Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit arboviral pada

manusia dengan insiden yang terus meningkat. Sebanyak 150.000 infeksi dengue

disebabkan oleh virus dengue berukuran 40-50 mm yang tergolong genus

flavivirus.1

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama pada anak,

khususnya di negara berkembang. Virus dengue dilaporkan telah menyebar lebih

dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan

pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara,

dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta

orang, setengahnya dirawat di Rumah Sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian

setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,

tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue

melalui gigitan nyamuk setempat.4,8

Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati kasus tertinggi di

kawasan Asia Tenggara. Infeksi virus dengue telah menyebar di 33 provinsi dan

436 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Data Kementrian

Kesehatan RI menunjukkan kenaikan signifikan angka kesakitan dari 0,05 per 100

000 pada tahun 1968 menjadi 39,8 per 100 000 penduduk tahun 2014, dengan

angka kematian (case fatality rate) 0,90%. Kejadian epidemik tertinggi dilaporkan
2

terjadi pada tahun 2010, yaitu 86 per 100 000 kasus. Lima provinsi dengan angka

kesakitan tertinggi adalah Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah,

dan DI Yogyakarta. Data Kemenkes tahun 2015 menunjukkan 3420 kasus di DIY,

dengan CFR 1%. Di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2014, angka

kematian pasien infeksi dengue 3,1%, menurun menjadi 2,6% pada tahun 2015.

Maluku utara merupakan salah satu provinsi dengan kasus DBD yang cukup

tinggi. Pada empat tahun terakhir kasus DBD telah merenggut 11 nyawa. Dinas

Kesehatan (Dinkes) mencatat pada 2015 ditemukan sebanyak 45 penderita DBD

dan 1 diantaranya meninggal dunia. Tahun 2016 angka penyakit DBD meningkat

hampir tiga kali lipat atau 129 penderita dan 7 orang meninggal. Angka kasus ini

setahun kemudian menurun cukup tajam yakni 20 penderita dan dari angka itu di

2017 tidak ada yang meninggal dunia. Sedangkan di tahun 2018 Dinkes mencatat

terdapat 41 penderita, dan yang meninggal sebanyak 3 orang. Insiden rate di

Maluku pada tahun 2017 sebanyak 5,22. Penderita DBD di Maluku sampai

dengan Februari 2019 tercatat sebanyak 50 kasus, diantaranya Kota Ambon

sebanyak 27 kasus, Kepulauan Aru 12 kasus, Buru Selatan 5 kasus, Maluku

Tengah 4 kasus, Seram Bagian Timur 1 kasus dan Buru 1 kasus.4,5

Di Ambon total kasus DBD sejak bulan Januari sampai dengan minggu

pertama Februari 2019, terdapat 33 kasus dengan penyebarannya pada di tiga 3

kecamatan, yakni Kecamatan Sirimau, Nusaniwe dan Teluk Ambon. Dan kasus

paling terbanyak berada pada Kecamatan Sirimau dengan 15 kasus. Di RSUD dr.

M Haulussy Ambon tercatat sebanyak 42 kasus DBD dan 56 kasus DD pada

tahun 2018. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada
3

kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya

peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan

proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti

yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.10

Kesulitan memprediksi perjalanan klinis dari infeksi virus dengue,

terutama memprediksi kondisi awal syok, seringkali menjadi penyebab

keterlambatan pengelolaan sehingga mengakibatkan komplikasi berupa

perdarahan, disfungsi berbagai organ sebelum pasien tiba di rumah sakit rujukan.

Penyebab majemuk merupakan faktor penyebab terjadinya DBD, artinya

munculnya kesakitan karena beberapa faktor yang saling berinteraksi, diantaranya

agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan

tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi

faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas

perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan

umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.6,11,12

Infeksi virus dengue bersifat akut, dinamis dengan spektrum manifestasi

klinis yang bervariasi mulai dari paling ringan (undifferentiated febrile illness)

sampai dengan dengue berat. Pada awal perjalanan penyakit seringkali sulit untuk

membedakan infeksi ringan dari infeksi berat. Pada dasarnya tidak ada

penanganan spesifik untuk infeksi virus dengue, tetapi deteksi dini dan

penanganan yang cepat dan tepat dapat menurunkan mortalitas.7


4

Penggolongan derajat keparahan DBD berdasarkan World Health

Organization (WHO) terdiri dari empat kategori yakni derajat I, II, III dan IV

yang ditentukan berdasarkan gejala serta hasil pemeriksaan fisik. Progresivitas

infeksi demam berdarah dengue pada setiap pasien bervariasi. Pasien dengan

gambaran klinis yang ringan pada pemeriksaan awal dapat jatuh ke kondisi

perburukan yang berujung kematian. Oleh karena itu, suatu penanda klinis yang

praktis diperlukan untuk dapat memprediksi derajat keparahan pasien baik saat

awal pemeriksaan maupun saat pemantauan respon terapi.2,3

Pemeriksaan penunjang complete blood count (CBC) menjadi salah satu

prosedur tetap dilakukan di rumah sakit untuk mengkonfirmasi diagnosis DBD.

Dari pemeriksaan CBC ini, hematokrit dan trombosit adalah indikator penting

untuk diperhatikan. Trombosit dapat menggambarkan ada tidaknya disfungsi

pembekuan darah sedangkan jumlah hematokrit dapat menggambarkan

permeabilitas vaskular. Namun, hingga saat ini hematokrit dan trombosit masih

kontroversial untuk dijadikan sebagai acuan dalam memprediksi derajat

keparahan DBD.1,13,14

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan antara nilai hematokrit dan trombosit dengan derajat keparahan DBD.

Syumarta menemukan bahwa trombosit memiliki hubungan yang tidak bermakna

dengan derajat klinis DBD. Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri ditemukan

hubungan yang bermakna antara trombosit dan hematokrit dengan derajat DBD.

hasil penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Ayu Widyanti didapati bahwa

tidak ada hubungan antara trombosit dan hematokrit dengan derajat keparahan
5

dengue. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ihsan diungkapkan

bahwa kadar trombosit dan hematokrit tidak dapat dijadikan sebagai prediktor

derajat keparahan DBD.15,16,17,18

Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh oleh peneliti-peneliti

sebelumnya mendorong peneliti untuk mengetahui validitas dari hubungan antara

nilai hematokrit dan trombosit dengan derajat keparahan demam berdarah dengue.

Oleh karena itulah dilakukan penelitian mengenai “Hubungan Jumlah Hematokrit

Dan Trombosit Dengan Derajat Keparahan Pasien Infeksi Dengue Di RSUD dr.

M. Haulussy Ambon”.
6

1.2. Rumusan Masalah

Infeksi virus dengue bersifat akut, dinamis dengan spektrum manifestasi

klinis yang bervariasi mulai dari paling ringan (undifferentiated febrile illness)

sampai dengan dengue berat. Pemeriksaan penunjang CBC menjadi salah satu

prosedur tetap dilakukan di rumah sakit untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi

dengue. Dari pemeriksaan CBC ini, hematokrit dan trombosit merupakan

indikator yang sangat penting. Trombosit dapat menggambarkan ada tidaknya

disfungsi pembekuan darah sedangkan jumlah hematokrit dapat menggambarkan

permeabilitas vaskular. Namun, hingga saat ini hematokrit dan trombosit masih

belum dijadikan sebagai acuan dalam memprediksi derajat keparahan DBD. Oleh

karena itu, peneliti merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan, yaitu

“Bagaimana hubungan kadar trombosit dan hematokrit dengan derajat keparahan

pasien Infeksi Dengue di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon ?”.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui adanya hubungan jumlah hematokrit dan trombosit dengan

derajat keparahan pasien Infeksi Dengue di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.


7

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar hematokrit pada pasien infeksi dengue

2. Mengetahui jumlah trombosit pada pasien infeksi dengue

3. Mengetahui derajat keparahan pasien infeksi dengue di RSUD Dr. M.

Haulussy Ambon

4. Mengetahui hubungan kadar hematokrit dengan derajat keparahan pasien

infeksi dengue di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

5. Mengetahui hubungan jumlah trombosit dengan derajat keparahan pasien

infeksi dengue di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan

sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran tentang

hubungan jumlah hematoktrit dan trombosit dengan derajat keparahan pasien

infeksi dengue

1.4.2. Manfaat teoritis

1. Bagi Dinas Kesehatan

Sebagai sumber data dan informasi bagi Dinas Kesehatan Provinsi

Maluku.
8

2. Bagi Instansi Kesehatan

Sebagai masukan bagi instansi kesehatan, yaitu RSUD Dr. M.

Haulussy Ambon untuk mengelola pasien infeksi dengue dengan

lebih baik.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber bahan dan data untuk penelitian lebih lanjut bagi

institusi pendidikan, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas

Pattimura.

4. Bagi Masyarakat

Sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi masyarakat

mengenai kadar trombosit dan hematokrit pada pasien infeksi

dengue.

5. Bagi Peneliti

Menambah khasanah pengetahuan bagi peneliti mengenai kadar

trombosit dan hematokrit pada pasien infeksi dengue.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Dengue

2.1.1. Definisi

Infeksi dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan

ditularkan melalui gigitan nyamuk betina spesies aedes aegypti. Infeksi virus

dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi

mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (mild

undifferentiated febrile illness), demam dengue (DD), DBD, dan dengue shock
19,20,21
syndrome (DSS).

2.1.2. Epidemiologi

Demam dengue (DD) / demam berdarah dengue (DBD) secara

epidemiologi di dunia berubah secara cepat. Infeksi dengue merupakan penyakit

menular melalui nyamuk (mosquito-borne) yang paling sering terjadi pada

manusia dalam beberapa tahun terakhir, sehingga masih merupakan masalah

kesehatan dunia. WHO mengestimasi bahwa 2,5 miliar manusia tinggal di daerah

virus dengue bersirkulasi. Penyebaran secara geografi dari kedua vektor nyamuk

dan virus dengue menyebabkan munculnya epidemi DD dan DBD dalam dua

puluh lima tahun terakhir, sehingga berkembang hiperendemisitas di perkotaan di

negara tropis. Pada tahun 2007 di Asia Tenggara, dilaporkan peningkatan kasus
10

dengue sekitar 18% dan peningkatan kasus dengue yang meninggal sekitar 15%

dibanding tahun 2006.22,23,24

DBD merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang padat mencapai 245

juta penduduk. Hampir 60% penduduk tinggal di pulau Jawa, daerah kejadian luar

biasa infeksi dengue terjadi. Sejak tahun 1968-2008 kasus DBD terus meningkat.

Jumlah kasus DBD memuncak setiap 10 tahun sekali, yaitu pada tahun 1988,

1998 dan 2008. Pada tahun 2008 data dari Departemen Kesehatan menunjukkan

jumlah kasus DBD mencapai 133,402 kasus dengan angka kesakitan (incidence

rate) 58,85/100.000 penduduk. Angka kematian (case fatality rate) menurun

dengan stabil dari 41% pada tahun 1968 menjadi kurang dari 2% sejak tahun

2000, menurun menjadi 1,21% pada tahun 2004, dan pada tahun 2008 angka

kematian sudah menurun menjadi 0,86%. Pada tahun 2008 angka kesakitan

tertinggi terjadi pada provinsi DKI Jakarta (303,5), Kalimantan Timur (174,6) dan

Bali (170,1), sedangkan angka kematian tertinggi terjadi di propinsi Maluku

(3,66%), Kalimantan Barat (3,53%), dan Nusa Tenggara Timur (2,87%). Pada

tahun 2007 di provinsi DKI Jakarta, persentase kasus DBD terbanyak merupakan

kelompok umur 5-14 tahun (36%), diikuti kelompok umur lebih dari 5 tahun

(31%), kelompok 15-44 tahun (22%) dan lebih dari 45 tahun (11%). Data dari

tahun 2006 menunjukkan proporsi jenis kelamin lelaki lebih banyak dibanding

perempuan pada semua kelompok umur.23,26


11

2.1.3. Etiologi

Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus

(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di

Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki

hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-

4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai

penyebab. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur

hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap

serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor

risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2

mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan

virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.

Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian

genom RNA (single-stranded positive-sense genome) disusun didalam satu unit

protein yang dikelilingi diding icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak.

Genome virus Dengue terdiri dari 11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3

stuktur Capsid (C) Membran (M) Envelope (E) protein dan 7 protein non

struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4, NS4B, dan NS5). Di dalam tubuh

manusia, virus bekembang biak dalam sistem retikuloendothelial dengan target

utama adalah APC (Antigen Presenting Cells) dimana pada umumnya berupa

monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di sinusoid hepar.21


12

2.1.4. Patofisiologi

2.1.4.1. Patofisiologi Demam Dengue

Perbedaan klinis antara DD dan DBD disebabkan oleh mekanisme

patofisiologi yang berbeda. Adanya renjatan pada DBD disebabkan karena

kebocoran plasma (plasma leakage) yang diduga karena proses imunologi. Hal ini

tidak didapati pada DD.21

Virus Dengue yang masuk kedalam tubuh akan beredar dalam sirkulasi

darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Antigen yang menempel pada makrofag

akan mengaktifasi sel T- Helper dan menarik makrofag lainnya untuk menangkap

lebih banyak virus. Sedangkan sel T-Helper akan mengaktifasi sel T-Sitotoksik

yang akan melisis makrofag. Proses ini akan diikuti dengan dilepaskannya

mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam,

nyeri sendi, nyeri otot, dan gejala lainnya. Juga bisa terjadi agregasi trombosit

yang menyebabkan trombositopenia ringan. Demam tinggi (hiperthermia)

merupakan manifestasi klinik yang utama pada penderita infeksi virus dengue

sebagai respon fisiologis terhadap mediator yang muncul. Sel penjamu yang

muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang terjadinya panas. Faktor panas

yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang memicu panas seperti TNF-α,

IL-1, IL-6, dan sebaliknya sitokon yang meredam panas adalah TGF-β, dan IL-

10.27,28

Beredarnya virus di dalam plasma bisa merupakan partikel virus yang

bebas atau berada dalam sel platelet, limfosit, monosit, tetapi tidak di dalam
13

eritrosit. Banyaknya partikel virus yang merupakan kompleks imun yang terkait

dengan sel ini menyebabkan viremia pada infeksi virus Dengue sukar dibersihkan.

Antibodi yang dihasilkan pada infeksi virus dengue merupakan non netralisasi

antibodi yang dipelajari dari hasil studi menggunakan stok kulit virus C6/C36,

viro sel nyamuk dan preparat virus yang asli. Respon innate immune terhadap

infeksi virus Dengue meliputi dua komponen yang berperan penting di periode

sebelum gejala infeksi yaitu antibodi IgM dan platelet. Antibodi alami IgM dibuat

oleh CD5 + B sel, bersifat tidak spesifik dan memiliki struktur molekul

mutimerix. Molekul hexamer IgM berjumlah lebih sedikit dibandingkan molekul

pentameric IgM namun hexamer IgM lebih efisien dalam mengaktivasi

komplemen.Antigen Dengue dapat dideteksi di lebih dari 50% “Complex

Circulating Imun”. Kompleks imun IgM tersebut selalu ditemukan di dalam

dinding darah dibawah kulit atau di bercak merah kulit penderita dengue. Oleh

karenanya dalam penentuan virus dengue level IgM merupakan hal yang

spesifik.28

2.1.4.2. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue

Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan

patofisiologi primer. Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang

ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan

darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi

efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang

nyata tidak terjadi. Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan

hemostasis pada DBD dan DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan
14

kelainan koagulasi. Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan

fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.28

Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan

seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi

yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi

primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat. Pada hari kelima

demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada minggu pertama

hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari. pada infeksi primer

antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi sekunder

kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer

ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan

pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.28

Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan

monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga

terjadi aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi

virus menjadi lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh

dengan memiliki kekebalan terhadap serotipe virus yang sama. Apabila penderita

terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang berbeda, maka virus

dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh

makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan APC. Antigen ini

membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility

Complex (MHC II). Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan

dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR)
15

sebagai reaksi terhadap infeksi. Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan

substansi imunomodulator yaitu INFγ, IL-2, dan Colony Stimulating Factor

(CSF). 27,28

IFNγ akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNFα.

Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel endotel, membentuk prostaglandin,

dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion molecule 1 (ICAM 1). CSF akan

merangsang neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang

oleh CSF akan beradhesi dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang

mambuat dinding endothel lisis dan endothel terbuka. Neutrophil juga membawa

superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus

GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan

vaskuler. Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus

sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga

menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFNγ

dan TNFα.28

2.1.5. Patogenesis

Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES

seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus,

sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh

monosit. Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organel-

organel sel genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen


16

strukturalnya. setelah berkembang biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan

dilepaskan dari sel.27,28

Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M

(membran) dan E (envelope). Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran

atau pre-M.Glikoprotein E merupakan epitope penting karena: mampu

membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas

hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor

binding), mempunyai fungsi fisiologis antara lain untuk fusi membran dan

perakitan virion.27,28

Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis:

netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated

Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement. Secara invivo

antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu Antbodi netralisasi

memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi virus dan Antibodi

non netralising memiliki peran cross-reaktif sehingga dapat meningkatkan infeksi

yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS. 27,28

Perubahan patofisiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori

yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan

hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder

menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu

jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut

untuk jangka waktu yang lama. Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang
17

terbentuk dapat menetralisir virus yang sama (homologous). Namun jika orang

tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus yang lain, maka virus

tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat.

Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi

heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda.

Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama

pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks antibodi

meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi

dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan

memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet Activating Factor”

Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding pembuluh

darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini

dapat berakhir dengan syok. Proses ini juga menyertakan komplemen yang

bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma dan

perdarahan yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik.27,28

Pada teori kedua (ADE), terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap

terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance

infection, serta limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat

antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat

mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh

tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang

berat.29
18

Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+,

dan CD8+. Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel

mononuklear. Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi

IFN-γ, TNF-α dan IL-10. peningkatan TNF-α berhubungan dengan manifestasi

perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi limfosit T,

sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting dalam keparahan dan

patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit

T dan trombosit.27,28,29

2.1.6. Gambaran Klinis

Manifestasi klinis DD menurut kriteria diagnosis WHO tahun 2011,

infeksi dengue dapat terjadi secara simtomatik dan asimtomatik, untuk infeksi

dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)

dengan DD sebagai infeksi dengue ringan dan expanded dengue syndrome atau

isolated organophaty dengan DBD sebagai infeksi dengue berat. Perembesan

plasma merupakan tanda khas dari DBD sedangkan kelainan organ lain

dikelompokkan kedalam expanded dengue syndrome atau isolated organophaty

Secara klinis pada penderita DD dapat disertai pendarahan atau tidak sedangkan

pada penderita DBD dapat disertai syok atau tidak.4,7


19

a. Undifferentiated Fever

Infant, anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama

infeksi primer, akan menimbulkan gejala demam yang tidak dapat dibedakan

dengan infeksi virus lain. Ruam makulopapular, gejala respiratori dan

gastrointestinal biasanya menyertai demam ini.4

b. Demam Dengue

Setelah periode inkubasi selama 4-6 hari, berbagai gejala konstitusional

muncul. Biasanya onset DD mendadak dengan suhu yang meningkat tajam

antara 39oC dan 40oC selama 5-7 hari pada kebanyakan kasus. DD

merupakan gejala panas akut yang terkadang bifasik dengan sakit yang

parah, myalgia, arthralgia, ruam, nyeri retro-orbital gerakan mata, fotofobia,

nyeri sendi, abdominal tenderness, leukopenia, dan trombositopenia.

Perdarahan gastrointestinal, hypermenorrhea, dan epistaksis jarang terjadi.20,30

c. Demam Berdarah Dengue Dan Sindrom Syok Dengue

DBD biasanya terjadi pada anak dengan infeksi virus dengue sekunder.

Meskipun demikian, insiden DBD pada dewasa kini juga meningkat.

Karakteristik DBD mencakup onset akut panas yang tinggi juga disertai

gejala yang mirip dengan DD pada fase awal febril. Pada fase akhir febril,

terdapat kemungkinan untuk berkembangnya DBD ke syok hipovolemik dan

kebocoran plasma.30
20

DBD dapat dibedakan dari DD dengan hadirnya peningkatan permeabilitas

vaskuler (sindrom kebocoran plasma) dan pertanda trombositopenia

(<100.000/µl) terkait dengan perdarahan, hepatomegali, dan fungsi liver

abnormal. Kegagalan respirasi akut meskipun komplikasi yang jarang pada

dewasa memiliki tingkat mortalitas yang tinggi.30

Kehadiran warning sign seperti muntah persisten, sakit bagian abdominal,

letargi, iritabilitas, dan oliguria merupakan pertanda penting guna mencegah

syok. Kebocoran plasma dimulai saat transisi dari febril menuju fase afebril

yang pada fase awal tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik. Syok

dikarakteristikkan dengan nadi yang cepat dan lemah, penyempitan tekanan

nadi ≤20mmHg, peningkatan tekanan diastolic hingga 100/90mmHg atau

hipotensi.30

Gambar 2.1. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011

Sumber: World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive


Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
21

Spektrum klinis infeksi virus Dengue dapat berupa sindrom viral,

Dengue Fever, atau Dengue Haemoragic Fever (DHF) termasuk DSS. Infeksi

dengan satu serotip Dengue menimbulkan imunitas menetap terhadap serotip

tersebut, akan tetapi juga dapat menimbulkan proteksi silang jangka pendek

untuk serotip yang lain. Manifestasi klinis tergantung tipe virus dan faktor

inang, seperti umur, status imun dan lain sebagainya.7

Manifestasi infeksi dengue menurut WHO secara umum dapat dilihat

berdasarkan derajat keparahannya

DD/DBD DERAJAT TANDA DAN GEJALA LABORATORIUM


DD Demam disertai minimal a. Leukopenia (jumlah
dengan dua gejala seperti: leukosit ≤4000 sel/mm3)
a. Nyeri kepala b. Trombositopenia
b. Nyeri retro orbital (jumlah trombosit
c. Nyeri otot <100.000 sel/mm3)
d. Nyeri sendi c. Peningkatan hematokrit
e. Ruam kulit (5%-10%)
makulopapular d. Tidak ada bukti
f. Manifestasi perembesan plasma
perdarahan
g. Tidak ada
perembesan plasma
DBD I Demam dan manifestasi Trombositopenia <100.000
perdarahan (uji bending sel/mm3, disertai peningkatan
positif) dan tanda perembesan hematokrit ≥20%
plasma
DBD II Seperti derajat I ditambah Trombositopenia <100.000
perdarahan spontan sel/mm3, disertai peningkatan
hematokrit ≥20%
DBD III Seperti derajat I atau II Trombositopenia <100.000
ditambah kegagalan sirkulasi sel/mm3, disertai peningkatan
(nadi lemah, hipotensi, hematokrit ≥20%
gelisah, dieresis menurun
DBD IV Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia <100.000
nadi yang tidak terdeteksi sel/mm3, disertai peningkatan
hematokrit ≥20%
Tabel 2.1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011
22

Infeksi Dengue merupakan suatu penyakit sistemik yang memiliki

spektrum klinis yang luas.Setelah masa Inkubasi diikuti oleh tiga fase yaitu fase

demam, fase kritis dan fase penyembuhan7

Gambar 2.2. Fase-fase infeksi dengue.

sumber : Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control

2.1.6.1. Fase Febril

Pasien biasanya akan mengalami demam derajat tinggi secara mendadak.

Fase febril akut berakhir 2-7 hari dan sering kali diikuti oleh ruam facial, eritema

kulit, sakit di sekujur tubuh, myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital, fotofobia,

rubeliform exanthema, dan sakit kepala. Beberapa pasien juga dapat mengalami

sakit tenggorokan, anoreksia, dan muntah. Sulit untuk membedakan infeksi


23

dengue secara klinis dari non-dengue saat fase febril. Tes tourniquet yang positif

mengindikasikan peningkatan probabilitas dengue dan krusial dalam memonitor

warning signs, namun gambaran klinis ini tidak dapat memprediksi keparahan

penyakit. Abnormalitas paling awal dalam pengukuran tes darah lengkap ialah

penurunan secara progresif pada jumlah sel darah putih yang mana dapat

dijadikan sebagai pertanda kemungkinan besar infeksi dengue.20

2.1.6.2. Fase Kritis

Selama fase febril menuju afebril, pasien tanpa peningkatan permeabilitas

kapiler akan mengalami perbaikan tanpa melalui fase critical. Pasien dengan

peningkatan permeabilitas kapiler dapat memiliki manifestasi klinis berupa

warning sign sebagai hasil dari kebocoran plasma. Warning sign merupakan tanda

dimulainya fase critical. Pasien menjadi buruk keadaannya ketika temperatur

menurun ke 37,5oC-38oC atau kurang dan terus berada di bawah level ini,

biasanya terjadi pada hari ke 3-8.20

Leukopenia progresif diikuti penurunan jumlah platelet secara cepat dan

peningkatan hematokrit di atas batas normal mengindikasikan kebocoran plasma.

Periode klinis signifikansi kebocoran plasma biasanya berakhir selama 24-48 jam.

Derajat hemokonsentrasi merefleksikan keparahan kebocoran plasma yang akan

berkurang dengan terapi cairan intravena. Pengukuran hematokrit adalah esensial

bagi sinyal dibutuhkannya terapi cairan. Efusi pleura dan asites biasanya hanya

terdeteksi setelah terapi intravena kecuali bila kebocoran plasma terjadi dengan

signifikan.20
24

2.1.6.3. Fase Recovery

Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 fase kritis, maka reabsorpsi

gradual cairan kompartemen esktravaskular akan mengikuti di 48-72 jam

berikutnya. Perbaikan gejala umum, kembalinya selera makan, gejala

gastrointestinal yang membaik, stabilitas hemodinamik, dan dieresis membaik

merupakan tanda fase ini. Begitu pula dengan peningkatan hitung sel darah putih

dan stabilitas hematokrit.20

2.1.7. Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,

jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis

relative disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia

umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi

dapat mulai dijumpai hari ke 3 demam.33

Kelainan laboratorium yang ditemukan adalah leukopenia dan

trombositopenia. Bila terjadi renjatan maka dapat terjadi peningkatan hemoglobin

maupun hematokrit. Penderita yang diduga DD atau DBD biasanya dianjurkan

melakukan pemeriksaan hematologi secara serial untuk mendeteksi secara dini

kemungkinan terjadinya renjatan atau perdarahan yang lebih lanjut.34

Pada pemeriksaan klinis laboratoris, dapat ditemukan tes tourniquet yang

positif dan lekopenia (lekosit ≤ 5000 sel/mm3) membantu untuk menegakkan

diagnosis dini infeksi dengue dengan nilai prediksi positif sebesar 70% - 80%.

Jumlah lekosit total pada awal demam umumnya normal, selanjutnya menjadi
25

lekopenia dengan menurunnya netrofil yang berlangsung sepanjang fase demam.

Jumlah trombosit umumnya normal, begitu pula komponen system koagulasi yang

lain. Trombositopenia ringan (100.000 – 150.000 sel/mm3) seringkali ditemukan

pada pasien Dengue Fever (DF), pasien mengalami trombosit 100.000 sel/mm3,

trombositopenia berat (<50.000 sel/mm3) jarang ditemukan.34,35

Peningkatan hematokrit yang ringan (10%) dapat ditemukan akibat

dehidrasi terkait dengan demam tinggi, mual muntah, hilangnya nafsu makan dan

intake per oral yang rendah. Pemeriksaan biokimia darah pada umumnya normal,

tetapi dapat pula ditemukan peningkatan fungsi liver dan Aspartate Amino

Transferase.35

Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan terhadap sel darah merah,

sel darah putih dan trombosit. Pemeriksaan darah yang biasanya dilakukan untuk

menapis pasien tersangka DBD adalah melalui pemeriksaan jumlah trombosit,

nilai hematokrit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin dan hapusan darah tepi

untukmelihat adanya limfositosis relative disertai gambaran plasma biru.36

Penurunan jumlah trombosit menjadi ≤100.000/mm3 atau kurang dari 1-2

trombosit/lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan

pada 10 lpb.1 Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan

hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit ≤100.000/mm3.

biasanya ditemukan antara hari ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan trombosit

perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau

menurun. Pemeriksaan dilakukan pertama saat pasien diduga menderita DBD, bila
26

normal maka diulang pada hari ketiga sakit, tetapi bila perlu diulangi setiap hari

sampai suhu turun.37

Hitung jumlah trombosit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk diagnosis

dengue karena menunjukkan sensitivitas yang tinggi mulai dari hari ke-4 demam

sebesar 67.7%, bahkan pada hari ke-5 sampai ke-7 menunjukkan angka 100%.

Spesifitas yang sangat tinggi pada penggunaan trombositopenia sebagai parameter

disebabkan karena jarangnya penyakit infeksi yang disertai dengan penurunan

hitung trombosit sampai di bawah 150.000/mm3. Bahkan jika digunakan kriteria

trombosit dibawah 100.000/mm3, spesifitas hampir mencapai 100% sejak hari

pertama, namun mengurangi sensitivitas antara 10-20%.37

Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan

WHO sebagai diagnosis klinis penyakit DBD. Jumlah trombosit biasanya normal

pada 3 hari pertama. Trombositopenia mulai nampak beberapa hari setalah panas

dan mencapai titik terendah pada fase syok. Penyebab trombositopenia pada DBD

masih kontroversial, trombositopenia disebutkan terjadi karena adanya supresi

sumsum tulang serta akibat destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.20

Diagnosis klinik penyakit DBD dapat ditegakkan apabila ditemukan dua

atau tiga gejala klinik yang disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi.

1. Demam tinggi mendadak (38,2-40 °C) dan terus-menerus selama 2-7 hari

tanpa sebab yang jelas. Demam pada penderita DBD disertai batuk,

faringitis, nyeri kepala, anoreksia, nausea, vomitus, nyeri abdomen,


27

selama 2-4 hari, juga mialgia (jarang), atralgia, nyeri tulang dan

lekopenia.38

2. Manifestasi perdarahan, biasanya pada hari kedua demam, termasuk

setidak-tidaknya uji bendung (uji Rumple Leede/ Tourniquette) positif

dan salah satu bentuk lain perdarahan antara lain purpura, ekimosis,

hematoma, epistaksis, pendarahan gusi dan konjungtiva, perdarahan

saluran cerna (hematemesis, melena, athematochezia), mikroskopik

hematuria atau menorrhagia.38

3. Hepatomegali, mulai dapat terdeteksi pada permulaan demam.

4. Trombositopenia (100.000/mm atau kurang) biasanya ditemukan pada

hari ke dua/tiga, terendah pada hari ke 4-6, sampai hari ke tujuh/sepuluh

sakit.38

5. Tanda perembesan plasma yaitu hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari

a. Peningkatan kadar hematokrit setinggi kadar hematokrit pada masa

pemulihan.

b. Peningkatan kadar hematokrit sesuai usia dan jenis kelamin > 20%

dibandingkan dengan kadar rujukan atau lebih baik lagi dengan

data awal pasien.

c. Penurunan kadar hematokrit 20% setelah mendapat penggantian

cairan. hipoalbuminemia. efusi pleura, asites atau proteinuria.

6. Renjatan, biasanya mulai pada hari ketiga sejak sakit dan merupakan

manifestasi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi lemah, cepat,


28

kecil sampai tidak teraba, tekanan nadi (beda tekanan sistolik dan

diastolik) menurun (20 mmHg atau kurang), hipotensi (sesuai umur),

disertai kulit teraba dingin dan lembab terutama daerah akral (ujung

hidung, jari tangan dan kaki), penderita tampak gelisah dan timbul

sianosis sirkumoral.38

Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokonsentrasi selalu

dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya kebocoran

plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada

umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit.

Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit ≥ 20% mencerminkan

peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat

perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau

adanya perdarahan. Nilai rujukan nilai hematokrit normal menurut Dacie untuk

pria dewasa adalah 40 - 54 % dan untuk wanita dewasa adalah 37 - 54 %. 10

Beberapa penyakit lain yang dapat mempengaruhi peningkatan nilai hematokrit

diantaranya adalah dehidrasi, diare berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum,

transcient ischemic attack (TIA), eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar.43,44

Nilai Hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ke 3 perjalanan penyakit

dan makin meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit DD. Peningkatan

hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran

plasma ke ruang ekstravaskular. Disertai efusi cairan serosa, melalui kapiler yang

rusak. Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang yang dapat

mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada kasus-


29

kasus berat yang telah disertai perdarahan, umumnya nilai hematokrit tidak

meningkat, bahkan menurun.44

2.2. Trombosit

2.2.1. Pengertian Trombosit

Trombosit adalah bagian dari sel darah yang berasal dari sitoplasma

megakarosit sumsum tulang. Trombosit dalam sirkulasi berbentuk diskus yang

berdiameter 1-3 µm, dan memiliki volume 7-11 fl. Trombopoietin yang dibentuk

di hati merupakan pengatur utama proses pembentukan trombosit (trombopiesis)

yang mempunyai efek pada setiap tahap proliferasi dan pematangan megakarosit.

Turunya jumlah trombosit dalam darah dapat mengakibatkan peningkatan

konsentrasi trombopoietin bebas dalam darah, kemudian terjadi mekanisme

kompensasi pembentukan trombosit pada sumsum tulang. Ukuran trombosit yang

kecil memungkinkan trombosit untuk beredar sampai ujung pembuluh darah,

dalam fungsinya menjaga integritas pembuluh darah dan hemostasis. Trombosit

bersirkulasi bebas dalam pembuluh darah dalam keadaan normal. Pada kondisi

gangguan integritas endotel vascular atau perubahan tekanan aliran darah,

trombosit akan teraktivasi membentuk sumbat trombosit.49

Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sel lengkap, walaupun

tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Di dalam sitoplasmanya

terdapat faktor-faktor aktif seperti : 50


30

a. molekul aktin dan myosin yang merupakan protein kontraktil sama seperti

yang terdapat dalam sel-sel otot, dan juga protein kontraktil lainya, yaitu

trombostenin yang menyebabkan trombosit berkontraksi

b. sisa-sisa reticulum endoplasma dan apparatus golgi yang menyintesis berbagai

enzim dan terutama menyimpan sejumlah besar ion kalsium

c. mitokondria dan sistem enzim yang mampu membentuk adenosine trifosfat

(ATP) dan adenosit difosfat (ADP)

d. sistem enzim yang menyintesis prostaglandin, yaitu hormon lokal yang

menyebabkan berbagai reaksi pembuluh darah dan reaksi jaringan lokal lainya

e. suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin, yang berhubungan

dengan pembekuan darah

f. faktor pertumbuhan (growth factor) yang menyebabkan penggandaan dan

pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, dan

fibroblast, sehingga menimbulkan pertumbuhan seluler yang akhirnya

memperbaiki dinding yang rusak.

Trombosit merupakan struktur yang aktif, waktu paruh hidupnya dalam

darah ialah 8-12 hari, jadi setelah beberapa minggu proses fungsionalnya berakhir.

Trombosit tersebut kemudian diambil dari sirkulasi, terutama oleh sistem

makrofag jaringan, lebih dari separuh trombosit diambil oleh makrofag dalam

limfa, yaitu pada saat darah melewati kisi-kisi trabekula yang rapat.50
31

2.2.2. Fungsi Trombosit

Trombosit memiliki peran yang sangat penting untuk hemostasis dalam

tubuh karena mempunyai fungsi vascular dengan menyumbat perdarahan. Istilah

hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami

ruptur maka hemostasis akan terjadi melalui beberapa cara seperti kontriksi

pembuluh darah, pembentukan sumbatan platelet, pembentukan bekuan darah

sebagai hasil pembekuan darah, dan pertumbuhan jaringan fibrosa ke dalam

bekuan darah untuk menutup lubang pembuluh darah secara permanen.50

Pada keadaan normal trombosit tidak akan melekat pada permukaan endotel

pembuluh darah yang licin, akan tetapi saat terjadi cedera pada pembuluh maka

trombosit menjadi aktif oleh kolagen yang terpajan yaitu protein fibrosa di

jaringan ikat di bawah endotel setelah teraktifkan trombosit cepat melekat ke

kolagen dan membuat sumbatan trombosit hemostatic di tempat cedera.

Ketika mulai menggumpal trombosit mengeluarkan ADP yang membuat

permukaan trombosit darah yang terdapat di sekitar menjadi lekat sehingga

trombosit tersebut melekat ke lapisan pertama gumpalan trombosit. Trombosit-

trombosit yang baru melekat ini melepaskan lebih banyak ADP, yang

menyebabkan bertambahnya jumlah trombosit di tempat defek karena itu, di

tempat defek cepat terbentuk sumbat trombosit melalui mekanisme umpan balik

positif.51
32

Sifat agregasi yang berlanjut terus-menerus tetapi sumbatan trombosit tidak

terbentuk ke dalam pembuluh darah karena ADP dan bahan kimia lain yang

dikeluarkan oleh trombosit merangsang pelepasan prostasiklin dan nitrat oksida

dari endotel normal sekitar. Fungsi dari kedua bahan tersebut adalah untuk

menghambat agregasi trombosit ke bagian dalam darah.51

2.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Trombosit

Kelainan jumlah atau fungsi trombosit, dapat menghambat koagulasi darah,

keadaan yang ditandai dengan trombosit berlebih (>400 103/µl) dinamakan

dengan trombositosis, sedangkan jika jumlah trombosit yang berkurang

(<100x103/µl) disebut dengan trombositopenia.52

Faktor-faktor yang membuat trombositosis antara lain leukemia granulositik

kronik, setelah stress, olahraga, perdarahan, anemia hemolitik, anemia defesiensi

besi, splenoktomi. Selain itu kanker, anemia (anemia defisiensi besi dan anemia

hemolitik), inflamasi seperti inflammatory bowel disease (IBD) atau reumatoid

arthritis, infeksi seperti tuberculosis, operasi pengangkatan spleen, dan

penggunaan kontrasepsi oral. Beberapa keadaan dapat menyebabkan peningkatan

platelet sementara antara lain proses pemulihan dari kehilangan darah yang cukup

banyak, setelah aktivitas fisik atau eskresi, pemulihan dari konsumsi alcohol, dan

defisiensi vitamin B12 dan folat.52,53

Faktor-faktor mempengaruhi trombositopenia seperti leukemia, penyakit

hati, perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan, ekimosis yang bertambah,

splenomegaly, peningkatan autoantibody pada beberapa penyakit, peningkatan


33

antibody IGg. Selain itu penyakit atau kelainan yang menyerang sumsum tulang

juga akan menurunkan kemampuan produksi platelet, dan kondisi dimana platelet

digunakan atau dihancurkan lebih cepat dari normal. Obat-obatan seperti aspirin

dan ibuprofen, beberapa jenis antibiotik, colchine dan indomethacine, H2-

blocking agents, hydralazine, isoniazid, quinidine, tiazide diuretics, dan

tolbutamide merupakan contoh obat yang dapat menurunkan jumlah

trombosit.52,53

Faktor-faktor fisiolgis seperti tinggal di ketinggian, aktivitas berat, dan

setelah melahirkan dapat menyebabkan peningkatan jumlah trombosit. Obat yang

dapat menyebabkan peningkatan platelet seperti estrogen dan kontrasepsi oral.

Penurunan jumlah trombosit ringan mungkin ditemukan pada wanita sebelum

menstruasi. 5% wanita hamil mempunyai jumlah trombosit yang rendah.53

2.2.4. Hubungan Trombosit Dengan Infeksi Dengue

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada

sebagian besar penderita DBD dan cenderung berhubungan dengan berat

penyakit.55 Orang yang digigit oleh nyamuk Aedes sp yang membawa virus

dengue, akan berstatus infeksius selama 6─7 hari. Virus dengue akan masuk ke

dalam peredaran darah orang yang digigitnya bersama saliva nyamuk, lalu virus

akan menginvasi leukosit dan bereplikasi. Leukosit akan merespon adanya

viremia dengan mengeluarkan protein cytokines dan interferon, yang bertanggung

jawab terhadap timbulnya gejala-gejala seperti demam, flu-like symptoms, dan

nyeri otot. Masa inkubasi biasanya 4─7 hari, dengan kisaran 3─14 hari. Bila
34

replikasi virus bertambah banyak, virus dapat masuk ke dalam organ hati dan

sum-sum tulang. Sel-sel stroma pada sum-sum tulang yang terkena infeksi virus

akan rusak sehingga mengakibatkan menurunnya jumlah trombosit yang

diproduksi. Kekurangan trombosit ini akan mengganggu proses pembekuan darah

dan meningkatkan risiko perdarahan, sehingga DF berlanjut menjadi DHF. Gejala

perdarahan mulai tampak pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekie, purpura,

ekimosis, hematemesis dan melena.58,26,22

2.3. Hematokrit

2.3.1. Pengertian

Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi (dinyatakan

dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap. Dengan demikian

kadar hematokrit adalah parameter hemokonsentrasi serta perubahannya. Kadar

hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan hemokonsentrasi, baik

oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma darah, misalnya

pada kasus hipovolemia. Sebaliknya kadar hematokrit akan menurun ketika terjadi

penurunan hemokonsentrasi, karena penurunan kadar seluler darah atau

peningkatan kadar plasma darah, antara lain saat terjadinya anemia.43

2.3.2. Fungsi Hematokrit

Hematokrit digunakan untuk mengukur derajat anemi dan polisitemia

untuk mengetahui adanya ikterus yang dapat diamati dari warna plasma dimana

plasma terbentuk warna kuning atau kuning tua.57


35

2.3.3. Kadar Hematokrit

Kadar hematokrit normal ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan usia

pasien. Kadar hematokrit normal pada pria dewasa yaitu, 38,8% - 50 %, pada

wanita dewasa, yaitu : 35% - 45%. Pada Anak-anak yaitu, 33 -38%. 46,47

2.3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Hematokrit

Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hematokrit: 57

a. Jumlah sel darah merah, dimana jumlah sel darah merah pada pria lebih

banyak dibandingkan dengan sel darah merah pada wanita, apabila

jumlah sel darah merah meningkat atau banyak maka jumlah nilai

hematokrit juga akan mengalami peningkatan.

b. Ketinggian tempat, dimana pada tempat yang tinggi kadar oksigen dalam

udara semakin berkurang sehingga oksigen yang masuk kedalam paru-

paru juga akan berkurang, oleh karena itu agar terjadi keseimbangan

maka sumsum tulang belakang akan memproduksi sel darah merah.

2.3.5. Metode Pemeriksaan Kadar Hematokrit

Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan menggunakan dua metode

yaitu:45

a. Metode langsung, dengan cara makro atau mikro. Cara mikro kini lebih

banyak digunakan, karena hasilnya dapat diperoleh dengan lebih cepat

dan akurat.
36

b. Metode tidak langsung, yaitu dengan menggunakan konduktivitas

elektrik dan komputer.

2.3.6. Faktor Yang Mempengaruhi Pemeriksaan Kadar Hematokrit

a. Pembendungan Vena

Pemasangan torniquet tidak lebih dari 2 menit. Pemasangan tourniquet

dalam waktu lama dan terlalu keras dapat meyebabkan hemokonsentrasi.57

b. Kecepatan centrifuge

Makin tinggi kecepatan centrifuge semakin cepat terjadinya pengendapan

eritrosit dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecepatan centrifuge

semakin lambat terjadinya pengendapan eritrosit. Pengaruh kecepatan

centrifuge, dapat dilihat pada hasil pemeriksaan hematokrit dengan

menggunakan kecepatan centrifuge 16.000 rpm selama 2-3 menit yang

menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna.57

c. Waktu Centrifuge

Selain radius dan kecepatan centrifuge, lamanya centrifuge juga

berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan hematokrit. Makin lama centrifuge

dilakukan maka hasil yang diperoleh semakin maksimal.57

d. Hemokonsentrasi

Hemokonsentrasi adalah pengentalan darah akibat perembesan plasma

ditandai dengan nilai hematokrit. Semakin tinggi nilai hematokrit artinya

semakin rendah nilai serum darah. Jika serum darah yang berfungsi sebagai

pelarut rendah maka terjadi kekentalan di dalam pembuluh darah.57


37

2.3.7. Hubungan Hematokrit Dengan Infeksi Dengue

Pemeriksaan hematokrit pada pasien infeksi dengue bertujuan untuk

mengetahui adanya hemokonsentrasi yang terjadi pada penderita DBD.

Peningkatan hematokrit merupakan menifestasi hemokonsentrasi yang terjadi

akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler disertai efusi cairan serosa,

melalui kapiler yang rusak. Orang yang digigit oleh nyamuk Aedes sp yang

membawa virus dengue, akan berstatus infeksius selama 6─7 hari. Virus dengue

akan masuk ke dalam peredaran darah orang yang digigitnya bersama saliva

nyamuk, lalu virus akan menginvasi leukosit dan bereplikasi. Leukosit akan

merespon adanya viremia dengan mengeluarkan protein cytokines dan interferon,

yang bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala-gejala seperti demam, flu-like

symptoms, dan nyeri otot. Masa inkubasi biasanya 4─7 hari, dengan kisaran 3─14

hari. Bila replikasi virus bertambah banyak, virus dapat masuk ke dalam organ

hati dan sum-sum tulang. Replikasi virus yang terjadi pada hati, akan

menyebabkan pembesaran hati dan nyeri tekan, namun jarang dijumpai adanya

ikterus. Bila penyakit ini berlanjut, terjadi pelepasan zat anafilatoksin, histamin,

dan serotonin, serta aktivasi sistem kalikrein yang meningkatkan permeabilitas

dinding kapiler. Kemudian akan diikuti terjadinya ektravasasi cairan intravaskular

ke kedalam jaringan ekstravaskular. Akibatnya, volume darah akan turun, disertai

penurunan tekanan darah, dan penurunan suplai oksigen ke organ dan jaringan.

Pada keadaan inilah akral tubuh akan terasa dingin disebabkan peredaran darah

dan oksigen yang berkurang, karena peredaran darah ke organ-organ vital tubuh

lebih diutamakan. Ektravasasi yang berlanjut akan menyebabkan


38

hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Pada keadaan ini, penderita

memasuki fase DSS.58,26,22

Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada

DBD, dan merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma.

Hemokosentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalnya dari

35% menjadi 42%) mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan

perembesan plasma.46,47,48
39

2.4. Kerangka Teori

Nyamuk Infeksi virus Peredaran Darah


aedes sp Dengue

Bereplikasi Invasi
Leukosit

Cytokine Dan
Hati SST Interferon

Pembesaran Hati Stroma Pada SST


Rusak
Demam Nyeri otot

Aktivasi Pelepasan :
↓ Kadar Trombosit
System Kinin
Anafilaktoksi
n
↑ Permeabilitas Histamine Trombositopenia
Vaskuler
Serotonin

Kebocoran
Plasma - Demam Dengue
Kedalam - DBD Derajat 1
Vaskular - DBD Derajat 2
- DBD Derajat 3
↑Kadar Hematokrit - DBD Derajat 4

Hemokonsentrasi
Gambar 2.3. Kerangka Teori
40

2.5. Hipotesis Penelitian

H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah trombosit dan hematokrit

dengan derajat keparahan dengue di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

H0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah trombosit dan

hematokrit dengan derajat keparahan dengue di RSUD Dr. M. Haulussy

Ambon
41

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan

menggunakan data sekunder berupa data rekam medis pasien infeksi dengue di

RSUD Dr. M. Haulussy selama tahun 2019

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama bulan Februari 2020 – Maret 2020.

3.2.2. Tempat Penelitian

Pengumpulan data dilaksanakan di laboratorium patologi klinik dan

Instalasi Rekam Medik RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Pasien infeksi dengue yang ditemukan selama tahun 2019 di RSUD Dr. M.

Haulussy.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang

didiagnosis terinfeksi dengue di RSUD Dr. M. Haulussy ambon tahun 2019.


42

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Pasien infeksi dengue yang menjalani pemeriksaan laboratorium

2. Pasien infeksi dengue dengan hasil pemeriksaan laboratorium lengkap.

3.4.2. Kriteria eksklusi

1. Pasien infeksi dengue yang tidak menjalani pemeriksaan laboratorium

2. Pasien dengan penyakit anemia, keganasan, penyakit jantung dan penyakit

jantung bawaan.

3. Data rekam medik dan hasil pemeriksaan laboratorium tidak lengkap

3.5. Kerangka Konsep

Jumlah Trombosit Tingkat Keparahan


Dan Hematokrit Dengue

Gambar 3.1. Kerangka konsep

Keterangan:

= Variabel bebas

= Variabel terikat

3.6. Variabel Penelitian

3.6.1 Variabel Independen

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jumlah hematokrit dan trombosit.

3.6.2 Variabel Dependen

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat keparahan dengue.

3.7. Definisi Operasional


43

No Variable Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Pengukuran
1 Hematokrit Hasil pemeriksaan Rekam Medik 1. Normal Ordinal
hematokrit dalam  Pria 40-54%
darah pasien infeksi  wanita 37-47%
dengue yang diukur  wanita hamil 30-
dengan menggunakan 46%
alat hematologi 2. Meningkat
analyzer.  Pria >55%
 wanita >47%
 wanita hamil >46%
3. Menurun
 Pria <40%
 Wanita <37%
 wanita hamil <30%

2 Trombosit Hasil pemeriksaan Rekam Medik 1. Normal Ordinal


trombosit dalam 150.000-400.000
darah pasien infeksi sel/mm3
dengue yang diukur 2. Meningkat
dengan menggunakan >400.000 sel/mm3
alat hematologi 3. Menurun
analyzer. <150.000 sel/mm3

3 Tingkat Derajat keparahan Rekam Medik Klinis : Nominal


Keparahan pasien infeksi dengue 1. DD
Dengue berdasarkan kriteria 2. DBD
WHO. Derajat I
3. DBD
Derajat II
4. DBD
Derajat III
5. DBD
Derajat IV

Tabel 3.1. Definisi operasional penelitian

3.8. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa data rekam medis pasien

infeksi dengue yang menjalani pemeriksaan hematologi rutin di Laboratorium

RSUD Dr. M. Haulussy Ambon dan data rekam medis pasien infeksi dengue di

Instalasi Rekam Medik.


44

3.9. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data rekam medis. Data

rekam medis yang digunakan dalam penelitian ini mencakup nomor rekam medik,

usia, jenis kelamin, data hasil pemeriksaan hematologi rutin, yaitu: kadar

trombosit dan hematokrit, serta pasien yang secara klinis didiagnosis terinfeksi

dengue oleh dokter di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon pada Januari 2019 –

Desember 2019.

3.10. Metode Analisa Data

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan program SPSS

16,00. Analisis data meliputi:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat (analisis persentase) dilakukan untuk menggambarkan

distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel bebas (independen), variabel

terikat (dependen) maupun deskripsi karakteristik responden.

2. Analisis Bivariat

Mengetahui ada tidaknya hubungan jumlah trombosit dan hematokrit

dengan tingkat keparahan dengue dipergunakan uji anova dengan program

Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) 16,00 dengan nilai

kemaknaan α < 0,05, dimana ρ < α (0,05) maka hipotesis H0 diterima, dan

apabila ρ ≥ α (0,05) maka hipotesis H0 ditolak.54


45

3.11. Etika Penelitian

3.11.1. Anonymity

Untuk menjaga kerahasian identitas pasien, peneliti tidak mencantumkan

nama pasien pada lembar pengumpulan data.

3.11.2. Confidentiality

Kerahasian informasi dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

yang akan disajikan sebagai hasil.

3.12. Alur Penelitian

Gambar 3.2. Alur Penelitian


46

3.13. Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan

desember januari februari maret april mei Juni

Penyusunan
proposal
Pembimbingan
proposal
Seminar
proporsal
Perbaikan
proposal
Tahap
penelitian
Analisa hasil
penelitian
Penyusunan
skripsi

Ujian Skripsi

Tabel 3.2. Jadwal Penelitian


47

DAFTA PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Buletin Jendela Epiemiologi Volume 2.

Jakarta: Depkes RI; 2014

2. Harving, M.L. & Ronsholt, F.F. The Economic Impact of Dengue

Hemorrhagic Fever on Family Level in Southern Vietnam. Danish.

54:170-2.

3. Mayetty. Hubungan Klinis dan Laboratorium sebagai Faktor Resiko Syok

pada DBD. Sari Pediatri.2010;11(5):367373

4. World Health Organization: Comprehensive guidelines for prevention and

control of dengue and dengue haemorrhagic fever: revised and expanded

edition. Geneva: World Health Organization; 2011.

5. Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers

MM, Heesterbeek H, dkk. The changing incidence of dengue

haemorrgahic fever in Indonesia : a 45-year registrybase analysis. BMC

Infect Dis 2015;14:1-7

6. Pangaribuan A, Paryanto E, Safitri I. Faktor prognosis kematian sindrom

syok dengue. Sari Pediatri 2014;15:332-40.

7. WHO, 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention,

and Control. France. 1 st edition

8. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne

Dengue Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural

Resources Defense Council Issue.2015


48

9. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on

Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology &

Infectious Disease. 2013; Vol 30:329-40.

10. Wirahjanto A, Soegijanto S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue,

dalam Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya: Airlangga University

Press. Hal 1-10.; 2010.

11. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Mitra Cendikia

Press.2015

12. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit

Malaria Dan Demam Berdarah Dengue. Bogor: IPB; 2011.

13. Chuansumrit, A. & Tangnararatchakit, K. Patophysiology and

Management of Dengue Hemorrhagic Fever. Transfusion Alternatives in

Transfusion Medicine. 2010; 8 (1);3-11.

14. Taufik, A., dkk. Peranan Kadar Hematokrit, Jumlah Trombosit dan

Serologi IgG-IgM AntiDHF dalam Memprediksi Terjadinya Syok pada

Pasien Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Islam Siti Hajar

Mataram. Jurnal Penyakit Dalam. 2007;8(2): 105111).

15. Syumarta, Y. Hubungan Jumlah Trombosit, Hematokrit, dan Hemoglobin

dengan Derajat Klinis Demam Berdarah Dengue pada Pasien Dewasa di

RSUP M. Djamil Padang. Skripsi FK Unand. 2013

16. Putri, A.K. Hubungan Nilai Trombosit dan Hematokrit dengan Derajat

Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD DR. Pirngardi Medan Periode

1 Januari-31 Desember 2009. Skripsi FK USU. 2010


49

17. Ihsan, J. Hubungan Kadar Hematokrit Awal dengan Derajat Klinis DBD di

RS PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun 2008. Skripsi FK UMS. 2009

18. Ni Nyoman Ayu Widyanti. Hubungan Jumlah Hematokrit Dan Trombosit

Dengan Tingkat Keparahan Pasien Demam Berdarah Dengue Di Rumah

Sakit Sanglah Tahun 2013-2014. Skripsi FK Udayana. 2016

19. Kaira NL, Prasittisuk C, Dash AP, editors. Comprehensive Guidelines For

Prevention And Control Of Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and

expanded edition. India: who regional office for south-east asia.2016

20. World Health Organization. Handbook For Clinical Management Of

Dengue Geneva: Who Press; 2012

21. Soegijanto, Soegeng. 2011. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent

Update. Applied Management of Dengue Viral Infection in Children.

halaman 11-45.

22. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Demam Berdarah Biasanya

Mulai Meningkat di Januari. 2016; Available from:

http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah-

biasanya-mulai-meningkat-di-januari.html.

23. Setiati TE, Wangenaar JF, Kruit MD, Mairuhu AT, Gorp EC, Soemantri

A. Changing epidemiology of dengue haemorrhagic fever in

Indonesia.2016;30:1-14.

24. Sapir DG, Schimmer B. Dengue fever: new paradigms for changing

epidemiology. Emerging themes in Epidemiology 2015;2:1-10.


50

25. Lardo S, 2016. Concurrent Infection of Dengue Viruses Serotype 2 and 3

in Patient with Several Dengue from Jakarta, Indonesia. Elsevier. Vol.9

(2): 134-140

26. WHO. Weekly epidemiological record. 2016; Available from:

http://www.who.int/wer/2016/wer9130.pdf?ua=1.

27. Candra A, 2010. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis,

dan Faktor Resiko Penuaran. Vol.2 (2)

28. Ifesinachi P, 2013. Mechanism of Fever in Humans, International Journal

ofMicrobiology and Immunology Research. Vol 2 (5)

29. Stela J, 2016. Identification of Dengue Virus Serotypes at the dr. Soetomo

Hospital Surabaya in 2016 and its Correlation with NS1 Antigen

Detection. Surabaya

30. Ralapanawa, 2015.Current Management of Dengue in Adult. Vol.14 No. 1

31. Vernon J, Lye CB, Sun Y, Fernandez G, Ong A, Leo Y. 2012. Predictive

value of simple clinical and laboratory variables for dengue hemorrhagic

fever in adults. Journal of Clinical Virology. 42(1):34–39.

32. Wang C, Liu S, Liao S, Lee I, Liu J, Lin A, et al. 2011. Acute Respiratory

Failure in Adult Patients with Dengue Virus Infection. Amj Trop Med.

77(1):151– 158.

33. Depkes RI. 2016. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah

Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

34. Ralapanawa, 2015.Current Management of Dengue in Adult. Vol.14 No. 1


51

35. Niniek Burhan, 2013, International Symposium on tropical and infectious

diseases. Surabaya : Lembaga Penyakit tropis Universitas Airlangga.

36. Turgeon, ML. 2012. Clinical Hematology Theory and Procedures. 6th ed.

Little Brown and Company. Boston.

37. Jayashree K, 2011. Evaluation of Platelets as Predictive Parameters in

Dengue Fever. Indian J Hematol Blood Transfus. Vol.27 (3)

38. WHO, 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of

Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, India.

39. Sungmo J, Wonjun B, Jieon K, 2016, Epidemiological Characteristics and

Risk Factors of Dengue Infection in Korean Travelers. Riview Article

Infectious Diseases, Microbiology & Parasitology

40. Hapsari, M.M., Herawati Y., A.D.B. Sachro, H. Farida, Setiati T.E. 2011.

Pemberian Transfusi Darah pada Pasien DBD. 1: 17-22.

41. Soedarmo, S.S.P., 2013. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. cet. 2.

Jakarta: / Penerbit Universitas Indonesia, pp. 26-45.

42. Hassan, R., Alatas, H. (Ed.), 2012. Dengue, in: Buku Kuliah IKA 2.

cet.11. Jakarta: Bag. IKA FKUI, pp. 607-16

43. Sutedjo, AY., 2007. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan

Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books, pp. 27-8, 125-6.

44. Guglani L, Kabra SK. T Cell Immunopathogenesis of Dengue Virus

Infection. 2012;29:58- 69.

45. Dacie, J.V., Lewis, S.M., 2017. Practical Haematology. 12th edition.

London: Churchill Livingstone, pp.37-41


52

46. Purwanto. Pemeriksaan Laboratorium Pada Penderita Demam Berdarah

Dengue. 2012; XII:14.

47. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik (Edisi 6).

Kapoh RP, editor. Jakarta: EGC, 2009; p. 232.

48. . Pusparini. Kadar Hematokrit dan Trombosit Sebagai Indikator Diagnosis

Infeksi Dengue Primer dan Sekunder. J Kedokter Trisakti. 2009;23(2):54-

5.

49. Machlus, K. and Italiano, J. The Incredible Journey: From Megakaryocyte

Development To Platelet Formation. The Journal of Experimental

Medicine.2017

50. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi

12. Jakarta : EGC

51. Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8.

Jakarta: EGC

52. Price, S.A., Wilson, L.M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC.

53. American Association of Clinical Chemistry. (2015, October 29). hs-CRP

: Test Sample. Retrieved from :

https://labtestsonline.org/understanding/analytes/hscrp/tab/sample/

54. Jangga dan Mawar. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kerjadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum

Daerah Kabupaten Pangkep. Jurnal Media Analis Kesehatan.

2018;9(2):167-172
53

55. Pujiati. 2009. Perbedaan Gangguan Hemostasis Pada Penderita DBD tanpa

syok dan SSD (Sindrome Syok Dengue). Sultan Agung. XLV(119):113-

20.

56. Rena N M, Utama S, Parwati T. Kelainan Hematologi pada Demam

Berdarah Dengue. Jurnal Penyakit Dalam. 2009;10:218-23

57. Gandasoebrata R, 2009. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat,

jakarta.

58. Martina, B.E., P. Koraka, and A.D. Osterhaus, Dengue virus pathogenesis:

an integrated view. Clin Microbiol Rev, 2009. 22(4): p. 564-81.

Anda mungkin juga menyukai