Anda di halaman 1dari 19

Makalah Sejarah Perkembangan Mata Uang

Makalah ini di susun oleh Muazzin, S.H.I

Alumni Al-Hilal Sigli Aceh tahun 2015

KATA PENGANTAR

  Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga

disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,

seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah

membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

          Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Mata Uang Dalam Islam pada Program

Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat

judul “Sejarah Perkembangan Mata Uang”.

    Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat

mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                                                          Wassalam

                                                                                                                          Penulis,

                                                                                                                          EMIL

HARDIANSYAH
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  i

DAFTAR ISI  ii

BAB I PENDAHULUAN

         A. Latar Belakang   1

         B. Rumusan Masalah 1 

         C. Tujuan penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN

         A. Sejarah perkembangan mata uang Indonesia   2

         B. Sejarah mata uang rupiah   14

         C. Sejarah mata uang dunia 17

BAB III PENUTUP

         A. Kesimpulan 19

DAFTAR PUSTAKA   20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

              Moneter dalam banyak buku teks ekonomi didefinisikan sebagai uang. Oleh karena itu

fokus utama pembahasan dalam kebijakan moneter adalah mengenai peranan uang dalam

perekonomian, baik mengenai teori-teori tentang uang, pengelolaan, kebijakan, instrumen

maupun institusi yang menjadikan uang sebagai objek aktifitasnya.

           Peranan Uang Dalam Perekonomian Uang, merupakan materi yang sangat berharga dan

sangat ‘diagungkan’ di dunia. Perekonomian modern tidak dapat dipisahkan dengan pentingnya

uang. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, tanpa uang, perekonomian tidak akan dapat

berjalan sebagaimana mestinya. Secara sederhana uang didefinisikan segala sesuatu yang dapat

dipergunakan sebagai alat bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang

dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang

jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat

tukar.

B. Rumusan Masalah

        1. Menjelaskan sejarah perkembangan mata uang di Indonesia

        2. Menjelaskan sejarah mata uang rupiah

        3. Menjelaskan sejarah mata uang dunia

C. Tujuan Penulisan

            Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping memenuhi tugas

dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa pada umumnya mampu

memahami tentang sejarah perkembangan mata uang.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Mata Uang di Indonesia

           Berbicara tentang perkembangan mata uang yang dulu pernah berlaku di wilayah

Nusantara, maka ditinjau dari kepemilikan mata uang tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua

kelompok :

a. Mata uang atau koin-koin asli buatan lokal, yang dicetak oleh kerajaan-kerajaan atau daerah-

daerah tertentu di wilayah Indonesia.


b. Mata uang yang dimasukkan oleh orang-orang asing, baik pedagang maupun pemerintahan

asing yang bertindak sebagai penjajah atau penguasa wilayah Nusantara, untuk dipakai sebagai

alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. Termasuk juga mata uang yang dicetak di Jawa oleh

orang-orang asing tersebut di atas, untuk diedarkan di wilayah Nusantara.

             Berdasarkan zamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam

beberapa periode :

1. Zaman kerajaan hindu buddha (850–1300 masehi)

a. Kerajaan Mataram Syailendra

               Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada

masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak

dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa

nominal :

•  Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang

• Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang

• Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak

           Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1

Saga (0,119 gram).

              Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan

terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari

“Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-

masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame

Seed”.

             Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka

dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse

dengan pola “Bunga Cendana”.

                Kerajaan Syailendra akhirnya meluaskan wilayahnya hingga ke daerah-daerah Jawa

Timur, dimana pelabuhan-pelabuhannya seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak didatangi

para pedagang dari manca negara. Jawa Timur dengan pelabuhan-pelabuhannya merupakan

daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah

yang merupakan daerah agraris.

               Pada zaman Dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi), orang-orang Cina mulai

berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa dan

memperkenalkan mata uangnya yang disebut Cash atau Caixa, Cassie, Pitje, atau orang Jawa
menyebutnya Kepeng atau Gobok, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengah. Koin-koin

Cina ini lambat laun dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran.

           Pada kira-kira tahun 928 Masehi, Gunung Merapi meletus dahsyat, yang mengakibatkan

rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan itu, di samping

semakin majunya daerah Jawa Timur, maka pada 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota

kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Nantinya Raja Mpu Sendok membagi wilayah Jawa

Timur menjadi dua untuk dibagikan kepada dua orang anaknya, menjadi wilayah Daha dan

Jenggala.

b. Kerajaan Daha/Jenggala dan Majapahit

             Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat

standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula

berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain

berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.

                Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya

jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan

secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.

                Adapun alasan-alasan dari penggantian fungsi ini adalah : ukuran koin emas dan perak

lokal terlalu kecil, sehingga mudah jatuh atau hilang. Sedangkan uang kepeng Cina mempunyai

lubang di tengah, direnteng dengan tali sebanyak 200 keping, sehingga praktis dibawa ke mana-

mana dan tidak mudah hilang.

             Koin emas dan perak lokal adalah mata uang dalam pecahan besar, sedangkan koin-koin

kepeng berfungsi sebagai uang kecil atau uang receh, yang sangat dibutuhkan dalam

perdagangan. Nilai tukar untuk 1 Masa perak berharga 400 buah Chien. Pada akhir abad ke-9,

dengan 4 Masa perak saja bisa membeli seekor kambing.

           Sebenarnya koin-koin emas dan perak yang sudah mengalami perubahan bentuk adalah

produk dari Daha dan Jenggala. Namun karena Kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu

merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya orang menamainya sebagai uang

Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke-13, mata uang “resmi” yang dipakai sebagai alat

pembayaran adalah koin-koin kepeng Chien.

                Namun pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”,

dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of

Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun

koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal,

namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk

persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut
sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528),

Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.

2. Zaman kerajaaan-kerajaan islam

a. Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)

            Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi.

Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan

ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada

mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di

Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis

mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah,

seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.

            Mata-uang dari KESULTANAN CIREBON dibuat sekitar 1710/1760, saat berkuasa Sultan

Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang di tengah itu, pada bagian muka tertulis

inskripsi : “Cheribon”.

             Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau Madura

tidak mencetak mata uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (di luar

Sumenep), dengan diberi “Countermarked” (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan adalah koin-

koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar), (Real Batu/Cob), dll. Sedangkan cetak

tindih yang dipakai, ada beberapa jenis seperti “Bintang Madura”, dengan tulisan Arab “Sumenep”,

atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat

bertakhtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep.

b. Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi

          Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan

Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan

mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham

Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai

mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir

semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.

                 Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada 1524, sultan-sultan Aceh

tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata uangnya. Namun uang Dirham

Aceh berdiameter lebih besar, antara 12–14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat tulisan Arab

“as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga membuat mata uang dari

timah/timbal, yang disebut “Keueh”, dengan nilai satu Mas sama dengan 400 Keueh.
              Kerajaan Aceh pernah memiliki empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60

tahun, dari 1641-1699. Yang pertama adalah Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan Iskandar

Thani yang meninggal pada 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak

perempuannya yang berkuasa sampai dengan 1675. Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah

Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada 1675-1678. Penggantinya adalah Sultanah Inayat

Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah pada 1678-1688. Terakhir adalah Sultanah Kamalat

Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh pada 1688-1699. Masing-masing ratu

tersebut juga mencetak mata uangnya.

             Mata uang dari KERAJAAN PALEMBANG dapat dibedakan antara yang mempunyai lubang

di tengah, yang disebut dengan pitis “Picis Tebok” (Tebok dalam dialek Palembang berarti

“Lubang”). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan “Picis Buntu”.

                Picis Palembang dapat dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun.

Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75

Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan terbaru).

KERAJAAN JAMBI di Sumatera juga membuat mata uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada

yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan tulisan “Sultan Anom Sri Ingalaga”. Ia mulai

memerintah pada 21 Februari 1743.

c. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka)

              KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada 1770, oleh seorang pedagang keturunan

Arab bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di

Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.

            Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari koin-

koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertakhtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin-

koinnya mempunyai lambang VOC dan bertahun AH 1221.

            Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum,

yaitu KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang bernama Alexander

Hare, seorang petualang bangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu

wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen. Namun tak lama

memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri

yang bernama Maluka. Hare mencetak mata uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk

peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja

sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara. Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin

terhitung tidak terlalu lama, yakni dua tahun saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799,

Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun
1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare

dari wilayah kekuasaannya.

d. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton

            Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan disebut dengan “Dinara”, yang

terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun

1593-1639, adalah sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan Hasanuddin, yang

memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya “I Mallombasi Muhammad Bakir Dg

Mattawang Krg. Bontomangape”. Dengan kekalahannya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin

dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian itu

disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah

Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain dari

VOC, dilarang untuk melakukan perdagangan di wilayah bagian timur tersebut.

              KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata uang unik yang

terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan “Kampua”. Menurut legendanya, Kampua diciptakan

pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah sekitar abad XIV.

                Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada

Menteri Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta

pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah

dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan-

pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu diubah-ubah.

              Adapun standar pemotongan kain Kampua adalah dengan mengukur panjang dan lebar

Kampua, dengan cara: ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai

dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan

tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Menteri Besar atau ‘Bonto Ogena’ itu

sendiri.

                 Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’

(lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai

memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun

mulai digantikan dengan uang-uang buatan “Kompeni”. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar

Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai

sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di

Kepulauan Buton sampai 1940.

3. Zaman perdagangan internasional


              Dalam penggolongan zaman perdagangan internasional ini sebenarnya bukan hanya

orang-orang Cina dan VOC (Belanda) yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang

paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata-

uang “kompeni” inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan

perkembangan numismatik di Indonesia.

a. Perdagangan dengan Cina (850-1900)

                Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira

pada zaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jungnya (kapal Cina),

mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu

itu Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya. Dalam melakukan perdagangannya, orang-

orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut dengan “Chien”

atau “Cash”, yang akhirnya diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran. Zaman Dinasti Sung

di Cina (960-1279) adalah puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang-orang Cina yang

datang ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa uang-uang kepengnya dalam jumlah besar.

           Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada

tahun 1405. Dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416, dikatakan

bahwa :“Koin-koin Cina dari berbagai dinasti umum digunakan disini”….. “Dalam melakukan

transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti”…. “Orang-

orang di sini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif hijau bunga,

kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash”….

              Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada zaman Dinasti Ming di Cina

(1368-1644), terjadi keguncangan moneter akibat langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah

Ming melakukan larangan ekspor uang Ch’ien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya

VOC mengimpor koin-koin kepeng dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea dan Vietnam.

Tahun 1723 Jepang akhirnya menghentikan ekspor uang cash.

             Sebagai pengganti uang Chien yang dilarang diekspor oleh Kaisar Ming, pada sekitar

1590 mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibuat di Cina,

diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat rata-rata 200-300 ton.

Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, datang pada bulan November atau

Desember, dan akan kembali ke Cina pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa

rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar

Spanyol, yang dapat membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang tetap

menggunakan koin cash Cina dalam bertransaksi, bahkan masih dipakai sampai dengan pada

tahun 1950
b. Perdagangan dengan VOC (1602-1799

             Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia.

Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di

pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli rempah-rempah,

baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa karena uang yang

dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal.

               Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam

Company (1594-1602) dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian

rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai

sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini

akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka

sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah

perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

             Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta

kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute, Doit atau

Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda, dan hanya diedarkan

untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga ini cukup luas karena

diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon.

                 Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa

Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak

mata uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama “Derham Djawi” atau “Java

Ducat” atau “Gold Rupee” (untuk koin emas), dan “Silver Java Rupee” (untuk koin peraknya).

            Koin yang pertama kali dibuat VOC di percetakan uang di Batavia adalah Dirham Jawi

dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab: “Ila djazirat Djawa al-

kabir”, sedangkan di bagian belakangnya : “Derham min Kompani Welandawi”. Yang artinya :

“Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar”.

               Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya

diambil alih oleh pemerintahan Belanda, dan dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda

yang sesungguhnya.

c. Emergency coins atau mata-uang darurat

               Mata uang darurat dibuat bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang

mencukupi. Hal ini terjadi jika tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum

datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis.


             Salah satu bentuk uang darurat adalah yang dinamakan “Bonk”, yang dibuat dengan cara

memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya

dengan berat yang standar, dan dicetak dalam beberapa pecahan, seperti ½, 1 atau 2 Stuiver.

              Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan

beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf “N”

di atasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau 1797.

Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik dari

peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan duit-duit timah itu menjadi langka

sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-

koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-meriam yang telah

rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA 1799/1800, dan di baliknya

dicetak : 1 Stuiver.

4. Zaman pemerintahan hindia belanda, perancis, inggris (1800-1942)

a. Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)

             Setelah VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda

mengambil oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah zaman pendudukan Belanda di

Indonesia dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang

dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul

perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Jawa” atau “Perang Diponegoro”.

             Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong. Untuk memenuhi

pundi-pundinya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan “Cultuur Stelsel”

atau “Tanam Paksa”. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata uang dengan pecahan

Satu dan Dua Sen.

               Koin perak 2.5 Gulden baru dibuat pada tahun 1840 setelah dilakukan standarisasi pada

mata uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata uang baik emas, perak, dan

tembaga juga dibuat pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina.

Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di

Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan

Surabaya pada akhir tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka sejak saat

itu semua mata uang dikirim langsung dari negeri Belanda.

              Pada zaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20

Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah

cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan 1 dan 2 ½

Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan pemakaiannya. Koin tembaga 2 ½
sen disebut sebagai uang “Gobang” atau “Benggol”, dan mempunyai fungsinya yang lain, yaitu

sebagai alat “Kerokan”.

              Pada waktu bertakhtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua,

dimana tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk

Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Di tempat pelariannya itu, Ratu

membentuk “pemerintahan dalam pengasingan”. Pada masa perang itu, koin-koin tahun 1941-45

dicetak di Amerika, dengan tambahan huruf kecil pada bagian belakang bawah. Huruf “D” adalah

singkatan dari “Denver” (1943-1945); “P’ adalah “Philadelphia” (1941-1945); dan “S” untuk “San

Francisco” (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya

Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahannya di bagian timur telah

memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia.

b. Pendudukan Perancis (1806-1811)

             Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang menyebabkan transfer kekuasaan

atas seluruh wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan di negeri

Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali.

Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun 1806

Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-koin Perancis

2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda.

            Pada tahun 1808 H.W. Daendels datang untuk menempati posnya sebagai Gubernur

Jendral yang baru di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan agar koin-koin dicetak dengan

nama raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun

1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang mengelilingi

Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada di sekeliling kota. Daendels

juga membuka percetakan mata uang yang baru di Surabaya, yang mengakibatkan percetakan

uang Batavia menjadi mandeg.

             Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya adalah duit tembaga dengan tulisan

“JAVA 1806” serta lambang VOC di baliknya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri

baru dicetak pada bulan Februari 1807.

            Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Mulailah

babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun ke depan.

c. Pendudukan Inggris (1811-1816)

           Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang

akhirnya dapat merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris.

Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan secara
langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama kalinya

diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal.

              Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris adalah koin Java

Rupee yang terbuat dari emas dan perak. Pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno,

“Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741”. Sedangkan di baliknya tertulis

dalam bahasa Arab Melayu : “Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar djazirat

Djawa”

             Semua koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin

darurat Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia.

Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris

harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu sendiri

baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.

d. British East India Company di Sumater

            Inggris mempunyai pusat perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun

benteng dengan nama “FORT YORK”. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar tahun

1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang bernama “FORT MARLBRO” (atau

Fort Marlborough).

            Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata uangnya dengan nilai ½ Dollar, dengan tulisan

FORT MARLBRO di sisi baliknya. Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford Raffles untuk

menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17 Maret 1824, maka

Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai barat Sumatera

kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, dan membolehkan

Inggris mendirikan koloni di Singapura.

           Para pedagang Inggris di Singapura juga membuat mata uangnya sendiri untuk diedarkan

di wilayah Sumatera dan Sulawesi, seperti Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu, Uang

Ayam, dan sebagainya.

e. Token-token perkebunan dan pertambangan

        Pada zaman pemerintahan Belanda, banyak token yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan

perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatera, Bangka, Kalimantan, bahkan juga

di pulau Bacan Ternate. Yang disebut Token adalah mata uang yang biasanya dibuat oleh pihak

swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya berlaku pada

area dimana token tersebut diedarkan; di luar area tersebut token sama sekali tidak mempunyai

nilai.
5. Zaman pendudukan jepang (1942-1945)

           Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jepang

banyak mencetak mata uang kertas, dan hanya satu seri koin yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5

dan 10 Sen. Semuanya dicetak dengan tahun Jepang 2603 dan 2604 (1943 dan 1944 Masehi),

yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Militer Jepang No. 2 tertanggal 8 Maret

2602 (1942). Koin pecahan 1 dan 5 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen

terbuat dari timah. Pada koin-koin nominal 5 dan 10 Sen, di bagian muka terdapat gambar

Wayang, sedangkan nominal 1 Sen terdapat gambar kepala wayang. Di bagian belakangnya

terdapat tulisan Jepang, JAVA, Nominal (Sen), dan tahun Jepang 2603/04.

6. Zaman pemerintahan republik indonesia (1945- ---)

             Pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang kertas seri

ORI (Oeang Repoeblik Indonesa), dan uang-uang darurat yang dicetak oleh daerah-daerah

(URIDA), tanpa satupun dicetak koin-koin sebagai mata uang.

          Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari

aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada bagian tengahnya. Koin aluminium

pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya

pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai desain sama dengan

pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan

pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara.

            Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan

Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan terdiri

dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak

berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini,

tertera inskripsi “KEPULAUAN RIAU”.

           Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak

khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964).

Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971.

         Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang

dicetaknya, seperti koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koin-koin

emas, dll.

B. Sejarah Mata Uang Rupiah

            Kita sebagai masyarakat Indonesia pasti pernah bertanya, sebenarnya kenapa mata uang

Negara kita bernama Rupiah, bagaimana sejarah dan ceritnya sehingga pemerintah menetapkan
nama Rupiah sebagai nama mata uang bangsa Indonesia.Berikut ini cerita singkat sejarah

terbentuknya nama Rupiah terhadap mata uang Negara Indonesia.

              Pemerintah memandang perlu mengeluarkan mata uang sendiri selain berfungsi sebagai

alat pembayaran yang sah juga dijadikan lambing utama Negara yang sudah merdeka. Perkataan

“rupiah” berasal dari perkataan “Rupee”, satuan mata uang India. Indonesia telah menggunakan

mata uang Gulden Belanda dari tahun 1610 hingga 1817. Setelah tahun 1817, dikenalkan mata

uang Gulden Hindia Belanda.

             Mata uang rupiah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada waktu Pendudukan

Jepang sewaktu Perang Dunia ke-2, dengan nama rupiah Hindia Belanda. Setelah berakhirnya

perang, Bank Jawa (Javaans Bank, selanjutnya menjadi Bank Indonesia) memperkenalkan mata

uang rupiah jawa sebagai pengganti.

            Mata uang gulden NICA yang dibuat oleh Sekutu dan beberapa mata uang yang dicetak

kumpulan gerilya juga berlaku pada masa itu.Tepatnya pada tanggal 2 November 1949

merupakan hari ditetapkannya rupiah sebagai mata uang resmi Negara Indonesia dan mata uang

rupiah dicetak serta diatur pengunaannya oleh Bank Indonesia. Walaupun saat itu Kepulauan Riau

dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka sendiri tetapi penggunaan mereka dibubarkan pada

tahun 1964 di Riau dan 1974 di Irian Barat.

              Rupiah merupakan mata uang yang boleh ditukar dengan bebas tetapi didagangkan

dengan pinalti disebabkan kadar inflasi yang tinggi . Mata Uang Baru dalam sejarah nilai uang

fungsi dan jenis jenis uang serta pembuatannya ternyata mengalami banyak cerita dan sejarah

yang panjang di negara indonesia Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai

dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara

Pemerintah Republik Indonesia belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan

berlaku oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang

Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.

               Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam

adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang

tersebut menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani,

karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.

              Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied

Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946

mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki

oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah Republik Indonesia , karena

melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru

selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini diabaikan oleh AFNEI. Mata

uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan
sekaligus mengacaukan perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat

terhadap kemampuan pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi persoalan ekonomi

nasional. 

              Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan

kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat

tukar. Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali

pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional. Oleh karena AFNEI tidak

mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah

Republik Indonesia memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat

tukar yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia . Sejak saat itu mata uang Jepang, mata

uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan

demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang

hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah Republik

Indonesia dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak

memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih

berpihak kepada pemerintah Republik Indonesia dari pada pemerintah sementara NICA yang

hanya didukung AFNEI.

           Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah

Republik Indonesia pada tanggal 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan

Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Beberapa bulan sebelumnya

pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi

Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah

nama pada Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank

Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh

pemerintah Republik Indonesia . Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana

atau uang masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran.

        Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan

internasional. Sementara di daratan Eropa muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank

van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang

mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van

Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu

adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa

selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan

nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan

berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya

diundangkan DJB Wet 1922. 


                Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia

Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami

dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil

Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA

sedangkan “Jajasan Poesat Bank Indonesia” dan Bank Negara Indonesia di wilayah Republik

Indonesia . Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda,

ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini

terus bertahan hingga masa kembalinya Republik Indonesia dalam negara kesatuan. Berikutnya

sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, Republik Indonesia menasionalisasi bank sentralnya.

Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik

Indonesia. Krisis ekonomi Asia tahun 1998 menyebabkan nilai tukar mata uang rupiah jatuh

hingga 35% dan dengan melemahnya mata uang rupiah keadaan perekonomian di Indonesia

menjadi menurun.

C. Sejarah Mata Uang Dunia

           Sejarah mata uang dunia adalah segala sesuatu yang umumnya diterima oleh sekelompok

orang untuk pertukaran barang, jasa, atau sumber daya. Setiap negara memiliki sistem sendiri

mengenai uang koin dan kertas.

               Pada awalnya orang menggunakan barter. Barter adalah pertukaran barang atau jasa

dengan sistem kepercayaan. Namun karena seiring waktu berjalan, orang pun menjadi merugi

karena barang yang ditukar tidak begitu berharga dengan yang diberikan. Maka munculnya sistem

uang untuk mengatasinya, dengan cara ini kita bisa menukar barang berapapun banyaknya

dengan jumlah uang yang berlaku dinegara tertentu.

               Logam benda diperkenalkan sebagai uang sekitar 5000 SM Dengan 700 SM, Lydia waktu

itu berada di tempat yang sekarang bernama Turki. koin dilebur paduan alami dari emas dan

perak disebut electrum. Dan setiap koin memiliki berat jenis sebesar 4,7 gram. Koin ini berfungsi

sebagai alat tukar, satuanpembayaran dan mampu melestarikan nilai. Logam ini digunakan karena

sudah tersedia, mudah untuk bekerja dengan dan dapat didaur ulang. Sejak koin diberi nilai

tertentu, menjadi lebih mudah untuk membandingkan biaya barang orang inginkan.

            Beberapa uang kertas paling awal dikenal tanggal kembali ke Cina, di mana masalah uang

kertas menjadi umum dari sekitar tahun 960 dan seterusnya. Sebuah mata uang kertas adalah

salah satu yang memiliki mekanisme untuk mengontrol dari penurunan nilai. Hal ini dilakukan

dengan mengelompokkan mata uang terhadap sejumlah tertentu aset berwujud seperti emas.

            Pada 10 Maret 1862 Amerika Serikat pertama kali mengedarkan uang kertas, antara lain

pecahan $5, $10, dan $20. Mereka menjadi alat pembayaran yang sah dengan Undang-Undang
tanggal 17 Maret 1862. Dimasukkannya "In God We Trust" pada mata uang semua yang

diperlukan oleh hukum pada tahun 1955. Moto nasional pertama kali muncul pada uang kertas

pada tahun 1957 pada Sertifikat Perak $1, dan pada semua nota dimulai dengan Seri 1963.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

           Berdasarkan zamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa

periode :

1. Zaman kerajaan hindu-buddha (850-1300)

        • Kerajaan Mataram Syailendra

        • Kerajaan Daha/Jenggala & Majapahit

2. Zaman kerajaan-kerajaan islam

        • Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)

        • Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)

        • Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)

        • Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)

3. Zaman perdagangan internasional

        • Perdagangan dengan Cina (850-1900)

        • Perdagangan dengan VOC (1602-1799)

        • Emergency Coins atau koin-koin darurat

4. Zaman pemerintahan hindia belanda, perancis, inggris (1800-1945)

        • Pendudukan Hindia Belanda (1800–1942)

        • Pendudukan Perancis (1806-1811)

        • Pendudukan Inggris (1811-1816)

        • British East India Company di Sumatera

        • Token-token Perkebunan dan Pertambangan

        • Mata uang lainnya

5. Zaman pendudukan jepang (1942-1945)


6. Zaman pemerintahan republik indonesia (1945 - ---)

DAFTAR PUSTAKA

Merza Gamal, Uang Perspektif Islam, 19 Juli 2006

Choudhury, Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy, (London: The Macmillan Press

Ltd, 1996)

Dr. Rif at al-‘Audi, Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin

Paul S. Mills dan John R. Presley, Islamic Finance, Theory

M. Nejatullah Siddiqi, “Teaching Economics in an Islamic Perspective.” Dalam Reading in

Macroeconomics, an Islami Perspective.  Ed. Sayyid Tahir et. al. (Selangor: Longman Malaysia

Sdn., Bhd., 1992)

Anda mungkin juga menyukai