Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ZAT WARNA

PENGARUH KONSENTRASI NaCl DAN WAKTU PADA


PENCELUPAN KAIN RAYON DENGAN ZAT WARNA EKSTRAK
KULIT ALPUKAT TERHADAP KETAHANAN LUNTUR WARNA

DISUSUN OLEH :

FEBI SEPTIYANE (13020077)


AMELIA PUSPITA SARI (13020087)
NICKY AYEESHA (13020091)
ENDWI AFNIA SARI (13020097)

KELOMPOK : 1
GRUP : 2 K 4

DOSEN :
Ida Nuramdhani, S.ST., M.Sc.

POLITEKNIK STTT
BANDUNG
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alpukat merupakan buah yang tumbuh liar di hutan-hutan, banyak juga ditanam di
kebun, dan di pekarangan yang lapisan tanahnya gembur dan subur serta tidak
tergenang air.Kulit alpukat merupakan lapisan terluar yang melindungi bagian buah
alpukat. Kulit alpukat ini berwarna hijau tua atau ungu kehitaman.
Sampai saat ini tidak banyak yang tahu tentang manfaat dari kulit alpukat itu
sendiri. Kulit alpukat ini jarang sekali diperhatikan oleh banyak orang, yang sebenarnya
memiliki kandungan Flavonoid yang dapat memberikan warna pada serat-serat tekstil
khususnya serat alam seperti sutera, kapas, rami dan nylon.
Salah satu serat tekstil yang dapat terwarnai baik dengan menggunakan zat warna
ekstraksi kulit alpukat adalah serat sutera. Akan tetapi, dalam percobaan kali ini kami
memilih untuk meneliti proses pencelupan zat warna ekstraksi kulit alpukat pada kain
rayon yang menghasilkan warna merah muda. Karena menurut kami percobaan dengan
menggunakan serat sutera sudah sering dilakukan, maka dalam percobaan kali ini kami
memilih serat rayon sebagai bahan perbandingan. Dan hasil pencelupan zat warna
ekstraksi kulit alpukat pada kain dengan kain rayon sama baiknya dibanding dengan
kain sutera.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbandingan penggunaan NaCl
yang optimum, jenis zat pemfiksasi untuk mendapatkan warna yang baik dan
mempunyai ketahanan luntur. Selain itu dilihat dari segi ekonomis dimana harga kain
rayon yang lebih murah dibandingkan sutera dan kulit alpukat yang dapat ditemukan
dengan mudah, maka penelitian ini dapat disebut sebagai pemanfaatan limbah yang
ada di sekitar lingkungan kita.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
 Melakukan pengekstraksian terhadap kulit alpukat untuk mengetahui kandungan
yang terdapat didalamnya yang dapat digunakan sebagai pewarna tekstil alami.
 Melakukan proses pencelupan kain rayon dengan zat warna ekstrak kulit alpukat.

1.2.2 Tujuan
 Untuk mengetahui pengaruh penambahan NaCl/ elektrolit pada proses pencelupan
kain rayon dengan zat warna ekstrak kulit alpukat.
 Untuk mengetahui pengaruh proses pencelupan dengan variasi waktu celup yang
berbeda.
 Untuk mengetahui pengaruh pengerjaan iring pada hasil pencelupan kain rayon
dengan zat warna ekstrak kulit alpukat terhadap arah warna yang ditimbulkan serta
membandingkan ketahanan luntur warna, ketahanan gosok, dan ketahanan cuci
kain.
.
1.3 Hipotesa

Berdasarkan study literatur yang telah dilakukan, bahwa kulit alpukat mengandung
senyawa flavonioid dan penelitian yang relevan serta kerangka berpikir yang telah
diuraikan, maka dapat diajukan hipotesis penelitiannya, yaitu sebagai berikut:
1. Ada pengaruh konsentrasi NaCl/ elektrolit dan variasi waktu yang signifikan pada
proses pencelupan kain rayon menggunakan ekstrak warna kulit alpukat dilihat dari
ketahanan luntur warnanya terhadap pencucian 100ºC.
2. Ada pengaruh jenis mordan sebagai zat fiksasi yang signifikan pada pencelupan kain
rayon menggunakan ekstrak warna kulit alpukat dilihat dari ketahanan luntur warna
dan tahan gosok.

1.4 Rancangan Percobaan


Dalam percobaan kali ini, kami mencoba memvariasikan konsentrasi NaCl, waktu
pencelupan dan berbagai variasi proses iring dengan harapan menghasilkan kain
dengan standar tahan luntur warna yang baik.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Karakteristik Umum


2.1.1 Rayon
Rayon atau kain rayon adalah kain yang dibuat dari serat hasil
regenerasi selulosa. Serat yang dijadikan benang rayon berasal dari polimer
organik, sehingga disebut serat semisintesis karena tidak bisa digolongkan
sebagai serat sintetis atau serat alami yang sesungguhnya. Dalam industri
tekstil, kain rayon dikenal dengan nama rayon viskosa atau sutra buatan. Kain
ini biasanya terlihat berkilau dan tidak mudah kusut. Serat rayon memiliki
unsur kimia karbon, hidrogen, dan oksigen.
Penggunaan
Kain rayon digunakan secara luas dalam industri garmen untuk bahan
pakaian dan perlengkapan busana, seperti daster, jaket, jas, pakaian dalam,
syal, topi, dasi, kaus kaki, dan kain pelapis sepatu. Kain jenis ini juga dipakai
sebagai kain alas dan pelengkap perabot rumah tangga (seprai, selimut, tirai)
dan alat-alat kebutuhan industri (kain untuk perabot rumah sakit, benang
ban), serta barang kesehatan pribadi (pembalut wanita dan popok). Di
Indonesia, kain rayon merupakan bahan baku untuk industri kain dan baju
batik.
Bahan Rayon (Rayon Fabric)
Rayon adalah kain sintetis pertama yang pernah dibuat. Bahan ini
dikembangkan sebagai alternatif yang lebih murah untuk kain sutra, maka
rayon juga dijuluki sutra buatan. Saat ini rayon lebih banyak diproduksi
daripada kain sintetis lainnya.
Rayon dipatenkan pada tahun 1892 oleh ahli kimia Inggris Cross,
Bevan, dan Beadle. Tapi penamaannya dibuat oleh Kenneth Lord, Senior
yang memenangkan kompetisi untuk nama kain sutra buatan pada tahun
1924. Menurut Wikipedia, Rayon dibuat dari serat hasil regenerasi selulosa
dari bubur kayu atau bahan tanaman. Serat yang dijadikan benang rayon
berasal dari polimer organik, sehingga disebut serat semisintesis karena tidak
bisa digolongkan sebagai serat sintetis atau serat alami yang sesungguhnya.
Dalam industri tekstil, kain rayon dikenal dengan nama rayon viskosa atau
sutra buatan. Kain ini biasanya terlihat berkilau dan tidak mudah kusut. Serat
rayon memiliki unsur kimia karbon, hidrogen, dan oksigen. Asal-usul Rayon
yang natural memberikan beberapa kesamaan dengan kain yang dibuat dari
tumbuh-tumbuhan, seperti katun dan linen
Rayon adalah kain sintetis pertama yang pernah dibuat. Bahan ini
dikembangkan sebagai alternatif yang lebih murah untuk kain sutra, maka
rayon juga dijuluki sutra buatan. Saat ini rayon lebih banyak diproduksi
daripada kain sintetis lainnya.
Rayon dipatenkan pada tahun 1892 oleh ahli kimia Inggris Cross,
Bevan, dan Beadle. Tapi penamaannya dibuat oleh Kenneth Lord, Senior
yang memenangkan kompetisi untuk nama kain sutra buatan pada tahun
1924. Menurut Wikipedia, Rayon dibuat dari serat hasil regenerasi selulosa
dari bubur kayu atau bahan tanaman. Serat yang dijadikan benang rayon
berasal dari polimer organik, sehingga disebut serat semisintesis karena tidak
bisa digolongkan sebagai serat sintetis atau serat alami yang sesungguhnya.
Dalam industri tekstil, kain rayon dikenal dengan nama rayon viskosa atau
sutra buatan. Kain ini biasanya terlihat berkilau dan tidak mudah kusut. Serat
rayon memiliki unsur kimia karbon, hidrogen, dan oksigen. Asal-usul Rayon
yang natural memberikan beberapa kesamaan dengan kain yang dibuat dari
tumbuh-tumbuhan, seperti katun dan linen.
Kekuatan serat rayon viskosa dalam keadaan kering 2,6 gram/denier
dengan mulur 15% dan dalam keadaan basah 1,4 gram/denier dengan mulur
25%. Sedangkan elastisitas seratnya kurang bagus. Moisture regain serat
rayon dalam keadaan standar 12-13%. Dalam keadaan kering, rayon viskosa
merupakan isolator listrik yang baik, tetapi uap air yang diserap akan
mengurangi daya isolasinya.

Karakteristik bahan rayon


1. Permeable (Berpori)
Karena serat rayon berpori maka mudah menyerap, setiap pewarna yang
ditambahkan ke kain akan mudah ditampilkan. Rayon adalah bahan yang
sangat lembut sehingga menjadi pilihan yang lebih disukai oleh mereka yang
mencari pakaian yang nyaman. Materi yang bisa menyerap kelembaban dan
bahkan lebih efisien daripada kapas. Hal ini memungkinkan keringat
seseorang diserap oleh bahan dan menguap keluar di saat panas sehingga
pemakainya merasa lebih dingin daripada jika memakai jenis bahan lainnya.
2. Breathable (Bernapas)

Serat tipis Rayon memiliki kemampuan untuk bernapas lebih dari kain
lainnya, yang membuatnya menjadi pilihan yang baik untuk desain pakaian
olahraga dan sundresses yang diharapkan dapat memberikan kesejukan dan
kenyamanan. Ini adalah kain ringan yang tidak melekat pada tubuh,
melainkan memberi ruang nyaman yang memungkinkan udara dingin masuk
ke dalam.

3. Flowing(Mengalir)

Rayon banyak digunakan untuk kemeja, pakaian, dan bahkan seprai dan
gorden karena memiliki kualitas untuk drape flowingly and elegantly di atas
tubuh seseorang atau batang tirai. Wanita menyukai mengenakan gaun atau
rok rayon karena kain rayon tidak mengganggu dan tidak melekat pada tubuh.

4. Versatile (Serbaguna)

Bahan pakaian tidak selalu terbuat dari 100% rayon. Serat rayon sering
digabungkan dengan serat jenis lain untuk membuat kain yang disebut
Blended (lihat “Mengenal kain“). Rayon biasanya dicampur dengan kapas,
wol, sutra, poliester, dan akrilik. Ketika dikombinasikan, produk akhir akan
memiliki karakteristik berdasarkan kedua serat yang dicampur.

2.1.2 Zat Warna Alam


Menurut sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi 2
yaitu: pertama, Zat Pewarna Alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari
bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan atau hewan.
Kedua, Zat Pewarna Sintesis (ZPS) yaitu Zat warna buatan atau sintesis
dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar ter arang batu bara atau
minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik
seperti benzena, naftalena dan antrasena.1-(Isminingsih, 1978. Pengantar
Kimia Zat Warna, STTT, bandung.)
Zat warna alam adalah zat warna yang diperoleh dari alam/tumbuh-
tumbuhan. Setiap tumbuhan mengandung zat warna yang ditentukan oleh
intensitas warna yang dihasilkan oleh pigmen yang sangat bergantung pada
colouring matter (senyawa organic) yang menentukan arah warna alam dalam
setiap tumbuhan kadang terkandung lebih dari satu jenis warna.
Bagian tumbuhan yang dapat digunakan untuk pewarnaan alam adalah
:daun, bunga, batang/kulit batang, akar maupun kulitnya serta biji/buahnya.
Berdasarkan jenis colouring matternya, Zat Warna Alam dapat dibagi
menjadi 4 golongan warna:

1. Zat Warna Alam Mordan


Pewarnaan yang menggunakan zat warna ini harus melalui proses
mordan (penggabungan dengan kompleks oksidasi logam) sehingga warna
yang dihasilkan tahan dan tidak mudah larut.
Contoh : ZWA dari kulit akar pace (Morinda Citrifolia L), arah warna
merah.
2. Zat Warna Alam Direk
Zat warna ini melekat pada serat berdasarkan ikatan hydrogen,
sehingga ketahanannya rendah.
Contoh : ZWA dari kunyit (curcumin), arah warna kuning.
3. Zat Warna Alam Asam Basa
Zat warna jenis ini mempunyai gugus kombinasi asam dan basa, tepat
digunakan untuk pewarnaan tekstil berbahan serat protein seperti wool atau
sutera. Tetapi tidak bagus dan mudah luntur bila digunakan untuk
pewarnaan serat alam selulosa seperti katun atau rayon.
(https://budicakep.wordpress.com/zat-warna-alam/, 12 Mei 2015, 12:02)
Proses pembuatan larutan zat warna alam adalah proses untuk
mengambil pigmen – pigmen penimbul warna yang berada di dalam
tumbuhan baik terdapat pada daun, batang, buah, bunga, biji ataupun akar.
Proses eksplorasi pengambilan pigmen zat warna alam disebut proses
ekstraksi. Proses ektraksi ini dilakukan dengan merebus bahan dengan
pelarut air. Bagian tumbuhan yang di ekstrak adalah bagian yang
diindikasikan paling kuat/banyak memiliki pigmen warna misalnya bagian
daun, batang, akar, kulit buah, biji ataupun buahnya. Untuk proses ekplorasi
ini dibutuhkan bahan – sebagai berikut: 1). Kain katun (birkolin) dan sutera,
2)Ekstrak adalah bahan yang diambil dari bagian tanaman di sekitar kita
yang ingin kita jadikan sumber pewarna alam seperti : daun pepaya, bunga
sepatu, daun alpokat, kulit buah manggis, daun jati, kayu secang, biji
makutodewo, daun ketela pohon, daun jambu biji ataupun jenis tanaman
lainnya yang ingin kita eksplorasi 3) Bahan kimia yang digunakan adalah
tunjung (FeSO4) , tawas, natrium karbonat/soda abu (Na2CO3) , kapur tohor
(CaCO3), bahan ini dapat didapatkan di toko-toko bahan kimia.
(https://batikyogya.wordpress.com/tag/zat-warna-alam/, 12 Mei 2015, 12:09)

Syarat–syarat Zat Warna


Zat warna adalah semua zat berwarna yang mempunyai kemampuan
untuk dicelupkan pada serat tekstil dan memiliki sifat ketahanan luntur warna
(permanen). Jadi sesuatu zat dapat berlaku sebagai zat warna apabila :
- Zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat menimbulkan warna
(chromofor). Misalnya : nitro, nitroso dan sebagainya.
- Zat warna tersebut mempunyai gugus yang dapat mempunyai afinitas
terhadap serat tekstil (auxsochrom). Misalnya : amino, hidroksil adan
sebagainya.

2.2. Sifat dan Struktur Kimia


2.2.1. Alpukat

Berdasarkan sistem taksonomi, tanaman alpukat dikenal dengan nama


ilmiah Persea americana P. Mill. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliidae
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Persea
Spesies : Persea americana P. Mill
(Hardi Sunanto. 2009: 64)

Alpukat merupakan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai zat warna


alam karena kulitnya mengandung zat-zat kimia seperti saponin, alkaloida dan
flavonoida serta polifenol, quersetin dan gula alkohot persiit. Flavonoida
merupakan kelompok flavonol turunan senyawa benzena yang dapat digunakan
sebagai senyawa dasar zat warna alam. Pada percobaan ini kami akan
menganalisa daun alpukat sebagi zat warna alam atau hanya sebagai pigmen
warna saja.
 Polyfenol
Senyawa dalam tumbuhan termasuk didalamnya adalah senyawa fenol
yang mempunyai ciri cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih
hidroksi. Bersifat mudah larut dalam air karena berikatan dengan gula sebagai
glikosida.

 Flavonoid
Struktur dasar flavonoid dapat diubah sedemikian rupa sehingga terdapat
lebih banyak ikatan rangkap yang menyebabkan senyawa tersebut menyerap
cahaya tampak dan ini membuatnya berwarna. Ada tiga kelompok flavonoid
yang amat menarik perhatian dalam fisiologi tumbuhan yaitu antosianin, flavonol,
dan flavon. Antosianin adalah pigmen berwarna merah, ungu, dan biru. Warna
antosianin pertama-tama bergantung pada gugus pengganti yang terdapat
dicincin B. Kedua, antosianin sering berhubungan dengan flavon atau flavonol
yang menyebabkan warnanya mejadi lebih biru. Ketiga, antosianin berhubungan
satu sama lain, khususnya pada konsentrasi tinggi dan ini dapat menyebabkan
efek kemerahan atau kebiruan, bergantung pada antosianin dan pH vakuola
tempat mereka terhimpun. Dapat pula terglikosilasi oleh glukosa, galaktosa,
ramnosa, xilosa-glukosa,ramnosa-glukosa atau glukosa-glukosa. Atau kadang
terglikosilasi oleh glukosa. Flavonol dan flavon berhubungan dekat dengan
antosianin, tapi berbeda dalam hal struktur cincin tengah yang mengandung
oksigen. Sebagian besar flavon atau flavonol merupakan pigmen berwarna
kekuningan atau gading. (http://www.scribd.com/doc/43133531/Pembuatan-Zat-
Warna-Tekstil-Alami-dari-Ekstrak-Daun-Alpukat#scribd, 12 Mei 2015, 12:33)

2.3. Teknik Ekstraksi Zat Warna Alam


Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan suatu zat berdasarkan
perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda,
biasanya air dan yang lainnya pelarut organik.
Proses ekstraksi dapat berlangsung pada:

 Ekstraksi parfum, untuk mendapatkan komponen dari bahan yang wangi.

 Ekstraksi cair-cair atau dikenal juga dengan nama ekstraksi solven. Ekstraksi
jenis ini merupakan proses yang umum digunakan dalam skala laboratorium
maupun skala industri.
 Leaching, adalah proses pemisahan kimia yang bertujuan untuk memisahkan
suatu senyawa kimia dari matriks padatan ke dalam cairan.
Dalam melakukan proses ekstraksi atau pembuatan larutan zat warna
alam perlu disesuaikan dengan berat bahan yang hendak diproses sehingga
jumlah larutan zat warna alam yang dihasilkan dapat mencukupi untuk mencelup
bahan tekstil. Banyaknya larutan zat warna alam yang diperlukan tergantung
pada jumlah bahan tekstil yang akan diproses. Perbandingan larutan zat warna
dengan bahan tekstil yang biasa digunakan adalah 1: 30. Misalnya berat bahan
tekstil yang diproses 100 gram maka kebutuhan larutan zat warna alam adalah 3
liter.
2.4. Pencelupan dengan Zat Warna Alam
Pencelupan adalah suatu proses pemberian warna pada bahan tekstil
secara merata dan baik, sesuai dengan warna yang diinginkan. Sebelum
pencelupan dilakukan maka harus dipilih zat warna yang sesuai dengan serat.
Pencelupan dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik dengan
menggunakan alat – alat tertentu pula.
Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan
zat warna dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan tekstil
kedalam larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna kedalam serat.
Penyerapan zat warna kedalam serat merupakan suatu reaksi eksotermik dan
reaksi kesetimbangan. Beberapa zat pembantu misalnya garam, asam, alkali
atau lainnya ditambahkan kedalam larutan celup dan kemudian pencelupan
diteruskan hingga diperoleh warna yang dikehendaki.

Vickerstaf menyimpulkan bahwa dalam pencelupan terjadi tiga tahap, yaitu:


 Tahap pertama merupakan molekul zat warna dalam larutan yang selalu
bergerak, pada suhu tinggi gerakan molekul cepat. Kemudian bahan tekstil
dimasukkan kedalam larutan celup. Serat tekstil dalam larutan bersifat
negatif pada permukaannya sehingga dalam tahap ini terdapat dua
kemungkinan yakni molekul zat warna akan tertarik oleh serat atau tertolak
menjauhi serat. Oleh karena itu perlu penambahan zat – zat pembantu
untuk mendorong zat warna lebih mudah mendekati permukaan serat.
Peristiwa tahap pertama tersebut sering disebut difusi zat warna dalam
larutan.
 Tahap kedua molekul zat warna yang mempunyai tenaga cukup besar dapat
mengatasi gaya – gaya tolak dari permukaan serat, sehingga molekul zat
warna tersebut dapat terserap menempel pada permukaan serat. Peristiwa
ini disebut adsorpsi.
 Tahap ketiga yang merupakan bagian yang terpenting dalam pencelupan
adalah penetrasi atau difusi zat warna dari permukaan serat kepusat. Tahap
ketiga merupakan proses yang paling lambat sehingga dipergunakan
sebagai ukuran menentukan kecepatan celup.
(https://smk3ae.wordpress.com/2009/01/05/teori-pencelupan-serat-–-serat-
tekstil-dyeing-of-textile-fiber/ , 15 Mei 2015, 15.20)

2.4.1. Gaya-Gaya Ikat Pada Pencelupan


Agar pencelupan dan hasil celupan lebih baik dan tahan cuci, maka
gaya ikatan antara zat warna dengan serat harus lebih besar daripada gaya-
gaya yang berkerja antara zat warna dengan air. Pada dasarnya dalam
pencelupan terdapat dua jenis gaya ikatan yang menyebabkan adanya daya
serap yaitu :
 Ikatan Hidrogen : merupakan ikatan skunder yang terbentuk karena atom
hydrogen pada gugus hidoksil atau amina mengadakan ikatan yang lemah
dengan atom lainya. Contoh : zat warna direk, naftol, disperse.
 Ikatan Elektrovalen : ikatan antara zat dengan serat yang kedua merupakan
ikatan yang timbul karena gaya tarik menarik antara muatan yang
berlawanan. Contoh : zat warna asam, zat warna basa.
BAB III

PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1. Ekstraksi

Alat: Bahan:
- Panci - Kulit alpukat
- Kompor - Air
- Saringan
- Gelas ukur

3.1.2. Pencelupan

Alat: Bahan:
- Panci - Larutan ekstraksi kulit
- Kompor alpukat
- Pengaduk - Kain Rayon
- Gelas piala - NaCl/elektrolit
- Kasa
- Timbangan

3.1.3. Pengujian MC/MR

Alat: Bahan:
- Oven - Kulit alpukat
- Cawan

3.1.4. Spektrofotometer dan Ketuaan Warna

Alat: Bahan:
- Spektrofotometer - Kain rayon hasil proses

3.1.5. Pengujian Tahan Gosok

Alat: Bahan:
- Crockmeter - Kain rayon hasil proses
- Kain kapas

3.1.6. Pengujian Tahan Pencucian

Alat: Bahan:
- Minirapid - Kain rayon hasil proses
- Kain kapas
- Kain poliester
3.2. Resep

3.2.1. Pencelupan

Resep 1 2 3 4
Vlot (1:x) 1:20
Berat bahan (gram) 27,72 26,45 28,67 26,87
NaCl/Na2SO4 (g/l) 15 20 20 15
Waktu (menit) 15 30 15 30
Suhu (°C) 90°C

3.2.2. Pembangkit Warna

Tawas/ kapur/ kalium dikromat/ ferosulfat 1 g/L


Air 150 mL
Suhu 30°C
Waktu 15 menit

3.2.3. Pencucian

Sabun netral 1 g/L


Air 150 mL
Suhu
Waktu 45 menit

3.3. Perhitungan Resep


3.3.1 Proses Pencelupan
Resep 1
- Volt = 1 : 20
- Berat bahan = 27,72 gram
- Ekstrak kulit alpukat = 27,72 x 20 = 554,4 ml
- NaCl/Na2SO4 = 15/1000 x 554,4 = 8,316 gram
Resep 2
- Volt = 1 : 20
- Berat bahan = 26,45 gram
- Ekstrak kulit alpukat = 26,45 x 20 = 529 ml
- NaCl/Na2SO4 = 20/1000 x 529 =10,58 gram
Resep 3
- Volt = 1 : 20
- Berat bahan = 28,67 gram
- Ekstrak kulit alpukat = 28,67 x 20 = 573,4 ml
- NaCl/Na2SO4 = 20/1000 x 573,4 = 11,468 gram
Resep 4
- Volt = 1 : 20
- Berat bahan = 26,87 gram
- Ekstrak kulit alpukat = 26,87 x 20 = 537,4 ml
- NaCl/Na2SO4 = 15/1000 x 537,4 = 8,061 gram

3.3.2. Fungsi Zat

- NaCl = sebagai pendorong masuknya zat warna kedalam serat


- Tawas = sebagai pembangkit zat warna dari ekstrak kulit alpukat
- Ferrosulfida = sebagai pembangkit zat warna dari ekstrak kulit alpukat
- Kalium Bikromat = sebagai pembangkit zat warna dari ekstrak kulit alpukat
- Kapur = sebagai pembangkit zat warna dari ekstrak kulit alpukat

3.4. Skema Proses

3.4.1. Ekstrasi Zat Warna

Air

Kulit Alpukat
100°C

30°C

0 180 (menit)

3.4.2. Pembuatan Bubuk Zat Warna

Ekstrak kuit alpukat

100°C

30°C

0 10 20 120 (menit)
3.4.3. Pencelupan

Larutan ekatrasi kulit alpukat


NaCl

80-90°C

30°C

0 10 40 60 (menit)

3.4.4. Pembangkitan Warna

Larutan pembangkit warna


(tawas, kapur, kalium
dikromat dan ferosulfat)

kain hasil proses

30°C

0 15 (menit)
3.5. Diagram Alir

Bahan Pengujian kadar air bahan

Penimbangan bahan (500-1000 gram) Timbang bahan sekitar 3 gram

Proses ekstrasi bahan baku (vlot 1:6) Keringkan dalam oven selama 12 jam

Ektrasi 1 : 1/3 air saringan ekstrasi Timbang bahan sampai berat tetap

Satukan hasil ekstraksi dan homogenkan,


Ektrasi 2 : 1/3 air saringan ekstrasi
kemudian saring

Ektrasi 3 : 1/3 air saringan ekstrasi

Filtrat 1: Digunakan dalam proses pencelupan Filtrat 2: Digunakan dalam proses pembuatan bubuk
zat warna

Evaluasi hasil pencelupan:

- Uji ketahanan cuci


- Uji ketahanan gosok
- Uji spektro dan ketuaan warna

3.6. Prosedur

3.6.1. Ekstrasi Kulit Alpukat

 Menimbang kulit alpukat yang sudah di jemur sebanyak 500-1000 gram, kemudian
dipotong menjadi bagian yang lebih kecil
 Masukkan kedalam panci berisi air sebanyak 3 liter, kemudian didihkan
 Larutan ekstrak kulit alpukat dididihkan sampai air yang tersisa tinggal 1/3
 Memisahkan antara filtrat dan endapan dengan menggunakan saringan
 Melarutkan kembali sisa endapan dengan air 3 liter dan didihkan sampai air tersisa
1/3 liternya, kemudian pisahkan kembali dengan cara penyaringan, lakukan kembali
langkah ini sampai hasil ekstrasi sebanyak 3 liter.
 Menghomogenkan filtrat yang pertama sampai ketiga, lalu simpan dalam lemari
pendingin.

3.6.2. Perhitungan MR

 Bersihkan cawan, kemudian keringkan didalam oven dengan suhu 100°C, lalu
timbang
 Timbang cawan dengan kulit alpukat, lalu keringkan dalam oven dengan suhu 100°C
selama 12 jam
 Keluarkan cawan dari oven dan timbang sampai didapatkan berat tetap, kemudian
hitung Moisture Regain bahan dengan rumus:
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙 − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙

3.6.3. Pencelupan dan Pengerjaan Iring


 Bahan kain rayon yang telah melalui proses pre-treatment dan telah dicelup dengan
ekstrak kulit alpukat.
 Proses pencelupan dilakukan den an menggunakan metoda perendaman (exhaust)
dengan suhu proses 90°C dengan menggunakan waktu dan penambahan garam
sesuai dengan resep.
 Setelah bahan terwarnai, maka pengerjaan dilanjutkan dengan proses pencucian
untuk menghilangkan zat warna yang tidak terfiksasi secara sempurna.
 Kemudian kain yang sudah bersih dibagi menjadi lima bagian untuk dilakukan poses
pengerjaan iring.
 Pada proses iring, kain direndam dalam larutan selama 15 menit. Kemudian kain
dicuci dengan menggunakan air yang mengalir.

3.6.4. Pembuatan Zat Warna Bubuk


 Larutan hasil ekstrasi diambil sebanyak 200mL untuk pembuatan zat warna bubuk.
 Larutan dipanaskan dengan piala gelas sampai air larutan ada 1/3 baiannya
 Larutan dipindahkan ke dalam cawan yang sudah diketahui beratnya.
 Panaskan kembali sampai larutan berubah menjadi caramel
 Kemudian cawan dikeringkan di dalam oven sampai kering
 Kemudian timbang cawan dan bubuk zat warna yang sudah kering.
3.6.5. Pengujian-pengujian
1. Uji Ketuaan Warna
Bahan diuji dengan spektrofotometer.
2. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan
 Alat yang digunakan adalah Crock Meter
 Kain dipotong dengan ukuran 5 x 20 cm, dipotong diagonal sebanyak 2 buah tiap
kain ( basah 1 buah, kering 1 buah)
 Kemudian kain yang sudah dipotong dijepit pada alat Crockmeterkearah
gosokan, dan digosok sebanyak 10 putaran dengan kecepatan 1 putaran per-
detik. Hasil uji kain penggosok dinilai dengan Staining scale dan kain contoh uji
dinilai dengan gray scale.
3. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian
 Kain yang telah dicelup, dipotong dengan ukuran 5x10 cm, lalu contoh uji
tersebut digabungkan dengan 1 helai kain pelapis poliester dan 1 helai kain
pelapis kapas dengan ukuran yang sama dengan contoh uji. Penggabungan
dilakukan dengan manjahit salah satu sisi.
 Contoh uji dicuci dalam larutan pencucian sabun selama 45 menit pada suhu
40oC.
 Perubahan warna pada contoh uji, dinilai dengan gray scaledan dengan alat uji
staining scale untuk penodaan kain poliester dan kapas.
BAB IV

HASIL dan DISKUSI

4.1 Kandungan Air Bahan

Berat awal cawan = 63,35014


Berat cawan + alpukat = 66,08576
Berat akhir = 64,50605
berat awal−berat akhir
MR = x 100 %
berat awal
66,08576−64,50605
= x 100 %
66,08576
= 2,39039 %

Berat Zat Warna Bubuk


Berat awal cawan = 64,02484 gram
Berat akhir = 66,41175 gram
Berat zat warna bubuk = Berat cawan akhir – berat cawan awal
= 66,41175 - 64,02484
= 2,38691 gram

Maka banyak endapan atau serbuk zat warna sabut kelapa yang diperoleh adalah
sebanyak 2,38691 gram.

Sampel Zat Warna Bubuk Sabut Kelapa


4.2 Hasil Pencelupan

4.2.1 Uji Spektrofotometri

Spektroskopi Kain Hasil Pencelupan dengan Resep 1


Panjang Kan Tanpa Kain dengan Kain dengan Kain dengan Kain dengan
Gelombang Mordan Mordan Tawas Mordan Kapur Mordan Mordan
(nm) Bikarbonat Ferrosulfat

400 0.7453 0.6789 0.6522 4.1305 2.5585

420 0.4417 0.4419 0.4059 2.6896 1.8858

440 0.4652 0.4466 0.4250 2.3074 1.6654

460 0.5166 0.4540 0.4631 2.0329 1.5622

480 0.5392 0.4333 0.4815 1.8281 1.4581

500 0.5248 0.4038 0.4901 1.7173 1.3479

520 0.4846 0.3642 0.4757 1.6540 1.2624

540 0.4176 0.3164 0.4216 1.5156 1.1976

560 0.3417 0.2725 0.3475 1.3479 1.1493

580 0.2128 0.2312 0.2775 1.0455 1.1028

600 0.2071 0.1878 0.2159 0.7846 1.0545

620 0.1624 0.1529 0.1735 0.6266 1.0049

640 0.1361 0.1315 0.1459 0.5257 0.9526

660 0.1220 0.1210 0.1284 0.4579 0.9020

680 0.1081 0.1060 0.1103 0.4016 0.8435

700 0.0977 0.0954 0.0975 0.3553 0.7817


Chart Title
0.8

0.7

0.6

0.5
Axis Title

tanpa mordan
0.4
mordan tawas
0.3 mordan kapur

0.2

0.1

0
400 420 440 460 480 500 520 540 560 580 600 620 640 660 680 700

Spektroskopi Kain Hasil Pencelupan dengan Resep 2


Panjang Kain Tanpa Kain dengan Kain dengan Kain dengan Kain dengan
Gelombang Mordan Mordan Tawas Mordan Kapur Mordan Mordan
(nm) Bikarbonat Ferrosulfat

400 1.2916 1.2952 1.2916 4.7387 2.7739

420 0.9767 1.0545 0.9774 3.7049 2.3094

440 1.0114 1.0524 1.0114 3.4316 2.2593

460 1.0531 1.0166 1.0524 3.1495 2.2338

480 1.0776 0.9526 1.0761 2.9170 2.1326

500 1.0608 0.8818 1.0401 2.8454 2.0550

520 0.9612 0.7807 0.9612 2.7766 1.9767

540 0.8056 0.6652 0.8051 2.6315 1.9320

560 0.6522 0.5625 0.6526 2.3176 1.8798

580 0.5310 0.4737 0.5313 1.7687 1.8094

600 0.4109 0.3804 0.4106 1.3015 1.7279


620 0.3200 0.3008 0.3201 1.0200 1.6353

640 0.2565 0.2452 0.2562 0.8477 1.5392

660 0.2175 0.2157 0.2173 0.7265 1.4393

680 0.1759 0.1745 0.1756 0.6322 1.3272

700 0.1445 0.1443 0.1445 0.5609 1.2207

Spektroskopi Kain Hasil Pencelupan dengan Resep 3


Panjang Kain Tanpa Kain dengan Kain dengan Kain dengan Kain dengan
Gelombang Mordan Mordan Tawas Mordan Kapur Mordan Mordan
(nm) Bikarbonat Ferrosulfat

400 1.1190 0.9117 1.0593 3.9530 2.7847

420 0.7909 0.6688 0.7717 2.6922 2.1435

440 0.8172 0.6863 0.8012 2.3868 1.9789

460 0.8562 0.6930 0.8429 2.1344 1.8980

480 0.8768 0.6636 0.8583 1.9542 1.7924

500 0.8796 0.6277 0.8680 1.8828 1.6872

520 0.8445 0.5642 0.8472 1.8353 1.5928

540 0.7251 0.4832 0.7586 1.7266 1.5347

560 0.6000 0.4054 0.6414 1.5324 1.4762

580 0.4901 0.3397 0.5316 1.1895 1.4167

600 0.3791 0.2728 0.4189 0.8840 1.3546


620 0.2922 0.2167 0.3264 0.6988 1.2827

640 0.2295 0.1786 0.2574 0.5815 1.2099

660 0.1904 0.1571 0.2114 0.5002 1.1340

680 0.1540 0.1339 0.1697 0.4360 1.0517

700 0.1287 0.1170 0.1400 0.3874 0.9730

Spektroskopi Kain Hasil Pencelupan dengan Resep 4


Panjang Kain Tanpa Kain dengan Kain dengan Kain dengan Kain dengan
Gelombang Mordan Mordan Tawas Mordan Kapur Mordan Mordan
(nm) Bikarbonat Ferrosulfat

400 0.8719 1.1944 0.9436 3.7568 2.4479

420 0.6032 0.9705 0.6972 2.6692 2.0706

440 0.6236 0.9674 0.7327 2.3634 2.0482

460 0.6569 0.9263 0.7755 2.0933 2.0363

480 0.6793 0.8605 0.8056 1.8753 1.9446

500 0.6444 0.7909 0.7822 1.7868 1.8663

520 0.5894 0.6896 0.7331 1.7186 1.8137

540 0.4807 0.5696 0.6155 1.5881 1.7701

560 0.3901 0.4693 0.4912 1.3623 1.7226

580 0.3171 0.3854 0.3856 1.0016 1.6603


600 0.2417 0.3042 0.2869 0.7155 1.5798

620 0.1895 0.2409 0.2217 0.5553 1.4914

640 0.1573 0.1982 0.1812 0.4596 1.3966

660 0.1404 0.1761 0.1587 0.3949 1.3024

680 0.1204 0.1473 0.1340 0.3447 1.1993

700 0.1053 0.1258 0.1152 0.3036 1.0962

4.2.2 Uji Ketuaan Warna

Resep 1
CIE L*a*b*
Jenis kain
L* a* b* C* h
Non mordan 72,70 10,52 7,61 12,98 35,88
Tawas 74,91 6,71 9,24 11,42 54,01
Kapur 72,72 10,11 5,56 11,54 28,83
Kalium
55,71 11,03 14,49 18,21 52,72
bikromat
Fero sulfat 56,36 1,21 8,04 8,13 81,44
90

80

70

60
non mordan
50 tawas
kapur
40
kalium bikromat
30
ferrosulfat
20

10

0
L* a* b* C* h

Resep 2
CIE L*a*b*
Jenis kain
L* a* b* C* h
Non mordan 64,57 12,31 10,82 16,39 41,32
Tawas 66,33 9,12 13,49 16,28 55,93
Kapur 64,57 12,31 10,81 16,39 41,30
Kalium
48,12 13,16 12,23 17,96 42,91
bikromat
Fero sulfat 49,38 1,88 4,52 4,89 67,39
80

70

60

50 non mordan
tawas
40
kapur
30 kalium bikromat
ferrosulfat
20

10

0
L* a* b* C* h

Resep 3
CIE L*a*b*
Jenis kain
L* a* b* C* H
Non mordan 66,02 11,96 8,27 14,54 34,67
Tawas 70,41 8,73 10,86 13,93 51,22
Kapur 65,37 11,24 6,66 13,06 30,65
Kalium
54,06 11,69 12,79 17,33 47,58
bikromat
Fero sulfat 52,80 1,61 6,64 6,84 76,39

90

80

70

60 non mordan
50 tawas

40 kapur
kalium bikromat
30
ferrosulfat
20

10

0
L* a* b* C* h
Resep 4
CIE L*a*b*
Jenis kain
L* a* b* C* H
Non mordan 70,82 10,80 10,18 14,84 43,32
Tawas 68,42 9,41 14,83 17,56 57,59
Kapur 68,38 12,54 9,79 15,91 37,99
Kalium
55,89 13,36 15,41 20,39 49,08
bikromat
Fero sulfat 50,74 1,99 4,29 4,73 65,12

80

70

60

50 non mordan
tawas
40
kapur
30 kalium bikromat
ferrosulfat
20

10

0
L* a* b* C* h

4.3 Ketahanan Luntur

4.3.1 Tahan Gosok Kering

Proses Pengerjaan Iring


Kain Sampel
k T K F n
Kalium Tawas Kapur Ferosulfat Non Mordan
Bikarbonat
Resep 1 4/5 5 4/5 3 5
Resep 2 4 4/5 4/5 2/3 4/5
Resep 3 ¾ 3/4 4 2 4
Resep 4 4/5 4/5 4/5 4/5 5

4.3.2 Tahan Gosok Basah

Proses Pengerjaan Iring


Kain Sampel k T K F n
Kalium Tawas Kapur Ferosulfat Non Mordan
Bikarbonat
Resep 1 1 2/3 3/4 1/2 3/4
Resep 2 1/2 1/2 2/3 1 2
Resep 3 2/3 3 3/4 2 2/3
Resep 4 2 2/3 4 2 4

4.3.3 Tahan Cuci

Kain tanpa proses iring Kain dengan proses iring


Kain Sampel
Kapas Poliester Kapas Poliester
Resep 1 4/5 5 4/5 5
Resep 2 4/5 5 4 5
Resep 3 4/5 5 4/5 5
Resep 4 4/5 5 4 5

4.4 Diskusi

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kulit alpukat dapat mewarnai serat rayon
dengan warna merah kecoklatan karena kulit alpukat mengandung senyawa antosianin.
Dimana antosianin dapat diekstrak dengan menggunakan air panas. Warna merah
kecoklatan dari antosianin dapat mewarnai serat rayon secara permanen.

4.4.1. Pencelupan

Dalam proses pecelupan, serat rayon direndam dalam larutan ekstraksi kulit alpukat dengan
suhu tinggi sehingga membantu proses difusi zat warna ke permukaan serat. Antosianin
yang sudah terdifusi akan terabsorpsi ke dalam serat dan diikat oleh gugus OH dan
terbentuk ikatan hidrogen antara serat dan zat warna sehingga serat akan terwarnai.
Namun, pada ikatan hidrogen ini mudah lepas pada saat proses pencucian dan suhu tinggi
karena ikatan hidrogen umumnya tidak terlalu kuat. Sehingga ketahanan lunturnya kurang
baik.

Reaksi antara serat rayon dengan flavonoid


Dari hasil pencelupan menunjukan bahwa kain rayon yang telah dicelup dengan ekstrasi
kulit alpukat dapat terwarnai secara permanen atau tidak mudah luntur. Hal ini dapat
disebabkan karena dalam proses pencelupan digunakan teknik tertentu yang disesuaikan
dengan sifat fisik dan kimia dari serat rayon.

Proses pencelupan dilakukan tanpa proses mordanting terlebih dahulu melainkan langsung
dimulai dengan proses pencelupan dengan penambahan variasi garam dan waktu yang
sesuai dengan resep. Dalam pencelupan melalui beberapa tahap yaitu, tahap difusi dimana
partikel zat warna bergerak dari larutan zat warna menuju permukaan serat yang kemudian
zat warna yang ada di permukaan akan terserap / adsorpsi kedalam serat yang selanjutnya
zat warna akan berdifusi kembali menuju inti serat. Pada proses penyerapan zat warna
dapat diatur dengan penambahan zat NaCl / elektrolit, hal ini dilakukan karena didalam
larutan serat rayon/selulosa akan lebih bermuatan negatif dengan elektrolit dapat
mengurangi kenegatifan serat sehingga zat warna dan serat akan saling tarik menarik.
Namun dengan penambahn NaCl yang terlalu banyak mengakibatkan laju difusi zat warna
kedalam serat akan terlalu cepat sehingga mengakibatkan terjadinya agregasi sehingga kain
yang dihasilkan tidak rata. Selain penambahan elektrolit waktu pencelupan waktu
pencelupan pun mempengaruhi hasil kain dengan waktu yang semakin lama maka zat
warna yang berikatan dengan serat semakin banyak. Selanjutnya proses fiksasi
berlangsung pada saat penurunan suhu, dimana zat warna akan berikatan dengan serat
secara hidrogen.

4.4.2. Proses iring

Proses iring bertujuan untuk meningkatkan tahan luntur warna pada serat rayon dengan
menambahkan logam sehingga zat warna dan serat dapat terikat dengan kuat. Pada serat
rayon yang telah dicelup dan diiring dengan bahan kimia yang berbeda-beda. Untuk kain
yang diiring dengan tawas diperoleh warna krem, dengan kalium dikromat diperoleh warna
coklat tua, dengan kapur diperoleh warna merah tua, dengan ferrosulfat diperoleh warna
abu-abu.

Iring Tawas

Proses dengan menggunakan iring tawas menghasilkan warna kain menjadi lebih
muda. Di mana, kain yang berwarna coklat menjadi warna coklat muda. Hal ini, dikarenakan
tawas tapat memberikan suasana asam pada larutan iring. Sehingga serat rayon yang
mudah rusak oleh asam mengakibatkan zat warna tidak dapat berikatan karena serat sudah
rusak oleh asam.

Iring Kapur

Proses dengan menggunakan iring kapur menghasilkan warna kain yang lebih tua
dibandingkan dengan yang tidak di proses iring, ini dapat dilihat dari data spektrofotometer
yang ada pada kain dengan tidak di proses iring ,,,, . hal ini dapat dikarenakan kapur
memberikan sifat basa sehingga serat selulosa menggelembung dan dapat terbuka dan zat
warna dapat terserap lebih banyak. Oleh karena itu warna yang dihasilkan lebih tua.

Iring Ferro Sulfat

Proses dengan menggunakan irig ferro sulfat menghasilkan warna kain menjadi
berubah. Hal ini dikarenakan ferro sulfat merupakan zat reduktor yang dapat mereduksi
gugus-gugus OH yang ada dalam flavonoid. Sehingga ion Fe2+ yang ada pada ferro sulfat
berikatan dengan senyawa flavonoid yang ada pada zat warna. Oleh karena itu, pada kain
yang sudah dicelup dan ditambah proses iring ferro sulfat berubah arah menjadi warna abu
karena akibat adanya ion ion Fe2+.

Iring Kalium Dikromat

Kalium dikromat merupakan logam yang dapat membuat ukuran zat warna menjadi
lebih besar sehingga ketahanan luntur warna menjadi lebih baik. Dilihat dari data
spektrofotometer yang didapat dengan adanya penambahan kalium bikromat menjadikan
arah warna pada kain berubah. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena adanya Cr+
yang selain dapat mengikat zat warna lebih banyak dengan selolusa.

4.4.3. Pengujian tahan luntur warna

Kain baik yang diiring maupun tidak dilakukan pengujian tahan luntur terhadap gosokan
dilakukan dengan 2 keadaan yaitu, dalam keadaan basah dan kering.

Ketahanan gosok kering pada kain dengan menggunakan penambahan elektrolit sebanyak
15 gram memperoleh nilai ketahanan luntur 3-5 sedangkan pada kain dengan
menggunakan elektrolit sebanyak 20 gram memperoleh nilai ketahanan luntur 2-4/5. Dari
data yang didapat semakin banyak penambahan elektrolit ketahanan luntur tehadap
gosokan lebih jelek dibandingkan dengan penambahan elektrolit sebanyak 15 gram. Hal ini
dikarenakan semakin banyak penambahan elektrolit mengakibatkan terjadinya agregasi
menyebabkan ukuran molekul dan afinitasnya semakin besar, sehingga pada penambahan
elektrolit yang berlebih mengakibatkan ketahanan gosoknya rendah. Pada ketahanan gosok
basah pada kain dengan resep 1-3 memiliki nilai ketahanan luntur terhadap gosok basah 1-
3/4 , sedangkan pada kain dengan resep 4 memiliki nilai 2-4. Dari data yang didapat bila
dibandingkan dengan ketahanan gosok kering memiliki nilai ketahanan luntur yang lebih
rendah. Hal ini dikarenakan ikatan kain dengan zat warna akan terkikis oleh beban pada uji
ketahanan gosok, sehingga warna kain akan luntur dan terlihat lebih muda daripada kain
kering yang juga diuji ketahanan gosoknya.

Ketahanan luntur terhadap pencucian dengan proses iring menggunakan kapur memiliki
nilai grey scale 4-5 dan yang tidak diiring memiliki nilai 4/5-5, dari data yang didapat kain
dengan menggunakan tanpa menggunakan iring zat warna hanya menempel pada
permukaan serat sehingga pada proses pencucian zat warna akan terhidrolisis dalam
larutan sabun sedangkan pada kain dengan menggunakan proses iring zat warna yang ada
didalam larutan dapat berikatan kembali dengan kain pelapis.

BAB V
KESIMPULAN dan SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai