Anda di halaman 1dari 8

PERKAMPUNGAN ADAT KARAMPUANG

DI DESA TOMPOBULU KECAMATAN BULUPODDO


DI KABUPATEN SINJAI

PENDAHULUAN

Mendengar nama Karampuang barangkali bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi


Selatan bukanlah hal yang aneh. Nama karampuang ditemukan dihampir seluruh daerah
termasuk di Kota Makassar. Namun karampuang yang memiliki rumah adat serta tinggalan
arkeologi yang beraneka macam barangkali hanya Karampuang yang di Kabupaten Sinjai sajalah
yang memilikinya.
Kampung tradisional Karampuang terletak kurang lebih 40 Km arah barat ibukota
Sinjai. Perkampungan tradisional ini secara administratif masuk dalam wilayah Desa Tompobulu
Kecamatan Bulupoddo yang sebagian besar penduduknya adalah petani dan pembuat gula
merah. Sebagai perkampungan tradisional pendukung budayannya menyebar dihampir seluruh
pegunungan Sinjai, Bone, dan Gowa bahkan komunitas pendukung Budaya Karampuang ini
dapat ditemukan dengan mudah. Kesuluruh pendukungnya ini secara rutin datang mengadakan
acara-acara adat dan dipusatkan dirumah adat Karampuang. Bangunannya yang unik dan
memiliki banyak simbol berada pada sebuah kawasan hutan adat seerta dikelilingi hutan yang
masih sangat asri. Dalam kawasan adatnya, selain rumah adat juga ditemukan banyak benda-
benda yang bernilai sejarah tinggi seperti Gua cucukang yang berisi batu bertulis mirip prasasti,
sumur adat, dolmen kuburan-kuburan kuno, sumur-sumur batu danlainnya. Dalam kawasan
inipula dipusatkan pesta adat Karampuang yang merupakan pesta adat terbesar di Kabupaten
Snjai Yatu Mapogau Sihanua. Pesta adatnya yang sakral dilaksanakan setelah panen atau
menjelang masa tanam padi.
Dengan demikian maka kawasan adat karampuang dengan segala keunikannya dapat
dijadikan sebagai salah satu potensi pengembangan Kepariwisataan di Sulawesi Selatan pada
umumnya dan di Kabupaten Sinjai pada khususnya.Hal ini bukanlah yang mustahil bahwa kelak
dapat menjadi obyek kunjungan utama bagi pencinta budaya leluhur. Apalagi kalau obyek-obyek
pendukungnya yang mengapit Karampuang seperti bukit Caropo dengan punden berundak-undak
tiganya serta kampung Soppeng dengan sisa-sisa kerajaan purbanya dapat ditata dengan baik.

SEJARAH RUMAH ADAT KARAMPUANG

Masyarakat Sulawaesi Selatan yang kebanyakan masyarakatnya adalah masyarakat


patnelaristik dimana dalam kehidupannya sebagian besar menempatkan perana dan posisi laki-
laki sebagai penguasa dan penentu dapat diterima secaram meluas. Posisi patnelaristik ini
dijumpai pula pada bangunan rumah tempat tinggal yang selalu melambangkan keperkasaan atau
kejantana laki-laki. Salah satu contohnya adalah ornamen-ornamen rumah berupa tanduk kerbau,
tanduk rusa, kepala naga, keris seta pembagian tempat tidur semua semacam itu tidak akan
diremukan karena simbol-simbolnya justru sebaliknya yakni simbol dari seorang wanita anggun.
Keunikan budaya Karampuang yang cenderung matrealistik diawali pada sebuah
peristiwa besar yang terjadi di karampuang yang merupakan peristiwa yang mengawali rentetan
peristiwa besar berikutnya. Peristiwa besar serta simbol yang terakandung pada keunikan
budayanya, semuanya tertulis pada Lontarak Karampuang yang disakralakn oleh semua
pendukung kebudayaanya.
Dalam lontarak Karampuang dituliskan bahwa asal mula adanya wilayah di Sinjai
diawali di Karampuang. Demikian pula dengan rajas-raja yang pernah memerintah, cikal
bakalnya semua dari karampuang. Dikisahakn dalam oleh air lontarak Karampuang bahwa jaman
dahulu kala taktala bumi ini masih dikelilingi oleh air Karampuang dan sekitarnya justru tidak
digenangi oleh air yang disebut dengan cimbo. Makna kata cimbo ini ialah wilayah bagaikan
tempurung yang menyembul seperti tempurung kelapa ditemgah genangan air. Dipuncak cimbok
inilah yang kelak ditemukan seorang yang tak dikenal yang akhirnya diberi gelar Manurunnge
Ri Karampulue yang artinya seorang yang karena hadirnya membuat seluruh warganya
merinding atau Berdiri bulu romanya. Penamaan karampulue berubah nama dan lebih dikenal
dengan karampuang. Setelah manurunge ri karampulue lama menetap dan memimpin warganya
tiba-tiba berpesan eloka tuo tea, mate eloka madeceng tea maja Kata-kata ini adalah wasiat
kepada segenap warga Karampuang waktu itu untuk senantiasa memelihara segala tradisi yang
diwariskan kepada mereka. Wasiat itu juga demi untuk kemaslahatan warga Karampuang
sendiri. Setelah pesan ini disampaikan maka dia tertidur dan lama kelamaan mrnghilang. Setelah
menghilang tiba-tiba muncul lagi tujuh orang To manurung baru yang disebut Manurung
Pitue. Kelak Mereka inilah yang dikirim untuk menjadi raja-raja baru pada cimbo-cimbo baru
setelah air surut sebanyak tujuh kali. Adapun tempat yang dituju adalah Ellung mangenre,
Bonglangi, Bontona Barue, Carimba, Lante, Amuru, Tassese. Adapun yang tinggal di
karampuang adalah seorang wanita yang diyakini merupakan jelmaan dari manurunge ri
karampuang tadi. Inilah awalnya sehingga rumah adat karampuang dilambangkan dengan
wanita, sedangkan saudara-saudarannya yang lain adalah laki-laki sehingga dalam lontarak
selalu diungkapkan Lao cimbonna, monro capengna.
Pada saat keenam saudaranya tersebut hendak pergi menempati wilayah-wilayah baru
sekaligus menjadi raja, saudara wanitannya berpesan :
Nonnono makaale lembang
Numaloppo kualinnrungi
Numatanre kuaccinaungi
Mukkelo kuakkelori
Ualai lisu
Maksud dari pesan diatas adalah bahwa silahkan pergi menjadi raja di tempat lain,
namun kebesaran kerajaanmu kelak harus mampu melindungi Karampuang, raihlah kehormatan
namun kehormatan itu akan turut menaungi kehormatan leluhurmu. Meskipun demikian, segala
kehendakmu haruslah atas kehendakku jua, apabila segala kebesaran dan kehormatan itu tidak
aku ambil kembali. Setelah saudarannya yang berjumlash enam orang itu menjadi raja maka
keenamnya membentuk masing-masing dua gella baru sehingga terciptalah 12 gella selain
Karampuang sebagai induk yakni Bulu, bicu, sulewatang salohe, satengnga, pangepenna
satengnga yang hingga saat ini menjadi pendukung utama budaya Karapuang.
Pada mulanya rumah adat Karampuang berupa gubuk yang amat sederhana yakni
berupa rumah yang bertiang satu dan terletak di puncak gunung karampuang. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, rumah adat ini dipindahkan ke toanja yakni kurang lebih 500 meter
ke arah kaki gunung dan bentuknya dikembangkan menjadi rumah dengan tiang yang berjumlah
tiga buah. Namun karena agama islam telah memasuki wilayah Karampuang dengan membawa
ajaran yang baru, maka rumah adatnya juga disesuaikan dengan ajaran yang baru itu. Untuk itu
maka rumah adat itu dipindahkan lagi kelokasi baru dan rumah adat yang dahulunya jumlahnya
hanya satu buah ditambah menjadi dua buahdengan ukurang yang lebih besar dan bentuk yang
lebih baik. Lokasi baru yang dimaksud adalah malenrreng yang saat ini dihuni oleh Tomatoa dan
ke manynyaha yang saat ini dihuni oleh gella. Makna dari nama tempat Mallenreng ( tetap ) Dan
Manynyaha ( Hidup ) ini adalah bermakna agar kiranya tradisi leluhur yang telah diwariskan
oleh nenek Moyangnya tetap diwariskan dan tetap hidup selamanya.
Sebagai suatu bangunan yang memiliki makna sakral, pemindahannya juga tentunya
mengandung makna yang dalam serta melalui pertimbangan yang matang dari para pendukung
budaya Karampuang. Karna Agama Islam telah menjadi keyakinan baru pendukung budayannya,
sementara rumah adat adalah merupakan pusat dari aktivitas adat sesuai dengan yang telah
digariskan oleh leluhurnya, Maka untuk menjembatani kedua keinginan ini tentu saja harus ada
penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud adalah memasukkan unsur-unsur agama islam dipadu
dengan simbol-simbol wanita yang telah lama diyakini oleh parap endukungnya. Namun dengan
perpaduan diantara keduanya justru menambah kharima rumah adat ini.
Rumah adat Tomatoa dan rumah adat gella dari segi ukuran nampaknya tidak jauh
berbeda yakni memiliki ukurang kurang lebih 15 x 11 meter. Perbedaanya terletak pada simbol
kekuasannya yakni atap yang bersusun dua pada rumah tomatoa sedangkan rumah gella tidak
bersusun. Perbedaan lainnya dalah pada Timpa laja yang bersusun tiga pada rumah tomatoa dan
bersusun dua pada rumah gella.

SIMBOL RUMAH ADAT KARAMPUANG

Rumah adat Karampuang sebagai rumah kembar ( Meski sedikit berjauhan ) memiliki
banyak simbol dan memiliki banyak fungsi dikalangan pendukungnya. Sebagai sebuah rumah
adat tentunya memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan rumah warga lainnya.
Perbedaan ini tentu saja bukan secara kebetulan , Tetapi melalui proses yang panjang dengan
nilai-nilai simbolik yang diandungnya.
Kalau pada kebanyakan rumah adat di Sulawesi Selatan, Penempatan tangga sebagai
sarana vital untuk naik turunnya penghuni rumah serta para tamu selalu ditempatkan didepan
rumah apakah membujur searah panjang rumah seperti pada kebanyakan rumah-rumah
Makassar, atau menyamping searah dengan lebar rumah seperti pada rumah-rumah Bugis,
namun pada rumah adat karampuang jusatru diletakkan ditengah-tengah rumah. Sebagai rumah
adat dengan simbol wanita, maka penempatan tangga ini adalah makna simbolik sebagai (maaf )
kemaluan wanita, tempat orang pertama kali keluar dari rahim ibu. Tangga ini mempunyai pintu
yang disebut dengan batu lappa dengan Pemberat dari batu yang bundar dan juga simbol bagian
dari kemaluan wanita. Karena posisi pintu dengan lantai rumah maka untuk membukanya
haruslah menolak ke atas untuk mengeser pemberat batu tersebut. Pintu ini berfungsi pula untuk
mengakhiri prkara yang diajukan oleh warga.
Dalam hal penempatan dapur, posisi belakang rumah adalah hal yang samgat lazim
kecuali pada rumah adat kajang yang menempatkan didepan pintu sebagai simbol dari
keterbukaan kepada tamunya. Tapi pada rumah adat Karampuang, Posisi dapur diletakkan sejajar
dengan posisi pintu yang memiliki simbol sebagai buah dada wanita, sumber kehidupan. Sebagai
sumber kehidupan manusia, maka pada dapur inilah dipersiapkan segala makanan yang hendak
dimakan di rumah adat. Karna simbol buah dada wanita maka jumlahnya juga ada dua buah
sesuai dengan jumlah buah dada wanita.
Sebagai seorang wanita tentu salah satu pembeda dengan pria adalah pada telinganya
yang berhias. Untuk itu maka relinganya dirancang khusus dan disebut dengan bate-bate kiri dan
bate-bate kanan dengan hiasan ukiran kayu yang bermakna anting-anting, layaknya seorang
wanita yang anggun, lengan dan bahu digambarkan dengan sonrong yakni tangga yang
ditinggikan diletakkan didepan rumah dan belakang rumah yang berfungsi sebagai tempat
menerima tamu agung dibagian depan serta sonrong belakang difungsikan sebagai tempat tinggal
penghuni. Karena sebagai tangan yan senantiasa bertindak maka pada sonrong belakang rumah
ditempatkan semua arajang yakni benda sakra;l pelengkap upacara adat. Simbol wanita yang lain
adalah adanya hilua yakni talia hitam dari serat enau dan dililitkan di bubungan rumah serta
bahan untuk rimpa laja.
Untuk bahan lainnya, rumah adat ini hanya menggunakan bahan yang sangat alami dan
sederhana yaitu bambu. Penggunaan bambu sebagai bahan lantai ialah karena dalam lontarak
yang mereka pegang mengatakan bahwa tulang-tulang rusuk serta ruas jari manusia disebut
dengan buku lapa tellang. Olehnya itu maka bahn dasar dari lantainnya adalah tellang yakni
bambu yang berukuran kecil dan memiliki kekuatan yang cukup baik untuk bahan lantai. Sebagai
bahan pengikat digunakan tanpeng yakni sejenis rotan yang untuk mencarinya di hutan adat
harus dipimpin langsung oleh tomatoa megingat tampeng itu sendiri banyak jenis. Tampeng
dalam lontarak adalah simbol dari urat atau ure. Fungsi tampeng ini tidak boleh digantikan dengn
benda lain termasuk paku sekalipun. Untuk merangkai bilahan bilahan bambu menjadi salima
membutuhkan tekhnik dan ukuran tersendiri yaitu dengan memasang berdasarkan urutan-urutan
petak yang berjumlah 12 petak lantai. Jumlah yang 12 ini adalah sebagai simbol dari banyaknya
gella-gella yang merupakan pendukung utama budaya karampuang. Simbol-simbol dari jumlah
12 pada lantai ialah karena pada saat keenam saudara pria dari pemimpin wanita karampuang
hendak menempati cimbo-cimbo seperti yang telah diutaikan didepanadalah masin-masing
membentuk 2 gella, dengan demikian maka terdapat nilai simbolik bagi seluruh pendukung
budaya karampuang untuk tetap mendapat tempat dan teap merupakan bagian dari kebesaran
karampuang.
Muncul suatu pertanyaan, apakah diatara kedua belas gella yang dibentuk oleh
manurung pitue yang menempati cimbo baik itu pula dari kerajaan tellulimpoe yang masing
amsig membentuk dua gella. Kecurigaan ini didasari pada suatu fakta dimana Tellulimpoe yang
terdiri dari kerajaan tondong, lamatti, serta lamatti yang masing-masing memiliki 2 gella.. Dalam
sejarah tellulimpoe telah disebutkan bahwa kerajaan federasi ini dalam perkembangannya tetap
mempertahankan wilayahnya dengan hanya mermiliki dua gella yakni tondong, dengan gella
tokka dan kolasa, bulo-bulo dengan gella saukang dan samataring serta lamatti dengan gella
bongki panreng. Hal yang memperkuat lagi adalah ditemukanya ornamen pada rumah adat
karampuang berupa tanduk kerbau yang diyakini sebagai simbol persauaraan dengan tondong
dan manimpahoi serta tobona sebagai simbol persahabatan dengan lamatti dan bulo-bulo. Namun
kebesaran asumsi ini sepenuhnya diserahkan kepada sejarawan yang lebih berkompeten.
Kalau kita amati secara mendalam dari fakto-faktor pendukung lestarinya rumah adat
ini karena adanya dukungan dari seluruh warga pendukung budaya karampuang untuk turut
terlibat memeliharannya. Bahan-bahan bangunan ditanggung bersama dan dikerjakan brsaa. Hal
yang paling unik dalam upaya melestarikan rumah adatnya ialah apabila ditemukan adanya
kerusakan berupa bahan kayu, maka penggantinya akan dicari dalam hutan adat melalui proses
pencarian yang dipimpin langsung oleh gella. Dalam hal ini masyarakat yang ikut terlibat, tidak
boleh mengangkat kayu pengganti tersebut melainkan harus menarik secara beramai-ramai, serta
diiringi oleh pembacaan osong sepanjang perjalanan dan tetabuhan yang mengiringinya.
Kesemuannya itu dipimpin langsung oleh gella dan menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi para
penarik kayu yang kadang-kadang memakan waktu satu hari penuh.
Pada bagian depan tulisan ii telah disingung bahwa pada saat agama islam dianut oleh
masyarakat karampuang, maka rumah adatnya yang mula-mula berjumlah satu buah menjadi dua
buah. Pada bangunan rumah adat Karampuang, simbol islam yang pertama kali nampak adalah
pada tiang-tiangnya yang berjumlah 30 buah. Jumlah ini adalah sebagi simbol dari jumlah juz
dalam Al’Quran. Baris-baris tiang yang terdiri dari enam baris adlah sebagai simbol rukun iman
serta lima petak rumah sebagai simbol rukun islam. Tiang rumah yang berjumlah 30 buah ini
kesemuanya memliki sambungan walaupun bahan tiang itu sebenarnya cukup untuk sebuah tiang
utuh. Tiang ini berdasarkan ketentuan lontarak bahwa harus dipotong kemudian disambung
kembali sebagai simbol dari tulang kaki yang beruas-ruas dan memiliki persendian. Simbol islam
lainnya adanya bentangan kayu sebesar tiang rumah membuur dari timur ke barat berjumlah lima
buah yang diebut dengan haru. Kata hare dalah barat yang merupakan arah kiblat, jumlah lima
buah ini adalah simbol dari jumlah shalat wajib bagi manusia setiap hari.
Letak rumahpun memiliki makna yaitu rumah adat tomatoa menghadap ke barat dimana
adalah simbol kearah akhirat bahwa pada rumah adat tomatoalah tempat membicarakan hal-hal
yang bersifat ritual. Rumah gella menghadap ke timur dimana adlah simbol arah dunia sehingga
fungsinya sebagai tempat untuk membicarakan hal hal yang bersifat dunia seperti mengadili
perkara, masa tanam dan panen serta segala urusan kemasyarakatan. Pada pelaksanaan lebaran
yakni lebaran Idul fitri para masyarakat terlebih dahulu berkumpul dirumah tomatoa setelah
shalat shubuh lalu menuju ke mesjid, sedangkan pada lebaran Idul Adha masyarakat terelbih
dahulu berkumpul dirumah adat gella sebelum ke mesjid untuk melaksanakan lebaran.
STRUKTUR PERANGKAT ADAT KARAMPUANG

Sebagai sebuah rumah adat dari sebuah komunitas tradisional, maka peran rumah adat
sebagai warisan bersama dari leluhur yang sama dengan pendukung budaya yang semakin hari
semakin banyak, tentu dibutuhkan sarana untuk berkumpul memjalankan tradisi. Dengan
demikian maka peran rumah datpun semakin kuat sebagai sentral dari semua aktivitas adat.
Untuk melengkapi peran adat tentunnya dibutuhkan perangkat-perangkat adat yang
bertugas untuk mempertahankan tradisi leluhur dibidang tugas yang telah digariskan oleh adat
Perangkat adat dimaksud adlah sosok yang ditokohkan dan dipercaya untuk menjalankan tradisi
leluhur. Untku tugas ini oleh masyarakat karampuang menyerahkan sepenuhnya kepada otmatoa,
gella sanro, dan guru. Keempatnya disebut “ eppa aliri tettepona hanuae “ yang digambarkan
dengan ungkapan dalam lontarak :

Tana tudang ade


Anging rekkosanro
Wae suju guru

Keempat tokoh tersebut diikat dalam sebuah sumpah untuk menjalankan tugas dengan jujur dan
sebaik-baiknya. Jabatan yang diembannya lebih banyak sebagai jabatan sosial daripada yang
bersifat ekonomi, apalagi jabatan kekuasaan. Adapun sumpah yang mengikat mereka adalah ;

Makkoci gangka alepa arungge


Manre salao-lao arajangge
Lepo pura tette
Tampeng pura tette kali
Aju ripasanree

Dengan demikian untuk menunjang kelangsungan hidup dan kesejahteraan perangkat


adat diatas maka mereka berhak mengelola Galung Arajang yang juga biasa disebut dengan
Galung Hara-hara dan dikerjakan secara gotong royong. Kepatuhan masyarakat demi
kesejahteraan perangkat adatnya tergambar pula pada saat pengolahan dan penanaman pada
galung arajang dimana masyarakat tidak bersedia menanami sawahnya sebelum galung arajang
tadi ditanami oleh masyarakat, demikian pula pada saat panen. Selanjutnya apabila masyarkat
telah meanen hasil sawahnya, sebagian dari hasil panennya diberikan kepada perangkat adat.
Dalam menjalankan tugas sebagai pemangku adat, mereka tidak boleh diganti begitu
saja. Jabatan mereka berlaku seumur hidup kecuali melakukan pelanggaran yang berat terhadap
kemurnian adat. Namun dalam sejarahnya belum pernah ada pemangku adat yang diganti
sebelum emninggal. Sebagai jabatan adat, maka jabatannya tidak mutlak diwariskan kepada
anaknya melaonkan boleh pada saudara-saudaranya, pamanya serta kerabat lainnya. Jabatan
tomatoa, gella, dan guru harus dijabat oleh pria sedangkan sanro harus dijabat oleh wanita.
Jabatan tertingi dalam struktur adat karampuang adalah tomatoa atau orang paling dituakan.
Tugas tomatoa yang paling utama adalah sebagai pengawas jabatan dibawahnya sekaligus
mengawasi kemurnian tradisi leluhur yang telah digariskan ole lontarak. Olehnya itu maka
tomatoalah yang menyimpan lontarak yang dianggap sakral. Begitu sakralnya lontarak ini pada
saat dibuka untuk bahan penulisan ini, hanya boleh dihadiri oleh perangkat adat dan penulis pada
pukul 01.00 malam. Bukan itu saja, penulis menunggu selama kurang lebih 10 tahun, barulah
diizinkan untuk melihatnya dan sebagai orang pertama yang membacanya diuar rumpun
pemangku adat.
Fungsi lain dari Tomatoa adalah sebagai hakim atau yang menjatuhkan putusan dari
sebuah perkara yang diadili oleh gella. Sebagai seorang hakim, maka Tomatoa diharuskan
menghadiri proses penyidangan perkara di rumah adat gella. Dengan demikian maka Tomatoa
dapat mempelajari masalah dari perkara yang disidangkan dirumah adat gella. Untuk
memutuskan sebuah perkara, maka diperkara itu dialihkan kerumah adat Tomatoa dan
diputuskan sendiri Oleh Tomatoa. Segala keputusan yang dikeluarkan oleh Tomatoa bagi
masyarakat adalah berlaku mutlak tanpa haru digugat ulang. Sebab dalam memutuskan perkara
diikat oleh sumpah sakral yang telahg dibahas pada bagian lain tulisan ini. Setelah keputusan ini
dijatuhkan yang oleh lontarak disebut Pabbabing, Tomatoa menuntun kepada yang berperkara
kedepan pintu rumah adat untuk disumpah dan menrima keputusan. Adalah suatu yang patut
mendapat aungan jempol bagi masyarakat setempat adalah kepercayaan yang sangat mendalam
akan keputusan. Kepatuhan kepaa keputusan adat ini adalah karena apabila Tomatoa telah
membacakan pabbatang sambil menutup pintu rumah, pantang untuk mengingkit perkara itu lai.
Pantangan ini sma dengan mustahilnya kita untuk kembali kerahim ibu setelah dilahirkan.
Adapun sumpah Pabbatang itu Ialah ;

Mappucu ribolloi
Mattakke mareppei
Mabbatang ritubbangi
Makkurek maretteki
Tenna tekkenni
Beppajang terrimunrinna

Apabila ada yang mencoba untuk melanggar keputusan adat diatas, maka sang pelanggar
tersebut tidak akan diikutkan dalam aktivitas adat. Selain itu, segala kegiatanyya tidak akan
dihadiri oleh pemangku adat Jabatan Toamtoa saat itu dijabat oleh Puang Tola. Adapun yang
pernah Memangku jabatan tomatoa ini antara lain Maggu Bulusumi, Pangnguru Bodo,
Samakka, Tampa, Jemmeng, dan Puang Pake.
Jabatan kedua yang ada dalam struktur adat karampuang adalah sebagai Gella. Dalam
menjalankan jabatan ini, selain sebagai pelaksana adat, masihada dua jabatan penting yang
merupakan bagian tugas yakni sebagai Makkuasa ri tana rakko dan Lari tana. Sebagai
Makkuasa ri tana rakko, gfella bertugas untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga,
perselisihan, gotong-royong, sedangkan sebagai Lari tana, Gella harus mengadili perkara yang
berhubungan dengan tanah seperti sengketa tanahpemukiman atau sawah milik warga. Dalam
mengadili perkara, gella tidak berhak untuk memutuskan siapa pemenang atau kalah dalam
perkara. Semua itu adalah wewenang penuh dari Tomatoa. Namun demikian, gella dalam
menjalankan ungsinya sebagai jaksa, maka dia selalu berupaya untuk tidak sampai perkara ini
diputuskan oleh Tomatoa. Olehnya itu gella hanya berupaya untuk mendamaikan. Tugas yang
berat ini aoleh lontarak menyebutnya ;

Puppu tekkeng besi


Mappasekke baringeng addeneng
Appasala sussang
Mappakainge tutakkaliu
Mapparappe tau mali
Mappaonang tau telleng
Sape lallang
Lao lisu

Adapun gella yang pernah menjalankan jabatan ialah Salaka, Takkuru, To Baco, To Lebu,
Terreng, Nyoma, Sanro, dan pada saat itu adalah Puang Mangga.
Jabatan yang paling penting dalam hal yang sifatnya ritual ditangani Oleh sanro, dimana
diyakini sangat berperan memiliki kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur. Bagi
masyarakat setempat, sanro diyakini sebagai figur yang dapat menghubungkan seluruh
pendukung budaya karampuang dengan leluhurnya. Dengna segala kemampuannya, sanro juga
diyakini mampu mengetahui keberhasilan dan kegagalan panen berikutnya. Secara garis besar
tugasnya disebut dengan Makkaharu yakni sebagai pemimpin upacara adat seperti mabissa
loppo, papole hajja, mappalesso ase, mappatinro bine, mappogau hanua, dan bali sumange. Sanro
sebagai pemimpin ritual selalu dijabat oleh wanita yang saat itu dijabat oleh puang jenne.
Sebelumnya dijabat oleh Puang Ceba, itimo, sani, dan lumu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, hadirnya sebuah bencana tidak dapat dielakkan.
Untuk itu maka diperlukkanlah peran guru yang dalam tugas adatnya disebut Mattola bala. Guru
adalah tokoh yang bertugas untuk menjauhkan Karampuang dari bencana melalui doanya yang
diakui makbul. Selain mattula bala, guru juga bertugas untuk memimpin upacara-upacara
keagamaan seperti maud dan lebaran. Jabatan guru mula-mula dijabat oleh Battara Guru, Puang
urekkeng, Haji tadang, cimbo, karang, puang mading, puang ruma, dan pada saa itu adalah
kacong.
Selama keeempatjabatan adat diatas, pada dasarnya masih terdapat beberapa jabatan
lain yang tak kalah pentingnya terutama pada saat pelaksanaan upacara Mappogau sihaua.
Upacara ini yang merupakan pesta adat terbesar di Kabupaten Sinjai dalam pelaksanaanya
membutuhkan banyak orang dengan tugas yang sangat vital serti pappajo, pagentang, pafdekko,
pattihi-tihi dan lain-lain. Namun demikian meskipun jabatan ini diluar dari struktur adat, namun
memiliki kehormatan tersendiri bagi pelakunya. Dengan demikian jabatan ini diwariskan pula
kepada keluarganya yang dimana akan terjadi kesinambungan pengetahuan untuk menjalankan
jabatan tersbut amapi lestari hingga kini.

Anda mungkin juga menyukai