Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

BAHASA INDONESIA

(KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI PULAU SUMATERA)

DISUSUN OLEH :

NAMA: AQILA DHIA RAMADHANI

KELAS : 6 IPS
PONPES NURUL HARAMAIN PUTRI

NW NARMADA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatrahmat dan
hidayahnya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kerajaan-Kerajaan
Islam Di Pulau Sumatera”

Berdasarkan sumber-sumber yang kami dapat dari luar maupun dari dalam, walaupun masih banyak
kekurangan. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai sejarah masuknya
islam ke Indonesia, juga memberikan penjelasan yang jelas mengenai proses masuknya islam ke
Indonesia serta menjelaskan islam pada masa yang akan datang.

Diharapkan bahwa makalah ini membantu pembaca untuk memahami dengan lebih baik
tentang Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara. Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, disebabkan
karena terbatasnya kemampuan kami, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami
perlukan dari pembaca. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 27 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1.
B. Rumusan Masalah 1.
C. Tujuan 1.

BAB II : PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Sumatera 2.


B. Keadaan Masyarakat Sumatra Sebelum Masuknya Islam 2.
C. Masuk dan Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan __________________3.
D. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera_________________________________4.
1. Kerajaan Perlak_______________________________________________4.
2. Kerajaan Samudra Pasai________________________________________5.
3. Kerajaan Aceh________________________________________________6.
4. Kerajaan Minangkabau_________________________________________7.
5. Kerajaan Riau________________________________________________7.
6. Kesultanan Palembang_________________________________________9.
7. Kerajaan Kesultanan Jambi_____________________________________9.

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan 10.

DAFTAR PUSTAKA _ 11.

ii.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan
perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.
Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi
titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan
menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang
berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para
pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M
sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra;
Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya
menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan
dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh
wilayah Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan latar
belakang di atas yakni sebagai berikut :
1. Sejarah masuknya islam di bumi Sumatra?
2. Bagaimana keadaan masyarakat sumatra sebelum masuknya islam?
3. Sebutkan Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera?

C. TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui sejarah masuknya islam pertama kali di pulau sumatera


2. Penjelasan tentang awal mula masuknya islam di pulau sumatera
3. Mengetahui keadaan masyarakat sebelum masuknya islam di pulau sumatera
4. Mengetahui Pembagian kerajaan-kerajaan islam di sumatera

1.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Sumatera


Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai
dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid,
makam, ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase pertama proses
kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para
pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui
berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke
wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin
dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para pedagang atau
masyarakat muslim asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam
baik sebagai istri ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera,
baru ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita
bernama Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah
Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke– 13. M.

B. Keadaan Masyarakat Sumatra Sebelum Masuknya Islam


Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara
menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan
menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama
Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh,
Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya diIslamkan oleh Syekh
Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis yang
strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi
salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis banyak saudagar-saudagar
muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak
Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak
Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus
dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya
dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya. Termasuk masuknya
Islam.
2.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri,
dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran
agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam dapat masuk dan
menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.

C. Masuk dan Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan


Palembang adalah kota yang memiliki letak geografis yang sangat strategis. Sejak masa
kuno, Palembang menjadi tempat singgah para pedagang yang berlayar di selat Malaka, baik yang
akan pergi ke negeri Cina dan daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan melewati jalur barat
ke India dan negeri Arab serta terus melewati jalur barat ke India dan negeri Arab serta terus ke
Eropa. Dan selain pedagang, para peziarah pun banyak menggunakan jalur ini. Persinggahan ini
yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Palembang (Sriwijaya pada waktu
itu) atau ke Sumatera Selatan.
Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh It’sing, ketika ia berlayar ke India dan akan
kembali ke negeri Cina dan tertahan di Palembang. Kemudian ia membuat catatan tentang kota dan
penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan abad ke– 7 M yang menjadi
tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa
setempat yang belum beragama Islam yaitu Palembang dan Keddah. Dengan demikian dapat
disimpulkan, pada permulaan abad ke- 7 M di Palembang sudah ada masyarakat Islam yang oleh
penguasa setempat (pada waktu itu Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan dapat
menjalankan ibadah menurut agama Islam.
Selain itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang erat antara
perdagangan yang diselenggarakan oleh kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya. Yaitu
dengan mempertimbangkan sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan raja Ta-che (sebutan
untuk Arab) ke Kalingga pada 674 M, dapatlah dipastikan bahwa di Sumatera Selatan pun telah
terjadi proses awal Islamisasi. Apalagi T’ang menyebutkan telah adanya kampong Arab muslim di
pantai Barat Sumatera.
Sesuai dengan keterangan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia tidak mengadakan invasi
militer dan agama, tetapi hanya melaui jalan perdagangan. System penyebaran Islam yang tidak
kenal misionaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui perang, melinkan hanya melaui
perdagangan saja memungkinkan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan penyebaran agama Budha,
dapat menerima kehadiran Islam di wilayahnya.
Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal memiliki kekuatan maritim yang tangguh. Walaupun
ada yang meragukan hal tersebut karena melihat kondisi maritime bangsa Indonesia sekarang.

3.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan putra pribumi ikut berlayar bersama para
pedagang Islam ke pusat agama Islam yaitu mekkah. Dan tidak menutup kemungkinan pula, putera
pribumi mengadakan ekspedisi ke timur tengah untuk memperdalam keilmuan agama Islam.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia tidak serta merta menunggu para
pedagang Islam baik itu dari bangsa Arab ataupun sekitarnya untuk mencari tambahan
pengetahuannya tentang ajaran agama Islam.

D. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera

1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada
abad ke-3 H (9 M). Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak
membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nakhoda khalifah. Kerajaan Perlak didirrikan oleh
Sayid Abdul Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana
Abdul Aziz Syah. Pada akhir abad ke 12, di pantai timur Sumatera terdapat negara Islam bernama
Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para pedagang asingg dari Mesir,
Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di wilayah itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah
orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak.
Dari perkawinan tersebut ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz
adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, bernama
Alaudin Syah. Demikian ia dikenal sebagai sultan Alaidin Syah dari negeri Perlak.
Angkatan dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri dari
orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan keluarga
istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan seorang putri
yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi. Dari
perkawinan ini lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab Perlak pada tahun 225 H.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan
Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari
(Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan
Raja Tumasik (Singapura sekarang).

4.
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan
Muhammad Syah.Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-
692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan
Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul
Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri.
Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari
tembaga atau kuningan.

2. Kerajaan Samudera Pasai


Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi
perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim,
menyatakan bahwa kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau
pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya. Berdasarkan berita dari
Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam, yaitu kerajaan
Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297
M), Raja pertama Samudra Pasai.
Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah
Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari
Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh
berita China dan pendapat Ibn Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai pada pertengahan abad
ke 14 M (tahun 746 H/1345 M). Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah
menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan
mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan,
Malikul Zhahir tidak pernah bersikap sombong. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat
menyambut rombongan Ibnu Battutah.
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-
ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah
Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam.
Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk
agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit
dan Malaka.

5.
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan
bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat
perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan hanya
perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai
mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal
sebagai uang dirham.

3. Kerajaan Aceh
Kurang diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat,
sebagaimana yang dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15
M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang
membangun kota Aceh Darussalam.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang
dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya,
ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya,
termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang
terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie),
Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial
Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat
pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam
wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam
dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di Bengkulu di
pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman. Kegiatan
perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya
meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat
pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah,
dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal,
seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.

6.
4. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau yang merupakan salah
satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-
daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan
sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa
Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para
musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama
Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin
Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung.
Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam
yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam.
Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang
artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan
pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau.
Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar
dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan
ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan
dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari
kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung
kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin
(Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang
dipakai sebelumnya.

5. Kerajaan Riau
Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang
mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera
tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada
penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari - Kerajaan Bintan-Tumasik abad
12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu - zaman Melaka abad 14-15 m, -
zaman Johor-Kampar abad 16-17 m, - zaman Riau-Lingga abad 18-19 m

7.
Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan gelar Sri Tri Buana, Maharaja Tiga Dunia
(Bhuwana, Kw, Skt berarti dunia), seorang pangeran, keturunan raja besar. Ia sangat berpandangan
luas, cerdik cendikia, mempunyai gagasan untuk menyatukan nusantara dan akhirnya beliaulah
pula yang membukakan jalan bagi perkembangan islam di seluruh nusantara. Paramesywara adalah
keturunan raja-raja Sriwijaya-Saildendra. Menurut M.Said (dalam bukunya Zelfbestuur
Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Raja Sultan Iskandar Zulkarnain di Hindustan yang
melawat ke Melaka, beranak tidak orang laki-laki. Diantara putranya adalah Sang Si Purba, kawin
dengan Ratu Riau. Dari puteranya menjadi turunan Raja Riau. Sang Si Purba sendiri pergi ke Bukit
Sigantung Mahameru (Palembang) menjadi Raja dan kawin disana. Ia melawat ke Minangkabau
dan menjadi Raja Pagarruyung. Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan Siak Sri
Indrapura.
Menurut Sejarah Melayu tiga bersaudara dari Bukit Siguntang menjadi raja di Minangkabau,
Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang ketiga memerintah di Palembang..Yang menjadi Raja
di Palembang adalah Sang Nila Utama. Sang Nila Utama inilah yang menjadi Raja di Bintan dan
Kemudian Singapura
Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, ada disebutkan, raja di “Keindraan” bernama Sang
Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil dan beranak seorang perempuan
yang diberi nama Puteri Kemala Ratna Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau
bernama : Biram Dewa.. Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut. Akhirnya
kawin dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang dinamai Sang Purba.
Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Sigintang Mahameru. Sang purba
dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba kawin dengan puteri yang berasal dari muntah seekor
lembu yang berdiri ditepi kolam dimana sang puteri sedang mandi. Lahir seorang putra dinamai
Sang Maniaka dan kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang
Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan singapura.
- Islam Masuk ke Riau
Sebelum masuknya agama Islam ke daerah Riau, tidak ada seorangpun dari penduduk Riau
yang memegang agama tauhid. Agama penduduk asli adalah anismisme yang percaya ruh nenek
moyang dan para leluhur, kemudian menyusul pada sebagian penduduk mereka yang beragama
Budha dan sekali berkembang menjadi Hindu-BudhaNah dalam kesempatan ini , agar lebih jelas
pembahasan masuk Islam ke Riau dibatasi kepada beberapa daerah, yaitu: Kuntu-Kampar, Rokan,
Kuantan, Indragiri, danTaqpung. Menurut Sejarah
Riau, Kuntu-Kampar adalah daerah pertama-tama di Riau Daratan yang berhubungan
dengan orang-orang Islam (pedagang). Hal ini dimungkinkan karena sejak zaman bahari daerah ini
telah berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari negeri Cina, India, dan Arab-Persia.
Hubungan tersebut didasarkan oleh kepentingan perdagangan, karena daerah lembah sungai
Kampar Kanan/ Kiri merupakan daerah penghasil lada terpenting di dunia dalam periode 500-140
M. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau daerah Kuntu-Kampar yang mula-mula dimasuki
agama Islam.

8.
Berdasarkan perjalanan para penyiar agama Islam yang dating sebagai pedagangitu, maka
besar kemungkinan pada abad pertama hiriah atau abad ke-7 M agama Islam itu mungkin telah
sampai di Riau, sebagaimana juga disimpulkan oleh seminar masuknya islam ke nusantara di Aceh
tahun 1980. Meskipun Islam telah masuk pada abad ke 7 atau 8 Masehi di Riau, namun penganut
agama ini masih terbatas di lingkungan para pedagang dan penduduk kota di pesisir pantai tersebut.
Hal ini disebabkan karena kuatnya pengaruh agama Budha yang merupakan agama Negara dalam
kerajaan Sriwijaya waktu itu.

6. Kesultanan Palembang
Pada waktu daerah Palembang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit, di daerah ini
ditempatkan seorang Adipati bernama Ario Damar. (14—15 H/1447 M). Pada awalnya ia
beragama Hindu, lalu kemudian memeluk Islam. Hal ini menunjukkan bahwasanya pada waktu itu,
Islam sudah dominant di Palembang.
Pada suatu hari, Ario Damar mendapat hadiah salah seorang selir dari Prabu Kertabumi, yang
bernama Putri Campa yang sedang hamil tua. Yang kemudian lahir dari rahimnya seorang anak
yang bernama Raden Patah.
Pada tahun 1473, raden Patah bersama adiknya Raden Kusen (Ario Dillah), menghadap
Prabu Kertabumi. Mereka mendapat kepercayaan untuk membangun desa Bintoro, yang nantinya
berkembang dengan pesat dan menjadi kerajaan Islam Demak yang pada akhirnya menghancurkan
Majapahit.
Pada tahun 1528, Demak di serang oleh kerajaan Pajang dan mengalami kekalahan. Para
pembesar kerajaan dipimpin oleh Pangeran Sedo Ing Lautan bermigrasi ke Palembang yang
kemudian mendirikan kerajaan Islam Palembang
Pada akhirnya kesultanan Palembang hilang karena dihapus status kesultanannya
oleh colonial Belanda

7. Kerajaan Kesultanan Jambi


Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam yang berkedudukan di Provinsi Jambi sekarang.
Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan - Kerajaan
Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota dii utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan
dengan Kesultanan Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Kesultanan Jambi juga
mengendalikan Lembah Kerinci, meskipun pada masa akhir kekuasaannya, kekuasaan nominal
tidak lagi diperdulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di Kota Jambi, yang terletak di pinggir
sungai Batanghari.

9.
- Sejarah
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu dan kemudian menjadi bagian
dari Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan Vasal Majapahit, dan pengaruh jawa masih
terus mewarnai Kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan abad ke-18.
Berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah itu. pada tahun
1616 Jambi merupakan Pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh, dan pada tahun 1670
kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang. Namun
kejayaan Jambi tidak berumur panjang, Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan
sebagai Pelabuhan Lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir,
menyerah kepada Belanda, Jambi digabungkan dengan Keresidenan Palembang. Tahun 1906
Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Apabila tulisan Suryadinegara adalah tulisan yang mendekati keotentkian sebuah penelitian,
itu artinya proses penyearan ajaran islam tidak hanya berakar dari para pendatang atau para
pedagang. Dapat disimpulkan bahwa pelaku dan cara masuknya islam disumatra-selatan tidak
ubahnya seperti terjadi pada wilayah Indonesia lainnya, dilakukan oleh putra Indonesia dan tidak
berjalan pasif. Dengan pengertian bangsa Indonesia tidak menunggu kedatangan bangsa Arab
semata dengan upayanya mencari tambahan pengetahuan tentang agama islam.
Khusus untuk Sumatra-selatan, masuknya agama islam selain dilakukan oleh bangsa arab,
pedagang utusan kholifah Umayah (661-750) dan kholifah Abbasiyah (750-1268), juga
perdagangan dari Sriwijaya berlayar ketimur tengah. Hal yang demikian ini tidak bertentangan,
sekalipun Sriwijaya sebagai pusat pengembangan ajaran budha, tetapi, karena watak Indonesia
yang mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, maka, di
wilayah kerajaan Sriwijaya di izinkan masuknya agama islam melalui jalur perdagangan. Factor
yang terakhir inilah yang memungkinkan Sriwijaya menempuh Sistem pintu terbuka dalam
menghadapi kenyataan masuknya agama islam.
10.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami,
penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10
Amin, Samsul Munir , Drs., M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika, 2009)
http://education.poztmo.com/2011/06/kesultanan-samudera-pasai.html, di unduh pada tanggal 12 Mei 2012
http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-
melampaui-sekat-sekat kewilayahan & catid =34: artikel & Itemid= 59…. diakses pada tanggal 12 Mei
2013.
http://www.minangforum.com/Thread-Sejarah-Islam-di-Minangkabau, di unduh pada tanggal 12 Mei 2013.
http://imagination-my.blogspot.com/2012/09/bukti-bukti-masuknya-islam-di-indonesia_1.html, di akses pada
tanggal 15 Mei 2013
Syamsu As, Muhammad , Drg., H., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1996).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011), cet. 23.
11.

Anda mungkin juga menyukai