Anda di halaman 1dari 25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Determinasi Tumbuhan Kakao (Theobroma cacao L.)


Determinasi dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Syiah
Kuala. Hasil determinasi tumbuhan kakao adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L
Pada penelitian ini, jenis kakao yang digunakan adalah kakao Criollo dengan
ciri-cirinya yaitu mempunyai bentuk buah yang lonjong, kulit buah tebal,
permukaannya kasar dan alurnya terlihat dengan jelas, warna buah muda umumnya
merah dan jika sudah matang bewarna orange (Jusmiati, 2015).

4.2. Ekstraksi Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L)


Hasil ekstraksi kulit buah kakao (4000 g) dengan metanol diperoleh ekstrak
kasar metanol sebesar 48 g (lampiran 1). Ekstrak kasar metanol dipartisi dan
diekstraksi dengan n-heksana dan etil setat, diperoleh ekstrak Theobroma cacao
metanol (TCM), ekstrak Theobroma cacao etil asetat (TCE) dan ekstrak Theobroma
cacao n-heksana (TCH). Hasil ekstraksi kulit buah kakao tersebut kemudian
dihitung % rendemennya sehingga diperoleh ekstrak TCM dengan perolehan paling
tinggi (Tabel 4.1).

26
Tabel 4.1. Hasil rendemen ekstrak kulit buah kakao
Ekstrak Berat (g) Rendemen (%)
TCM 23 46
TCE 9,9 20
TCH 11,3 23,3
Perhitungan masing-masing berat ekstrak berdasarkan pada ekstrak metanol kasar

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa, ekstrak TCM mempunyai rendemen paling


tinggi dibandingkan ekstrak TCH dan ekstrak TCE dengan nilai masing-masing
sebesar 22,56 %; 11,22 % dan 9,98 % (Lampiran 2). Hasil ini berkorelasi dengan
laporan Dwiningsih et al. (2016), menyatakan bahwa hasil ekstraksi kulit buah kakao
diperoleh rendemen paling tinggi berturut-turut yaitu ekstrak metanol, ekstrak etil
asetat dan ekstrak n-heksana. Rachmawati (2008), juga melaporkan bahwa hasil
ekstraksi kulit buah kakao menggunakan pelarut etanol dan aseton, diperoleh ekstrak
etanol dengan rendemen paling tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, dapat
dilihat bahwa hasil ekstrak polar mempunyai rendemen paling tinggi jika
dibandingkan ekstrak nonpolar dan semipolar. Hal ini dapat diduga bahwa sebagian
besar senyawa yang terdapat pada ekstrak kakao lebih banyak bersifat polar. Senyawa
polar pada umumnya mempunyai berat molekul yang besar, sehingga akan
menghasilkan bobot yang besar pula.

4.3. Uji fitokimia


Analisis fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa
metabolit sekunder apa saja yang terdapat di dalam suatu sampel. Penapisan fitokimia
merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian tumbuhan obat untuk mendeteksi
senyawa tumbuhan berdasarkan golongannya. Analisis fitokimia yang dilakukan
untuk mengidentifikasi beberapa senyawa yang meliputi alkaloid, flavonoid,
terpenoid, steroid, saponin dan fenolik (Tabel 4.2).

27
Tabel 4.2. Hasil Uji fitokimia ekstrak kulit buah kakao
Ekstrak
Uji Fitokimia Reagen uji TCM TCE TCH
Mayer + + -
Alkaloid Wagner + + -
Dragendorff + + -
Flavonoid Mg + HCl + + -
Terpenoid Liebermann-Burchard - + +
Steroid LibermanBurchard - + +
Saponin - + - -
Fenolik FeCl3 + + -
Ket: + mengandung senyawa metabolit sekunder, - = tidak mengandung senyawa
metabolit sekunder

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa, analisis fitokimia ekstrak TCM dan TCE
mengandung senyawa golongan alkaloid kecuali ekstrak TCH. Mulyatni et al. (2012)
melaporkan bahwa kulit buah kakao mengandung senyawa alkaloid. Menurut
Sastrohamidjojo (1991) senyawa alkaloid merupakan metabolit sekunder yang
bersifat semipolar sampai dengan polar, sehingga dapat terekstrak dengan
menggunakan pelarut seperti etil asetat dan metanol. Ekstrak TCH tidak mengandung
senyawa alkaloid, karena ekstrak TCH merupakan senyawa yang bersifat nonpolar.
Hasil uji fitokimia juga menunjukkan bahwa ekstrak TCM dan ekstrak TCE
mengandung senyawa flavonoid dan fenolik. Rachmawati (2008) melaporkan bahwa,
kulit buah kakao yang diekstrak dengan etanol dan aseton mengandung senyawa
flavonoid dan fenolik. Golongan senyawa flavonoid dan fenolik lebih banyak
mengandung gugus hidroksil sehingga bersifat lebih polar, oleh karena itu ekstrak
TCH tidak mengandung senyawa flavonoid dan fenolik karena n-heksana merupakan
pelarut nonpolar.
Ekstrak TCE dan TCH mengandung senyawa steroid dan terpenoid. Umumnya
senyawa golongan steroid dan terpenoid bersifat semipolar sampai dengan nonpolar.
Azizah dan Nurma (2014) melaporkan bahwa, kulit buah kakao yang diekstraksi
dengan etanol mengandung senyawa terpenoid dan steroid. Menurut Naufalin et al.
(2014) metabolit sekunder golongan steroid dan terpenoid bersifat nonpolar, karena

28
termasuk ke dalam golongan lipid. Ekstrak TCM tidak mengandung senyawa steroid
dan terpenoid, karena ekstrak TCM merupakan senyawa yang bersifat polar.
Ekstrak TCM mengandung senyawa saponin, hasil ini dapat dibuktikan dengan
terbentuknya busa stabil selama 30 menit. Terbentuknya busa dikarenakan senyawa
saponin mempunyai sifat fisik yang mudah larut dalam air dan akan menimbulkan
busa ketika dikocok (Suharto, 2010). Ekstrak TCE dan ekstrak TCH tidak
mengandung saponin, karena ekstrak ini merupakan senyawa nonpolar.
Berdasarkan hasil uji analisis fitokimia, ekstrak yang paling banyak
mengandung senyawa metabolit sekunder berturut-turut yaitu ekstrak TCE, ekstrak
TCM dan ekstrak TCH. Ekstrak TCE mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,
terpenoid, steroid dan fenolik. Ekstrak TCM mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin dan fenolik, sedangkan ekstrak TCH hanya mengandung dua
senyawa yaitu terpenoid dan steroid. Nwokonkwo dan Okeke (2014) melaporkan
bahwa ekstrak kulit buah kakao mengandung alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin,
glikosida dan tanin.

4.4. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kulit Buah Kakao


Hasil isolasi kromatografi kolom ekstrak kulit buah kakao yaitu ekstrak TCM,
ekstrak TCE dan ekstrak TCH dilakukan uji aktivitas antioksidan sesuai dengan
metode yang telah dilakukan Ginting et al. (2016). Uji aktivitas antioksidan diukur
menggunakan alat instrumen Spektofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum yang ditentukan dengan kurva kalibrasi yaitu pada max sebesar 517 nm.
Pada penelitian ini, kontrol positif yang digunakan adalah 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil
(DPPH). Penggunaan DPPH disebabkan karena DPPH metodenya yang mudah,
sederhana, cepat dan stabil pada suhu ruang (Kuntorini dan Maria, 2010).
Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah kakao diperoleh nilai
absorbansi DPPH sebesar 0,938 ppm. Uji aktivitas antioksidan ini dilakukan dengan
3 kali pengulangan, sehingga diperoleh nilai rata-rata absorbansi setiap ekstrak lalu
dihitung persen inhibisinya masing-masing (Lampiran 3). Selanjutnya dengan data

29
yang diperoleh dibuat kurva hubungan antara konsentrasi terhadap % inhibisi masing-
masing ekstrak (Gambar 4.1).

80
TCM 100 TCE
y = 0,597x + 8,901
% inhibisi

80

% inhibisi
60 R² = 0,917
60 y = 0,482x + 45,78
40 R² = 0,874
40
20 20
0 50 100 150 0 50 100 150
Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm)

40 TCH
% inhibisi

30

20 y = 0,227x + 10,71
R² = 0,975
10

0
0 50 100 150

Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.1. Kurva hubungan antara konsentrasi terhadap % inhibisi ektrak


kulit buah kakao.

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa, ekstrak TCE mempunyai % inhibisi yang


paling tinggi. Nilai % inhibisi TCE pada konsentrasi 25 dan 50 ppm adalah sebesar
52,5% dan 77,8%, namun pada saat konsentrasi 100 ppm % inhibisi naik menjadi
91,3%. Semakin tinggi konsentrasi suatu ekstrak, maka % inhibisinya semakin
meningkat sehingga semakin kecil nilai IC50 yang diperoleh. Semakin kecil nilai IC50
maka aktivitas antioksidan semakin kuat. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai
dengan IC50, yaitu konsentrasi larutan ekstrak yang dibutuhkan untuk menghambat
50% radikal bebas DPPH yang diperoleh dari persamaan linear pada Gambar 4.1
yaitu y = 0,597 x + 8,901 dan r = 0,917. Koefesien y pada persamaan ini adalah
konsentrasi dari ekstrak yang akan dicari nilainya, sedangkan nilai x yang diperoleh
merupakan besarnya konsentrasi yang diperlukan untuk dapat meredam 50% radikal

30
DPPH (Lampiran 3). Nilai r = 0,917 yang mendekati 1 (bernilai positif)
menggambarkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak maka semakin
besar aktivitas antioksidannya, hal ini dapat dilihat dari kurva hubungan konsentrasi
ekstrak TCM terhadap persen inhibisi.
Nilai IC50 yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan kontrol positif
yaitu vitamin C yang akan digunakan sebagai pembanding untuk masing-masing
ekstrak. Aktivitas antioksidan menurut Molyneux (2004), dikategorikan kuat dan
lemahnya berdasarkan pada rentang nilai IC50. Nilai IC50 di bawah 50 ppm
dikategorikan mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat kuat, sedangkan nilai
IC50 di atas 50-100 ppm dikategorikan mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat.
Nilai IC50 di atas 100-150 ppm dikategorikan mempunyai aktivitas antioksidan yang
sedang dan nilai IC50 di atas 150 ppm dikategorikan mempunyai aktivitas antioksidan
yang lemah.
Berdasarkan nilai IC50 hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah kakao
(Lampiran 4) maka aktivitas antioksidan paling kuat berturut-turut yaitu ekstrak TCE,
TCM dan TCH dengan masing-masing nilai IC50 yaitu sebesar 8,73 ppm; 68,8 ppm
dan 172,6 ppm. Ekstrak TCE mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat kuat
dengan nilai IC50 sebesar 8,73 ppm dan hampir mendekati nilai IC50 vitamin C sebesar
6,07 ppm. Jusmiati (2015), menyatakan bahwa ekstrak kulit buah kakao yang
mempunyai aktivitas antioksidan paling kuat terdapat pada ekstrak etil asetat yaitu
0,9 ppm kemudian diikuti oleh ekstrak metanol sebesar 44,4 ppm dan ekstrak n-
heksana sebesar 126,2 ppm. Ekstrak etil asetat mempunyai aktivitas antioksidan yang
paling kuat jika dibandingkan dengan ekstrak metanol dan n-heksana. Aktivitas
tersebut diduga karena ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa
metabolit sekunder yang dapat menyumbangkan keaktifan antioksidan dibandingkan
ekstrak metanol dan ekstrak n-heksana.
Ekstrak TCM dikategorikan mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat dengan
dengan nilai IC50 sebesar 68,8 ppm, sedangkan ekstrak TCH mempunyai aktivitas
antioksidan yang lemah dengan nilai dengan nilai IC50 sebesar 172,6 ppm. Ekstrak

31
paling aktif antioksidan yaitu TCE dilakukan isolasi lebih lanjut dengan kromatografi
kolom gravitasi.

4.5. Kromatografi Kolom Gravitasi TCE


Berdasarkan uji aktivitas antioksidan ketiga ekstrak kulit buah kakao
sebelumnya, diperoleh ekstrak TCE mempunyai aktivitas antioksidan paling kuat
sehingga ekstrak tersebut dilakukan isolasi lebih lanjut dengan kromatografi kolom.
Ekstrak TCE (9,9 g) diimpregnasi dengan silika gel dan dimasukkan ke dalam kolom
yang telah diisi silika gel G60 (100 g) yang berfungsi sebagai fase diam. Kolom
dielusi menggunakan n-heksana:etil asetat dengan perbandingan 1:1. Eluat ditampung
setiap 40 mL dan hasil kromatografi kolom diperoleh 90 fraksi. Setiap fraksi
dimonitor dengan kromatografi lapis tipis (KLT) untuk melihat pola noda yang sama
(Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Pengelompokkan fraksi gabungan TCE1 sampai dengan TCE7


Fraksi Fraksi Gabungan Berat Fraksi (g)
TCE1 1 0,56
TCE2 2-17 4,50
TCE3 18-34 0,23
TCE4 35-55 0,30
TCE5 36-55 0,35
TCE6 56-70 0,11
TCE7 71-90 0,30
Ket: TCE (Theobroma cacao etil asetat)

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa, TCE 2 fraksi (2-17) mempunyai bobot paling
banyak yaitu seberat 4,50 g, sedangkan TCE1 fraksi (1) dan TCE 3 fraksi (18-34)
sampai dengan TCE 7 fraksi (71-90) mempunyai bobot di bawah 1 g dengan range
(0,11–0,56 g).

32
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

a b c
Gambar 4.2. Hasil KLT fraksi gabungan meggunakan eluen n-heksana:etil asetat
dengan perbandingan (1:1) (a) kromatogram fraksi gabungan di bawah
lampu UV hijau (254 nm) (b) kromatogram fraksi gabungan di bawah
lampu UV biru (366 nm) dan (c) kromatogram fraksi gabungan setelah
disemprot dengan reagen penampak noda vanillin asam sulfat.

Alen et al. (2017) melaporkan bahwa reagen pewarna vanilin asam sulfat
digunakan untuk mendeteksi senyawa steroid. Hasil positif ditunjukkan dengan
adanya perubahan warna bercak menjadi ungu kemerahan setelah pemanasan.
Berdasarkan literatur tersebut, warna bercak ungu kemerahan yang dihasilkan pada
Gambar 4.2 diduga kuat merupakan golongan steroid. Hasil KLT fraksi gabungan
TCE2 juga menunjukkan terdapat irisan pola noda yang dominan dan berpotensi
untuk diisolasi lebih lanjut. Sebelum dilakukan tahap isolasi, ketujuh fraksi gabungan
terlebih dilakukan uji aktivitas antioksidan. Fraksi yang mempunyai aktivitas
antioksidan paling kuat selanjutnya diisolasi dengan rekromatografi kolom.

4.6. Aktivitas Antioksidan Fraksi Gabungan TCE 1 sampai dengan TCE 7


Hasil uji aktivitas antioksidan ketujuh fraksi gabungan TCE diperoleh %
inhibisi paling tinggi terdapat pada TCE 2, data yang diperoleh selanjutnya dapat
diplot kurva hubungan konsentrasi terhadap % inhibisi masing-masing fraksi
(Gambar 4.3).

33
TCE 1 TCE 2
16 100
15

% inhibisi

% inhibisi
14 80
y = 0,035x + 11,56 y = 0.4002x + 52.772
13 R² = 0,801 60 R² = 0.9338
12
11 40
10 20
0 50 100 150 0 50 100 150

Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm)

TCE 3 TCE 4
70 60
60

% inhibisi
50
% inhibisi

50 y = 0,435x + 19,13
40 40
R² = 0,907 y = 0,531x + 1,172
30 30
R² = 0,990
20 20
10 10
0 0
0 50 100 150 0 50 100
Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm)

TCE 5 TCE 6
80 80
% inhibisi

% inhibisi

60 60
40 y = 0,591x + 9,435 y = 0,421x + 26,59
40
R² = 0,993 R² = 0,999
20 20
0 0
0 50 100 150 0 50 100 150

Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm)

70
TCE 7
60
% inhibisi

50
y = 0,383x + 20,62
40 R² = 0,993
30
20
0 50 100 150
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.3. Kurva hubungan konsentrasi terhadap % inhibisi fraksi gabungan


TCE 1 sampai dengan fraksi gabungan TCE 7

34
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu fraksi,
maka % inhibisi yang dihasilkan juga semakin meningkat. Tingginya % inhibisi
menunjukkan kemampuan fraksi tersebut untuk bereaksi dengan radikal DPPH
semakin besar, sehingga nilai IC50 yang dihasilkan akan semakin kecil. Besarnya
aktivitas antioksidan ditandai dengan IC50, yaitu konsentrasi larutan fraksi yang
dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH yang diperoleh dari
persamaan linear pada Gambar 4.1 yaitu y = 0,4002 x + 52,772 dan r = 0,934.
Koefesien y pada persamaan ini adalah konsentrasi dari fraksi yang akan dicari
nilainya, dimana dari x yang dipeoleh merupakan besarnya konsentrasi yang
diperlukan untuk dapat meredam 50% radikal DPPH. Nilai r = 0,934 yang mendekati
1 (bernilai positif) menggambarkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi fraksi
maka semakin besar aktivitas antioksidannya.
Berdasarkan nilai IC50 ketujuh fraksi gabungan TCE terdapat 5 fraksi yang
mempunyai nilai IC50 di bawah 100 ppm, yaitu TCE3 sampai dengan TCE7 dengan
range IC50 sebesar (55,5–91,8 ppm). Fraksi TCE 2 mempunyai aktivitas antioksidan
paling kuat dengan nilai IC50 di bawah 50 ppm, yaitu sebesar 6,5 ppm dan hampir
mendekati nilai IC50 vitamin C sebesar 6,2 ppm. Aktivitas antioksidan fraksi TCE 2
diduga karena fraksi tersebut mengandung senyawa golongan steroid yang dapat
bersifat sebagai antioksidan. Keberadaan senyawa steroid dalam fraksi TCE 2
diidentifikasi dari hasil KLT dengan munculnya bercak noda ungu kemerahan ketika
disemprot dengan reagen penampak noda vanilin asam sulfat.
Senyawa golongan steroid juga dapat menyumbangkan aktivitas antioksidan.
Menurut Setzer (2008), steroid merupakan senyawa aktif yang termasuk ke dalam
jenis antioksidan lipofilik. Senyawa steroid fraksi etil asetat kulit buah kakao belum
dilaporkan. Hardiningtyas et al. (2016) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat daun
bakau api-api putih (Avicennia marna), mengandung senyawa steroid dan
mempunyai aktivitas antioksidan. Berdasarkan literatur tersebut, diduga fraksi etil
asetat kulit buah kakao mengandung senyawa golongan steroid dan mempunyai
aktivitas antioksidan yang kuat.

35
4.7. Kromatografi Kolom Gravitasi TCE 2
Fraksi TCE 2 yang mempunyai aktivitas antioksidan paling kuat dilakukan
isolasi lebih lanjut dengan rekromatografi kolom. Fraksi TCE2 (1,2 g) diimpregnasi
dengan silika gel lalu dimasukkan ke dalam kolom dan dielusi menggunakan eluen n-
heksana:etil asetat dengan perbandingan (9:1). Hasil rekromatografi kolom diperoleh
65 fraksi. Setiap fraksi dimonitoring dengan KLT untuk melihat pola noda yang
sama, diperoleh 4 fraksi gabungan yaitu Theobrama cacao etil asetat 2.1 (TCE 2.1)
sampai dengan Theobrama cacao etil asetat 2.4 (TCE 2.4) (Gambar 4.4).

1 2 3 4

Gambar 4.4. Kromatogram KLT fraksi gabungan TCE 2.1 sampai dengan TCE 2.4
meggunakan eluen n-heksana:etil asetat dengan perbandingan (10:1) di
bawah lampu UV biru (366 nm) .

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa fraksi TCE 2.4 terdapat irisan pola noda
yang berpotensi untuk diisolasi, maka dilakukan isolasi lebih lanjut dengan
rekromatografi kolom. Isolasi fraksi tersebut didasarkan pada hasil aktivitas
antioksidan dan bobot yang diperoleh. Hasil pengelompokkan fraksi gabungan dan
bobot TCE 2.1 sampai dengan fraksi TCE 2.4 dapat dilihat pada (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Fraksi TCE 2.1 sampai dengan TCE 2.4


Fraksi Fraksi Gabungan Berat Fraksi (g)
TCE 2.1 1-7 0,2
TCE 2.2 8-18 0,1
TCE 2.3 19-26 0,2
TCE 2.4 27-60 0,4
Ket : TCE = Thebroma cacao etil asetat

36
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa TCE 2.4 fraksi (27-60) mempunyai bobot
paling besar yaitu sebanyak 0,4 ; TCE 2.1 fraksi (8-18) dan TCE 2.3 fraksi (19-26)
mempunyai bobot terbesar kedua sebanyak 0,2 g. Bobot paling kecil diperoleh pada
TCE 2.2 fraksi (8-18) dengan nilai sebesar 0,2 g. Masing-masing fraksi TCE 2.1
sampai dengan TCE 2.4 dilakukan uji aktivitas antioksidan.

4.8. Uji Aktivitas Antioksidan Fraksi TCE 2.1 sampai dengan TCE 2.4
Rekromatografi kolom pada fraksi TCE2 diperoleh empat fraksi gabungan
yaitu fraksi TCE 2.1 sampai dengan fraksi TCE 2.4. Hasil uji aktivitas antioksidan
fraksi gabungan ini dapat dilihat diperoleh % inhibisi TCE 2.4 mempunyai nilai
paling tinggi (Gambar 4.5).

TCE 2.1 TCE 2.2


50 80
% inhibisi

% inhibisi

45 70
40 60
y = 0,351x + 32,78
35 y = 0,251x + 21,69 50
R² = 0,998
30 R² = 0,972 40
25 30
20 20
0 50 100 150 0 50 100 150

Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm)

TCE 2.3 80
TCE 2.4
80
% inhibisi

% inhibisi

60 60
y = 0,471x + 24,14
40 R² = 0,925 40 y = 0,175x + 42,48
R² = 0,999
20 20
0 50 100 150
0 50 100 150

Konsentraasi (ppm) Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.5. Kurva hubungan konsentrasi terhadap % inhibisi fraksi gabungan TCE
2.1 sampai dengan fraksi gabungan TCE 2.4.

37
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa TCE 2.4 pada konsentrasi 25 ppm dan 50
ppm memiliki % inhibisi paling tinggi yaitu sebesar 77,3 % dan 78,3 %, namun pada
saat konsentrasi 100 ppm % inhibisi mengalami kenaikan sebesar 80,3 %. Semakin
tinggi % inhibisi yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula kemampuan suatu fraksi
tersebut untuk meredam radikal DPPH, artinya semakin kuat aktivitasnya sehingga
nilai IC50 akan semakin kecil.
Nilai IC50 yang diperoleh dari persamaan linear pada Gambar 4.5 yaitu y =
0,175 x + 42,48 dan r = 0,999. Koefesien y pada persamaan ini adalah konsentrasi
dari ekstrak yang akan dicari nilainya, dimana dari x yang dipeoleh merupakan
besarnya konsentrasi yang diperlukan untuk dapat meredam 50% radikal DPPH.
Nilai r = 0,999 yang mendekati 1 (bernilai positif) menggambarkan bahwa dengan
meningkatnya konsentrasi ekstrak maka semakin besar aktivitas antioksidannya.
Nilai IC50 fraksi TCE 2.2 dan TCE 2.4 mempunyai aktivitas antioksidan yang
sangat kuat dengan range IC50 sebesar (42,8-49ppm). Aktivitas tersebut dapat diduga
karena fraksi TCE 2.2 mengandung senyawa steroid. Keberadaan senyawa steroid
dalam fraksi tersebut diidentifikasi berdasarkan hasil KLT yang menimbulkan bercak
noda ungu kemerahan setelah disemprot dengan vanilin asam sulfat. Paturusi, (2014)
melaporkan bahwa hasil isolasi ekstrak n-heksana daun Jati dengan KLT yang
disemprot dengan reagen penampak noda vanilin asam sulfat menimbulkan bercak
noda ungu kemerahan, yang mengindikasikan adanya senyawa golongan steroid.
Aktivitas antioksidan fraksi etil asetat kulit buah kakao belum dilaporkan. Hilda
(2014) melaporkan bahwa, akar tanaman rumput bambu yang diekstrak dengan
kloroform banyak mengandung senyawa steroid dan mempunyai aktivitas antioksidan
dengan nilai IC50 sebesar 57,3 ppm. Berdasarkan literatur tersebut dan kekuatan
antioksidan menurut Molyneux (2004), maka fraksi TCE 2.2, TCE 2.3 dan TCE 2.4
mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat. TCE 2.4 yang mempunyai aktivitas
antioksidan sangat kuat dengan bobot terbanyak, maka dilakukan isolasi lebih lanjut
dengan rekromatografi kolom.

38
4.9. Kromatografi Kolom Gravitasi TCE 2.4
Fraksi TCE 2.4 (0,4 g) diimpregnasi dengan silika gel lalu dimasukkan ke
dalam kolom yang telah diisi silika gel (50 g) dan dielusi menggunakan eluen n-
heksana:etil asetat dengan perbandingan (10:1). Hasil kromatografi kolom diperoleh
60 fraksi. Setiap fraksi dimonitor dengan KLT, pola noda yang sama digabungkan
menjadi satu kelompok fraksi gabungan sehingga diperoleh 6 fraksi gabungan. Fraksi
gabungan tersebut yaitu fraksi Theobroma cacao etil asetat 2.4.1 (TCE 2.4.1) sampai
TCE 2.4.6 (Gambar 4.6).

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
a b 7 c
Gambar 4.6. Hasil KLT fraksi gabungan meggunakan eluen n-heksana:etil asetat
dengan perbandingan (10:1) (a) kromatogram fraksi gabungan di
bawah lampu UV hijau (254 nm) (b) kromatogram fraksi gabungan di
bawah lampu UV biru (366 nm) dan (c) kromatogram fraksi gabungan
setelah disemprot dengan reagen penampak noda vanillin asam sulfat.

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa, fraksi TCE 2.1 sampai dengan TCE 2.3
terdapat irisan pola noda yang lebih dominan mudah untuk diisolasi. Hasil KLT
ketika disemprot reagen penampak noda vanilin asam sulfat (c) muncul bercak warna
merah yang mengidentifikasikan adanya senyawa golongan steroid. Isolasi senyawa
golongan steroid etil asetat kulit buah kakao belum dilaporkan. Paturusi (2014)
melaporkan bahwa hasil isolasi ekstrak n-heksana daun Jati dengan KLT yang
disemprot dengan reagen penampak noda vanilin asam sulfat menimbulkan bercak
noda ungu kemerahan, yang mengidentifikasikan adanya senyawa golongan steroid.

39
Pengelompokkan fraksi gabungan TCE 2.4.1 sampai dengan fraksi TCE 2.4.6
tersebut dilakukan berdasarkan pola noda yang sama, lalu masing-masing fraksi
gabungan ditentukan berat bobotnya. Hasil pengelompokkan fraksi gabungan dan
bobot fraksi TCE 2.4.1 sampai dengan TCE 2.4.6 dapat dilihat pada (Tabel 4.9).

Tabel 4.5. Fraksi TCE 2.4.1 sampai dengan TCE 2.4.6


Fraksi Fraksi Gabungan Berat Fraksi (mg)
TCE 2.4.1 1-5 33
TCE 2.4.2 6-22 88
TCE 2.4.3 23-30 4
TCE 2.4.4 31-40 7
TCE 2.4.5 41-50 54
TCE 2.4.6 51-60 24

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa TCE 2.4.1 sampai dengan TCE 2.4.6
mempunyai bobot yang sangat sedikit dengan range nilai (33-88 mg), sehingga tidak
dapat diisolasi lebih lanjut. Oleh karena itu, dicari alternatif lain untuk proses isolasi
selanjutnya. Ditinjau dari hasil rekromatografi kolom pada fraksi gabungan TCE 2
sebelumnya, diperoleh fraksi TCE 2.2 berbentuk kristal dan mempunyai aktivitas
antioksidan yang sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 49,1 ppm. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka TCE 2.2 diisolasi lebih lanjut dengan cara rekristalisasi.

4.10. Pemurnian Isolat TCE 2.2


Hasil rekromatografi fraksi TCE 2.2 terdapat bentuk kristal dan mempunyai
aktivitas antioksidan yang sangat kuat, sehingga isolat tersebut dimurnikan dengan
rekristalisasi. Fraksi TCE 2.2 (0,1 g) direkristalisasi menggunakan n-heksana
sehingga diperoleh kristal TCE 2.2 sebesar 65 mg. Selanjutnya fraksi tersebut
dimonitoring dengan KLT untuk melihat tingkat kemurniannya. KLT dielusi
menggunakan eluen n-heksana:etil asetat dengan perbandingan (9,5:0,5). Hasil KLT
kristal TCE 2.2 menunjukkan bahwa pola noda sudah terpisah dengan baik, artinya
kristal yang diperoleh sudah hampir murni (Gambar 4.7).

40
TCE 2.2 TCE 2.2 TCE 2.2

a b c
Gambar 4.7. KLT kristal TCE 2.2 meggunakan eluen n-heksana:etil asetat
dengan perbandingan (9,5:0,5) (a) kromatogram fraksi gabungan
di bawah lampu UV hijau (b) di bawah lampu UV biru dan (c)
setelah disemprot dengan reagen penampak noda vanillin asam
sulfat.

Berdasarkan Gambar 4.7 menunjukkan bahwa, kristal TCE 2.2 mempunyai


pola noda yang berpotensi untuk dimurnikan karena pola noda sudah tampak dengan
jelas, sehingga dapat dilakukan isolasi dengan KLT preparatif. Hasil KLT preparatif
diperoleh 4 isolat, yaitu TCE 2.2.1 sampai dengan TCE 2.2.4. Isolat yang diperoleh
ditentukan titik lelehnya dengan alat melting point. Titik leleh yang diperoleh saat
pertama kali kristal mencair pada suhu 115C dan habis meleleh semua pada suhu
124C. Berdasarkan hasil uji titik leleh tersebut, maka kristal TCE dapat dilakukan
isolasi dengan KLT preparatif.
Hasil KLT preparatif menunjukkan terdapat empat pola noda, lalu dikerok,
dicuci dan disaring. Keempat isolat kristal yang diperoleh dimonitoring dengan KLT
2 Dimensi. Hasil KLT 2 dimensi menunjukkan bahwa terdapat empat isolat yaitu
isolat Theobroma cacao etil asetat 2.2.1 (TCE 2.2.1) dan TCE 2.2.2 dengan
menunjukkan pola noda yang tunggal, sedangkan TCE 2.2.3 dan TCE 2.2.4 terdapat
dua pola noda. Selanjutnya isolat TCE 2.4 disemprot dengan reagen penampak noda
vanilin asam sulfat, menimbulkan bercak noda ungu kemerahan (Gambar 4.8).

41
TCE 2.2.4

Gambar 4.8. Kromatogram KLT TCE 2.2.4 disemprot dengan reagen penampak noda
(vanilin asam sulfat).

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa, ekstrak TCE 2.2.4 yang disemprot dengan
reagen vanilin asam sulfat muncul bercak ungu kemerahan, yang mengidentifikasikan
adanya senyawa steroid. Menurut Wagner, (1996) suatu ekstrak mengandung
senyawa golongan steroid jika menunjukkan perubahan warna bercak menjadi ungu
kemerahan setelah pemanasan. Keempat isolat kristal yang diperoleh selanjutnya
dilakukan uji aktivitas antioksidan, namun isolat TCE 2.2.1 dan TCE 2.2.2 tidak
dapat dilakukan karena jumlahnya yang terbatas (0,8 mg), sehingga uji aktivitas
antioksidan hanya dilakukan terhadap isolat TCE 2.2.3 dan TCE 2.2.4.

4.11. Uji Aktivitas Antioksidan Isolat TCE 2.2.3 dan TCE 2.3.4
Isolat TCE 2.2.3 (20 mg) dan TCE 2.2.4 (40 mg), selanjutnya dilakukan uji
aktivitas antioksidan, sehingga dapat diplot kurva hubungan konsentrasi terhadap %
inhibisi (Gambar 4.9).

TCE 2.2.3 TCE 2.2.4


51 y = 0,033x + 46,21 51
% inhibisi

50 R² = 0,934 50
% inhibisi

49 49
48 48 y = 0,024x + 47,76
47 R² = 0,998
47
46
0 50 100 150 46
0 50 100 150
Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.9. Kurva hubungan konsentrasi tehadap % inhibisi isolat TCE 2.1 dan
isolat TCE 2.4.

42
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa, TCE 2.2.3 dan TCE 2.2.4 pada konsentrasi
25 ppm, 50 ppm dan 100 ppm mempunyai % inhibisi berkisar antara 46-50 %,
dimana TCE 2.2.4 pada konsentrasi 100 ppm mempunyai % inhibisi paling tinggi
yaitu 50,2 %. Semakin tinggi % inhibisi yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula
kemampuan suatu isolat tersebut untuk meredam radikal DPPH sehingga nilai IC50
akan semakin kecil. TCE 2.2.4 mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat dengan
nilai IC50 sebesar 91,9 ppm, sedangkan fraksi TCE 2.2.3 mempunyai aktivitas
antioksidan yang sangat lemah dengan nilai IC50 sebesar 112,37 ppm. Selanjutnya
keempat isolat TCE 2.2.1 sampai dengan TCE 2.2.4 dilakukan analisis dengan
menggunakan Gass Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS).

4.12. Analisis Struktur Isolat TCE 2.2.1 -TCE 2.2.4 menggunakan GC-MS
Isolat TCE 2.2.1 sampai dengan TCE 2.2.4 dianalisis menggunakan GC-MS
jenis (GCMS-QP 2010 Ultra) yang dilengkapi dengan jenis kolom flow 1,03
mL/menit, dioperasikan pada suhu kolom 70 sampai dengan 200oC, tekanan 9,2 psi
dan menggunakan detektor (FTD/BID). Hasil kromatogram menggunakan GC-MS
menunjukkan bahwa, isolat TCE 2.2.1 sampai dengan isolat TCE 2.2.4 mengandung
25 senyawa (Gambar 4.10).

(a)

43
(b)

(c)

(d)

Gambar 4.10. Kromatogram GC isolat (a) TCE 2.1, (b) TCE 2.2.2, (c) TCE 2.2.3 dan
(d) TCE 2.2.4.

44
Gambar 4.10 menunjukkan bahwa keempat isolat TCE 2.2.1 sampai dengan
TCE 2.2.4 mengandung 25 senyawa, dengan empat puncak dominan. Keempat
puncak dominan pada isolat TCE 2.2.1 sampai dengan TCE 2.2.3 diduga merupakan
senyawa golongan asam lemak, sedangkan isolat pada TCE 2.2.4 diduga merupakan
senyawa golongan steroid (Tabel 4.6).

Tabel 4.6. Hasil GC-MS isolat TCE 2.2.1 sampai dengan TCE 2.2.4
0
No Waktu Retensi Senyawa /0 Area Kemiripan
Data GC-MS TCE 2.2.1
1 26,45 Bis (2-ethylhexyl) phtalate 85,04 95
2 24,26 Heneicosane 1,49 94
3 25,26 1,2-Benzenedicarboxylic acid 1,29 92
4 22,26 n-Hexadecanoicc acid 1,04 90
Data GC-MS TCE 2.2.2
1 2 21,53 1,2-Benzenedicarboxylic acid 40,00 98
2 22,26 n-Hexadecanoic acid 13,25 94
3 25,44 6-Hexadecanoic acid 9,29 88
4 26,45 Bis (2-ethylhexyl) phtalate 5,55 97
Data GC-MST CE 2.2.3
1 22,45 n-Hexadecanoic acid 47,83 95
2 26,54 Bis (2-ethylhexyl) phtalate 13,89 94
3 21,44 Octadecanoic acid 8,09 94
4 21,03 Hexadecanoic acid 7,52 96
Data GC-MS TCE 2.2.4
1 28,41 γ-Sitosterol 66,74 94
2 26,25 Stigmasterol 20,46 91
3 25,10 Campesterol 3,58 80
4 26,56 n-Hexadecanoic acid 1,82 79

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa isolat TCE 2.2.1 mengandung senyawa Bis-
(2-ethylhexyl) phtalate, Heneicosane, 1,2-Benzenedicarboxylic acid dan n-
Hexadecanoicc acid dengan masing-masing waktu retensi 26,45 menit; 24,26 menit;
25,26 menit dan 22,26 menit. Isolat TCE 2.2.2 dengan 4 puncak dominan diduga
merupakan senyawa 1,2-Benzenedicarboxylic acid, n-Hexadecanoic acid, 6-
Hexadecanoic acid dan Bis (2-ethylhexyl) phtalate dengan masing-masing waktu
retensi 21,53 menit; 22,26 menit; 25,44 menit dan 26,45 menit. Isolat TCE 2.2.3
dengan empat puncak yang dominan direpresentasikan oleh puncak 7, 10, 16 dan 25

45
dengan masing-masing waktu retensi 22,45 menit; 26,54 menit; 21,44 menit dan
21,03 menit.
Berdasarkan data hasil GC-MS tersebut, komponen mayor isolat TCE 2.2.1
sampai TCE 2.2.3 merupakan senyawa golongan asam lemak, senyawa tersebut ialah
Bis-(2ethylhexyl) phtalate. Bis-(2ethylhexyl) phtalate mempunyai rumus kimia
C6H6(CO2C17H17) merupakan senyawa yang sering digunakan sebagai bahan
pemlastis. Senyawa ini dapat larut dalam minyak, dan sedikit larut dalam air.
Hasil ini berkorelasi dengan laporan Sartika (2008), menyatakan bahwa kakao
mengandung lemak campuran trigliserida yang terdiri dari asam stearat (34%), asam
palmitat (27%) dan asam oleat (34%) (Indarti et al. 2013). Asam lemak merupakan
metabolit primer yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan suatu
makhluk hidup.
Isolat TCE 2.2.4 juga mengandung 25 senyawa, namun komponen mayor
isolat ini merupakan senyawa golongan steroid. Komponen mayor tersebut diduga
ialah γ-sitosterol, stigmasterol dan campesterol serta asam lemak yaitu n-
hexadecanoic acid dengan masing-masing waktu retensi masing-masing yaitu 28,41
menit; 26,25 menit; 25,10 menit dan 26,56 menit terfragmentasi menjadi senyawa-
ssenyawa yang memiliki massa molekul dengan m/z sebesar 396, 329, 273, 255, 69,
55 dan 34 (Gambar 4.11).

Gambar 4.11 Data MS senyawa γ-sitosterol pada TCE 2.2.4.

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa, massa molekul relatif (m/z) 414 yang
diperoleh dari rumus C29H50O. Berdasarkan data literatur yang diperoleh, maka

46
senyawa dengan puncak tertinggi pada isolat TCE 2.2.4 adalah γ-sitosterol, dengan
pola fragmentasi yang ditunjukkan pada (Gambar 4.12).

329(18)

29(19)

43 (100)
-18
255(17) 273(13)

HO -18 -14
69(36) 55(67)
396(20)

Gambar 4.12. Pola fragmentasi senyawa γ-sitosterol

Gambar 4.12 menunjukkan bahwa pemecahan m/z 396 dihasilkan lepasnya


H2O. Pola fragmentasi puncak kedua m/z 381 dihasilkan lepasnya CH3+, sedangkan
m/z 342, 303 dan 95 merupakan pola fragmentasi dari pemecahan pada ikatan C-C.
Hasil pola fragmentasi ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Aziz et al. (2012) yang
menyatakan bahwa pola fragmentasi ion γ-sitosterol terjadi pada pergeseran m/z 396,
381, 273 dan 255. Jain et al. (2009) juga melaporkan bahwa pola fragmentasi γ-
sitosterol terjadi pada pergeseran m/z 396, 381, 273 dan 255, 329, 303, 213 dan 199.
Isolat TCE 2.2.4 juga mengandung senyawa stigmasterol dengan persen area
tertinggi kedua yaitu 94%. Data spektra MS stigmasterol dapat dilihat pada (Gambar
4.13).

Gambar 4.13. Data Spektra MS stigmasterol pada TCE 2.2.4.

47
Gambar 4.13 menunjukkan bahwa, massa molekul relatif (m/z) 412 dengan
rumus C29H48O. Berdasarkan data spektra di atas, maka dapat diperkirakan pola
fragmentasi senyawa stigmasterol (Gambar 4.14).

-15
285(5) 300(16) 43(43)
369(7)

-18
255(33) 273

314(4) 29(7)

-15
397(7)

83 (69) 69 (64) 55(100)


-14 -14
HO

Gambar 4.14. Pola fragmentasi stigmasterol

Gambar 4.17 menunjukkan bahwa, massa molekul relatif (m/z) 412 yang
diperoleh dari rumus C29H50O, pemecahan m/z 396 dihasilkan lepasnya H2O. Pola
fragmentasi puncak kedua m/z 381 dihasilkan lepasnya CH3+, sedangkan m/z 342,
303 dan 95 merupakan pola fragmentasi dari pemecahan pada ikatan C-C.
Ciri khas stigmasterol adalah pemecahan m/z 394 dihasilkan lepasnya H2O, m/z
285 dihasilkan lepasnya CH3+. Menurut Jain et al. (2009), melaporkan bahwa
fragmentasi stigmasterol terjadi pada pergeseran 394, 255, 213, 199 dan 55.
Berdasarkan perbandingan database dan literatur tersebut, maka TCE 2.2.4 diduga
kuat merupakan senyawa steroid yaitu stigmasterol.
Isolat TCE 2.2.4 juga teridentifikasi mengandung senyawa campesterol. Hasil
data spektra yang ditunjukkan oleh senyawa campesterol dapat dilihat pada (Gambar
4.15).

48
Gambar 4.15. Data Spektra MS campesterol

Berdasarkan data spektra pada Gambar 4.15, dapat dilihat bahwa massa
molekul relatif (m/z) 412 dengan rumus C29H48O. Pola fragmentasi campesterol dapat
dilihat pada (Gambar 4.16).
71 (31)

315 (15)
43 (100)

289 (23)
145 (29) 127
-18 273 (10)

-18

255 (13)

-18
HO
55 (62)
382(17) -15 367 (12)

Gambar 4.16. Pola Fragmentasi campesterol

Berdasarkan pola fragmentasi pada Gambar 4.16 di atas, menunjukkan bahwa


pemecahan m/z 382 dari C28H47 dihasilkan oleh lepasnya H2O dari puncak ion
molekul. Pemecahan m/z 55 berasal dari lepasnya gugus C4H7, sedangkan pemecahan
m/z 81, 145, 273, 255, 367 dan yang lainnya merupakan pola fragmentasi dari
pemecahan pada ikatan C-C.
Berdasarkan hasil analisis GC-MS dan literatur tersebut, maka senyawa TCE
2.2.4 merupakan golongan senyawa steroid yaitu γ-sitosterol, stigmasterol dan
campesterol. Isolat TCE 2.2.4 mempunyai aktivitas antioksidan, hal ini diduga karena
senyawa yang dikandung TCE 2.2.4 yaitu stigmasterol dapat menyumbangkan

49
aktivitas antioksidan. Senyawa golongan steroid jenis stigmasterol dari ekstrak etil
asetat belum dilaporkan, namun senyawa stigmasterol telah diketahui aktif sebagai
antioksidan. Kaur et al. (2011) melaporkan bahwa, senyawa stigmasterol mempunyai
aktivitas antioksidan, antimutagenik dan antiinflamasi.

50

Anda mungkin juga menyukai