Piagam Madinah
Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفةالمدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan
Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang
merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting
di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622 Masehi.
Pada periode madinah tersebut telah terjadi hubungan baik antara kaum muslim dengan kaum non
muslim. Tradisi saling bertoleransi berjalan dengan baik sehingga kaum minoritas tidak merasa
terganggu oleh kaum mayoritas, bahkan mendapat perlindungan baik dari pemerintahan untuk
menjalankan aktivitasnya.
Pasal 25 piagam madinah merupakan perwujudan jaminan kebebasan beragama dan beribadat
menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal ini juga dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah
satu umat bersama kaum mukminin. Penyebutan demikian, mengandung arti bahwa dilihat dari
kesatuan dasar agama orang-orang yahudi merupakan satu komunitas yang paralel dengan komunitas
kaum muslimin. Mereka bebas menjalankan perintah agamanya.
Banyak pakar dan cendekiawan memberi ulasan tentang piagam madinah, akan tetapi substansi
semuanya sama yaitu keberadaan piagam tersebut telah memperastukan warga madinah yang
heterogen menjadi satu kesatuan masyarakat dalam pemenuhan hak dan penuaian kewajiban, saling
menghormati antar suku dan agama.
Deklarasi Kairo
Adapun deklarasi kairo adalah The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo
tentang HAM Menurut Islam) disampaikan dalam suatu Konferensi Internasional HAM di Wina,
Austria, tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu
merupakan konsensus dunia Islam tentang HAM.
Deklarasi Kairo atau lengkapnya Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam memuat asas-asas
dasar HAM dan komponen HAM yang meliputi:
(1) Hak untuk hidup;
(2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
(3) Hak atas kekayaan intelektual;
(4) Hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi;
(5) Hak memperoleh keadilan;
(6) Hak kebebasan beragama;
(7) Hak atas kemerdekaan diri;
(8) Hak kebebasan berdomisili dan memperoleh suaka negara lain;
(9) Hak atas rasa aman,
(10) Hak atas kesejahteraan;
(11) Hak kepemilikan;
(12) Hak turut serta dalam pemerintahan;
(13) Hak perempuan; dan
(14) Hak anak
Deklarasi ini mempunyai tujuan untuk melindungi hak asasi manusia sesuai dengan syariat islam.
Islam menerima hak-hak asasi manusia, tetapi memiliki batasan tertentu salah satunya tentang
kebebasan beragama khususnya dalam perpindahan agama.
Sementara itu, pada pasal 10 deklarasi kairo (islam is the religioun of Unspoiled nature. It is
prohibited to exercise any form of compulsion on man or to exploit his poverty or ignorance in order
to convert him to another religioun or to atheism) juga memberikan pembatasan tentang kebesasan
beragama. Pasal ini memisahkan diri dari deklarasi universal 1948 khususnya pasal 18, bahwa setiap
orang memiliki hak berfikir, berkeyakinan, dan beragama, hak yang mencakup kebebasan mengganti
agama atau keyakinannya, dan kebebasan sendiri atau dalam masyarakat, publik dan pribadi untuk
melaksanakan agamanya atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktek ibadah dan pengamalan.
Perlindungan agama dalam deklarasi kairo menjadi sangat terbatas bila diimplementasikan di
negara-negara islam yang ikut menandatanganinya, karena adanya konsep syariah yang dimasukkan
dalam deklarasi kairo, dan banyak diformalisasikan pada negara-negara timur tengah. Lebih jauh lagi,
deklarasi kairo menegaskan bahwa hak-hak dasar fundamental dan kebebasan universal di Islam
adalah integral yang harus dipatuhi dalam agama islam. Oleh karena itu tidak ada seorang pun yang
berhak mengingkari atau bahkan menghentikan untuk sementara waktu perintah tuhan. Hal ini
dikarenakan semua ajaran agama di dalam islam bersifat mengikat seperti termaktub di dalam kitab
suci al-quran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Secara umum bisa dikatakan, deklarasi kairo mencerminkan pandangan dunia Islam terhadap
deklarasi umum hak asasi manusia. Dengan kata lain, deklarasi kairo menolak universalisme deklarasi
umum hak asasi manusia yang hendak diterapkan juga bagi negara Islam, dan menekankan adanya
partikularisme hak asasi manusia. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam pasal 24 deklarasi kairo yang
menyebutkan, “all the right and freedoms stipulated in this declaration are subject to the Islamic
shari’ah”. Demikian juga pasal 25 menegaskan bahwa “the islamic Shari’ah is the only source of
reference for the explanation or clarification of any the articles of this declaration”. Melalui deklarasi
ini, syariah seolah diletakkan di atas hak asasi manusia universal. Dengan demikian, bisa dikatakan
bahwa dua pasal dalam deklarasi kairo pasal 24 dan 25 merupakan indikator penting untuk
melindungi sejumlah doktrin islam seperti melarang pindah agama, dan membagi dunia muslim dan
non muslim.