotoran. Orang tua bisa

memulai memberikan rewardnya ketika anak bisa duduk dipispotnya selama

2 – 3 menit misalnya ketika anak bisa menggunakan pispotnya untuk BAK

maka reward yang diberikan oleh orang tua harus lebih bermakna dari pada

yang sebelumnya.

3). Orang tua menyesuaikan jadwal yang dibuat dengan kemajuan yang

diperlihatkan oleh anak

Misalnya anak hari ini pukul 09.00 pagi anak buang air kecil (BAK) di

popoknya maka esok harinya orang tua sebaiknya membawa anak ke

pispotnya pada pukul 08.30 atau bila orang tua melihat bahwa beberapa

jam setelah buang air kecil (BAK) yang terakhir anak tetap kering,

bawalah dia ke pispot untuk buang air kecil (BAK). Hal yang terpenting

adalah orang tua harus menjadi pihak yang pro aktif membawa anak ke

pispotnya jangan terlalu berharap anak akan langsung mengatakan pada

orang tua ketika dia ingin buang air besar (BAB) atau buang air kecil (

BAK).

Buatlah bagan untuk anak supaya dia bisa melihat sejauh mana kemajuan

yang bisa dicapainya dengan stiker yang lucu dan warna- warni, orang

tua bisa meminta anaknya untuk menempelkan stiker tersebut di bagan

itu. Anak akan tahu bahwa sudah banyak kemajuan yang dia buat dan

orang tua bisa mengatakan padanya orang tua bangga dengan usaha yang

telah dilakukan anak (Dr Sears, 2012).

Berdasarkan dari uraian tentang tahapan melatih toilet training dapat


22

disimpulkan sebagai berikut orang tua selayaknya melihat kesiapan anak untuk

toilet training terlebih dahulu kemudian mendiskusikan tentang toilet training

dengan anak agar anak tidak merasa terpaksa melakukannya. Membiasakan

anak menggunakan toilet untuk buang air, ini agar anak beradaptasi terlebih

dahulu dan orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet untuk menarik

perhatian anak terhadap toilet. Meminta pada anak untuk memberitahukan

bahasa tubuhnya apabila anak ingin buang air dan menggunakan istilah seperti

poopoo untuk buang air besar ( BAB) dan peepee untuk buang air kecil ( BAK),

bila anak berhasil melakukan buang air dengan benar berikan pujian pada anak

2.2.3. Praktik Toilet Training Ibu

Praktik toilet training yang dilakukan oleh ibu sebagai berikut:

1. Teknik Lisan

Melatih anak dengan cara memberikan intruksi pada anak dengan kata-

kata sebelum atau sesudah buang air besar dan buang air kecil, cara ini kadang-

kadang merupakan hal biasa yang dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila

kita perhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar

dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan buang air besar

dimana dengan lisan ini persiapan psikologis anak akan semakin matang dan

akhirnya anak akan mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air kecil

dan buang air besar

2. Teknik Modeling

Melatih anak dengan cara meniru untuk buang air besar atau memberikan

contoh contoh buang air kecil dan buang air besar atau membiasakan buang air
23

kecil dan buang air besar dengan benar. Dampak yang jelek pada cara ini

adalah apabila contoh yang diberikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan

pada anak akhirnya anak juga mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara

tersebut diatas terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan

observasi waktu pada saat anak melakukan buang air besar dan buang air kecil,

tempatkan anak di atas pispot atau ajak ke kamar mandi,berikan pispot dalam

posisi aman dan nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan buang air

besar dan buang air kecil, dudukan anak di atas pispot atau orang tua duduk

atau jongkok dihadapannya sambil mengajak bicara atau bercerita, berikan

pujian jika anak berhasil jangan disalahkan dan dimarahi, biasakan akan pergi

ke toilet pada jam-jam tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan

dikembalikan

Selain dapat menggunakan metode praktik yang diatas ibu juga dapat

menggunakan metode praktik pengaturan jadwal dan menggunakan alat

bantu seperti boneka.

a. Praktik pengaturan jadwal

Anak yang telah menampakkan tanda kesiapan secara bertahap

diminta duduk diatas kloset sebentar dalam keadaan berpakaian lengkap.

Anak diminta untuk melepaskan pakaian dalamnya sendiri dan duduk di

kloset selama 5 – 10 menit. Ibu memberikan pujian pada anak bila anak

dapat melakukan dengan baik. Metode ini efektif untuk anak- anak yang

memiliki jadwal buang air besar (BAB) atau buang air kecil

kecil (BAK) yang teratur.


24

b. Praktik menggunakan alat bantu

Anak telah menunjukkan tanda kesiapan untuk latihan buang air,

kemudian anak diajrkan toilet training menggunakan boneka sebagai

model. Orang tua memberikan contoh lewat boneka kemudian orang

tua meminta anak untuk menirukan proses toilet training dengan

boneka secara berulang – ulang dan anak diajarkan untuk memberi

pujian pada boneka ( Apotik Online, 2008)

2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pada praktik toilet training

Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pada praktik toilet

training

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu melakukan

pengindraan terjadi melalui indra manusia, sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (pengelihatan) dan

telinga (pendengaran) (Notoadmojo, 2012).

Pengetahuan tentang toilet training yaitu cara mengajarkan

latihan toilet training, dimulai tahu tanda – tanda kesiapan anak.

Orang tua perlu tahu acara mengajarkan toilet training dari tahap

awal sampai akhir( Wulandari, 2011)

2. Sikap

Sikap adalah reaksi tertutup dari seseorang terhadap stimulus

atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya


25

kesesuaian reaksi stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial

Sikap menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap

objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri ataupun dari

orang lain. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi

orang lain atau objek lain. Sikap terhadap nilai-nilai kesehatan tidak

selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Sikap masyarakat

terhadap toilet training juga dipengaruhi oleh tradisi dan

kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,

tingkat sosial ekonomi (Azwar, 2011)

2.2.5. Faktor-faktor yang mendukung latihan toilet training

Menurut Pambudi (2011) faktor yang mendukung praktik latihan toilet

training yaitu

1. Kesediaan WC atau kakus

WC atau kakus sebaiknya aman dan nyaman serta lantai tidak licin

agar anak tidak terjatuh atau kecelakaan dalam melakukan latihan toilet

training.

2. Komunikasi

Sampaikan pada anak bahwa saat ini anak sudah siap untuk mulai

belajar latihan buang air besar dan buang air kecil. Komunikasikan
26

semua proses latihan buang air besar dan buang air kecil agar anak

paham seperti sebelum buang air kecil atau buang air besar membuka

celana terlebih dahulu, jongkok dan lalu membersihkan alat kelamin

agar alat kelamin tetap bersih. Sampaikan pada anak bila sudah bisa

melakukan dengan baik dan berilah pujia, tetapi jika belum bisa jangan

mengejek anak

2.2.6. Faktor-Faktor yang menjadi pendorong dalam praktik toilet training

Menurut Zaivera (2008) faktor yang menjadi pendorong dalam praktik

toilet training adalah :

1. Ayah atau kakak laki- laki

Ayah atau kakak laki-laki memberi contoh buang air besar atau

buang air kecil pada anak laki – laki atau adik laki-lakinya.

2. Ibu atau kakak perempuan

Ibu atau kakak perempuan memberi contoh buang air besar atau kecil pada

anak perempuan atau adik perempuannya. Berdasarkan uraian diatas tersebut

dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi pendorong dalam praktik toilet

training adalah orang tua dan saudara terdekat, ini disebabkan anak pada usia

18 - 36 bulan lebih cepat untuk meniru seseorang

2.2.7. Faktor-Faktor Kesiapan Toilet Training

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training anak yaitu:

1. Minat

Suatu minat telah diterangkan sebagai sesuatu dengan apa anak

mengidentifikasi kebenaran pribadinya. Minat tumbuh dari tiga jenis


27

pengalaman belajar. Pertama, ketika anak-anak menemukan sesuatuyang

menarik perhatian mereka. Kedua, mereka belajar melalui identifikasi dengan

orang yang dicintai atau dikagumi atau anak-anak mengambil operminat orang

lain itu dan juga pola perilaku mereka. Ketiga, mungkin berkembang melalui

bimbingan dan pengarahan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak.

Perkembangan kemampuan intelektual memungkinkan anak menangkap

perubahan- perubahan pada tubuhnya sendiri dan perbedaan antara tubuhnya

dengan tubuh teman sebaya dengan orang dewasa, sehingga dengan adanya

bimbingan dan pengarahan dari orang tua maka sangatlah mungkin seorang

anak dapat melakukan toilet training sesuai dengan apa yang diharapkan

(Hidayat, 2011)

2. Pengalaman

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang

kembali pengalaman yang telah diperoleh dalam memecahkan permasalahan

yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2013).

3. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap

pembentukan dan perkembangan perilaku individu baik lingkungan fisik

maupun lingkungan sosio-psikologis termasuk didalamnya adalah belajar.

(Sudrajat, 2008)
28

2.2.8. Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan Toilet Training

Menurut Imam (2013) hal yang penting perlu diperhatikan dalam toilet

training adalah

1. Berikan penghargaan

Anak bila berhasil menahan buang air besar atau buang air kecil, berilah

penghargaan pada anak. Anak akan memahami tujuan dari toilet training yang

sedang dilaksanakannya.

2. Jangan marah atau memberi hujatan pada anak

Orang tua jangan marah bila anak belum bisa menahan kencing atau

enkopresis (mengompol). Terkadang orang tua terlalu memaksakan anak agar

dapat segera buang air dengan benar.

3. Jelaskan pada anak tentang toilet training

Orang tua perlu menjelaskan kepada anak bahwa apada umur dia

sekarang sudah harus dapat buang air di tempatnya dengan benar dan tidak

memerlukan lagi popok sekali pakai ( diapers).

4. Perhatikan siklus buang air

Orang tua memperhatikan siklus buang air anak dengan begitu

pelatihan buang air dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa ada pemaksaan

dari orang tua.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hal yang

harus perhatikan dalam melakukan toilet traning yaitu pemberiaan penghargaan

atau reward pada anak bila anak dapat menahan kencing dan berhasil

melakukan buang air dengan benar. Orang tua juga tidak perlu marah bila anak
29

belum berhasil melakukan buang air dengan benar karena pada umur 2 tahun

anak belum mampu mengontrol kandung kemih dan sfingter ani yang dengan

baik, wajar bila anak masih enkopresis (mengompol). Perlu juga orang tua

menjelaskan tentang toilet training, agar anak paham apa yang akan orang tua

lakukan pada dia dan menangani tidak terjadi penolakan. Orang tua juga perlu

memperhatikan siklus buang air anak agar mempermudah dalam melakukan

toilet training

2.2.9. Dampak Latihan Toilet Training

Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya

perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat

mengganggu kepribadian anak yang cenderung bersifat retentive di mana anak

cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat dilakukan oleh orang

tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil atau

melarang anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan

dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian eksprensif

dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional

dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari ( Hidayat, 2011).

Berdasarkan uraian tentang dampak latihan toilet training diatas maka

dapat disimpulkan toilet training pada anak usia 18 – 36 bulan mempunyai

pengaruh terhadap pekembangan selanjutnya dan kepribadian anak


30

2.3. Anak Usia Toddler (1-3 tahun)

2.3.1. Pengertian

Anak usia toddler (1-3 tahun) merujuk konsep periode kritis dan plastisitas

yang tinggi dalam proses tumbuh kembang, maka usia satu sampai tiga tahun

sering disebut sebagai ”golden period”(kesempatan emas) untuk meningkatkan

kemampuan setinggi-tingginya dan plastisitas yang tinggi adalah pertumbuhan sel

otak cepat dalam waktu yang singkat, peka terhadap stimulasi dan pengalaman,

fleksibel mengambil alih fungsi sel sekitarnya dengan membentk sinaps-sinaps

serta sangat mempengaruhi periode tumbuh kembang selanjutnya. Anak pada usia

tersebut ini harus memdapatkan perhatian yang serius dalam arti tidak hanya

mendapatkan nutrisi yang memadai saja tetapi memperhatikan juga intervensi

stimulasi dini untuk membantu anak meningkatkan potensi dengan memperoleh

pengalaman yang sesuai dengan perkembangannya (Hartono, 2011).

Anak pada masa ini bersifat egosentris yaitu mempunyai sifat keakuan

yang kuat sehingga segala sesuatu itu dianggpa sebagai miliknya

(Nursalam, 2013). Ciri–ciri anak toddler (1-3 tahun) antara lain menurut jasmani

anak usia toddler (1-3 tahun) berada dalam tahap pertumbuhan jasmani yang pesat

oleh karena itu mereka sangat lincah. Sediakanlah ruangan yang cukup luas dan

banyak kegiatan sebagai penyalur tenaga. Anak usia ini secara mental mempunyai

jangka perhatian yang singkat, suka meniru oleh karena itu jika ada kesempatan

gunakanlah perhatian mereka dengan sebaik-baiknya. Segi emosional anak usia

ini mudah merasa gembira da mudah merasa tersinggung, kadang-kadang mereka

suka melawan dan sulit diatur. Kembangkanlah kasih sayang dan displin serta
31

perlihatkan kepadanya bahwa ia adalah penting bagi anda dengan sering

memujinya. Segi sosial anak toddler (1-3 tahun) sedikit anti sosial. Wajar bagi

mereka untuk merasa senang bermain sendiri dari pada bermain secara

berkelompok. Berilah kesempatan untuk bermain sendiri tetapi juga tawarkan

kegiatan yang mendorongnya untuk berpartisipasi dengan anak – anak lain.

2.3.2. Perkembangan Anak Usia Toddler (1-3 tahun)

Perkembangan psikoseksual anak toddler yang dikemukakan oleh

Sigmund Freud dalam Hidayat (2009) merupakan perkembangan psikoseksual

pada fase kedua yaitu fase anal (1-3 tahun) dimana kepuasan pada fase ini adalah

pada pengeluaran tinja, anak akan menunjukan keakuanya dan sifatnya sangat

narsistik yaitu cinta terhadap dirinya sendiri dan sangat egoistik, mulai

mempelajari struktur tubuhnya

Anak usia toddler ﴾ 1 - 3 tahun﴿ mengalami tiga fase yaitu

1. Fase otonomi vs ragu – ragu atau malu

Menurut teori Erikson, hal ini terlihat dengan berkembanganya

kemampuan anak yaitu dengan belajar untuk makan atau berpakaian sendiri.

Apabila orang tua tidak mendukung upaya anak untuk belajar mandiri, maka

hal ini dapat menimbulkan rasa malu atau ragu akan kemampuannya. Misalnya

orang tua yang selalu memanjakan anak dan mencela aktivitas yang telah

dilakukan oleh anak. Pada masa ini anak perlu dibimbing dengan akrab, penuh

kasih sayang, tetapi juga tegas sehingga anak tidak mengalami kebingungan.

2. Fase anal

Menurut teori Sigmund Freud pada fase ini sudah waktunya anak dilatih
32

untuk buang air atau toilet training (pelatihan buang air pada tempatnya).

Anak juga dapat menunjukkan beberapa bagian tubuhnya menyusun dua kata

dan mengulang kata – kata baru.

Anak usia toddler (1- 3 tahun) yang berada pada fase anal yang diatndai

dengan berkembanganya kepuasan (kateksis) dan ketidakpuasan (antikateksis)

disekitar fungsi eliminasi. Dengan mengeluarkan feses atau buang air besar

timbul rasa lega, nyaman dan puas. Kepuasan ini bersifat egosentrik artinya

anak mampu mengendalikan sendiri fungsi tubuhnya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam fase anal yaitu anak mulai

menunjukkan sifat egosentrik, sifat narsitik (kecintaan pada diri sendiri) dan

egosentrik (memikirkan diri sendiri). Tugas perkembangan yang penting pada

fase anal tepatnya saat anak umur 2 tahun adalah latihan buang air (toilet

training) agar anak dapat buang air secara benar

3. Fase pra operasional

Menurut teori Piaget pada fase anak perlu dibimbing dengan akrab, penuh

kasih sayang tetapi juga tegas sehingga anak tidak mengalami kebingungan.

Bila orang tua mengenalkan kebutuhan anak maka anak akan berkembang

perasaan otonominya sehingga anak dapat mengendalikan otot – otot dan

rangsangan lingkungan (Nuryanti, 2009)

2.3.3. Kemampuan Anak Usia Toddler 1-3 tahun

Kemampuan anak usia 18 – 36 bulan sesuai dengan tugas perkembangannya

meliputi perkembangan motorik kasar dan halus, perkembangan emosi, perilaku

dan bicara, diantaranya sebagai berikut:


33

Usia 12 sampai 18 bulan anak dapat berjalan dan mengeksplorasi rumah serta

sekeliling rumah, anak dapat menyusun 2 atau 3 balok, dapat mengatakan 5

sampai 10 kata dan anak dapat memperlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing.

Usia 18 sampai 24 bulan perkembangan anak yaitu anak dapat naik turun

tangga, menyusun 6 kotak, menunjuk mata dan hidungnya, menyusun 2 kata,

belajar makan sendiri dan menggambar garis dikertas atau pasir, mulai belajar

mengontrol buang air besar dan buang air kecil, menaruh minat kepada apa yang

dikerjakan oleh orang yang lebih besar dan memperlihatkan minat kepada apa

yang dilakukan anak lain dan bermain dengan mereka.

Usia 2 sampai 3 tahun perkembangan anak tersebut yaitu belajar meloncat,

memanjat dan melompat dengan satu kaki, membuat jembatan dengan 3 kotak,

mampu menyusun kalimat, menggunakan kata – kata saja, bertanya dan mengerti

kata – kata yang ditunjukkan kepadanya, menggambar lingkaran dan bermain

bersama anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain diluar keluarga

(Soetjiningsih, 2011).

2.3.4. Kemampuan Toilet Training Anak Usia Toddler 1-3 tahun

Anak-anak yang telah mampu melakukan toilet training dapat dilihat dari

kemampuan psikologi, kemampuan fisik dan kemampuan kognitif. Kemampuan

psikologi anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut anak tampak

kooperatif, anak memiliki waktu kering periodenya antara 3 – 4 jam, anak buang

air kecil dalam jumlah yang banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk

buang air besar dan buang air kecil dan waktu untuk buang air besar dan kecil

sudah dapat diperkirakan dan teratur.


34

Kemampuan fisik dalam melakukan toilet training yaitu anak dapat duduk

atau jongkok tenang kurang lebih 2-5 menit, anak dapat berjalan dengan baik,

anak sudah dapat menaikkan dan menurunkan celananya sendiri, anak merasakan

tidak nyaman bila mengenakan popok sekali pakai yang basah atau kotor, anak

menunjukkan keinginan dan perhatian terhadap kebiasaan ke kamar mandi, anak

dapat memberitahu bila ingin buang air besar atau kecil, menunjukkan sikap

kemandirian, anak sudah memulai proses imitasi atau meniru segala tindakan

orang, kemampuan atau ketrampilan dapat mencontoh atau mengikuti orang tua

atau saudaranya dan anak tidak menolak dan dapat bekerjasama saat orang tua

mengajari buang air.

Kemampuan kogitif anak bila anak sudah mampu melakukan toilet training

seperti dapat mengikuti dan menuruti instruksi sederhana, memiliki bahasa sendiri

seperti peepee untuk buang air kecil dan poopoo untuk buang air besar dan anak

dapat mengerti reaksi tubuhnya bila ia ingin buang air kecil atau besar dan dapat

memberitahukan bila ingin buang air (Nadira, 2011)


35

2.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang

ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan

(Notoatmodjo, 2012).

Faktor yang
memperngaruhi
toilet training:
1. Pengetahuan
orang tua
2. Sikap orang tua
Kesiapan anak
dan orang tua

Teknik Toilet
Training Ibu :
Faktor pendorong
1. Teknik Lisan Kemampuan toilet
toilet training:
2. Teknik traning anak usia
1. Ayah / Ibu
Modeling toddler (1-3 tahun)
2. kakak laki-laki /
3. Teknik
kakak
Pengaturan
perempuan
Jadwal
4. Teknik
menggunakan
Faktor pendukung alat bantu
toilet training:
1. Sarana WC
2. Komunikasi

Keterangan :
: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka Konsep pengaruh teknik modeling terhadap kemampuan


toilet training pada anak usia todler di posyandu balita wilayah
kerja puskesmas ngasem tahun 2019
36

2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru

didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta "fakta empiris

yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2011).

Hipotesis nol (Ho) sering disebut hipotesis statistik, karena biasanya dipakai

dalam penelitian yang bersifat statistik. Hipotesis nol menyatakan tidak adanya

perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap

variabel Y (Sugiyono, 2010).

Hipotesis kerja (Ha) sering disebut hipotesis alternative, yang menyatakan

adanya hubungan antara variabel X dan variabel Y atau adanya perbedaan antara

dua kelompok (Sugiyono, 2010)

Ha diterima : Ada pengaruh teknik modeling terhadap kemampuan toilet

training pada anak usia todler di posyandu balita wilayah kerja

puskesmas ngasem tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai