Anda di halaman 1dari 14

Kasus PHK Karyawan Securicor (238 Orang)

Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan
layak. Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas dengan
bekerja pada berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan
buruh.

Menjadi persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah
krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih
diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang
sering kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya dikalangan
Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan buruh securicor yang telah bekerja puluhan tahun
menggantungkan nasibnya akan tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan
Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat
international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor
Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status
mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut
tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung
dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicor Indonesia, Bill Thomas
mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah
menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya
di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat
internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.

Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan.
Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur
dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi
(P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu
mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK
terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan PT.
Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada
perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya
perundingan tentang merger (deadlock).

Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT.
Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan
diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah
Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak
Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan
dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.

Fakta dari P4P

1. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan


kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan
semula di PT. Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran
ini;
2. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005
kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
3. Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk
bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh)
hari sejak diterimanya surat anjuran ini;

Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan
melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H.
memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali
bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri
menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata
ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan
bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah
mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan
surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para
karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar.
Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar
pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata perusahaan tidak
merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah
untuk meminta:

Dasar Tuntutan

1. Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK
massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali
sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
2. Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan
pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak
mengajukan ijin kepada P4 Pusat
3. Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005
dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.

Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah
diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis
Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai
Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak
kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk
seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah
mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak
termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai
keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.
Analisis Kasus

Kasus PHK PT Securicor berawal karena ketidakjelasan status para pekerja akibat adanya
merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong karyawan PT. Securicor untuk melakukan
mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait sebagai akibat dari gagalnya
perundingan tentang merger (deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah bekerja puluhan
tahun dan menggantungkan nasibnya pada PT.Securicor pada akhirnya menjadi korban
pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal dalam kenyataan, yang juga telah ditemukan pada
fakta P4P, PHK yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak memenuhi outcomes fairness
dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas penilaiannya hasil kinerja
terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan tidak adanya kesetaraan outcome yang
diperoleh antara karyawan satu dengan karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya
peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai ratusan karyawan
(238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan
keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih tidak terjadinya proses merger di pihak
internasional. Dengan demikian, PHK yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak.

Jika kita telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya ketidakmampuan
manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusianya. Sebelum
melakukan PHK, perusahaan seharusnya telah melakukan proses penilaian dengan berpatok pada
prinsip procedural justice, dimana dengan metode apapun dilakukan penilaian, nantinya akan
meghasilkan sebuah keputusan yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor di atas
jelas belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik. Ketika tahapan lewat meja hijau
dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK tersebut, PT Securicor member kejelasan bahwa
perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak
Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja
kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar
dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa
para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa
hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta
di PHK. Di sini sangat terlihat tidak adanya procedural justice sebagai prosedur yang
menjunjung keadilan

Selanjutnya, masalah PHK ini kemudian juga menyentuh dimensi interactional justice.
Hal tersebut terbukti dari adanya penolakan besar-besaran lewat unjuk rasa yang dilakukan oleh
karyawan PT. Securicor. Karyawan berada dalam ketidakjelasan status, di mana tidak ada
penjelasan yang dinilai adil terkait PHK yang Explanation. Mengembangkan aspek dari
kejujuran prosedural yang menjustifikasi keputusandijalankan perusahaan. Selain itu, perusahaan
juga dinilai karyawan tidak menjunjung social sensitivity akibat adanya PHK tersebut, yang
nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (consideration) sebelum pengambilan
keputusan terjadi. Manajemen perusahaan juga mengesampingkan empathy terhadap
karyawannya yang dalam hal ini telah melakukan pengabdian pada perusahaan selama puluhan
tahun.
STUDI KASUS PHK PADA PT. SECURICOR

Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4
Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger
di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat
Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk
membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan
tetapi, pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT.
Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur
PT Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi,
sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua
Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang
dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah
Branch manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan.
Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di
atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke
instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH,
selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru
PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan
PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja
kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari
gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor
Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan
diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah
Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak
Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan
dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
 Penyebab Perusahaan Melakukan PHK
Kasus PHK PT Securicor berawal karena ketidak jelasan status para pekerja akibat
adanya merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong karyawan PT. Securicor untuk
melakukan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait sebagai akibat dari
gagalnya perundingan tentang merger (deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah
bekerja puluhan tahun dan menggantungkan nasibnya pada PT.Securicor pada
akhirnya menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal dalam kenyataan, yang
juga telah ditemukan pada fakta P4P, PHK yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak
memenuhi outcomes fairness dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor
atas penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan tidak
adanya kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan karyawan lain,
terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah
meluas mencapai ratusan karyawan (238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum
memenuhi kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih
tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK yang terjadi
tidak lebih dari PHK secara sepihak.
Jika kita telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya ketidak mampuan
manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusianya. Sebelum
melakukan PHK, perusahaan seharusnya telah melakukan proses penilaian dengan berpatok
pada prinsip procedural justice, dimana dengan metode apapun dilakukan penilaian, nantinya
akan meghasilkan sebuah keputusan yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor
di atas jelas belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik. Ketika tahapan lewat meja
hijau dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK tersebut, PT Securicor member kejelasan
bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan
Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk
bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut
tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti
yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah
mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan
surat secara tertulis untuk minta di PHK. Di sini sangat terlihat tidak adanya procedural
justice sebagai prosedur yang menjunjung keadilan.
Selanjutnya, masalah PHK ini kemudian juga menyentuh dimensi interactional justice. Hal
tersebut terbukti dari adanya penolakan besar-besaran lewat unjuk rasa yang dilakukan oleh
karyawan PT. Securicor. Mengembangkan aspek dari kejujuran prosedural yang
menjustifikasi keputusan dijalankan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga dinilai karyawan
tidak menjunjung social sensitivity akibat adanya PHK tersebut, yang nantinya dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan (consideration) sebelum pengambilan keputusan
terjadi. Manajemen perusahaan juga mengesampingkan empathy terhadap karyawannya yang
dalam hal ini telah melakukan pengabdian pada perusahaan selama puluhan tahun.

 Akibat dari phk tersebut

Dari studi kasus di atas, dapat kita analisa bahwa jika di lihat dari sisi perusahaan, yang tidak
memberikan kejelasan status kepada karyawan dan PHK yang dilakukan oleh PT Securicor
jelas-jelas tidak memenuhi outcomes fairness dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak
PT. Securicor atas penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut
menunjukkan tidak adanya kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan
karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya untuk beberapa
karyawan, malah meluas mencapai ratusan karyawan (238 orang), padahal PT Securicor
sendiri belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya,
dengan dalih tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK
yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak. Ini menyebabkan Perusahaan harus
membayar pesangon kepada karywan yang telah di PHK secara sepihak tersebut, karena
perusahaan kalah banding sehingga harus memenuhi beberapa syarat tuntutan.
Jika perusahaan benar melakukan mager dengan perusahaan lain, maka di harapkan tingkat
produksi akan meningkat sehingga dpat meningkatkan pendapatan serta pemasukan dari
biaya yang di keluarkan untuk membayar pesangon karyawan. Dan apabila perusahaan tetap
mempekerjakan karyawan maka perusahaan tidak perlu untuk menutup pengeluaran tersebut.
Dengan banyaknya karyawan dapat membantu perusahaan untuk meningkatkan produksinya
sehingga pendapatan yang didapatkan akan lebih besar.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pemutusan Hubungan kerja sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi
tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia
industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha
menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar,
walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak Pemutusan Hubungan kerja pada karyawan di negara yang
ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan
jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara
struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan
efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja
terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga Pemutusan Hubungan kerja masih belum
dapat dihindarkan.
Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh
para manajer terus digulirkan, maka Pemutusan Hubungan kerja masih merupakan fenomena
yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan
pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).

3.2 SARAN
Adapun saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam
melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.
http://fakhirahumar.blogspot.com/2018/07/makalah-tentang-phk-pemutusan-hubungan.html

Kasus PHK Karyawan Securicor (238 Orang)

1. PENDAHULUAN

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah berakhirnya hubungan kerja sama antara
karyawan dengan perusahaan, baik karena ketentuan yang telah disepakati, atau mungkin
berakhir di tengah karier . Mendengar istilah PHK, terlintas adalah pemecatan sepihak oleh
pihak perusahaan karena kesalahan pekerja. Oleh sebab itu, selama ini singkatan ini memiliki
arti yang negative dan menjadi momok menakutkan bagi para pekerja.

Menurut Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 25,
pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan
pengusaha.

Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai
manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan layak.
Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja
pada berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh.

Menjadi persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah krisis
ekonomi yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih
diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang
sering kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya dikalangan
Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan buruh securicor yang telah bekerja puluhan tahun
menggantungkan nasibnya akan tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan
Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat
international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor
Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status
mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan
tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin
bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicor Indonesia, Bill
Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah
menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya
di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat
internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.

Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses
yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam
UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P).
Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak
ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada
hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan
surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi
yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang
merger (deadlock).

Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor
Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili
oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan
tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI
Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja
dalam putusannya dimenangkan.

Fakta dari P4P

Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr.
Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Securicor Indonesia
terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;

Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja
sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;

Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada
pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran
ini;

Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan
melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H.
memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali
bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri
menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata
ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini
berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan
tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun
mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan
menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu
kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha
untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata
perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat
pekerja adalah untuk meminta:

Dasar Tuntutan

Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka
para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156
ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003

Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1)
UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4
Pusat

Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta
dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.

Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus
pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai
Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak
kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk
seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah
mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak
termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai
keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.

David Oliver Sitorus, S.H., Ali Imron, S.H.

Diunduh dari: http://www.pbhi.or.id

2. MATERI
Menurut Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 25 tentang ketenagakerjaan, Pemutusan
Hak Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja,
perjanjian kerja dapat berakhir apabila :

Pekerja meninggal dunia

Jangka waktu kontak kerja telah berakhiR

Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan


industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan
kerja.

Perundingan Bipartit adalah forum perundingan antar pengusaha dan karyawan atau serikat
pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian
masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Tujuannya adalah
untuk menghindari pengingkaran dari salah satu pihak atau dari kedua pihak.

3. ANALISIS

Dari kasus di atas, pekerja lebih menyukai untuk merespon secara positif apabila diberikan
feedback yang kurang baik mengenai kinerjanya lewat proses penilaian yang jujur dalam tiga
dimensi. Ketiga dimensi tersebut yaitu; outcome fairness, procedural juctice, dan, interactional
justice.

Outcome fairness berarti menilai bahwa seseorang menghargai hasil yang diterimanya
tergantung dari hasil yang diterima pula oleh orang lain yang oleh orang itu mudah
diidentifikasi. Lebih jelas lagi, situasi dimana seseorang kehilangan pekerjaannya sementara
orang lain tidak sangat kondusif pada persepsi mengenai adanya ketidakjujuran hasil.

Sementara outcome fairness lebih berfokus kepada hasil, procedural and interactional justice
lebih berfokus pada prosesnya. Procedural justice secara spesifik berfokus pada metode yang
digunakan untuk menentukan hasil yang diterima. Berikut ini adalah tabel enam kunci prinsip
yang menentukan telah melakukan apakah seseorang telah sesuai melakukan secara jujur
sesuai dengan prosedur.

Biasanya juga perusahaan menuntut kita untuk bersinergi, mampu bekerja sama untuk
melakukan setiap kegiatan dalam membangun perusahaan yang baik. Akan tetapi itu semua
tidak di imbangi oleh timbal balik perusahaan terhadap karyawan yang ada. Masih banyak dari
semua karyawan yang mungkin dengan gaji yang di berikan itu tidak sebanding dengan apa
yang telah di kerjakannya dan telah mampu berkontribusi untuk perusahaan. Dan dari semua
itu lah sebaiknya perusahaan dapat menilai secara subyektif dan adil untuk karyawannya.

https://muhamadyasin10.blogspot.com/2016/01/contoh-kasus-phk.html?m=1

http://sarahandreinaj.blogspot.com/2015/11/analisis-kasus-phk.html

Solusinya yang dapau diberikan pada kasus ini ialah, dengam melakukan perundingan antara
pihak pemimpin perusahaan dan para buruh yang akan di PHK. Perundingan tersebut dilakukan
dengan tuhujuan dapat memperoleh keputusan yang optimal, yakni apabila tetap melakukan
PHK maka para buruh harus dipenuhi terlebih dahulu haknya seperti uang pesangon sisa mereka
bekerja. Namun apabila keputusan untuk melakukan PHK dibatalkan maka tempatkan kembali
para buruh di posisi kerja mereka masing-masing dan berikan motivasi kepada setiap pekerja
agar dapat kembali bekerja secara maksimal agar dapat memajukan perusahaan. Bentuk
perubahan yang dapat dilakukan yakni mengenai situasi kerja, sehingga dapat menumbuhkan
motivasi dalam diri setiap karyawan salah satunya seperti kultur organisasi meliputi norma, nilai
dan keyakinan bersama anggota perusahaan untuk meningkatkan individu. Kultur yang
mengembangkan rasa hormat kepada karyawan, yang melibatkan mereka dalam pengambilan
keputusan (Furtwngler, 2003)

Anda mungkin juga menyukai