Anda di halaman 1dari 128

Dosimetri : Pengukuran radiasi

Dosimetri radiasi berhubungan dengan berbagai metoda untuk penentuan kuantitatif


energi yang dideposit pada suatu medium secara langsung atau tidak langsung oleh
radiasi pengion.

Dosimetri akan berhubungan dengan berbagai besaran yang secara umum dapat
dibedakan ke dalam 3 kelompok:
1. Besaran berkaitan dengan sumber radiasi, aktivitas atau kekuatan sumber.
Besaran ini akan digunakan dalam dosimetri berkaitan dengan sumber
radioaktif.
2. Besaran berkaitan dengan berkas radiasi, seperti fluens dan fluens energi, untuk
menyatakan berkas primer.
3. Besaran yang mengukur efek radiasi dalam materi, seperti eksposi dan dosis.
Kedua besaran ini sangat penting dalam radioterapi.
Perhatikan bahwa ketiga besaran tersebut tidak selalu saling berhubungan secara
langsung.

Dari segi penggunaanya dalam klinik, masalah dosimetri dapat dibedakan menjadi 3
kelompok:
● Radioterapi, berkaitan dengan dosis tinggi
● Diagnostik Radiologi, berkaitan dengan dosis rendah
● Kedokteran Nuklir, dapat untuk terapi maupun diagnostik, yang berarti berkaitan
dengan dosis tinggi maupun rendah yang berasal dari sumber radioaktif terbuka.

Besaran berkaitan dengan sumber radiasi


Satuan (SI) aktivitas dinyatakan dengan Bq, yang berhubungan dengan satuan Ci (non
SI) dengan formula
1 Ci = 3.7 x 1010 Bq
1 Bq = 1partikel/sekon

Dengan memasukkan atenuasi pembungkus sumber dan hamburan udara, spesifikasi


sumber dinyatakan dalam laju kerma udara pada jarak 1 m, dengan satuan μGy h -1.

Besaran berkas radiasi


Fluens partikel (Φ) didefinisikan sebagai jumlah foton dN yang menembus tegak lurus
pada satu satuan luas suatu bidang dA. Satuan fluens adalah m-2. Perhatikan bahwa dA
daerah yang tegak lurus pada arah partikel.

Fluens energi (ψ) didefinisikan sebagai sejumlah energi yang melewati satu satuan luas.
1
Laju fluens (φ) adalah jumlah foton yang menembus satu satuan luas per satuan waktu.

Laju fluens energi (ψ) adalah jumlah energi yang melewati satu satuan luas per satuan
waktu.

Perlu diperhatikan bahwa pada umumnya berkas radiasi tidak monoenergi.

Pada kenyataannya berkas partikel umumnya polyenergi. Untuk berkas yang demikian
rumus fluens partikel dan fluens energi berubah menjadi fluens spektrum dan fluens
energi spektrum, dan dapat dinyatakan sebagai berikut.

dan

ΦE(E) dan ΨE(E) adalah notasi deferensial spektrum fluens partikel dan diferensial
spektrum fluens energi pada energi E.

Transfer energi, kerma (kinetic energy released in the medium) dan dosis
absorpsi/serap.
Transfer energi dari foton ke medium berlangsung dalam dua tahap
● berkaitan dengan interaksi radiasi dengan atom, mengakibatkan elektron bergerak
dan mempunyai energi kinetik
● berkaitan dengan transfer energi elektron kepada medium melalui ionisasi dan
eksitasi.

2
Kerma :
energi kinetik yang ditransfer dari foton ke elektron dalam elemen volume
dengan massa dm.

adalah jumlah foton yang melakukan interaksi per unit massa

adalah energi rata-rata yang ditransfer kepada elektron dalam interaksi.

Untuk berkas energi partikel yang polyenergi, kerma dapat ditulis sebagai berikut.

Satuan kerma adalah joule/kg yang juga disebut Gy. Kerma perlu untuk dosimetri dapat
dihitung namun tidak dapat diukur.

CEMA
Cema (C) adalah singkatan dari converted energy per unit mass , yang dipakai untuk
radiasi pengion langsung seperti elektron dan proton. Cema merupakan hasil bagi dEC
oleh dm, dengan dEC adalah energi yang dihilangkan oleh partikel bermuatan, tidak
termasuk elektron sekunder, yang bertumbukan dalam medium dengan massa dm

3
Unit cema adalah J/kg atau Gy.

Dosis absorpsi (D)


Energi ditransfer dari foton ke elektron, tetapi tidak seluruhnya diberikan kepada
medium, sebagian keluar dari medium lagi, dipancarkan sebagai bremstrahlung. Dosis
absorpsi adalah energi yang diberikan kepada medium, digunakan untuk ionisasi dan
eksitasi sepanjang lintasan elektron. Karena lintasan elektron cukup panjang, maka
kerma dan dosis absorpsi tidak terjadi pada tempat yang sama.

dm diambil kecil sehingga dosis absorpsi dapat didefinisikan energi yang diserap pada
titik.
Satuan dosis absorpsi adalah Gy (Gray) untuk SI dan rad untuk non SI

1 Gy = 1 J/kg (SI)
1 rad = 100 erg/g
1 Gy = 100 rad

Perlu diperhatikan perbedaan antara kerma dan dosis absorpsi. Sebagai contoh,
seandainya photon 10 MeV berinteraksi dengan carbon. Energi rata-rata yang ditransfer

( ) 7.3 MeV. Sebagian energi tersebut 0.24 MeV dipancarkan kembali sebagai
bremstrahlung, dan 7.06 MeV akan diserap medium sepanjang lintasannya. Panjang
lintasan elektron 7.3 MeV dalam carbon sekitar 4.2 gm/cm2 atau sekitar 1.9 cm, dan
menyebabkan terjadi ionisasi sekitar 2x105. Energi untuk ionisasi ini yang merupakan
dosis absorbsi. Pada suatu tempat dalam medium, satu atom berinteraksi dengan radiasi
dan terionisasi, dan sepanjang lintasan elektron akan terjadi interaksi berantai yang
menghasilkan ionisasi 2x105 atom.

Kerma total dapat dibagi menjadi dua komponen, kerma tumbukan Kcol dan Krad. Yang
dimaksud dengan Kcol adalah bagian kerma yang menghasilkan elektron dan
memberikan energinya untuk ionisasi sepanjang lintasan elektron dalam medium.
Dengan demikian Kcol adalah energi yang ditransfer kepada banyak partikel per satuan
massa pada suatu titik tertentu, dengan tidak memasukkan energi hilang akibat
bremstrahlung dan energi yang dihasilkan dari satu partikel bermuatan berubah menjadi
partikel lain (anihilasi elektron – positron). Sedangkan Krad adalah bagian kerma yang
dipakai untuk produksi bremstrahlung.

K = Kcol + Krad
Kcol = K (1-g)

Untuk berkas dengan monoenergi:

4
Kcol = ψ ( )
Untuk berkas polienergi, nilai Kcol dapat diperoleh dengan menghitung rata-rata nilai

dan menyatakan ψ dengan integrasi dalam daerah spektrum energinya.

Perhatikan bahwa

dan

Hubungan kerma antara dua material yang berbeda dapat dinyatakan sebagai berikut :

Persamaan di atas sering digunakan pada suatu kondisi dengan rasio fluens ψ2,1
dianggap sama dengan satu, untuk material yang mendekati sama (densitas elektronnya)
atau situasi bila massa material 2 cukup untuk membentuk daerah buildup dan sekaligus
cukup kecil sehingga tidak mengganggu fluens foton dalam material 1 (sebagai contoh
dosis pada massa jaringan yang kecil dalam udara)

Fluens dan dosis (elektron)

Elektron sekunder diserap dalam medium pada suatu titik (yang terjadi keseimbangan
partikel bermuatan), sehingga dosis absorpsi Dmed berhubungan dengan fluens
elektron Φmed mengikuti formula berikut:

(Scol/ρ) adalah daya henti tidak terbatas medium pada energi elektron.

Karena elektron dalam medium energinya menurun, meskipun untuk elektron


monoenergi dengan energi kinetik mula-mula EK selalu ada spektrum fluens primer
dengan energi dari EK sampai dengan nol, yang biasa dinyatakan sebagai Φmed.E,
sehingga dosis absorpsi dinyatakan dengan integrasi sebagai berikut:

5
Bila elektron melewati dua medium, med1 dan med2, rasio dosis absorpsi dapat
dikalkulasi sebagai berikut:

Keseimbangan elektronik
Transfer energi (kerma) foton tidak terjadi pada tempat yang sama dengan absorpsi
energi oleh medium (dosis absorpsi). Ini disebabkan karena jangkauan elektron yang
tertentu dan tidak sama dengan nol. Secara skematis hubungan antara kerma dengan
dosis absorpsi dapat diilustrasikan sebagai berikut

Pada kenyataannya, sangat sulit terjadi keseimbangan elektronik setelah kedalaman


maksimum. Secara umum hubungan dosis dan kerma dapat dinyatakan sebagai berikut
:

D = β Kcol

Bila foton radiatif di luar sistem atau volume yang diamati, diasumsikan harga β ≈
1.

Harga β < 1 terjadi pada daerah buildup. Setelah daerah buildup, bila dianggap tidak
ada atenuasi ataupun hamburan, maka akan terjadi keseimbangan muatan elektronik
6
(CPE, charged particel equilibrium), berarti D = Kcol, yang ditunjukkan oleh kurva dosis
dan kerma berimpit (Gb.a).

Pada kenyataannya, akan terjadi atenuasi foton maupun hamburan, sehingga setelah
melampaui daerah buildup, akan terjadi daerah keseimbangan transien (TCPE, transient
charged particle equilibrium), hubungan antara kerma dengan dosis konstan, mengingat
untuk berkas foton energi tinggi, jangkauan elektron yang dihasilkannya tidak berubah
dengan kenaikan kedalaman.

Bila terjadi keseimbangan yang sebenarnya, yang berarti terjadi pada kedalaman
maksimum, hubungan antara kerma dan dosis absorpsi menjadi sebagai berikut

g adalah fraksi energi yang diubah menjadi bremstrahlung. Nilai g tergantung pada
energi kinetik elektron dan juga nomer atom material (Z). Nilai g meningkat dengan
kenaikan harga Z. Untuk elektron yang dihasilkan oleh radiasi gamma 60Co dalam
udara, nilai g sekitar 0.0032.

Kerma tumbukan dan eksposi


Energi rata-rata (W) yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu pasangan muatan dalam
gas bersifat konstan (dalam tekanan yang bervariasi dan berbagai energi elektron).

W = 33.97 eV/pasangan = 33.97 J/C (dalam udara)

Eksposi atau paparan (X) didefinisikan sebagai jumlah muatan dQ yang terbentuk
dalam udara dengan massa dm

Satuan eksposi mengikuti SI adalah C/kg


Jumlah muatan yang dihasilkan per unit massa atau eksposi dalam udara dapat juga
ditulis sebagai berikut :

Hubungan antara kerma total dengan eksposi (bila terjadi keseimbangan) menjadi:

1 unit X = 1 C/kg
7
Satuan eksposi non SI adalah R (Roentgen), 1 R = 2.58 x 10-4 C/kg.

Eksposi dan dosis

Satuan SI adalah C/kg

1 unit X = 1 C/kg =

= 34 Gy dalam udara.

Satuan non SI
1 R = 1ses/cm3

= 87.7 erg/gram udara


= 8.77 x 10-3 J/kg udara

1 unit X = 3881

atau 1R = 2.58 x 10-4 C/kg

Hubungan antara eksposi dan dosis, bila berkas foton monoenergi.

Ruang/kaviti Bragg-Gray
Untuk mengukur langsung dosis absorpsi yang didasarkan pada pengukuran ionisasi
dalam udara perlu ditambah dengan berbagai perhitungan yang menyangkut beberapa
faktor koreksi yang diturunkan dari teori kaviti Bragg-Gray. Kondisi untuk aplikasi
teori kaviti Bragg-Gray harus memenuhi persyaratan berikut:
8
a. Kaviti harus kecil dibandingkan dengan jamgkauan elektron yang datang,
sehingga kehadirannya tidak mengganggu fluens elektron dalam medium.
b. Dosis absorpsi dalam kaviti diberikan hanya oleh elektron yang menembusnya
(interaksi foton dalam kaviti dianggap kecil dan diabaikan)

Kondisi (a) akan terpenuhi pada daerah CPE (charge particel equilibrium) atau TCPE
(trancient CPE). Perlu diperhatikan bahwa dengan adanya kaviti selalu akan
mengakibatkan perturbasi fluens foton, yang dalam perhitungan hasil pengukuran
membutuhkan suatu faktor koreksi perturbasi.

Kondisi (b) menunjukkan bahwa elektron yang memberikan dosis dalam kaviti
diproduksi dari luar kaviti yang seluruhnya melewati kaviti. Tidak ada elektron
sekunder yang diproduksi dalam kaviti dan tidak ada elektron yang berhenti dalam
kaviti.

Laju energi elektron yang hilang per satuan lintasan dinyatakan sebagai daya henti (

). Selanjutnya daya henti massa ( ) akan sama dengan daya henti linear dibagi
oleh kerapatan massa medium. Satuan daya henti linear dan massa biasanya dinyatakan
dengan MeV/cm dan MeV cm2/gm.

Dengan kondisi yang mengikuti teori Bragg-Gray, hubungan dosis dalam medium
dengan dalam kaviti menjadi sebagai berikut:

9
adalah rasio daya henti massa tak terbatas (unrestricted) rata-rata medium
dengan gas. Penggunaan daya henti massa tak terbatas dimaksudkan tidak memasukkan
produksi partikel bermuatan sekunder (atau eletron delta) dalam kaviti dan medium.

Persamaan tersebut diturunkan dari asumsi fluens elektron dalam medium sama dengan
dalam kaviti.
DM = Φ E (μen/ρ)M dan dengan menggunakan fluens elektron dapat pula ditulis sebagai

Sedangkan dosis dalam kaviti dapat ditulis

dengan T adalah energi kinetik elektron. Dari kedua persamaan dapat diperoleh
persamaan berikut:

Perhatikan

Sebetulnya nilai Q lebih besar dari Q′ yang dikoleksi oleh bilik ionisasi, karena adanya
rekombinasi memerlukan koreksi. Perlu diperhatikan bahwa teori Bragg-Gray dapat
digunakan pada zat padat maupun zat cair diisi ”caviti ” gas.

Pertimbangan aplikasi teori kaviti dalam penggunaan bilik ionisasi dan protokol
dosimetri

10
Dinding bilik berfungsi sebagai daerah buildup, ketebalan dinding bilik beserta tudung
harus melebihi jangkauan elektron sekunder dalam material dinding agar menjamin
elektron yang masuk dalam kaviti diproduksi oleh dinding bilik bukan oleh medium.
Dinding bilik tebal yang demikian biasanya dipakai untuk kalibrasi berdasarkan kerma
udara. Bila bilik ionisasi digunakan dalam fantom dan tidak menggunakan tudung,
mengingat ketebalan dinding bilik jauh lebih tipis dibanding dengan jangkauan elektron
sekunder, maka proporsi dosis kaviti yang diakibatkan oleh fantom jauh lebih besar dari
yang dihasilkan oleh dinding, sehingga medium fantom bertindak sebagai medium dan
dinding bilik ionisasi diperlakukan sebagai perturbasi.

Dalam penggunaan bilik ionisasi tebal, teori Bragg-Gray dapat dipakai untuk
memperoleh hubungan antara dosis dalam kaviti dan dalam medium. Dosis dalam
medium dapat dihubungkan dengan dosis dalam dinding dengan menggunakan rasio

koefesien absorpsi massa medium dengan dinding dengan asumsi

a) dosis absorpsi sama dengan kerma tumbukan


b) fluens foton tidak terganggu dengan kehadiran bilik ionisasi

Dosis absorpsi dalam gas dapat dihubungkan dengan produksi ionisasi dalam gas
dengan persamaan berikut:

Q dinyatakan dalam coulomb dan mgas dalam kg. Pada umumnya gas yang digunakan
udara dengan densitas ρudara = 1.293 kg/m3 pada kondisi STP (00 C, 101.3 Pa atau 1 atm,
760 mm Hg).

Hubungan dosis dalam medium dengan dalam kaviti menurut Spencer-Attix mengikuti
persamaan berikut:

11
smed,cav adalah rasio daya henti massa terbatas rata-rata dalam medium dengan dalam
kaviti (gas) dengan memperhitungkan fluens elektron dalam medium tidak sama
dengan dalam kaviti .

Teori kaviti Spencer –Attix dapat digunakan untuk kalkulasi dosis dalam medium:

Dengan menggunakan persamaan di atas pada kedalaman maksimum D = K (1 – g)],


nilai kerma udara dalam udara dapat ditentukan.

Bila pengukuran dilakukan dengan bilik ionisasi tipis dalam berkas foton atau elektron
energi tinggi, dinding, kaviti dan anoda sentral diperlakukan sebagai perturbasi pada
fluens foton, dan persamaan berkaitan dengan rasio daya henti tumbukan massa dalam
medium dan dalam gas.

pfl adalah faktor koreksi perturbasi fluens


pdis adalah faktor koreksi penggantian titik pengukuran
pdind adalah faktor koreksi dinding
pcel adalah faktor koreksi elektroda sentral

Kaviti besar dalam berkas foton


Yang dimaksud kaviti besar adalah rongga dengan ukuran sedemikian sehingga
kontribusi dosis yang dibuat oleh elektron dalam kaviti yang berasal dari interaksi foton
di luar kaviti dapat diabaikan bila dibanding dengan kontribusi elektron yang dihasilkan
oleh interaksi foton dalam kaviti.

Untuk kaviti besar, rasio dosis kaviti terhadap medium dikalkulasi sebagai rasio kerma
tumbukan (collision) dalam kaviti terhadap medium. Oleh karenanya rasio tersebut
sama dengan rasio koefesien energi absorpsi massa gas dalam kaviti terhadap koefesien
dalam medium.

12
Interaksi elektron dengan materi
Elektron kehilangan energi kinetik pada saat melewati medium, melalui interaksi antara
muatan dengan medan listrik elektron medium. Dalam interaksi antara elektron dengan
elektron medium, karena keduanya mempunyai massa diam sama, maka transfer energi
kinetik menjadi relatif besar dan diiringi dengan perubahan arah gerakan elektron asal.
Diandaikan pada setiap tumbukan elektron pembawa energi kinetik yang lebih tinggi
adalah elektron asal, sehingga pertukaran energi maksimum bila transfer energi
setengah dari energi kinetik elektron asal. Selain itu, elektron juga mempunyai
kemungkinan berinteraksi dengan medan inti, mengalami perlambatan cepat sehingga
mengalami pembelokan lintasan yang diiringi oleh pancaran bremstrahlung.

Secara skematis interaksi dapat digambarkan sebagai berikut:

● Untuk b>>> a elektron akan mengalami tumbukan lunakdengan seluruh atom, dan
hanya sedikit energi yang ditransfer dari elektron datang ke elektron orbital atom
● Untuk b = a elektron akan mengalami tumbukan keras dengan elektron orbital dan
fraksi energi kinetik elektron datang yang ditransfer ke elektron orbital tinggi.
● Untuk b<<<a elektron datang mengalami interaksi dengan medan inti. Elektron
mengalami pembelokan yang disertai pancaran bremstrahlung dengan energi mulai
dari nol sampai dengan energi elektron datang. Energi bremstrahlung tergantung
pada harga parameter impak b. Penurunan harga b akan mengakibatkan energi
bremstrahlung meningkat.

Interaksi elektron dengan elektron orbital sebagai akibat interaksi Coulomb akan
menghasilkan ionisasi dan eksitasi. Kehilangan energi akibat interaksi demikian dikenal
sebagai daya henti tumbukan.

Di lain pihak interaksi elektron akibat interaksi Coulomb antara elektron dengan inti
yang menghasilkan bremstrahlung berkaitan dengan daya henti radiatif. Produksi
bremstrahlung (P) mengikuti persamaan Larmor:

13
Distribusi angular bremstrahlung yang dipancarkan sebanding dengan sin 2/(1 –
βcos)5, dengan  adalah sudut antara percepatan partikel bermuatan dengan unit vektor
yang menghubungkan muatan dengan titik observasi, dan β adalah v/c. Pancaran
bremstrahlung dengan intensitas maksimum terjadi pada saat harga  mengikuti
persamaan berikut.

untuk memberikan max= π/2 dan untuk memberikan max= 0,


menunjukkan bahwa dalam radiologi diagnostik sebagian besar sinar x mempunyai arah
900 terhadap elektron datang, sedangkan untuk jangkauan megavolt hampir seluruh
foton dipancarkan searah dengan berkas elektron datang. Selain itu kehilangan energi
akibat radiatif dan hasil radiasi g sebanding dengan nomer atom material penyerap Z.

Daya henti
Jumlah energi kinetik partikel bermuatan yang hilang per satuan jarak lintasan dalam
medium disebut daya henti. Daya henti massa pada umumnya dinyatakan dengan notasi
S, dan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.

Untuk kalkulasi jangkauan elektron digunakan (S/ρ)tot yang mengikuti persamaan


berikut:

EKi adalah energi kinetik awal elektron.

Kedua (S/ρ)rad dan (S/ρ)tot dipakai untuk kalkulasi hasil pancaran radiasi atau efesiensi
bremstrahlung.

Interaksi elektron dengan elektron, diandaikan elektron asal akan selalu memiliki energi
relatif lebih besar. Interaksi terjadi antara dua partikel dengan massa sama, kehilangan
energi besar dan perubahan arah elektron besar. Kehilangan energi maksimum sama
dengan ½ energi elektron datang.

14
Kehilangan energi akibat ionisasi (daya henti massa) mengikuti teori relativitas dan
mekanika kuantum, dan khusus untuk partikel berat bermuatan dinyatakan dengan
persamaan berikut:

re adalah radius elektron klasik (2.82 fm), β = v/c, z adalah muatan proyektil dalam unit
muatan elektron, I adalah potensial eksitasi rata-rata medium, dan C/Z adalah koreksi
model kulit. Untuk unsur nilai rata-rata I= 11.5Z, dan untuk senyawa dikalkulasi dengan
mengandaikan penjumlahan daya henti tumbukan, dengan memasukkan berat tiap atom
dalam senyawa.

Nilai C/Z sebagai fungsi medium dan kecepatan partikel bermuatan yang bergerak
cepat. Koreksi ini memasukkan penurunan daya henti massa ketika partikel yang telah
habis kecepatannya lebih banyak dibanding dengan elektron atom dalam medium
penghenti.

Dari persamaan di atas, dapat diperoleh beberapa informasi sebagai berikut:


● Daya henti tidak tergantung pada massa proyektil dan berbanding terbalik dengan
kuadrat kecepatan proyektil. Perhatikan bahwa 2mev2 di bawah tanda logaritma tidak
mempunyai hubungan dengan energi kinetik partikel yang berkaitan dalam proses
tumbukan.
● Daya henti massa secara perlahan mendatar ke nilai minimum untuk energi kinetik
EK ≈ 3 mec2
● Faktor Z/A berpengaruh pada penurunan sekitar 20% dari daya henti massa unsur C
ke unsur Pb. Nilai –ln I mengakibatkan tambahan pengaruh penurunan daya henti
massa oleh kenaikan Z.
● Dalam suatu medium nilai z2 menunjukkan bahwa partikel berat dengan muatan 2
kali akan mengalami daya henti 4 kali

Daya henti massa untuk elektron dan positron mengikuti ICRU Report No. 37 sebagai
berikut:

dengan F- diberikan untuk elektron dan mempunyai harga berikut

F-(τ) = (1 – β2)[1+ τ2/8 – (2 τ+1) ln2]

dan untuk positron F+ mengikuti persamaan berikut:

F+(τ) = 2 ln2 – (β2/12)[23 + 14/(τ + 2) + 10/(τ + 2)2 + 4/(τ + 2)3]


15
Nilai τ = EK/mec2 dan β = v/c

Dari persamaan di atas dapat diperoleh informasi berikut:


● Untuk Erendah (10 – 100 keV), bentuk dalam persamaan yang penting adalah di luar

kurung yang berkaitan dengan . Dapat dilihat bahwa daya henti berbanding
terbalik dengan energi kinetik.
● Untuk energi elektron E>100 keV, nilai β mendekati 1, nilai di luar kurung
mendekati konstan.
● Bentuk dalam kurung naik pelan dengan kenaikan energi, dan Scol/ρ melewati nilai
minimum pada E sekitar 1 MeV.
● Scol/ρ menurun dengan kenaikan Z karena pengaruh nilai Z/A. Pada Pb elektron
banyak terikat sehingga kemungkinan terjadi ionisasi relatif rendah.
● Faktor I ikut berpengaruh dalam menurunkan daya henti massa dengan kenaikan Z.

Efek koreksi densitas δ memasukkan gaya Coulomb efektif pada partikel bermuatan
yang bergerak berasal dari atom yang jauh dari lintasan berkurang diakibatkan oleh
polarisasi medium yang diinduksi oleh partikel bermuatan. Efek densitas berpengaruh
pada komponen tumbukan lemah, dan signifikan untuk kalkulasi rasio daya henti massa
antara medium densitas tinggi dengan medium densitas rendah (seperti air dan udara).

Elektron mempunyai kemungkinan berinteraksi dengan medan inti dan menghasilkan


bremstrahlung. Untuk energi E <100 MeV kehilangan energi yang diubah menjadi
bremstrahlung mengikuti persamaan berikut:

σ = 5.8 x 10-28 cm2/atom dan adalah fungsi Z dan EK yang bervariasi dari 5.33 sampai
15 untuk rentang energi 0.5 MeV sampai 100 MeV.

Srad/ρ meningkat dengan kenaikan Z dan naik pelan dengan kenaikan energi elektron.
Pengaruh Z2 pada daya henti massa radiatif tinggi terutama pada material dengan Z
tinggi.

16
Daya henti terfokus pada energi elektron hilang pada saat bergerak dalam medium.
Sedangkan energi yang diabsorp medium dinyatakan sebagai LET (linear energy
transfer), yang merupakan energi rata-rata yang diberikan pada medium secara lokal
oleh partikel bermuatan dengan energi tertentu dalam menempuh suatu lintasan dalam
medium. LET dikenal juga sebagai restricted stopping power. Fokus perhatian adalah
pada cara energi dideposit sepanjang lintasan dalam medium. Sebagai contoh,
dimungkinkan suatu elektron dalam proses kehilangan energinya mengalami tumbukan
hebat dengan elektron lain yang mengakibatkan elektron terpental dan membentuk
lintasan sendiri (delta rays). Energi yang dibawa elektron termasuk dalam daya henti
elektron, tetapi tidak dalam restricted stopping power atau LET.

Nilai LET dihitung menggunakan formula berikut, dengan ∆


menyatakan energi cut off, yakni hanya energi kurang dari ∆
yang diperhitungkan.

Dalam LET, batasan energi tertentu dinyatakan sebagai energy cut off diberikan sebagai
subscript, misalnya LET100 yang berarti LET yang diperoleh bila lintasan akibat
elektron sekunder dengan energi 100 eV atau lebih dihitung sebagai lintasan yang
berbeda. Parameter yang paling sederhana adalah L∞ yang didefinisikan sebagai energi
hilang per unit jarak suatu partikel bermuatan yang dihasilkan oleh gelombang
elektromagnet atau neutron, ataupun partikel bermuatan berasal dari sumber radiasi.
Nilai L∞ sama dengan daya henti.

17
Perhatikan LΔ (restricted linear collision stopping power) suatu material adalah energi
hilang oleh partikel bermuatan akibat tumbukan lunak dan keras pada melewati lintasan
dl dikurangi energi kinetik total partikel bermuatan yang terbebas dengan energi lebih
dari Δ.

LΔ = dEΔ/dl

Restricted stopping power lebih rendah dari unrestricted stopping power . Pemilihan
energi ambang (Δ) tergantung pada masalah yang ada (sesuai dengan kondisi). Untuk
masalah berkaitan dengan bilik ionisasi umumnya digunakan energi ambang 10 keV
(jangkauan elektron 10 keV dalam udara sekitar 2 mm). Untuk microdosimeter dapat
dipilih energi ambang 100 eV.

Sebagai contoh elektron dengan energi 20 MeV dalam medium


air. Laju kehilangan energi akibat ionisasi 2.063 keV/cm. Kalau
dilihat hanya perubahan energi kurang dari ∆ = 0.0001 MeV atau
100 eV, nilai LET jauh lebih rendah, yang hanya 1.042 MeV/cm.
Perhatikan grafik LET elektron sebagai fungsi kedalaman. Pada
akhir lintasan nilai LET sangat tinggi, dan puncak tersebut
dikenal sebagai puncak Bragg.

18
Bila ambang energi transfer maksimum dalam restricted stopping power
meningkat, maka restricted stopping power massa cenderung mendekati
unrestricted stopping power massa untuk Δ→ EK/2. Transfer energi elektron pada
elektron sekunder dibatasi mencapai EK/2, maka restricted dan unrestricted stopping
power identik untuk energi lebih rendah atau sama dengan 2Δ.

19
Kalibrasi berkas foton dan elektron

Pendahuluan
Dosimetri dalam radioterapi dapat dibagi menjadi 2:
● Dosimetri relatif, dosis diukur pada titik interes dengan berbagai kondisi
irradiasi tertentu dibandingkan dengan dosis pada titik acuan dengan kondisi
acuan.
● Dosimetri absolut, dosis pada titik acuan ditetapkan. Penetapan dosis absolut
demikian disebut kalibrasi.

Sebetulnya kalibrasi dapat digunakan untuk dua arti, untuk penentuan dan sertifikasi
faktor kalibrasi suatu bilik ionisasi oleh National Standard Laboratory (NSL), dan
penetapan dosis absolut pada suatu titik dalam berkas radiasi dengan menggunakan
bilik ionisasi terkalibrasi.

Mengingat dosimetri relatif hanya menetapkan rasio dosis pada titik interes dengan
dosis pada titik acuan, maka dosimetri relatif tidak terlalu kompleks seperti pada
dosimetri absolut. Dalam kalibrasi yang menetapkan dosis pada suatu titik interes, suatu
protokol yang ketat harus diikuti untuk semua berkas radiasi. Suatu protokol
menetapkan suatu standar yang menjamin semua pusat terapi yang menggunakan
protokol sama mengikuti berbagai prosedur dan menggunakan kumpulan data yng sama
pula dalam kalibrasi. Sayangnya tersedia beberapa protokol kalibrasi, pusat terapi
dalam negara berbeda mengikuti protokol yang berbeda pula. Sebagai contoh, protokol
dosimetri dikeluarkan oleh organisasi profesi, seperti American Association of
Physicists in Medicine (AAPM), Institution of Physics and Engineering in Medicine
and Biology (IPEMB), Deutsches Institute für Normung (DIN), Nederlandse
Commissie voor Stralingsdosimetrie (NCS), Nordic Association of Clinical Physics
(NACP), atau International Atomic Energy Agency (IAEA).

Kalibrasi dalam radioterapi pada umumnya menggunakan bilik ionisasi. Seperti


pengukuran besaran fisika yang lain, untuk menjamin ketelitian dan konsistensi,
menurut IAEA sistem pengukuran internasional untuk metrologi radiasi memiliki
jaringan dengan skema seperti di bawah ini.

20
Di Indonesia, pengguna (users) adalah instalasi radioterapi. Kita beruntung karena
BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) telah memiliki SSDL (Secondary Standard
Dosimetry Laboratory) yang langsung diawasi oleh IAEA, sehingga kalibrasi dosimeter
secara regular dapat dilakukan dengan mudah. Bagi negara yang belum memiliki SSDL,
terpaksa untuk kalibrasi dosimeter harus mengirimkannya ke luar negeri SSDL negara
lain. Sedangkan SSDL akan melakukan kalibrasi pada PSDL (Primary Standard
Dosimetry Laboratory) ataupun SSDL milik IAEA, yang selanjutnya mengacu pada
BIPM (Bureau International des Poids et Mesures di Sevres, Perancis [1].

Untuk menentukan dosis absopsi absolut dalam air dapat dilakukan dengan 3 metoda:
kalorimetri, dosimetri kimia, dan dosimetri ionisasi. Hampir semua PSDL (Primary
Standard Dosimetry Laboratory) umumnya dosis radiasi absolut standard dalam air
diukur dengan menggunakan berkas radiasi gamma Co 60, dan beberapa PSDL juga
menggunakan berkas radiasi lain seperti foton energi tinggi, elektron, dan sinar X
kilovolt. Untuk sinar X kilovolt pengukuran dosis absolut standard sejauh ini hanya
menggunakan bilik ionisasi. Sedangkan untuk radiasi Co 60 atau berkas foton dan
elektron energi tinggi yang diproduksi linac pengukuran dosis absolut standard primer
dapat dilakukan berdasarkan pada salah satu metoda pengukuran di bawah ini [2].

● Bilik ionisasi primer standard yang terdiri dari bilik kaviti grafit dengan volume bilik
tertentu yang operasionalnya mengikuti persyaratan detektor Bragg-Gray.
● Kalorimeter grafit yang dikembangkan oleh Domen dan Lamperti.
● Kalorimeter air yang dapat menentukan dosis absorpsi langsung pada suatu titik
acuan dalam fantom air.
● Kalorimeter air dengan dosimeter transfer Fricke. Pengukuran berdasarkan kenaikan
suhu air murni yang diinduksi oleh radiasi, yang kemudian dikalibrasi dengan hasil
pengukuran dosimeter Fricke standard pada kondisi penyinaran sama.
● Dosis absorpsi standard Fricke dalam air menentukan tanggapan larutan Fricke
menggunakan absorpsi total berkas elektron dalam larutan.

Persyaratan aplikasi teori Bragg-Gray ditunjukkan dalam Gambar berikut [3].

Kondisi (a) akan terpenuhi pada daerah CPE (charge particle equilibrium) atau TCPE
(transient charge particle equilibrium), yakni saat fluens elektron dalam kaviti sama
dengan dalam medium. Namun perlu diperhatikan bahwa dengan adanya kaviti dalam
21
medium selalu akan mengakibatkan perturbasi fluens foton, yang dalam perhitungan
hasil pengukuran membutuhkan suatu faktor koreksi perturbasi.

Kondisi (b) menunjukkan bahwa elektron yang memberikan dosis dalam kaviti
diproduksi dari luar kaviti dan seluruhnya melewati kaviti. Tidak ada elektron sekunder
yang diproduksi dalam kaviti dan tidak ada elektron yang berhenti dalam kaviti.

Laju energi ion yang hilang per satuan lintasan dinyatakan sebagai daya henti (

). Selanjutnya daya henti massa ( ) akan sama dengan daya henti linear dibagi oleh
kerapatan massa medium. Satuan daya henti linear dan massa biasanya dinyatakan
dengan MeV/cm dan MeV cm2/gm.

Dengan kondisi yang mengikuti teori Bragg-Gray, hubungan dosis dalam medium
dengan dalam kaviti menjadi sebagai berikut:

..........(1)

atau smed.gas adalah rasio daya henti massa tak terbatas (unrestricted) rata-rata
medium dengan gas. Penggunaan daya henti massa tak terbatas dimaksudkan tidak
memasukkan produksi partikel bermuatan sekunder (atau eletron delta) dalam kaviti
dan medium.

Pengukuran dosis absorpsi radiasi dalam air yang dilakukan oleh institusi radioterapi
umumnya menggunakan bilik ionisasi. Oleh karenanya pada kesempatan ini akan
dibahas pengukuran dosis absorpsi absolut atau kalibrasi dalam air untuk berkas radiasi
gamma Co 60 dan sinar X serta elektron yang diproduksi oleh linac.

Volume sensitif biasanya diisi udara dan dosis ataupun laju dosis berkaitan dengan
muatan ionisasi Q atau arus I yang dihasilkan dalam bilik akibat berkas radiasi. Dalam
kaviti terjadi ionisasi gas/udara yang diakibatkan oleh elektron dari medium. Energi
(W) rata-rata yang dibutuhkan untuk memproduksi satu pasangan muatan dalam gas
bersifat konstan, dalam tekanan yang bervariasi dan berbagai energi elektron.

W = 33. 65 eV/pasangan = 33.85 J/C

Dengan demikian bila dalam kaviti gas terbentuk muatan q (berarti q/e pasangan
muatan), dosis yang diserap gas dapat dikalkulasi sebagai berikut

..........(2)
22
q dinyatakan dalam coulomb dan mgas dalam kg. Pada umumnya gas yang digunakan
udara dengan densitas ρudara = 1.293 kg/m3 pada kondisi STP (00 C, 101.3 Pa atau 1 atm,
760 mm Hg).

Ada 3 jenis bilik ionisasi yang dapat digunakan untuk acuan sebagai dosimeter absolut:
● Bilik ionisasi standar
● Berbagai bilik ionisasi kaviti
● Bilik ekstrapolasi yang ditanamkan dalam fantom

Diantara ketiganya yang umum digunakan untuk kalibrasi berkas foton maupun
elektron untuk radioterapi adalah bilik ionisasi kaviti. Dalam pengukuran menurut ISO
31-0 dikenal pernyataan koefesien dan faktor. Koefesien digunakan sebagai pengali
yang memiliki dimensi, sedangkan faktor adalah pengali tidak berdimensi. Dalam
kalibrasi, faktor kalibrasi dikenal sebagai koefesien kalibrasi.

Ketertelusuran koefesien kalibrasi pada suatu PSDL nasional, menyatakan bahwa :


● Bilik dikalibrasi langsung pada PSDL, dinyatakan dalam kerma udara dalam
udara atau dosis absorbsi dalam air, atau
● Bailik dikalibrasi langsung pada Acredited dosimetry calibration laboratory
(ADCL) atau secondary standards dosimetry laboratory (SSDL) yang tertelusuri
kalibrasinya pada PSDL, atau
● Koefisien kalibrasi bilik diperoleh melalui cross calibration dengan bilik ionisasi
lain yang memiliki koefesien kalibrasi diperoleh langsung dari pengukuran di
PSDL, atau ADCL, atau SSDL.

Bilik ionisasi

Untuk kalibrasi berbagai berkas radiasi yang digunakan dalam radioterapi, umumnya
digunakan bilik ionisasi dalam bentuk silinder dan plane paralel. Bilik ionisasi silinder
digunakan untuk kalibrasi berkas sinar X medium energi di atas 80 kV dan yang
memiliki HVL di atas 2 mm Al, radiasi gamma Co 60, berkas foton energi tinggi, berkas
elektron dengan energi melebihi 10 MeV, berkas proton ataupun ion berat [1]. Volume
kaviti harus diantara sekitar 0.1 dan 1 cm3, agar memiliki sensitivitas cukup dan
kemampuan mengukur dosis pada suatu titik. Internal diamter bilik sekitar 7 mm dan
panjang internal tidak lebih dari 25 mm. Material pembentuk bilik ionisasi sebaiknya
homogen, namun dalam kenyataan material anoda sentral berbeda dengan dinding bilik.
Perbedaan kedua material yang demikian dipilih agar tanggapan bilik ionisasi terhadap
energi radiasi tidak banyak bervariasi.

Dinding bilik grafit umumnya memiliki stabilitas tinggi dalam jangka waktu lama.
Mengingat bilik ionisasi merupakan peralatan dengan presisi tinggi, harus diperhatikan
dalam menentukan bilik ionisasi yang memiliki kinerja dan telah diuji dalam berkas
radioterapi. Karakteristik berbagai bilik ionisasi diberikan dalam Tabel 3. (TRS 398).

23
Penggunaan bilik ionisasi plane paralel direkomendasikan untuk semua energi elektron,
dan merupakan keharusan untuk elektron dengan energi <10 MeV. Untuk berkas foton
bilik ionisasi plan paralel dapat digunakan untuk pengukuran dosimetri acuan jika
hanya suatu kalibrasi yang dinyatakan dalam dosis absorpsi dalam air tersedia untuk
kualitas berkas yang digunakan. Salah satu keuntungan bilik ionisasi plane paralel untuk
dosimetri berkas elektron adalah kemungkinan meminimalkan efek perturbasi
hamburan. Bilik ionisasi plan paralel didesain agar menerima fluens elektron dari
jendela depan, dan elektron yang datang/masuk dari samping diabaikan. Titik
pengukuran chamber (Peff) berada pada bagian dalam permukaan jendela untuk semua
kualitas berkas dan kedalaman. Agar persyaratan ini tercapai, diameter elektroda
pengumpul tidak boleh lebih dari 20 mm untuk mengurangi pengaruh radial non
uniformity profile berkas. Tinggi cavity tidak boleh lebih dari 2 mm, dan elektroda
pengumpul harus dikelilingi oleh a guard electrode yang memiliki lebar tidak lebih
kecil dari 1.5 kali tinggi cavity. Tebal jendela depan dibatasi sampai 0.1 g/cm 2 (atau
1mm PMMA). Udara dalam cavity memiliki lubang sehingga dapat secepatnya terjadi
keseimbangan dengan udara ruang. Bilik ionisasi ini juga dapat digunakan untuk
dosimeter relatif untuk berkas foton.

Bilik ionisasi untuk pengukuran sinar X energi rendah juga harus menggunakan jenis
plan paralel. Bilik harus memilki jendela entrans dari membran dengan ketebalan 2-3
mg/cm3 . Bila bilik ionisasi digunakan untuk mengukur sinar X > 50 kV, jendela bilik
perlu penambahan foil plastik untuk menyediakan daerah buildup berkas primer dan
menyaring elektron yang berasal dari berbagai asesoris pembentuk berkas. Pada saat
kalibrasi, bilik ionisasi beserta build-up foil harus dikirim ke SSDL. Agar
ketergantungan pada energi minimum, untuk suatu rentang energi variasi respons <5%
dapat diterima.

24
Secara skematis sistem dosimetri didasari bilik ionisasi dapat dilihat dalam gambar di
bawah, sederhana dan teriri dari
● Bilik ionisasi
● Elektrometer
● Catu daya (power supply)

25
Bilik ionisasi memiliki 3 elektroda, yang membentuk volume udara sensitif, umumnya
dalam orde 0.1 sampai 1 cm3. Ketiga elektroda adalah:
● Elektroda polarisasi, yang dihubungkan langsung dengan catu daya
● Elektroda pengukur, dihubungkan dengan ground melalui impedansi
elektrometer, mengukur muatan atau arus yang dihasilkan dalam volume sensitif
● Guard electrode, elektroda pemandu, yang langsung dihubungkan dengan
ground dan mempunyai 2 tujuan, menentukan volume sensitif dan mencegah
kebocoran arus.

Dua jenis bilik ionisasi yang secara rutin digunakan untuk kalibrasi, yakni
cilindrical/thimble chambers dan parallel plate chambers.

Biasanya udara digunakan sebagai gas sensitif dalam bilik ionisasi. Permulaan terjadi
interaksi radiasi pengion tidak langsung dengan bilik adalah terbebasnya elektron energi
tinggi dalam dinding bilik ataupun fantom melalui efek fotolistrik, hamburan Compton,
ataupun produksi pasangan. Sebagaian elektro cepat tersebut masuk kedalam volume
sensitif dan mengionisasi molukel udara, menghasilkan ion positif dan elektron lambat
dalam bilik. Elektron energi rendah mengikatkan diri dengan molekul oksigen
elektronegatif dan membentuk ion negatif. Dengan demikian dalam bilik ionisasi
partikel bermuatan yang dikoleksi adalah ion positif dan negatif (pasangan ion)
daripada ion positif dan elektron.

Muatan atau arus yang diinduksi dalam bilik sangat kecil, sehingga harus diukur dengan
peralatan dengan sensitivitas tinggi. Catu daya dalam sistem rangkaian bilik maupun
elektrometer dapat berdiri sendiri-sendiri ataupun terintegrasi dengan elektrometer.
Yang jelas, catu daya dapat menyediakan perubahan nilai dan polaritas, sehingga
efesiensi pengumpulan muatan diubah harganya, sehingga efesiensi koleksi ion bilik
dapat ditentukan untuk berkas radiasi khusus.

26
Menentutukan dosis absorpsi menggunakan bilik ionisasi
Dengan menggunakan bilik ionisasi gas yang memiliki volume tertentu dan dinding
bilik terbuat dari material tertentu, dosis absorpsi absolut dalam medium diukur.

Pengukuran dosis absorpsi medium dengan bilik ionisasi melibatkan 3 macam medium
yang saling berhubungan: gas, medium dinding bilik ionisasi, dan medium medium
sekitar bilik ionisasi. Dosis absorpsi dalam dinding bilik dapat tidak sama dengan dosis
dalam medium karena kerapatan kedua medium berbeda. Mengingat jumlah material
bilik ionisasi dianggap kecil dibanding dengan massa medium, maka spektrum energi
foton tidak terganggu dengan adanya bilik ionisasi. Perbandingan dosis medium dan
dosis pada dinding merupakan perbandingan kerma yang terjadi pada kedua medium
yang bersangkutan.

..........(3)

merupakan perbandingan antara koefesien absorpsi massa rata-rata medium dan


koefisien massa rata-rata dinding.

Dosis absorpsi medium dapat dikalkulasi dan hasilnya sebagai berikut.

.........(4)

Dengan menggunakan persamaan di atas [pada kedalaman maksimum D = K (1 – g)],


nilai kerma udara dalam udara dapat ditentukan.

27
Dinding bilik berfungsi sebagai daerah buildup, ketebalan dinding bilik beserta tudung
harus melebihi jangkauan elektron sekunder dalam material dinding agar menjamin
elektron yang masuk dalam kaviti diproduksi oleh dinding bilik bukan oleh medium.
Dinding bilik tebal yang demikian biasanya dipakai untuk kalibrasi berdasarkan kerma
udara. Bila bilik ionisasi digunakan dalam fantom dan tidak menggunakan tudung,
mengingat ketebalan dinding bilik jauh lebih tipis dibanding dengan jangkauan elektron
sekunder, maka proporsi dosis kaviti yang diakibatkan oleh fantom jauh lebih besar dari
yang dihasilkan oleh dinding, sehingga medium fantom bertindak sebagai medium dan
dinding bilik ionisasi diperlakukan sebagai material perturbasi.

Bila pengukuran dilakukan dalam medium dengan bilik ionisasi tipis dalam berkas
foton atau elektron energi tinggi, dinding kaviti dan anoda sentral diperlakukan sebagai
perturbasi pada fluens foton, dan persamaan berkaitan dengan rasio daya henti
tumbukan massa dalam medium dan dalam gas.

.........(5)

pfl adalah faktor koreksi perturbasi fluens


pdis adalah faktor koreksi penggantian titik pengukuran
pdind adalah faktor koreksi dinding
pcel adalah faktor koreksi elektroda sentral

Konstanta kalibrasi ND,w


Pada umumnya bilik ionisasi untuk pengukuran dosis absorpsi medium dikalibrasi
dengan menggunakan berkas Co 60. Standar dosis absorpsi air umumnya telah
digunakan untuk pengukuran dosis absorpsi absolut untuk tujuan radioterapi. Badan
internasional IAEA telah mengeluarkan Technical Report Series No. 398 yang isinya
berkaitan dengan pengukuran dosis absorpsi yang didasarkan pada dosis absorpsi
air.untuk berkas foton maupun elektron energi tinggi.

Dosis absorpsi air pada kedalaman referensi zref dalam air untuk kualitas berkas acuan
Q0 dan tanpa hadirnya bilik ionisasi diberikan sebagai berikut:

........(6)

adalah bacaan dosimeter pada kondisi referensi yang digunakan oleh laboratorium
standar dan adalah faktor kalibrasi dosimeter yang dinyatakan dalam dosis
absorpsi air yang dikeluarkan oleh laboratorium standar.

Bila dosimeter digunakan dalam berkas dengan kualitas Q yang berbeda dengan yang
digunakan untuk kalibrasi, maka dosis absorpsi air dapat dinyatakan sebagai berikut:

28
........(7)

adalah faktor koreksi yang didefinisikan sebagai perbandingan antara faktor


kalibrasi bilik ionisasi untuk berkas Q dan berkas Q0.

.........(8)

Kualitas berkas yang umum digunakan untuk referensi dalam kalibrasi adalah radiasi
gamma Co 60, sehingga sering faktor koreksi kualitas berkas digunakan kode k Q.

Bila faktor koreksi kualitas berkas tidak tersedia, maka nilai koreksi ini secara teori
dapat dikalkulasi dengan menggunakan teori Bragg-Gray.

........(9)

yang berlaku untuk semua jenis berkas energi tinggi dengan kualitas Q dan Q 0, sw,air
adalah rasio daya henti massa, Wair adalah energi yang dibutuhkan untuk produksi satu
pasangan ion dalam udara, dan pQ adalah faktor pertubasi total yang merupakan
perkalian semua faktor pertubasi.

Dalam terapi menggunakan berkas elektron maupun foton, dianggap W air untuk berkas
Q dan Q0 dianggap sama sehingga nilai koreksi kualitas berkas dapat dinyatakan
sebagai berikut:

........(10)

Untuk berkas sinar X dengan energi rendah dan medium kondisi Bragg-Gray tidak
dapat digunakan, oleh karenanya nilai faktor ND,W,Q dan diperoleh dari hasil
pengukuran untuk masing-masing bilik ionisasi, yang dikenal sebagai chamber
corection factor.Nilai harus ditentukan pada setiap kali pengukuran oleh
pengguna.

Modifikasi untuk kalibrasi silang berkas elektron


Untuk dosimeter yang dipakai dalam berkas elektron, bila kualitas berkas kalibrasi
adalah radiasi gamma Co 60, situasinya sama dengan pada penggunaannya untuk berkas
foton yang memerlukan faktor koreksi kualitas berkas k Q. Sesuai dengan persamaan
(10).
29
Alternatif lain adalah dengan kalibrasi langsung bilik ionisasi dalam berkas elektron,
meskipun pilihan ini sulit dilaksanakan sampai saat ini karena ketidak tersedianya
berkas elektron dengan berbagai energi dalam laboratorium kalibrasi. Dalam
perkembangannya PSDL akan menyediakan berkas elektron dengan berbagai energi
untuk kalibrasi, sehingga nilai yang sesuai dapat ditentukan dengan pengukuran.

Alternatif ketiga adalah tanpa kalibrasi langsung dalam berkas elektron, dengan
kalibrasi silang bilik plane-parallel terhadap bilik ionisasi silinder yang telah dilakibrasi
dengan berkas elektron energi tinggi yang berkualitas Qcross. Faktor yang
memungkinkan bilik ionisasi digunakan dalam berkas elektron dengan kualitas Q,
mempunyai nilai non-trivial karena kualitas Qcross tidak unik, sehingga untuk setiap bilik
ionisasi diperlukan tabel dua dimensi faktor kalibrasi .

Dengan menggunakan suatu berkas elektron dengan sembarang kualitas Q int, yang
dipilih memiliki kualitas intermediate antara kualitas Qcross dan kualitas Q yang akan
diukur, maka dapat diperoleh faktor koreksi sebagai rasio dan .

.....(11)

Faktor ( )-1 mengoreksi faktor kalibrasi bilik ionisasi yang sebenarnya


menjadi faktor kalibrasi untuk berkas dengan kualitas intermediate Q int. Faktor
mengoreksi faktor kalibrasi untuk berkas Qint menjadi Q, sehingga selanjutnya
persamaan umum Dw,Q dapat diberlakukan.

Persamaan yang mengandung dan mengikuti persamaan (10), nilai rasio


daya henti dan faktor perturbasi Qint akan saling menghilangkan dalam persamaan (11).
Dalam rekomendasi IAEA Technical Report Seies 398, kualitas berkas Qint dipilih yang
memiliki R50 = 7.5 g/cm2 (R50 adalah indeks kualitas berkas elektron). Nilai dan
untuk berbagai jenis bilik ionisasi dapat ditentukan dengan kalkulasi dan telah
ditabelkan (Tabel 19 dalam IAEA Tecdoc. 398).

Nilai untuk Q dan Qcross tertentu ternyata sama untuk semua jenis bilik ionisasi
plane parallel berkabel panjang . Untuk bilik ionisasi silinder nilai faktor tersebut hanya
tergantung pada radius bilik rcyl. Pemilihan nilai Qint memperkecil perbedaan berbagai
bilik ionisasi dengan rcyl yang bervariasi pada rentang kualitas berkas yang digunakan
dalam pengukuran. Metoda ini dapat dipakai untuk bilik ionisasi plane-paralel ataupun
silinder yang dikalibrasi pada suatu laboratorium standar pada kualitas berkas tunggal
Q0.

30
Hubungan antara (ND,air) dengan ND,w untuk berkas energi tinggi adalah sebagai berikut:

Q0 adalah kualitas berkas referensi (radiasi gamma Co 60) dan adalah faktor
perturbasi total

Meskipun penggunaan tidak direkomendasikan, namun tetap dapat digunakan


untuk sementara bila yang ada faktor kalibrasi kerma. Konversi faktor kalibrasi kerma
menjadi faktor kalibrasi dosis absorpsi biasanya dilakukan sampai dengan faktor
kalibrasi dalam air ditentukan dengan pengukuran.

Apabila koefesien kalibrasi eksposi (NX) masih digunakan, nilai NK dapat ditentukan
melalui hubungan berikut:

dengan g adalah fraksi energi hilang dalam udara yang diubah menjadi bremstrahlung.
Untuk radiasi gamma Co 60 dalam udara g = 0.003, dan untuk sinar X superficial dalam
udara g < 0.0002.
Untuk NX dan NK memiliki satuan berturut-turut R/nC dan Gy/nC, sedangkan satuan
ND,w dan ND,air adalah Gy/nC.

Ruang/kaviti Bragg-Gray
Untuk mengukur langsung dosis absorpsi dalam medium, diletakkan bilik ionisasi
dalam medium. Medium sensitif dalam bilik ionisasi adalah gas yang sangat berbeda
dengan medium tempat pengukuran. Teori kaviti menghubungkan antara dosis yang
diabsorp oleh medium gas dengan medium di sekelilingnya. Ukuran kaviti dinyatakan
kecil, intermediate, atau besar relatif terhadap jangkauan elektron sekunder yang
dihasilkan oleh foton dalam medium kaviti. Berbagai teori kaviti telah dikembangkan
dan salah satunya adalah teori kavitu Bragg-Gray, yang aplikasinya harus memenuhi
persyaratan berikut:

a. Kaviti harus kecil dibandingkan dengan jamgkauan elektron datang, sehingga


kehadirannya tidak mengganggu fluens elektron dalam medium.
b. Dosis absorpsi dalam kaviti diberikan hanya oleh elektron yang menembusnya
(interaksi foton dalam kaviti dianggap kecil dan diabaikan)

31
Dosimetri absolut dan relatif

Dalam radioterapi dikenal dosimetri absolut dan dosimetri relatif.


Dosimetri absolu takan menghasilkan informasi mengenai dosis
dalam Gray. Untuk memperoleh nilai dosis absolut diperlukan
beberapa factor berkaitan dengan hasil bacaan pengukuran. Untuk
setiap kualitas radiasi pada umumnya ditentukan satu dosis absolut
untuk referensi (misalnya untuk lapangan 10x10 cm2, SSD 100 cm,
dan dosimeter padakedalaman 5 cm dalam medium air). Penentuan
dosimetri demikian sering disebut kalibrasi. Dosimetri absolut
berhubungan dengan setting pesawat seperti ”waktu pancaran
berkas radiasi” atau ” monitor unit (mu)” dengan kondisi acuan.
Selanjutnya semua pengukuran mengacu pada kondisi standar
tersebut, dengan demikian tercipta dosimetri relatif. Pada
umumnya dalam dosimetri relatif tidak diperlukan berbagai faktor,
mengingat nilainya ditentukan sebagai perbandingan antara 2 hasil
pengukuran, dengan salah satunya diukur dalam kondisi standar.
Sebagai contoh pengukuran PDD, profil berkas, faktor wedge atau
tray.

Dosimeter yang digunakan untuk mengukur dosis absolut ataupun


dosis relatif paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
 Dapat dipakai untuk menentukan dosis absorpsi dalam
Graydengan akurat (berhubungan dengan ketelitian, presisi,
batas deteksi, jangkauan dosimetrik, respons terhadap dosis dan
laju dosis)
 Dosis harus dapat ditentukan untuk titik tertentu dalam ruang,
dapat dihubungkan dengan sistem koordinat yang berisi sumber
radiasi maupun pasien (berhubungan dengan titik efektif
pengukuran, resolusi spasial, angular dependence/
ketergantungan arah sudut)
 Sehubungan dengan perlakuan pasien, hasil pengukuran
dosimeter harus memungkinkan untuk menentukan dosis pada
jaringan yang dimaksud atau pada umumnya pada medium air
(berhubungan dengan respons energi, perturbasi lapangan)
Dosimetriabsolutdanrelatif

Dalam radioterapi dikenal dosimetry absolut dan dosimetry relatif. Dosimetri absolut
akan menghasilkan informasi mengenai dosis dalam Gray. Untuk memperoleh nilai
dosis absolut diperlukan beberapa factor berkaitan dengan hasil bacaan pengukuran.
Untuk setiap kualitas radiasi pada umumnya ditentukan satu dosis absolut untuk
referensi (misalnya untuk lapangan 10x10 cm2, SSD 100 cm, dan dosimeter pada
kedalaman 5 cm dalam medium air). Penentuan dosimetri demikian sering disebut
kalibrasi. Dosimetri absolut berhubungan dengan setting pesawat seperti ”waktu
32
pancaran berkas radiasi” atau ” monitor unit (mu)” dengan kondisi acuan. Selanjutnya
semua pengukuran mengacu pada kondisi standar tersebut, dengan demikian tercipta
dosimetri relatif. Pada umumnya dalam dosimetri relatif tidak diperlukan berbagai
faktor, mengingat nilainya ditentukan sebagai perbandingan antara 2 hasil pengukuran,
dengan salah satunya diukur dalam kondisi standar. Sebagai contoh pengukuran PDD,
profil berkas, faktor wedge atau tray.

Dosimeter yang digunakan untuk mengukur dosis absolut ataupun dosis relatif paling
tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
 Dapat dipakai untuk menentukan dosis absorpsi dalam Graydengan akurat
(berhubungan dengan ketelitian, presisi, batas deteksi, jangkauan dosimetrik,
respons terhadap dosis dan laju dosis)
 Dosis harus dapat ditentukan untuk titik tertentu dalam ruang, dapat dihubungkan
dengan sistem koordinat yang berisi sumber radiasi maupun pasien (berhubungan
dengan titik efektif pengukuran, resolusi spasial, angular dependence/
ketergantungan arah sudut)
 Sehubungan dengan perlakuan pasien, hasil pengukuran dosimeter harus
memungkinkan untuk menentukan dosis pada jaringan yang dimaksud atau pada
umumnya pada medium air (berhubungan dengan respons energi, perturbasi
lapangan)

Ketelitian
Sifat yang paling penting setiap dosimeter adalah kemampuan menunjukkan dosis
sebenarnya yang disebut ketelitian (accuracy). Ketidaktelitian dosimeter digolongkan
menjadi tipe A dan tipe B. Ketidaktelitian tipe A, yang disebut kesalahan
stokastik,merupakan estimasi sebagai akibat variasi rambang, dan harganya dapat
dinyatakan sebagai deviasi. Ketidaktelitian tipe A dapat dikurangi dengan menambah
ulangan pengukuran, dan akan menurun dengan akar frekuensi pengukuran.

Bila besaran x diukur N kali, maka estimasi x adalah x .

1 N
x  xi
N i 1

Standar deviasi  x merupakan rata-rata ketidaktelitian hasil pengukuran individual.

1 N
x   xi  x 2
N  1 i 1

Standar deviasi nilai rata-rata adalah

33
1 1
xi  x 2
N
x  x  
N N  N  1 i 1

 Ketidaktelitian standard tipe A dinyatakan sebagai µA, didefinisikan sebagai


standard deviasi nilai rata-rata, µA = σx
 Ketidaktelitian µA diperoleh analisis statistik pengulangan pengukuran, yang pada
dasarnya dapat diperkecil dengan meningkatkan jumlah pengulangan pengukuran.

Ketidaktelitian standard tipe B, dinyatakan dengan µB, dikenal sebagai kesalahan


sistematik tidak dapat diperbaiki dengan pengulangan pengukuran, merupakan
perkiraan berdasarkan intelegensi atau scientific judgements. Ketidaktelitian ini
termasuk proses pengukuran, aplikasi berbagai faktor koreksi atau data fisika dari
literatur. Contoh: kondisi lingkungan, kebocoran elektrometer atau pengabutan film.
Pengulangan tidak dapat memperbaiki ketelitian tipe B.

Seringkali ketidaktelitian standard tipe B diandaikan mempunyai distribusi normal


Gausian atau distibrusi rectangular (kemungkinan sama di segala tempat dalam batas
tertentu). Nilai ketidaktelitian ini diperoleh dari perkiraan batas limit sampai faktor
tidak terlampaui, yang ditentukan oleh distribusi yang dilpilih.

Dengan memasukkan berbagai faktor koreksi, nilai dosis Q di titik P dapat dinyatakan
sebagai

𝑄𝑃 = 𝑀 ∏𝑁
𝑖=1 𝐹𝑖 Q

M adalah bacaan sistem dosimetri dan Fi adalah faktor koreksi atau konversi.

 Kombinasi ketidaktelitian standard µc untuk nilai Q merupakan jumlah kuadrat


ketidaktelitian tipe A dan B

µ𝑐 = √µ2𝐴 + µ2𝐵
 µc diandaikan mempunyai distribusi normal dan dikalikan dengan suatu jumlah faktor,
dinyatakan dengan k, sehingga ketelitian diperluas menjadi U = k µ c. Nilai hasil
pengukuran besaran Q menjadi QP± U
 Perluasan ketidaktelitian U dengan nilai k=2, sesuai dengan tingkat kepercayaan 95%,
yang pada umumnya meliputi semua ketidaktelitian yang berkaitan dengan ketelitian
pengukuran besaran Q.

Presisi
Presisi suatu teknik pengukuran menentukan reproducibilityhasil dengan kondisi
pengukuran sama. Definisi ini tidak berkaitan dengan kesalahan sistematik, sehingga
tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan kebenaran hasil pengukuran. Namun
34
demikian presisi penting dalam pengukuran, contohnya untuk menentukan cek
konsistensi. Pada ummumnya presisi dinyatakan sebagai fluktuasi nilai sebesar 1 atau
2 deviasi standards dari nilai rata-rata.

Parameter lain yang berpengaruh pada karakter dosimeter antara lain :


 Batas deteksi
 Tanggapan dosis
 Jangkauanpengukuran
 Ketergantungan pada laju dosis
 Tanggapanenergi
 Resolusispasial.

Batas deteksi
Dosis terrendah yang dapatdideteksidisebut batas deteksi. Dosis terrendah tersebut
biasanya ditentukan oleh fluktuasi bacaan background/latar belakang (radiasialam dan
noise). Batas deteksidapatdibedakan antara kualitatif dan kuantitatif. Nilai batas dosis
kualitatifnilainyatidakdapatdiketahui, sedangkannilai batas kuantitatifnilainyatertentu,
misalnya 3 kalistandarddeviasi back ground. Dalamradioterapi yang
berhubungandengan dosis tinggi, batas deteksiumumnyatidakmenjadiperhatian.

Tanggapan dosis
Bacaan dosimeter harus berhubungan linier dengan dosis yang sudah ditentukan.
Tanggapan dosis ini menjadi tidak penting selama tanggapan dosis reproducable dan
predictable.

35
Jangkauanpengukuran
Setiapdetektormempunyaijangkauanpengukuran yang dibatasioleh batas limit dan
saturasiataukerusakandetektor. Idealnya dalam daerah jangkauan pengukuran,
tanggapan dosimeter akan linear dengan dosis.

Ketergantungan pada laju dosis


Dosimeter yang ideal harustidaktergantung pada laju dosis. Laju dosis
dapatberpengaruh pada bacaandetektor,
sepertimengubahrekombinasidalamperangkationometrik. Pengaruhlaju dosis
akantampakkhususnyauntukradiasi yang diproduksilinac yang dapatmemberikan dosis
tinggidalambeberapa pulsa yang sangatsingkat.

Variasi tanggapan dengan kualitas radiasi


Tidak ada detektor yang dapat ekuivalen jaringan ataupun air untuk semua energi foton.
Dengan demikian rasio antara bacaan detektor dengan dosis harus dievaluasi untuk
kualitas radiasi yang diukur. Persyaratan perubahan minimal pada tanggapan dosimeter
dengan kualitas radiasi umumnya menentukan nomer atom efektif dosimeter yang
mendekati milik jaringan yang diteliti/diamati.

Resolusispasial
Dosimeterharusdapatdipakaiuntukmenentukan dosis pada
suatuvolumekecilrepresentasi dosis suatutitik. Lokasi dan
ukurantitikharusdapatditentukansecara
pasti.Namunprakteknyaukuranvolumedibatasiolehjumlahkejadian yang
dibutuhkanuntukmembentuksignal dan mekanismestokastikdeposisi dosis
dalamdimensimikroskopik. EnergidE yang dideposisi pada elemenmassa dm
ternyatasebagaifungsi dm (dalam gambar), dan
deposisienergimerupakankejadianrambang pada tingkatmikroskopis. Dosis D
dapatdikalkulasidarinilai rata-rata <dE/dm>sesuaidenganhubunganberikut:

D = lim <dE/dm> untuk dm →0

36
Dalam praktek, bila waktu pengukuran dibatasi, ukuran volume untuk pengukuran
terbatas. Batas ukuran yang sesuai untuk diameter sel sekitar 10 μm. Namun dalam
praktek sulit untuk mencapai ukuran detektor sekecil ini yang dapat menghasilkan rasio
signal dengan noise memadai. Telah diketahui bahwa untuk radiasi dengan LET rendah,
seperti foton dan elektron dosis kurang dari 0.2 mGy akan menghasilkan rata-rata satu
lintasan radiasi per inti sel yang berdiameter 8 μm. Rata-rata 1 MeV elektron akan
kehilangan energi sekitar 200 eV per μm dalam 6 kejadian sepanjang lintasannya
(Tubiana et al. 1990). Dengan demikian dosis 2 Gy dalam radioterapi akan deposit
energi melalui ribuan kejadian dalam suatu volume berdiameter 10 μm. Analogi sama
dapat dipakai untuk bilik ionisasi udara, penurunan densitas medium dapat
dikompensasikan dengan menggunakan ukuran bilik yang lebih besar.

Karena dosimeter ideal tidak ada maka kompromi dilakukan dalam dosimetri. Untuk
meminimasi risiko kesalahan yang serius akibat kompromisasi ini, maka kalibrasi
sebaiknya dilakukan secara teratur. Perbandingan dengan dosimeter milik institusi lain
juga menghindari kesalahan. Atau dengan alternatif lain, dosimeter dapat dicek internal
dengan menggunakan sumber radiasi acuan, misalnya 90Sr. Pada berbagai situasi ada
baiknya dilakukan perbandingan hasil dari berbagai teknik pengukuran dan jenis
dosimeter. Kesemuanya akan memberikan kepercayaan diri bahwa dosis yang diberikan
dalam terapi benar adanya.

Energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 pasangan ion dalam udara konstan
(W/e)

 W  33.85 eV J
W   33.85
 e  1.6x10 C
19
C

Contoh:
1. Ruang udara 1 cm3 diisi udara pada NTP, dipapari radiasi dalam waktu tertentu
dan menghasilkan muatan 3.336 x 10-10 C. Tentukan dosis dalam udara.

mgas = 1 x 10-6 x 1.293 kg/m3 = 1.293 x 10-6 kg

Q 3.336 x 10 10 C J J
Dudara  W 6
x 33 .85  0.873 x 10 2
 0.873 x10 2 Gy
m 1.293 x 10 kg C kg
2. Suatu ruang udara 1cm3 berada dalam suatu blok karbon dipapari radiasi gamma
Co 60 dalam waktu tertentu, dan menghasilkan muatan 3 x 10-8 C. Tentukan
dosis dalam karbon dengan mengandaikan udara dalam kondisi NTP.

mgas = 10-6 m3 x 1.293 kg/m3 = 1.293 x 10-6 kg

S aircarbon  1.009
37
Q 3 x 10 8 C J
Dcarbon  W S air 
wall
6
x 33 .85 x 1.009  0.792 Gy
mgas 1.293 x 10 kg C

Perhatikan bila bilik udara dengan dinding berbeda dengan medium, dosis medium
dapat ditentukan sbb:

 
medium
 JQ
Dmed   33.85  S airwall  
 C m    wall
Nilai S untuk berbagai medium relatif terhadap udara untuk spektra elektron yang
dihasilkan oleh foton dengan berbagai kualitas ditunjukkan dalam Tabel berikut Dapat
dilihat bahwa nilai S tidak terlalu sensitif pada spektrum foton. Sebagai contah spektra
sinar X 26 MV produksi betatron dan produksi linac yang memiliki spektrum yang
berbeda, nilai S keduanya hanya berbeda 0.8%.

38
Dosimeter

Ada 3 jenis dosimeter yang mampu digunakan untuk pengukuran dosis absolut:

1. dosimeter kalorimeter
2. bilik ionisasi
3. dosimeter Fricke ferrous sulfate.

Untuk dosimeter relatif, jenis detektor yang dapat digunakan lebih banyak. Efek interaksi radiasi dengan materi
mendasari berbagai jenis detektor.

Efek interaksi radiasi dengan materi yang dimanfaatkan dalam dosimeter.


Efek Metoda dosimetrik
Ionisasi dalam gas Bilik ionisasi gas
Ionisasi dalam cairan Bilik ionisasi cair
Ionisasi dalanm zat padat Semikonduktor (dioda, MOS-FET), detektor
intan
Luminisensi TLD, optically stimulated luminiscence
dosimetry
Fluorosensi Pencacah sintilasi
Transisi kimia Film radiografi, film radiochromic, dosimetri
kimia, dosimetri gel
Panas kalorimetri
Efek biologi Eritema, kerusakan kromosom

Dosimeter absolut, Bilik ionisasi

Bilik ionisasi stándar

39
Bilik stándar ionisasi merupakan kotak udara dengan volume sensitif berjarak dari diafragma mendekati sama
dengan jangkauan elektron sekunder. Dalam gambar, P1 dan P adalah titik pada diafragma dan volume sensitif, f1
dan f adalah jarak sumber ke diafragma dan ke pusat volume sensitif, (Q adalah muatan yang terkumpul akibat
sejumlah sinar x yang melewatinya, dan Af adalah penampang lintang ruang sensitif.

Q
Eksposi di titik P =
ρ Af L
??adalah??densitas??udara??dan??L??adalah??panjang??kolektor

2
 f  ΔQ
 
Eksposi di P1 =  
f1 ρA f L

Karena A = Af (f1/f)2, maka diperoleh

ΔQ
Eksposi di P1 = ρAL
Pengukuran paparan radiasi dengan bilik ionisasi perlu kecermatan dan beberapa faktor koreksi. Bila kedua plat
terlalu dekat dengan volume EFGH, berjarak lebih pendek dari jangkauan elektron maksimum, elektron dapat
menumbuk plat kolektor sebelum seluruh energinya habis yang memungkinkan tidak seluruh elektron dari volume
EFGH dapat ditangkap oleh kolektor. Dalam kondisi demikian, muatan yang terkumpul akan terlalu sedikit.
Demikian juga persyaratan jarak antara P1P. Keseimbangan elektronik akan terjadi apabila jarak P1P paling sedikit
sama dengan jangkauan elektron sekunder yang berarah ke depan. Sebagai contoh foton dengan energi 3 MeV
memiliki jangkauan elektron sekitar 1.5 m, sehingga membutuhkan bilik ionisasi dengan ukuran besar. Disamping
itu, berkas foton yang melewati ketebalan udara 1.5 m akan mengalami atenuasi sekitar 5.4%. Persyaratan ini
mengakibatkan bilik ionisasi standar mempunyai kemampuan terbatas, tidak dapat dipakai mengukur paparan foton
dengan energi lebih tinggi dari 3 MeV.

Koreksi temperatur dan tekanan gas


Densitas massa gas dalam suatu volume dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan. Massa gas m(t,p) pada suatu
volume pada temperatur t dan tekanan p bila dibandingkan dengan massanya m(0, 101.3) pada temperatur 0 (C dan
tekanan 101.3 kPa (760 mm Hg) akan berubah mengikuti hubungan berikut:

 273.2  p 
mt, p   m0, 101.3   
 273.2  t  101.3 
Karena paparan berbanding terbalik dengan massa udara, maka faktor koreksi temperatur dan tekanan menjadi
sebagai berikut:

40
 273.2  t   101.3 
k tp     
 273.2  p 
Pada umumnya instrumen dikalibrasi pada temperatur ruang (22 (C) dan tekanan 101.3 kPa. Bila kondisi demikian
yang dipakai, maka faktor koreksi menjadi sebagai berikut:

 273.2  t   101.3 
k tp     
 273.2  22   p 

Bilik ionisasi timbel


Bilik ionisasi standar tidak praktis, tidak dapat dibawa kemana-mana, dipakai hanya untuk standarisasi dalam
laboratorium. Oleh karenanya diciptakan bilik ionisasi timbel yang merupakan bilik udara dengan ukuran kecil dan
mobile. Bilik timbel ini distandarisasi dengan bilik ionisasi stándar. Tidak semua negara memiliki bilik ionisasi
stándar. Indonesia mempunyai fasilitas standarisasi sekunder, yang dimiliki oleh BATAN sejak tahun 1978.

Bila bilik ionisasi timbel yang digunakan untuk mengukur eksposi di udara, tebal dinding bilik paling tidak sama
dengan jangkauan elektron sekunder, agar diperoleh kondisi keseimbangan elektronik pada saat pengukuran, yang
berarti ion yang berada dalam volume dianggap dihasilkan oleh gas dalam volume dan akan menyerahkan seluruh
energinya dalam volume. Pada umumnya dinding bilik timbel terbuat dari plastik, contohnya bakelite dengan
komposisi C43H38O7 dan dilapisi karbon C (Z=6) di dalamnya dengan elektroda di dalamnya terbuat dari Al (Z=13).
Dengan mengatur ukuran elektroda dan jumlah karbon yang berada dalam lapisan dalam bilik, dimungkinkan untuk
membuat bilik ionisasi yang memiliki tanggapan mendekati bilik ionisasi standar. Agar bilik ionisasi dapat dipakai
untuk semua kualitas foton, pada saat dipakai untuk mengukur foton dengan energi tinggi, ketebalan dinding bilik
ionisasi ditambah dengan cara memberi tudung. Ketebalan tudung meningkat dengan kenaikan energi. Untuk Cs
137 (E = 0.662 MeV) dibutuhkan radius 0.2 cm, untuk Co 60 dibutuhkan radius 0.5 cm dan untuk sinar X 6 MV
dibutuhkan radius 1.5 cm. Untuk sinar X dengan energi lebih tinggi, ketebalan tudung ditentukan sesuai dengan
bacaan dosimeter maksimum. Pada umumnya untuk sinar X megavolt, lebih sesuai menggunakan fantom mini.

41
Tanggapan relatif bilik ionisasi dipengaruhi oleh ketebalan dinding. Penentuan tebal dinding bilik dipilih pada
ketebalan yang memberikan respons maksimum. Respons menurun dengan kenaikan tebal dinding setelah
mencapai maksimum sebagai akibat atenuasi dalam dinding.

Pada umumnya bilik ionisasi dalam bentuk silinder dengan tinggi sama atau lebih panjang dari diameternya, dan
diradiasi melalui dinding/badan silinder. Pancake chambers mempunyai tinggi lebih pendek dibanding
diameternya, dan diradiasi melalui salah satu bidang tutup/ujung silinder.

Protokol pengukuran dosis absolut foton dan elektron diberikan oleh berbagai organisasi internasional seperti IAEA
(international atomic energy agency), AAPM (American association of physicists on medicine), ESTRO (European
society for therapeutic radiology and oncology).

Bilik ionisasi Farmer (silinder) untuk pengukuran dosis absolut

42
Elektroda dalam terbuat dari Al dengan nomer atom 13 dimaksudkan untuk kompensasi dinding karbon dengan
nomer atom 6 , bila dibandingkan dengan jaringan dengan nomer atom efektif 7.5. Dengan desain demikian
mendatarkan tanggapan chamber untuk energi foton kurang dari 100 keV. Untuk tujuan dosimetri absolut,
penggunaan bilik ionisasi memerlukan berbagai koreksi.

Bilik ionisasi Farmer asli mempunyai volume nominal 0.6 cm3 dengan panjang 24 mm. Tanggapan bilik ionisasi
asimetri, bervariasi dengan sudut radiasi datang terhadap sumbu silinder.

Bilik ionisasi silinder telah dibuat oleh berbagai fabrikan, dengan volume aktif antara 0.1 sampai 1 cm3. Umumnya
memiliki panjang internal tidak lebih dari 25 mm dan diameter internal tidak lebih dari 7 mm. Material dinding
bilik mempunyai nomer atom Z rendah (dalam hal ini ekuivalen jaringan), dengan tebal kurang dari 0.1 g/cm2.

Modifikasi bilik ionisasi asli dengan volume aktif 0.2 cm3 dan relatif lebih pendek pada umumnya digunakan untuk
pengukuran dosis relatif. Bilik ionisasi masih asimetri, masih lebih panjang dibanding dengan diameternya. Untuk
pengukuran profil berkas dengan fantom air disarankan menggunakan bilik ionisasi simetri. Pelebaran gradien dosis
tinggi akibat fungsi tanggapan detektor pada kedua dimensi mendekati sama. Pada umumnya bilik ionisasi thimbel
yang didesain untuk scanning bersifat kedap air, sehingga dapat digunakan untuk pengukuran dalam bak/fantom
air.

Bilik ionisasi dengan volume lebih kecil dari 0.1 cm3 didesain khusus untuk lapangan radiasi kecil, seperti untuk
radioterapi stereotaktik. Untuk pengukuran dengan gradien dosis tinggi, bilik ionisasi timbel (0.6 cc) terlalu besar.
43
Oleh karenanya diperlukan lokalisasi volume yang lebih baik, paling tidak satu dimensi, namun cukup berisi udara
yang dapat mengumpulkan muatan dengan laju dosis sesuai dengan penggunaan klinis. Untuk keperluan ini
didesain bilik ionisasi plan paralel.

Pada awalnya bilik ionisasi plan paralel didesain untuk sinar x rendah dan elektron yang memiliki gradien dosis
kedalaman tinggi sepanjang sumbu utama. Namun bilik ini juga bagus untuk pengukuran dosis pada daerah build
up sinar X megavolt. Bahkan dosis exit fantom dapat diukur dengan bilik ionisasi ini.

Bilik ionisasi plan paralel terdiri dari 2 dinding datar, satu sebagai entry window dan polarizing electrode, dan yang
dinding lain sebagai collecting electrode dan juga sebagai sistem guard ring.
Pada umumnya bilik ionisasi plan paralel untuk mengukur berkas elektron dengan energi di bawah 10 MeV, dan
juga untuk mengukur dosis permukaan dan dosis kedalaman pada daerah buildup berkas radiasi megavolt.

Berbeda dengan bilik ionsasi timbel, bilik pln paralel pada umumnya tidak cocok untuk pengukuran dalam fantom
air dikarenakan beberapa alasan berikut:
 bentuknya dapat menimbulkan gangguan dalam air pada saat bergerak
 tidak mudah mengatur permukaan air sesuai dengan permukaan chamber karena adhesi pada meniscus air.
 Pada umumnya bilik plan paralel sebagian besar dinding dan sisi eksitnya menggunakan banyak material
bukan ekuivalen air.

Berbagai macam material telah digunakan untuk konstruksi bilik ionisasi plan paralel. Beberapa bilik bersifat kedap
air dan dapat digunakan untuk pengukuran dalam fantom air (sebagai contoh Markus chamber, NACP chamber).
Keduanya penting, misalnya pada saat komisioning berkas elektron.
44
Bilik ionisasi umumnya digunakan dengan fantom padat. Dianjurkan menggunakan material bilik sama dengan
fantom untuk menghindari masalah interface. Untuk pengukuran dalam material inhomogen sulit dilakukan karena
pada umumnya bilik ionisasi diletakkan pada lapisan penyangga tertentu (akrilik untuk bilik ionisasi Markus dan
air untuk bilik ionisasi Attix).

Extrapolation chamber
Jenis khusus bilik ionisasi plan paralel adalah extrapolation chamber. Mulanya bilik ini didesain untuk dosimetri
radiasi beta. Namun bilik ini juga dapat digunakan untuk pengukuran dosis pada daerah build up. Bilik ionisasi
dilengkapi dengan piston membuat jaran antara kedua elektroda bervariasi, sehingga dapat mengubah volume udara
di dalamnya. Dengan menurunkan jarak kedua elektroda, bilik ionisasi dapat dieekstrapolasi seperti bilik ionisasi
sangat tipis.

Sumber dalam brakhiterapi mempunyai laju kerma udara rendah, sehingga pengukurannya memerlukan bilik
ionisasi dengan volume cukup besar, sekitar 250 cm3 atau lebih. Bilik ionisasi sumur untuk pengukuran sumber
radioisotop dalam brakhiterapi, untuk kalibrasi sumber. Bilik didesain sesuai dengan bentuk dan ukuran sumber
brakhiterapi, dan umumnya dikalibrasi dengan acuan laju kerma udara.

Nomer atom efektif


Material fantom memiliki sifat mendekati suatu material (misalnya jaringan atau udara) paling tidak dalam 3
parameter, densitas massa, jumlah elektron per gram, dan nomer atom efektif. Untuk keperluan pengukuran foton
maupun elektron, air dipakai sebagai fantom standar ekuivalen jaringan. Sering juga pengukuran dilakukan dengan
45
menggunakan fantom padat seperti polysterin, lucite, plastik ekuivalen jaringan, Solid Water (WT1), Solid Water
(RMI-457)

Nomer atom efektif Z tergantung pada komposisi atomik material dan kualitas radiasi. Untuk foton dengan energi
30 – 80 keV, daerah fotolistrik lebih dominan dibanding dengan hamburan Compton, koefesien fotolistrik per
elektron sebanding Zm dengan m sekitar 3 untuk material Z tinggi dan 3.8 untuk material Z rendah. Nilai m
bervariasi tergantung pada energi foton. Nomer atom effektif untuk energi foton rendah dikalkulasi mengikuti
hubungan berikut dengan m sekitar 3.5.

Z  3.5  a i Z3.5
i
i

Sebagai contoh penentuan nomer efektif udara, yang dapat dimanfaatkan untuk memilih material dinding bilik
ionisasi.

w menunjukkan fraksi berat komponen dalam udara, nilai N0Zw/A total (3.0061 x 1023) menyatakan jumlah
elektron per gram udara. Dengan membagi jumlah elektron tiap komponen dengan jumlah elektron total diperoleh
nilai a1, a2, dan a3.Dengan cara sama akan diperoleh nomer atom ekuivalen air 7.5, dan tulang 12.31.

Untuk berkas foton megavolt dan elektron, nomer atom efektif dapat dikalkulasi dengan mengikuti hubungan
berikut:
Z i2
i ai
Ai
Z
Z
i ai i
Ai
Ai massa atom unsur i pembentuk material

Dosimetri Film
Film dapat dipakai sebagai sebagai detektor radiasi, dosimeter relatif, alat displai dan medium arsip. Dalam terapi
dapat dipakai untuk pengukuran kualitatif maupun kuantitatif. Kurva karakteristik film yang juga disebut kurva
Hurter and Driffield

Film terdiri dari dasar lapisan gelatin yang satu atau dua sisinya dilapisi emulsi terdiri dari grain (bulir) mikroskopik
kristal AgBr. Partikel bermuatan datang pada emulsi memproduksi pasangan-pasangan ion dalam atau dekat
grains, yang mengakibatkan mengubah ion Ag+ menjadi atom Ag, dan ion Br- menjadi atom Br. Kehadiran
46
impuritas dalam kristal akan mengganggu permukaan struktur elemen kristal yang berbentuk kubus dan membentuk
sensitivity speck (bintik sensitif).

Atom Br diserap oleh gelatin yang mengakibatkan emulsi melekat pada dasar film. Beberapa atom Ag pada
permukaan suatu grain (yang berisi sekitar 1010 Ag+) mengandung latent image. Proses pengembangan film dengan
cairan alkaline mengurangi Ag+ dan meninggalkan Ag yang membentuk noda grain pada film. Film difiksasi dan
diperkuat dengan larutan asam lemah. Kristal yang tidak mengandung latent image dicuci dan menghasilkan daerah
terang dalam film.

Dua jenis emulsi yang digunakan dalam dosimetri:


1. Emulsi untuk sinar X yang mengandung Ag Br 30-40% berat, ukuran diameter grain 1-2 μm. Ukuran tebal
masing-masing lapisan 10-25 cm, dengan densitas sekitar 2 g/cm3 dan ketebalan massa rata-rata 2-5 mg/cm2.
Lapisan gel 0.5 μm menutup dan melindungi permukaan grains agar tidak terjadi goresan.
2. Emulsi nuklir mempunyai 70-80% berat AgBr, dengan diameter grain ≡ 0.3 μm. Ketebalan emulsi berkisar
dari beberapa mikrometer sampai 0.6 mm, atau sekitar 200 mg/cm2 untuk ρ ≡ 3.3 g/cm3.

Kurva karakteristik (Hurter and Driffield) dan densitas optik

Efek radiasi yang diukur dalam bentuk kehitaman film, dan didefinisikan densitas optik D = log10(I0/I). Bila a adalah
luas rata-rata yang digelapkan oleh satu grain yang dikembangkan, dan n adalah jumlah grain pada film yang
dikembangkan per cm2, maka akan diperoleh hubungan berikut:

Io
 e an
I
Sehingga nilai densitas optik menjadi

I 
OD  log10  0   an log10e  0.4343 an
I
selama n<<N dengan N adalah jumlah grain per satuan luas (cm2) dalam film yang tidak diekspos.

Dengan memasukkan tambahan pengandaian diperoleh suatu model sederhana berikut:


a. sinar X datang menghasilkan fluens elektron sekunder Φ (e/cm2) bergerak tegak lurus melewati film
b. satu elektron menumbuk satu grain yang dapat dikembangkan
c. semua grain mempunyai daerah proyeksi a, yang diandaikan tidak berubah selama pengembangan.

Dengan demikian fraksi grain yang ditumbuk elektron dan dapat dikembangkan sama dengan

n
a
N
bila disubstitusikan ke nilai OD diperoleh

OD = 0.4343 a2 N Φ

Dari hubungan di atas dapat dinyatakan untuk fluens Φ rendah (n<<N) OD proporsional Φ (yang berarti juga dengan
dosis) dalam emulsi. OD juga proporsional dengan tebal emulsi karena N sebanding dengan ketebalan. Lebih jauh
lagi OD sebanding dengan kwadrat daerah grain a2, atau diameter grain pangkat 4.

Seringkali pengukuran densitas dinyatakan dengan densitas standard (standard density) SD yang didefinisikan
sebagai berikut:

(OD)  (OD) f
SD 
(OD) m  (OD) f
47
OD adalah densitas optik film yang telah diekspos, (OD)f adalah OD film tidak diekspos yang sering disebut
fog/kabut yang umumnya bernilai ≡ 0.1-0.2 , dan (OD)m adalah OD maksimum yang dapat diukur bila seluruh grain
dikembangkan, berarti n = N. Secara praktis (OD)m sama dengan OD maksimum yang dapat dideteksi oleh
densitometer.

Nilai SD mempunyai rentang mulai 0 untuk film tidak terekspos sampai satu untuk mendekati saturasi.

Gambar B sering disebut sebagai kurva H and D berasal dari Hurter and Driffield. Biasanya kuva HD digunakan
untuk menyatakan karakter film, seperti faktor gamma.

Gamma dan kecepatan film


?????? D1 – D2)/ (log E2 – log E1)

Kurva memiliki 4 daerah :


 Fog (kabut), daerah eksposi 0 atau rendah
 Toe (tumit)
 Bagian linear, eksposi intermediate
 Shoulder (bahu) dan saturasi, daerah eksposi tinggi

Parameter tanggapan film adalah, faktor gamma, latitude, dan kecepatan. Latitude adalah daerah jangkauan eksposi
yang mengakibatkan tanggapan film linear. Untuk dosimetri, pengukuran dilakukan di daerah linear, yang berarti
dalam daerah latitude film. Kecepatan film didefinisikan sebagai kebalikan eksposi yang diperlukan untuk
memperoleh 1.0 di atas fog.

Efek fotolistrik dalam AgBr menyerap energi sinar X dengan energi hυ<0.1 MeV sekitar 10 – 50 kali lebih tinggi
dibanding dengan yang terjadi pada jaringan atau udara. Respons yang tinggi ini dapat dikompensasi dengan

48
membungkus film dengan filter, atau dalam film badge (monitor dosis perorangan) memberi lapisan filter metal pada
berbagai daerah permukaan film dengan tebal bervariasi.

Keuntungan penggunaan film dosimetri


 Resolusi spasial.
Film emulsi nuklir mampu untuk observasi lintasan tunggal dalam 1 μm di bawah mikroskop.
 Bacaan permanen
Kehitaman film bersifat permanen, sehingga pengukuran dapat dilakukan berkali-kali. Namun bila pengembangan
film tidak dilakukan dengan tepat, kesalahan pengukuran akan permanen juga.
 Ketersediaan komersial
Film tersedia secara komersial, karakternya sudah lama dipelajari oleh berbagai laboratorium. Kontrol kualitas dalam
manifaktur tinggi, namun kalibrasi setiap batch/bungkus harus selalu dilakukan.
 Geometri
Film dapat digunakan untuk mapping khususnya untuk berkas elektron, karena bentuknya yang tipis dan lebar.
Fleksibilitas film juga memungkinkan menempatkan film pada permukaan melengkung seperti pada bentuk silinder.
Untuk radiasi tinggi, ketebalan film dapat mencapai ukuran kaviti B-G (Bragg-Gray)
 Linieritas dosis
 Tidak tergantung laju dosis

Ketidak untungan penggunaan film dosimetri


 Proses kimia basah
 Dependensi pada energi sinar X
 Sensitivitas fading dalam lingkungan
 Fungsi respons ganda/double valued
 “blindness” terhadap neutron energi rendah

Film untuk dosimetri dalam radioterapi merupakan kombinasi film memiliki sensitivitas rendah dan tanggapan dosis
linier (contoh film KODAK EDR 2). Sensitivitas rendah memungkinkan untuk mengukur fraksinasi dosis radioterapi
(2 Gy atau lebih) dalam fantom untuk verifikasi distribusi dosis perencanaan IMRT.

49
Aktif material dalam film mempunyai nomer atom tinggi, sehingga mengakibatkan film mempunyai masalah dalam
dosimetri radioterapi. Tanggapan film sekitar 20 kali lebih sensitive terhadap sinar X 40 kV disbanding dengan sinar
X 1 MeV, dan rasio koefesien absorpsi massa untuk AgBr terhadap air sekitar 140 : 1. Oleh karenanya film tidak
cocok digunakan sebagai dosimeter absolut untuk foton. Di lain pihak film cocok untuk dosimetri electron megavolt,
karena rasio daya henti massa antara film dengan air relative konstan. Oleh karenanya film lebih sering digunakan
dalam dosimetri electron, dan juga digunakan dalam fantom inhomogen.

Beberapa keuntungan dosimeter film dibanding dengan yang lain


 Resolusi spasial tinggi, dapat lebih baik dari 1mm. Secara teori resolusi spasial ukuran grain yang
menentukan batas rendah resolusi spasial.
 Kemampuan untuk map distribusi dosis 2D. Dengan sekali eksposi dapat diperoleh kurva dosis kedalaman,
demikian pula untuk memperoleh profil dosis pada berbagai kedalaman.
 Akuisisi dosis integral, misalnya dalam penggunaan perlakuan radioterapi dinamis (rotation therapy, dynamic
wedge). Ketergantungan respons terhadap energy, berakibat konversi OD menjadi dosis harus diperhatikan.

Beberapa contoh penggunaan film dalam radioterapi:


 Port film, yang menentukan posisi berkas sinar X berkaitan dengan anatomi pasien selama perlakuan.
 Dlam pelaksanaan QC, kesesuaian antara berkas sinar X dengan cahaya penunjuk lapangan.
 Untuk menentukan pusat lapangan radiasi, spoke (jari-jari, ruji) pattern.
 Verfikasi distribusi dosis dengan fantom anthrophomorphic untuk teknik radioterapi khusus.

Film Radiochromic
Film radiochromic adalah film tipe baru yang digunakan dalam dosimetri radioterapi. Yang paling umum dipakai
adalah film GafChromic, yang tidak berwarna dan ekuivalen jaringan (9.0% hydrogen, 60.6% carbon, 11.2%
nitrogen, dan 19.2% oxygen), dan berubah menjadi biru bila terkena radiasi.

Film radiochromik berisi zat warna khusus yang terpolimerisasi bila terkena radiasi. Polimer yang terjadi menyerap
cahaya yang dapat diukur dengan densitometer khusus, dengan jangkauan pita absorpsi 670 – 610 nm. Film ini
mengembangkan sendiri, sehingga tidak membutuhkan pengembang/developer ataupun penguat/fixer, dan
perubahan warna stabil sampai temperatur 60 ºC. Sebelum diradiasi film tampak transparan dan tanpa warna, setelah
diradiasi berbah menjadi biru sebagai akibat polimerisasi. Koefesien absorpsi massa dan daya henti massa tumbukan
elektron film gafchromik sangat dekat dengan nilai keduanya oleh air dan jaringan, membuat film menjadi ekuivalen
jaringan.Lebih jauh lagi, film mudah digunakan karena tidak sensitif terhadap cahaya tampak. Film radiochromic
kurang sensitif (faktor sekitar 30 kali kurang sensitif terhadap film radiografi) sehingga sesuai untuk pengukuran
dosis tinggi, dan merupakan dosimeter relatif.

Pada mulanya gafchromic MD 55-1 terdiri dari lapisan radiochromic 15 µm pada dasar polyester 67 µm. Karena
emulsi langsung berhubungan dengan lingkungan, maka ketebalan mudah bervariasi dan tergores. Model baru MD
50
55-2 merupakan perbaikan MD 55 – 1, menggunakan 2 lapis emulsi, yang keseluruhannya dilindungi dari lingkungan
(Gambar 3. 55 di atas).

Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam penggunaan gafchromic:


1. Radiochromic akan mengembangkan diri sendiri dengan polimerisasi apabila terekspos radiasi. Namun perlu
waktu beberapa jam untuk memperoleh kestabilan perubahan warna. Untuk film MD 55-2 perlu waktu
minimum 1 jam untuk memastikan densitas optik stabil. Densitas optik bervariasi dengan waktu dan juga
temperatur.
2. Harus dihindarkan kelembaban berlebihan pada temperatur 25 ºC.
3. Cahaya ultraviolet memungkinkan perubahan warna tanpa diekspos radiasi pengion.
4. Pengukuran densitas optik tergantung pada panjang gelombang cahaya untuk evaluasi
5. Pengukuran densitas optik MD 55-2 tergantung pada polarisasi cahaya yang digunakan untuk evaluasi. Oleh
karenanya orientasi dan penjajaran film harus identik antara pengukuran dan kalibrasi.
6. Ketebalan emulsi kemungkinan bervariasi dalam satu lembar film. Karena proses manifaktur, variasi
khususnya hanya pada satu arah.
7. Radiochromic film adalah dosimeter relatif, standar harus dimasukkan dalam evaluasi. Film discan sebelum
dan sesudah diekspos dengan dosis radiasi uniform. Perbedaan antara kedua film merupakan tanggapan film
terhadap dosis yang diukur.
8. Tanggapan dosis sedikit melengkungdengan pengurangan sensitivitas pada dosis tinggi. Eksponensial
tunggal dapat dipakai untuk koreksi.
9. Belum ada laporan bahwa tanggapan gafchromic bervariasi dengan laju dosis maupun fraksinasi
10. Film gafchromic tidak ekuivalen jaringan. Untuk foton energi rendah sekitar 25 keV tanggapan dosis sekitar
setengahnya tanggapan dalam air.
11. Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan menggunakan film multiple layers.

Film cocok untuk aplikasi yang memerlukan high spasial resolution dan tissue ekuivalen. Sebagai contoh aplikasi,
pengukuran dosis brakhiterapi, pengukuran dosis permukaan dalam berbagai berkas megavolt, pengukuran dosis
untuk lapangan sempit stereotactic, dan verifikasi perencanaan IMRT.

Dosimetri luminisensi
Beberapa material setelah menyerap energi radiasi, menyimpan sebagian energi yang diabsorp dan menjadikannya
dalam keadaan metastabil. Selanjutnya untuk kembali ke keadaan stabil, material akan membebaskan energi, dapat
dalam bentuk gelombang ultraviolet, inframerah ataupun cahaya tampak. Fenomena demikian disebut luminisensi.
Ada dua jenis luminisensi, yakni fluorosensi dan fosforesensi, yang tergantung pada waktu tunda antara stimulasi
dan pencaran cahaya. Dikatakan fluorosensi bila waktu tunda berada dalam daerah 10-10 dan 10-8 sekon, fosforesensi
bila waktu tunda melebihi 10-8 sekon. Proses fosforesensi dapat ditingkatkan dengan sistem eksitasi menggunakan
panas atau cahaya.
 Bila eksitasi menggunakan panas, fenomena disebut termoluminisensi, dan materialnya disebut TLD (themo
luminiscence dosimeter.
 Bila eksitasi menggunakan cahaya tampak, fenomena disebut OSL (optically stimulated liminiscence ).

Deposisi energi dalam materi dilakukan oleh elektron sekunder yang dihasilkan oleh interaksi utama antara foton
dengan materi. Dalam material kristalin, elektron sekunder akan membebaskan berbagai elektron dengan energi
rendah dan lobang melalui ionisasi atom dan berbagai ion. Elektron bebas dan lobang selanjutnya akan rekombinasi
atau terperangkap dalam perangkap elektron dan lobang yang berada dalam kristal.

Perangkap elektron dapat berada dalam dalam kristal dalam bentuk ketidaksempurnaan kisi yang diakibatkan oleh
vacancy atau impuritas. Ada dua jenis perangkap, storage trap dan recombination centers.
 Suatu storage trap merupakan pembawa perangkap muatan bebas dan dapat membebaskan muatan dengan cara
a) memanaskan, yang diikuti oleh proses termoluminisensi, atau b) iradiasi dengan cahaya, yang mengakibatkan
proses OSL.
 Pembawa muatan terbebaskan dari suatu storage trap mungkin rekombinasi dengan pembawa perangkap muatan
lawan jenis dalam pusat rekombinasi (pusat luminisensi). Energi rekombinasi paling tidak sebagian dipancarkan
dalam bentuk sinar ultraviolet, infra merah atau cahaya tampak yang selanjutnya dapat diukur dengan
menggunakan fotodioda atau tabung photomultiplier (PMT).

51
Contoh TL yang umum digunakan dalam radioterapi adalah LiF:Mg, Ti. Unsur Mg merupakan impuritas tipe 1 akan
memberikan perangkap elektron dekat dengan pita valensi, sedangkan unsur Ti sebagai impuritas tipe 2 membentuk
pusat rekombinasi.

Jumlah cahaya yang dipancarkan sebanding dengan jumlah elektron yang terperangkap. Hubungan antara dosis
absorpsi dengan jumlah cahaya yang dipancarkan bersifat kompleks, tergantung pada berbagai parameter. Oleh
karenanya TLD hanya dapat digunakan sebagai dosimeter relatif.

Untuk menyatakan kurva pancaran secara matematik, diasumsikan semua perangkap diisi oleh elektron (lobang)
dengan jumlah yang berbeda. Selain itu kurva pancaran juga tergantung pada suatu konstanta perangkap spesifik s,
disebut sebagai frequency function yang berkaitan dengan vibrasi kisi. Untuk suhu konstan T, dan perangkap dengan
energy gap E0 jumlah elektron yang dibebaskan setelah waktu t dapat dikalkulasi sebagai berikut:

   Eg  
n  n0 exp  s t exp  
  kT 
n0 adalah jumlah elektron (dan/atau positron) terperangkap, s adalah faktor frekuensi atau frekuensi usaha bebas
berkaitan dan defek khusus, dan k adalah konstanta Boltzman.

Dalam praktek harga T yang diinginkan tidak dapat segera dicapai, dan sebagai contoh kurva pancaran (signal
intensitas versus temperatur) ditunjukkan oleh gambar di bawah (untuk kristal LiF:Mg;Ti). Puncak kurva pancaran
tergantung pada perangkap elektron ataupun holes dalam kristal. Lebih dalam perangkap, akan membutuhkan
aktivasi energi lebih tinggi, yang berarti temperatur pemanasan lebih tinggi.

52
Bentuk kurva individu yang digambarkan dengan garis putus-putus berkaitan dengan tingkat energi gap perangkap
elektron. Kurva individu tersebut dapat dikalkulasi dengan teori (Randall dan Wilkins 1945). Dengan laju pemanasan
R=dT/dt=konstan, dan asumsi first order kinetics (elektron terbebaskan ke dalam pita konduksi kemungkinan
terperangkap kembali diabaikan), sembarang puncak pada kuva pancaran dapat dinyatakan sebagai berikut
(McKinlay 1981b, Chen 1984):

  E0   Ts   E0    
I (T )  n0 s exp  exp 0  exp  dT 
 kT    R 
 kT   
Pada temperatur rendah bentuk exponen pertama dominan, menunjukkan kenaikan awal yang cepat sesuai dengan
puncak I. Bentuk kedua berpengaruh pada temperatur lebih tinggi. Persamaan di atas terlalu kompleks,
penyederhanaan yang dilakukan dengan persamaan berikut (Podgorsak et al. 1972, Delgado et al. 1992).

I (T )  I max exp(I  W (T  Tmax )  exp(W (T  Tmax )))


Imax adalah intensitas maksimum pada temperatur maksimum puncak kurva Tmax, dan W =Eg/kTmax2. Perhatikan
dalam persamaan tersebut nilai n0 dan s hilang, dan menjadi tidak penting dalam aplikasi dosimetri. Karakteristik
kurva pancaran kurva pancaran LiF:Mg;Ti yang diberikan dalam Tabel di bawah merupakan kalkulasi menggunakan
persamaan di atas.

53
Karakteristik TLD LiF:Mg,Ti

Fading
Meskipun energi gaps Eg antara pita konduksi dan perangkap elektron relatif tinggi, namun ada kemungkinan
elektron memperoleh energi dan mengakibatkan elektron keluar dati perangkap. Semakin rendah energi gap, semakin
tinggi pula kemungkinan pancaran cahaya spontan, yang mengurangi populasi elektron dalam perangkap elektron,
dan akhirnya menurunkan signal TLD. Proses demikian disebut fading/peluruhan. Waktu paroh untuk beberapa
perangkap elektron dalam temperatur ruang berkisar dari beberapa menit sampai dengan beberapa tahun, dan nilainya
umumnya meningkat dengan kenaikan energi gap.

Variasi signal TLD dengan dosis

Kurva respons TLD terhadap radiasi dengan LET rendah seperti foton dan elektron, dapat dibagi menjadi 3 daerah.
Daerah dosis rendah, merupakan daerah limit deteksi, dalam order 0.1 mGy untuk LiF:Mg,Ti. Kemudian daerah
respons linier dengan dosis, yang sangat berguna untuk pengukuran. Dalam daerah dosis tinggi, kurva disebut
supralinier, dalam daerah ini bacaan menunjukkan dosis overestimate. Dosis lebih tinggi lagi, kurva menunjukkan
penurunan lagi yang disebabkan oleh kerusakan TLD. Dalam radioterapi, dosis sekitar lebih dari 300 Gy, sensitivitas
relatif menurun lagi akibat kerusakan detektor.

54
Supraleniarity
Dalam radioterapi yang umumnya menggunakan dosis lebih dari 1 Gy, supralinearity menjadi penting. Diandaikan
bahwa perangkap yang terisi dan berbagai aktivasi pusat rekombinasi terbentuk oleh radiasi, dan saling berdekatan
untuk dosis tinggi. Proses demikian berakibat kemungkinan rekombinasi tinggi pada saat emisi cahaya sehingga
meningkatkan signal TLD. Sifat supralinear juga dipengaruhi oleh LET. Untuk LiF:Mg,Ti sifat supralinear
tergantung pada komposisi kimia, terutama konsentrasi Ti. Konsentrasi Ti tinggi akan meningkatkan batas ambang
supralinearitas. Untuk LiF puncak pancaran nomer tinggi menunjukkan pengaruh kuat pada spralinear. Bila puncak
VII dimasukkan dalam evaluasi dimungkinkan permulaan terjadi supralinear untuk dosis < 1 Gy. Sejarah pemanasan,
temperatur annealing, dan laju pendinginan juga berpengaruh pada spralinearitas.

Dalam penggunaan klinis berbagai koreksi diberikan pada efek supralinearitas pada bacaan. Koreksi diberikan oleh
Feist (1998) sebagai berikut.

D 2  (1   ) D  K M
M adalah nilai bacaan, K adalah faktor kalibrasi untuk 1 Gy, dan α adalah persentase linearitas per Gy dengan nilai
yang bervariasi antara 0.002 – 0.04 untuk dosimeter TL dan kualitas radiasi berbeda. Untuk mengurangi
supralinearitas sebaiknya penyinaran TLD dilakukan paralel dengan pengukuran pada dosis yang telah diketahui
(kalibrasi terlebih dahulu).

Sensitivitas
Sensitivitas LiF:Mg,Ti tergantung pada matrial komposisinya dan thermal history. Dapat berbeda dari batch satu
dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara dosimeter dengan batch sama dan tidak berkorelasi dengan berat.
Diperkirakan perbedaan disebabkan oleh kondisi permukaan yang berpengaruh pada pancaran cahaya yang keluar
dari detektor. Yang sangat penting harus diperhatikan adalah pengaruh pada sensitivitas oleh laju pemanasan dan
pendinginan setelah annealing. Regulla menunjukkan bahwa output LiF:Mg,Ti dapat meningkat paling sedikit tiga
kali bila laju penurunan ditingkatkan dari 2 ºC menjadi 200 ºC per menit.

Laju dosis
Sejauh ini untuk respons LiF:Mg,Ti tidak dipengaruhi oleh laju dosis sampai 108 Gy/s. Sepertinya sifat ini berlaku
untuk semua dosimeter TLD.

Pengaruh kualitas radiasi

55
Variasi respons terhadap kualitas radiasi ditunjukkan oleh glow peak ( berkaitan dengan jenis perangkap elektron)
dan LET radiasi (berkaitan dengan distribusi spasial perangkat dan pusat rekombinasi). Keduanya menentukan
respons terhadap kualitas radiasi dan juga berpengaruh pada tingkat supralinearitasnya.

Rasio daya henti elektron LiF terhadap air sekitar 0.8 dan konstan dalam rentang lebar energi elektron (10 keV
sampai 20 MeV) (Mayles et al 19930). Tanggapan LiF:Mg,Ti terhadap elektron dengan energi rendah bersifat
kompleks, teori caviti tidak dapat digunakan karena TLD ukuran tidak kecil dibandingkan dengan lontas elektron.
Tergantung pada ukuran detektor dan energi elektron, tanggapan dapat stabil ataupun berkurang sekitar 15% terhadap
radiasi gamma Co 60 (Horowitz 1984). Mengingat kompleksitas respons TLD terhadap kualitas radiasi, maka
sebaiknya dosimeter dikalibrasi dengan radiasi sama dengan yang akan diukur.

Beberapa masalah yang perlu diperhatikan pada penggunaan TLD untuk mengukur sinar X energi rendah sampai
medium:
 Nomer atom efektif LiF 8.14, bandingkan dengan air 7.51
 Supralinieritas dapat berbeda untuk kualitas radiasi yang berbeda. Dianjurkan untuk membatasi presisi
tinggi, pengukuran dosis lebih rendah dari 1 Gy.
 Atenuasi radiasi oleh TL sendiri. Efek akan terlihat pada TL ketebalan tinggi. Pada pita TL yang sering
dipakai, ketebalan 0.9 mm, 70% intensitas nerkas sinar X 10 kV diserap oleh kristal.
 Proses read-out. Over-response TL pada sinar X energi rendah bervariasi
 Thermal history. Glow peak dipengaruhi oleh thermal history, dan juga berpengaruh pada respons
 Bila TL dibungkus oleh material lain, sifat fisisnya dapat berubah, yang berarti juga mengubah respons.

Ketelitian/presisi
TLD adalah dosimeter relatif, dosis emisi tergantung pada berbagai faktor, berhubungan cahaya yang dipancarkan
yang kesemuanya sulit dikontrol. Oleh karenanya ketelitian pengukuran tergantung pada reproducibility (presisi)
bacaan dan standar untuk menentukan sensitivitasnya. Tingkat presisi tergantung pada set up sistem TLD dan
kelengkapan peralatannya. Sebagai contoh LiF:Mg, Ti ketelitian dapat mencapai ± 10% (Julius 1981), turun 0.3%
(Feist 1988), atau bahkan 0.2% (Martenson 1969). Yang terakhir dapat dicapai dengan temperatur pre-annealing di
bawah 0ºC dan dikhususkan untuk fasilitas irradiasi dan cek uniformitas kalibrasi. Ketelitian ± 2% dapat dicapai oleh
TLD rod yang digunakan dalam rentang dosis radioterapi.

Paling teliti dapat dicapai dengan menggunakan calibration detector group. Suatu set TLD tertentu dikalibrasi
dengan detektor dalam kondisi temperatur sama, pada waktu sama, dan kualitas radiasi sama. Dalam penggunaan
klinis umumnya digunakan lebih dari satu detektor pada satu titik pengukuran.

Bilik ionisasi cair

56
Volume bilik ionisasi ditentukan berdasarkan kompromi antara minimalisasi untuk kemudahan lokalisasi dalam
pengukuran dan dan maksimasi dalam memperoleh signal dengan rasio signal-noise tertinggi. Dibanding dengan
bilik ionisasi gas, bilik berisi cairan lebih menguntungkan karena dapat mengurangi efek perturbasi. Wickman
membuat bilik ionisasi plan paralel yang diisi dengan cairan dielektrik seperti isooctane atau tetrametilsiline. Bilik
ionisasi cair jarang digunakan, karena membutuhkan beda tegangan relatif lebih tinggi (1000 V), mudah terjadi
rekombinasi yang menurunkan efesiensi tanggapan, dan memiliki tanggapan yang tidak linear.

Optically stimulated luminiscence dosimetry (OSL)


Prinsip kerja OSL sama dengan fenomena TLD. Sebagai ganti pemanasan, lompatan elektron dari perangkap ke pita
konduksi dapat dilakukan dengan pemberian cahaya, seperti cahaya yang dihasilkan oleh laser. Proses pembacaan
dapat berlangsung cepat, dan cahaya dapat dilokalisir dalam kristal sehingga stimulasi dapat dipilih pada bagian
kristal, sehingga menghasilkan resolusi spasial tinggi. Dalam radioterapi, dosimeter ini belum banyak dipakai.
Pembacaan dilakukan dengan mendeteksi cahaya pada arah 90 yang telah terfilter untuk menjaga pengaruh dari
cahaya stumulans. Pemberian cahaya pulsatif (POSL) merupakan perkembangan OSL. Contoh POSL adalah
AL2O3:C, yang bila distimulasi dengan cahaya menghasilkan intensitas cahaya 3 kali lebih tinggi dibanding dengan
bila dipanaskan. Dosimeter ini telah digunakan sebagai dosimeter personal, dan juga memungkinkan untuk
mengukur dosis pada organ kritis dalam radioterapi.

Detektor intan
Intan merupakan suatu resistans yang harganya proporsional dengan laju dosis. Pada suatu laju dosis, arus
proporsional dengan dengan beda tegangan, yang umumnya sekitar 100 V. Tanggapan dosimeter dipengaruhi oleh
laju dosis dan impuritas dalam material. Rekombinasi antara elektron dan lobang akan menurunkan signal yang
dihasilkan oleh radiasi. Pemberian impuritas dapat mengurangi efek ini, karena dengan penambahan perangkap
elektron akan mengakibatkan penambahan lobang sehingga lebih banyak dibanding dengan elektron bebas. Dengan
demikian variasi laju dosis yang berakibat pada variasi jumlah elektron tidak banyak berpengaruh pada perubahan
rekombinasi yang signifikan. Efek yang demikian membuat dosimeter intan tidak tergantung pada laju dosis namun
menurunkan sensitivitas. Efek lain adalah polarisasi detektor sebagai akibat perangkap elektron. Polarisasi
mengakibatkan penurunan sensitivitas dengan kenaikan dosis total, dan direkomendasikan untuk melakukan pre-
iradiasi dengan dosis sekitar 5 Gy sebelum dosimeter digunakan.

Intan mendekati ekuivalen jaringan dengan rasio daya henti dalam karbon dengan dalam jaringan mendekati konstan
untuk semua energi foton. Tanggapan detektor tidak tergantung pada arah jatuhnya berkas, dan bentuknya yang kecil
cocok untuk pengukuran dengan lapangan kecil memungkinkan untuk dipakai dalam perlakuan stereotactic surgery.
Untuk pengukuran depth dose, faktor pengaruh laju dosis harus dimasukkan. Tanggapan menurun sekitar 3% untuk
perubahan laju dosis dari 0.8 Gy/men sampai 4.0 Gy/men.

Dosimeter semikonduktor

Dibanding dengan bilik ionisasi dosimeter dioda mempunyai volume aktif lebih kecil, mengingat energi yang
diperlukan untuk membentuk pasangan ion sekitar 10 kali lebih rendah dalam material padat dibanding dengan dalam
gas. Hampir semua jenis detektor ini termasuk dalam kelompok detektor radiasi aktif, karena bacaan dosis dapat
dibaca langsung. Dalam radioterapi dikenal 2 jenis detektor semikonduktor:
 dioda silikon
 metal oxide semiconductors-field effect transistors (MOSFETs)
57
Dioda Silikon
Silikon (Si) dan germanium (Ge) sudah digunakan untuk spectrometry dan telah menggantikan sintilator bila
diperlukan resolusi tinggi. Namun semikonduktor dapat pula digunakan untuk dosimeter, yang dapat pula
menggantikan bilik ionisasi. Karena ionisasi yang dihasilkan oleh partikel bermuatan yang melewati volume
sensitive sebanding dengan energy yang diserap, dan tidak tergantung pada LET, maka semikonduktor ini dapat
bertindak sebagai spectrometer ataupun dosimeter.

Pada umumnya dosimeter diode terbuat dari p-n junction, dengan sebagian besar komponen semikonduktor tipe p,
dan pada permukaannya dibentuk lapisan tipis semikonduktor tipe n. Bila terminal n diaplikasikan potensial positif
(10 – 103V) terhadap permukaan yang dilapis dengan penguapan metal, maka diantara kedua jenis semikonduktor
terjadi depletion layer yang selanjutnya bertindak sebagai volume sensitif. Ketebalan depletion layer sebanding
dengan akar potensial aplikasi, yang umumnya dalam micrometer sampai dengan 5 mm.

Pasangan ion (electron-lobang) terjadi dalam depletion layer material Si pada 300 K memerlukan energy 3.68 eV
untuk electron dan 2.97 eV dalam Ge pada 77 K. Dibandingkan dengan energy ionisasi W dalam bilik ionisasi, maka
energy ionisasi dalam semikondoltor relative lebih rendah, sekitar sepersepuluhnya. Artinya untuk penyerapan
energy yang sama dalam semikonduktor akan terjadi ionisasi lebih tinggi sepuluh kali lipat. Oleh karenanya
semikonduktor Si dan Ge mempunyai resolusi energy relative tinggi. Mobilitas electron 1350 cm per V/cm dalam Si
dan 3900 cm per V/cm dalam Ge pada 300 K, sedangakan mobilitas lobang 480 dan 1900 cm per V/cm berturut-
turut dalam Si dan Ge pada suhu 300 K. Dengan demikian electron dapat mencapai batas volume sensitive
memerlukan waktu sekitar 10-7 – 10-6 s, yang relatif singkat.

Detektor Si(Li) dan Ge(Li) dapat dibuat tipis sampai 10 pm yang dapat bertindak seban\gai alat ukur dE/dx partikel
bermuatan. Dapat pula sebagai dosimeter atau pengukur distribusi medan partikel bermuatan. Detektor Ge(Li) dipilih
dibanding Si(Li) untuk spectrometer sinar X energy > 50 keV ataupun untuk mengukur fluens energy, karena Ge
mempunyai Z (32) lebih tinggi dari Si dengan Z (14), sehingga Ge memiliki kemungkinan interaksi fotolistrik
relative lebih tinggi.

Detektor Ge(Li) dan Si(Li) dioperasikan dengan nitrogen cair untuk menjaga kestabilan resolusi spstrometer. Bila
Ge(Li) pernah dipanaskan sampai temperature kamar, dimungkinkan detector rusak akibat Li migrasi, sedangkan
detector Si(Li) dapat berada dalam suhu ruang karena mobilitas ion Li rendah.

Dosimeter semikonduktor merupakan dioda p-n junction. Dioda dibuat dari semikonduktor tipe p atau tipe n dengan
memberi doping yang berlawanan pada permukaannya untuk membentuk semikonduktor sebaliknya. Tergantung
pada material dasar, dosimeter dapat dalam bentuk n-Si ataupun p-Si. Namun untuk radioterapi umumnya digunakan
jenis p-Si, mengingat dosimeter jenis ini tidak mudah rusak oleh radiasi dan mempunyai dark current relatif lebih
kecil.
58
Lapisan deplesi merupakan daerah sensitif dosimeter. Ketika semikonduktor diradiasi, terbentuk partikel bermuatan
seperti elektron dan lobang elektron yang dapat bergerak bebas, dan mengakibatkan signal arus mengalir. Pada
prinsipnya, radiasi pengion tidak hanya dideteksi oleh dioda, namun juga merusak semikonduktor. Oleh karenanya
sensitivitas detektor dioda berubah dipengaruhi oleh sejarah penggunaannya. Menurut Rikner dan Grusell,
semikonduktor jenis-p relatif lebih cocok untuk detektor radiasi. Setelah pre-irradiation dengan dosis beberapa kGy,
kerusakan semikonduktor menjadi rendah, sehingga dosis berpengaruh lambat pada perubahan sensitivitas detektor.

Beberapa sifat yang perlu diperhatikan dalam dosimeter dioda:


 Dioda digunakan dengan rangkaian pendek, untuk mengurangi kebocoran arus.
 Dioda lebih sensitif dan mempunyai ukuran lebih kecil dibanding dengan bilik ionisasi. Dosimeter dioda adalah
dosimeter relatif.
 Dioda berguna terutama untuk pengukuran dalam fantom, contohnya untuk lapangan kecil yang digunakan
dalam bedah radiasi stereotaktik atau daerah dosis gradien tinggi seperti daerah penumbra. Dosimeter ini sering
juga dipakai untuk pengukuran dosis kedalaman berkas elektron.
 Dosimeter dioda sering digunakan untuk dosimetri in vivo pada pasien atau pengukuran dosis pada rectum atau
bladder.
 Dosimeter harus dikalibrasi sebelum dipakai untuk pengukuran in vivo.
 Respons dioda dipengaruhi oleh temperatur, laju dosis, sudut datang berkas, energi radiasi, dan sedikit
dipengaruhi komposisi spektral berkas radiasi.

Sistem dosimetri MOSFET


Metal-oxide semiconductor field effect transistor (MOSFET), merupakan transistor silicon yang mempunyai resolusi
spasial tinggi dan atenuasi berkas relatif rendah karena ukurannya yang kecil, sehingga cocok untuk dosimetri in
vivo. Radiasi pengion akan menembus oksida dan menghasilkan muatan yang selanjutnya terperangkap permanen.
Dosis integral dapat dibaca selama atau sesudah iradiasi. Dosimeter ini mempunyai waktu hidup terbatas.

Beberapa sifat detektor MOSFET yang perlu diperhatikan:

59
 Satu jenis MOSFET dapat dipakai untuk foton dan elektron dengan jangkauan energi lebar, meskipun respons
bervariasi dengan kualitas radiasi. Namun khusus untuk berkas megavolt MOSFET tidak memerlukan koreksi
energi, digunakan kalibrasi tunggal.
 MOSFET mempunyai anisotropi aksial kecil ( 2% untuk 360), dan tidak memerlukan koreksi laju dosis.
 MOSFET dipengaruhi oleh temperatur, namun dapat dikurangi dengan membentuk desain khusus sistem
MOSFET dobel. Dosimeter ini juga dipengaruhi oleh tegangan bias selama iradiasi, dan respons sedikit berubah
setelah iradiasi.
 MOSFET dipakai dalam pengukuran in vivo dan dalam fantom, seperti verifikasi dosis pasien rutin, TBI (total
body irradiation), brakhiterapi, IMRT (intensity modulated radiotherapy), intraradiotherapy dan radiosurgery.
 MOSFET dapat digunakan sebagai dosimeter integratif, dapat digunakan untuk memantau seluruh fraksinasi
perlakuan pasien. Untuk keperluan ini, peluruhan harus diperiksa untuk koreksi.
 Detektor mempunyai waktu hidup terbatas.
 MOSFET tidak ekuivalen jaringan dan mempunyai respons bervariasi dengan kualitas radiasi. Mengingat
volume aktif detektor sangat kecil, packaging/pembungkusan detektor berpengaruh pada karakteristik respons.

Alanine dosimeter
Alanine adalah salah satu asam amino, merupakan material organik, dapat dipakai sebagai dosimeter dengan cara
memampatkannya menjadi dalam bentuk pelet atau batang. Dosimeter ini dapat untuk mengukur dosis tinggi, sampai
lebih dari 10 Gy. Interaksi dengan radiasi mengakibatkan pembentukan radikal yang terperangkap dalam dosimeter,
yang jumlahnya sebanding dengan dosis yang diterimanya. Pembacaan setelah irradiasi dilakukan dengan ESR
(elektron spin resonance). Pembacaan tidak mengakibatkan perusakan material, sehingga dapat diulang.

Alanin merupakan ekuivalen jaringan, sehingga pengukuran dosis tidak memerlukan faktor koreksi dalam rentang
kualitas radiasi untuk radioterapi.Peluruhan jumlah radikal pada umumnya rendah. Tanggapan dosimeter tergantung
pada kondisi lingkungan, temperatur dan kelembaban. (Departemen Fisika memiliki spektrometer ESR, namun
sayangnya saat ini dalam kondisi tidak berfungsi).

Dosimeter lain (Scintilator plastik, dosimetri gel)

Sintilator plastik

Sintilator plastic adalah dosimeter radioterapi yang relative masih baru. Cahaya yang
dipancarkan oleh sintilator selama iradiasi diterima oleh kabel optic dan dihubungkan
dengan PMT yang diletakkan di luar ruangan. Sistem sintilasi ini memerlukan 2 set
kabel optic yang dihubungkan dengan PMT berlainan, satu untuk mendeteksi radiasi
latar Cerenkov yang nantinya digunakan untuk subtraksi signal terukur. Tanggapan
sintilator ini linier terhadap dosis dalam jangkauan penggunaan klinis.

Densitas electron dan komposisi atomic sintilator plastic mendekati sama dengan air,
daya henti dan koefesien absorpsi energy keduanya berbeda sekitar ± 2% untuk kualitas
energy dalam penggunaan klinis, termasuk sinar x kilovolt. Oleh karenanya sintilator
ini hampir independen terhadap energy dan dapat digunakan langsung untuk dosimeter
relative.
60
 Sintilator plastic dapat dibuat sangat kecil (1 mm3 atau lebih kecil), sehingga dapat
digunakan bila pengukuran memerlukan resolusi spasial tinggi (daerah build up,
gradient dosis tinggi, daerah interface, sumber brakhiterapi, dosis lapangan kecil).
Dosimeter ini ideal untuk dosimetri brakhiterapi.
 Dosimeter plastic memiliki reprodusibilitas tinggi dan stabilitas dalam waktu
lama, tidak mudah rusak oleh radiasi dosisi tinggi (sampai ~ 10 kGy)
 Dosimeter plastic independen terhadap laju dosis, dapat digunakan dari 10
µGy/min sampai 10 Gy/min. Tambahan lagi tanggapan tidak tergantung arah
datang berkas radiasi dan tidak perlu koreksi temperature dan tekanan udara.

Dosimetri Kimia

Dalam dosimetri kimia dosis ditentukan secara kuantitatif, merupakan perubahan kimia
dalam suatu medium, yang dapat dalam bentuk cairan, padat, ataupun gas. Yang paling
umum digunakan medium dalam bentuk cair, khususnya Fricke dosimeter. Bentuk
cairan lebih relevan untuk pengukuran dosis dalam jaringan atau material biologi lain.

Interaksi radiasi dengan cairan dosimeter dianggap seperti interaksi dengan air,
produksi kimia aktif dalam waktu sekitar 10-10 s. Hasil produksi termasuk radikal bebas
H dan OH, dan produk molekular H2 dan H2O2, terdistribusi secara heterogen sepanjang
lintasan partikel bermuatan. Sekitar 10-6 s setelah interaksi awal, produk primer tersebut
melalui proses difusi menjadi cenderung homogen, dan secara simultan menginduksi
terjadinya interaksi kimia dengan berbagai molekul yang larut di dalamnya.
Ketergantungan dosimeter pada LET ditentukan oleh laju reaksi. Lintasan yang rapat
(LET tinggi) memungkinkan terjadi reaksi balik seperti proses rekombinasi dalam gas,
sehingga mengurangi hasil produksi (yield) yang akan diukur.

Hasil pengukuran produk dinyatakan dengan nilai G, dan oleh ICRU disebut sebagai
radiation chemical yield G(X),yang berhubungan dengan produk interaksi X. Nilai G
merupakan nilai produk (misalnya molekul) yang rusak atau berubah oleh penyerapan
energi radiasi sebesar 100 eV. G(X) dinyatakan dalam moles/J yang dapat diperoleh
dari nilai G dikalikan dengan 1.037 x 10-7.

Sebagai contoh suatu nilai G(X) dalam moles/J, bila dosis 1 Gy diperlukan oleh N liter
larutan dengan densitas (1.00 gr/cm3), maka larutan akan harus menyerap dosis integral
N Joule. Jumlah produk menjadi NG(X) moles atau G(X) moles/liter. Dengan demikian
G(X) adalah molar larutan produk radiasi, hasil deposit energi rata-rata 1 Gy dalam
larutan dengan ρ = 1g/cm3, yang tidak tergantung pada volume. Karena dalam dosimeter
larutan, G(X) umumnya dalam orde 10-6– 10-7moles/J, maka dosis 10 Gy akan
memerlukan memerlukan larutan dosimeter sekitar 10-5 – 10-6 M.
61
Perubahan kimia dalam dosimeter larutan umumnya dievaluasi dengan menggunakan
spectrophotometer. Pengukuran didasarkan pada kenyataan bahwa beberapa dosimeter
kimia menunjukkan perubahan warna bila terjadi transisi ion metal ke dalam kondisi
oksidasi.

Dosimeter kimia yang paling umum didasarkan pada reaksi Fe2+ dalam ferrous sulphate
yang berubah menjadi Fe3+ ferric sulphate setelah menyerap energi radiasi. Konsentrasi
Fe yang digunakan umumnya sekitar 1 mM. Medium larutan adalah air yang
mengandung sulfuric acid sekitar 0.1 M, dan larutan dosimeter demikian mendekati
ekuivalen air/jaringan. Selanjutnya reaksi dosimetri dapat disederhanakan sebagai
berikut:

Fe2+ + OH + radiasi → Fe3+ + OH-

H + O2  HO2

Fe2+ +HO2  Fe3+ + HO2-

Fe2+ + H2O2  Fe3+ +OH + OH-

Nilai G untuk larutan Fricke dalam order 1.6 µmol/J yang sedikit bervariasi dengan
energi radiasi. Dalam dosimeter Fricke transisi Fe dapat dideteksi dengan
spectrophotometer dalam rentang cahaya merah. Karena larutan Fricke tidak terlalu
sensitif terhadap radiasi, maka untuk meningkatkan sensitivitasnya dapat ditambahkan
larutan asam benzoat ataupun larutan organik lain seperti.agarose. Dalam radioterapi,
dosimeter Fricke digunakan untuk dosimeter standard, dan dapat pula digunakan untuk
inter komparasi antar pusat radioterapi.

Perlu diperhatikan bahwa sensitivitas larutan fricke terhadap impuritas menurun dengan
kehadiran NaCl, sehingga perlu air distilasi 3 kali dan pure high grade chemicals.
Mengingat ferrous sulfat perlahan teroksidasi (sebagai fungsi waktu), maka larutan
harus dibuat langsung sebelum digunakan

Gel Dosimetri

Perkembangan dosimetri Fricke adalah dengan memasukkan dosimeter dalam matriks


gel. Saat ini dikenal dosimeter gel Fricke dan gel polimer. Pembacaan gel dosimeter
dapat dilakukan dengan spektroskopi NMR (nuclear magnetic resonance). Dua keadaan
ionik yang berbeda (Fe2+ dan Fe3+) memberikan pula perbedaan dalam momen magnet,
radius ionik, waktu relaksasi T1 dan T2 (berkaitan dengan relaksasi proton dalam
percobaan NMR). Bila posisi spasial ion dosimeter Fricke dibuat tetap dengan
62
menanamkannya dalam matrik gel, maka efek radiasi dapat digunakan untuk
memperoleh citra 3-D distribusi dosis dalam gel dengan menggunakan MRI. Dosimetri
ini mempunyai 3 keuntungan:
 Sifat dasar fantom 3D and teknologi pencitraan MRI
 Detektor dan fantom identic dan ekuivalen jaringan untuk radiasi pengion
 Fantom dapat dibuat dalam segala bentuk, dan berbagai material berbeda (mis.
tulang dan paru) yang dapat ditanamkan didalamnya.
Meskipun dosimetri gel ini menjanjikan untuk perkembangan dosimetri di masa depan,
namun dengan penggunaan MRI penggunaannya menjadi kompleks, perkembangan
implementasinya akan mengalami berbagai kendala antara lain:
 Harga mahal, dan perlu akses dengan MRI
 Reproducibility proses pembuatan gel, meskipun dengan control ketat sulit
memperoleh gel dengan sensitivitas terhadap radiasi homogeny pada batch yang
berbeda.
 Gel Fricke menunjukkan sifat oksidasi spontan, sehingga disarankan untuk
menyiapkan gel baru pada setiap seri pengukuran
 Akibat ketidak homogenan medan magnet dan variasi tip angle seluruh field of
view dalam suatu jenis MRI memungkinkan tanggapan dosis berbeda pada setiap
bagian fantom. Diperlukan informasi map analisis kuantitatif tanggapan sebelum
pengukuran.
 Pengukuran dengan dosimetri berdasarkan MRI memerlukan waktu lama.
 Disfusi Fe3+ mengharuskan pengukuran secepatnya sesudah irradiasi, karena
difusi menyebabkan pengaburan citra dosis.

63
Evaluasi dosis dapat pula dilakukan dengan sistem optical. Metoda optik ini didasarkan
pada penggunaan dye, xylenol orange, yang membentuk senyawa larutan Fe3+ dengan
warna kompleks. Dapat pula cross link polimer yang mengubah absorpsi optik
digunakan sebagai dasar evaluasi. Pada mulanya citra 2 dimensi slab dosimeter yang
dievaluasi, perkembangan memungkinkan untuk evaluasi 3 dimensi dengan metoda
sperti pada CT scan. Optical evaluation relatif lebih murah, sehingga gel dosimetri 3D
ini sudah ada di beberapa pusat radioterapi. Dikembangkan pula metoda lain untuk
evaluasi dosimetri gel, seperti Raman spetroscopy. Keuntungan spektroskopi ini adalah
resolusi yang relatif lebih tinggi.

Biological dosimetry

64
Dosimeter biologi didasarkan efek biologi radiasi. Dalam radioterapi yang erat dengan
pembunuhan klonogen sel tumor, dosimetri biologi dapat digunakan untuk penilaian
hasil radioterapi. Namun dalam dosimetri ini tidak mudah dikuantisasi, evaluasi harus
sangat hati-hati karena bersifat kompleks seperti sistem biologi.

Ada dua jenis dosimeteri biologi dalam radioterapi: assays erythema dan aberasi
kromosom. Effek biologi radiasi yang diamati pada kulit adalah pemerahan seperti pada
efek terbakar sinar matahari. Efek ini dapat dihubungkan dengan kemungkinan
penyembuhan tumor yang sedang menjalani radioterapi. Oleh karenanya bila kesulitan
memperoleh peralatan dosimetri, erythema merupakan dosis pertama yang dapat
dikuantisasi dalam radioterapi. Namun sensitivitas individual berpengaruh dalam
clinical judgement. Ada usaha untuk membuat tabel kuantisasi hubungan antara
kemerahan kulit dengan dosis. Kuantisasi berdasarkan hasil pengukuran reflectance
spectrophotometer.

Dalam teknik aberasi kromosom, sampel darah diambil dari individu dan dengan
menggunakan mikroskop jumlah aberasi dapat dihitung. Dengan dosimetri ini dosis
pada seluruh tubuh mulai dari 0.1 Sv dapat diamati. Untuk radiasi dengan lapangan
terbatas seperti pada perlakuan radioterapi, dosis ambang menjadi lebih tinggi.
Ketelitian dosimetri ini rendah, karena untuk dosis rendah kemungkinan dipengaruhi
pula oleh aberasi spontan. Untuk mengetahui pengaruh aberasi spontan pada individu,
sampel darah diambil kembali sekitar 4 minggu setelah eksposi. Pada umumnya analis
aberasi kromosom digunakan bila terjadi kecelakaan, dan dosimetri ini dilakukan pada
laboratorium khusus, seperti BATAN.

Instrumentasi sistem pemantauan (monitoring)

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap detektor adalah bila berinteraksi dengan
radiasi memberiikan respons atau tanggapan sebanding dengan efek yang ditimbulkan
ataupun sifat radiasi yang sedang diamati. Prinsip kerja detektor didasarkan pada
berbagai efek yang timbul akibat berinteraksi dengan radiasi. Secara garis besar efek
radiasi yang banyak dimanfaatkan untuk sistem deteksi dapat digolongkan sebagai
berikut:
efek peralatan detektor
kelistrikan bilik ionisasi gas
pencacah proporsional gas
pencacah Geiger gas
zat padat semi konduktor

luminisensi TLD (thermo luminisce dosimeter) kristal


dan sintilasi pencacah sintilasi kristal atau cairan

65
kimia film emulsi fotografi
dosimeter kimia zat padat atau cair

panas kalorimeter zat padat atau cair

Detektor gas
Umumnya detektor gas berbentuk tabung yang berisi gas, dilengkapi dengan elektroda
di dalamnya yang bertindak sebagai anoda. Dinding tabung biasanya berlaku sebagai
katoda, Kedua elektroda dipisahkan oleh isolator.

Pada saat tabung detektor berinteraksi dengan radiasi, ionisasi terjadi dalam gas
detektor. Bila waktu konstan rangkaian lebih besar dari waktu yang dibutuhkan untuk
koleksi semua ion yang dihasilkan oleh satu partikel yang lewat, maka ukuran pulsa V
= Q/C. Perubahan ukuran pulsa dengan kenaikan beda tegangan antara katoda dan
anoda dapat digambarkan sebagai berikut.

66
Kenaikan beda tegangan antara katoda dan anoda mengakibatkan terjadi proses
berikut.
1. Pada beda tegangan rendah, elektron yang terjadi akan melakukan rekombinasi
dengan ion positif. Kenaikan beda tegangan berangsur-angsur elektron ditarik dan
dikumpulkan oleh anoda. Daerah demikian disebut daerah rekombinasi.
2. Bila V terus dinaikkan, semua elektron yang terjadi dikoleksi oleh anoda . Dalam
daerah ini respons detektor hampir konstan dengan kenaikan beda tegangan V, dan
membentuk plato yang disebut daerah bilik ionisasi.
3. Bila V dinaikkan lagi, elektron akan dipercepat, sehingga memiliki energi cukup
untuk melakukan ionisasi berikutnya. Respons detektor akan meningkat dengan
kenaikan beda tegangan dan sebanding dengan energi yang diberikan oleh foton
datang. Daerah demikian disebut daerah pencacah proporsional. Dalam sistem ini
elektron mengalami multiplikasi sampai sekitar 103.
4. Bila V dinaikkan lagi, setiap elektron yang terjadi dalam gas dipercepat dan
melakukukan ionisasi berantai sedemikian sehingga anoda akan diselimuti oleh
kabut elektron. Penurunan tegangan anoda hampir konstan, tidak tergantung pada
jenis dan energi partikel yang menyebabkannya. Daerah tegangan demikian disebut
daerag Geiger. Multiplikasi dalam sistem pencacah ini mencapai 105 – 106 .
5. Bila V dinaikkan lagi, melewati batas daerah kerja pencacah Geiger, kabut elektron
tidak terkontrol, anoda akan menerima elektron secara kontinu. Daerah ini disebut
daerah perlucutan, tabung detektor dalam daerah ini tidak berfungsi lagi.

67
Bilik ionisasi
Beda tegangan antara katoda dan anoda cukup untuk mengumpulkan ion yang
dihasilkan oleh radiasi, tidak memberikan untuk rekombinasi, dan tidak cukup untuk
memungkinkan terjadi multiplikasi.

Ukuran pulsa tergantung pada jumlah ion yang terjadi dalam bilik, memungkinkan
alat ini untuk membedakan antara berbagai radiasi dengan ionisasi spesifik yang
berbeda-beda, seperti sinal alpha, beta, gamma, atau sinar x.

Muatan yang dikumpulkan dalam bilik ionisasi akan menjadi ukuran energi yang
diserap dalam udara ataupun medium yang dipindahkan oleh bilik. Untuk mengubah
muatan hasil pengukuran menjadi energi per unit massa, dapat dilakukan dengan
mengetahui energi yang diperlukan untuk membentuk 1 pasangan ion.

Contoh: Partikel alpha melewati bilik menghasilkan pasangan ion sekitar 105 yang
sesuai dengan muatan 1.6 x 10-14 C. Bila kapasitas detektor 10 μ μ F, dan semua ion
dikumpulkan, maka ukuran pulsa Δ V = Q/C = (1.6 x 10-14)/(10 x 10-12) = 1.6 x 10-3 V.
Partikel beta menghasilkan ionisasi lebih sedikit, andaikan 100 pasangan ion per
partikel. Ukuran pulsa yang dihasilkan menjadi
Δ V = Q/C = (1.6 x 10-16)/(10 x 10-12) = 1.6 x 10-5 V
Dengan amplifikasi 100 kali, partikel alpha menghasilkan pulsa 0.16 V, dan partikel
beta 0.0016 V.

Pencacah proporsional
Beda tegangan antara katoda dan anoda pada proporsional memungkinkan terjadi
ionisasi sekunder dalam gas detektor. Ukuran pulsa sebanding dengan beda tegangan.
Selain itu multiplikasi tergantung pada diameter anoda dan tekanan gas detektor.
Dengan menggunakan diskriminator, pulsa dari berbagai radiasi dan berbagai energi
dapat dipisahkan.

68
Survey meter neutron
Survey meter neutron bekerja pada daerah proporsional, sehingga foton background
dapat dipisahkan dengan mudah.
● Detektor neutron termal umumnya dilapisi oleh senyawa boron pada dindingnya,
atau diisi dengan gas BF3.
● Neutron termal berinteraksi dengan 10B dengan reaksi (n, α), dan partikel α dapat
dengan mudah dideteksi.
● Untuk mendeteksi neutron cepat, detektor yang sama dibungkus dengan bahan
moderator yang kaya akan hidrogen. Neutron cepat akan berinteraksi dengan
moderator dan ditermalisasi yang selanjutnya dapat dideteksi dengan pencacah BF3.
● Kompensasi filter digunakan untuk mengurangi rentang termal over response ,
sehingga respons mengikuti ketentuan ICRP weighting factor radiasi. Ouput
mendekati sebanding dengan dosis ekuivalen dalam jaringan lunak pada rentang
yang lebar (10 decade) spektrum energi neutron.
● Detektor lain (menggunakan 3He ) juga mempunyai prinsip kerja yang sama.

Pencacah G. M (Geiger Muller)


Beda tegangan katoda dan anoda pada pencacah GM diberikan tinggi shingga setiap
ionisasi primer akan menghasilkan kabut yang menutupi seluruh anoda. Dengan
demikian ukuran pulsa sama untuk semua jenis radiasi. Pencacah Geiger memiliki
daerah plateau yang panjang. Dengan menaikkan tegangan, kabut elektron bertambah
secara radial sepanjang anoda, mengakibatkan peningkatan laju cacahan, yang
menyebabkan kemiringan positif pada plateau.

Karena amplifikasi yang tinggi (9 – 10 kali) , pencacah GM banyak dipakai untuk


deteksi tingkat radiasi rendah. Sebagai contoh untuk tes kebocoran, uji kontaminasi,
dan lingkungan ruang radioterapi.

Tanggapan GM sangat tergantung pada energi pada energi foton rendah, dan tidak
cocok untuk medan radiasi pulsatif. Untuk medan yang demikian bilik ionisasi lebih
cocok untuk mendeteksinya.

Karena memiliki waktu mati yang tinggi, maka GM tidak digunakan untuk pengukuran
yang teliti. Pada daerah dengan medan radiasi tinggi dimungkinkan GM lumpuh tidak
berfungsi, oleh karenanya untuk daerah radiasi tinggi lebih baik digunakan bilik
ionisasi.

69
Statistik Pencacahan

Peluruhan radioaktif terjadi secara acak, tidak mudah memperkirakan kapan individual atom akan meluruh. Statistik
kemungkinan suatu jumlah kejadian acak selama suatu waktu tertentu dapat diperkirakan mengikuti distribusi
Poisson. Beberapa persyaratan penggunaan distribusi Poisson:
● Jumlah kejadian pada suatu interval waktu tertentu tidak tergantung pada jumlah kejadian dalam suatu interval
yang lain.
● Kemungkinan suatu individu inti meluruh sangat kecil. Sebagai contoh I131 mempunyai waktu paroh 8 hari.
Kemungkinan suatu individual inti meluruh dinyatakan dalam λ yang berharga 1.002 x 10-6/detik.

Distribusi Poisson diperoleh dari perluasan distribusi binomial. Bila p adalah kemungkinan meluruh, dan q
kemungkinan tidak meluruh, maka q = 1 – p. Bila tersedia N inti, kemungkinan n inti meluruh, maka distribusi
binomial mengikuti persamaan berikut.

Kemungkinan individual atom meluruh dinyatakan sebagai koefisien peluruhan λ yang dikalkulasi berdasarkan
waktu paroh T1/2. Untuk mengetahui kemungkinan individual meluruh sangat sulit, namun dimungkinkan untuk
memperkirakan fraksi sejumlah atom dalam suatu waktu. Harga rata-rata kejadian dan standar deviasi distribusi
adalah:

μ = Np dan σ2= Npq

Untuk nilai p<<<1, berarti nilai rata-rata μ << N. Dengan mengambil nilai q = 1 – μ/N, dan dengan
mengambil nilai limit untuk N mendekati ∞, persamaan binomial dapat diubah menjadi sebagai berikut.

Untuk distribusi Poisson, deviasi standar menjadi sebagai berikut:

Dengan menggunakan formula Stirling diperoleh nilai:

Untuk nilai n>>1, nilai maksimum dalam distribusi mendekati n ~μ, yang mengakibatkan :

n merupakan jumlah kejadian yang terjadi selama observasi.

Kesalahan relatif S = σ/n =

Dalam pencacahan sinar radioaktif, sering dinyatakan dengan laju cacahan (count rate).

70
kemungkinan kesalahan relatif menjadi

Pengukuran radioaktivitas pada umumnya harus memasukkan cacahan latar (back ground). Setiap laju cacah
mempunyai deviasi standar masing-masing.
Deviasi standar cacah total sama dengan:

bila indeks g menunjukkan gross rate, dan bg menyatakan background.

Standar deviasi dan probabilitas kesalahan


Dalam pengukuran selalu terjadi kesalahan akibat fluktuasi statistik. Kesalahan pada umumnya dinyatakan dalam
deviasi standar Distribusi Poisson mendekati distribusi normal untuk nilai μ tinggi.

Dalam gambar di atas diandaikan dapat dilihat bahwa untuk memperoleh p = 0.5, n berada dalam daerah μ+σ, dan
diperolh probabilitas kesalahan p = 0.67 σ.

Resolving time dan kehilangan cacahan


Detektor GM mempunyai waktu tidak sensitif diantara dua pulsa yang diterimanya, yang disebut resolving time
(τ). Pada umumnya detektor GM mempunyai resolving time sekitar 100 μs. Pencacah sintilasi mempunyai rsolving
time lebih rendah, hanya sekitar 10 μs. Oleh karenanya pada laju cacah yang tinggi, sebagian cacahan hilang, dan
untuk memperoleh hasil mendekati kebenaran diperlukan koreksi.

Andaikan N0 adalah hasil laju cacahan pengamatan per sekon, dan Ne adalah hasil laju cacahan yang telah
dikoreksi. Waktu total detektor tidak sensitif adalah N0 τ, sehingga NeN0 τ cacahan hilang. Dengan demikian
cacahan sebenarnya mengikuti persamaan berikut.

Ne = N0 + NeN0 τ dan

71
Resolving time dapat diukur dengan mengamati 2 sumber yang mendekati sama aktivitasnya secara terpisah dan
keduanya bersamaan. Andaikan sumber A, B, dan A+B memberikan laju cacahan yang sudah terkoreksi
background adalah NA, NB, dan NAB, maka resolving time dapat dihitung.

Dari persamaan di atas diperoleh harga τ dengan mengabaikan nilai τ2.

Contoh
1. Tentukan jumlah cacahan yang harus diambil agar deviasi standar dalam pengamatan 2%.
Andaikan N adalah laju cacah yang diharapkan.
Deviasi standar σ=

% kesalahan dalam deviasi standar = =2

diperoleh N = 2500 dan σ= 50. Nilai cacahan yang sebenarnya berada diantara 2500 + 50 dan
2500 – 50, dan dalam 69% pengukuran.

2. Tentukan jumlah cacahan yang harus diambil agar % probabilitas kesalahan dalam pengukuran 1%.

0.67

, N = 4470; p = 0.67 = 45

Bila diambil N = 4470, nilai yang sebenarnya berada dalam daerah 4470 + 45 dan 4470 – 45.
3. Suatu sampel dideteksi dan memberi cacahan 2700 dalam 3 menit. Pencacahan background (pengukuran tanpa
sampel) memberikan 300 cacahan dalam 3 menit. Tentukan aktivitas dan standar deviasinya.

As = 2700/3 = 900 cpm


Ab = 300/3 = 100 cpm
A = 900 – 100 = 800 cpm

σA= 18.3 cpm

persentase deviasi standar

Dalam menentukan aktivitas, dalam percobaan di atas dibutuhkan waktu 6 menit. Berapa porsi waktu pengamatan
background agar memperoleh presisi maksimum dalam waktu yang diberikan? Maksimum presisi mengikuti
hubungan berikut.

72
Dalam contoh di atas ts/tb= √(900/100) = 3.0. Dengan demikian, sebaiknya mencacah sampel
dalam waktu 4.5 menit dan background 1.5 menit. Bila diambil pengukuran
demikian deviasi standar pengukuran menurun dari 18.3 cpm menjadi 16.3 cpm.

4. Dalam suatu percobaan, detektor GM dipakai untuk mencacah sumber A dan menghasilkan cacahan 1182 cps.
Dengan kondisi geometri yang sama dicacah sumber B, dan hasil cacahannya 1223 cps. Kemudian kedua sumber
(A+B) dicacah bersamaan dan memberikan cacahan 2063 cps. Tentukan resolving time GM dan laju cacah
sumber A yang terkoreksi.

τ= s

Laju cacahan sumber A yang terkoreksi:

Ne= cps
Dengan memasukkan nilai resolving time, cps terkoreksi sekitar 16%.

Radioterapi

Buku yang digunakan antara lain:


 The Physics of Radiology, H. J. Johns and J. R. Cunningham
 The Physics of Radiotherapy X rays and electrons, P. Metclafe, T. Kron, and P.
Hoban.
 The Physics of Radiotherapy, F. Khan
 Radiotherapy Physics, J. Williams and D. Thwaites.
 Radiation Dosimetry Vol. I, II, III, Suplement Vol. I, H. Attix and E. Tochilin
 Radiation Oncology Physics, E. B. Podgorsak
 IAEA TRS 277 dan 398

Mengingat dosimetri dalam radioterapi berhubungan dengan dosis untuk mematikan


tumor.Perlu diperhatikan bahwa efek biologi tidak sangat tergantung pada jumlah
partikel atau foton yang melewati jaringan, tetapi ditentukan oleh jumlah energi yang
dideposit dalam jaringan dengan suatu massa tertentu. Oleh karenanya dosimetri
radioterapi akan berkaitan dengan pengukuran dan perkiraan dosis dalam berbagai
jaringan, tumor maupun jaringan sehat, pada pasien yang menjalani radioterapi.

Dosis yang diukur dalam fantom (air, susunan fantom padat, fantom anthropomorphic),
dan datanya digunakan untuk perencanaan radioterapi. Selain itu detektor juga dapat
diletakkan pada pasien selama radiasi untuk pengukuran in vivo, yang berguna untuk
verifikasi dosis yang diberikan pada pasien.
73
Dalam radioterapi, sebagian besar ketidak telitian berasaldari prosedur perhitungan
kalkulasi dosis dan penetuan volume target (antara lain berkaitan dengan batas tumor,
geometri pasien, inhomogenitas jaringan, gerakan pasien). Oleh karenanya dosimetri
harus seakurat mungkin agar dapat menjamin dosis pasien setiap hari yang diberikan
oleh pusat radioterapi satu sama dengan yang diberikan oleh pusat radioterapi lain.

Untuk pengukuran dosis dalam radioterapi telah dikembangkan berbagai detekor, ada
yang khusus untuk pengukuran dosis absolut dan ada pula untuk dosis relatif.

Karakteristik berkas elektron

Berkas elektron produksi linac pada umumnya dilewatkan pada foil penghambur dan
diarahkan dengan kolimator dan aplikator yang menjamin berkas terarah dekat
permukaan pasien.

74
Elektron adalah partikel bermuatan, akan kehilangan energinya dalam materi melalui
tahapan-tahapan kecil, yang merupakan proses rambang dan disertai dengan sedikit
perubahan arah. Oleh karenanya energi rata-rata, distribusi energi, dan arah rata-rata
berkas elektron dalam fantom bervariasi dengan kedalaman. Karakter berkas elektron
ditandai oleh dua parameter, yaitu energi rata-rata pada suatu kedalaman dan energi
paling mungkin.

75
Akibat kehilangan energi kontinu berkas elektron dalam medium menjadikan dua
perbedaan signifikan dengan berkas foton:
 Perbedaan energi dalam kedalaman berbeda mengakibatkan perbedaan
kemungkinan interaksi sehingga daya henti berbeda dengan kedalaman. Bila
rasio daya henti antara detektor dan jaringan yang dimaksud tidak identik,
koreksi harus diperhitungkan sesuai dengan energi elektron
 Bila energi elektron datang seluruhnya diserap, elektron berhenti dan tidak ada
dosis yang diberikan setelah akhir lintasan elektron. Terjadi efek sparing pada
organ dibalik struktur target dan pada umumnya dosis integral menjadi lebih
rendah untuk pasien.

Dengan demikian berkas elektron menembus medium sampai kedalaman tertentu dan
mempunyai jangkauan maksimum, tidak seperti berkas foton yang menembus seluruh
ketebalan medium. Formula empiris hubungan antara jangkauan (R) dengan energi
awal elektron (E0) sebelum masuk dalam medium sebagai berikut.

R (cm) = 0.521 E0 (MeV) - 0.376

Berdasarkan rumus di atas diperoleh harga R untuk berbagai energi elektron sebagai
berikut.

Harga jangkauan elektron dalam air untuk berbagai energi elektron


Energi awal (MeV) 4 6 9 12 15 18 24
Range dalam air (cm) 1.7 2.75 4.3 5.9 7.4 9.0 12.1

76
Setelah Rp kurva persentase dosis kedalaman turun eksponensial diakibatkan oleh
bremstrahlung. Setiap berkas elektron mengandung komponen foton sedikit. Foton
diproduksi utamanya dalam head/kepala melalui proses bremsstrahlung. Pemilihan
material foil penghambur dan chambers transmisi dapat mengurangi kontaminasi
bremsstrahlung. Perlu diperhatikan bahwa elektron energy tinggi yang menumbuk
medium lain, juga akan menghasilkan bremstrahlung sinar X. Sebagai contoh, berkas
elektron dengan lapangan kecil, hampir 30% bremsstrahlung berasal dari cut-out.
Kontaminasi foton dapat dilacak dengan ekstrapolasi dari ekor bremstahlung sampai
pada permukaan. Lebih tinggi energy elektron dan lebih tinggi nomer atom material,
lebih tinggi pula hasil produksi foton. Untuk mengurangi bremstrahlung
kolimator/aplikator dibuat dari metal dengan nomer atom rendah, seperti aluminium

Untuk dosimetri parameter energi yang terpenting adalah energi rata-rata pada
permukaan medium E0 . Selain dinyatakan dengan formula di atas, E0 dapat pula
ditentukan berdasarkan hasil pengukuran harga kedalaman 50%, dan mengikuti
hubungan empiris berikut (IAEA 1987).

E0 = 2.33 R50

Nilai R50 dinyatakan dalam cm. Hubungan di atas berlaku untuk lapangan radiasi lebar
(12 x 12 cm untuk E  15 MeV, dan 20 x 20 cm untuk E > 15 MeV) dan energi sekitar
5 - 35 MeV. Pada umumnya pengukuran dilakukan dengan SCD (source collimator
distance) 100 cm.

Kedalaman R50 merupakan indeks kualitas berkas dalam dosimetri elektron (IAEA TRS
398), dan yang dikalkulasi dari hasil pengukuran R 50,ion yakni kedalaman yang
mengakibatkan kurva ionisasi turun 50% dari nilai maksimumnya, dengan mengikuti
hubungan berikut:
77
R50 = 1.029 R50,ion – 0.06 (g/cm2) untuk R50,ion  10 g/cm2

R50 = 1.029 R50,ion – 0.37 (g/cm2) untuk R50,ion > 10 g/cm2

Energi elektron paling mungkin Ep,0 merupakan parameter yang penting untuk
karakterisasi distribusi dosis dan mempunyai hubungan empiris dengan jangkauan
praktis Rp. Untuk energi elektron 1 - 50 MeV, harga Ep,0 mengikuti hubungan berikut

Ep,0 = 0.22 + 1.98 Rp + 0.0025 Rp2 MeV

Perlu diperhatikan bahwa persamaan harga E0 dan Ep,0 di atas berlaku untuk lapangan
cukup besar yang menjamin keseimbangan electron lateral telah terpenuhi. Secara
praktis untuk lapangan 10 x 10 cm2 untuk energy electron di bawah 20 MeV dan lebih
besar lagi untuk energy electron di atasnya.

Energi rata-rata E z elektron menurun dengan kenaikan kedalaman, dan mempunyai


hubungan empiris dengan Rp sebagai berikut.

Ez = E0 (1 - z/Rp)

Hubungan di atas mendekati kebenaran untuk energi elektron rendah, atau kedalaman
dekat permukaan dan dekat pada Rp untuk energi elektron tinggi.

Hubungan antara jangkauan praktis dengan nilai setengah kedalaman berkas elektron
secara empiris yang diberikan oleh Rahim (2003) sebagai berikut:

Rp= 1.193 d50+ 0.154

Rumus di atas menunjukkan karakteristik d50 19 linac dari berbagai manifaktur


dengan akurasi tinggi.

Pada saat berkas elektron masuk dalam medium (misalnya air), lintasan elektron
mendekati paralel. Dengan kenaikan kedalaman, lintasan cenderung miring disebabkan
oleh multiple scattering, menghasilkan kenaikan fluens elektron sepanjang sumbu
utama berkas sampai kedalaman maksimum. Kenaikan kemungkinan interaksi dengan
penurunan energi pada kedalaman berpengaruh besar pada distribusi angular elektron.
Dengan kenaikan kedalaman sudut lintasan elektron rata-rata meningkat dengan arah
datang berkas. Yang berarti panjang lintasan yang sebenarnya menyamping dan jumlah
interaksi menjadi lebih tinggi pada kedalaman tertentu.

78
Gambar di atas menunjukkan distribusi dosis pada bidang utama berkas elektron dengan
lapangan 4 x 4 cm2 untuk 3 jenis energi, 4, 10, dan 20 MeV. Hasil kalkulasi Monte
Carlo menunjukkan perbedaan daya tembus dan penyebaran lateral pada kedalaman.
Dapat dilihat pengaruhnya pada berkas elektron 20 MeV untuk kedalaman yang lebih
tinggi, bahkan efek ketidak seimbangan elektronis lateral juga tampak pada sumbu
utama.

79
Dosis kedalaman

Gambar di bawah menunjukkan persentase dosis kedalaman dalam medium air, pada
sumbu utama untuk berkas elektron dengan energi 5 sampai 20 MeV, dan ukuran
lapangan moderat. Skin sparing terjadi pada terapi dengan elektron, namun tidak
setinggi seperti pada terapi dengan foton. Secara kuantitatif, efek skin sparing
tergantung pada energi, lapangan radiasi, dan foil penghambur. Selain pada efek skin
sparing, foil penghambur juga berpengaruh pada kedalaman buildup dan jangkauan
terpakai (posisi garis isodosis 80%).

Persentase dosis kedalaman pada sumbu utama untuk berkas elektron dengan berbagai
energi.

Kenaikan energi elektron dan lapangan radiasi mengakibatkan persentase dosis kulit
meningkat, buildup terjadi lebih cepat, dan jangkauan terpakai juga meningkat.
80
Pengaruh lapangan dan ukuran lapangan radiasi pada kurva dosis kedalaman dapat
dilihat dalam gambar. Persentase dosis kulit pada energi elektron 6 MeV, sekitar 70%
dan 80% berturut turut untuk lapangan kecil dan lapangan besar. Untuk elektron 18
MeV, persentase dosis kulit sekitar 85% dan mendekati 100% untuk lapangan 4 x 4
cm dan 20 x 20 cm.

Elektron energi rendah dapat dihamburkan lebih mudah dan dengan sudut hambur lebih
besar. Akibatnya pertambahan dosis lebih cepat pada kedalaman yang relatif pendek.
Rasio dosis permukaan dengan dosis maksimum menjadi lebih rendah untuk elektron
energi lebih rendah dibanding dengan elektron energi tinggi.

Persentase dosis kedalaman untuk lapangan persegi panjang (X, Y) dapat dihubungkan
dengan PDD untuk lapangan berbentuk kubus:

PDD X ,Y ( z )  PDD X , X ( z ) xPDD Y ,Y ( z )


1/ 2

Persentase dosis kedalaman dengan variasi lapangan untuk a) elektron 6 MeV, b) 12


MeV, dan c) 18 MeV.

Untuk lapangan besar, persentase dosis kedalaman tidak lagi dipengaruhi oleh luas
lapangan, dalam gambar untuk berkas electron 20 MeV, dimulai dengan lapangan
sekitar 10 x 10 cm2.

81
Kedalaman dosis maksimum (dmaks) juga tergantung pada energi elektron, namun
dengan hubungan yang tidak lurus. Kedalaman d maks cenderung meningkat dengan
kenaikan energi, namun untuk energi tinggi dmaks dapat menurun dan sangat dipengaruhi
oleh lapangan. Penurunan dmaks untuk energi tinggi tersebut diakibatkan oleh efek foil
penghambur.

Gambar di bawah menunjukkan kurva isodosis untuk dua berkas elektron berbeda
dengan ukuran lapangan sama. Kurva isodosis 50% dekat permukaan mengikuti
geometri tepi lapangan. Terlihat dengan kenaikan kedalaman garis isodosis <50%
mengembang keluar, dan garis isodosis >50% tertarik ke dalam. Konsekuensinya, lebar
untuk volume medium dengan dosis tinggi menurun dengan kenaikan kedalaman, dan
akibatnya penyempitan dapat terjadi pada kedalaman jangkauan terapeutik bila
dibandingkan dengan ukuran lapangan pada permukaan. Perhatikan untuk lapangan
kecil, karena kekurangan medium penghambur menjadikan volume medium dengan
dosis tinggi menjadi terbatas.

82
Titik acuan perhitungan persentase dosis kedalaman berkas elektron berbeda dengan
berkas foton. Pada berkas foton, titik referensi untuk 100% yang juga disebut titik
normalisasi dipilih pada kedalaman dosis maksimum d maks. Pada berkas elektron,
mengingat kedalaman dmaks bervariasi dengan berbagai faktor, maka titik normalisasi
tidak dipilih pada kedalaman dosis maksimum. Pada umumnya titik normalisasi dipilih
sebagai berikut.

Titik normalisasi untuk berbagai energi elektron


Energi awal (MeV) 2-4.99 5-9.99 10-19.99 20-50
Kedalaman normalisasi (cm) 0.5 1.0 2.0 3.0

Dosis elektron turun cepat setelah dosis mencapai 80%. Dalam terapi biasanya target
tumor diletakkan pada kurva isodosis 85% atau 90%.

83
Perkiraan kasar jangkauan praktis dan kedalaman 85% untuk berbagai kualitas berkas
elektron
Energi awal E0 (MeV) 6 9 12 15 18
Range Rp (cm) 2.75 4.3 5.9 7.4 9.0
Kedalaman 85% (cm) 1.4 2.4 3.3 4.3 5.0

Gambar di bawah diambil dari publikasi International Electrotechnical Commission


(EIC standar 976 1989), yang menyatakan bahwa standar kedalaman pengukuran
adalah pada bidang orthogonal sumbu utama berkas dating, sedangkan kedalaman dasar
diambil pada bidang parallel dengan bidang tersebut yang mengandung titik dosis 90%
pada sumbu utama.

84
Pelebaran penumbra akibat transpor lateral elektron juga dapat dilihat dalam gambar
berikut, untuk berkas electron dengan energy 20 MeV, lapangan aplikator 15 x 15 cm2.
Jarak antara lokasi dosis 90% dan 50% penting untuk kepentingan klinis pada saat dosis
preskripsi ditentukan pada kedalaman 90% dosis maksimum, jarak ini menentukan
seberapa jauh dosis yang dapat diberikan dari tepi lapangan.

85
Dari Tabel di bawah dapat dilihat jarak tepi lapangan ke kurva isodosis dosis 90%
pada umumnya lebih dari 5 mm.

Faktor output

Perlakuan terapi dengan berkas electron diberikan dengan teknik SSD 100 cm.
Aplikator diletakkan sedekat mungkin dengan kulit untuk menjamin lapangan berkas
radiasi relative tajam dan datar. Pada umumnya aplikator dilengkapi dengan kolimator
yang berujung 5 cm dari kulit. Pemilihan aplikator akan berpengaruh pada output.
Kolimasi multiple membantu mempersempit penumbra dan berkas radiasi datar. Berkas
elektron dibentuk dengan jaw setting, yang biasanya lebih besar dari ukuran aplikator.
Untuk setiap aplikator, berhubungan dengan pembukaan jaw tertentu. Susunan
demikian mengurangi variasi hamburan kolimator, sehingga variasi output dengan
ukuran lapangan dapat diperkecil. Pembentukan berkas klinis, yang disesuaikan dengan
ukuran tumor, menggunakan cut-out yang umumnya terbuat dari cerrobend, low
melting alloy (LMA). Ketebalan material yang diperlukan untuk atenuasi mencapai
sekitar 10 g/cm2 untuk berkas elektron 20 MeV Dengan menggunakan LMA (densitas
8 g/cm3) ataupun material dengan densitas lebih tinggi, ketebalan cut-out sekitar 15 mm.
Ukuran aplikator yang umum adalah 6 x 6, 10 x 10, 15 x 15, 20 x 20, dan 25 x 25 cm 2.
Adapun ukuran cut-out pada umumnya diberi penambahan uniform beberapa mm
dengan pertimbangan perbedaan lokasi isodosis preskripsi dengan tepi lapangan
(isodosis 50%).

Faktor output untuk energi elektron tertentu didefinisikan sebagai rasio dosis pada suatu
lapangan (dengan aplikator tertentu) dengan dosis dengan aplikator acuan lapangan 10
x 10 cm2, keduanya diukur pada zmax dan SSD 100 cm.

Dosis pada zmax dipengaruhi oleh elektron yang bergerak dengan lintasan a) elektron
yang langsung dari sumber yang mengalami hamburan dalam medium udara dan

86
fantom, b) elektron yang dihamburkan oleh jaws, dan c) elektron yang dihamburkan
oleh aplikator atau trimmer.

Untuk ukuran lapangan kecil, penambahan shielding (cut-out) akan memberikan efek
pada PDD dan faktor output karena kekurangan hamburan lateral. Pada saat pengukuran
output, harus diperhatikan pula perubahan zmax dan PDD.

Untuk sistem aplikator, faktor output tergantung pada ukuran aplikator (C), dan ukuran
insert cutout (I). Output faktor dapat ditulis sebagai berikut:

D / U (Cs , I s )
OF ( F ) 
D / U (C0 , I 0 )
atau
D/U(C s , I 0 ) D/U(C s , Is )
OF(F)  x
D/U(C 0 , I 0 ) D/U(C s , I 0 )

Faktor pertama sering disebut rasio aplikator terbuka, merupakan rasio antara dosis per
monitor unit suatu aplikator Cs dengan aplikator referensi C0. Faktor kedua disebut
insersi aplikator yang merupakan rasio dosis per unit monitor suatu aplikator berikut
lapangan insersi dengan aplikator sama lapangan terbuka/tanpa insersi (referensi).
Faktor output pada persamaan pertama diperoleh dengan pengukuran langsung.

Data output untuk setiap energi dibuat dengan berbagai cara antara lain:
 Tabel dosis per monitor unit pada kedalaman z max untuk setiap aplikator dan
kombinasi insersi
 Tabel atau grafik faktor ourput sebagai fungsi aplikator dan kombinasi insersi dan
dosis per monitor unit untuk lapangan referensi.
 Tabel monitor unit yang dibutuhkan untuk memberikan dosis tertentu pada tingkat
isodosis tertentu untuk setiap aplikator dan kombinasi insersi.

Untuk sistem variasi trimmer,dengan pembukaan jaws mengikuti ukuran trimmer, dosis
per monitor unit berubah teratur dengan kenaikan lapangan.

OF ( X , Y )  OF ( X , X ) x OF (Y , Y )
1/ 2

(metode akar pangkat 2)

OF ( X , Y )  OF ( X , Y0 ) xOF ( X 0 , Y )  CF ( X , Y )
(metoda satu dimensi)

X0 dan Y0 adalah ukuran lapangan referensi dan CF adalah faktor koreksi yang
memasukkan perbedaan hamburan oleh jaws. Dengan metode akar pangkat dua dapat
mencapai ketelitian sampai 3%, dan kurang teliti untuk lapangan rasio sisi tinggi.
87
Metode satu dimensi lebih akurat, dapat mencapai 1%. Nilai CF nol untuk energi > 17
MeV dan menjadi sekitar 3% untuk energi rendah 6 MeV.

Koreksi output
Bila terpaksa perlakuan menggunakan perpanjangan SSD, output dapat dikoreksi
menggunakan dua cara, metoda SSD efektif dan SSD virtual.

Metode SSD efektif mengikuti hubungan berikut:

( SSDeff  zmax ) 2
Dmax'
 Dmax
( SSDeff  g  zmax ) 2

Nilai g merupakan perbedaan antara SSD’ dan SSD.

Koreksi dengan SSD virtual mengikuti hubungan berikut:

( SSDvirt  zmax ) 2
"
Dmax  f udara
( SSDvirt  g  zmax ) 2

fudara merupakan faktor koreksi celah udara. Bila lapangan persegi panjang, nilai fudara
mengikuti persamaan berikut:

f udara ( X , Y , g )   f udara ( X , X , g ) x f udara (Y , Y , g )


1/ 2

Nilai fudara sebagai fungsi celah udara diberikan sebagai fungsi lapangan dan energi
yang diperoleh dari hasil pengukuran diberikan dalam bentuk kurva berikut:

88
Koreksi distribusi dosis
Penggunaan perpanjangan SSD memberikan efek minimal pada PDD sepanjang sumbu
utama dan rasio off axis. Dengan menggunakan rumus kebalikan kwadrat distribusi
dosis dapat dikalkulasi dengan persamaan berikut:

PDD(z, SSD, g)  PDD(z, SSD,0) x


(SSD  z)/(SSD eff  g  z)
eff
2

(SSD eff  z max )/(SSD eff  g  z max 2


Untuk SSD = 100 cm, zmax= 2 cm, g < 10 cm, z < 15 cm koreksi tidak signifikan, terjadi
pergeseran kurva isodosis < 1 mm, sehingga penggunaan PDD standar masih dapat
diterima.

Ketika elektron dihamburkan oleh kolimator, elektron terhambur akan bergabung


dengan berkas primer, peningkatan SSD dapat memberikan efek pada flatness dan lebar
penumbra. Lebar penumbra pada kedalaman dangkal (80% - 20%) meningkat dengan
kenaikan jarak dari kolimator, terutama untuk energi elektron rendah (< 10 MeV).

89
Penambahan lebar penumbra dengan SSD mengakibatkan pembuatan distribusi dosis
dengan kenaikan SSD menjadi kompleks, terutama pada daerah pinggir lapangan yang
kritis. Oleh karenanya tidak mudah untuk membuat algoritma distribusi dosis dengan
perubahan SSD. Algoritma komputer yang paling baru untuk berkas elektron adalah
sumasi data berkas pensil. Kemampuan algoritma ini untuk kalkulasi distribusi dosis
dengan teliti berkaitan dengan perpanjangan SSD harus dievaluasi berbasiskan
individual berkas pensil. Algoritme ini dapat memasukkan koreksi inhomogenitas
medium, kuravatur pasien, dan bentuk lapangan irregular, namun tidak mengindahkan
dispersi angular dan hamburan balik dari interface jaringan. Oleh karenanya sejauh ini
algoritma ini belum berhasil digunakan dalam klinis.

Cara kalkulasi distribusi dosis berkas elektron yang paling teliti adalah dengan teknik
Monte Carlo. Untuk penggunaan rutine sangat tidak praktis karena membutuhkan
waktu sangat lama. Mungkin di kemudian hari bila kecepatan komputer tinggi dan harga
hardware telah menurun, TPS berbasiskan Monte Carlo dapat digunakan dalam klinis.

Berkas datang pada permukaan miring, atau berkas datang miring

Karena hanya sedikit permukaan pasien yang datar, maka berkas elektron lebih sering
datang pada bidang miring. Di bawah ini adalah hasil perhitungan Monte Carlo berkas
elektron 4 x 4 cm2 pada permukaan fantom. Bila sudut datang berkas 45º, maka 4 cm
pada permukaan , maka lebar berkas yang tegak lurus sumbu utama pada permukaan
2.6 cm.Dosis integral berkas datang miring lebih rendah, mengingat ukuran lapangan
menjadi berbeda. Perhatikan daya tembus menjadi relatif lebih rendah. Perhatikan dua
masalah penting yang terjadi pada berkas elektron datang pada permukaan miring:
 Geometri ukuran lapangan peda permukaan meningkat, sedangkan daya
tembus menurun. Dosis yang dideposit oleh kedua berkas sama, namun
distribusi geometrik berbeda.
 Dosis maximum dalam berkas datang miring melebihi dosis maximum yang
terjadi pada berkas datang tegak lurus sekitar 15%.

90
Berkas jatuh pada permukaan tidak tegak lurus akan berpengaruh pada persentase dosis
kedalaman. Untuk berkas jatuh pada permukaan miring dengan sudut α (antara sumbu
utama berkas dengan garis normal permukaan atau garis normal sumbu utama berkas
dengan garis singgung permukaan) yang melebihi 20, terjadi perubahan signifikan
pada karakteristik PDD berkas elektron.

Untuk sudut α kecil, kemiringan PDD menurun dan jangkauan praktis pada dasarnya
tidak berubah dari nilai bila berkas jatuh tegak lurus. Bila sudut α melebihi 60, kurva
PDD kehilangan karakteristiknya dan definisi Rp tidak tidak dapat dipakai lagi. Untuk
sudut α besar, dosis pada zmax meningkat tajam, sebagai akibat peningkatan fluens
elektron menuju ke sumbu utama dari sudut kemiringan berkas.

91
Bila berkas jatuh pada material inhomogen pada permukaan, efek perturbasi hamburan
pada distribusi dosis di bawah interface dapat digambarkan sebagai berikut.
Ditunjukkan pula pengaruh permukaan yang tidak rata.

92
Bila sudut kemiringan α diganti dengan , faktor koreksi PDD dengan kemiringan
diberikan dalam tabel berikut.

Inhomogenitas jaringan
Informasi dosis kedalaman dan kurva isodoses diperoleh dari pengukuran dalam
phantom air. Inhomogenitas medium akan memodifikasi distribusi dosis, sebagai akibat
perbedaan absorpsi dan hamburan dari material yang berbeda. Distribusi dosis resultan
tergantung pada ukuran, bentuk dan komposisi material inhomogen (nomer atom dan
densitas elektron), ukuran lapangan, dan energi berkas.

Densitas tulang 1.3 - 1.8 gr/cm3, interaksi elektron tergantung pada densitas elektron,
sehingga ketebalan ekuivalen ditentukan sebagai berikut.
Ketebalan ekuivalen = tebal medium [(elektron/ cm3)medium
jaringan /(elektron/ cm3)jaringan]

Perhatikan bahwa densitas elektron dapat ditentukan melalui hubungan berikut


elektron/cm3 = (elektron/gram) (gram/cm3)

Jumlah elektron per gram


93
otot 3.31 x 1023
udara 3.34 x 1023
tulang 3.19 x 1023
lemak 3.37 x 1023

Contoh
Tentukan tebal ekuivalen otot dari 1.5 cm tulang yang mempunyai densitas 1.6
gram/cm3.

Densitas elektron otot = 3.31 x 1023 x 1.0 elektron/ cm3


Densitas elektron tulang = 3.19 x 1023 x 1.6 elektron/ cm3
= 5.10 x 1023 elektron/ cm3
Tebal ekuivalen 1.5 cm tulang

5.1x10 23 elektron/cm3
 1.5 cm  2.31 cm
3.31x10 23 elektron/cm3

Tebal efektif dapat juga ditentukan dengan mengikuti formula berikut.


deff = d – t(1-CET)
d menyatakan kedalaman titik yang dimaksud, t adalah tebal material inhomogen
sebenarnya, dan CET (coeffecient of equivalent thickness) adalah rasio ketebalan air
terhadap material inhomogen yang menghasilkan dosis transmisi sama. Harga CET
untuk tulang berongga (seperti sepon) mendekati 1, tulang padat sekitar 1.65, dan paru
mendekati relatif densitas massa (sekitar 0.3).

Efek kehadiran ruang udara pada dosis setelah berkas melewati medium heterogen
udara dapat dilihat dalam gambar di bawah. Ruang udara dengan penampang lintang 2
x 2 cm2, untuk berkas elektron 17 MeV meningkatkan dosis mencapai 10% - 30%,
tergantung pada kedalaman titik pengukuran.

Dosis pada paru perlu diperhatikan pada saat meradiasi dinding dada dan mediastinum.
Densitas paru rata-rata 0.25 relatif terhadap densitas air. Oleh karenanya jangkauan
elektron dalam paru relatif lebih panjang dibanding dengan jangkauannya dalam
jaringan lunak. Nilai CET yang diukur berdasarkan fantom gabus, tergantung pada
densitas paru, kedalaman, ukuran lapangan, dan energi berkas. Namun dalam praktek
klinis cukup menggunakan nilai CET rata-rata, yang mendekati 1.3 kali densitas relatif
paru. Ada pula hasil eksperimen yang menyatakan bahwa nilai CET dapat disamakan
dengan densitas paru relatif paru.

94
Dosimetri radiasi pada pasien diagnostik

Dalam diagnostik, definisi dosis radiasi agak membingungkan. Perhatikan definisi dosis
radiasi yang sama dengan energi yang diserap per massa medium, namun tidak memberi
gambaran energi yang diserap seluruh jaringan dan distribusi energi yang diserap.
Untuk mengetahui energi yang diserap pada saat pembuatan citra adalah energi integral
yang merupakan energi yang diserap tubuh tanpa memperhatikan distribusi dosisnya.

Energi integral (J)= dosis (J/kg) x massa (kg)

Energi integral atau energi yang diberikan (energy imparted) dapat digunakan untuk
membandingkan dosis radiasi antara prosedur satu dengan yang lain. Namun energi
integral ini tidak memasukkan perbedaan sensitivitas jaringan yang menerima radiasi
yang selanjutnya menggambarkan kerusakan biologi.

95
Untuk membandingkan efek stochastik, digunakan dosis effektif, yang dikalkulasi
berdasarkan data statistik epidemiologi, yang mengandung ketidakpastian yang
signifikan.

E =∑wt x HT

Dosimetri lain yang umum dalam diagnostik adalah entrance skin exposure (ESE)
dalam mR atau mGy, yang mudah diukur. Nilai ESE dapat digunakan untuk
membandingkan antara berbagai prosedur pencitraan yang sama, misalnya pada
pemeriksaan thorax dengan film screen dibanding dengan computed radiography.

Untuk perbandingan antar institusi, diberikan dose indices yang metoda pengukurannya
distandarisasi. Metoda pengukuran memerlukan fantom sebagai simulasi bagian tubuh
yang diekspos.

Indeks dosis untuk berbagai modalitas pencitraan


modalitas Dose index
Radiografi Entrance skin exposure (free in
air
Fluoroskopi Entrance skin exposure (free in
air)
Mammografi Mean glandular dose
Kedokteran nuklir Activity of radiopharmacetical
injected
Computed tomography Computed tomography dose
index (CTDI)
Mean scan average dose
(MSAD)

Semua pencitraan medis memanfaatkan radiasi pengion selalu berkaitan dengan


kompromi antara kualitas citra dengan eksposi radiasi pada pasien. Perhatikan, untuk
fluoroskopi laju eksposi diatur namun tidak demikian dengan waktu fluoroskopi,
96
sehingga dosis total tidak diatur. Dokter harus menentukan jutifikasi antara manfaat dan
risiko pasien pada prosedur yang akan dilaksanakan.

97
International Commission on Radiological Protection (ICRP)memperkirakan risiko
kanker fatal pada orang dewasa dalam umur produktif kerja 4 x 10 -2 kematian per Sv (
4 x 10-4 per rem). Yang berarti 1 orang meninggal per 2 500 penduduk ysng menerima
dosis efektif 10 mSv ( 1 rem). Karena pengandaian risiko stockastik tidak mengenal
dosis ambang, dan berhubungan linier dengan dosis, maka 1 orang meninggal per 2
5000 penduduk dari dosis efektif 1 mSv (0.1 rem), atau 1 dari 500 orang penduduk
meninggal karena kanker dari dosis efektif 50 mSv (5 rem). Perkiraan ICRP risiko untuk
anak akan 2 – 3 kali yeng terjadi pada orang dewasa, dan untuk orang tua > 50 th risiko
relatif lebih rendah. Dengan demikian dosis efektif akibat berbagai prosedur radiologi
menjadi penting, untuk memperkirakan risiko kanker fatal populasi.

Untuk memperkirakan dosis pasien dari pemeriksaan/prosedur radiografi, informasi


yang diperlukan antara lain:
 Jumlah citra dan proyeksi radiografi untuk setiap citra (misalnya proyeksi PA
dan lateral untuk pemeriksaan dada)
 Teknik radiografiyang digunakan dalam pembuatan setiap citra (kVp dan
mAs)
 Nilai HVL berkas sinar X yang digunakan
98
 Perkiraan ketebalan pasien pada setiap proyeksi radiografi

Contoh perhitungan dosis fetus secara manual pada wanita hamil. Pasien dengan tebal
abdomen 20 cm menjalani pemeriksaan abdomen, kondisi eksposi 75 kVdan 25 mAs,
dan HVL berkas sinar X diperkirakan 3.0 mm Al. Dari data dalam gambar diperoleh
output 75 kV adalah 7.9 mR/mAs pada jarak 100 cm. Source to skin diarance menjadi
80 cm,
2
 7.9 mR  100 cm 
ESE  25 mAs       309 mR  0.309 R
 mAs   80 cm 

Dari tabel dapat dilihat berkas sinar X dengan kualitas 3.0 mm Al, uterus akan
menerima dosis 173 mrad/1R ESE. Dengan kalkulasi diperoleh nilai ESE berikut:

173 mrad
ESE  0,309 R   53.5 mrad
R

Fetus menerima dosis 53.5 mrad atau 0.53 mGy.

99
Kalkulasi dosis efektif pada pasien menjalani prosedur dengan AEC (Automatic
Exposure Control)/phototiming

Untuk unit radiografi yang menggunakan AEC, nilai mAs umumnya tidak diketahui
oleh radiografer. Oleh karenanya cara lain harus digunakan untuk menghitung dosis
pasien, maupun cara pengukuran ESE. Exposure meter diletakkan paling dekat 30 cm
dari permukaan obyek (fantom) untuk menghindari kontribusi hamburan dalam
pengukuran ESE.

100
Sebagai contoh, seorang pasien dengan tebal 20 cm menjalani prosedur radiografi chest
PA, dengan kondisi eksposi 120 kVp. Nilai mAs tidak diketahui karena unit
menggunakan AEC. Karena paru mempunyai densitas rendah, maka ketebalan efektif
diperkirakan relatif lebih rendah, diperkirakan 15 cm. Dalam Tabel disediakan tebal
pasien 10 dan 20 cm. Interpolasi logaritmik dilakukan karena mengingat hubungan
eksponensial antara atenuasi dan ketebalan.
 ln 0.88 ln 0.724 
 
ESD  e  2 
mGy  0.252 mGy

Dengan menggunakan faktor konversi dari ESD menjadi dosis efektif adalah 0.183
mSv/mGy diperoleh

0.163 mSv
Dosis efektif  0.252 mGy   0.041 mSv  41 Sv
mGy

101
Faktor f, fmed, dan fmedKW

Andaikan berkas radiasi jatuh pada dua jenis medium, medium 1 dan medium 2,
dengan fluens energi sama.

D1 = (µ/ρ)abs 1 Ψ

D2 = (µ/ρ)abs 2 Ψ

Dari kedua persamaan diperoleh rasio keduanya

D1 = [(µ/ρ)abs 1 /(µ/ρ)abs 2] D2

Karena kerma udara dalam diagnostik sama dengan dosis udara, maka persamaan
dapat ditulis sebagai berikut:

Dmed (cGy) = [(µ/ρ)abs med /(µ/ρ)abs udara] Kudara (cGy)

Bila pengukuran dilakukan dalam eksposi diperoleh persamaan berikut:

Dmed (rad) = [(µ/ρ)abs med /(µ/ρ)abs udara] X (R)

Dmed = fmed X

fmed = 0.873 [(µ/ρ)abs med /(µ/ρ)abs udara] rad/R

Perhatikan bila perhitungan menggunakan nilai kerma udara.

Dmed = fmedKW Kudara

fmedKW adalah faktor konversi kerma-dosis Kase-Wolbarst

fmed = 0.873 fmedKW

Karena nomer atom air (Zef= 7.8) dan muscle/jaringan lunak (7.4), maka nilai fmed (hf)
untuk keduanya mendekati sama. Untuk tulang nilai fmed (hf) merefleksikan interaksi
fotolistrik berkaitan dengan kalsium pada energi rendah, dan pada energi tinggi
kekurangan relatif hidrogen.

102
Dosis pada kedalaman dapat dinyatakan dengan persamaan berikut

D(x) = TAR(x, hf) X(x)

ataupun

D(x) = D0 PDD(x,hf,SSD)/100

103
104
Dosimetri dalam intervensional radiologi

Perkembangan intervensional radiologi akhir-akhir ini berkembang pesat dalam jumlah,


jenis dan kompleksitas tindakan. Salah satu faktor yang mendorong kemajuan
intervensional radiologi berasal dari permintaan pasien. Untuk penanganan kasus
penyakit yang sama, pasien intervensional radiologi sering tidak memerlukan
perawatan menginap seperti pada pasien bedah, sehingga secara perhitungan risiko dan
biaya akan relatif lebih ringan. Perkembangan interventional yang demikian pesat
terjadi di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Tindakan intervensional radiologi memerlukan fluoroskopi dalam waktu lama, dan


sering disertai oleh pengambilan radiografi yang dalam jumlah banyak.
Konsekuensinya radiologi intervensional mengandung banyak implikasi dalam proteksi
radiasi bagi pasien maupun staff. Khususnya pertimbangan tindakan tindakan radiologi
intervensional berbeda dengan tindakan radiologi lainnya, mengingat efek deterministik
dan non deterministik pada pasien harus dipertimbangkan.

Dosis pasien
Untuk pasien, fluroskopi dalam waktu lama mengakibatkan dosis tinggi, kadang kala
terbatas pada kulit pasien dengan daerah yang sempit. Akibatnya dapat menimbulkan
efek deterministik, seperti eretema kulit, tang terlihat pada pasien setelah menjalani
tindakan radiologi intervensional.

Kemungkinan induksi efek deterministik pada kulit diperparah oleh ketidak tersedianya
informasi mengenai dosimetri pada pasien selama tindakan bagi para intervisionalis.
Pada saat ini, unit fluroskopi untuk radiologi intervensional disyaratkan untuk
dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan lamanya waktu fluroskopi.

Pengukuran dengan fantom dilakukan untuk mengetahui dosis radiasi yang digunakan
dalam kateterisasi jantung. Untuk standarisasi protokol pengukuran, suatu geometri
ditentukan dalam pengukuran. Arah AP (anterior-posterior) dengan FID (focus to
intensifyer distance) 100 cm, dan menggunakan lembaran plastik akrilik untuk fantom
berukuran 30 x 30 cm. Ketebalan fantom 10, 20, dan 30 cm digunakan untuk simulasi
pasien dewasa dengan ukuran kecil, medium, dan besar. Fantom diletakkan 5 cm dari
intensifyer, dan detektor diletakkan antara plastik akrilik dan meja pasien, sehingga
dibutuhkan spacer untuk meletakkan plastik di atas detektor. Laju paparan diukur untuk
kondidi flouroskopi dan cine, dengan FoV (field of view) pada intensifyer sekitar
diameter 18 cm. Siatem Automatic Brightness Controll (ABC) memungkinkan untuk
mengatur secara otomatis tegangan tabung dan arus tabung untuk atenuasi material
dalam berkas sinar X.

Untuk pengukuran flouroskopi dengan fantom, entrance skin exposure rate (ESER)
tergantung pada ketebalan fantom, dan juga apakah menggunakan fluoroskopi pulsatif
ataukan kontinu.
105
Hasil pengukuran ESER untuk berbagai variasi fluoroskopi (83 pengukuran)
Ukuran Rata-rata Deviasi maksimum minimum
fantom
20 cm 3.7 R/min 2.1 R/min 8.5 R/min 0.3 R/min
30 cm 10.1 R/ min 3.2 R/min 20.4 R/ 4.4 R/min
min

Beberapa unit flouroskopi mempunyai ESER mencapai 20 R/min. Pasien besar dan/atau
proyeksi dengan sudut miring akan memungkinkan nilai ESER tertinggi dari nilai yang
diperbolehkan.

Cardiac catheterization equipment performance, AAPM Report No. 70, AAPM


Publishing, 2001.

Tes pesawat kateterisasi jantung


1. Kualitas berkas
Daya penetrasi atau kualitas berkas sinar x pada umumnya dinyatakan dalam HVL (half
value layer) yang diukur dalam millimeter aluminium dengan kadar 1100. Beberapa
pesawat modern dilengkapi sampai dengan 4 filter yang berbeda, penggunaannya
tergantung pada pilihan cara penggunaan. Penggunaan mode cine memerlukan filter
minimum untuk pasien dewasa dan maksimum untuk pasien anak.

Pada umumnya HVL diukur dalam mode fluoroskopi dengan ketebalan filter standar.
Geometri pengukuran seperti diperlihatkan sebagai berikut.

106
Untuk mengurangi hamburan, berkas sinar x dikolimasikan menjadi berukuran kecil
seperti 5 x 5 cm. Detektor ditempatkan sekitar 30 cm dari material pengatenuasi Al.
Kondisi tegangan kVp dan arus mA tabung dibuat konstan selama pengukuran. Bila
tidak memungkinkan, dipilih tegangan 80 kVp dan arus dipilih tetap yang memberikan
laju paparan paling sedikit 1 R/ menit. Bila ABC selalu digunakan dan dilengkapi
dengan tombol kunci, material pengatenuasi diberikan untuk mencapai tegangan 80
kVp. Bila sistem menggunakan ABC tanpa tombol kunci, filter dan material
pengatenuasi diatur agar tegangan operasional 80 kVp. Fiter diatur dan diletakkan di
atas meja pasien dan material pengatenuasi tidak diubah.
Nilai HVL ditentukan mengikuti hubungan berikut:

 2E   2E 
Tb ln  a   Ta ln  b 
 E0   E0 
HVL =
E 
ln  a 
 Eb 

Ta=tebal Al yang dipakai untuk memperoleh Ea


Tb=tebal Al yang dipakai untuk memperoleh Eb
Ta=tebal Al yang dipakai untuk memperoleh Ea
E0 = pembacaan paparan tanpa tambahan Al
Ea = pembacaan paparan yang mendekati lebih dari 0.50 E0
E0 = pembacaan paparan yang kurang dari 0.50 E0

Peraturan pengawas mensyaratkan HVL sama atau lebih besar dari 2.3 mm Al untuk
unit dengan tambahan filtrasi tertentu ataupun filter bervariasi yang menggunakan filter
minimum. Tambahan filter 1.0 mm Al dan 1.0 mm Al plus 0.2 mm Cu, pada tegangan
80 kVp pada umumnya pengukuran HVL memberikan hasil 3.5 - 4.5 mm Al. Bebarapa
unit kateterisasi jantung mempunyai filter Cu dengan ketebalan bervariasi dari 0.1 – 0.6
mm. Pengukuran dengan penambahan filter 0.6 mm Cu pada kondisi tegangan 80 kVp
memberikan nilai HVL sekitar 7.5 – 8.5 mm Al.

2. Keluaran/output sinar x fluoroskopi


Pengukuran keluaran sinar x fluoroskopi memberi informasi mengenai kalibrasi
pesawat, kondisi tabung sinar x, dan kemungkinan perubahan filter. Keluaran yang
rendah menunjukkan tegangan operasional yang rendah, atau penurunan fungsi tabung
atau peningkatan filter tabung. Sebaliknya bila keluaran tinggi, kemungkinan kesalahan
pada generator daya, tegangan kVp atau mA yang relatif tinggi, atau pengambilan filter
dari tabung. Oleh karenanya perbandingan keluaran fluoroskopi dari satu perode QC
dengan peride QC berikutnya merupakan chek konstansi yang berguna.

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan detektor pada permukaan meja pasien


apabila tabung sinar x berada dibawah meja. Jarak antara meja dan titik fokus sekitar
45 – 50 cm. Image intensifyer diatur berada sekitar 30 cm di atas detektor. Dengan suatu
standar beberapa lembar Al atau Cu pengatenuasi diletakkan dekat image intensifyer.
107
Berkas sinar x dikolimasikan melebihi ukuran detektor, misalnya 10 x 10 cm pada posisi
detektor. Paparan diberikan dengan mode fluoroskopi ABC dengan mengatur ketebalan
attenuator untuk memperoleh tegangan sekitar 100 kVp. Tegangan kVp dan arus mA
dicatat selama pengukuran keluaran/output. Untuk filtrasi minimum diharapkan output
dalam jangkauan 2.0 – 3.0 R/mA-min. Dengan filtrasi 0.2 – 0.6 mm Cu output
diharapkan sekitar 1.0 – 2.0 R/mA-min.

3.-Patient Entrance Skin Exposure Rates (ESER)/ Laju paparan entrans kulit
pasien.
Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengetahui laju paparan entrans kulit pasien
selama fluoroskopi ataupun pencitraan cine untuk semua FoV (field of view), pada
berbagai mode magnifikasi. Nilai ESER tinggi memberi tanda sistem tidak beroperasi
optimal dan peringatan akan keamanan pasien dari radiasi. Hasil pengukuran yang
bervariasi selama suatu perioda menunjukkan pesawat tidak stabil atau mengalami
penurunan kinerja.

Pengukuran dilakukan dengan SID (source intensifying distance) paling rendah, meja
pasien berada paling dekat dengan tabung sinar x, dan konfigurasi tabung sinar x dan
.intesifyer vertikal. Detektor diletakkan di atas meja pasien, dan material atenuator dan
penghambur balik di atasnya. Aluminium, plastik akrilik, ataupun air dapat dipakai
sebagai material atenuator yang merupakan simulasi pasien. Ketebalan 10 cm, 20 cm,
dan 30 cm untuk plastik akrilik atau air, serta 2.5 cm, 5 cm, dan 7.5 cm Al dianggap
mewakili pasien anak, pasien dewasa sedang, dan pasien dewasa gemuk. Pengukuran
untuk pasien dewasa menggunakan grid pengurang hamburan, dan tanpa grid untuk
pasien anak. Jarak antara detektor dengan intensifier sekitar 30 cm. Pengukuran
dilakukan dengan geometri untuk semua FoV, dan semua mode fluoroskopi (kontinu
maupun pulsatif) dan pencitraan cine (film dan/atau digital)

Dengan atenuator 3.8 mm Al (~ 15 cm air atau plastik akrilik), fluoroskopi dengan mode
ABC membutuhkan tegangan sekitar 70 – 90 kVp. Nilai FESER (fluoroscopic entrance
exposure rate) sebaiknya di dalam rentang 1.0 sampai 4.0 R/menit untuk semua FoV
dengan mode fluoroskopi kontinu. Nilai terrendah FESER diperoleh pada FoV terbesar
(magnifikasi rendah) dan sebaliknya tertinggi untuk FoV terkecil (magnifikasi pada
umumnya). Biasanya penggunaan fluoroskopi pulsatif menurunkan FESER sekitar 20%
- 40% untuk fluoroskopi pada 30 pulsa/sekon dan 40% - 60% untuk fluoroskopi 15
pulsa/sekon. Dengan kondisi sama nilai CESER (cine patient entrance exposure rates)
sebaiknya berada dalam rentang 8.0 – 20.0 mR/frame, tergantung pada FoV dan mode
cine.

4. Maximum Fluoroscopic Entrance Skin Exposure Rate (MFESER)/ Laju


paparan entrans kulit fluoroskopi maksimum.
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menjamin laju paparan entrans kulit pasien tetap
rendah sehingga pasien tidak menerima dosis berlebihan sebagai akibat setting

108
peralatan seperti arus yang terlalu tinggi, pemilihan mode magnifikasi, penurunan
sistem gain intensifier/TV, dan atau ukuran pasien yang tebal.

Pengukuran dilakukan sama dengan kondisi pengukuran FESER, hanya posisi gantri
lateral untuk menentukan paparan entrans tanpa melalui meja pasien. Perbedaan lain
adalah penambahan material atenuator dengan 3.2 mm lembar Pb untuk mencapai FoV
yang memungkinkan. Pengukuran dilakukan untuk semua FoV dan mode fluoroskopi.,
dan selama pengukuran nilai tegangan kVp dan arus mA dicatat untuk setiap sistem
ABC yang dipilih. Komponen pengukuran yang diakibatkan oleh hamburan balik harus
dihilangkan selama pencatatan data. Bila tidak dilakukan koreksi, hasil MFESER dapat
30% lebih rendah dari harga yang diperbolehkan tergantung pada pemilihan material
fantom.

Peraturan mensyaratkan nilai MFESER untuk sistem ABC tanpa High level option tidak
boleh melebihi 10.0 R/menit. Sistem dengan ABC dan High Level option untuk
fluoroskopi tidak boleh lebih dari 10.0 R/menit untuk operasi normal, dan tidak boleh
melebihi 20.0 R/menit untuk operasi dengan operasi High Level yang juga memerlukan
pedal kaki tingkat dua dan pengaman khusus (berbunyi) untuk menunjukkan bahwa
mode pemeriksaan telah diaktifkan. Untuk sistem tanpa operasi ABC, MFESER tidak
boleh melebihi 5.0 R/menit.

5. Image Intensifier Input Exposure Rate (IIIER) /Laju paparan masukan pada
intensifier pencitraan.
Tingkat radiasi yang masuk pada intesifier diatur untuk berbagai citra FoV
(magnifikasi), berbagai mode pemeriksaan (fluoroskopi kontinu atau pulsatif dan cine),
atau berbagai ketebalan filtrasi tambahan yang digunakan. Oleh karenanya tingkat
radiasi perlu diukur pada setiap tes QC. Hasil pengukuran absolut sebaiknya
dibandingkan dengan nilai standar operasional yang mutakhir.

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan fantom (aluminium atau tembaga) di atas


meja pasien dengan ketebalan yang sesuai untuk memperoleh tegangan operasional
sekitar 80 kVp. Intesifier diletakkan dengan SID maksimum untuk menghindari
hamburan dari atenuator. Sebaiknya grid tidak dilepas, dan bila tidak memungkinkan
faktor koreksi grid perlu dimasukkan dalam perhitungan sekitar 1.3 sampai 1.8.
Detektor bilik ionisasi pancake diletaktan pada bidang input intensifier pencitraan.
Detektor harus dibantu oleh standar khusus agar tidak menempel pada layar intesifier.
Bila intensifier tertindungi dengan penutup, detektor dapat ditempelkan pada penutup
dengan perekat. Pengukuran IIIER dilakukan dalam mode ABC dengan semua FoV,
dalam semua mode fluoroskopi dan cine, dengan semua kombinasi tambahan filter.
Pada umumnya hasil pengukuran dikoreksi oleh radiasi hamburan balik dari intensifier
pencitraan.

Untuk FoV 23 cm dengan tambahan filter standar, operasi fluoroskopi kontinu ataupun
pulsatif pada 30 pulsa/sekon, dalam mode doaia standar atau medium, harga IIIER
109
seharusnya dalam rentang 75 – 100 μR/sekon. Dalam mode film nilai IIIER seharusnya
dalam rentang 10 – 20.0 μR/frame dalam FoV 23 cm. Dalam fluoroskopi ataupun
pencitraan cine, IIIER sebagai fungsi FoV mengikuti pendekatan berikut.

IIIER ~ 1/luas FoV, atau IIIER ~ 1/diameter FoV


Bila pesawat dilengkapi dengan pilihan paparan selama fluoroskopi, paparan akan
meningkat/menurun dengan setting ke tingkat ”standard” atau ”medium” menjadi
dobel/setengah harga IIIER relatif terhadap nilai asalnya. Bila pesawat dapat
dioperasikan dengan fluoroskopi pulsatif yang bervariasi dengan paparan konstan per
pulsa, maka diperoleh hubungan berikut.

IIIER ~ laju pulsa

Bila pesawat dimungkinkan untuk meningkatkan paparan per pulsa selama fluoroskopi
seiring dengan penurunan laju pulsa untuk menjaga tingkat noise teramati selama laju
pulsa konstan terhadap 30 pulsa per sekon, maka nilai IIIER mengikuti hubungan
berikut.

IIIER ~ 1/(laju pulse)1/2

Bila digunakan filter tambahan (lebih dari 1 mm Al) maka IIIER akan ditingkatkan
paling tidak dua kali untuk menjaga kuantum motel dalam pembentukan citra. Akhirnya
IIIER akan dipengaruhi oleh material fantom yang digunakan dalam pengukuran.

Dosis dalam pemeriksaan dengan CT


Dosis yang diberikan satu irisan Ctcenderung sekitar 1 – 4 cGy pada kulit dan menurun
sampai pada pertengahan tubuh. Meskipun tidah sangat tinggi, namun dibanding
dengan sistem pencitraan lain dosis CT paling tinggi. Riset terus menerus dilakukan
untuk menurunkan dosis CT terutama untuk anak-anak.

Dosis untuk irisan tunggal (D) berhubungan dengan beberapa parameter pencitraan,
dengan formula (yang tidak dapat dibuktikan) berikut:

D R3h/(SNR)2 e-p = constant

R adalah resolusi dalam mm, h adalah tebal irisan, SNR adalah signal to noise ratio.
Bila p adalah jumlah sianr x (ray) untuk pasien, maka e-p merupakan ukuran pasien
langsung.

Formula di atas menunjukkan untuk mengurang noise 2 kali lipat dengan resolusi sama,
berarti harus meningkatkan dosis 4 kali lipat. Untuk meningkatkan resolusi dengan
faktor 2 dengan tanpa meningkatkan dosis atau kehilangan kontras, maka irisan harus
diubah dari 2 mm menjadi 1/16 mm, dengan mengandaikan tidak kehilangan resolusi
sebagai efek volume parsial. Demikian pula bila scanning dari kepala ke tubuh, resolusi
110
dan/atau SNR harus dikorbankan untuk mempertahankan eksposi kulit dan ukuran
irisan sama.

Dosis untuk satu slice meningkat dengan faktor antara 1.2 dan 2.5 akibat overlap
(tumpang tindih) dan scatter dari set multiple slices yang bersebelahan/berdekatan.
Seperti pada radiografi, dosis CT dalam tubuh tergantung pada intensitas radiasi di
dalamnya dan sifat alami medium yang dilewatinya. Namun dalam CT tergantung pula
pada lebar slice dan jarak antar slice yang berdekatan, difergensi berkas dan penumbra,
dan radiasi hamburan Compton selama scanning yang lain. Artinya profil dosis pada
arah longitudinal (x) untuk satu slice termasuk kontribusi overlapping buntut dari slice
lain di dekatnya.

Ukuran standard dosis total dalam suatu prosedur adalah multiple scan average dose
(MSAD) dalam fantom. Ada 2 standar fantom akrilik, diameter 16 dan 32 cm. MSAD
berhubungan dengan dosis total, kumulatif yang dihasilkan selama scan deretan slices
di dekatnya dalam fantom, yang diukur pada posisi pusat slices. Karena MSAD
memasukkan kontribusi dosis dari slice lain, maka nilainya dapat 20% sampai %0%
lebih tinggi dari dosis puncak dari satu slice. MSAD dapat diukur dengan TLD atau
film.

1 +𝐼/2
𝑀𝑆𝐴𝐷 = ∫ 𝐷 (𝑧)𝑑𝑧
𝐼 −𝐼/2
D(z) adalah dosis pada posisi z dan I adalah panjang scan

Dimungkinkan pula untuk memperoleh MSAD dengan mengukur computed


tomography dose index CTDI. Nilai yang direkomendasikan oleh center for devices and
Radiological Health (CDRH)

111
1 +7𝑇
𝐶𝑇𝐷𝐼 = ∫ 𝐷(𝑧)𝑑𝑧
𝑛𝑇 −7𝑇

Untuk kondisi dengan jumlah total scans dalam suatu clinical series (m), nilai MSAD
menjadi

1 +𝑚𝐼/2
𝑀𝑆𝐴𝐷 = ∫ 𝐷(𝑧)𝑑𝑧
𝐼 −𝑚𝐼/2

Dosimetri internal
MIRD (Medical Internal Radiation Dose) mengembangkan dosimetri untuk pasien yang
menjalani terapi internal. Konversi satuan lama ke satuan SI

1 g rad Ci-1 h-1 = 0.27 g Gy MBq-1 h-1

Untuk medium yang besar, berisi sumber uniform pemancar alpha atau beta, energi
yang diserap sama dengan energi yang dipancarkan.

D () = A E/m (J/kg atau Gy)

Dua faktor berpengaruh pada waktu paroh


 waktu paroh radioaktif/fisika (TR)
 waktu paroh biologis (TB)

Aktivitas dalam organ pada saat t setelah administrasi

A = A0 (exp -Rt) (exp -bt)

konstanta peluruhan efektif e= R + B


waktu paroh efektif Te = 0.693/e

(1/Te) = (1/TR )+ (1/TB )

Dosis total D = (D0/e) {1 - exp (-et)}


untuk waktu lama, sekitar 6 kali waktu paroh D = (D0/e)

Metoda MIRD, dikembangkan 1968.


Berdasarkan fraksi energi yang dipancarkan sumber dan fraksi energi yang diserap
organ target. Variasi konfigurasi sumber dan organ target
112
 organ target dan sumber secara geometri terpisah
 organ target dan sumber identik
 sumber berada dalam organ target
 sumber meliputi organ target

fraksi absorpsi
 = (energi yang diserap target)/(energi yang dipancarkan sumber)

Bila jarak lintas foton melebihi ukuran organ, nilai  < 1. Untuk partikel dengan daya
tembus rendah (alpha dan beta)  berharga 0 atau 1, tergantung posisi organ target
terhadap sumber.

Dosis absorpsi organ target dari organ sumber

As aktivitas kumulatif dalam sumber, mt massa organ target (gram), i konstanta dosis
aborpsi untuk radiasi tipe i yang tergantung pada jumlah partikel ke i per peluruhan dan
energi partikel ke i.

∆i mempunyai satuan g Gy MBq-1h-1, ni adalah nilai rata-rata radiasi jenis ke i yang


dipancarkan per disintegrasi, dan Ei adalah energi radiasi rata-rata jenis ke i dalam
MeV. Aktivitas kumulatif tergantung pada aktivitas saat diberikan, uptake organ,
retensi organ, ekskresi organ, dan peluruhan fisika

Persamaan dosis absorpsi dapat dipersingkat menjadi

dengan harga

Nilai St←s adalah dosis rata-rata per unit aktivitas kumulatif dalam Gy MBq-1 h-1.
Aktivitas kumulatif

Untuk organ tunggal aktivitas kumulatif dapat ditulis sebagai

113
Bila seluruh tubuh dianggap sebagai organ sumber, As ditentukan dari rangkaian
pengukuran. Kurva activity-time merupakan penjumlahan fungsi eksponensial

An aktivitas (dalam MBq) pada titik temu antara fase ekskresi ke n dan ke (n+1), T n
waktu paroh efektif yang terlihat, dan N jumlah fase

Spesifikasi sumber radiasi gamma

Kuantitas untuk spesifikasi sumber adalah kerma udara acuan (reference kerma rate
K ref d ref air , yang oleh ICRU didefinisikan laju kerma udara pada suatu jarak acuan 1
m, sudah dikoreksi oleh atenuasi dan hamburan.

Untuk sumber dalam bentuk jarum, tabung ataupun sumber rigid lain yang serupa, jarak
antara pusat sumber ke titik acuan harus tegak lurus terhadap sumbu panjang sumber.
Mengikuti satuan SI, kerma udara acuan mempunyai satuan Gy/s, namun lebih sering
digunakan satuan µGy/jam untuk sumber LDR, meningkat menjadi µGy/s atau
mGy/jam untuk aplikasi HDR.

Rekomendasi AAPM menyatakan bahwa untuk sumber pemancar foton sebaiknya


spesifikasi dalam kuat kerma udara (air kerma strength) Sk. Hubungan antara laju kerma
udara dan kuat kerma udara mengikuti persamaan berikut:

Sk = K ref d ref air dref2

dengan dref menyatakan jarak acuan pada titik yang didefinisikan, yang umumnya 1 m.
Kedua sistem spesifikasi mempunyai numerik sama, hanya satuannya yang berbeda.
Bila laju kerma udara dalam 1 µGy/jam, maka kuat kerma udara dalam µGy m2/jam.
Dalam AAPM TG 43 kependekan spesifikasi sumber dinyatakan dalam 1 U = 1 µGy
m2/jam = cGy cm2/jam.

114
Pengukuran aktivitas sumber merupakan masalah, terutama sumber yang terbungkus
dengan material yang bertindak sebagai filter, disebabkan oleh efek atenuasi dan
hamburan. Spesifikasi kuat sumber dahulu dinyatakan sebagai aktivitas, selanjutnya
laju eksposi pada titik P berjarak d dari sumber dinyatakan sebagai berikut:

A
X P  2X
d

A aktivitas dalam Ci
Γx konstanta laju eksposi (R m2 Ci-1 h-1)

Laju kerma udara pada titik P berjarak 1 m dari sumber berhubungan dengan laju
eksposi mengikuti persamaan berikut:

AappAKR
K d 
ref ref

air
d2

Aapp menyatakan aktivitas nyata sumber


ΓAKR adalah konstanta laju eksposi yang berhubungan dengan Γx sebagai berikut:

Γ x 0.876x10 2 Gy/R μGy/R


Γ AKR   236.8 Γx
3.7x10 10 Bq/Ci GBq/Ci

Γx diberikan dalam R m2Ci-1h-1 dan ΓAKR dalam µGy m2GBq-1h-1


Sebagai contoh sumber Co 60:

R m2 μGy m 2
Γ x  1.31 dan Γ AKR  310
Ci h GBq h

Aktivitas nyata Aapp didefinisikan sebagai aktivitas sumber titik hipotetis tanpa filter
untuk sumber yang sama yang akan memberikan laju kerma udara sama pada jarak
acuan (biasanya 1m) sepanjang garis tegak lurus pertengahan sumber. Aktivitas nyata
sering juga disebut aktivitas ekuivalen.

Kalkulasi dosis sumber 2D (AAPM TG 43)

Distribusi dosis 2 D disekeliling sumber dengan geometri simetri silinder, dapat


dinyatakan dalam koordinat polar dengan titik asal koordinat pada pusat sumber. Titik
P adalah titik interes yang berjarak r dari titik asal dan θ adalah sudut antara r dengan
sumbu panjang sumber. Titik P(r0, θ0) adalah titik referensi terletak pada bisektor
transversal sumber dengan jarak 1 m dari titik asal (r0 = 1 cm, θ0 = 90°)

Laju dosis di P(r, θ) mengikuti persamaan berikut:


115
 (r, θ)  SK Λ G(r, θ) g(r) F(r, θ)
D
G(r0 , θ 0 )

SK kuat kerma udara sumber (µGym2 h-1)


Λ konstanta laju dosis dalam air
G(r,θ) fungsi geometri
g(r) fungsi radial dosis
F(r,θ) fungsi anisotropi

Konstanta laju dosis Λ ditentukan melalui pengukuran dan perhitungan dengan simulasi
Monte Carlo, dan mengikuti persamaan berikut:

D (r0 , θ 0 )
Λ
SK
Harga Λ didefinisikan sebagai laju dosis dalam air dari sumber dengan satu satuan
kuat kerma pada posisi referensi. Termasuk didalamnya efek ukuran sumber, bungkus
sumber, dan efek hamburan.

Fungsi geometri G(r,θ) yang menganggap sumber dengan bentuk garis:

β
G(r, θ)  untuk θ ≠ 0°
Lrsinθ

Khusus untuk θ = 0° diperoleh nilai fungsi geometri berikut


G(r, θ) = (r2 – L2/4)-1 bila θ = 0°
116
Untuk pendekatan sumber titik, fungsi geometri menjadi

G(r, θ) = r-2

Fungsi radial dosis mengikuti persamaan berikut:

 (r, θ 0 ) G(r0 , θ 0 )
D
g(r) 
 (r0 , θ 0 ) G(r, θ 0 )
D

Fungsi anisotropi F(r,θ) memasukkan perbedaan shielding ujung sumber dinyatakan


dengan persamaan berikut:

D (r, θ) G L (r, θ 0 )
F(r, θ) 
 (r, θ 0 ) G L (r, θ)
D

F(r,θ) merepresentasikan variasi dosis sebagai fungsi sudut polar relatif terhadap bidang
tranversal. Dengan demikian F(r,θ) pada bidang transversal bernilai satu, dan dengan
kenaikan encapsulation nilai F(r,θ) menjadi kurang dari 1. Perhatikan subskrip L
menunjukkan panjang aktif sumber.
Sumber garis tanpa filter

A Γ
d(AKR)  dx 2
L d
L adalah panjang sumber garis dan A aktivitasnya. Dengan integrasi
diperoleh AKR pada titik P.
x2

AKR   dx
x1 Ld 2
Dengan mengubah koordinat Cartesian menjadi koordinat polar, persamaan
menjadi:

117
A  d A
2

AKR    ( 2  1 )
L  h
1 Lh

Sumber garis dengan filter

Faktor atenuasi sebagai fungsi , dan mengubah persamaan AKR menjadi

Faktor integrasi dapat diuraikan menjadi

dikenal sebagai integral Sievert dan harganya telah ditabelkan.

Pada umumnya koreksi filtrasi, termasuk absorpsi diri dinyatakan dengan f1


(d, ) sehingga persamaan AKR dapat ditulis sebagai berikut

Absorpsi dan hamburan dalam medium


Dalam medium foton diserap dan dihamburkan. Rasio antara AKR dalam
vakum dengan dalam medium dinyatakan sebagai fungsi

f2 (d) = B exp (- md)

d jarak dari sumber, B faktor build up, dan m koefesien atenuasi medium
118
Faktor build up B dapat dinyatakan sebagai fungsi d
B = 1 + a(md)k
a dan k merupakan konstanta untuk suatu radionuklida
Dalam treatment planning, faktor f2(d) dapat dinyatakan sebagai polynomial
orde tiga (Meisberger), dan dipakai untuk d < 10 cm

f2(d) = A + Bd + Cd2 + Dd3


A, B, C, dan D merupakan konstanta

Faktor koreksi absorpsi dan hamburan f2(d) dalam medium air

Sumber jarak dari sumber (cm)


1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0
Co 60 0.989 0.978 0.964 0.947 0.928 0.906 0.881 0.853 0.822
Cs 137 0.994 0.987 0.976 0.959 0.938 0.912 0.881 0.845 0.805
Ir 192 1.009 1.016 1.014 1.004 0.985 0.958 0.923 0.879 0.827
I 125 1.016 0.902 0.740 0.581 0.447 0.340 0.256 0.189 0.133
Au 198 1.003 1.005 1.000 0.987 0.968 0.942 0.910 0.870 0.823

Kalkulasi dosis absorpsi


Untuk mengubah AKR menjadi dosis absorpsi diperlukan faktor f3

(en /)air dan (en /)udara adalah koefesien absorpsi massa air dan udara, serta g adalah
fraksi energi yang ditransfer menjadi bremstrahlung

Laju dosis dari sumber titik dalam medium pada jarak d

Untuk sumber titik dalam bungkus sferis faktor atenuasi f1 tidak tergantung pada
posisi dan sama dengan exp(-t). Faktor ini tidak perlu dimasukkan bila kuat sumber
dinyatakan dalam bentuk acuan AKR (AKR0)

Persamaan dosis dapat ditulis sebagai

D(d) = (AKR0) f2(d)f3/d2

Untuk sumber garis persamaan dosis diperoleh dengan integrasi

119
Dengan mengambil pendekatan

persamaan AKR sumber garis terbungkus pada titik referensi 1 m dapat ditulis sebagai

Untuk sumber dengan panjang < 15 cm, harga tan-1(L/2) mendekati harga (L/2),
sehingga dosis untuk sumber garis menjadi

120
Contoh :
Sumber garis Cs 137 dalam bentuk jarum dilapis platina 0.5 mm, panjang aktif 45
mm, referensi AKR 10 Gy h-1. Tunjukkan dosis pada titik P dengan h = 2 cm dari
sumbu sumber dan 1 cm dari ujung aktifnya.

Dalam kalkulasi faktor absorpsi dan hamburan f2 diabaikan.

Kalkulasi dosis pada suatu titik (secara praktis)

Laju dosis pada suatu titik tergantung pada karakteristik fisik dan geometri sumber,
posisi titik terhadap sumber, dan komposisi medium yang mengisi titik maupun sumber.
Dalam praktek, 2 faktor yang dominan dalam kalkulasi dosis, laju kerma sumber
referensi/acuan dan jarak dari setiap bagian sumber ke titik kalkulasi. Dalam kalkulasi,
diabaikan efek filtrasi sumber dan tempatnya, dan diandaikan sumber berada dalam
medium air. Koreksi kemiringan filtrasi dan sifat alami medium untuk sementara tidak
diperhatikan.

Sumber titik

1 µ𝑒𝑛 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟
𝐷̇ = 𝐾𝑟̇ × × 𝜑(𝑟) × ( )
𝑟2 𝜌 𝑎𝑖𝑟
𝐾𝑟̇ adalah laju kerma udara, φ(r) adalah transmisi efektif setelah melewati medium
µ𝑒𝑛 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟
dengan ketebalan r, yang dikenal sebagai faktor Meisberger. ( ) adalah rasio
𝜌 𝑎𝑖𝑟
koefesien absorpsi massa, rata-rata untuk seluruh spektrum energi gamma, untuk air
terhadap udara.

Nilai φ(r) dapat didekati dengan polinomial A + Br +Cr2 +Dr3 sampai dengan rlim dari
sumber. Sesudahnya, nilai φ(r) dapat dikalkulasi mendekati bentuk eksponensial φ(r)
=e-µ e-(r –R), dengan µ mendekati koefesien atenuasi linier dan R konstan untuk
121
memperoleh φ(r) kontinu pada rlim. Diandaikan pula nilai φ(r0) konstan untuk r0 atau h
jauh lebih panjang dari l (sekitar 2 kali atau lebih).

Sumber linier

Suatu sumber linier uniform dengan panjang aktif l dapat dibagi menjadi deretan n
elemen, masing-masing sepanjang Δl sehingga Δl = l/n. Bila n besar maka Δl dapat
dianggap sebagai sumber titik. Dengan 𝐾𝑟̇ adalah laju kerma udara untuk seluruh
sumber, maka diperoleh hubungan berikut :

𝛥𝑙 𝐾̇𝑟
𝐾̇𝑟 × =
𝑙 𝑛

122
𝐾 µ ̇ 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 1
𝐷̇ = 𝑟 ( 𝑒𝑛 ) ∑𝑛𝑖=1 2 φ(𝑟𝑖 )
𝑛 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑟

Untuk n tak hingga diperoleh hubungan berikut

𝐾 µ̇ 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 𝑟𝑏 1
𝐷̇ = 𝑟 ( 𝑒𝑛 ) ∫𝑟 φ(𝑟)𝑑𝑙
𝑛 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑎 𝑟2

Untuk sumber 125I variasi φ(r) sepanjang sumber kecil, dan diganti dengan φ(r0)
dengan r0 jarak antara titik P dengan pusat sumber linier, sehingga diperoleh:
𝑟𝑏
𝐾̇𝑟 µ𝑒𝑛 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 1
̇
𝐷= ( ) 𝜑(𝑟0 ) ∫ 2 𝑑𝑙
𝑛 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑟
𝑟𝑎

Dua kondisi diperhatikan, untuk integral tersebut:

1) Bila titik P pada sumbu sumber dengan jarak r0 (r0>l/2) dari pusat sumber,
integral menjadi

1 1
∫ 𝑑𝑙 =
𝑟2 𝑙2
𝑟02 −
4

𝐾̇𝑟 µ𝑒𝑛 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 1


𝐷̇ = ( ) 𝜑(𝑟0 )
𝑛 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑙2
𝑟02 −
4

2) Bila P pada jarak h dari sumbu sumber

123
Integral dapat diubah sebagai berikut:

1 𝛼
∫ 𝑑𝑙 =
𝑟2 ℎ
Laju dosis di P menjadi:

𝐾̇𝑟 µ𝑒𝑛 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 𝛼


𝐷̇ = ( ) 𝜑(𝑟0 )
𝑛 𝜌 𝑎𝑖𝑟 ℎ

Deretan sumber

Cara lain untuk memperoleh sumber linier adalah menggunakanderetan sumber


pendek. Jumlah dosis yang diberikan oleh setiap sumber pendek yang dianggap
sebagai sumber titik, dapat dianggap representasi dari sumber total.

Dalam praktek distribusi dosis yang diperoleh deretan sumber mendekati distribusi
sumber linier kontinu untuk titik-titik dengan jarak lebih dari E/2 dari garis sumber.

Cara lain adalah simulasi sumber kontinu ataupun diskontinu dengan menggerakkan
sumber titik sepanjang lintasan tertentu. Pergerakan dapat kontinu pada laju konstan
124
ataupun stepwise continuous dengan sumber berhenti pada posisi tertentu dalam
waktu tertentu secara berurutan. Untuk gerakan diskontinu, dosis pada titik P dapat
dikalkulasi mengikuti hubungan berikut:

𝑛
𝐾̇𝑟 µ𝑒𝑛 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 1
𝐷̇ = ( ) ∑ 𝑡𝑖 2 𝜑(𝑟𝑖 )
𝑛 𝜌 𝑎𝑖𝑟 𝑟𝑖
𝑖=1

ti adalah panjang waktu sumber berada pada posisi i.

125
126
127
128

Anda mungkin juga menyukai