Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PELAKSANAAN DEMOKRASI PANCASILA


DALAM ERA REFORMASI

Dosen Pembimbing:

Dr. Mardenis, S.H., M.Si.

Disusun oleh:

Muhammad Dzaky Sayyid Effendi (1911411016)

Azzahra Camila (1911411017)

Yogi Firwandi (1911411018)

Hafiza Salsabila.S (1911411019)

Rahima Fathin (1911411020)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah sejak lama menerapkan
demokrasi sebagai dasar pemerintahan Indonesia. Namun sampai saat ini, negara
Indonesia belum memiliki kejelasan yang tepat tentang arti demokrasi itu sendiri. Jika kita
melihat sistem demokrasi dalam struktur pemerintahan Indonesia dari level negara,
provinsi, kabupaten, hingga kecamatan, hampir dapat dipastikan demokrasi ini hanya
sampai pada pembuatan kebijakan. Sementara itu, jika mencari demokrasi yang
merupakan ciri bahwa negara Indonesia mempunyai ciri demokrasi itu sendiri dapat dilihat
di level desa.
Hal ini sebagaimana seperti yang ditulis oleh Moh. Hatta, “Di desa-desa sistem yang
demokrasi masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat istiadat yang hakiki.” Dasarnya
adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang yang merasa bahwa ia harus
bertindak berdasarkan persetujuan bersama. Struktur demokrasi yang hidup dalam diri
bangsa Indonesia harus berdasarkan demokrasi asli yang berlaku di desa. Gambaran dari
tulisan ini tidak lain merupakan pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh
musyawarah dalam pencapaian keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan
keputusannya tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi desa memuat baik
kepemimpinan.
Mungkin jika kita menanyakan tentang arti demokrasi, kebanyakan orang akan
mengatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini sering
diartikan sebagai semua keinginan rakyat adalah yang paling benar. Dan ada juga yang
mengatakan bahwa kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan. Hal ini tentunya tidak sesuai
dengan konsep demokrasi itu sendiri. Sebagai contoh bila ada dua pendapat yang saling
bertentangan dari rakyat, pastinya kedua pendapat itu tidak mesti dilaksanakan. Oleh
karena itu, perlu adanya sosok pemimpin yang dapat memimbing dan memutuskan
pendapat yang terbaik yang bisa digunakan.
Untuk itu, makalah yang kami susun ini akan membahas tentang bagaimana
pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini, yang berdasarkan pada Undang-Undang
Dasar 1945.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini antara lain:
1. Apakah pengertian dari demokrasi itu?
2. Bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia?
3. Bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era reformasi?

3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian demokrasi.
2. Mengetahui perkembangan demokrasi di Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Demokrasi
Pengertian Demokrasi Secara Umum
Definisi demokrasi secara umum adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi menuntut keterlibatan rakyat dalam pemerintahan.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
Rakyat turut berpartisipasi aktif dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan serta turut
memilih pemimpin lewat adanya pemilihan umum secara langsung dari tingkat presiden
sampai gubernur dan bupati sekalipun.

Pengertian Demokrasi Secara Etimologi


Demokrasi berasal dari bahasa Latin demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), selalu
diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Pengertian Demokrasi Menurut KBBI


Pengertian demokrasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah bentuk
atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan
perantaraan wakilnya atau dengan kata lain dikenal sebagai pemerintahan rakyat.
Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua
warga negara.

Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli


a. Menurut Plato
Pengertian demokrasi menurut Plato adalah bentuk pemerintahan yang dijalankan
oleh rakyat yang memimpin untuk kepentingan rakyat banyak.
b. Menurut Abraham Lincoln
Pengertian demokrasi menurut Abraham Lincol adalah sistem pemerintahan yang
diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
c. Menurut John L. Esposito
Definisi demokrasi menurut John L. Esposito pada dasarnya adalah kekuasaan dari
dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat
aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu
saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif.
d. Menurut Hans Kelsen
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan oleh rakyat dan
untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah wakil-wakil rakyat yang
terpilih. Di mana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara.
e. Menurut Sidney Hook
Sidney Hook berpendapat bahwa arti demokrasi adalah bentuk pemerintahan di
mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
f. Menurut Prof. Mr. Muhammad Yamin
Pengertian demokrasi menurut Muhammad Yamin adalah sebuah dasar yang ada di
dalam pembentukan pemerintahan dan posisinya berada di dalam atau masyarakat pada
sebuah kekuasaan untuk bisa memerintah dan mengatur supaya dapat dikendalikan dengan
sah pada setiap warga negara.
g. Menurut Hannry B. Mayo
Demokrasi menurut Hannry B. Mayo berupa kebijaksanaan umum ditentukan atas
dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana di mana terjadi kebebasan politik.
h. Menurut Samuel Huntington
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah
sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam
sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh
penduduk dewasa dapat memberikan suara.
i. Menurut International Commission of Journalist
Menurut Komisi Internasional Jurnalis, arti demokrasi adalah suatu bentuk sistem
pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk ikut membuat keputusan-
keputusan politik melalui wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dan yang bertanggung
jawab kepada mereka melalui sebuah pemilihan yang bebas.
j. Menurut Yusuf Al Qordhawi
Pengertian demokrasi secara umum terjadi dimana masyarakat dapat menunjuk
seseorang untuk mengurus maupun mengatur segala urusan mereka melalui suatu wadah
yang dinamakan demokrasi. Masyarakat berhak untuk meminta pertanggungjawaban
kepada pemimpin atau wakil yang mereka pilih apabila bersalah.
k. Menurut Joseph A. Schumpeter
Suatu sistem politik bisa dikatakan bersifat demokratis apabila para pengambil
keputusan kolektifnya yang terkuat dipilih melalui suatu pemilihan umum yang dilakukan
secara berkala yang di dalamnya terdapat hak bagi manusia dewasa untuk memilih. Sebuah
demokrasi mencakup 2 hal, yaitu persaingan dan partisipasi.
l. Menurut Koentjoro Poerbopanoto
Koentjoro Poerbopanoto mengemukakan pendapat bahwa pengertian demokrasi
merupakan sebuah sistem pemerintahan yang dimana posisi rakyat harus ikut turut aktif
bergabung dalam pemerintahan negara.
m. Menurut Merriem
Pengertian demokrasi menurut Merriem dapat didefinisikan sebagai pemerintahan
oleh rakyat, khususnya oleh mayoritas. Pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap
pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah
sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang
diadakan secara periodik. Rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas
politik, tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-
wenangan.

Pengertian Demokrasi Berdasarkan Titik Perhatian


Demokrasi dalam arti formal yaitu demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan atau
sistem politik dimana kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan sendiri oleh rakyat, tetapi
melalui wakil-wakil yang dipilihnya di lembaga perwakilan. Sedangkan demokrasi dalam
arti material dapat disebut sebagai demokrasi sebagai asas, yang dipengaruhi oleh kultur,
historis suatu bangsa, sehingga dikenal demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat, dan
demokrasi Pancasila.

2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia


Paradoks Masa Orde Lama
Persoalan di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan dapat
tumbuh dengan sendirinya dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi seperti dikatakan Apter
(1963), persoalan demokrasi adalah semata-mata merupakan penciptaan manusia, yang di
satu sisi mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia.
Beranjak dari semangat dan kerangka proposisi di atas, maka melumernya corak
demokratik dan egaliter—sebagai cita-cita sesungguhnya budaya Indonesia—sangatlah
dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Dapat diambil
contoh kasus ketika terjadinya proses pemindah-alihan kekuasaan beamtenstaal Belanda
ke tangan Republik, ternyata justru tidak membawa perubahan yang berarti (Feith, 1971).
Perubahan-perubahan yang terjadi lebih banyak bergerak pada peringkat estesis-
simbolik ketimbang etis-substantif. Semangat egaliterian budaya demokratik yang terpatri
dalam angan-angan masyarakat menjadi sirna, setelah pernyataan kemerdekaan dicoba
untuk diwujudkan secara politik dalam bentuk pilihan pada demokrasi liberal dan
parlementer, dan secara ekonomis dalam bentuk pilihan terhadap penciptaan kelas
menengah pribumi yang kukuh (Bulkin, 1984). Obsesi dari pilihan politik dan ekonomi
semacam ini adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mampu menopang
tegaknya masyarakat berdaya (civil society). Jika hal ini dapat terwujud diharapkan
demokrasi akan menampakkan dirinya secara nyata. Namun sayangnya, persyaratan yang
hendak diwujudkan tersebut, terutama adanya kelas menengah yang kuat sebagai aktor
sentral untuk menopang demokrasi, tidak ditemukan.
Pembangunan semesta yang dicanangkan Presiden Soekarno untuk mengubah
perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional yang bercorak lebih sosialis
terbukti gagal total, akibat tidak adanya dukungan struktur politik yang mapan dan
demokratis. Kelas menengah yang diharapkan akan lahir pun sulit diketemukan.
Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai
kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan jati diri dan budaya
bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan penerapan
demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya bangunan
sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi saat
itu. Maka kemudian, Soekarno mencoba sistem Demokrasi Terpimpin, yang katanya
menjadi demokrasi khas Indonesia. Sekalipun Soekarno mengatakan bahwa
pemerintahannya menganut sistem demokrasi, namun praktik yang meluas dalam
kehidupan bangsa dan negara justru adalah kekuasaan yang serba terpusat (sentralistik)
pada diri Soekarno. Bung Karno selaku Presiden bahkan memperagakan pemerintahan
diktator dengan membubarkan Konstituante, PSI, dan Masyumi serta meminggirkan
lawan-lawan politiknya yang kritis. Kekuasaan otoriter yang anti demokrasi pada masa
Orde Lama itu akhirnya tumbang pada tahun 1965.

Masa Orde Baru


Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orde Lama tersebut,
unsur-unsur "di luar" masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang menjadi
wahana tumbuhnya logika dan penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada masa Orde
Baru, diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara
bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor
tunggal ini terartikulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara
dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan
ekonomi dan politik. Di sinilah kemudian terjadi proses penyingkiran corak egaliter dan
demokratik dari budaya bangsa Indonesia dan kemudian digantikan oleh corak feodalistik,
yang dimungkinkan karena dua hal pokok (Suharso, 2002).
Pertama, melalui integrasi, pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer di
bawah satu komando. Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan pemberian logika
baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional. Jabaran dan
logika baru ini semakin menemukan momentumnya berkaitan dengan kenyataan di
masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah di satu pihak,
dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar
penghapusan kemiskinan di lain pihak.
Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran
politik massa. Partisipasi politik yang terlalu luas dan tidak terkontrol, dianggap dapat
membahayakan stabilitas politik yang merupakan conditio sine qua non bagi
berlangsungnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan negara melalui
aparat birokrasi dan militer diabsahkan hingga menjangkau ke seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Stabilitas pembangunan ekonomi lantas diidentikkan dengan stabilitas
nasional. Perlahan-lahan konsep stabilitas nasional diperluas menjadi logika anti-kritik dan
anti konsep. Sebagai logika anti-kritik, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah-
masalah security dan banyak berfungsi untuk membantu penyelenggaraan mekanisme
kekuasaan negara. Sebagai logika anti konsep, stabilitas nasional dikaitkan dengan
masalah legitimasi dan banyak berfungsi untuk mendukung seni mengelola otoritas
kekuasaan negara (Geertz, 1980).
Yang terjadi kemudian adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan lewat
Soeharto, MPR, DPR, Pers, Partai Politik, Ormas dan hampir seluruh institusi sosial politik
kenegaraan yang "dipasung" secara sistematik di bawah kendali negara oleh Soeharto.
Yang lahir dalam situasi seperti itu adalah demokrasi semu, "demokrasi jadi-jadian".
Paradoks demokrasi ini pada akhirnya juga runtuh pada tanggal 21 Mei 1998.
3. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Era Reformasi
Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami
saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong
reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah
harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai
dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan
berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-ciri demokrasi.
Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan
implementasi demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini (Aspinall, 2004), yaitu: (1)
Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya
berakar pada korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik,
sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan
elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi
tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar
memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi.
Sekalipun berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana
sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami
lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang
demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks yang masih berkembang di
era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan
kritis: Apakah masa transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk
consolidated democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah
consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada sistem otoritarian dan
militeristik?
Menurut Suharso (2002) setidaknya tercatat berbagai paradoks demokrasi yang patut
dikritisi saat ini.
Pertama, berkembangnya kekerasan politik, anarki, radikalisme, percekcokan massal
yang sering dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan
berbagai perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku anti
demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka menenggelamkan
lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang menumbuhkan rasa takut untuk
berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-diam di berbagai kalangan masyarakat, termasuk
mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada.
Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk toleran terhadap
perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai marak, bahkan sampai ke bentuk
fisik, dengan menggunakan simbol-simbol milik partai, kendati harus memakai berbagai
fasilitas publik.
Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang
dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kental hanya sekedar demi meraih
kemenangan Pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan
demokrasi.
Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik ketimbang
sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde Baru dihujat habis-habisan,
kini sebagian kekuatan demokratik berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu
berisi perbedaan tetapi juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini
juga tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang tumbuh ialah
bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan
untuk mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu
untuk meraih kekuasaan.
Keempat, ketika kultus individu yang diperagakan oleh rezim Soeharto dengan
berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, kini sebagian masyarakat politik malahan
memperagakan simbolisasi-simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna kultus
individu dalam bentuk lain. Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan mulai
dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang benar. Berbagai
upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbol-simbol kharisma
politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi
kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak jadi
soal apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang
ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik.
Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di permukaan era reformasi ini
menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus ditempuh oleh bangsa ini menuju demokrasi
yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara
jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran maupun lebih-lebih
sebagai politik yang tersistem. Perjuangan demokrasi akhirnya harus berhadapan dengan
godaan-godaan kekuasaan di tengah sejumlah jerat politik yang sebenarnya adalah anti
demokrasi.

Pemilu Sebagai Wujud Pelaksaan Demokrasi

Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke
lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang
lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo
(Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk
memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai
dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun
cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat. Ritual
politik lima tahunan tersebut menarik untuk dilihat di tengah tingginya pro-kontra terkait
kinerja pemerintah dan pentingnya semua pihak untuk selalu menjaga stabilitas sosial
politik nasional dan keutuhan NKRI. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dampak
pilpres yang telah digelar beberapa kali terhadap upaya pendalaman dan konsolidasi
demokrasi?

Deepening Democracy dan Tantangannya

Demokrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai ‘pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat’. Namun, untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah
karena demokrasi memerlukan proses panjang dan tahapan-tahapan penting yang harus
dilalui, seperti proses konsolidasi demokrasi. Seperti dikatakan Laurence Whitehead
(1989), konsolidasi demokrasi merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan secara
prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi. Ia tidak hanya
merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural lembaga-lembaga politik,
tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik,
ekonomi, negara, dan masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan
civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk
meraih kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa


faktor, misalnya budaya politik, perilaku aktor dan kekuatan-kekuatan politik. Proses
demokrasi (demokratisasi) tersebut berlangsung relatif dinamis, khususnya sejak Pemilu
1999. Dinamikanya, bahkan, semakin pesat dan semarak setelah dilaksanakannya pemilu
presiden secara langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung sejak 2005.

Demokrasi yang berlangsung di daerah-daerah merupakan landasan utama bagi


berkembangnya demokrasi di tingkat nasional. Pemilihan kepala daerah secara langsung
merupakan terobosan penting yang dimaksudkan sebagai upaya pendalaman demokrasi
(deepening democracy), yakni suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktek demokrasi
substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal.

Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali
melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya
dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy)
atau konsolidasi demokrasi. Proses ini krusial karena semua tahapan yang dilalui dalam
pilpres akan berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Secara khusus pilpres
yang berkualitas akan berpengaruh positif terhadap pemerintahan yang efektif
(governable). Secara umum bila demokrasi dimaknai sebagai pemberdayaan rakyat, suatu
sistem politik yang demokratis seharusnya dapat menjamin warga masyarakat yang kurang
beruntung melalui setiap kebijakan publiknya.

Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-
prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan
persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat
dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan
terhadap hak-hak politik tersebut. Oleh karena itu, dalam studi ini pilpres dilihat bukan
hanya sebatas pesta demokrasi semata, melainkan juga sebagai instrumen proses
pendalaman demokrasi di tingkat nasional. Sebagai instrumen pendalaman demokrasi,
pilpres merupakan upaya penciptaan pemerintahan yang efektif pasca pemilu.

Pendalaman demokrasi bisa berasal dari negara dan bisa pula dari masyarakat. Dari sisi
negara, pendalaman demokrasi dapat bermakna, pertama, pengembangan pelembagaan
mekanisme penciptaan kepercayaan semua aktor politik seperti masyarakat sipil, partai
politik dan birokrasi (state apparatus). Kedua, pengembangan penguatan kapasitas
administratif – teknokratik yang menyertai pelembagaan yang telah dibentuk.
Dari sisi masyarakat, pendalaman demokrasi merujuk pada pelembagaan penguatan
peran serta masyarakat dalam aktivitas politik formal di tingkat lokal. Pilpres langsung
menjadi langkah awal bagi penguatan peran masyarakat. Peran ini tentunya harus
berkesinambungan sampai terjadinya pergantian pemerintahan. Dengan cara itu, peran
masyarakat akan senantiasa mewarnai implementasi program pemerintah, dan sebaliknya
pemerintah akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

Pendalaman demokrasi juga dapat dipandang sebagai upaya untuk merealisasikan


pemerintahan yang efektif. Menurut Migdal (1988), negara dan masyarakat seharusnya
saling bersinergi sehingga bisa saling memperkuat perannya masing-masing. Dengan
kapasitasnya tersebut negara diharapkan mampu melakukan penetrasi ke dalam
masyarakat, mengatur relasi sosial, mengambil sumber daya dan mengelolanya. Selain itu,
negara juga harus mampu memberdayakan masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial. Berhasil tidaknya
kontrol sosial ini akan mencerminkan kuat tidaknya peran negara. Negara yang kuat,
menurut Migdal (1988), adalah yang mampu melakukan ketiga fungsi dasar tersebut.

Argumen Smith (1985) dan Arghiros (2001) menyatakan bahwa nilai-nilai demokrasi
telah mendasari perilaku, baik elite maupun masyarakat. Untuk itu, sebagian besar pemilih
terlebih dulu perlu memiliki kesadaran dan kematangan politik yang cukup memadai.
Dengan cara itu, masyarakat diasumsikan memiliki kapasitas untuk melakukan pilihan dan
mengambil keputusan atas pilihannya berdasarkan rasionalitas politik.

Perlu dipahami bahwa demokratisasi adalah proses yang terus-menerus dan tak boleh
henti. Seiring dengan itu, tantangan yang dihadapi sejak penyelenggaraan pilpres langsung
yang berupa kecenderungan munculnya kompromi-kompromi kepentingan antara elite
penguasa dan elite masyarakat seharusnya dicarikan solusinya agar pemilu di Indonesia
bisa memenuhi harapan yang diinginkan. Untuk itu, kiranya perlu dikedepankan kembali
tujuan utama pilpres sebagai sarana untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan
rakyat dan kebebasan politik masyarakat.

Partisipasi masyarakat (political participation), menggambarkan bagaimana tingkat


keterlibatan masyarakat dalam proses politik: apakah hanya sekedar manipulasi,
konsultasi, aktif atau sampai tingkat decision making process? Diantaranya ketaatan dan
kepatuhan hukum (apakah elite dan masyarakat menaati ketentuan-ketentuan aturan yang
dijadikan acuan dalam proses politik dan pemerintahan?); Budaya kekerasan (apakah
praktek-praktek kekerasan masih mendominasi atau masih terjadi dalam proses politik dan
pemerintahan?); Keterbukaan politik (apakah tersedia semua informasi bagi aktifnya
masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan?); Toleransi (apakah masyarakat dapat
menerima perbedaan pendapat dan siap melakukan konsensus dalam setiap perbedaan);
Egalitarianisme (apakah terdapat kesamaan status, kedudukan, hak dan kewajiban
masyarakat secara politik atau justru masih banyaknya budaya feodal/patrimonial);
Penghormatan terhadap HAM (apakah terdapat budaya yang menghormati hak-hak dasar
manusia?).

Tabel 1. Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substantif


Ukuran Keberhasilan Ukuran Keberhasilan Demokrasi yang
Variabel
Formal- Prosedural Substantif-Berkualitas
 Pemilih yang kritis
Kuantitas dan  Tidak ada diskriminasi bagi pemilih
Partisipasi
kualitas pemimpin  Tidak ada partisipasi semu karena
mobilisasi dan vote buying
Kompetisi Jumlah kompetitor dan  Kualitas kompetisi (jurdil)
syarat formal  Peluang yang sama bagi semua warga
kandidat terpenuhi untuk dipilih (political equality)
 Tidak ada pembajakan hak-hak politik
Civil Secara formal diakui
warga oleh elite
Liberties

 Peningkatan kualitas responsiveness dan
pertanggungjawaban (accountability)
kepala negara pada warga
Hasil akhir Terpilihnya kepala
pemilu negarawakil kepala Negara  Mendekatkan pemerintah dengan
masyarkat
 Meningkatkan pelayanan publik dan
kesejahteraan rakyat

Melihat tabel di atas, kiranya dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia yang berjalan
selama 21 tahun (1998-2019) masih diwarnai prosedural ketimbang substantif.
Masalahnya kepastian sosial politik (social political certainty) terasa menjauh seiring
dengan hadirnya keriuhan, kegaduhan, penistaan agama, isu intoleransi, masalah
kebhinekaan yang menimbulkan konflik / sengketa dan silang pendapat serta berita-berita
hoax yang muncul tanpa henti.

Dinamika politik menjelang pemilu 2019 cenderung memanas, terutama terkait tuduhan
kecurangan. Hingga 20 April 2019, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Capres /
Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno, misalnya, secara resmi telah
melaporkan sekitar 1.200 daftar sementara kecurangan Pilpres 2019 kepada Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal yang sama juga terjadi di Tim Kampanye Nasional
(TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin yang juga menerima 14.843 laporan dugaan pelanggaran atau
kecurangan yang menguntungkan paslon Prabowo-Sandiaga.

Sulit dinafikan bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye
diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial (medsos).
Emosi masyarakat tak jarang ikut terlibat dan mengundang keprihatinan tersendiri karena
tidak sedikit di antaranya yang akhirnya harus berurusan dengan hukum.
Menkopolhukam, Wiranto, misalnya, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 ada 53
kasus hoax (berita bohong) dan 324 hate speech (ujaran kebencian) yang terjadi dan
sebagian sudah diselesaikan secara hukum.

Selain persoalan hoaks dan ujaran kebencian, isu politisasi agama dalam pilpres 2019
menjadi salah satu hal yang paling menonjol dalam masa kampanye. Uniknya, kedua belah
pihak mengklaim paling mewakili suara umat Islam. Penggunaan politisasi agama dan
character assassination dalam kampanye semakin mempertajam ketegangan sosial yang
berdampak pada munculnya rasa saling tak percaya dan saling tak menghargai antarsesama
anak bangsa. Dampaknya, demokrasi yang terbangun menafikan nilai-nilai budaya positif,
seperti saling menghargai/menghormati, saling mempercayai dan saling berempati.

Keragaman yang menjadi spirit Bhinneka Tunggal Ika cenderung diabaikan, padahal
Indonesia yang berbentuk archipelago, membentang dari Sabang sampai Merauke
memiliki karakteristik dan kekhasannya sendiri membutuhkan nilai-nilai toleransi, yakni
menerima perbedaan, baik agama maupun suku atau etnis (SARA). Berkurangnya nilai-
nilai toleransi, khususnya, dalam pemilu telah menimbulkan ekses negatif, seperti
kekerasan dan kerusuhan. Berbeda dengan pilpres sebelumnya, seusai pengumuman
pemilu oleh KPU pilpres 2019 diwarnai oleh adanya kerusuhan 22 Mei 2019. Realitas
sosial tersebut jelas tidak hanya mengancam harmoni sosial, tetapi juga berpengaruh
terhadap proses konsolidasi demokrasi.

Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya

Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu merupakan sarana dan momentum terbaik bagi
rakyat, khususnya, untuk menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil
terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai.
Keberhasilan penyelenggaraan pemilu (pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah dan
pemilihan presiden) dan pelembagaan sistem demokrasi mensyaratkan kemampuan
bangsa untuk mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa.
Meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta
partisipasi politik masyarakat semakin luas, di tataran empirik pemilu masih belum mampu
mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat.

Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu
serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda
dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2019 menjadi test case penguatan sistem
presidensial, pelembagaan parpol dan koalisi parpol yang terukur dan terformat. Untuk
memenuhi hal itu, semua pihak harus berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas
pemilu, bukan saja secara prosedural, melainkan juga secara substansial. Dengan kata lain,
pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional,
adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu,
parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi
dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung
pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain
dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk
merebut kursi legislatif.

Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim


Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas dan agama. Fenomena
politisasi identitas dan agama juga diwarnai dengan berebut suara muslim. Munculnya
sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya
melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan
wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai
penantang petahana- merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal
dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalisagamis). Dua tokoh
seperti Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Salim Segaf al-Jufri dan
ulama kondang, Ustad Abdul Somad muncul dalam bursa cawapres Prabowo.

Yang menarik hasil ijtima ulama tersebut justru mendapat sanggahan dari kelompok
umat Islam lainnya karena dinilai tidak mewakili ulama-ulama lainnya. Sebab, NU,
misalnya, tidak merasa turut terlibat dalam ijtima’ ulama tersebut. Sebagai contoh, sekitar
400 kiai dan pengurus pesantren seluruh Indonesia menyatakan mendukung pasangan
capres dan cawapres Joko Widodo/Jokowi-Ma’ruf Amin.8 Sebagai “ayah biologis PKB”,
secara de facto pilihan politik NU struktural, khususnya, berada seiring sejalan dengan
pilihan politik PKB, yakni menjadi bagian dari koalisi petahana. Hal tersebut bisa
dipahami dengan terpilihnya Ma’ruf Amin, ketua MUI dan ketua umum syuriah PBNU,
sebagai cawapres Jokowi. Pilihan Jokowi tersebut tidak saja dimaksudkan untuk meraih
dukungan umat Islam, tetapi juga sekaligus untuk membantah tuduhan yang mengatakan
bahwa pemerintahannya anti Islam.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim


merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi
santriabangan cenderung makin cair, pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang
merepresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Tetapi, hal tersebut tidak dengan
sendirinya memberikan jaminan kemenangan. Sejauh ini, dua tokoh utama NU lainnya,
yakni Solahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi, juga pernah menjadi cawapres dari capres
Nasionalis, yakni Wiranto dan Megawati, tetapi keduanya kalah. Lebih dari itu, sejak
pemilu 1955 parpol Islam pun belum pernah memperlihatkan dominasi politiknya.
Bahkan, suaranya cendrung semakin mengalami penurunan. Jika pada pemilu 1955,
gabungan suara parpol Islam mencapai 43,7%, pada pemilu 2014 suaranya turun menjadi
31.4%.9 Gambaran tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa dikotomi santriabangan
telah semakin kurang relevan.

Pemilu dan Kegagalan Parpol

Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan, tapi juga merupakan koreksi/
evaluasi terhadap pemerintah dan proses deepening democracy untuk meningkatkan
kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat. Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol
sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia
kader calon pemimpin. Namun, ketika fungsi parpol tidak maksimal, proses konsolidasi
demokrasi terhambat. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol
gagal dalam proses kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih
mencalonkan kalangan selebritis sebagai caleg. Tujuannya menjadikan selebritis tersebut
sebagai vote getter partai dalam pemilu. Partai Nasdem, misalnya, tercatat sebagai partai
yang paling banyak mengambil artis sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.

Sejak 1999 kinerja parpol tidak kunjung menghasilkan landasan atau platform politik
nasional. Kampanye lebih merupakan pameran pernak-pernik demokrasi ketimbang untuk
memetakan dan menjawab persoalan bangsa. Parpol hanya memperdebatkan soal electoral
threshold sebagai legitimasi kelayakan, namun minim wacana mengenai ide atau program
yang hendak ditawarkan pada rakyat. Perhatian parpol pada rakyat umumnya hanya terjadi
pada saat pemilu ketika mereka membutuhkan dukungan suara. Setelah itu, hak dan
kedaulatan rakyat tercampakkan.

Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen.


Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia,
meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Contohnya, fragmentasi parpol yang
terjadi belakangan ini menyebabkan parpol tidak solid. Jumlah fraksi dari periode ke
periode cenderung meningkat. Ironisnya, fragmentasi kepartaian semakin meningkat
ketika kebijakan untuk menaikkan electoral threshold diterapkan. Padahal, ketika
electoral threshold dinaikkan, asumsinya jumlah partai semakin sedikit.

Di tataran praksis sebagaimana disebutkan sebelumnya tingkat ketidakpuasan massa


terhadap parpol cenderung makin tinggi. Masalahnya, aspirasi dan kepentingan massa
tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tidak
melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Representasi yang seharusnya dilakukan
parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat absen. Parpol juga tampak
sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang
menjadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat tapi pasti telah
mendelegitimasi eksistensi parpol.

Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung
menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya
sendiri. Absennya beberapa fungsi yang tak dilakukan parpol tersebut membuat
kepercayaan rakyat ke parpol menurun drastis. Parpol belum menjadi partai kader, tapi
lebih mengandalkan peran ketokohan seorang ketua umum/ketua dewan pembina
sebagaimana ditunjukkan selama ini. Di sisi lain, pembenahan partai tampak semakin sulit
di tengah maraknya kasus korupsi yang dialami partai atau politisi di parlemen. Upaya
untuk menyehatkan politik Indonesia tak kunjung menjadi realita di saat distorsi makin
intensif. Padahal baik dan buruknya parpol akan berpengaruh terhadap penguatan dan
peningkatan efektivitas sistem pemerintahan. Bahkan praktik sistem presidensial banyak
menghadapi kendala di tengah pelaksanaan sistem multipartai.

Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi


relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote
buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi
konkrit. Harapan rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja
pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan
berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.

Pemilu dalam Masyarakat Plural

Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural
dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel
Kant (17241804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-
masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang
menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang
dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan
adalah ’subbudaya etnik dan daerah’ yang majemuk pula.

Dalam konteks pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya
nilainilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana empat pilar
kebangsaan Indonesia (yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika)
berakar dari falsafah dan sejarah hidup bangsa. Gambaran tersebut sangat terasa dalam
pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup
tajam. Penggunaan istilah “cebong” sebagai julukan pendukung Jokowi dan “kampret”
sebagai julukan pendukung Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Demikian juga dengan penggunaan politisasi identitas (SARA). Sebagai sarana demokrasi
rutin lima tahunan, pilpres dan pileg 2019 belum disikapi secara positif dengan
mengedepankan nilai saling menghargai/menghormati, saling mempercayai dan saling
berempati sebagaimana tersirat dalam nilai-nilai Pancasila.

Lepas dari itu, harus diakui juga bahwa pemilu di era reformasi telah memberikan nilai
positif. Misalnya, proses liberalisasi politik di era transisi ini tidak hanya membuat proses
politik menjadi semakin plural, tetapi juga kompetitif. Setidaknya, hal ini bisa dilihat
dalam berbagai arena kontestasi politik. Dalam arena politik kepartaian, hal tersebut bukan
hanya terlihat dari tingkat persaingan antarpartai politik dalam pemilu, melainkan juga dari
kontestasi antaraktor dalam internal partai yang semakin tajam. Walaupun banyak kritik
yang ditujukan pada kompetisi internal partai politik yang masih berkarakter oligarkis,
data lain menunjukkan bahwa persaingan terbuka antarpolitisi untuk merebut jabatan
politik strategis dalam partai atau dalam proses rekruitmen anggota legislatif sulit untuk
dipungkiri. Situasi kompetitif itu semakin terbuka ketika kerangka regulasi nasional yang
mengatur tentang pemilu mengarah pada pemurnian sistem proporisonal terbuka, di mana
politisi yang terpilih untuk duduk di parlemen adalah politisi yang berhasil meraih suara
terbanyak dalam pemilu.

Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang


menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era
Reformasi bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga
melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Dengan
demikian, proses liberalisasi politik tidak hanya memunculkan CSO, tetapi juga
menghadirkan media-media – baik media cetak maupun elektronik – yang semakin bebas
dan berani dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Kehadiran lembaga-
lembaga pengawas extra parlementer tersebut menunjukkan bahwa politisi dan partai
politik dihadapkan pada tantangan baru, yakni semakin semaraknya ‘kompetitor’ yang
terlibat (engage) dalam isu-isu governance.

Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat
menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat
sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik,
rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya.
Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang
merupakan masyarakat heterogen. Sudah tentu ada sejumlah ruang yang harus diisi untuk
perbaikan-perbaikan, namun hal yang pasti adalah demokrasi masih tetap menjadi agenda
bangsa ini.

Pemilu dan Politisasi Birokrasi

Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi
politik dan pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas
dari pragmatisme dan kooptasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi
dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara
pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik,
khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi. Hal ini tampak sangat kuat. Salah satunya
adalah adanya video viral yang memperlihatkan dugaan dukungan camat se-Makassar
kepada paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Politisasi birokrasi makin tampak nyata
dengan dijadikannya menteri-menteri, kepalakepala lembaga, kepala-kepala daerah
sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak
hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
demokrasi, contoh tersebut menyiratkan pentingnya pembenahan birokrasi. Secara
konseptual demokratisasi dan debirokratisasi berjalan seiring dan saling melengkapi.
Dengan kata lain, perubahan sistem politik dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi
seharusnya mampu mengubah secara signifikan birokrasi, termasuk birokrasi kepemiluan.

Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain dimaksudkan untuk menghasilkan


pemerintahan yang efektif. Sedangkan salah satu isu krusial pilpres 2019 adalah politisasi
birokrasi. Persoalannya, bagaimana menjadikan birokrasi tetap profesional, independen
dan netral secara politik dalam pemilu. Harus diakui bahwa birokrasi sangat rentan
dijadikan alat kepentingan politik. Keberpihakan birokrasi pada satu kekuatan politik
tertentu akan menimbulkan kerawanan tersendiri. “Kewajiban” pimpinan
kementerian/lembaga/pemda menjadi tim pemenangan pilpres, misalnya, juga
berpengaruh cukup signifikan terhadap birokrasi pusat/daerah. Pengalaman empirik
menunjukkan bahwa sejak berlangsungnya pemilu (2004) dan pilkada (2005) yang dipilih
oleh rakyat, birokrasi pusat/daerah sulit independen secara politik. Bahkan, tak sedikit
ditemukan kasus penggunaan fasilitas pemerintah pusat/daerah (Pemda) untuk
pemenangan calon tertentu/petahana dalam pemilu/pilkada. Penggunaan anggaran daerah
untuk pemenangan calon tertentu pun sulit dihindarkan karena kentalnya politisasi
birokrasi. Kongkalikong politik dan birokrasi banyak ditemukan, baik dalam
pemilu/pilkada maupun pasca pemilu/pilkada.

Setelah dua dekade berlalu, birokrasi Indonesia masih belum terbebas dari model
birokrasi patrimonial, yakni sistem birokrasi yang bercirikan patron-client, sarat dengan
power culture, moral hazard, dan safety first philosophy. Dalam sistem pemilu saat ini,
bahkan, netralitas birokrasi sulit tercapai karena banyaknya penetrasi politik ke dalam
birokrasi. Sebagai akibatnya, seusai pemilu/pilkada tidak sedikit pejabat yang jabatannya
terancam. Tidak jarang muncul protes terhadap mutasi yang dianggap tidak sesuai dengan
prosedur.

Sejak era reformasi masalah reformasi birokrasi dan demokrasi di Indonesia telah
menjadi isu sentral dan perdebatan publik. Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak
dapat dilepaskan dari tuntutan rakyat yang semakin kuat agar birokrasi menjadi ‘abdi
rakyat’. Adalah sulit diingkari bahwa kualitas birokrasi yang buruk menjadi salah satu
sumber keterbelakangan Indonesia. Selain infrastruktur dan korupsi, birokrasi telah
menjadi salah satu penghambat pembangunan.

Gambaran tersebut menunjukkan betapa netralitas birokrasi – khususnya dalam


memperkuat hak politik pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara dan kesetaraan partai
politik – menjadi tantangan utama yang harus mendapat perhatian untuk membangun iklim
demokrasi yang lebih sehat. Salah satunya adalah melakukan pemisahan politik dari karir
administrasi (public service) dalam pemerintahan dan depolitisasi public service. Seperti
dikatakan Asmerom dan Reis di bawah ini:

“Politics and policy are separated from administration; public servants are appointed
and promoted on the basis of merit rather than on the basis of party affiliation or
contributions; public servants do not engage in partisan political activities; public
servants do not express publicly their personal views on government policies or
administration; public servants provide forthright and objective advice to their political
masters in private and confidence. In return, political executives protect the anonymity of
public servants by publicly accepting responsibility for departmental decisions”.

Secara umum, pola relasi antara birokrasi dan politik cenderung dinamis, khususnya
ketika proses politik berlangsung, yaitu saat birokrasi dan politik sedang memproses
penyusunan peraturan atau perundangundangan dan peraturan daerah. Intensitas relasi
juga terjadi saat birokrasi menjalankan programnya dan saat institusi politik melakukan
pengawasan. Keseimbangan pola relasi antara politik dan birokrasi berpengaruh terhadap
proses pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Pengalaman Indonesia menunjukkan
bahwa relasi politik dan birokrasi ditandai dengan ciri-ciri seperti praktik lobi untuk
mencari posisi/jabatan dan intervensi politik dalam penentuan jabatan dan politik
anggaran. Era reformasi menghasilkan politisi yang sangat pragmatis yang acapkali
melakukan manuver politik dengan melakukan politisasi birokrasi seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya.
Relasi birokrasi dan politik sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan kuatnya motif
politik dalam birokrasi. 23 Birokrasi, bahkan, bisa dijadikan kekuatan politik karena
memiliki jaringan struktur hingga ke basis masyarakat, menguasai informasi yang
memadai, dan memiliki kewenangan eksekusi program dan anggaran. Keberadaan
birokrasi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik, tapi pada saat yang sama juga bisa
digunakan untuk motif politik tertentu. Hal ini membuat birokrasi cenderung menjadi alat
untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah kami susun, maka dapat disimpulkan bahwa:
 Demokrasi adalah suatu paham yang menegaskan bahwa pemerintahan suatu negara
dipegang oleh rakyat, karena pemerintahan tersebut pada hakikatnya berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
 Demokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang secara
garis besar terbagi menjadi tiga periode, yakni: Demokrasi Pancasila Era Orla (1945-
1966), Demokrasi Pancasila Era Orba (1966-1999), dan Demokrasi Pancasila Era
Reformasi (1999-sekarang).
 Pelaksanaan demokrasi di Indonesia sudah cukup baik sesuai dengan yang tercantum
dalam UUD 1945. Namun, pada akhir-akhir ini demokrasi di Indonesia sedikit
mengalami kecacatan dengan adanya isu-isu SARA yang mencampurtangani agenda
politik, berita hoax yang membingungkan publik, hingga kurangnya toleransi antar
perbedaan pendapat dan pilihan.

2. Saran

Sebagai warga negara Indonesia yang telah menerapkan Demokrasi Pancasila,


hendaknya kita dapat menjalankan hak dan kewajiban serta berpartisipasi secara aktif
dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sudah seharusnya kita saling bergotong
royong demi mewujudkan bangsa Indonesia yang demokratis seperti yang telah dicita-
citakan oleh pahlawan-pahlawan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Zakky (2019, 24 Juni). Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli dan Penjelasannya
[Lengkap]. Dikutip 13 Oktober 2019 dari ZonaReferensi.com:
https://www.zonareferensi.com/pengertian-demokrasi/
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Manan, Bagir. 1996. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Rueschemeyer, Dietrich. 1992. Capitalist Development and Democracy. UK: Polity Press.
Purnaweni, Hartuti. 2004. Demokrasi Indonesia: dari Masa ke Masa. 3(2):119-123.
Zuhro, R Siti. 2019. Dinamika Sosial Politik Menjelang Pemilu Serentak 2019. 16(1):69-
79.

Anda mungkin juga menyukai