Anda di halaman 1dari 16

Makalah Uang dalam Pandangan Islam

Disusun Oleh Muazzin, S.H.I

Alumni PTI Al-Hilal Sigli Tahun 2015

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga

disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,

seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah

membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

           Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Mata Uang Dalam Islam pada Program

Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat

judul “Uang Dalam Pandangan Islam”.

    Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat

mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                                                         Wassalam

                                                                                                                         Penulis,

                                                                                                                         KELOMPOK 5

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  i

DAFTAR ISI  ii

BAB I PENDAHULUAN
                A. Latar Belakang   1

                B. Rumusan Masalah 1 

                C. Tujuan penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN

                A. Pengertian uang                           2

                B. Sejarah singkat uang sebelum dan sesudah islam   3

                C. Konsep uang dalam islam                 7

                D. Makna uang dalam pandangan islam         9

                E. Ekonomi makro dengan uang                                 11

                F. Perbedaan uang dalam ekonomi islam dan konvensional 14

BAB III PENUTUP

                A. Kesimpulan 16

DAFTAR PUSTAKA   17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Dalam membicakan ekonomi pada umumnya, dan ekonomi islam pada khususnya, rasanya

agak janggal jika tidak memulainya dengan membicarakan “Uang”. Apalagi, jika pembahasan

ekonomi ini terfokus pada masalah atau topic moneter dan fiscal. Uang adalah alat untuk

memenuhi kebutuhan manusia. Sejak perabadan kuno mata uang logam sudah menjadi alat

pembayaran yang biasa gunakan walaupun belum sesempurna sekarang. Kebutuhan menghendaki

adanya alat pembayaran yang memudahkan pertukaran barang agar pekerjaan dapat lebih

mudah.

           Oleh karena itu, uang oleh sebagian besar penduduk bumi ini dipandang sebagai suatu

yang penting. Sebab uang dapat dijadikan alat pemenuhan kebutuhan manusia, alat pemudah

aktivitas ekonomi. Dengan adanya uang yang berfungsi sebagai alat pembayaran akan
memudahkan pertukaran barang, sehingga pekerjaan dapat dijalankan lebih mudah. Kebutahan

uang muncul karena system barter ternyata banyak menimbulkan kesukaran.

B. Rumusan Masalah

        1. Menjelaskan pengertian uang

        2. Menjelaskan sejarah singkat uang sebelum dan sesudah islam

        3. Menjelaskan konsep uang dalam islam

        4. Menjelaskan makna uang dalam pandangan islam

        5. Menjelaskan ekonomi makro dengan uang

        6. Menjelaskan perbedaan konsep uang dalam ekonomi islam dan konvensional

C. Tujuan Penulisan

          Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping memenuhi tugas

dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa pada umumnya mampu

memahami tentang sejarah perkembangan mata uang.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Uang

           Dalam ekonomi Islam, secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu, pengertiannya

ada beberapa makna yaitu: al-naqdu berarti yang baik dari dirham, menggenggam dirham,

membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai. Kata nuqud tidak terdapat dalam al-Quran

dan hadis, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga.

Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan kata

dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan wariq

untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘ain untuk menunjukkan dinar emas.

         Sedangkan kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk

membeli barang-barang murah. Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang

dicetak, tapi mencakup seluruh jenisnya dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukkan dirham dan

dinar mereka mengunakan istilah naqdain. Namun mereka berbeda pendapat apakah fulus

termasuk dalam istilah naqdain atau tidak. Menurut pendapat yang mu’tamad dari golongan

Syafi’iyah, fulus tidak termasuk naqd, sedangkan Mazhab. Hanafi berpendapat bahwa naqd

mencakup fulus.
         Defenisi nuqd menurut Abu Ubaid (wafat 224 H), seperti yang dikutip Ahmad Hasan dirham

dan dinar adalah nilai harga sesuatu. Ini berarti dinar dan dirham adalah standar ukuran nilai yang

dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa. Senada dengan pendapat ini, Al-Ghazali (wafat 595

H) menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh

harta, sehinga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (wafat 751 H)

berpendapat dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Ini mengisyaratkan bahwa

uang adalah standar unit ukuran untuk nilai harga komoditas.

         Dalam pengertian kontemporer, uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat

sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar atau perdagangan dan sebagai standar

nilai. Taqyudin al-Nabhani menyatakan, nuqud adalah standar nilai yang dipergunakan untuk

menilai barang dan jasa. Oleh karena itu uang didefenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan

untuk mengukur barang dan jasa. Jadi uang adalah sarana dalam transaksi yang dilakukan dalam

masyarakat baik untuk barang produksi mapun jasa, baik itu uang yang berasal dari emas, perak,

tambaga, kulit, kayu, batu, besi, selama itu diterima masyarakat dan dianggap sebagai uang.

Untuk dapat diterima sebagai alat tukar, uang harus memenuhi persyaratan tertentu yakni: 

1. Nilainya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

2. Tahan lama.

3. Bendanya mempunyai mutu yang sama.

4. Mudah dibawa-bawa.

5. Mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya.

6. Jumlahnya terbatas (tidak berlebih-lebihan)

7. Dicetak dan disahkan penggunaannya oleh pemegang otoritas moneter (pemerintah).

     

           Penerbitan uang merupakan masalah yang dilindungi oleh kaidah-kaidah umum syari’at

Islam. Penerbitan dan penentuan jumlahnya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan

kemaslahatan umat, karena itu bermain-main dalam penerbitan uang akan mendatangkan

kerusakan ekonomi rakyat dan negara. Misalnya hilangnya kepercayaan terhadap mata uang

akibat turunnya nilai uang yang bisa saja disebabkan oleh pembengkakan jumlah uang beredar,

dan sebagainya. Kondisi ini biasanya diringi dengan munculnya inflasi di tengah masyarakat yang

justru mendatangkan kemudaratan pada rakyat. Karena ekonom muslim berpendapat bahwa

penerbitan uang merupakan otoritas negara dan tidak dibolehkan bagi individu untuk melakukan

hal tersebut karena dampaknya sangat buruk.

        Dalam hal ini Imam Ahmad mengatakan tidak boleh mencetak uang melainkan dipercetakan

negara dan dengan seizin pemerintah, karena jika masyarakat luas dibolehkan mencetak uang

akan terjadi bahaya besar. Untuk menjaga stablitas nilai tukar uang, Ibn Taimiyah (1263-1328 M)

menegaskan, pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam masalah ini harus mencetak uang
sesuai dengan nilai transaksi dari penduduk. Jumlah uang yang beredar harus sesuai dengan nilai

transaksi. Ini berarti Ibn Taimiyah melihat hubungan yang erat antara jumlah uang beredar

dengan total nilai transaksi dan tingkat harga.

B. Sejarah Singkat Uang Sebelum dan Sesudah Islam

         Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdangangan telah dikenal ribuan tahun

yang lalu seperti dalam mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Dlaam bentuknya yang lebih

standar uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sektar tahun 46 SM .

Julia Caesar ini pula yag memperkenalkan standar konversi dari uang perak dan sebaliknya

dengan perbandingan 12:1 untuk perak terhadap emas. Standar Julius Caesar ini berlaku di

belahan dunia eropa selama sekitar 1250 tahun yaitu sampai tahun 1204. 

          Sampai abad ke 13 baik di negeri Islam maupun di negeri non islam sejarah menunjukkan

bahwa mata uang emas yang relatif standar secara luas digunakan. Pada akhir abad 13 tersebut

islam mulai merambah Eropa dengan berdiri kekhalifah Ustmaniyah dan tonggak sejarahnya

tercapai pada tahun 1453 ketika Muahammad Al Fatih menaklukkan konstatinopel dan terjadilah

penyatuan dari seluruh kekuasaan Khalifahan Ustmaniyah. Selama tujuh abad dari abad 13

sampai awal abad 20, dinar dan dirham adalah mata uang yang paling luas digunakan .

Penggunaan dinar dan dirham meliputi seluruhwilyah kekuasaan usmaniyah yang meliputi 3 benua

yaitu Eropa bagian timur dan selatan, Afrika utara dan Asia. Pada puncak kejayaannya kekuasan

Turki Usmaniyah pada abad 16 dan 17 ditambah dengan masa kejayaan islam sebelumya yaitu

masa awal Rasulullah maka secara keseluruhan Dinar dan Dirhamadalah mata uang modern yang

dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah manusia.

           Selain emas dan perak, baik di negeri islam maupun non islam juga dikenal uang logam

yang terbuat dari logam tembaga atau perunggu. Dalam fiqh islam, uang emas dan perak dikenal

sebagai alat tukat yang hakiki, sedangkan uang dari tembaga atau perunggu dikenal sebagai fulus

dan menjadi alat tukarberdasarkan kesepakatan. Dan sisi sifatnya yang tidak memiliki nilai

intrinsic sebagai nilai tukarnya, fulus ini lebih dekat kepada sifat uang kertas yang kita kenal

sekarang.

1. Uang Pada Masa Rasulullah

        Bangsa arab di Hijaz pada masa jahiliah belum memiliki mata uang tersendiri. Mereka

menggunakan mata uang yang merka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan

Dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman.

Kabilah Quraish mempunyai tradisi melakukan perjalanan dagang dua kali dalam setahun; ketika

musim panas ke negeri Syam (Syria,sekarang) dan pada musim dingin ke negeri Yaman. Firman

Allah SWT.:
Artinya : Karena kabiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim

dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah).

Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan

mereka dari ketakutan (QS Al-Quraisy [106]:1-4).

          Penduduk Mekkah tidak memperjual belikan kecuali sebagian emas yang tidak ditempa dan

tidak menerimanya kecuali dalam ukuran timbangan. Mereka tidak menerima dalam jumlah

bilangan. Hal ini disebabkan beragamnya bentuk dirham dan ukurannya dan munculnya penipuan

pada mata uang mereka seperti nilai tertera yang melebihi dari nilai yang sebenarnya.

           Ketika Nabi Saw diutus sebagai nabi dan rasul oleh Allah SWT, beliau menetapkan apa

yang sudah menjadi tradisi penduduk Mekkah. Dan beliau memrintahkan penduduk Madinah untuk

mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekkah ketika itu mereka berinteraksi ekonomi dengan

menggunakan Dirham dalam jumlah bilangan bukan ukuran timbangan. Beliau bersabda:

“Timbangan adalah timbangan penduduk Mekkah sedang takaran adalah takaran penduduk

madinah.” 

         Sebab munculnya perintah itu adalah perbedaan ukuran dirham Persia karena terdapat tiga

bentuk cetakan uang:

a. Ukuran 20 qirath (karat);

b. Ukuran 12 karat;

c. Ukuran 10 karat. 

2. Uang Pada Masa Khulafaurrasyidin

            Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, beliau tidak melakukan perubahan terhadap

mata uang yang beredar. Bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan pada masa Rasulullah,

yaitu penggunaan mata uang Dinar Haercules dan Dirham Persia.

         Begitu pula ketika Umar bin Khattab dibaiat sebagai khalifah, sibuk melakukan penyebran

Islam ke berbagai negara dan menetapkan uang sebagai mana yang sudah berlaku. Hanya pada

tahun 18 H, menurut riwayat tahun 20 H, dicetak Dirham Islam. Akan tetapi Dirham tersebut,

bukan cetakan asli Islam, akan tetapi masih mengkuti model cetakan Sasanid berukiran Kisra

dengan beberapa tambahan berupa ukiran di lingkaran yang meliputi ukiran Kisra ditambah ukiran

beberpa kalimat tauhid dalam jenis tulisan Kufi, seperti kalimat Bismillah, Bismillah Rabbi,

Alhamdulillah, dan pada sebagian lagi kalimat Muhammad Rasulullah.


       Ukuran Dirham Islam ketika itu adalah 6 daniq dan ukuran setiap 10 dirham adalah 7 mitsqal

sebagaimana pada masa Nabi Saw. Ketika itu ukuran hanya dalam ingatan maka pada masa Umar

dituliskan di cetakan dirham. 

         Pada masa Ustman bin Affan, dicetak dirham seperti model dirham Khalifah Umar bin

Khattab dan ditulis juga kota tempat pencetakan dan tanggalnya dengan huruf Bahlawiyah dan

salah satu kalimat Bismillah, Barakah, Bismilah Rabbi, Allah, dan Muhammad dengan jenis tulisan

Kufi.

       Ketika Ali bin Abi Talib menjadi khalifah, beliau mencetak dirham mengikuti model kahlifah

Usman bin Affan dan menuliskan di lingkarannya salah satu kalimat Bismillah, Bismillah Rabbi, dan

Rabiyallahdengan jenis tulisan Kufi.

3. Uang pada masa Dinasti Umawiyah

            Pencetakan uang pada masa dinasti Umawiyah semenjak masa Muawiyah bin Abi Sofyan

masih meneruskan model Sasanid dengan menambahkan beberpa kata tauhid seperti halnya pada

masa Khulafaurrasyidin.

            Pada masa Abdul Malik bin Marwan, setelah mengalahkan Abdullah bin Zubair dan

Mush’ab bin Zubair, beliau menyatukan tempat percetakan. Dan pada tahun 76 H, beliau membuat

mata uang Islam yang bernafaskan model Islam tersendiri, tidak ada lagi isyarat atau tanda

Byzantium atau Persia. Dengan demikian, Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang pertama kali

mencetak dinar dan dirham dalam model Islam tersendiri. 

4. Uang Pada Masa Dinasti Abbasiah

          Pada masa Abbasiah, pencetakan dinar masih melanjutkan cara Dinasti Umawiyah. Al-

Saffah mencetak dinarnya yang pertama pada awal berdirinya Dinasti Abbasiah pada tahun 132 H

mengikuti model dinar Umawiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukirannya.

           Sedangkan dirham, pada awalnya ia kurangi satu butir kemudian dua butir. Pengurangan

ukuran dirham terus berlanjut pada masa Abu Ja’far al-Manshur, dia mengurangi tiga butir hingga

pda masa Musa al-Hadi kurangnya mencapai satu karat. Dinar menjadi tidak seperti aslinya,

pengurangan terus terjadi setelah itu. Namun demikian nilainya, nilainya tetap dihitung seperti

semula. Al-Maqrizy berkata: “Pada bulan Rajab tahun 191, dinar Hasyimiah mengalami

pengurangan sebanyak setengah butir dan hal itu terus berlanjut sepanjang periode tapi masih

berlaku seperti semula.” 

            Dengan demikian kita dapat membedakan dua fase pada masa Dinasti Abbasiah. Fase

pertama, terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham kemudian dinar. Fase kedua, ketika

pemerintahan melemah dan para pembantu (Mawali) dari orang Turki ikit seta dalam urusan

Negara. Ketika itu pembiayaan seamakin besar, orang-orang sudah menuju kemewahan sehingga
uang tidak lagi mencukupi kebutuhan. Negara pun membutuhkan bahan baku tambahan,

terjadilah kecurangan dalam pembuatan dirham dan memcampurkannya dengan tembaga untuk

memperoleh keuntungan dari margin nilai tertulis dengan nilai actual.

          Para fuqaha menolak pencetakan dirham yang curang karena terjadi pengrusakan terhadap

uang, merugikan yang berhak, dan menyebabkan naiknya harga-harga (inflasi). Inflasi tersebut

disebabkan nilai uang dirham tertulis melebihi dari nilai yang sebenarnya.

C. Konsep  Uang Dalam Islam

          Konsep uang dalam ekonomi islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi

konvensional. Dalam ekonomi islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah

uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi

konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan

secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.  

         Perbedaan lain adalah bahwa dalam ekonomi islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow

concept dan capital adalah sesuatu yang bersifat stock concept, sedangkan dalam ekonomi

konvensional terdapat beberapa pengertian. Frederic s. Mishkin, misalnya, mengemukakan konsep

Irving fisher yang menyatakan bahwa:

MV = PT

Keterangan:

M = Jumlah uang

V = Tingkat perputaran uang

P = Tingkat harga barang

T = Jumlah barang yang diperdangkan

            Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang (V), maka

semakin besar income yang diperoleh. Persamaan ini juga berarti juga bahwa uang adalah flow

concept. Fisher juga mengatakan bahwa sama sekali tidak ada kolerasi antara kebutuhan

memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga. Konsep fisher ini

hampir sama dengan konsep  yang ada dalam ekonomi islam, bahwa uang adalah flow concept,

bukan stock concept. Pendapat lain yang diungkapkan oleh Mishkin adalah konsep dari Marshall

pigou dari Cambridge yaitu:

                                                       MV = PT

Keterangan:

M = Jumlah uang

K = 1/v

P = Tingkat harga barang

T = Jumlah barang yang diperdangkan


            Walaupun secara matematis k dapat dipindahkan kekiri atau ke kanan, secara fiosofis

kedua konsep ini berbeda. Dengan adanya k pada persamaan marshall pigou di atas menyatakan

bahwa demand for holding money adalah suatu proporsi (K) dari jumlah pendapatan (PT).

semakin besar k, semakin besar demand for holding money (M), untuk tingkat pendapatan

tertentu (PT). ini berarti konsep dari marshall pigou mengatakan bahwa uang adalah stock

concept. Oleh sebab itu, kelompok Cambridge mengatakan bahwa uang adalah salah satu cara

untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).

             Dari uraian di atas, jelas bahwa kita tidak boleh gegabah untuk mengatakan bahwa

perbedaan Islam dan konvensional adalah Islam memandang uang sebagai flow concept, dan

konvensional memandang uang sebagai stock concept. Pandangan seperti itu menjadi keliru.

Karena pada kenyataannya, dalam ekonomi konvensional sendiri terjadi pertentangan yang hebat

antara kelompok Friedman dan kaum monetaris di satu kubu, dengan kaum Keynesian dan

Cambridge School di kubu yang lain. Kelompok yang pertama mengatakan, misalnya Fisher,

bahwa uang adalah flow concept, sedangkan kelompok yang kedua menyakatakan bahwa uang

adalah stock concept.

          Dalam Islam, capital is private goods, sedangkan money is public goods. Uang yang ketika

mengalir adalah publid goods (flow concept), lalu mengendap ke dalam kepemilikan seseorang

(stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (private good).

      Konsep public goods belum dikenal dalam teori ekonomi sampai tahun 1980-an. Baru setelah

muncul ekonomi lingkungan, maka kita berbicara tentang externalities, public goods, dan

sebagainya. Dalam islam, konsep ini sudah lama dikenal, yaitu ketika Rasulullah mengatakan

bahwa “Manusia mempunyai hak bersama dalalm tiga hal; air, rumput dan api” (Riwayat Ahmad,

Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dengan demikian berserikat dalam hal public goods bukan

merupakan hal yang baru dalam ekonomi islam, bahkan konsep ini sudah terimplementasi, baik

dalam bentuk musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan lain-lain.

        Untuk lebih jelasnya, konsep private dan public goods masing-masing dapat diilustrasikan

dengan mobil dan jalan tol. Mobil adalah private good (capital) dan jalan tol adalah public good

(money). Apabila mobil tersebut menggunakan jalan tol, baru kita dapat menikmati jalan tol.

Namun, apabila mobil tersebut tidak menggunakan jalan tol, maka kita tidak akan menikmati jalan

tol tersebut. Dengan kata lain, jika uang diinvestasikan dalam proses produksi, maka kita baru

akan mendapatkan lebih banyak uang. Sedangkan dalam konsep konvensional uang dan capital

dapat menjadi private goods, maka bagi mereka jika mobil diparkir di gerasi ataupun digunakan di

jalan tol, mereka tetap akan menikmati manfaat dari jalan tol tersebut. Apakah uang

diinvestasikan pada proses produksi aau tidak, mereka tetap harus mendapat lebih banyak uang.

Di sinilah letak keanehan teori bunga (interest theory) yang dikemukakan oleh para ekonom

konvensional.
D. Makna Uang Dalam Pandangan Islam

           Uang yang merupakan pelicin jalannya suatu perekonomian memang selalu menjadi suatu

topik yang hangat untuk dibicarakan. Ibarat sebuah mesin tanpa minyak, perekonomian juga tidak

akan jalan tanpa adanya uang. Namun, banyak di antara kita yang hanya memahami makna uang

dalam konteks bentuknya sebagai uang kertas dan uang logam. Padahal,definisi uang adalah

segala sesuatu yang dapat diterima sebagai alat pembayaran untuk barang dan jasa dalam suatu

sistem perekonomian. Faktanya, di zaman kuno orang menggunakan batu, kulit hewan, garam,

dan kulit kerang sebagai uang. Dizaman Rasulullah (SAW), koin emas (dinar) yang berasal dari

Romawi dan koin perak (dirham) yang berasal dari Persia merupakan dua logam mulia yang

dianggap sebagai mata uang. Di zaman sekarang, uang kertas (fiat money) sudah menjadi alat

pembayaran yang umum digunakan di seluruh negara di dunia.

          Pada asalnya uang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai alat tukar, penyimpan

nilai, dan pengukur nilai sebuah komoditas. Namun, dengan menyebar luasnya sistem bunga

dalam transaksi keuangan saat ini, fungsi uang sudah bertambah menjadi sebuah komoditas.

Fungsi uang sebagai komoditas didukung oleh beberapa teori keuangan kontemporer seperti

dalam Loanable Funds Theory. Dalam teori ini bunga (interest) dianggap sebagai harga dari dana

yang tersedia untuk dipinjamkan (loanable fund) yang menjadi salah satu variable yang

mempengaruhi tingkat penawaran (supply of) dan permintaan (demand for) dari loanable fund

tersebut. Berdasarkan teori di atas,dapat disimpulkan bahwa penyuplai loanable fund akan

bersedia memberikan pinjaman uang kepada peminjam hanya apabila si peminjam bersedia

mengembalikan uang pinjamannya dalam jumlah yang lebih besar dari pokok pinjamannya. Selisih

antara jumlah yang harus dibayarkan peminjam dan pokok pinjamannya itulah yangdisebut

bunga. Secara kontrak, harga (bunga) tersebut mesti dibayar peminjam dalam keadaan apa pun

(usaha si peminjam untung atau rugi) kepada pemberi pinjaman, karena si pemberi pinjaman

dianggap sudah menjual sebuah komoditas yang disebut dengan uang.

          Di sini sangat jelas terlihat bahwa dalam sistem keuangan yang berlaku sekarang, uang

sudah dianggap sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Hal ini berlawanan dengan

pandangan Islam yang tidak menerima fungsi uang sebagai suatu komoditas. Hal itu dikarenakan

uang tidak memenuhi syarat sebagai sebuah komoditas. Menurut Syeikh Muhammad Taqi Usmani,

pakar Syariah keuangan Islam, setidaknya ada 3 faktor yang membedakan uang dengan

komoditas. 

          Pertama, uang tidak memiliki kegunaan instrinsk (intrinsic utility). Berbeda dengan

komoditas, uang tidak bisa dimakan,dipakai, atau digunakan secara langsung. Uang hanya bisa

ditukar dengan komoditas, lalu komoditas itu yang akan di makan, dipakai atau digunakan. Dalam
istilah ekonomi, uang hanya memiliki value in exchange sementara komodita smemiliki value in

exchange dan value in use sekaligus.

         Kedua, uang tidak memerlukan kualitas untuk menentukan nilainya, dalam artian uang

kertas Rp 100,000 yang sudah lusuh terbitan tahun 2007 dengan uang kertas Rp 100,000 yang

baru terbitan tahun 2009 memiliki daya beli yang sama. Lain halnya dengan komoditas, sebagai

contoh, mobil Honda Jazz keluaran 2007 dengan Honda Jazz keluaran Januari 2009 memiliki harga

yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kualitas antara kedua mobil di atas yang

tecermin dari perbedaan nilai dan harganya.

           Ketiga, uang tidak memerlukan spesifikasi ketika berlakunya transaksi, sementara

komoditas mempunyai sifat yang spesifik ketika berlakunya transaksi. Sebagai contoh, jika kita

ingin membeli barang kita akan memilih barang yang kita inginkan sesuai selera kita,seperti

warna, aksesoris pelengkap lainnya. Artinya, jika si penjual menawarkan barang yang sama tapi

warnanya tidak sesuai dengan selera kita mungkin kita akan menolak. Tetapi, lain halnya dengan

uang yang bersifat tidak spesifik.Sebagai contoh, untuk pembayaran tagihan listrik bulanan

sebesar Rp 300.000. kita bisa membayar tagihan tersebut dengan menggunakan tiga lembar uang

Rp100.000 atau empat lembar uang Rp 50.000 ditambah satu lembar Rp 100.000 bahkan kita bisa

bayar tagihan tersebut dengan tiga ratus lembar Rp 1.000. Bagi sipenerima tidak akan ada

perbedaan nilai dalam ketiga cara pembayaran di atas.

            Ada satu lagi tambahan perbedaan antara uang dengan komoditas, khususnya dengan

uang fiat yang kita gunakan sekarang ini.Uang kertas (fiat money) yang berlaku saat ini tidak

memiliki nilai intrinsic (intrinsic value). Uang kertas menjadi alat tukar yang sah melalui undang-

undang yang dikeluarkan sebuah negara yang menyatakan keabsahan uangtersebut. Hal ini

menunjukkan bahwa diterimanya uang kertas sebagai alat pembayaran hanya dikarenakan faktor

kepercayaan kepada pemerintah yang menjamin keabsahan uang kertas tersebut. Artinya, apabila

kepercayaan itu hilang atau berkurang maka nilai uang tersebut akan melemah (terdepresisasi)

dikarenakan orang lebih banyak melepas, dengan cara menjual uang tersebut, daripada ingin

memilikinya. Karena jelas, memilikinya tidak punya nilai intrinsik.

           Namun, perlu juga ditegaskan di sini bahwa uang fiat adalah uang yang sah di sisi syariah.

Penulis tidak setuju dengan pandangan bahwa hanya uang emas yang sah di sisi syariah.

Memang, benar uang emas adalah uang yang paling baik dan paling stabil nilainya, dan kalau kita

bisa kembali menggunakan emas sebagai standar nilai uang, sudah tentu sistem keuangan dunia

akan jauh lebih baik. Namun, mengklaim bahwa hanya emas atau perak saja yang diakui Islam

sebagai uang dan selain emas dan perak maka tidak sah, hal ini adalah klaim yang berlebihan.

Buktinya, Khalifah Umar pernah berniat untuk menjadikan kulit unta sebagai mata uang, namun

kemudian dinasihati supaya tidak melakukannya, karena nantinya unta akan pupus dari

kehidupan. Begitu juga Imam Malik pernah berkata bahwa seandainya masyarakat menjadikan
kulit hewan sebagai mata uang, niscaya beliau akan melarang jual beli kulit hewan tersebut

melainkan dengan tunai dan tidak boleh tertangguh. Walaupun pada hari ini kita bersemangat

untuk kembali kepada uang emas sebagai standar nilai mata uang, kita tidak perlu berlebihan dan

ekstrem dengan mengatakan bahwa uang fiat adalah haram. Mengharamkan yang halal adalah

sama saja buruknya di sisi Islam dengan menghalalkan yang haram. Kalau uang fiat haram,sudah

tentu mas kawin kita menjadi tidak sah, dan perkawinan kita juga tidak sah, maka anak-anak kita

juga adalah jadi anak haram.

E. Ekonomi Makro dengan Uang

           Ahmad Hasan menjelaskan bahwa kata nuqud (uang) tidak terdapat dalam Alquran

maupun Hadis Nabi Saw. Karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan kata nuqud untuk

menujukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar  untuk menunjukkan mata uang yang

terbuat dari emas, kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka

juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan

dinar emas. Sedang kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk

membeli barang-barang murah.

         Menurut Al-ghazali dan ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia

sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.

1. Uang Sebagai Ukuran Harga

           Abu Ubaid (w. 224 H) menyatakan bahwa dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu,

sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya.  

          Imam Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai

hakim penengah diantara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya.

Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak za’faran ini menyamai 100.

Keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran, maka keduanya bernilai sama.

          Ibn Rusyd (w. 595 H) menyatakan bahwa, ketika seseorang susah menemukan nilai

persamaan antara barang-barang yang berbeda, jadikan dinar dan dirham untuk mengukurnya.

Apabila seseorang menjual kuda dengan beberapa baju, nilai harga kuda itu terhadap beberaba

kuda adalah nilai harga baju itu terhadap beberapa baju. Maka jika kuda itu bernilai 50, tentunya

baju-baju itu juga harus bernilai 50.

2. Uang Sebagai Media Transaksi

           Uang menjadi media transaksi yang sah  yang harus diterima oleh siapa pun bila ia

ditetapkan oleh negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Berlaku

juga cek sebagai alat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima cek sebagai alat

bayar.
            Begitu pula dengan kartu debet, kartu kredit dan alat bayar lainnya. Pihak yang dibayar

dapat saja menolak penggunaan cek atau kartu kredit sebagai alat bayar sedangkan uang berlaku

sebagai alat pembayaran karena Negara mensahkannya.

            Umar bin Khatab r.a berkata,”saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang

yang berkata,’kalau begitu unta akan punah’, maka aku batalkan keinginan tersebut.

Sebaliknya emas dan perak tidak serta merta menjadi uang bila tidak ada stempel (sakkah)

Negara. Imam nawawi berkata “Makruh bagi rakyat biasa mencetak sendiri dirham dan dinar,

sekalipun dari bahan yang murni, sebab pembuatan tersebut adalah wewenang pemerintah.

Kemudian apabila dirham magsyusah tersebut dapat diketahui kadar campurannya, maka boleh

menggunakannya baik dengan kebendaannya maupun dengan nilainya. Adapun jika kadar

campuran tersebut tidak diketahui, maka di sini ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling

shahih mengatakan hukumnya boleh. Sebab, yang dimaksudkan adalah lakunya di pasaran. Dan

campuran dari tembaga yang terdapat pada dirham tersebut tidak mempengaruhi, sebagaimana

halnya adonan

         Imam malik bin Anas berkata : “Apabila pasar telah menjadikan kulit sebagai mata uang,

maka aku tidak senang kulit tersebut dijual dengan emas dan perak.

3. Uang Media Penyimpanan Nilai

         Al-Ghazali berkata : “kemudian disebabkan jual beli, muncul kebutuhan terhadap dua mata

uang. Seseorang yang ingin membeli makanan dengan baju, dari mana dia mengetahui ukuran

makanan dari nilai baju tersebut. Berapa? Jual beli terjadi pada jenis barang yang berbeda-beda

seperti dijual baju dengan makanan dan hewan dengan baju. Barang-barang ini tidak sama, maka

diperlukan “hakim yang adil” sebagai penengah antara kedua orang yang ingin bertransaksi dan

berbuat adil satu dengan yang lain. Keadilan itu dituntut dari jenis harta. Kemudian diperlukan

jenis harta yang bertahan lama karena kebutuhan yang terus-menerus. Jenis harta yang paling

bertahan lama adalah barang tambang. Maka dibuatlah uang dari emas, perak, dan logam.

           Ibnu khaldun juga mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Ia menyatakan, kemudian

Allah Ta’ala menciptakan dari dua barang tambang, emas dan perak sebagai nilai untuk setiap

harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia kebanyakannya.

           Dari ketiga fungsi tersebut jelaslah bahwa yang terpenting adalah stabilitas uang, bukan

bentuk uang itu sendiri, uang dinar yang terbuat dari emas dan diterbitkan oleh raja Dinarius dari

Kerajaan Romawi memenuhi criteria uang yang nilainya stabil. Begitu pula uang dirham yang

terbuat dari perak dan diterbitkan oleh Ratu dari Kerajaan Sasanid Persia juga memenuhi criteria

uang stabil. Sehingga, meskipun dinar dan dirham diterbitkan oleh bukan Negara islam, keduanya

dipergunakan dizaman Rasulullah Saw.


F. Perbedaan Konsep Uang dalam Ekonomi Islam dan Konvesional

          Menurut teori ekonomi konvensional, uang dapat dilihat dari sisi hukum dan sisi fungsi.

Secara hukum uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang- undang sebagai uang. Jadi

segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan

bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagi alat tukar. Sementara secara fungsi, yang dikatakan

uang adalah segala sesuatu yang menjalankan fungsi sebagai uang, yaitu dapat dijadikan sebagai

alat tukar menukar (medium of exchange) dan penyimpan nilai (store of value). Ini adalah

pendapat irving fisher dan Cambridge. Sementara Keynes mengatakan, uang berfungsi sebagai

alat untuk transaksi, spekulasi dan jaga-jaga.

         Di dalam ekonomi ini juga, uang dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga dan

dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Konsep ini disebut time value of money . adalah

nilai waktu dari uang bisa bertambah dan berkurang sebagai akibat perjalanan waktu. Dengan

memegang uang orang dapat dihadapkan pada resiko menurunnya daya beli dan kekayaan

sebagai akibat inflasi. Sedangkan memilih menyimpan uang dalam bentuk surat berharga, pemilik

akan memperoleh bunga yang diperkirakan di atas inflasi yang terjadi. Dengan demikian, nilai

uang saat sekarang - nilai substitusinya terhadap barang akan lebih tinggi dibandingkan nilai

dimasa yang akan datang.

          Sebagi perbandingan dengan teori ekonomi konvensional kapitalisme, islam membicarakan

uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan..

mengapa uang berfungsi? Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan barang yang nyata

atau digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa di jual dan dibeli secara

kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW, bahwa tidak hanya mengumumkan

bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukran uang dan

beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda

pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah sama. Efeknya adalah mencegah

bunga yang masuk ke system ekonomi melalui cara yang tidak di ketahui. Jika uang adalah flow

concept maka modal adalah stock concept.

            Di dalam ekonomi islam, konsep time value of money tentunya tidak akan terjadi. Untuk

menganalisa ini, ada ajaran kuat dalam islam, yaitu terdapat di dalam QS.Al Ashr:1-3. Dari surah

al Ashr ini menunjukkan bahwa waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24

jam/hari, 7 hari/minggu. Namun nilai dari waktu itu akan berbeda dari satu orang dengan orang

lainnya. Perbedaan nilai waktu tersebut adalah tergantung pada bagaimana seseorang

memanfaatkan waktu. Semakin efektif dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya.

Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang melaksakannya.

            Oleh karena itu, siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama dan ras, secara

sunatullah ia akan mendaptkan keuntungan di dunia. Di dalam islam keuntungan bukan saja di
dunia, namun yang dicari adalah keuntungan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan

waktu bukan saja harus efisien dan efektif, namun juga harus di dasari keimanan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

             Dalam ekonomi Islam, secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu, pengertiannya

ada beberapa makna yaitu: al-naqdu berarti yang baik dari dirham, menggenggam dirham,

membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai.

            Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdangangan telah dikenal ribuan

tahun yang lalu seperti dalam mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Pada masa Rasulullah

Bangsa arab di Hijaz pada masa jahiliah belum memiliki mata uang tersendiri. Mereka

menggunakan mata uang yang merka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan

Dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman.

          Konsep uang dalam ekonomi islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi

konvensional. Dalam ekonomi islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah

uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi

konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan

secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.

            Menurut Syeikh Muhammad Taqi Usmani, pakar Syariah keuangan Islam, setidaknya ada

3 faktor yang membedakan uang dengan komoditas. 

1. Uang tidak memiliki kegunaan instrinsk (intrinsic utility).

2. Uang tidak memerlukan kualitas untuk menentukan nilainya.

3. Uang tidak memerlukan spesifikasi ketika berlakunya transaksi, sementara komoditas

mempunyai sifat yang spesifik ketika berlakunya transaksi.

              Di dalam ekonomi konvensional, uang dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga

dan dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Konsep ini disebut time value of money. Di

dalam ekonomi islam, konsep time value of money tentunya tidak akan terjadi. Untuk menganalisa

ini, ada ajaran kuat dalam islam, yaitu terdapat di dalam QS.Al Ashr:1-3. Dari surah al Ashr ini

menunjukkan bahwa waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam/hari, 7

hari/minggu.
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal,M. mengembalikan kemakmuran islam dengan dinar dan dirham, 2007.Jakarta: Spritual

Learning Centre dan Dinar Club

Muhammad.,kebijakan fiscal dan moneter dalam ekonomi islam, 2002, Jakarta:Salemba 4.

Ahmad, Hasan, Mata Uang Islam, 2005, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Karim, Adiwarman Azhar, ekonomi makro islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, edisi

kedua.

http://studiosatu.wordpress.com/2007/12/01/sikap-yang-salah-tentang-uang/

http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/2498-makna-uang-dalam-

pandangan-islam.html

Anda mungkin juga menyukai