Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
D. melanogaster merupakan lalat buah yang telah digunakan sebagai
subjek penelitian genetika sejak awal abad 20 (Dubnau, 2014). Capy & Gibert
(2004) menyatakan bahwa D. melanogaster merupakan subjek penelitian yang
sangat ekstensif digunakan dalam bidang genetika. Karakteristik serangga ini
yang memiliki siklus hidup yang cepat, hanya memiliki sedikit kromosom, ukuran
genom yang kecil, dan memiliki kromosom raksasa di kelenjar ludahnya
menjadikan D. melanogaster dipilih peneliti genetika dalam penelitiannya
(Hartwell, dkk., 2011).
Drosophila melanogaster terdapat beberapa fase pertumbuhan dan
perkembangan mulai dari telur, larva, pupa dan imago. Pada fase fase tersebut
terdapat sifat yang terekspresi yang menentukan pertahanan hidup telur yang
dihasilkan hingga fase dewasa atau disebut fekunditas. Dalam beberapa kajian
fekunditas merupakan salah satu sifat yang terekspresi pada D. melanogaster, dan
merupakan penentu utama fitness individu betina (Huey dkk., 1995). Fekunditas
D. melanogaster ditunjukkan dari banyaknya telur yang dihasilkan individu betina
yang dapat bertahan hidup hingga fase dewasa (Lazzaro dkk., 2008).
Fekunditas adalah jumlah telur matang yang dikeluarkan oleh induk betina
atau jumlah telur yang dikeluarkan pada waktu pemijahan (Nikolsky 1969 dalam
Rose dkk 2001). fekunditas juga bisa diartikan sebagai kesuburan betina dalam
menghasilkan telur. Fekunditas adalah hasil reproduksi potensial fisiologis secara
maksimum dari makhluk hidup selama hidupnya. Oleh karena itu, fekunditas
bersifat genetik (Bradshaw & McMahon, 2008).
Sifat fekunditas pada Drosphila melanogaster akan terpengaruh adanya
regulasi ekspresi gen. Regulasi ekspresi dari suatu gen juga tidak hanya
ditentukan oleh peranan dari faktor biologis seperti aktivitas hormon, tetapi juga
ditentukan oleh peranan dari faktor lingkungan yang berasal dari luar tubuh
makhluk hidup (Klug dkk., 2012; Snustad & Simmons, 2012)
Waktu perkembangan Drosophila melanogaster memang sangat bervariasi
namun dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu (Markow.2005). Suhu

1
lingkungan disini dapat menggunakan suhu rendah, sedang dan tinggi. Suhu
sedang pada lingkungan berkisar pada 27-28o C. Dalam pendapat Chyb dan
Gompel (2012) menyatakan bahwa waktu perkembangan D. melanogaster dapat
bervariasi hingga beberapa hari karena pengaruh suhu lingkungan.
Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Ayrinhac dkk. (2004) yang
menunjukkan bahwa D. melanogaster yang hidup di berbagai rentang ketinggian
tempat dengan suhu berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam
memproduksi telur. Hasil yang serupa menunjukkan bahwa paparan suhu tinggi
secara terus-menerus pada D. melanogaster dapat menurunkan fekunditas, serta
pada individu jantan dapat berpengaruh pada penurunan kemampuan kawin dan
kemandulan (Demerec dan Kaufman, 1996; Pedersen dkk., 2011). Efek dari suhu
lingkungan tinggi ternyata dapat mempengaruhi perbedaan jumlah keturunan pada
level genetik melalui aktivitas gen-gen heat shock, khususnya yang berperan
dalam fungsi reproduksi (Chen dan Wagner, 2012)
Maka dari itu, peneliti menggunakan suhu lingkungan dan suhu
lingkungan tinggi dengan menggunakan persilangan strain N♂ x N♀ untuk
mengetahui pengaruh terhadap sifat fekunditas pada turunan Drosophila
melanogaster.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dibuat rumusan masalah
pada penelitian ini yaitu :
Bagaimana pengaruh suhu lingkungan dan suhu ekstrem terhadap sifat
fekunditas turunan Drosophila melanogaster strain normal?
1.3. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui pengaruh suhu lingkungan dan suhu ekstrem terhadap sifat
fekunditas turunan Drosophila melanogaster strain normal.
1.4. Manfaat penelitian
1. Bagi penulis
a. Dapat mengetahui pengaruh suhu lingkungan dan suhu ekstrem terhadap
sifat fekunditas turunan Drosophila melanogaster strain normal.
b. Dapat memberi pengetahuan tentang fekunditas Drosophila melanogaster.

2
2. Bagi pembaca
a. Memberikan informasi mengenai pengaruh suhu lingkungan dan suhu
ekstrem terhadap sifat fekunditas turunan Drosophila melanogaster strain
normal.
b. Memberikan informasi mengenai fenomena fekunditas Drosophila
melanogaster.
1.5. Ruang lingkup penelitian
a. Penelitian yang dilakukan dibatasi pada persilangan Drosophila
melanogaster strain N♂ x N♀.
b. Pengamatan pada keturunan fenotip F1, F2, F3 dan F4 dilakukan masing
masing hingga botol C.
c. Hal yang diamati berupa banyak telur pada F1 dan banyak imago pada F1
hingga F4.
1.6. Definisi Operasional
a. Genotip adalah seluruh jumlah informasi genetic yang terkandung pada
suatu makhluk hidup.
b. Fenotip adalah sifat yang dapat diamati pada suatu individu.
c. Suhu lingkungan merupakan suhu yang berkisar 25-30o C.
d. Suhu ekstrem merupakan suhu yang lebih dari 30o C.
e. Fekunditas merupakan jumlah telur matang yang dikeluarkan oleh induk
betina atau jumlah telur yang dikeluarkan
f. Viabilitas merupakan daya hidup individu yang ditunjukan dengan gejala
pertumbuhan atau gejala metabolisme.
g. Fitness adalah keadaan kebugaran betina.
1.7. Asumsi penelitian
a. Faktor eksternal seperti intensitas cahaya dan kelembapan udara dianggap
sama dan tidak mempengaruhi penelitian.
b. Medium yang digunakan dalam peremajaan Drosophila melanogaster
dianggap sama.
c. Usia Drosophila melanogaster strain N dianggap sama dan tidak
berpengaruh.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Drosophila melanogaster

Menurut Borror (1992), Drosophila melanogaster secara umum


memiliki sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster

Drosophila melanogaster banyak digunakan sebagai hewan uji


coba dalam melakukan penelitian mengenai genetika. Drosophila
melanogaster dipakai dalam bidang percobaan genetika karena memiliki
beberapa alasan. Menurut Henuhili (2012), ada beberapa keunggulan
penggunaan Drosophila melanogaster sebagai bahan praktikum genetika,
diantaranya yaitu mudah diperoleh, mudah dipelihara, biaya pemeliharaan
yang murah, dalam pemeliharaannya tidak diperlukan tempat yang luas
dan banyak, tidak membahayakan kesehatan, ukuran tubuh cukup besar,
siklus hidup pendek, mempunyai 4 pasang kromosom, memiliki
kromosom raksasa (giant kromosom), jenis mutannya banyak dan jumlah
keturunan banyak.
Siklus hidup Drossophila melanogaster melalui berbagai fase
kehidupan seperti yang lazim ditemukan pada hewan lainnya seperti fase
embrio, fase remaja (larva), dan fase dewasa melalui sebuah proses yang
disebut sebagai metamorphosis (Nainu, 2018). Fase-fase tersebut dialami
oleh Drosophila melanogaster dalam rentang waktu yang tidak terlalu
lama. Embrio lalat buah berkembang menjadi larva instar pertama (1 st
instar larvae) dalam sehari lalu kemudian berkembang menjadi larva instar

4
kedua (2 nd instar larvae) dan ketiga (3 rd instar larvae) berturut-turut
dalam waktu satu dan dua hari. Pada akhirnya, larva instar ketiga akan
berubah menjadi pupa dan setelah kurang lebih lima hari (pada suhu
inkubasi 25°C), lalat dewasa akan keluar dari cangkang pupa (pupal case)
untuk selanjutnya disebut sebagai lalat dewasa (Reaume dalam Nainu,
2018)
2.2 Deskripsi D. melanogaster Strain N

Gambar 2.1 : (a) Bagian dorsal D. melanogaster jantan (kiri) dan betina
(kanan); (b) Bagian ventral jantan (kiri) dan betina (kanan); (c) kaki depan
jantan memiliki sex comb, sedangkan betina tidak ada (Sumber : Perveen,
2018)

Sebagian besar Drosophila melanogaster berukuran kecil, sekitar


2-4mm. Warna tubuh Drosophila melanogaster biasanya kuning pucat
untuk strain normal dan adanya cincin hitam yang melintang diperut dengan
mata yang berwarna merah bata. Drosophila melanogaster betina memiliki
ciri bagian abdomen memiliki tujuh segmen dengan banyak garis melintang
berwarna gelap, ujungnya runcing, dan berwarna putih, sedangkan
Drosophila melanogaster jantan abdomennya memiliki lima segmen dengan
dua garis-garis gelap, ujungnya lebih melengkung, dan berwarna gelap.
Adanya sex comb pada Drosophila melanogaster jantan di depan segmen
besar terakhir dan adanya sekelompok clasper yang mengelilingi bagian-
bagian reproduksi digunakan untuk kopulasi (Perveen, 2018).

2.3 Fekunditas

Fekunditas adalah hasil reproduksi potensial fisiologis secara


maksimum dari makhluk hidup selama hidupnya. Oleh karena itu,
fekunditas bersifat genetik (Bradshaw & McMahon, 2008). Fekunditas

5
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu. Menurut Miniois &
Vaynberg (2002), paparan suhu panas mengurangi jumlah keturunan pada
fekunditas suhu, sedangkan paparan suhu normal tidak mengubah
fekunditas tetapi Hsp70 menjadi berlebih pada induk mengakibatkan
turunnya daya tetas telur. Hsp70 adalah protein utama yang disintesis
selama periode ini. Menurut Velazquez, dkk (1983), meskipun sintesis
Hsp70 hampir tidak terdeteksi dalam sel Drosophila pada suhu
pertumbuhan normal dari 25ºC, ekspresinya dengan cepat diinduksi minimal
1000 kali lipat dengan menaikkan suhu ke 37 ºC. Ungkapan Hsp70 yang
menonjol menunjukkan bahwa ia mungkin berperan besar dalam
thermotolerance, dan bukti eksperimental menegaskan anggapan ini.
Menurut, Solomon, dkk (1991) menemukan bahwa sel Drosophila dengan
salinan ekstra gen Hsp70 telah meningkatkan kelangsungan hidup setelah
sengatan panas. Drosophila dewasa dengan jumlah Hsp70 rendah lebih
cepat mati daripada Drosophila dewasa dengan komplemen penuh gen
Hsp70 . Selain gen Hsp70, ada Hsp104 yang berasal dari mutan S.
cerevisiae dibutuhkan untuk mentoleransi kejutan panas yang ekstrim, tetapi
sebagian kecil thermotolerance tetap dalam Hsp104 dan pada suhu 37 ºC.
Gen Hsp70 berhubungan dekat dengan Hsp68, cukup mungkin fungsi
Hsp70 sebagian disediakan oleh Hsp68, sebanyak ekspresi berlebih oleh
Hsp70 yang mengkode gen SSA1 yang sebagian dapat mengkompensasi
hilangnya Hsp104 pada ragi (Sanchez,dkk 1993).

6
Gambar 2.2 : Pola puffing representatif pada berbagai waktu setelah
sengatan panas (Gong, 2005).

2.4 Suhu

Fekunditas dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu.


Paparan suhu panas mengurangi jumlah keturunan pada fekunditas suhu,
sedangkan paparan suhu normal tidak mengubah fekunditas tetapi HSP70
menjadi berlebih pada induk mengakibatkan turunnya daya tetas telur
(Minionis & Vaynberg, 2002). Ketika suhu melebihi 33 oC, masing-masing
gen ditranskripsi menjadi RNA, kemudian proses dan diterjemahkan untuk
menghasilkan polipeptida HSP70 yang mengakibatkan turunnya daya
fekunditas pada D. melanogaster. Menurut Klepsatel, dkk. (2019), suhu
perkembangan menengah (25°C) memiliki kinerja reproduksi termal yang
sama atau lebih tinggi daripada lalat dari suhu perkembangan yang lebih
rendah (17°C) atau lebih tinggi (29°C). Semakin tinggi suhu, semakin

7
rendah pula tingkat viabilititas. Cohet dan David (1978) meneliti
fekunditas awal (sepuluh hari pertama setelah telur menetas) dan produksi
telur seumur hidup pada 25ºC di Drosophila yang dipelihara pada sepuluh
suhu berbeda mulai dari 12ºC hingga 32ºC. Mereka menemukan bahwa
baik fekunditas awal dan total dimaksimalkan jika betina telah
berkembang pada 21ºC dan 25ºC. Menurut David, dkk (2005),
Drosophila telah mereduksi kemampuan fertilistas pada suhu 29°C karena
sterilitas pria yang diinduksi oleh suhu tinggi. Menurut Chakir, dkk
(2002), menunjukkan bahwa perkembangan dalam lingkungan termal ini
menimbulkan stres yang mengarah pada konsekuensi fisiologis jangka
panjang yang mengurangi tingkat fitness.

2.5 Kerangka Konseptual

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah telur dan imago


pada individu D. melanogaster strain N yang disilangkan dengan strain N.
Untuk itu digunakan kerangka konseptual sebagai berikut :
Fekunditas adalah hasil reproduksi dewasa yang menetas dihasilkan oleh
D. melanogaster betina selama hidupnya.

Suhu ekstrem 32oC Suhu normal 27oC - 28oC


mengakibatkan penurunan mengakibatkan penurunan
jumlah keturunan daya tetas telur

Suhu berpengaruh terhadap fekunditas D. melanogaster betina

2.6 Hipotesis

Suhu berpengaruh terhadap jumlah telur dan imago D. melanogaster strain


N.

8
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian ini dilakukan dengan pengamatan jumlah keturunan


persilangan F1, F2,F3 dan F4 pada drosophila melanogaster strain N♂ x N♀.
setiap persilangan dilakukan 8 kali ulangan. Pengambilan data dilakukan
dengan pengambilan jumlah telur F1 dan anakan dari F1, F2,F3 dan F4.

Jenis penelitian berdasarkan metodenya yaitu deskriptif dan nantinya akan


dilakukan teknik analisis dengan perhitungan statistika anava tunggal (RAK)
dengan taraf signifikan 5 % untuk menentukan jumlah anakan masing masing
perlakuan.

3.2. Waktu dan tempat pelaksanaan

Waktu penelitian ini dilakukan mulai bulan September sampai bulan


Desember 2019. Tempat pelaksanaan penelitian ini di Laboratorium Genetika
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang.

3.3. Populasi dan sampel

Sampel yang digunakan adalah drosphila melanogaster strain N (normal).


Populasi dalam penelitian ini adalah drosophila melanogaster yang diperoleh
dari stok yang dibiakan di ruang 301 Labratorium Genetika, Jurusan Biologi
FMIPA UM.

3.4. Variable penelitian

a. Variable bebas : Perlakuan suhu lingkungan dan suhu ekstrem


b. Variable control : Medium
c. Variable terikat : jumlah telur dan jumlah imago

3.5. Instrumen penelitian

a. Alat dan bahan


• Mikroskop stereo, untuk mengamati lalat saat identifikasi
• Botol selai, sebagai wadah lalat

9
• Pengaduk untuk mengaduk medium ketika proses pembuatan
• Kuas, uncuk mengambil pupa lalt untuk diampul
• Kompor gas, sebagai sumber api
• Selang bening, untuk wadah ampulan lalat dan menyedot lalat
• Kertas pupasi, untuk tempat tinggal lalat buah (sarang)
• Spons, untuk menutup botol selai dan menutup selang ampulan
• Blender, untuk menghaluskan bahan medium, seperti tape
singkong dan pisang rajamala
• Panci, sebagai wadah dalam memasak medium
• Timbangan, untuk mengetahui berat bahan medium
• Plastik, untuk wadah lalat ketika akan dihitung anakannya
• Kertas label, untuk memberi label/tanda pada setiap benda
(misalnya di
• botol selai, selang ampulan, dll)
• Lap meja (serbet), untuk membersihkan alat-alat yang telah
dipakai
• Pisau, untuk memotong pisang dan gula merah (bahan medium)
• Kain kasa, sebagai penutup selang ampulan
• Lemari es, untuk menyimpan sisa medium dan membuat lalat
tidak
• bergerak untuk sementara agar lebih mudah dihitung anakannya
• Toples, sebagai wadah peyimpan sisa medium
• Gunting, untuk memotongi selang dan kertas label
• Baskom, untuk wadah bahan -bahan ketika ingin dimasak ataupun
sudah matang
• Alat tulis, untuk menulis agenda yang dilakukan di laboratorium
dan untuk menulis data yang telah didapatkan
b. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
• Drosophila melanogaster strain N (Normal)
• Pisang rajamala, sebagai bahan utama medium
• Tape singkong, sebagai bahan medium

10
• Gula merah, sebagai bahan medium
• Fermipan, sebagai bahan medium
• Air, untuk mengencerkan medium, mencuci alat dan bahan.
• Alkohol, untuk membunuh mikroorganisme yang ada di botol
selai dan spons agar meminimalisir tumbuhnya jamur dan w,
untuk disilangkan.
c. Prosedur kerja
• Identifikasi Strain
1. Mengambil satu lalat yang berada pada stok
2. Memasukannya ke dalam plastik bening
3. Menyiapkan mikroskop
4. Meletakan lalat didalam plastik dibawah mikroskop untuk diamati
5. Mengamati ciri drosophila bersayap panjang atau pendek
6. Mengamati ciri drosohila jantan atau betina
7. Mengamati warna mata drosophila

• Pembuatan medium cair


1. Menyiapkan pisang rajamala 700 gram, gula 100 gram, tape 200 gram
2. Menghaluskan pisang, dan tape di blender
3. Merebus gula dan mencampurkan pisang serta tape di wajan.
4. Menunggu hingga 45 menit
5. Memasukan ke dalam botol selai
6. Memberikan ragi atau fermipan 3 butir
7. Memasukan kertas pupasi
8. Menutup dengan busa yang telah dibentuk
• Pembuatan medium padat
1. Memastikan bahwa pisang rajamala telah matang dan tidak kering
2. Memotong pisang menjadi bulat
3. Memasukan ke dalam botol selai
4. Menutupnya dengan busa yang telah dibentuk
• Peremajaan
1. Menyiapkan medium cair 3-4 botol

11
2. Mencari 2-3 pasang jantan dan betina pada botol stok
3. Memasukan 2-3 pasang drosophila ke botol selai yang berisi medium
cair
4. Menunggu hingga menetas dan tumbuuh besar

• Fekunditas perlakuan suhu ruangan


1. Menyiapkan botol selai dengan medium padat
2. Memasukan satu pasang lalat kedalam botol selai medium padat A
3. Melepaskan lalat jantan ketika sudah terdapat telur
4. Memindahkan lalat betina ke botol selai B hingga bertelur
5. Memindahkan lalat betina dari botol B ke botol C
6. Menghitung telur pada masing masing botol (A,B, dan C)
7. Memindahkan telur ke medium cair dengan botol (A,B, dan C)
8. Menunggu hingga telur di medium cair dengan botol (A,B, dan C)
menetas dan menjadi dewasa
9. Menyilangkan lalat di masing masing botol menjadi F1 ( lalat botol A
disilangkan dengan lalat botol A) begitu pula dengan botol B dan C
10. Menyilangkan hingga keturunan F4
11. Menggunakan suhu lingkungan atau tidak di incubator dengan 8 kali
ulangan.
• Fekunditas perlakuan suhu incubator (32o C)
1. Menyiapkan botol selai dengan medium padat
2. Memasukan satu pasang lalat kedalam botol selai medium padat A
3. Memasukan ke dalam inkubator
4. Melepaskan lalat jantan ketika sudah terdapat telur
5. Memindahkan lalat betina ke botol selai B hingga bertelur
6. Memasukan ke inkubator
7. Memindahkan lalat betina dari botol B ke botol

3.6. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara pengamatan jumlah


telur dan imago F1-F4.

12
A. Tabel Perlakuan suhu lingkungan
TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F1 U1
F1 U2
F1 U3
Suhu
F1 U4
Lingkung
F1 U5
an
F1 U6
F1 U7
F1 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F2 U1
F2 U2
F2 U3
Suhu
F2 U4
Lingkung
F2 U5
an
F2 U6
F2 U7
F2 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F3 U1
F3 U2
Suhu
F3 U3
Lingkung
F3 U4
an
F3 U5
F3 U6

13
F3 U7
F3 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F4 U1
F4 U2
F4 U3
Suhu
F4 U4
Lingkung
F4 U5
an
F4 U6
F4 U7
F4 U8

B. Tabel perlakuan suhu tinggi (inkubator)


TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F1 U1
F1 U2
F1 U3
Suhu F1 U4
Inkubator F1 U5
F1 U6
F1 U7
F1 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F2 U1
Suhu
F2 U2
Inkubator
F2 U3

14
F2 U4
F2 U5
F2 U6
F2 U7
F2 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F3 U1
F3 U2
F3 U3
Suhu F3 U4
Inkubator F3 U5
F3 U6
F3 U7
F3 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F4 U1
F4 U2
F4 U3
Suhu F4 U4
Inkubator F4 U5
F4 U6
F4 U7
F4 U8

3.7. Teknik analisis data

Teknik analisis data ini menggunakan uji T.

15
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS DATA
4.1 Data
Tabel 4.1 Hasil pengamatan fenotip Droshophila melanogaster strain N
Gambar pengamatan Keterangan
Drosophila melanogaster strain N - Memiliki mata berwarna
merah
- Memiliki warna tubuh kuning
kecoklatan
- Memiliki sepasang sayap yang
menutupi seluruh tubuh

Perbesaran 4 x10
Sumber : Dokumen pribadi, 2019

Tabel 4.2 Data pengamatan


A. Tabel perlakuan suhu lingkungan
TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F1 U1 15 16 0 31 30 31 0 61
F1 U2 30 5 0 35 21 0 0 21
F1 U3
Suhu
F1 U4
Lingkung
F1 U5
an
F1 U6
F1 U7
F1 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F2 U1 25 10 0 35 19 11 0 30
Suhu
F2 U2 50 21 12 83 46 40 16 102
Lingkung
F2 U3
an
F2 U4

16
F2 U5
F2 U6
F2 U7
F2 U8

TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F3 U1 30 0 0 30 57 0 0 57
F3 U2 21 20 0 41 22 11 0 33
F3 U3
Suhu
F3 U4
Lingkung
F3 U5
an
F3 U6
F3 U7
F3 U8

B. Tabel perlakuan suhu tinggi (inkubator)


TELUR IMAGO
Perlakuan NXN ∑ ∑
A B C A B C
F1 U1 104 52 137 293 26 4 10 40
F1 U2 81 41 110 232 27 8 10 45
F1 U3
Suhu F1 U4
Inkubator F1 U5
F1 U6
F1 U7
F1 U8

17
4.2 Analisis Data
Apabila data dari kedua perlakuan dengan masing-masing 8 ulangan telah
diperoleh secara lengkap maka dilakukan analisis statistik menggunakan UJI T.
Akan tetapi data yang diperoleh oleh kelompok kami hanya beberapa saja
sehingga untuk analisis menggunakan analisis deskriptif yaitu penghitungan
frekuensi Fekunditas dalam bentuk persen menggunakan rumus % frekuensi

Σ individu yang menetas


Fekunditas= X 100%. Berikut ini merupakan
Σ telur

perhitungan frekuensi pada persilangan N♂ >< N♀ dengan variasi perlakuan suhu


lingkungan dan suhu inkubator.

1. Frekuensi perlakuan suhu lingkungan Ulangan 1 F1


Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
61
: 31 X 100%

: 196,7 %
2. Frekuensi perlakuan suhu lingkungan ulangan 2 F1

Σ individu yang menetas


% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur

21
: 35 X 100%

: 60 %
3. Frekuensi perlakuan suhu lingkungan ulangan 1 F2
Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
30
: 35 X 100%

: 85,7 %
4. Frekuensi perlakuan suhu lingkungan ulangan 2 F2
Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
102
: X 100%
83

: 122,8 %

18
5. Frekuensi perlakuan suhu lingkungan ulangan 1 F3
Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
57
: 30 X 100%

: 190 %
6. Frekuensi perlakuan suhu lingkungan ulangan 2 F3
Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
33
: 41 X 100%

: 80,4 %
7. Frekuensi perlakuan suhu inkubator ulangan 1 F1
Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
40
: X 100%
293

: 13,6 %
8. Frekuensi perlakuan suhu Inkubator ulangan 2 F1
Σ individu yang menetas
% frekuensi fekunditas : X 100%
Σ telur
45
: 232 X 100%

: 19,3 %

GRAFIK HUBUNGAN FREKUENSI


FEKUNDITAS DENGAN PERLAKUAN SUHU
INKUBATOR DAN SUHU LINGKUNGAN
lingkungan inkubator
196,7

60

19,3
13,6

ULANGAN 1 ULANGAN 2

4.3.Grafik hubungan frekuensi fekunditas dengan perlakuan suhu


inkubator dan suhu lingkungan pada F1.

19
Berdasarkan hasil data pengamatan yang dilakukan pada persilangan D.
melanogaster strain N♂ >< N♀, diketahui jumlah telur dan anakan pada F1
hingga F3 yang muncul bervariasi. Analisis yang digunakan menggunakan
analisis deskriptif dengan perhitungan frekuensi. Jika dilihat dari perbandingan
grafik frekuensi fekunditas dengan perlakuan suhu inkubator dan suhu
lingkungan pada F1 sangat berbeda. Dari frekuensi fekunditas lingkungan sebesar
196,7 % dengan frekuensi fekunditas suhu inkubator sebesar 13,6 %. Dan pada
Ulangan 2 juga menunjukan hal yang sama yaitu Frekuensi fekunditas lingkungan
sebesar 60 % dibanding dengan frekuensi suhu inkubator sebesar 19,3 %.

20
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Macam suhu (lingkungan dan inkubator) berpengaruh terhadap sifat
Fekunditas turunan drosophila melanogaster strain ♂N × ♀N.
Pada analisis data menunjukan pengaruh suhu terhadap sifat
fekunditas dilihat dari perbandingan grafik frekuensi fekunditas dengan
perlakuan suhu inkubator dan suhu lingkungan pada F1 sangat berbeda. Dari
frekuensi fekunditas lingkungan sebesar 196,7 % dengan frekuensi
fekunditas suhu inkubator sebesar 13,6 %. Dan pada Ulangan 2 juga
menunjukan hal yang sama yaitu Frekuensi fekunditas lingkungan sebesar
60 % dibanding dengan frekuensi suhu inkubator sebesar 19,3 %.
Fekunditas merupakan hasil reproduksi maksimal yang dapat dilihat
dari hasil telur dan anakan yang ada. Sifat fekunditas pada Drosphila
melanogaster akan terpengaruh adanya regulasi ekspresi gen. Regulasi
ekspresi dari suatu gen juga tidak hanya ditentukan oleh peranan dari faktor
biologis seperti aktivitas hormon, tetapi juga ditentukan oleh peranan dari
faktor lingkungan yang berasal dari luar tubuh makhluk hidup (Klug dkk.,
2012; Snustad & Simmons, 2012).
Suhu dapat dikatakan berpengaruh terhadap fekunditas
dikarenakan suhu berpengaruh terhadap pematangan telur. Paparan suhu
panas mengurangi jumlah keturunan pada fekunditas suhu, sedangkan
paparan suhu normal tidak mengubah fekunditas tetapi HSP70 menjadi
berlebih pada induk mengakibatkan turunnya daya tetas telur (Minionis &
Vaynberg, 2002). Ketika suhu melebihi 32oC, masing-masing gen
ditranskripsi menjadi RNA, kemudian proses dan diterjemahkan untuk
menghasilkan polipeptida HSP70 yang mengakibatkan turunnya daya
fekunditas pada D. melanogaster.
Suhu juga berpengaruh terhadap fase perkembangan drosophila
pada fase larva. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa larva Drosophila
dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari paparan suhu tinggi (41 ° C)
untuk periode waktu yang singkat (30 menit hingga 1 jam) melalui
perubahan ekspresi protein peredam panas (Welte et al., 1993; Feder, 1996 ).

21
Namun, perlakuan ini kurang ekstrim dibandingkan profil suhu substrat
larva di lapangan (Feder, 1997; Gibbs et al., 2003). Selain itu, bahkan ketika
suhu tidak mengancam jiwa, mereka dapat sangat menentukan kebugaran
individu melalui efek pada waktu perkembangan dan ukuran dewasa yang
dihasilkan (David dan Clavel, 1967, 1969; Cossins dan Bowler, 1987;
Chown dan Nicolson, 2004).
Suhu juga berpengaruh terhadap fekunditas dikarenakan
mempengaruhi kemampuan kawin. Menurut David, dkk (2005), Drosophila
telah mereduksi kemampuan fertilistas pada suhu 29°C karena sterilitas pria
yang diinduksi oleh suhu tinggi. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
adanya kemampuan kawin individu drosophila.
Suhu berpengaruh terhadap regulasi gen drosophila melanogaster
yaitu gen Hsp 70. Hsp70 menunjukkan bahwa ia mungkin berperan besar
dalam thermotolerance, dan bukti eksperimental menegaskan anggapan ini.
Menurut, Solomon, dkk (1991) menemukan bahwa sel Drosophila dengan
salinan ekstra gen Hsp70 telah meningkatkan kelangsungan hidup setelah
sengatan panas.
Suhu berpengaruh terhadap viabilitas lalat Menurut Klepsatel, dkk.
(2019), suhu perkembangan menengah (25°C) memiliki kinerja reproduksi
termal yang sama atau lebih tinggi daripada lalat dari suhu perkembangan
yang lebih rendah (17°C) atau lebih tinggi (29°C). Semakin tinggi suhu,
semakin rendah pula tingkat viabilititas. Apabila tingkat viabilitasnya rendah
maka akan mempengaruhi kemampuan kawin, penetasan telur dan regulasi
ekspresi gen dan akan secara langsung berpengaruh terhadap fekunditas.
5.2. Macam suhu (lingkungan dan inkubator) tidak berpengaruh terhadap
sifat Fekunditas turunan drosophila melanogaster strain ♂N × ♀N.
Suhu tidak berpengaruh terhadap fekunditas drosophila
melanogaster dikarenakan drosopila melanogaster memiliki macam gen
HSP. Selain gen Hsp70, ada Hsp104 yang berasal dari mutan S. cerevisiae
dibutuhkan untuk mentoleransi kejutan panas yang ekstrim, tetapi sebagian
kecil thermotolerance tetap dalam Hsp104 dan pada suhu 37 ºC. Gen Hsp70
berhubungan dekat dengan Hsp68, cukup mungkin fungsi Hsp70 sebagian

22
disediakan oleh Hsp68, sebanyak ekspresi berlebih oleh Hsp70 yang
mengkode gen SSA1 yang sebagian dapat mengkompensasi hilangnya
Hsp104 pada ragi (Sanchez,dkk 1993).

Pada saat penelitian suhu tidak berpengaruh terhadap fekunditas juga


disebabkan oleh suhu pada inkubator yang tidak seimbang. Sehingga
perubahan sistem pada drosophila juga tidak seimbang.

23
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Suhu berpengaruh terhadap frekuensi fekunditas persilangan Drosophila
melanogaster strain N♂ x N♀ dikarenakan suhu dapat mempengaruhi
pematangan telur, kemampuan kawin, regulasi gen Hsp70 dan viabilitas
lalat. Yang mana faktor faktor tersebut berpengaruh terhadap fekunditas
Drosophila melanogaster.
2. Suhu tidak berpengaruh terhadap frekuensi fekunditas persilangan
Drosophila melanogaster strain N♂ x N♀ dikarenakan gen Hsp 70
dipengaruhi oleh adanya gen Hsp 104 dan gen Hsp 68.

VI.2. Saran
Dalam penelitian selanjutnya diharapkan untuk menjaga
keseterilan tempat dan selalu mengecek perkembangan objek yang
diteliti sehingga tidak ada aspek yang tertinggal dalam penelitian.

24
DAFTAR PUSTAKA
Feder M. Effect of engineering Hsp70 copy number on Hsp70 expression and
tolerance of ecologically relevant heat shock in larvae and pupae of
Drosophila melanogaster. 1996 [PubMed] [Google Scholar]
Gong, W. J. 2005. Loss of Hsp70 in Drosophila Is Pleiotropic, With Effects on
Thermotolerance, Recovery From Heat Shock and Neurodegeneration.
Genetics, 172(1), 275–286. doi:10.1534/genetics.105.048793
Henuhili, V. 2012. Petunjuk Praktikum Genetika. Yogyakarta: UNY
Huey, R. B., Wakefield, T., Crill, W. D., dan Gilchrist, G. W. 1995. Within-and
Between-Generation Effects of Temperature on Early Fecundity of
Drosophila melanogaster. Heredity, 74 (1995): 216-223.
Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning: Experience as The Source of Learning
and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Lazzaro, B. P., Flores, H. A., Lorigan, J. G., dan Yourth, C. P. 2008. Genotype-
by-Environment Interactions and Adaptation to Local Temperature
Affect Immunity and Fecundity in Drosophila melanogaster. PLoS
Pathog 4(3): e1000025. doi:10.1371/journal.ppat.1000025.
Markow TA, O'Grady PM. Drosophila: a guide to species identification and use.
Elsevier Publisher, London, United Kingdom (UK). 2005;34‐49.
Minois, N. & Vaynberg, S. 2002. Fecundity and life span in transgenic
Drosophila melanogaster overexpressing Hsp70. Biogerontology, Vol.3:
301-306.
Nainu, F. 2018. Review : Penggunaan Drosophila melanogaster Sebagai
Organisme Model Dalam Penemuan Obat. Jurnal Farmasi Galenika
(Galenika Journal of Pharmacy),4(1): 50 – 67 (Online,
https://pdfs.semanticscholar.org/8053/da2a18e8375e6fa961803c99dc8bc7
d68613.pdf)
Perveen, F. K. 2018. Introduction to Drosophila, Drosophila melanogaster –
Model for Recent Advances in Genetics and Therapeutics. IntechOpen,
DOI: 10.5572/67731. Available from:

25
https://www.intechopen.com/books/drosophila-melanogaster-model-for-
recent-advances-genetics-and-therapeutics/introduction-to-drosophila,
diakses 3 Oktober 2019.
Ramadani, S.D., Corebima, A.D., & Zubaidah, S. 2016. Pemanfaatan Drosophila
melanogaster sebagai Organisme Model untuk Mempelajari Pengaruh
Faktor Lingkungan terhadap Ekspresi Sifat Makhluk Hidup pada
Perkuliahan Genetika. Jurnal Pendidikan, Vol. 1 (5).
Sanchez, Y., D. A. Parsell, J. Taulien, J. L. Vogel, E. A. Craig et al.,
1993 Genetic evidence for a functional realationship between
Hsp104 and Hsp70. J. Bacteriol. 175: 6484–6491.
Solomon, J. M., J. M. Rossi, K. Golic, T. McGarry and S. Lindquist. 1991.
Changes in Hsp70 alter thermotolerance and heat-shock regulation in
Drosophila. New Biol. 3: 1106–1120.
Velazquez, J. M., S. Sonoda, G. Bugaisky and S. Lindquist. 1983. Is the major
Drosophila heat shock protein present in cells that have not been heat
shocked? J. Cell Biol. 96: 286–290.
Welte M, Tetrault J, Dellavalle R, Lindquist S. A new method for manipulating
transgenes: engineering heat tolerance in a complex, multicellular
organism. Curr Biol. 1993;3(12):842–853. [PubMed] [Google Scholar]

26

Anda mungkin juga menyukai