PENDAHULUAN
Rumah adat Karampuang sebagai rumah kembar ( Meski sedikit berjauhan ) memiliki
banyak simbol dan memiliki banyak fungsi dikalangan pendukungnya. Sebagai sebuah rumah
adat tentunya memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan rumah warga lainnya.
Perbedaan ini tentu saja bukan secara kebetulan , Tetapi melalui proses yang panjang dengan
nilai-nilai simbolik yang diandungnya.
Kalau pada kebanyakan rumah adat di Sulawesi Selatan, Penempatan tangga sebagai
sarana vital untuk naik turunnya penghuni rumah serta para tamu selalu ditempatkan didepan
rumah apakah membujur searah panjang rumah seperti pada kebanyakan rumah-rumah
Makassar, atau menyamping searah dengan lebar rumah seperti pada rumah-rumah Bugis,
namun pada rumah adat karampuang jusatru diletakkan ditengah-tengah rumah. Sebagai rumah
adat dengan simbol wanita, maka penempatan tangga ini adalah makna simbolik sebagai (maaf )
kemaluan wanita, tempat orang pertama kali keluar dari rahim ibu. Tangga ini mempunyai pintu
yang disebut dengan batu lappa dengan Pemberat dari batu yang bundar dan juga simbol bagian
dari kemaluan wanita. Karena posisi pintu dengan lantai rumah maka untuk membukanya
haruslah menolak ke atas untuk mengeser pemberat batu tersebut. Pintu ini berfungsi pula untuk
mengakhiri prkara yang diajukan oleh warga.
Dalam hal penempatan dapur, posisi belakang rumah adalah hal yang samgat lazim
kecuali pada rumah adat kajang yang menempatkan didepan pintu sebagai simbol dari
keterbukaan kepada tamunya. Tapi pada rumah adat Karampuang, Posisi dapur diletakkan sejajar
dengan posisi pintu yang memiliki simbol sebagai buah dada wanita, sumber kehidupan. Sebagai
sumber kehidupan manusia, maka pada dapur inilah dipersiapkan segala makanan yang hendak
dimakan di rumah adat. Karna simbol buah dada wanita maka jumlahnya juga ada dua buah
sesuai dengan jumlah buah dada wanita.
Sebagai seorang wanita tentu salah satu pembeda dengan pria adalah pada telinganya
yang berhias. Untuk itu maka relinganya dirancang khusus dan disebut dengan bate-bate kiri dan
bate-bate kanan dengan hiasan ukiran kayu yang bermakna anting-anting, layaknya seorang
wanita yang anggun, lengan dan bahu digambarkan dengan sonrong yakni tangga yang
ditinggikan diletakkan didepan rumah dan belakang rumah yang berfungsi sebagai tempat
menerima tamu agung dibagian depan serta sonrong belakang difungsikan sebagai tempat tinggal
penghuni. Karena sebagai tangan yan senantiasa bertindak maka pada sonrong belakang rumah
ditempatkan semua arajang yakni benda sakra;l pelengkap upacara adat. Simbol wanita yang lain
adalah adanya hilua yakni talia hitam dari serat enau dan dililitkan di bubungan rumah serta
bahan untuk rimpa laja.
Untuk bahan lainnya, rumah adat ini hanya menggunakan bahan yang sangat alami dan
sederhana yaitu bambu. Penggunaan bambu sebagai bahan lantai ialah karena dalam lontarak
yang mereka pegang mengatakan bahwa tulang-tulang rusuk serta ruas jari manusia disebut
dengan buku lapa tellang. Olehnya itu maka bahn dasar dari lantainnya adalah tellang yakni
bambu yang berukuran kecil dan memiliki kekuatan yang cukup baik untuk bahan lantai. Sebagai
bahan pengikat digunakan tanpeng yakni sejenis rotan yang untuk mencarinya di hutan adat
harus dipimpin langsung oleh tomatoa megingat tampeng itu sendiri banyak jenis. Tampeng
dalam lontarak adalah simbol dari urat atau ure. Fungsi tampeng ini tidak boleh digantikan dengn
benda lain termasuk paku sekalipun. Untuk merangkai bilahan bilahan bambu menjadi salima
membutuhkan tekhnik dan ukuran tersendiri yaitu dengan memasang berdasarkan urutan-urutan
petak yang berjumlah 12 petak lantai. Jumlah yang 12 ini adalah sebagai simbol dari banyaknya
gella-gella yang merupakan pendukung utama budaya karampuang. Simbol-simbol dari jumlah
12 pada lantai ialah karena pada saat keenam saudara pria dari pemimpin wanita karampuang
hendak menempati cimbo-cimbo seperti yang telah diutaikan didepanadalah masin-masing
membentuk 2 gella, dengan demikian maka terdapat nilai simbolik bagi seluruh pendukung
budaya karampuang untuk tetap mendapat tempat dan teap merupakan bagian dari kebesaran
karampuang.
Muncul suatu pertanyaan, apakah diatara kedua belas gella yang dibentuk oleh
manurung pitue yang menempati cimbo baik itu pula dari kerajaan tellulimpoe yang masing
amsig membentuk dua gella. Kecurigaan ini didasari pada suatu fakta dimana Tellulimpoe yang
terdiri dari kerajaan tondong, lamatti, serta lamatti yang masing-masing memiliki 2 gella.. Dalam
sejarah tellulimpoe telah disebutkan bahwa kerajaan federasi ini dalam perkembangannya tetap
mempertahankan wilayahnya dengan hanya mermiliki dua gella yakni tondong, dengan gella
tokka dan kolasa, bulo-bulo dengan gella saukang dan samataring serta lamatti dengan gella
bongki panreng. Hal yang memperkuat lagi adalah ditemukanya ornamen pada rumah adat
karampuang berupa tanduk kerbau yang diyakini sebagai simbol persauaraan dengan tondong
dan manimpahoi serta tobona sebagai simbol persahabatan dengan lamatti dan bulo-bulo. Namun
kebesaran asumsi ini sepenuhnya diserahkan kepada sejarawan yang lebih berkompeten.
Kalau kita amati secara mendalam dari fakto-faktor pendukung lestarinya rumah adat
ini karena adanya dukungan dari seluruh warga pendukung budaya karampuang untuk turut
terlibat memeliharannya. Bahan-bahan bangunan ditanggung bersama dan dikerjakan brsaa. Hal
yang paling unik dalam upaya melestarikan rumah adatnya ialah apabila ditemukan adanya
kerusakan berupa bahan kayu, maka penggantinya akan dicari dalam hutan adat melalui proses
pencarian yang dipimpin langsung oleh gella. Dalam hal ini masyarakat yang ikut terlibat, tidak
boleh mengangkat kayu pengganti tersebut melainkan harus menarik secara beramai-ramai, serta
diiringi oleh pembacaan osong sepanjang perjalanan dan tetabuhan yang mengiringinya.
Kesemuannya itu dipimpin langsung oleh gella dan menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi para
penarik kayu yang kadang-kadang memakan waktu satu hari penuh.
Pada bagian depan tulisan ii telah disingung bahwa pada saat agama islam dianut oleh
masyarakat karampuang, maka rumah adatnya yang mula-mula berjumlah satu buah menjadi dua
buah. Pada bangunan rumah adat Karampuang, simbol islam yang pertama kali nampak adalah
pada tiang-tiangnya yang berjumlah 30 buah. Jumlah ini adalah sebagi simbol dari jumlah juz
dalam Al’Quran. Baris-baris tiang yang terdiri dari enam baris adlah sebagai simbol rukun iman
serta lima petak rumah sebagai simbol rukun islam. Tiang rumah yang berjumlah 30 buah ini
kesemuanya memliki sambungan walaupun bahan tiang itu sebenarnya cukup untuk sebuah tiang
utuh. Tiang ini berdasarkan ketentuan lontarak bahwa harus dipotong kemudian disambung
kembali sebagai simbol dari tulang kaki yang beruas-ruas dan memiliki persendian. Simbol islam
lainnya adanya bentangan kayu sebesar tiang rumah membuur dari timur ke barat berjumlah lima
buah yang diebut dengan haru. Kata hare dalah barat yang merupakan arah kiblat, jumlah lima
buah ini adalah simbol dari jumlah shalat wajib bagi manusia setiap hari.
Letak rumahpun memiliki makna yaitu rumah adat tomatoa menghadap ke barat dimana
adalah simbol kearah akhirat bahwa pada rumah adat tomatoalah tempat membicarakan hal-hal
yang bersifat ritual. Rumah gella menghadap ke timur dimana adlah simbol arah dunia sehingga
fungsinya sebagai tempat untuk membicarakan hal hal yang bersifat dunia seperti mengadili
perkara, masa tanam dan panen serta segala urusan kemasyarakatan. Pada pelaksanaan lebaran
yakni lebaran Idul fitri para masyarakat terlebih dahulu berkumpul dirumah tomatoa setelah
shalat shubuh lalu menuju ke mesjid, sedangkan pada lebaran Idul Adha masyarakat terelbih
dahulu berkumpul dirumah adat gella sebelum ke mesjid untuk melaksanakan lebaran.
STRUKTUR PERANGKAT ADAT KARAMPUANG
Sebagai sebuah rumah adat dari sebuah komunitas tradisional, maka peran rumah adat
sebagai warisan bersama dari leluhur yang sama dengan pendukung budaya yang semakin hari
semakin banyak, tentu dibutuhkan sarana untuk berkumpul memjalankan tradisi. Dengan
demikian maka peran rumah datpun semakin kuat sebagai sentral dari semua aktivitas adat.
Untuk melengkapi peran adat tentunnya dibutuhkan perangkat-perangkat adat yang
bertugas untuk mempertahankan tradisi leluhur dibidang tugas yang telah digariskan oleh adat
Perangkat adat dimaksud adlah sosok yang ditokohkan dan dipercaya untuk menjalankan tradisi
leluhur. Untku tugas ini oleh masyarakat karampuang menyerahkan sepenuhnya kepada otmatoa,
gella sanro, dan guru. Keempatnya disebut “ eppa aliri tettepona hanuae “ yang digambarkan
dengan ungkapan dalam lontarak :
Keempat tokoh tersebut diikat dalam sebuah sumpah untuk menjalankan tugas dengan jujur dan
sebaik-baiknya. Jabatan yang diembannya lebih banyak sebagai jabatan sosial daripada yang
bersifat ekonomi, apalagi jabatan kekuasaan. Adapun sumpah yang mengikat mereka adalah ;
Mappucu ribolloi
Mattakke mareppei
Mabbatang ritubbangi
Makkurek maretteki
Tenna tekkenni
Beppajang terrimunrinna
Apabila ada yang mencoba untuk melanggar keputusan adat diatas, maka sang pelanggar
tersebut tidak akan diikutkan dalam aktivitas adat. Selain itu, segala kegiatanyya tidak akan
dihadiri oleh pemangku adat Jabatan Toamtoa saat itu dijabat oleh Puang Tola. Adapun yang
pernah Memangku jabatan tomatoa ini antara lain Maggu Bulusumi, Pangnguru Bodo,
Samakka, Tampa, Jemmeng, dan Puang Pake.
Jabatan kedua yang ada dalam struktur adat karampuang adalah sebagai Gella. Dalam
menjalankan jabatan ini, selain sebagai pelaksana adat, masihada dua jabatan penting yang
merupakan bagian tugas yakni sebagai Makkuasa ri tana rakko dan Lari tana. Sebagai
Makkuasa ri tana rakko, gfella bertugas untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga,
perselisihan, gotong-royong, sedangkan sebagai Lari tana, Gella harus mengadili perkara yang
berhubungan dengan tanah seperti sengketa tanahpemukiman atau sawah milik warga. Dalam
mengadili perkara, gella tidak berhak untuk memutuskan siapa pemenang atau kalah dalam
perkara. Semua itu adalah wewenang penuh dari Tomatoa. Namun demikian, gella dalam
menjalankan ungsinya sebagai jaksa, maka dia selalu berupaya untuk tidak sampai perkara ini
diputuskan oleh Tomatoa. Olehnya itu gella hanya berupaya untuk mendamaikan. Tugas yang
berat ini aoleh lontarak menyebutnya ;
Adapun gella yang pernah menjalankan jabatan ialah Salaka, Takkuru, To Baco, To Lebu,
Terreng, Nyoma, Sanro, dan pada saat itu adalah Puang Mangga.
Jabatan yang paling penting dalam hal yang sifatnya ritual ditangani Oleh sanro, dimana
diyakini sangat berperan memiliki kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur. Bagi
masyarakat setempat, sanro diyakini sebagai figur yang dapat menghubungkan seluruh
pendukung budaya karampuang dengan leluhurnya. Dengna segala kemampuannya, sanro juga
diyakini mampu mengetahui keberhasilan dan kegagalan panen berikutnya. Secara garis besar
tugasnya disebut dengan Makkaharu yakni sebagai pemimpin upacara adat seperti mabissa
loppo, papole hajja, mappalesso ase, mappatinro bine, mappogau hanua, dan bali sumange. Sanro
sebagai pemimpin ritual selalu dijabat oleh wanita yang saat itu dijabat oleh puang jenne.
Sebelumnya dijabat oleh Puang Ceba, itimo, sani, dan lumu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, hadirnya sebuah bencana tidak dapat dielakkan.
Untuk itu maka diperlukkanlah peran guru yang dalam tugas adatnya disebut Mattola bala. Guru
adalah tokoh yang bertugas untuk menjauhkan Karampuang dari bencana melalui doanya yang
diakui makbul. Selain mattula bala, guru juga bertugas untuk memimpin upacara-upacara
keagamaan seperti maud dan lebaran. Jabatan guru mula-mula dijabat oleh Battara Guru, Puang
urekkeng, Haji tadang, cimbo, karang, puang mading, puang ruma, dan pada saa itu adalah
kacong.
Selama keeempatjabatan adat diatas, pada dasarnya masih terdapat beberapa jabatan
lain yang tak kalah pentingnya terutama pada saat pelaksanaan upacara Mappogau sihaua.
Upacara ini yang merupakan pesta adat terbesar di Kabupaten Sinjai dalam pelaksanaanya
membutuhkan banyak orang dengan tugas yang sangat vital serti pappajo, pagentang, pafdekko,
pattihi-tihi dan lain-lain. Namun demikian meskipun jabatan ini diluar dari struktur adat, namun
memiliki kehormatan tersendiri bagi pelakunya. Dengan demikian jabatan ini diwariskan pula
kepada keluarganya yang dimana akan terjadi kesinambungan pengetahuan untuk menjalankan
jabatan tersbut amapi lestari hingga kini.