Anda di halaman 1dari 43

Mata Uang dari Zaman Kerajaan Nusantara Hingga Zaman Pemerintahan Indonesia

Mata Uang dari Zaman Kerajaan Nusantara Hingga Zaman Pemerintahan Republik
Indonesia

I. Mata uang zaman kerajaan di Nusantara

Uang Syailendra (850 M)

Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa
kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam
dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal
:

* Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
* Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
* Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak

Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga
(0,119 gram). Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan
satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf
Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua
bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini
dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak
huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya
terdapatsyailendra.JPG incuse dengan pola “Bunga Cendana”

Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)

Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar,
walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula
berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain
berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.

Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang
beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total
fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.

Uang “Ma”, (Majapahit, Abad ke-12)


Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit,
kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari m?sa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang
kala dalam huruf Jawa Kuno. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan
satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari.
Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼
lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa
adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap
yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-
uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga
(teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman
Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-
potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.
Pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java.
Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-
koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal,
namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk
persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut
sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528),
Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.

Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)

Mata uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai


untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata
uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar
Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30
gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan
yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan
gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.

Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)


Katun
Buton, Sulawesi Tenggara
Abad XIX Masehi
P 140 mm, L 170 mm
No. inv. 13002

Jenis uang ini terbuat dari sehelai tenunan berbentuk persegi panjang. Tenunan ini dibuat oleh
putri-putri istana dengan jumlah dan corak yang ditentukan di bawah pengawasan Menteri Besar.
Setiap tahun coraknya dibuat berbeda untuk menghindari pemalsuan. Pemalsu uang “Kampua”
dapat dituntut hukuman mati.

Uang yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-
satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertamakali
diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha
sekitar abad XIV. Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan
atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan engambil tempat
dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang
memberikan suatu upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas
kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton,bahkan
sampai dengan tahun 1940.
Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)

Mata-uang dari Kesultanan banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin
Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya
6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam
bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi
diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang
lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti
yang ditemukan pada akhir-akhir ini.

Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)

Di daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan berdiri kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa pernah
mengedarkan mata uang dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama
Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah dalam tahun 1653-1669. Di samping itu beredar
juga uang dan bahan campuran timah dan tembaga, disebut kupa.
Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)

Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya
dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang
segi empat atau bundar di tengahnya, disebut picis, dibuat sekitar abad ke-17. Sekeliling lubang
ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin berbunyi CHERIBON.

Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)

Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang
kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Uang
kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga real batu karena bentuknya yang
tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian beredar juga
di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang mi bernilai 8 Reales. Selain uang real
Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.

Uang PITIH TEBOH, Palemban (1219 H/ 1804 masehi)


Uang ini berbentuk segi delapan dengan lubang bundar di bagian tengah, terbuat dari timah
dengan berat 1,44 gr. Uang ini berasal dari Palembang, Sumatra Selatan.. Salah satu sisinya
tertera tulisan Arab, dibaca “Haza fulus fi Balad Palembang-1219”. Dari angka tahun Hijriyah
yang tertera 1219 (=1804 Masehi), uang ini beredar pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin. No. Inv. 12991

II. Masa Penjajahan

Masa Kolonial (abad ke-16 – 20)

Masa kolonial yaitu masa ketika banyak bangsa asing, terutama bangsa-bangsa Eropa,
menjelajah ke berbagai penjuru dunia (Asia, Afrika, Amerika dan Australia) untuk dijadikan
koloni atau tanah jajahan mereka. Bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia adalah
Belanda, Inggris, Portugis dan Jepang. Masa ini berlangsung dari abad ke-16 sampal abad ke-20,
dan dapat dirinci menjadi:

a. Masa Kolonial Belanda;


– Kompeni Belanda (VOC) tahun 1602 – 1799
– Republik Batavia tahun 1799 – 1806
– Louis Napoleon (Belanda di bawah kekuasaan Perancis) tahun 1806 – 1811
– Kerajaan Belanda tahun 1816 – 1942
– Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) tahun 1945 – 1949

b. Masa Kolonial Inggris


– Kompeni Inggris (EIC) di Jawa tahun 1811 – 1816

c. Masa Pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945

d. Masa Kolonial Portugis (di Timor Timur) abad ke-16 – 1975


Bangsa-bangsa tersebut, kecuali Jepang, pada mulanya datang ke Indonesia bermaksud untuk
berdagang. Tetapi lama-lama mereka menguasai tanah dan menjajah daerah-daerah di Indonesia.

Pada awal abad ke-16, pedagang-pedagang Portugis memperkenalkan serta mengedarkan uang
yang disebut mat atau pasmat dan real yang dibuat dari perak. Bangsa ini pernah menguasai
separo daratan di Pulau Timor; tahun 1975 – 1999 pernah menjadi bagian dari wilayah Republik
Indonesia sebagai propinsi Timor Timur (propinsi ke-27). Sejak tahun 2000, Timor Timur
memerdekakan diri di bawah pengawasan PBB, dan merdeka penuh tahun 2004 dengan nama
Republik Demokratik Timor Leste. Selama Timor Timur menjadi koloni Portugal, pemerintah
kolonial pernah memberlakukan mata uang dengan satuan centavos dan escudos.

Kemudian pada akhir abad ke-16 armada kapal dagang Belanda mendarat di Pulau Jawa. Pada
tahun 1602 mereka mendirikan persekutuan dagang di Hindia-Timur, dikenal dengan nama VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Kompeni Belanda. Tujuan mereka di Indonesia
adalah merebut Sunda Kelapa untuk dijadikan pusat kegiatan kompeni. Sunda Kelapa kemudian
diganti namanya menjadi Batavia. Dari sini Kompeni Belanda mulai menjalankan siasatnya yaitu
mengusir orang-orang Portugis dan merebut beberapa daerah pelabuhan penting bagi sektor
perdagangan. Pada masa Kompeni Belanda banyak beredar mata uang dengan berbagai satuan
nilai seperti schelling, dukat, dukatoon, doit, stuiver, rijksdaalder, gulden, dan sebagainya. Mata
uang tersebut dicetak di propinsi-propinsi di negeri Belanda dan Indonesia, terutama di Batavia.

Ketika Kompeni Belanda mengalami kesulitan memperoleh bahan baku logam untuk membuat
mata uang, dicari alternatif lain untuk mencetak uang kertas yang menyerupai kertas berharga
(sertifikat). Menjelang runtuhnya VOC (1799) dibuat semacam uang darurat dari potongan-
potongan batangan tembaga berbentuk persegi empat yang dicetak di Batavia, disebut uang
bonk.
Setelah VOC bubar Indonesia di bawah kendali pemerintahan Republik Batavia (1799 — 1806),
mengikuti situasi di negeri Belanda, karena pada waktu itu pengaruh Revolusi Perancis (1789)
sampai ke negara-negara Eropa, termasuk Belanda. Revolusi Perancis mengubah sistem monarki
(kerajaan/kekaisaran) menjadi republik. Mata uang keluaran masa ini dicirikan dengan tulisan
“INDIÆ BATAVORUM’, dengan satuan nilai gulden dan stuiver.

Kemudian, tahun 1806 — 1811 di Indonesia beredar uang logam yang dibubuhi tulisan inisial
LN, demikian juga pada kertas-kertas berharga diberi cap bertulisan LN, singkatan dari ‘Louis
Napoleon’. Louis Napoleon adalah adik kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, yang amat
terkenal dalam sejarah Perancis. Ia diangkat oleh kaisar menjadi raja di Belanda. Oleh karena itu
tidak mengherankan kalau mata uang keluaran masa ini menampilkan wajah Louis Napoleon,
baik yang berlaku di Belanda maupun Indonesia. Satuan nilainya adalah gulden, rijksdaalder,
doit dan stuiver.

Pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia, khususnya di Jawa (1811-1816), beredar berbagai
macam mata uang yang dibuat dari emas, perak, tembaga dan timah. Salah satu yang dikenal
adalah ‘Rupee Jawa’ yang pada kedua sisinya tertera tulisan huruf Jawa dan Arab.

Jauh sebelum ini, mata uang Kompeni Inggris dengan monogram UEIC (United East India
Company) telah beredar di daerah-daerah di Sumatra, contohnya Bengkulu, sejak tahun 1783
dengan satuan nilai suku dan keping.

Masa pemerintahan Inggris di Jawa tidak berlangsung lama. Pada tahun 1816 pemerintah-an
diserahkan kembali kepada kerajaan Belanda, dengan demikian Indonesia kembali menjadi
jajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indië).
Pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda menghadapi berbagai perlawanan dari penguasa-
penguasa lokal di Indonesia sehingga terjadilah perang, di antaranya adalah Perang Diponegoro
(1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Paderi (1821- 1837) di Sumatra Barat, dan Perang Aceh
(1873-1903). Perang tersebut menelan biaya yang sangat besar, yang mengakibatkan kas
keuangan negeri Belanda menjadi kosong.

Pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengisi kas dengan berbagai cara, antara lain menjual
beberapa lahan tanah kepada perusahaan partikelir (swasta) yang membuka usaha perkebunan.
Pemilik perkebunan selain orang Belanda sendiri juga orang-orang asing seperti Cina, Arab,
Jerman, Inggris, Perancis dan Jepang. Mereka membuka usaha perkebunan teh, kopi, tembakau,
tebu, dan karet, tersebar di berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Untuk
membayar gajih buruh yang bekerja di perkebunannya, mereka menciptakan uang yang disebut
‘token perkebunan’, semacam alat tukar yang hanya beredar dan berlaku di tempat tertentu,
seperti token untuk perkebunan teh, token untuk perkebunan tembakau, dan sebagainya. Token
perkebunan yang pernah beredar di Indonesia bentuknya sangat unik, ada yang berbentuk
segitiga, segilima, segienam, bahkan berbentuk seperti mata. Bahannya selain logam dan kerfas,
juga dari bambu.

Pada masa itu satuan mata uang yang beredar adalah gulden dan cent, dengan nilai-nilainya yang
dikenal dengan istilah ringgit (2½ Gulden/Rupiah), suku (50 Sen), tali (25 Sen), ketip atau picis
(10 Sen), kelip (5 Sen), dan benggol atau gobang (2½ Sen). Selain uang logam dicetak pula uang
kertas keluaran De Javasche Bank; inilah bank pertama yang berdiri di Indonesia pada abad ke-
19, sekarang menjadi Bank Indonesia.

Koin yang dipakai adalah:

Nilai Dari Sampai


1/2 sen 1856 1945
1 sen 1855 1945
2 1/2 sen 1856 1945
5 sen atau 1/20 gulden 1854 1922
1/10 gulden 1854 1945
1/4 gulden 1826 1945
1/2 gulden 1826 1834
1 gulden 1821 1840

Berikut nilai di bawah satuan rupiah:


– Sen, seperseratus rupiah (ada koin pecahan satu dan lima sen)
– Cepeng, hepeng, seperempat sen, dari feng, dipakai di kalangan Tionghoa
– Peser, setengah sen
– Pincang, satu setengah sen
– Gobang atau benggol, dua setengah sen
– Ketip/kelip/stuiver (Bld.), lima sen (ada koin pecahannya)
– Picis, sepuluh sen (ada koin pecahannya)
– Tali, seperempat rupiah (25 sen, ada koin pecahan 25 dan 50 sen)
– Terdapat pula satuan uang, yang nilainya adalah sepertiga tali. Sebelum adanya uang kertas,
seluruh dunia menggunakan uang koin atau uang logam sebagai alat transaksi. Termasuk juga
Indonesia. Setelah uang kertas mulai digunakan, uang logam tak begitu saja ditinggalkan,
melainkan masih digunakan hingga kini, hanya saja telah mengalami perubahan desain.

Seperti yang sudah diketahui bersama, mata uang yang kita gunakan adalah Rupiah. Namun
sebelum adanya Rupiah, kita menggunakan mata uang yang berbeda. Hal ini dikarenakan kita
masih menggunakan mata uang dari Belanda, atau VOC. Dulu uang logam atau uang koin dari
VOC dikenal dengan nama “Duit”. Untuk uang logamnya sendiri ada 2, yaitu 1/2 duit dan 1 duit.

Baru setelah itu, ada mata uang lain yang kita gunakan, yaitu keping, yang dipakai pada tahun
1804, terutama di wilayah Sumatera.

Selain Duit dan Keping, kita juga pernah menggunakan uang sen, seperti uang logam 1/2 sen, 1
sen, 5 sen, bahkan 50 sen. Baru setelah itu kita menggunakan uang rupiah. Uang 50 sen sendiri
sudah bergambarkan Burung Garuda yang merupakan lambang Indonesia.

Uang rupiah berupa uang logam yang pertama digunakan adalah uang logam 2 rupiah, yang
diproduksi pada tahun 1970. Kemudian pada tahun 1974 diproduksi pula uang logam 10 rupiah.

Beralih ke tahun 1978, mulai muncul uang logam 100 rupiah yang sudah kita kenal,
bergambarkan wayang dan rumah gadang. Lalu pada tahun 1979, Indonesia juga mengeluarkan
uang logam 5 rupiah, yang bergambarkan Keluarga Berencana.

Untuk uang logam berikutnya, sepertinya kamu sudah tahu uang logam pecahan berapa saja yang
pernah digunakan di Indonesia. Selain pecahannya, mungkin kamu juga sudah hafal gambar apa
saja yang ada di masing-masing uang logam itu.

Jika kamu sedikit lupa atau malah belum tahu, kamu bisa lihat foto-foto di bawah ini, yang
memperlihatkan uang logam yang pernah digunakan di Indonesia dari dulu hingga kini. (tom)
Uang kertas yang beredar adalah ½, 1, 2½, 5, 10, 25, 50 dan 100 gulden.
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),Nusantara sudah memiliki mata uang
sendiri. Di masaRepublik Batavia dan Kerajaan Holland, Nusantara menggunakan 1 gulden = 20
stuiver yang masing-masing senilai 4 duiten. Akibat inflasi, nominasi jatuh menjadi 1 gulden =
30 stuiver = 120 duiten. Pada tahun , diputuskan bahwa satuan duiten tak lagi digunakan dan
sebagai gantinya adalah 1 gulden = 120 sen. Lalu pada tahun , nilai 1 gulden = 100 sen.

SumateradanJawamemiliki mata uang sendiri: dolar Sumatera(hingga tahun1824) dan rupiah


Jawa(hingga tahun 1816). Namun, selama bertahun-tahun terjadi kekurangan uang karena
tiadanya uang yang segera tersedia. Di Hindia-Belanda juga banyak uang logam Belanda yang
beredar. Jumlah ini meningkat setelah pada tahun 1854 diketahui bahwa mata uang Belanda juga
banyak di Hindia. Dari tahun itu pulalah dimulai pengendalian terhadap gulden Hindia yang
lebih banyak.

Gulden yang menggambarkan Ratu Wilhelminadengan rambut tergerai ditarik dari peredaran
karena tak pantas bagi seorang puteri digambarkan seperti itu. Semasa, gulden masih dicetak
dalam bahasa Belanda. Tertulis pada uang tersebut De Japansche regering (berarti: “pemerintah
Jepang”). Pada tahun 1944, rupiah Hindia-Belanda (dibagi-bagi dalam 100 sen) diperkenalkan,
namun setelah perang diganti.

Pada pertengahan abad ke-20 terjadi Perang Dunia II dan Jepang muncul sebagai kekuatan baru
di Asia. Bala tentara Jepang menduduki wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Pada tahun
1942 Jepang berhasil menduduki Indonesia, dalam waktu singkat pemerintah Hindia-Belanda
dibuat bertekuk lutut di bawah tentara pendudukan Jepang. Pada masa itu uang kertas yang
beredar pertama kali tertera tulisan dalam bahasa Belanda dengan satuan gulden, oleh karena itu
disebut “Gulden Jepang”. Ketika pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan bahasa
Belanda maka dibuatlah uang kertas dengan tulisan bahasa Indonesia dan Jepang (huruf Kanji)
dengan satuan rupiah. OIeh karena itu uang ini disebut “Rupiah Jepang”.

Semua uang kertas keluaran pemerintah pendudukan Jepang ini tidak ada nomor seri dan tanda
tangan Menteri Keuangan, Gubernur Bank atau Direktur Bank, jadi tidak seperti lajimnya uang
kertas sekarang. Namun demikian uang pendudukan Jepang ini berlaku terus sampal beberapa
saat setelah Jepang menyerah kalah (tahun 1945).

III. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat
peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah RI belum memiliki
mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1
Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche
Bank. . Mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche bank Diantara ketiga mata uang
tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya
mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber hiperinflasi.
Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak
menyimpan mata uang Jepang.

Mata uang Jepang (Dai Nippon Teikoku Seihu) Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi
diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir
Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di
seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes
keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh
mengeluarkan mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik.

Namun protes keras ini diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk
membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian
nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah RI
dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional. Karena protesnya tidak ditanggapi, maka
pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan
mata uang NICA sebagai alat tukar.
Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah
RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional. Mata Uang NICA Oleh karena AFNEI
tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah
RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah
di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata
uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata
uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang
mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui
oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini
mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari pada
pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.

Setelah perjanjian damai yang dinegosiasikan di Den Haag tahun 1949, ‘ORI’ (embel embel
‘sen’) ditarik dari peredaran untuk digantikan dengan uang yang diakui secara internasional yaitu
‘ rupiah Indonesia ‘.

Sejak 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka, Indonesia menetapkan Rupiah sebagai
mata uang kebangsaannya yang baru. Namun, mata uang itu belum dipakai secara utuh di
seluruh nusantara.

Kepulauan Riau dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka sendiri, tetapi penggunaan
variasi rupiah dibubarkan pada tahun 1964 di Riau dan 1974 di Irian Barat.

Oeang Republik Indonesia

Seri 1, ‘1945 ‘
Uang ORI pertama kali dicetak pada tahun 1946 dan mulai diberlakukan pertama kali di Jawa
pada 10 Oktober 1946 dengan pecahan 1, 5 dan 10 sen, ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah.

1 sen, Tahun 1945


5 Sen, Tahun 1945

1 Rupiah, Tahun 1945

100 Rupiah, Tahun 1945

Seri 2, ‘1 Januari 1947 ‘


Seri kedua dari ORI diterbitkan dari ‘Yogyakarta’, karena saat itu ibu kota negara Indonesia
berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Uang seri ke-2 ini dicetak dengan emisi 1 Januari 1947
dengan pecahan 5, 10, 25, dan 100 rupiah.

25 Rupiah, Tahun 1947


100 Rupiah, Tahun 1947

Seri 3, ’26 Juli 1947 ‘


Untuk edisi baru berikutnya adalah dengan emisi 26 Juli 1947 yang terdiri dari pecahan ½, 2 ½,
25, 50, 100, dan 250 rupiah.

1/2 Rupiah, Tahun 1947

100 Rupiah, Tahun 1947

Seri 4, ’23 Agustus 1948 ‘


Uang kertas baru dikeluarkan oleh pemerintah nasional pada tahun 1948, dalam pecahan yang
aneh seperti 40, 75 100, dan 400 rupiah, ditambah sebuah uang 600 rupiah.

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda merebut Yogyakarta kembali sehingga kantor pusat
bank sentral Republik Bank Negara Indonesia kembali menjadi ke De Javasche Bank dan kantor
DJB juga dibuka kembali di Surakarta dan Kediri .
Direncanakan pada tahun 1949 untuk merevaluasi nilai tukar rupiah (yang saat itu banyak
beredar di Jawa). Untuk itu, ” Rupiah Baru ” dicetak dan tidak diterbitkan di Jawa, tetapi di
daerah di luar Jawa seperti beberapa dikeluarkan di Sumatera, Irian dan lainnya. Pecahan yang
dicetak adalah 10 sen (biru atau merah), ½ (hijau atau merah), 1 (ungu atau hijau), 10 (hitam atau
coklat), 25, dan 100 rupiah.

75 Rupiah, 1948

600 Rupiah, Tahun 1948

Perundingan damai dengan Belanda dinegosiasikan di Den Haag pada bulan November 1949,
menghasilkan kesepakatan salah satunya bahwa De Javasche Bank menjadi bank sentral atau
bank utama di Indonesia , dan cetakan pertama rupiah yang dikeluarkan pasca kemerdekaan
setidaknya harus sama seperti mata uang keluaran sebelumnya. Maka diputuskan bahwa De
Javasche sebagai Bank tanggal hanya akan merevisi uang dibagian warna, seperti uang kertas 5
gulden berubah dari ungu ke merah dan hijau, 10 gulden dari hijau ke ungu, dan 25 gulden dari
merah ke hijau. Selain itu, 50 gulden, 100 gulden, 500 gulden, dan 1000 gulden mulai
ditambahkan, dan tertulis tahun emisi 1946.
Karena adanya uang kertas 10 dan 25 sen (yang masih menjadi alat pembayaran yang sah dan
masih akan terus dicetak), maka terjadi kesenjangan antara 25 sen Indonesia dan 5 gulden De
Javasche Bank. Maka diisilah dengan cetakan 1/2 rupiah, 1 rupiah, dan 2 ½ rupiah, yang semua
tertulis tahun emisi 1948. Kata-kata di uang kertas inimirip dengan pecahan 5 gulden keatas, tapi
teks bahasa Indonesia (‘roepiah’) ditempatkan di atas tulisan berbahasa Belanda (‘gulden’).

Uang kertas itusemua diprint / dicetak oleh Johan Enschede en Zonen (the Dutch printer).

5 Gulden-Rupiah, Tahun 1946

1000 Gulden-Rupiah, 1946

2,5 Gulden-Rupiah, Tahun 1948


10 Sen, Tahun 1949

Republik Indonesia Serikat money


“Republik Indonesia Serikat” atau RIS mengeluarkan undang-undang pada tanggal 2 Juni 1950
yang memungkinkan Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas baru, yaitu pecahan 5 dan 10
rupiah. Namun hal ini tidak bertahan lama, karena RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950 (5
tahun setelah deklarasi kemerdekaan yang sebenarnya).

Uang uang tersebut dicetak oleh Thomas De La Rue dari Inggris dan memiliki tanggal emisi ‘1
Januari 1950 ‘ yang tertulis pada uang kertas tersebut.

10 Rupiah, Tahun 1950

5 Rupiah, Tahun 1950

Nasionalisasi De Javasche Bank: Uang kertas pertama Republik Indonesia

Dengan nasionalisasi De Javasche Bank melalui Undang-Undang Darurat tahun 1951, telah
ditetapkan bahwa pemerintah akan mampu mengeluarkan uang pecahan 1 dan 2 ½ rupiah.
Dengan demikian, uang kertas ‘ Republik Indonesia ‘ tahun emisi 1951 dikeluarkan pada
pecahan 1 dan 2 ½ rupiah.

Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, pertama seri (lanskap), 1951, dicetak oleh
Perusahaan Percetakan Uang Kertas Keamanan (AS)

1 Rupiah, Tahun 1951

Pembentukan Bank Indonesia dari De Javasche Bank: kedua Republik Indonesia uang
kertas

Dengan transformasi dari DJB menjadi Bank Indonesia, Undang-Undang Darurat tahun 1951
diperbaharui menjadi Undang-undang Mata Uang 1953, dan uang kertas 1 dan 2 ½ rupiah tahun
emisi 1951 dikeluarkan kembali dengan ditambah tanda tangan Menteri Keuangan dan tahun
emisi 1953.

Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri kedua (lanskap), 1953, dicetak oleh
Perusahaan Percetakan Uang Kertas Keamanan (AS)

1 Rupiah, Tahun 1953

1953-1954: Uang Kertas Pertama Bank Indonesia


Uang kertas baru dari De Javasche Bank yang telah dinasionalisasi menjadi ‘ Bank Indonesia ‘
telah siap diedarkan dengan tahun emisi 1952 dalam pecahan mulai dari 5, 10, 25, 50, 100, 500,
dan 1000 rupiah, ditandatangani oleh Indra Kasoema sebagai Direktur, dan Sjafruddin
Prawiranegara sebagai Gubernur. Uang kertas mulai beredar dari Juli 1953 sampai November
1954.

1952; Uang Kertas Bank Indonesia (‘ seri budaya ‘)

5 Rupiah, Tahun 1952

100 Rupiah, Tahun 1952

Meski telah memiliki uang kertas baru sendiri dan uang kertas yang bertuliskan nama DJB
seharusnya tidak lagi dicetak, namun pada kenyataannya uang bertuliskan DJB beredar sejak
1950. Sehingga beberapa Uang kertas DJB tua dicabut, diantaranya sebagai berikut:

 2 Maret 1956: Uang kertas 1000 gulden emisi ‘1946 ‘ yang berasal dari tahun 1950
ditarik dari peredaran dan efektif pada tanggal 5 Maret 1959, karena pemalsuan
merajalela.
 22 November 1957: Uang kertas DJB pecahan 1 dan 2 ½ rupiah emisi ‘1948 ‘ ditarik,
efektif 1 Desember 1957, karena denominasi uang kertas adalah hak penerbitan
pemerintah di bawah Undang-undang Mata Uang 1914 yang berlaku dan karenanya De
Javasche Bank sudah tidak lagi memiliki otoritas untuk menangani masalah uang.

Beberapa uang kertas pemerintah Hindia Belanda (semua pecahan rendah) yang masih sah dan
kemudian dicabut antara lain sebagai berikut:
 1 Januari 1954: semua uang kertas pemerintah ‘Nederlandsch Indie’ pecahan 1 / 2, 1, dan
2 ½ gulden ditarik dari peredaran karena semua uang ituberasal dari awal Perang Dunia
2, 1940
 1 Januari 1957: Uang kertas ‘ Indonesia ‘ pecahan 10 sen dan 25 sen ‘1947’ ditarik (uang
ini dikeluarkan oleh Republik Indonesia)

Pada tahun 1954, pemerintah Indonesia mendesain ulang uang kertas pecahan 1 dan 2 ½ rupiah,
kemudian mengganti tahun emisi dan tanda tangan Menteri Keuangan yang baru di tahun 1956.

Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri ketiga (orang etnis), 1954, dicetak oleh
Pertjetakan Kebajoran

2,5 Rupiah, tahun 1954

Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri keempat (orang etnis), 1956, dicetak oleh
Pertjetakan Kebajoran

2,5 Rupiah, Tahun 1956

1958-1959 seri Hewan – Seri Kedua dari Uang Kertas Bank Indonesia
Pada tahun 1957, Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara menugaskan Thomas De
La Rue & Co untuk membuat uang kertas seri baru. Namun, karena keterlibatan Syafruddin
dengan PRRI maka ia digantikan oleh Loekman Hakim pada Januari 1958 sebagai gubernur .
Spesimen yang diproduksi dalam pecahan 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1000, dan 5000 rupiah, dan
yang pertama kali diedarkan adalah pecahan 100 dan 1000 rupiah.
Masalah keuangan agak terganggu oleh devaluasi mata uang pada 24 Agustus 1959, sehingga
500 (harimau) dan 1000 (gajah) rupiah didevaluasi menjadi 50 (buaya) dan 100 rupiah (tupai)
pada September 1959. Untuk 2500 dan 5000 rupiah dinyatakan tidak perlu untuk devaluasi.
Untuk 2500 Rupiah pada akhirnya terbit tiga tahun kemudian karena inflasi yang terus naik,
sedangkan mata uang pecahan 5000 rupiah tidak pernah diterbitkan. Pecahan 10 dan 25 rupiah
hanya diedarkan selama 3 hari, meskipun mereka tetap menjadi alat pembayaran yang sah.

Di samping 8 uang kertas yang sedang didesain, Loekman juga menugaskan membuat uang
kertas baru, 2500 rupiah. Terlepas dari uang kertas 100 dan 1000 rupiah, uang kertas pecahan
yang juga tinggi yaitu 500 rupiah dirilis pada tanggal 6 Januari 1959.

Seri Hewan (not dated, pertama dicetak 1957, kecuali untuk 2500 rupiah), semua dicetak
Thomas De La Rue

5000 Rupiah, Tahun 1957

1959: Indonesia Pertama dirancang catatan, seri ‘kerajinan’


8 September 1959, Indonesia murni pertama kali merancang uang kertas dan diterbitkan oleh
percetakan negara ‘Pertjetakan Kebajoran’ yaitu uang kertas pecahan 5 dan 100 rupiah.

5 Rupiah, Tahun 1959

1960: Uang Kertas Bunga Thomas De La Rue dan Burung


Satu lagi rangkaian uang kertas baru, kali ini dengan seri ‘bunga’ yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia pada tahun 1960 (memperlihatkan bunga di bagian depan dan burung di sebaliknya),
tertanggal emisi 1 Januari 1959, namun diterbitkan pada tahun 1960. uang uang kertas ini dicetak
oleh Thomas De La Rue & Co Ltd dari Inggris.

Seri bunga dan burung, tertanggal ‘1 Januari 1959 ‘, diterbitkan pada tahun 1960, dicetak oleh
Thomas De La Rue

1000 Rupiah, tahun 1959

1960-1961: uang kertas Pemerintah


Sebuah desain uang kertas pemerintah Indonesia yang baru untuk pecahan 1 dan 2 ½ rupiah
diterbitkan pada tahun 1960 memperlihatkan buruh tani, tertanggal emisi 1961 dengan tanda
tangan Menteri Keuangan yang baru.

Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri kelima (tema pertanian), 1960, dicetak oleh
Pertjetakan Kebajoran

2,5 Rupiah, Tahun 1960

Uang Kertas Pemerintah: Republik Indonesia, seri keenam (tema pertanian), 1961, dicetak oleh
Pertjetakan Kebajoran
2,5 Rupiah, Tahun 1961

1961-1964: seri Lengkap kerajinan


Indonesia juga mengeluarkan uang kertas dengan seri kerajinan tangan menggantikan TDLR
pada tahun 1961 dan 1962, dengan pecahan 5 sampai 1000 rupiah.

100 Rupiah, Tahun 1958

1000 Rupiah, Tahun 1964

Karena terjadinya inflasi, Uang kertas pecahan 2.500 rupiah dengan desain ‘hewan’ akhirnya
diterbitkan pada bulan September 1962, kemudian menjadi pecahan teratas. Suatu respon
lanjutan terhadap inflasi yang datang maka diterbitkannya pecahan 5000 (coklat) rupiah
tertanggal emisi 1958 pada bulan Oktober 1963. Pada bulan Agustus 1964, dirasa perlu untuk
menambahkan uang kertas 10.000 rupiah (merah), tertanggal emisi ‘1964 ‘, melengkapi seri
buruh kasar (manual workers).
1965: Pembaruan Uang Kertas seri Kerajinan
Pada tahun 1965, di tengah inflasi yang melonjak, semua uang kecuali 5 rupiah kebawah dan 500
rupiah dengan seri kerajinan tangan direvisi dan diterbitkan kembali.

Uang kertas dengan gambar Kerajinan / rumah asli Indonesia , dicetak oleh Pertjetakan
Kebajoran, diterbitkan tahun 1965 – seri kedua

1000 Rupiah, Tahun 1958

10000 Rupiah, Tahun 1964

1965-1968: seri pertama uang kertas (‘ Soekarno ‘)

Hiperinflasi awal tahun 1960-an mengakibatkan pembacaan ‘rupiah baru’ dianggap hanya senilai
1.000 rupiah lama.

Penarikan uang lama berarti sama dengan penerbitan uang kertas baru, dengan Keputusan
Presiden 13 Desember 1965. Keputusan resmi Bank Indonesia untuk menerbitkan uang kertas
fraksional untuk pertama kalinya (meski uang pecahan 1 dan 2 ½ rupiah masih dikeluarkan oleh
pemerintah sendiri), dalam pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen tertanggal emisi 1964 menampilkan
gambar para ‘sukarelawan’. Tetapi kenyataannya bahwa rupiah hanya didevaluasi 10, bukan
1000 kali, sehingga membuatnya tidak berharga pada saat penerbitan dan jutaan uang kertas
tidak pernah diedarkan.
Semua uang kertas yang tersisa menampilkan Presiden Soekarno pada bagian depan, dan
berbagai penari disebaliknya; seri iniditerbitkan oleh ‘ Republik Indonesia (ORI) ‘ dalam
pecahan 1 dan 2 ½ rupiah tertanggal emisi 1964, dan Bank Indonesia tertanggal emisi 1960
dalam bentuk pecahan 5, 10, 25, 50 , dan 100 rupiah; Uang kertas mulai dari pecahan 500 sampai
10.000 rupiah dianggap tidak perlu dikeluarkan karena terjadinya devaluasi.

2,5 Sen, Tahun 1964

50 Sen, Tahun 1964

1000 Rupiah, Tahun 1960

1968-1970: Uang kertas seri kedua (‘Sudirman’)

Pada tahun 1968 masa Orde Baru Suharto telah dibentuk, dan Bank Indonesia sejak 1968 diberi
hak tunggal untuk mengeluarkan / mengedarkan uang kertas (termasuk uang di bawah 5 rupiah)
serta uang logam (yang sebelumnya menjadi persoalan pemerintah pusat) dengan demikian ORI
sudah tidak diterbitkan lagi.

Oleh karena itu, edisi uang kertas baru dari pecahan 1 sampai 1.000 rupiah, tertanggal emisi
1968 semuanya dari Bank Indonesia. Uang kertas baru kali inimenampilkan pahlawan revolusi
Jenderal Sudirman, didukung oleh berbagai macam pemandangan berbagai industri. Uang kertas
ituditerbitkan pada tahun 1968 dan 1969. Pada tahun 1970, uang kertas dengan tema yang sama
(tapi menggunakan watermark yang berbeda) pecahan 5.000 dan 10.000 rupiah juga diedarkan,
sehingga memulihkan pecahan uang yang sama dengan yang telah beredar sebelum terjadi
devaluasi tahun 1965.

Uang kertas edisi Sudirman / industri, ‘1968’, Bank Indonesia: Uang kertas seri Kedua pasca-
devaluasi, Dicetak oleh PN Pertjetakan Kebajoran

50 Rupiah, Tahun 1968

Seri Diponegoro (tidak diterbitkan)

Sebuah seri baru uang kertas Indonesia kali inidimulai dari pecahan 100 rupiah, didesain dengan
tema Diponegoro pada tahun 1971 (tapi dicetak tanpa tanggal emisi), namun seri ini tidak pernah
diterbitkan, meskipun uang kertas pecahan 1000 rupiah pada seri ini kemudian ditambahkan
tanggal emisi dan diterbitkan pada tahun 1976 , namun bagian belakang pada uang pecahan 5000
rupiah (seri ini ) juga digunakan untuk uang kertas 5000 rupiah tahun 1976, tetapi dengan desain
bagian depan yang baru (bukan diponegoro lagi).

Rangkaian pembatalan uang kertas iniadalah yang terakhir di Indonesia dengan tema yang
konsisten, yaitu uang kertas baru biasanya mempertahankan warna yang sama dengan yang lama
dari pecahan yang sama.
10000 Rupiah, Tahun 1971

1976-1978: Uang Kertas seri ketiga; rupiah baru

Karena pemalsuan uang kertas seri Sudirman yang merajalela, semua uang kertas pecahan 1.000,
5.000 dan 10.000 rupiah didesain ulang, tertanggal emisi 1975 dan diterbitkan pada tahun 1976.
Uang kertas Sudirman 1000 rupiah keatas ditarik dari peredaran secara resmi tanggal 1
September 1977.

Pendesainan ulang uang kertas pecahan 100 dan 500 rupiah diikuti pada tahun 1978, sehingga
melengkapi seri ketiga dari uang kertas yang akan diterbitkan sejak devaluasi mata uang tahun
1965.

10000 Rupiah, Tahun 1971

Selama periode tahun 1970-an, Bank Indonesia mengeluarkan 6 macam pecahan yang terdiri
dari:

 100 badak – 1977


 500 anggrek – 1977
 1000 Diponegoro – 1975
 5000 nelayan – 1975
 10000 relief candi Borobudur – 1975
 10000 gamelan – 1979 (Lihat dibawah)
Dari ke 6 macam uang kertas iniyang paling sulit ditemukan dan tentu saja bernilai paling tinggi
adalah pecahan 10.000 relief candi Borobudur karena mempunyai motif dan gambar yang sangat
menarik selain bergambar relief candi Borobudur di bagian depan juga gambar barong di bagian
belakang sehingga sangat digemari oleh kolektor mancanegara.

1979-1982: Uang Kertas rupiah baru Seri 4

Pada tahun 1979, uang kertas pertama kali yang perlu diganti lagi adalah 10.000 rupiah (pada
saat itubernilai sekitar US $ 16). Selanjutnya uang kertas didesain ulang dan diikuti disemua
pecahan kecuali 100 rupiah pada tahun 1980 dan 1982.

Uang kertas rupiah ‘1979 ‘, ‘1980’, ‘1982’, dicetak oleh Perum Peruri

10000 Rupiah, Tahun 1979

5000 Rupiah, Tahun 1980


500 Rupiah, Tahun 1982

1985-1988: Uang Kertas rupiah baru seri 5

Uang kertas 100 rupiah yang berasal dari tahun 1977 akhirnya digantikan pada tahun 1985,
penggantian semua uang pecahan diikuti pada tahun 1985, 1987 dan 1988.

100 Rupiah, Tahun 1984

500 Rupiah, Tahun 1984

5000 Rupiah, Tahun 1988

1992: Seri keenam uang kertas rupiah baru

Di tahun 1992 terlihat suatu perbaikan yang lengkap dari semua pecahan uang kertas untuk
pertama kalinya sejak 1968. Selain itu, pecahan baru uang kertas 20.000 rupiah juga
ditambahkan dengan nilai US $ sekitar $ 10 pada saat itu. iniadalah pecahan baru pertama sejak
10.000 rupiah diterbitkan pada bulan April 1970 (saat itusenilai sekitar US $ 26).

Sebelum tahun 1990-an di bagian bawah setiap uang kertas tercantum tulisan seperti berikut:

HERU SEOROSO DEL pada pecahan 100 rupiah 1984

SOERIPTO DEL pada pecahan 500 rupiah 1988

Kata Del berasal dari kata delineavit yang berarti “di gambar oleh”, sehingga Soeripto DEL
artinya “di gambar oleh Soeripto” demikian juga dengan Heru Soeroso DEL artinya “di gambar
oleh Heru Soeroso”.

Dari sinilah edisi ke depannya, sejak memasuki tahun 1990-an, maka uang kertas kita tidak lagi
mencantumkan kata-kata tersebut. Sebagai gantinya uang kertas Indonesia, tahun emisi
dituliskan dalam bentuk teks kecil di tepi uang kertas (pojok bawah), dan tahun yang paling
menonjol pada uang kertas ituadalah tahun kewenangan (misalnya, “Direksi 1992”).

Date of Authority printed in the middle of the note

1000 Rupiah – 1992 Series printed in year 1994. “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP
1994” represents The Indonesia Currency mint 1994
Cetakan Rupiah seri ‘1992’, dicetak oleh Perum Peruri

10000 Rupiah, Tahun 1992

1993: Peringatan Soeharto – 50.000 rupiah

Pada tahun 1993 sebuah uang kertas 50.000 rupiah (bernilai sekitar US $ 22) diterbitkan untuk
merayakan “25 Tahun Pembangunan” dibuat dengan bahan polimer dan berhologram, uang
iniditerbitkan secara terbatas hanya lima juta lembar saja, dan dalam bungkus penyajian / cover /
folder dijelaskan rencana 25-tahun pertumbuhan sejak tahun 1969, dengan harga nilai nominal
ganda : 100.000 rupiah. Desain inimenampilkan Soeharto di bagian depan dan bandara
Soekarno-Hatta di bagian belakang, dengan sebuah pesawat yang sedang lepas landas
melambangkan pertumbuhan Indonesia. Namun, diyakini karena penjualan yang buruk, beberapa
uang polimer dikurangi. Sebuah versi lain berbahan kertas namun dengan desain serupa juga
dicetak pada tahun 1993 dan 1994.

Uang kertas Rupiah seri Soeharto ‘1993’

1995: penambahan benang pengaman pada uang kertas 1992/1993 ke atas

Pada tahun 1995 menjadi tahun pengenalan bagi benang pengaman untuk uang kertas Indonesia,
sebuah fitur baru di semua uang kertas pecahan besar (10.000 keatas) dengan ‘1995 Direksi’ dan
yang lebih baru. Uang kertas 20.000 rupiah (tahun emisi 1992) dan 50.000 (emisi 1993) juga
diberi benang pengaman.
50000 Rupiah, Tahun 1995

Perbaruan untuk pecahan tinggi, diperkenalkannya 100.000 rupiah

Uang kertas pecahan tinggi, 10.000, 20.000 dan 50.000 rupiah diganti pada tahun 1998 dan 1999.
Ditambahkan juga sebuah uang polimer baru 100.000 rupiah (pada saat ituhanya bernilai sekitar
US $ 10) diimpor dari Australia. Uang 100.000 initidak lagi dicetak menyusul pengenalan desain
baru pada tahun 2004-2005 dan tidak lagi menjadi alat pembayaran yang sah sejak 31 Desember
2008, meskipun uang 100.000 initetap dapat ditukarkan di kantor Bank Indonesia hingga 10
tahun lebih lanjut.

Dalam menerbitkan uang polimer, Indonesia mempunyai maksud tertentu, dan inilah
penjelasannya :

Bank Indonesia akan mengeluarkan uang dalam pecahan Rp100.000 pada tanggal 1 November
1999 sebagai alat pembayaran resmi. “Uang ituakan dibuat dari substrat polimer (plastik) yang
lebih tahan lama dan sulit untuk dipalsukan dari pada bahan kertas” dikutip dari gubernur Bank
Indonesia, Syahril Sabirin. Untuk menghindari penipuan, uang tersebut telah dilengkapi dengan
elemen anti pemalsuan yang dapat dilihat secara kasat mata dan dapat disentuh agar masyarakat
akrab dengan keaslian uang.

Gubernur Bank Indonesia menjelaskan bahwa penerbitan uang dengan emisi baru iniadalah
untuk mempermudah dan mempercepat transaksi tunai. Gambar utama di depan uang adalah Dr
Ir. Soekarno dan Dr H. Mohammad Hatta, sementara di sisi lainnya bergambar gedung DPR
yang bertujuan untuk mempromosikan penghargaan kami kepada keduanya dan lembaga
tertinggi untuk nilai demokratis mereka.

Penerbitan diumumkan dalam Berita Negara tahun 1999 nomor 206, sementara itubank-bank,
kantor pos dan kantor kantor pelayanan masyarakat akan menerima poster uang sebagai
pengumuman penerbitan di kantor mereka dan di tempat umum lainnya. Pengumuman inijuga
tersedia di situs web Bank Indonesia.
50000 & 100.000 Rupiah, Tahun 1999

Uang pecahan 100.000 rupiah bergambar Sukarno Hatta inimerupakan uang polimer kedua yang
diterbitkan oleh Indonesia. Sampai saat inisekitar 36 negara yang sudah menerbitkan uang
berbahan dasar polimer, sehingga mengoleksi uang polimer sudah menjadi cabang numismatik
tersendiri.

Seri saat ini

Uang pecahan rendah, 2000 dan 2001

Pecahan rendah, 1.000 dan 5.000 rupiah diperbarui pada tahun 2000 dan 2001 dengan gambar
pahlawan nasional, dan terus akan dicetak hingga hari ini. Pecahan terendah sebelumnya, 100
dan 500 rupiah sudah tidak adalagi karena rupiah telah jatuh nilainya hingga 80% dibanding
pecahan edisi sebelumnya pada tahun 1992.

1000 Rupiah, Tahun 2000


5000 Rupiah, Tahun 2001

Pembaruan pecahan tinggi 2004/2005

Uang kertas pecahan 10.000 – 100.000 diganti pada tahun 2004 dan 2005, dan uang 100.000
kembali ke desain kertas dan dicetak di Indonesia . sebagai catatan, polimer ternyata
menyulitkan mesin bank untuk melakukan penghitungan, dan sebaiknya semua uang kertas
diberi perangkat anti-pemalsuan saja (tidak dibuat dengan bahan polimer).

100000 Rupiah, Tahun 2004

50000 Rupiah, Tahun 2005

Uang kertas baru 2000 rupiah

Setelah tertunda beberapa kali, menyusul pengumuman awal bahwa uang kertas pecahan 2000
rupiah akan menggantikan uang 1000 rupiah sebagai pecahan terendah, pecahan baru, 2.000
rupiah akhirnya resmi dirilis, dan beredar bersamaan dengan pecahan lainnya pada bulan Juli
2009. Selain uang pecahan 2000 rupiah ini, Bank Indonesia mengeluarkan uang kertas baru yang
ditandatangani oleh Budiono. Walaupun bergambar sama, uang kertas 2009 mempunyai
beberapa ciri yang berbeda antara lain :

1. Tanda tangan Gubernur BI yang berbeda


2. Tahun di bagian depan tercetak 2009
3. Tahun emisi yang tercetak di bagian bawah uang masih tetap sesuai dengan tahun
pertama kali uang diterbitkan.

Rupiah seri ‘2009’ (Gubernur : Miranda S. Goeltom) – Printed by Perum Peruri

2000 Rupiah, Tahun 2009

Rupiah seri ‘2009’ (Gubernur : Boediono) – Printed by Perum Peruri

50000 Rupiah Tahun 2009

100000 Rupiah, Tahun 2009

Dengan demikian uang yang berlaku hingga saat ini bisa dibilang dari seri 2000. Di seri ini,
pecahan uang kertas (dari tahun 2000) memiliki pola yang sama (mirip) sehingga menyerupai
satu seri. Mungkin dengan demikian kita bisa menyebut seri tahun 2000-an ini dengan seri
pahlawan.

Sampai saat ini berarti semua pecahan uang kertas telah diganti dengan uang baru yang lebih
baik dalam segala hal termasuk desain, kualitas maupun keamanannya.

Anda mungkin juga menyukai