Anda di halaman 1dari 4

KASUS PHK PERUSAHAAN (PT Siemens Indonesia)

PENDAHULUAN
Pelanggaran etika banyak terjadi di mana-mana, contohnya dalam dunia bisnis. Kasus
pelanggaran dalam etika bisnis menjadi hal yang wajar pada masa kini, sering kita
menyaksikan berita di televisi atau saat membaca koran ada saja berita tentang pelanggaran
etika yang dilakukan oleh pembisnis yang mengabaikan etika, rasa keadilan, kurang terpuji
dan tidak bertanggung jawab.

Salah satu contoh kasus tentang pelanggaran etika adalah kasus PHK sepihak yang menimpa
Mantan karyawan PT Siemens Indonesia, Stephen Michael Young. Stephen telah bekerja
selama 13 tahun secara terus menerus tanpa putus, namun dia tidak diakui sebagai karyawan
tetap oleh perusahaan tersebut. Pada tanggal 30 September 2011 perusahaan melakukan
pemutusan/pengakhiran hubungan kerja (PHK) terhadap stephen tanpa pemberitahuan, tanpa
alasan, tanpa adanya kesalahan, dan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Bukan hanya itu, gajinya juga tidak dibayar. Oleh karena
itu Stephen Michael Young menggugat perusahaan tempatnya bekerja, Gugatan itu
didaftarkan No: 85/PHI.G/2012/PN. JKT.PST tertanggal 14 Mei 2012 di Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
TEORI
PHK seringkali disamakan dengan pemecatan secara sepihak oleh perusahaan terhadap
pekerja karena kesalahan pekerjanya, sehingga kata PHK terkesan negatif. Padahal, pada
kenyataannya PHK tidak selalu sama dengan pemecatan. Dalam UU No 13/2003, Pemutusan
hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha . PHK
dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara sukarela dan tidak sukarela. PHK sukarela
merupakan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja (pengunduran diri) tanpa
adanya paksaan atau intimidasi dan disetujui oleh pihak perusahaan. PHK tidak sukarela
terdiri dari: (1) PHK oleh perusahaan baik karena kesalahan pekerja itu sendiri maupun
karena alasan lain seperti kebijakan perusahaan; (2) Permohonan PHK oleh pekerja ke LPPHI
(Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) karena kesalahan pengusaha; (3)
PHK karena putusan hakim dan (4) PHK karena peraturan perundang-undangan.

Jangan lupa bahwa dalam suatu kejadian PHK, kedua pihak sama-sama merugi. Pekerja
merugi karena kehilangan mata pencaharian, dan perusahaan merugi karena kehilangan aset
sumber daya manusia serta kehilangan modal yang telah dikeluarkan untuk recruitment dan
peningkatan kompetensi pekerja (pelatihan dan pendidikan). Karenanya, untuk dapat
melakukan analisis etika PHK, pertama-tama kita harus memiliki sudut pandang yang netral
mengenai PHK itu sendiri.

Untuk PHK tidak sukarela, etika menjadi lebih kompleks karena ada salah satu pihak yang
tidak menyetujuinya. Dalam makalah ini, PHK tidak sukarela yang akan dibahas adalah jenis
pertama, yaitu PHK oleh perusahaan. Terdapat bermacam-macam alasan PHK, yang secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama, karena pekerja (melakukan
kesalahan berat atau melanggar peraturan perusahaan); kedua, karena perusahaan (pailit,
merugi atau melakukan efisiensi); ketiga PHK yang tidak bisa dihindarkan (selesainya
kontrak, pekerja sakit, meninggal dunia atau memasuki masa pensiun).

ANALISIS
Dalam etika bisnis terdapat lima prinsip yaitu: Pertama, otonomi. Perusahaan dapat bertindak
secara etis apabila memiliki kebebasan dan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan
dan bertindak sesuai virtue/nilai-nilai yang dianggapnya baik; Kedua, kejujuran. Kejujuran
berkaitan dengan syarat-syarat perjanjian kontrak dan berkaitan dengan hubungan kerja intern
dalam suatu perusahaan; Ketiga, prinsip keadilan. Prinsip ini menuntut semua orang agar
diperlakukan sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional,
objektif dan dapat dipertanggung jawabkan; Keempat, prinsip saling menguntungkan; dan
Kelima, prinsip integritas moral.

Dalam hal pekerja melakukan kesalahan berat dan melanggar peraturan perusahaan, maka
perusahaan berhak dan wajib untuk melakukan PHK. Menurut egoisme etis, adalah baik dan
etis bahwa perusahaan membela dirinya kalau diserang atau dirugikan oleh pegawai.
Perusahaan memiliki hak secara legal untuk memutuskan hubungan kerja karena pekerja
melanggar kontrak/perjanjian kerja. Perusahaan memiliki hak secara moral untuk
menegakkan nilai-nilai yang dianggapnya baik, dan mengeluarkan pekerja yang tidak
menghormati nilai-nilai tersebut. Perusahaan bahkan wajib melakukan PHK terkait hak
pekerja untuk diperlakukan sama. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa terdapat
paham keadilan legal (aristoteles) khususnya dalam perusahaan, setiap orang berhak
mendapat perlakuan hukum yang sama, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasar atas
keadilan ini,maka perusahaan tidak boleh mengistimewakan karyawannya dan secara hukum
setiap individu karyawan harus diperlakukan sama. Jika ada pegawai yang melakukan
pelanggaran berat dan perusahaan tidak melakukan PHK, maka perusahaan telah
mengistimewakan pegawai tersebut dan mendiskriminasikan pegawai dengan melanggar hak
pegawai yang lain untuk diperlakukan sama. Di sisi lain, secara hokum, pekerja tersebut
harus diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah sampai terbukti sebaliknya, dan berhak
untuk diproses dengan sah secara hukum.

Dalam hal perusahaan yang melakukan PHK tanpa ada kesalahan pekerja, dapat dilihat dari
dua teori etika yaitu menurut etika deontologi dan menurut etika teleologi. Menurut etika
deontology, tindakan PHK oleh perusahaan bukanlah tindakan yang baik secara moral bagi
pegawai karena membuat mereka kehilangan hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Sedangkan menurut etika teleology, tindakan PHK itu baru dapat dinilai baik buruknya
setelah diketahui tujuan dari PHK itu sendiri. Etika Utilitarisme maupun kebijaksanaan bisnis
sama-sama bersifat teleologis, hal ini berarti bahwa keduanya selalu mengacu pada tujuan
dan mendasarkan baik-buruknya suatu keputusan berdasarkan tujuan/akibat/hasil yang akan
diperoleh . Hal ini berarti bahwa,dari sudut pandang utilitarisme, PHK dapat diterima apabila
tujuannya baik, walaupun dengan cara yang tidak baik (PHK). Contoh, jika dengan
melakukan pemutusan hubungan kerja 50% karyawan dapat menyelamatkan kondisi
perusahaan dan dapat menjaga keberlangsungan kerja 50% karyawan sisanya, maka menurut
etika utilitarisme hal ini adalah baik. Tetapi, jika tujuan karyawan mem-PHK 50%
karyawannya untuk mengurangi cost dan mendapatkan untung sebesar-besarnya, maka
menurut utilitarisme, hal ini tidaklah baik karena hanya menguntungkan perusahaan dan
melanggar prinsip “ mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin
orang”. Kelemahan pandangan ini adalah hak sekelompok minoritas tertentu dikorbankan
demi kepentingan pihak mayoritas, yang secara moral, hal ini bukanlah nilai yang utama.

Ketika perusahaan melakukan PHK, perusahaan tetap harus melakukan tanggung jawabnya
yaitu tanggung jawab legal, tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial. Secara legal,
perusahaan harus mengikuti peraturan yang berlaku seperti misalnya harus memperoleh
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI), dan wajib
membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang
penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima yang dihitung berdasarkan upah karyawan
dan masa kerjanya.
Namun, dalam kasus PHK sepihak yang menimpa Mantan karyawan PT Siemens Indonesia
yaitu Stephen Michael Young, pihak PT Siemens Indonesia yang diwakili kuasa hukumnya
menolak dalil yang disampaikan penggugat dalam gugatannya yang dinilai tidak logis dan
keliru. Dikatakan bahwa dalil tentang selama masa kerja penggugat di tergugat telah
melewati batas 3 tahun, kemudian oleh penggugat dianggap sebagai karyawan tetap, adalah
sesuatu yang keliru. Sebab, meski hubungan kerja antara penggugat dan tergugat
menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), bukan berarti harus tunduk pada
ketentuan PKWT, sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Hal itu, mengingat
perjanjian dimaksud berdasarkan kesepakatan bersama, dan tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan Indonesia. Oleh karena itu, menurut dalil tergugat, berdasarkan
perjanjian kerja dan peraturan UU Ketenagakerjaan, maka PT Siemens Indonesia (tergugat)
tidak pernah memiliki kewajiban hukum apapun. Baik untuk pemberitahuan,
peringatan/teguran, uang pesangon, uang penghargaan maupun uang penggantian hak
sebagaimana dituntut Stephen Michael Young.

Menurut saya, hal tersebut sangatlah tidak adil bagi Stephen Michael Young, karna
mengingat dia telah berdedikasi terhadap perusahaan selama 13 tahun. Seharusnya
perusahaan lebih menghargai dedikasinya.

REFERENSI
https://bukusaku.wordpress.com/
https://docs.google.com/document/d/1kdLLQ8FVTRFOJiVZag7zD5XcTYRqcnCF1ifuWod8
NEc/edit
http://kabar24.bisnis.com/read/20120626/16/83192/kasus-phk-mantan-karyawan-gugat-
siemens

Anda mungkin juga menyukai