Anda di halaman 1dari 56

LAMPIRAN I : Keputusan Direktur RSU “William Booth” Semarang Semarang

Nomor : 134/RSUWB/KEP/DIR/V/2019
Tentang : Pemberlakuan Kebijakan Manajemen dan Pelayanan di RSU “William Booth”
Semarang
=============================================================================

BAB I
KEBIJAKAN UMUM

Pasal 1
Visi, Misi, Nilai dan Motto

(1) Visi RSU “William Booth” Semarang adalah “Terciptanya suatu pelayanan kesehatan yang
optimal untuk meningkatkan derajat kesehatan bagi setiap orang, berdasarkan kasih
tanpa diskriminasi”.
(2) Misi RSU “William Booth” Semarang:
a. Mengutamakan Keselamatan Pasien
b. Mengupayakan Kualitas Pelayanan sesuai Standar
c. Melayani dengan professional sesuai kompentensi
d. Menggenggam Nurani Luhur penuh bakti
e. Menurunan angka kesakitan, kematian dan kecacatan
f. Menaati aturan dan prosedur
g. Mengandalkan doa dan usaha.
(3) Pelayanan rumah sakit harus dilandasi dengan cinta kasih, tidak membedakan suku,
bangsa, agama, gender, golongan dan ras.
(4) RSU “William Booth” Semarang menetapkan visi dan misi yang mengacu pada visi dan
misi YPKBK, yang dapat diukur dan dicapai dalam jangka waktu tertentu.
(5) Visi dan Misi tersebut disusun oleh Direktur, seluruh pejabat struktural dan stake holder,
serta ditetapkan oleh Pengurus YPKBK.
(6) Visi dan Misi tersebut wajib dievaluasi oleh Direktur dan seluruh pejabat struktural setiap
tahun.
(7) Pelayanan rumah sakit harus selalu berorientasi pada keselamatan pasien, sesuai dengan
visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut oleh YPKBK.
(8) Nilai Dasar RSU “William Booth” Semarang adalah kasih, sukacita, kedisiplinan, kejujuran,
kekompakan, kerjasama, kerja keras - kerja cerdas, kerendahan hati, kesediaan melayani
dan kontrol diri.
(9) Motto RSU “William Booth” Semarang adalah “Melayani dengan Kasih”

1 | 56
Pasal 2
Struktur Organisasi

(1) Struktur Organisasi RSU “William Booth” Semarang disusun oleh Direktur dan
disahkan oleh Pengurus YPKBK.
(2) Struktur Organisasi RSU “William Booth” Semarang dilengkapi dengan uraian tugas
yang jelas meliputi uraian tugas unit kerja / Unit Layanan , uraian tugas pengelola
(pemimpinnya) maupun uraian tugas para pelaksana yang ada di Unit Kerja / Unit
Layanan.
(3) RSU “William Booth” Semarang melakukan evaluasi secara berkala terhadap
Struktur Organisasi, yang melibatkan Direktur dan pejabat struktural.
(4) RSU “William Booth” Semarang dalam mengelola pelayanan secara fungsional
didukung oleh komite-komite, Tim-tim dan Kelompok Staf Medis (KSM).
(5) RSU “William Booth” Semarang dalam melaksanakan fungsi manajemen lainnya
khususnya dalam hal pengawasan, didukung oleh Satuan Pemeriksaan Internal
(SPI).
(6) RSU “William Booth” Semarang dapat membentuk Panitia atau Tim untuk
melaksanakan kegiatan lainnya, baik yang menunjang kegiatan maupun pelayanan
rumah sakit.

Pasal 3
Pengelolaan Organisasi

(1) RSU “William Booth” Semarang menetapkan kebijakan manajemen dan pelayanan
yang menjadi panduan dalam menetapkan pedoman, peraturan, standar dan
prosedur yang akan dibuat.
(2) Kebijakan manajemen dan pelayanan harus mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, AD/ART Yayasan (YPKBK) dan Hospital By Laws (HBL) yang
telah disusun dan disetujui YPKBK.
(3) Kebijakan manajemen dan pelayanan perlu dievaluasi secara berkala minimal 3
tahun sekali meliputi penjabaran, efektivitasnya dan masih relevan tidaknya
dengan perkembangan organisasi.
(4) Setiap pejabat struktural wajib menyusun pedoman pengorganisasian, pedoman
pelayanan, panduan, Standar Prosedur Operasional (SPO) dan indikator mutu
mengacu pada kebijakan manajemen dan pelayanan rumah sakit.
(5) Direktur RSU “William Booth” Semarang menyusun Rencana Strategik (Renstra)
yang jelas dan tepat untuk mengelola organisasinya dengan baik, guna mencapai
visi dan misi yang telah ditetapkan.
(6) Renstra ditetapkan oleh Pengurus YPKBK yang berlaku selama 5 tahun, dan
diterjemahkan oleh Direktur dan pejabat struktural menjadi program operasional
yang jelas setiap tahunnya dan dievaluasi minimal setahun sekali.

2 | 56
(7) Setiap pejabat struktural wajib membuat rencana kerja dan anggaran (RKA),
beserta laporan secara periodik, yang mengacu pada Renstra yang telah
ditetapkan.
(8) Setiap Sumber Daya Manusia (SDM) di rumah sakit wajib memenuhi ketentuan
keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk penggunaan Alat pelindung Diri (APD),
perlindungan lingkungan, serta selalu mengacu pada pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan menerapkan budaya mutu dan budaya keselamatan.
(9) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib memiliki surat tanda
registrasi, surat ijin praktek dan surat penugasan klinis.
(10) Setiap SDM yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar
profesi, uraian tugas, standar prosedur operasional, etika profesi dan kode etik
rumah sakit yang berlaku.
(11) Setiap jenjang struktural wajib menyelenggarakan rapat koordinasi secara periodik
untuk menjaga agar kegiatan organisasi berjalan secara konsisten dan terkoordinir
dengan program kerja yang telah dicanangkan.
(12) Setiap jenjang struktural wajib mengikuti ketentuan rapat yang telah ditetapkan
oleh Direktur.

Pasal 4
Pengembangan Organisasi

(1) Untuk mengembangkan Organisasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai RSU
“William Booth” Semarang harus menetapkan Rencana strategik (renstra) jangka
waktu sekurangnya 5 tahun dan master plan dan block plan untuk jangka waktu
sekurangnya 10 tahun.
(2) Rencana Strategik harus disusun dengan menyeimbangkan 4 perspektif yang
menjadi fokus dari pengembangan yaitu SDM, Internal proses, Customers dan
Keuangan.
(3) Untuk menyusun Rencana Strategik, RSU “William Booth” Semarang harus
menetapkan panduan penyusunan Renstra yang melibatkan semua
stakeholdersnya.
(4) Rencana strategik tersebut harus dijabarkan oleh pejabat struktural setingkat
Kepala bidang / kepala Instalasi menjadi program operasional yang jelas setiap
tahunnya.
(5) Agar semua program yang ditetapkan dapat berjalan maka pejabat struktural
setingkat Kepala Bagian / dan Kepala Ruang harus menyusun rencana program
bulanan yang operasional dapat dilaksanakan dan mudah dievaluasi.

Pasal 5
Etik Rumah Sakit

3 | 56
(1) Standar etik rumah sakit berpedoman pada Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI) yang
diterbitkan oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), yang masih
berlaku.
(2) Pemberlakuan Standar Etik Rumah Sakit dan pedoman pelaksanaannya ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Direktur.
(3) RSU “William Booth” Semarang mendukung keselamatan dan mutu untuk menuju
budaya keselamatan karyawan, dimana dalam hal masalah yang timbul atas
budaya keselamatan karyawan, dapat diselesaikan di unit terkait atau ke tingkat
yang lebih tinggi.
(4) Standar Etik Rumah Sakit yang telah ditetapkan pemberlakuannya oleh Direktur,
harus dilaksanakan oleh setiap karyawan rumah sakit, baik tenaga medis,
keperawatan, penunjang, tenaga kesehatn, tenaga keseahatan lain maupun tenaga
non medis.
(5) Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan etik rumah sakit dilakukan oleh Komite Etik
Rumah Sakit yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Direktur.
(6) Apabila ada kasus-kasus yang melanggar kode etik, maka kasus tersebut harus
dibahas dan ditelaah oleh Komite Etik Rumah Sakit, dan Komite Etik berkewajiban
membuat laporan dan rekomendasi kepada Direktur untuk ditindaklanjuti.

Pasal 6
Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien

(1) RSU “William Booth” Semarang wajib meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin
keselamatan pasien.
(2) RSU “William Booth” Semarang mengatur sistem untuk menjaga kerahasiaan
pelaporan
(3) Sistem pelaporan harus bersifat sederhana dan mudah diakses oleh pihak yang
melaporkan masalah terkait dengan budaya keselamatan.
(4) Setiap unit kerja / unit layanan di RSU “William Booth” Semarang berkoordinasi dan
berintegrasi dalam kegiatan peningkatan mutu & keselamatan pasien.
(5) Direktur berperan aktif dalam upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien
melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a.Membentuk Komite Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (Komite PMKP)
melibatkan dari berbagai disiplin ilmu.
b.Berkoordinasi dengan semua kepala unit layanan/ unit kerja, baik kepala
Bidang/Instalasi/Bagian dalam memilih dan menetapkan prioritas
pengukuran mutu pelayanan klinis yang akan di evaluasi.
c. Melakukan pengukuran mutu pada area prioritas dengan menggunakan
indikator area klinis, area manajemen, dan sasaran keselamatan pasien
dilengkapi dengan profil indikator.

4 | 56
d.Bersama dengan Komite PMKP melakukan supervisi terhadap proses
pengumpulan data.
e.Memimpin rapat untuk membahas hasil capaian indikator mutu dan analisa,
insiden dan analisanya, yang dihadiri oleh semua pejabat struktural, dan
semua komite terkait.
f. Melaporkan kepada YPKBK sebagai pemilik rumah sakit tentang progres PMKP
minimal 3 bulan sekali.
g.Mendorong pelaksanaan PMKP dan pelaksanaan budaya mutu dan Keselamatan
di semua unit layanan di rumah sakit.
(6) Direktur membentuk Komite PMKP yang bertugas :
a.Sebagai motor penggerak penyusunan program PMKP rumah sakit.
b.Melakukan monitoring dan memandu penerapan program PMKP di semua unit
layanan/ unit kerja.
c. Melakukan koordinasi dan pengorganisasian pemilihan prioritas program di
tingkat unit kerja (Bidang, Instalasi, Bagian) serta menggabungkan menjadi
prioritas rumah sakit.
d.Menentukan profil indikator mutu, metode analisis dan validasi data dari data
indikator mutu yang dikumpulkan, dari seluruh Bidang, Instalasi, Bagian.
e.Menyusun formulir untuk mengumpulkan data, menentukan jenis data, serta
alur data dan pelaporan.
f. Menjalin komunikasi dengan semua pihak terkait serta menyampaikan masalah
terkait program mutu dan keselamatan.
g.Terlibat secara penuh dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan PMKP.
h.Bertanggungjawab untuk mengkomunikasikan masalah–masalah mutu secara
rutin kepada semua karyawan.
i. Menyusun regulasi terkait dengan pengawasan dan penerapan program PMKP.
(7) Rumah sakit mempunyai pedoman PMKP sesuai dengan referensi terkini meliputi ;
a.Literatur ilmiah dan informasi lainnya atau data indikator mutu di tingkat
nasional/ internasional, peraturan perundang-undangan terkait mutu dan
keselamatan pasien serta pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang
diperlukan dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien, dan
mendukung terselenggaranya manajemen yang baik
b.Setiap unit layanan/ unit kerja terlibat dalam kegiatan PMKP dalam memilih
indikator mutu prioritas dan indikator mutu unit
c. Setiap unit layanan/ unit kerja berkewajiban melakukan pemilihan indikator
untuk area klinis, area manajemen dan sasaran keselamatan pasien, dan
setiap indikator dibuat profil indikatornya,dilakukan pengumpulan data oleh
petugas penanggungjawab pengumpul data,di analisa dan di ukur
pencapaiannya dan dilaporkan kepada Kepala Bidang/ Instalasi/ Bagian.
d.Pimpinan unit layanan/unit kerja melakukan supervisi terhadap pengumpulan
data dan melakukan perbaikan mutu.
e.Komite PMKP memfasilitasi rapat koordinasi dengan kepala unit layanan/ unit
kerja dalam pengumpulan data dan pelaporannya (indikator area klinis,

5 | 56
manajemen, sasaran keselamatan pasien, insiden keselamatan pasien, tingkat
kepatuhan DPJP terhadap PPK/CP)
f. Direktur menetapkan penanggungjawab data (PIC Data) di setiap unit layanan/
unit kerja di RSU “William Booth” Semarang.
(8) Agar PMKP berjalan baik maka Direktur dan Kepala Unit wajib mendorong
dilaksanakannya Program PMKP, terlaksananya budaya mutu dan keselamatan
pasien (Quality and Safety Culture), proaktif melakukan identifikasi untuk
menurunkan variasi, menggunakan data agar fokus pada prioritas dan berupaya
menunjukkan perbaikan yang berkelanjutan.
(9) Setiap tahun rumah sakit harus memilih fokus perbaikan proses dan hasil praktik
klinis dan manajemen mengacu pada misi rumah sakit, kebutuhan pasien dan jenis
pelayanan.
(10)Untuk menjamin proses penghitungan indikator mutu, perlu ada Sistem Manajemen
Data program PMKP yang terintegrasi (pengumpulan, pelaporan, analisa, validasi
dan publikasi indikator mutu) dan didukung penerapan teknologi informasi mulai
dari pengumpulan, pelaporan, analisis, validasi, serta publikasi data baik internal
maupun eksternal.
(11)Data yang dimaksud adalah data dari indikator mutu unit, data indikator mutu
prioritas rumah sakit, data pelaporan insiden keselamatan pasien, data hasil
monitoring kinerja staf klinis, data hasil pengukuran budaya keselamatan . dan
perlu ditetapkan data-data yang akan dibandingkan dengan rumah sakit lain atau
menggunakan data base eksternal, dimana rumah sakit menjamin keamanan dan
kerahasiaan data dalam berkontribusi dengan data base eksternal.
(12)Penggunaan statistik perlu dalam melakukan analisa data untuk :
a. Membandingkan data di rumah sakit dari waktu ke waktu (bulan ke bulan
dan/ tahun ke tahun).
b. Membandingkan dengan rumah sakit lain yang sejenis, bisa melalui data
base eksternal.
c.Membandingkan dengan standar–standar (badan akreditasi, organisasi
profesional, yang ditentukan oleh perundang-undangan).
d. Membandingkan dengan praktik-praktik yang diinginkan/ praktik yang lebih
baik/ practice guidelines.
(13)Analisa data dilakukan oleh Komite PMKP dan penanggungjawab data di Bidang,
Instalasi, Bagian yang telah mendapat pelatihan PMKP dan statistik
(14)Komite mengumpulkan dan menganalisis data program PMKP prioritas dan
mendorong dilakukannya hal-hal tersebut sebagai tindak lanjut yaitu:
a. Hasil analisa data disampaikan kepada Direktur, Kepala Bidang, Instalasi,
Bagian untuk ditindak lanjuti.
b. Membuat program pelatihan PMKP untuk Direksi, Komite Medis, Komite
Keperawatan, dan semua individu yang terlibat dalam pengumpulan, analisa,
validasi data, yang diberikan oleh narasumber yang kompeten agar paham
tentang PMKP.

6 | 56
c.Rumah sakit menetapkan evaluasi pelayanan kedokteran dengan panduan
praktek klinis (PPK), alur klinis atau protokol, dilakukan evaluasi dan
perbaikannya, termasuk dilaksanakannya audit klinis/ medis pada PPK/alur
klinis.
d. Setiap tahun perlu membuat manajemen risiko.
e. Setiap tahun kelompok staf medis memiliki 5 Panduan Praktek klinis.
f. Setiap tahun memiliki 5 Clinical Pathways dan dilakukan evaluasi kepatuhan,
serta tindak lanjut.
g. Hasil analisa data diinformasikan ke staf, pemilik dan ke publik (untuk publik
di tetapkan dengan SK Direktur).
(14) Kegiatan sistem mutu di RSU “William Booth” Semarang harus didokumentasikan
dengan baik dan benar sesuai dengan tata naskah dan pengendalian dokumen
sistem mutu yang telah ditetapkan oleh rumah sakit.
(15) Pendokumentasian sistem mutu dan update dokumen dan/atau regulasi internal
meliputi kebijakan, pedoman pengorganisasian unit, pedoman pelayanan unit,
panduan, standar prosedur operasional (SPO) dan program kerja unit harus
dikelola dengan baik dan sesuai kaidah/ peraturan yang berlaku.
(16) Pencapaian program peningkatan mutu harus dicatat, dilaporkan dengan
dukungan teknologi informasi, dimonitoring, dianalisa dan dilaporkan kepada
direktur serta didokumentasikan oleh unit mutu.
(17) Komite PMKP melalui Sub Komite Mutu harus melakukan monitoring terhadap
pelaksanaan penerapan Failure Mode Effects Analysis (FMEA), Root Cause Analysis
(RCA) dan Manajemen Risiko Rumah Sakit.
(18) Sub Komite Mutu memfasilitasi gugus tugas/unit lain untuk melakukan Tindakan
Perbaikan dan Pencegahan (TPP) untuk sistem mutu yang tidak tercapai.
(19) Unit Mutu memfasilitasi gugus tugas dalam melakukan revisi terhadap prosedur,
menciptakan sistem dan layanan baru.
(20) Unit Mutu bersama dengan Komite Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
(KMKP) dan bagian SDM bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan SDM terkait dengan sistem manajemen mutu.

7 | 56
BAB II
KEBIJAKAN KHUSUS

Pasal 7
Pelayanan Medis

(1) RSU “William Booth” Semarang memberi asuhan dengan menghargai agama, keyakinan,
dan nilai-nilai pribadi pasien, serta merespon permintaan pasien atau keluarga pasien
akan bimbingan rohani.
(2) Pelayanan medis diberikan oleh tenaga medis, yang bersifat preventif, diagnostik, kuratif,
promotif, dan rehabilitatif. Pelayanan medis harus diberikan kepada pasien sesuai dengan
ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas
rumah sakit secara optimal.
(3) Skrining pada proses admisi pasien rawat inap di lakukan dengan tujuan staf mengetahui
prioritas kebutuhan pasien untuk pelayanan preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif
atas kondisi pasien
(4) RSU “William Booth” Semarang memberikan pelayanan yang seragam, berfokus pada
pasien (Patient/ Person Centered Care), diterapkan dalam bentuk Asuhan Pasien
Terintegrasi yang bersifat integrasi horizontal dan vertikal, termasuk melibatkan
pasien/keluarga pasien dalam pengambilan keputusan, serta berpedoman pada standar
pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI, yang dijabarkan
dalam Pedoman Pelayanan Klinik dan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang disusun
oleh unit terkait dan disahkan oleh Direktur.
(5) SPO pelayanan medis RSU “William Booth” Semarang disusun oleh kelompok staf medis
yang dikoordinasi oleh Komite Medik, dalam bentuk Clinical Pathway, prosedur, dan
standing order.
(6) Jenis pelayanan medis RSU “William Booth” Semarang meliputi pelayanan medis dasar
dan spesialistik.
(7) Ruang lingkup pelayanan medis RSU “William Booth” Semarang meliputi pelayanan
gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, tindakan bedah, perawatan intensif, tindakan
rehabilitasi medik/ fisioterapi dan homecare.
(8) Setiap pasien harus dikelola oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA), di bawah koordinasi
Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), yang memiliki kompetensi dan diberikan
kewenangan klinis. PPA yang dimaksud adalah staf medis, staf keperawatan, bidan,
apoteker, ahli gizi, dan fisioterapis.
(9) Pelayanan dan asuhan yang diberikan kepada pasien dilakukan secara terintegrasi antar
PPA, dimulai dari asesmen awal dengan format khusus, sedangkan asesmen ulang, dan
asesmen tambahan berbasis IAR (Informasi, Analisis, Rencana), dituliskan dengan
metode SOAP (Subject, Object, Analysis, Plan) di dalam CPPT (Catatan Perkembangan
Pasien Terintegrasi).
(10) Asesmen awal wajib mengandung unsur status fisik, psiko-sosio-spiritual, ekonomi,
riwayat kesehatan pasien, riwayat alergi, asesmen nyeri, risiko jatuh, asesmen fungsional,
risiko nutrisional, kebutuhan edukasi, perencanaan pemulangan pasien (discharge
planning) dan riwayat penggunaan obat.

8 | 56
(11) RSU “William Booth” Semarang memberikan asuhan dan tindakan berlanjut kepada
pasien dengan diagnosa kompleks dan atau yang membutuhkan asuhan kompleks.
Dengan membuat ringkasan pasien yang mudah di akses oleh DPJP dalam bentuk
formulir Resume Medis Rawat Jalan. Petugas Rekam Medis akan memberikan sesuai
permintaan DPJP.
(12) RSU “William Booth” Semarang menetapkan Case Manager (Manajer Pelayanan Pasien)
untuk mengelola pelayanan pasien dalam integrasi vertikal pelayanan berjenjang
oleh/melalui berbagai unit pelayanan yang memerlukan keterlibatannya.
(13) Pasien yang membutuhkan lebih dari satu DPJP, maka harus ditetapkan DPJP utama yaitu
yang menangani diagnosa utama pasien.
(14) Rumah sakit menerapkan Early Warning System (EWS) agar staf mampu mengidentifikasi
keadaan pasien memburuk sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang
kompeten.
(15) Rumah sakit melakukan identifikasi populasi pasien yang rentan terhadap resiko
kekerasan dan melindungi semua pasien dari kekerasan fisik.
(16) Pasien yang membutuhkan pengelolaan lebih lanjut akan dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan lain apabila fasilitas yang diperlukan belum tersedia, atau tenaga spesialis
yang menangani belum ada, atau atas permintaan pasien dan atau keluarga pasien, dan
atau ruangan penuh.
(17) RSU “William Booth” Semarang memberikan edukasi dan informasi kepada pasien dan
keluarga.
(18) Pemberian penjelasan tentang edukasi pasien dan keluarga dilakukan oleh petugas yang
sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
(19) Ruang lingkup pemberian edukasi bagi pasien dan keluarga dilakukan di area
pendaftaran, rawat jalan, unit gawat darurat, rawat inap, laboratorium, radiologi,
farmasi, gizi, rehabilitasi medik, ruang prosedur/ tindakan, pelayanan jenazah, sampai
pembayaran pasien pulang.
(20) RSU “William Booth” Semarang bertanggung jawab dan mendukung hak pasien dan
keluarga selama dalam asuhan, sebagaimana ditetapkan dalam UU RI No. 44 Tahun 2009
Pasal 32, yang tertulis dan dipasang di area publik.
(21) RSU “William Booth” Semarang wajib meminta persetujuan umum (General Consent)
kepada pasien atau keluarganya, yang berisi persetujuan terhadap tindakan yang berisiko
rendah, prosedur diagnostik, pengobatan medis lainnya, batas–batas yang telah
ditetapkan dan persetujuan lainnya.
(22) RSU “William Booth” Semarang menetapkan regulasi pelaksanaan persetujuan khusus
(Informed Consent) oleh DPJP dan dapat dibantu oleh staf yang terlatih dengan batas
yang dapat dimengerti sesuai dengan peraturan perundang–undangan.
(23) Persetujuan Khusus (Informed Consent) harus diperoleh pasien sebelum operasi atau
tindakan invasif, sebelum diberikan pelayanan anestesi (termasuk sedasi), pemakaian
produk darah, serta pengobatan risiko tinggi lainnya.
(24) Rumah sakit menetapkan proses dan siapa pengganti pasien yang dapat menandatangani
persetujuan khusus (Informed Consent) bila pasien tidak kompeten, sesuai dengan
perundang–undangan.
(25) RSU “William Booth” Semarang bertanggung jawab terhadap barang milik pasien yang
dibawa masuk rumah sakit, sesuai dengan batasannya. Rumah sakit memiliki proses

9 | 56
untuk mengidentifikasi dan melindungi barang milik pasien yang dititipkan atau pasien
tidak dapat menjaganya, untuk memastikan barang tidak hilang atau dicuri.
(26) RSU “William Booth” Semarang mendorong partisipasi pasien atau keluarga pasien
dalam proses asuhan dan memberi kesempatan pasien untuk melaksanakan second
opinion tanpa rasa khawatir akan mempengaruhi proses asuhan.
(27) Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang kondisi,
diagnosis pasti, rencana asuhan dan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
serta diberitahu tentang hasil asuhan termasuk kemungkinan hasil yang tidak terduga.
(28) Rumah sakit menghormati keinginan dan pilihan pasien untuk menolak pelayanan
resusitasi (DNR), menunda atau melepaskan bantuan hidup dasar, sesuai dengan
peraturan perundang–undangan, norma agama dan budaya masyarakat.
(29) Rumah sakit menghormati dan mendukung hak pasien terhadap asesmen dan
manajemen nyeri yang tepat. Staf rumah sakit memahami pengaruh pribadi, budaya,
sosial, dan spiritual tentang hak pasien untuk melaporkan rasa nyeri, serta assesmen dan
manajemen secara akurat.
(30) Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang penuh hormat
dan penuh kasih sayang pada akhir kehidupannya. Semua staf rumah sakit harus
menyadari kebutuhan unik pasien dalam proses asuhan akhir kehidupan dan
didokumentasikan.

Pasal 8
Bidang Keperawatan

(1) Pelayanan keperawatan rumah sakit mengacu dan berpedoman pada Undang-undang
Keperawatan.
(2) Pelayanan Keperawatan dilakukan menggunakan proses asuhan yang terdiri dari
pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, penencanaan keperawatan, intervensi
keperawatan dan evaluasi.
(3) Pendokumentasian asuhan keperawatan menggunakan standar NANDA, NOC dan NIC
untuk area medical, bedah, anak, neonatus, maternitas dan gawat darurat.
(4) Evaluasi penerapan Asuhan Keperawatan berpedoman pada Instrumen Evaluasi
Penerapan Standar Praktik Asuhan Keperawatan (SAK) di Rumah Sakit yang disusun oleh
Tim Kementrian Kesehatan RI tahun 2005.
(5) Pengembangan jenjang Karir Keperawatan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan
tentang pengembangan jenjang karir profesional perawat klinis, No 40/2017.
(6) Pelayanan kebidanan mengacu pada Standar Profesi Bidan sesuai Keputusan Menkes RI
No 369/Menkes/SK/III/2017.
(7) Pelayanan keperawatan meliputi tenaga perawatan rawat jalan, rawat inap, gawat
darurat, ruang intensif, dan ruang khusus (bedah sentral, kamar bersalin, perinatologi
dan hemodialisa).

10 | 56
Pasal 9
Pelayanan Rawat Jalan

(1) Pelayanan rawat jalan meliputi klinik spesialis, klinik umum, Tempat Penerimaan Pasien
Rawat Inap (TPPRI), klinik geriatri, klinik paru dan pelayanan hemodialisa.
(2) Pelayanan klinik umum melayani 24 jam (shif malam bergabung dengan pelayanan di
IGD), klinik spesialis dan klinik geriatri sesuai jadwal yang berlaku, dan pelayanan
hemodialisa melayani shif pagi dan shif siang.
(3) Skrining di rawat jalan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan pasien melalui evaluasi
visual atau pengamatan, atau hasil dari pemeriksaan fisik, psikologi, laboratorium klinis,
dan diagnostik imajing sebelumnya, sesuai dengan kompetensi rumah sakit, dan hasil
dari skrining didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
(4) Asesmen awal dilakukan pada pasien yang akan mendapatkan pelayanan di rumah sakit
dan dicatat dalam dokumen rekam medis serta diselesaikan dalam waktu maksimal 60
menit.
(5) Asesmen awal untuk pasien rawat jalan wajib dilakukan pada pasien baru, pasien lama
dengan klinik yang berbeda. dengan penyakit akut perlu diperbaharui setelah satu bulan,
dan pasien dengan penyakit kronis perlu diperbaharui setelah tiga bulan.
(6) Dokter Spesialis di Klinik/Instalasi Rawat Jalan yang memutuskan pasien untuk rawat
inap, wajib memberi informasi tentang rencana asuhan yang diberikan dan hasil asuhan
yang diharapkan, yang dituliskan dalam formulir general consent.
(7) Pelayanan pasien di rawat jalan yang membutuhkan restraint dilakukan dengan cara
restraint fisik.
(8) Transfer pasien dilakukan ketika kondisi pasien sudah stabil dan sesuai instruksi dokter,
dimana PPA wajib menulis ringkasan informasi medis pada formulir transfer, untuk setiap
pasien yang akan dipindahkan dari TPPRI ke ruang perawatan, dimana memuat sebab
pasien masuk dirawat, temuan penting, diagnosis, prosedur atau tindakan, obat yang
diberikan, dan keadaan pasien waktu pindah, beserta dokumen rekam medis pasien.
(9) Untuk pasien rawat jalan yang membutuhkan asuhan yang kompleks atau diagnosis yang
kompleks, maka PPA wajib membuat catatan tersendiri yaitu Profil Ringkas Medis Rawat
Jalan (PRMRJ), yang disimpan dalam dokumen rekam medis pasien.
(10) Penundaan pelayanan rawat jalan karena perubahan jadwal dokter dan jadwal kamar
operasi, serta ruangan penuh, diinformasikan dan dilakukan edukasi kepada pasien.

Pasal 10
Instalasi Rawat Inap

(1) Pelayanan rawat inap meliputi perawatan empat (4) spesialis dasar (penyakit
bedah, penyakit dalam, anak, obstetric dan ginekologi), dan spesialis lainnya.
(2) Pelayanan rawat inap terdiri dari fasilitas tempat tidur untuk pasien, pelayanan
asuhan keperawatan, pemberian gizi sesuai kebutuhan pasien, pemberian terapi dan
tindakan, pelayanan konsultasi dan edukasi, serta pelayanan pastoral bila diperlukan.
(3) RSU “William Booth” Semarang menyediakan fasilitas ruangan rawat inap terdiri
dari:
a. Ruang Agatha yang diutamakan untuk kelas 1 dan VIP
b. Ruang Beneta yang diutamakan untuk semua kelas perawatan
c. Ruang Casandra yang diutamakan untuk kasus obsgyn dan anak.
d. Ruang Instalasi Rawat Bersalin (IRB) untuk kasus persalinan.

11 | 56
e. Ruang Perinatologi untuk untuk perawatan bayi dengan risiko tinggi.
f. Ruang ICU/HCU ruang perawatan untuk pasien sakit kritis.
g. Disediakan ruang kohorting untuk kasus yang membutuhkan pelayanan khusus.
h. Dalam kondisi tertentu dimungkinkan pasien ditempatkan tidak sesuai dengan
ketentuan diatas.
(4) Asesmen awal untuk pasien rawat inap wajib diselesaikan maksimal dalam waktu
24 jam.
(5) Asesmen ulang wajib dilakukan selama asuhan, pengobatan dan pelayanan untuk
mengetahui respon pasien dan sebagai dasar untuk rencana kelanjutan asuhan dan atau
rencana pulang.
(6) Asesmen ulang wajib dilakukan oleh DPJP minimal satu kali sehari yang dicatat
dalam CPPT.
(7) Asesmen ulang wajib dilakukan oleh perawat minimal satu kali per shift atau sesuai
dengan perubahan kondisi pasien, yang dicatat dalam CPPT.
(8) Asesmen ulang oleh PPA lainnya dilakukan sesuai dengan ketentuan masing-
masing pelayanan.
(9) Asesmen tambahan wajib dilakukan pada populasi pasien tertentu, antara lain
untuk neonatus, anak, obstetri, geriatri, pasien dengan kebutuhan P3 (Perencanaan
Pemulangan Pasien), sakit terminal, pasien dengan rasa sakit kronik atau nyeri, pasien
dengan penyakit menular atau infeksius yang tidak memerlukan ruang isolasi dan pasien
dengan sistem imunologi terganggu.
(10) DPJP bekerja sama dengan perawat dan PPA lainnya wajib menetapkan sasaran
yang realistik, spesifik dan harus terkait waktu untuk mengukur kemajuan, serta hasil
terkait dengan rencana asuhan.
(11) DPJP sebagai ketua tim PPA wajib melakukan evaluasi/review berkala dan verifikasi
harian untuk menjaga terlaksananya asuhan terintegrasi dan membuat notasi sesuai
dengan kebutuhan.
(12) Pemberian instruksi yang diberikan oleh DPJP wajib dilakukan secara tertulis dan
dicatat dalam CPPT. Apabila instruksi dilakukan secara per telepon, maka perawat yang
menerima instruksi melakukan metode SBAR (Situation, Background, Assessment, and
Recommendation) dan TBK (Tulis, Baca, Konfirmasi), serta dalam waktu 24 jam harus
diverifikasi oleh DPJP.
(13) Instruksi untuk pemeriksaan penunjang, tindakan klinis, dan diagnostik dilakukan
sesuai indikasi klinis pasien, dicatat dalam CPPT dan hasil pemeriksaan tersebut disimpan
dalam dokumen rekam medis pasien.
(14) Hasil asuhan dan pengobatan, termasuk informasi hasil asuhan yang tidak
diharapkan wajib diberitahukan oleh DPJP kepada pasien dan keluarga pasien dan dicatat
dalam dokumen rekam medis pasien.
(15) Pada pasien yang menolak rencana asuhan medis, dilakukan upaya untuk
mengetahui alasan pasien menolak rencana asuhan medis dan DPJP wajib memberitahu
risiko medis yang dapat dialami pasien, termasuk keluar dari rumah sakit atas
permintaan sendiri dan penghentian pengobatan (bila DPJP tidak di tempat, penjelasan
diberikan oleh dokter jaga).
(16) Untuk pasien yang menolak rencana asuhan medis dan melarikan diri, maka rumah
sakit wajib melakukan asesmen untuk mengidentifikasi pasien menderita penyakit yang
membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan dan wajib memberikan
informasi/laporan kepada pihak yang berwenang termasuk keluarga.

12 | 56
(17) Transfer pasien dilakukan bila kondisi pasien sudah stabil dan sesuai instruksi
dokter dimana PPA wajib menulis ringkasan informasi medis pada formulir transfer,
untuk setiap pasien yang akan dipindahkan antar ruang perawatan, dimana memuat
sebab pasien masuk dirawat, temuan penting, diagnosis, prosedur atau tindakan, obat
yang diberikan dan keadaan pasien waktu pindah, beserta dokumen rekam medis
pasien.
(18) Perawatan pasien dapat dialihkan ke dokter lain atas dasar permintaan pasien dan
atau keluarga pasien, atau karena dokter yang merawat sedang berhalangan dan atau
berhubungan dengan kompetensi.
(19) Perawatan pasien dapat dipindahkan dari ruangan kelas yang satu ke kelas yang
lainnya, atau dari bangsal yang satu ke bangsal lainnya, atas dasar permintaan pasien
dan atau keluarga pasien, atau karena kondisi pasien yang ditetapkan oleh dokter yang
merawat.
(20) Apabila karena sesuatu dan lain hal, terjadi penundaan atau keterlambatan
pelayanan, maka petugas yang diberi wewenang wajib menyampaikan kepada pasien
baik secara lisan maupun tulisan dan terdokumentasi dalam Dokumen Rekam Medis.

(21) Rumah sakit menetapkan bahwa proses pemulangan pasien harus didasarkan pada
kondisi kesehatan pasien dan kebutuhannya untuk memperoleh kesinambungan asuhan.
(22) Pada pasien dengan kriteria tertentu memerlukan perencanaan pemulangan
pasien (discharge planning) yang harus dilakukan sedini mungkin oleh semua PPA
terkait, Case Manager dan pasien/ keluarga pasien, dengan mempertimbangkan
pendidikan/ pelatihan khusus yang mungkin dibutuhkan pasien dan keluarga pasien
untuk kontinuitas asuhan di luar rumah sakit.
(23) PPA wajib memberikan referensi atau rujukan ke praktisi kesehatan yang berasal
dimana pasien tinggal.
(24) Pasien yang sedang dirawat inap karena suatu kepentingan, diizinkan untuk keluar
meninggalkan rumah sakit, selama periode waktu tertentu, setelah dipastikan oleh PPA
bahwa kondisi kesehatannya memungkinkan untuk meninggalkan rumah sakit.
(25) Ringkasan pasien pulang harus dibuat oleh DPJP untuk semua pasien rawat inap
dan tertulis dalam formulir ringkasan pasien pulang.
(26) Ringkasan pasien pulang harus dijelaskan dan ditandatangani oleh pasien/ keluarga
pasien.
(27) Salinan ringkasan pasien pulang wajib diberikan kepada pihak yang berkepentingan
yaitu tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan tindak lanjut asuhan
kepada pasien, pasien atau keluarga yang diberi wewenang dan penjamin.
(28) Untuk pasien yang akan dirujuk, maka PPA wajib mencari fasilitas pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, atau konsultasi spesialistik dan
tindakan, serta penunjang dagnostik, dan memastikan bahwa fasilitas kesehatan yang
dituju dapat memenuhi kebutuhan pasien.
(29) Rumah sakit dapat merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang telah membuat
perjanjian kerjasama sebelumnya, atau ke fasilitas kesehatan lain tanpa perjanjian
formal.
(30) Rumah sakit wajib memastikan proses rujukan berjalan dengan aman untuk
keselamatan pasien dengan cara :

13 | 56
a. Rumah sakit menunjuk staf yang kompeten untuk bertanggungjawab dalam proses
pengelolaan pasien yang dirujuk.
b. Rumah sakit menyediakan obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan, dan
peralatan medis sesuai kebutuhan pasien
c. Rumah sakit menjalankan proses serah terima pasien antara staf pengantar dan
penerima
(31) Proses rujukan wajib tercatat dalam formulir rujukan, yang diberikan kepada
fasilitas pelayanan kesehatan penerima bersama dengan pasien.
(32) Proses rujukan wajib dievaluasi dalam aspek mutu dan keselamatan pasien, secara
periodik, dengan melibatkan pihak terkait.
(33) Pasien yang dirawat inap, dapat ditunggu oleh keluarganya dengan jumlah
tertentu.
(34) Untuk menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan, keluarga/ penunggu pasien
disediakan ruang tunggu khusus di unit kritis yang terbatas tempatnya.
(35) Ketentuan berkunjung bagi anak dibawah 14 tahun diatur sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
(36) Jam kunjung untuk pasien rawat inap diatur 2 kali sehari sesuai kebijakan Direktur.

Pasal 11
Instalasi Gawat Darurat

(1) Pelayanan Gawat Darurat dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) meliputi resusitasi,
stabilisasi, evakuasi dan Hospital Disaster.
(2) Instalasi Gawat Darurat melayani 24 jam.
(3) Respon time pelayanan di Instalasi Gawat Darurat ditentukan kurang dari 5 menit dan
pelayanan terhadap pasien kurang dari 6 jam.
(4) Skrining pasien gawat darurat dilaksanakan melalui kriteria triase.
(5) Instalasi Gawat Darurat memiliki standing order awal dalam hal tes diagnostik awal
untuk menentukan apakah pasien dapat diterima, dipindahkan atau harus dirujuk.
(6) Asesmen awal dilakukan pada pasien yang akan mendapatkan pelayanan di rumah sakit
dan dicatat dalam dokumen rekam medis, serta diselesaikan dalam waktu 60 menit.
(7) Staf klinis memberitahu pasien tentang nama dokter atau PPA lainnya, sebagai
penanggung jawab asuhan yang diberi izin melakukan tindakan dan prosedur.
(8) Pelayanan pasien di instalasi gawat darurat yang membutuhkan restraint dilakukan
dengan cara restraint fisik dan farmakologi.
(9) Transfer pasien dilakukan ketika kondisi pasien sudah stabil dan sesuai instruksi dokter
dimana PPA wajib menulis ringkasan informasi medis pada formulir transfer, untuk setiap
pasien yang akan dipindahkan dari IGD ke ruang perawatan, dimana memuat sebab
pasien masuk dirawat, temuan penting, diagnosis, prosedur atau tindakan, obat yang
diberikan, dan keadaan pasien waktu pindah, beserta dokumen rekam medis pasien.
(10) Dokter jaga IGD wajib memberikan informasi/ laporan kepada pihak yang berwenang
termasuk keluarga, bila terdapat indikasi kondisi pasien yang membahayakan dirinya
sendiri atau lingkungan.
(11) Dokter jaga IGD menetapkan proses untuk mengelola pasien yang menolak rencana
asuhan medis sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

14 | 56
(12) Untuk pasien yang menolak rencana asuhan medis dan melarikan diri, maka dokter jaga
IGD wajib melakukan asesmen untuk mengidentifikasi pasien menderita penyakit yang
membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan.
(13) Dokter jaga IGD perlu mengupayakan untuk mengetahui alasan pasien menolak rencana
asuhan medis, agar dapat melakukan komunikasi lebih baik dengan pasien dan atau
keluarga pasien dalam rangka memperbaiki proses.
(14) Pelayanan pada kasus Death On Arrival tidak dilakukan resusitasi dan jenazah di pindah
ke kamar jenazah.
(15) Penundaan pemindahan pasien dari IGD karena ruang rawat inap penuh, maka pasien
diberikan pilihan untuk menempati kelas yang ada atau dirujuk ke rumah sakit lain.
(16) Penundaan tindakan operasi pada kasus gawat darurat karena jadwal kamar operasi
penuh maka pasien diinformasikan dan dilakukan edukasi untuk penundaan tindakan
atau dirujuk.
(17) Pelayanan Ambulance 24 jam tersedia di IGD untuk memastikan pasien mendapat
transportasi yang aman dalam proses penjemputan dan rujukan.
(18) Rumah sakit menyediakan informasi hunian kamar kosong dengan menyediakan display
informasi kamar kosong yang dapat dilihat oleh pasien dan keluarga.

Pasal 12
Intensive Care Unit (ICU)

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan intensif di Intensive Care Unit (ICU).
(2) Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU yaitu :
a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit akut yang mengancam nyawa dan
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari.
b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh, dan pelaksanaan spesifik
problem dasar;
c. Memberi bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung
pada alat/ mesin dan orang lain.
d. Pengelolaan pasien intensif secara multi disiplin
e. Pengelolaan pasien dipimpin oleh DPJP, dalam hal pemeriksaan pasien, penegakan
diagnosis, penetapan rencana tindakan dan program terapi, pengawasan dan
penanggulangan kegawatan, serta evaluasi pasien atas koordinasi dengan
intensivist.
f. Bila terjadi kegawatan dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) tidak berada
ditempat, penanganan langsung dilakukan oleh dokter jaga yang kemudian
dikomunikasikan dengan dokter penanggung jawab.
g. Untuk tindakan yang bukan penyelamatan nyawa namun memerlukan perawatan
intensif, apabila DPJP tidak berada di tempat dan dokter penanggung jawab tidak
dapat dihubungi sebanyak 3 kali dalam selang waktu 15 menit, maka dokter jaga
diberi kewenangan untuk bertindak sesuai SPO yang telah ditetapkan.

15 | 56
(3) Rumah sakit menetapkan kriteria pasien yang dirawat di ICU adalah sebagai berikut:
a. Pasien yang memenuhi kriteria Prioritas 1, 2 dan 3 (Dalam Buku Pedoman
Pelayanan ICU).
b. Semua bayi baru lahir yang dalam keadaan kritis memerlukan observasi ketat dan
tindakan intensif, dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan Direksi
atau Ka. Instalasi.
(4) Penetapan kriteria pasien yang dirawat di ICU, melibatkan staf yang kompeten dan
berwenang dari unit intensif dan unit spesialistik.
(5) Pelaksanaan kriteria pasien di ICU, dilakukan oleh staf yang terlatih, dan dicatat dalam
formulir kriteria pasien masuk ICU.
(6) Sistem pelayanan pasien di ICU dengan “Semi Closed” dimana Dokter Penanggung Jawab
Pasien adalah dokter spesialis yang sesuai dengan penyakit pasien, dan atau Dokter
Spesialis Anestesi Konsultan Intensif.
(7) Transfer pasien dilakukan ketika kondisi pasien sudah stabil dan sesuai instruksi dokter
dimana PPA wajib menulis ringkasan informasi medis pada formulir transfer, untuk setiap
pasien yang akan dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan, dimana memuat sebab
pasien masuk dirawat, temuan penting, diagnosis, prosedur atau tindakan, obat yang
diberikan, dan keadaan pasien waktu pindah, beserta dokumen rekam medis pasien

Pasal 13
High Care Unit (HCU)

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan intermediate di High Care Unit (HCU)
(2) Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di HCU yaitu:
a. Pasien dengan gagal organ tunggal yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi
komplikasi
b. Pasien yang memerlukan perawatan perioperative
(3) Pelaksanaan kriteria pasien di HCU, dilakukan oleh staf yang terlatih, dan dicatat dalam
formulir kriteria pasien masuk HCU.
(4) Penetapan kriteria pasien yang dirawat di HCU melibatkan staf yang kompeten dan
berwenang dari unit intensif dan DPJP terkait.
(5) Transfer pasien dilakukan ketika kondisi pasien sudah stabil dan sesuai instruksi dokter
dimana PPA wajib menulis ringkasan informasi medis pada formulir transfer, untuk setiap
pasien yang akan dipindahkan dari HCU ke ruang perawatan, dimana memuat sebab
pasien masuk dirawat, temuan penting, diagnosis, prosedur atau tindakan, obat yang
diberikan, dan keadaan pasien waktu pindah, beserta dokumen rekam medis pasien.

16 | 56
Pasal 14
Instalasi Bedah Sentral (IBS)

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan bedah dan pelayanan anestesi di Instalasi
Bedah Sentral.
(2) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan anestesiologi selama 24 jam yang melingkupi
pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam, sesuai dengan kebutuhan pasien,
termasuk pada kondisi kegawatdaruratan.
(3) Rumah sakit menunjuk seorang dokter spesialis anestesi sebagai penanggung jawab
pelayanan anestesi yang memiliki tanggung jawab untuk mengelola pelayanan anestesi
yang seragam dan terintegrasi di seluruh tempat pelayanan rumah sakit.
(4) Penanggung jawab pelayanan anestesi wajib menyusun program mutu dan keselamatan
pasien dalam pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam, untuk menjaga pelayanan
anestesi yang aman demi keselamatan pasien.
(5) Pelayanan sedasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien, dengan memperhatikan
risiko pada pasien, dan diberikan oleh PPA yang memenuhi kualifikasi dan kompeten.
(6) Dokter anestesi wajib melakukan asesmen prasedasi, sebelum memberikan pelayanan
sedasi terhadap pasien, dengan menggunakan metode IAR, yang dicatat dalam dokumen
rekam medis pasien.
(7) PPA wajib melakukan pemantauan terhadap kondisi pasien yang diberikan pelayanan
sedasi.
(8) Dokter anestesi wajib menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien berhubungan
dengan tindakan sedasi moderat dan dalam, baik risiko, keuntungan dan alternatif
tindakan sedasi.
(9) Dokter anestesi wajib melakukan asesmen pra anestesi, sebelum memberikan pelayanan
anestesi terhadap pasien, menggunakan metode IAR, yang dicatat dalam dokumen
rekam medis pasien.
(10) Dokter anestesi wajib melakukan asesmen pra induksi, sebelum memberikan pelayanan
induksi terhadap pasien, menggunakan metode IAR, yang dicatat dalam dokumen rekam
medis pasien.
(11) Pelayanan anestesi yang diberikan kepada pasien wajib didokumentasikan dalam rekam
medis pasien meliputi teknis anestesi, obat, dosis dan rute.
(12) Dokter anestesi wajib menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien berhubungan
dengan tindakan anestesi yang diberikan, baik risiko, keuntungan, dan alternatif tindakan
anestesi.
(13) Pemantauan selama proses anestesi dan pasca anestesi harus dilakukan sesuai dengan
panduan praktik klinis dan didokumentasikan dalam formulir anestesi.
(14) Proses pemindahan pasien pasca anestesi dapat dilakukan apabila kondisi pasien
memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan, berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan
secara terus menerus.
(15) Pelayanan bedah diselenggarakan selama 24 jam, yang terdiri dari pelayanan bedah
umum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah orthopedi, bedah gigi & mulut, mata, dan
THT.
(16) Pelayanan bedah melayani operasi elektif (rawat inap dan one day surgery) dan
emergency.
(17) DPJP wajib menjelaskan dan mendiskusikan dengan pasien dan atau keluarga, atau pihak
lain yang berwenang, tentang tindakan yang akan diberikan, dan didokumentasikan
dalam informed consent.

17 | 56
(18) DPJP wajib melakukan asesmen pra bedah sebelum melakukan tindakan bedah yang di
tulis di formulir assesmen awal rawat inap.
(19) DPJP wajib melakukan site marking untuk tindakan pembedahan kecuali:
a. Gigi dilakukan marking pada hasil rontgen.
b. Bayi prematur dimana marker dapat menyebabkan tato permanen.
c. Pasien menolak prosedur pemberian marker di lokasi tempat operasi.
(20) DPJP wajib melakukan surgical safety.
(21) DPJP wajib membuat laporan operasi yang dicatat dalam dokumen rekam medis pasien,
dibuat segera setelah operasi, sebelum pasien dipindah dari daerah operasi atau dari
area pemulihan pasca anestesi.
(22) DPJP wajib membuat rencana asuhan pasca operasi, dalam bentuk SOAP dalam waktu 24
jam, atau diverifikasi oleh DPJP bila ditulis oleh dokter bedah yang didelegasikan, yang
didokumentasikan dalam dokumen rekam medis pasien.
(23) Perawat dan PPA lain wajib membuat asuhan pasca operasi sesuai kebutuhan pasien,
yang didokumentasikan dalam dokumen rekam medis pasien.
(24) Tindakan bedah yang menggunakan implan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(25) Desain tata ruang operasi harus memenuhi syarat sesuai dengan peraturan dan
perundangan-undangan.
(26) Transfer pasien dilakukan ketika kondisi pasien sudah stabil dan sesuai instruksi dokter
dimana PPA wajib menulis ringkasan informasi medis pada formulir transfer, untuk setiap
pasien yang akan dipindahkan dari kamar bedah ke ruang perawatan, dimana memuat
sebab pasien masuk dirawat, temuan penting, diagnosis, prosedur atau tindakan, obat
yang diberikan dan keadaan pasien waktu pindah, beserta dokumen rekam medis
pasien.

Pasal 15
Instalasi Rehabilitasi Medik

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medik selama shif pagi dan shif
siang.
(2) Pelayanan rehabilitasi medik meliputi pelayanan rawat jalan dan pelayanan rawat inap,
dengan jenis pelayanan yaitu :
a. Konsultasi dokter spesialis rehabilitasi medik untuk kasus anak dan dewasa.
b. Short wave diathermi, micro wave diathermi, ultrasound, electrical stimulation,
interferensial therapy, infra red, continuous passive mechanical, transcutaneus
electrical nerve stimulation, traksi, massage, postural drainage, isap lendir.
(3) Setiap permintaan terapi di Instalasi Rehabilitasi Medik harus menggunakan pengantar
dari DPJP sebelum diperiksa oleh dokter rehabilitasi medik, untuk pasien BPJS.
(4) Setiap pasien wajib dilakukan pemeriksaan/ asesmen untuk mendapatkan pelayanan
yang tepat dan sesuai dengan kondisi pasien.

Pasal 16
Home Care

(1) Pelayanan home care meliputi pelayanan lanjutan di rumah, bagi pasien pasca rawat
inap dan pasien rawat jalan, baik dari dalam rumah sakit maupun dari luar rumah sakit.
(2) Pelayanan home care terdiri dari pelayanan dokter umum, fisioterapi, konsultasi gizi,
tindakan keperawatan dan sewa alat medis.

18 | 56
(3) Skrining wajib dilakukan untuk mengetahui kebutuhan pasien melalui evaluasi visual
atau pengamatan, atau hasil dari pemeriksaan fisik dan psikologi.
(4) Setiap pasien wajib dilakukan pemeriksaan/ asesmen untuk mendapatkan pelayanan
yang tepat dan sesuai dengan kondisi pasien.

Pasal 17
Instalasi Rekam Medik

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pengelolaan rekam medis terkait asuhan pasien sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan Rekam Medis diselenggarakan oleh instalasi rekam medis, yang terdiri dari
pendaftaran rawat jalan, pendaftaran rawat inap, pengelolaan rekam medis (Assembling,
Koding rawat jalan dan rawat inap, Filling, Analisa dan Pelaporan, distribusi dokumen
rekam medis).
(3) Pelayanan Rekam Medis berlangsung 24 jam.
(4) Nomor Rekam Medis berlaku satu nomor untuk satu pasien selama hidup (Unit
Numbering System)
(5) Dokumen Rekam Medis wajib diisi dengan benar, lengkap dan tulisan dapat terbaca.
(6) Dokumen Rekam Medis milik rumah sakit dan isi rekam medis adalah milik pasien dan
bersifat rahasia.
(7) Identitas pasien, terdiri dari nama lengkap sesuai dengan KTP, tanggal lahir/umur,
alamat, nama keluarga terdekat, agama, dan pekerjaan.
(8) Pengaturan urutan berkas rekam medis :
a. Rawat inap berdasarkan urutan nomor formulir.
b. Rawat jalan berdasarkan pemeriksaan terakhir
c. Gawat darurat berdasarkan pemeriksaan terakhir
d. Pemeriksaan penunjang berdasarkan urutan pertama sampai yang terakhir
(9) Rekam medis pasien gawat darurat memuat jam kedatangan dan keluar unit pelayanan
gawat darurat, ringkasan kondisi pasien saat keluar dari gawat darurat dan instruksi
tindak lanjut asuhan.
(10) Tenaga kesehatan yang berhak melakukan pengisian dokumen rekam medis adalah :
a. Dokter/ dokter gigi memasukkan/ menulis diagnosa penyakit, tindakan operasi,
terapi yang dilakukan, catatan perkembangan pasien, ringkasan pasien pulang dan
informed consent.

19 | 56
b. Perawat/ bidan yang bertugas di seluruh unit pelayanan rumah sakit memasukkan/
menulis identitas pasien, data administrasi pasien, asuhan keperawatan/ asuhan
kebidanan, catatan perkembangan pasien terintegrasi, pesanan obat, resume pasien
pulang, surat kontrol dan tanda tangan informed consent.
c. Ahli gizi, psikolog, apoteker, fisioterapis dan radiografer memasukkan/ menulis
rencana terapi dan tindakan yang sudah dilakukan pada lembar catatan
perkembangan pasien terintegrasi.
(11) Tenaga kesehatan/non kesehatan yang diperbolehkan melihat dan membaca dokumen
rekam medis adalah:
a. Dokter/ dokter gigi dapat melihat dan membaca dokumen rekam medis pasien
yang dirawat.
b. Petugas pendaftaran pasien , administrasi pasien dan pastoral dapat melihat dan
membaca pada lembar identitas pasien dan data administrasi.
c. Perawat/ bidan yang bertugas di semua unit pelayanan rumah sakit dapat melihat
dan membaca pada lembar identitas pasien, data administrasi, lembar asuhan
keperawatan, lembar asuhan kebidanan, lembar informed concent, lembar
permintaan obat, surat kontrol dan lembar CPPT yang sedang di layani.
d. Ahli gizi, psikologi, apoteker, fisioterapis dan radiografer dapat melihat dan
membaca pada lembar CPPT.
e. Petugas koding/ indexing dapat melihat dan membaca pada lembar kode diagnosa
pasien dan kode tindakan operasi.
(12) Pendaftaran pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan pendaftaran on site, pendaftaran
online dan pendaftaran inden (reservasi).
(13) Pendaftaran pasien rawat inap melalui Instalasi Gawat Darurat dan Tempat Penerimaan
Pasien Rawat Inap (TPPRI).
(14) Koding/ Indexing rawat jalan dan rawat inap adalah menentukan kode penyakit dan kode
tindakan terhadap diagnosa yang di berikan dengan mengunakan acuan ICD 9 dan ICD 10
untuk kode penyakit dan mengunakan acuan ICD 9 CM untuk tindakan medis, dan untuk
definisi menggunakan acuan kamus kedokteran.
(15) Assembling adalah merakit, menata dan merapikan formulir rekam medis sesuai dengan
penyusunan berdasarkan kebutuhan dan disatukan dalam map dokumen rekam medis
dengan memberikan nama pasien dan nomor rekam medis.
(16) Penetapan standar simbol dan singkatan di masukan ke dalam buku Daftar Singkatan dan
Simbol. Penetapan definisi menggunakan Kamus Kedokteran Indonesia.
(17) Penyimpanan Dokumen Rekam Medis dengan sistem penyimpanan sentralisasi dan
disusun berdasarkan sistem penjajaran terminal digit filling system.
(18) Dokumen Rekam Medis disimpan dalam ruang yang disebut Ruang Penyimpanan
Dokumen Rekam Medis, yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(19) Ruang penyimpanan dokumen rekam medis terdiri dari tiga bagian yaitu ruang aktif,
ruang in aktif dan ruang dokumen abadi (gudang retensi).
(20) Apabila dokumen rekam medis berada di tempat lain (ruang perawatan) harus
diletakkan di tempat yang tertutup, tersimpan rapi dan tidak dapat diakses oleh umum.
(21) Pengembalian Dokumen Rekam Medis untuk pasien rawat inap dilaksanakan 2 x 24 jam
setelah pasien pulang dan untuk pasien rawat jalan di kembalikan setelah pasien selesai
mendapat pelayanan.
(22) Penglepasan informasi medis dapat dilakukan dalam bentuk tertulis, yang dapat
diberikan kepada:
a. Pasien

20 | 56
b. Pihak ke-3 dengan persetujuan pasien yang bersangkutan dan bekerjasama dengan
rumah sakit serta diatur dalam MOU
c. Pihak kepolisian (visum et repertum)
d. Pengadilan untuk kasus hukum
(23) Retensi Dokumen Rekam Medis dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, yaitu 5 tahun dari kunjungan
terakhir berobat ke rumah sakit.
(24) Pemusnahan Dokumen Rekam Medis dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, melalui kerjasama
dengan pihak ke-3 dan pemusnahan tersebut dilakukan dengan cara dihancurkan dan
didokumentasikan dengan berita acara.
(25) Petugas rumah sakit yang berhubungan dengan Dokumen Rekam Medis wajib
melakukan sumpah untuk menjaga kerahasian dari isi Dokumen Rekam Medis.
(26) Direktur menunjuk Tim Rekam Medis yang bertanggung jawab dalam proses tersedianya
formulir rekam medis yang berlaku dan melakukan evaluasi secara berkala.
(27) Tim rekam medis melakukan review kelengkapan dokumen rekam medis, untuk pasien
yang sudah pulang (closed review) dan pasien yang masih dalam perawatan (opened
review), dimana kelengkapan yang dinilai adalah tulisan terbaca dengan baik, terisi
dengan lengkap dan terisi tepat waktu.
(28) Audit kelengkapan dokumen rekam medis dilakukan dengan mereview dokumen
sejumlah 10% dari jumlah dokumen rekam medis rawat inap dalam 1 bulan dan laporan
hasil review dokumen dilaksanakan 1 bulan sekali setelah review selesai dilakukan.
(29) Untuk proses pengajuan klaim terhadap pihak ketiga, dalam hal ini BPJS, maka tim case
mix yang ditetapkan oleh Direktur, melakukan proses klaim sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Pasal 18
Hubungan Masyarakat (Humas)

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan humas selama 24 jam.


(2) Rumah sakit konsisten dalam menghadapi keluhan, konflik, atau beda pendapat, dan
pasien diberitahu tentang cara penyampaian keluhan, konflik, atau beda pendapat baik
secara lisan maupun tulisan.
(3) Pelayanan humas meliputi pemberian informasi bagi pelanggan dan masyarakat,
edukasi, handling complain dan customer care.
(4) Penerimaan telepon baik internal maupun eksternal wajib tercatat dan menggunakan
standar budaya kerja yang ditetapkan oleh rumah sakit.

21 | 56
(5) Penyambungan telepon keluar bisa dilakukan dengan tiga cara yaitu:
a. Penyambungan langsung dengan menekan angka sembilan, bagi ekstensi yang
memiliki hak direct call.
b. Penyambungan telepon melalui operator telepon
(6) Pengelolaan kepuasan pelanggan dilakukan dengan media kuesioner kepuasan
pelanggan dan penerimaan keluhan melalui berbagai media.
a. Media yang digunakan sebagai penerima keluhan adalah:
1) Customer Care (keluhan secara langsung)
2) Telepon
3) Website
4) Email
5) Surat (via pos atau melalui kotak saran di RS)
b. Kuesioner kepuasan pelanggan diedarkan dan diolah setiap hari, serta dilaporkan
setiap bulan sekali.
(7) Humas menjalin hubungan baik dengan media massa baik cetak maupun elektronik.
(8) Humas mengatur seluruh informasi yang akan diberikan dalam kegiatan pemerolehan
berita oleh media massa yang berhubungan dengan rumah sakit.
(9) Humas mewakili rumah sakit dalam organisasi profesi terkait kehumasan secara ex
officio dan mewakili rumah sakit dalam organisasi lain dengan mandat direktur.

Pasal 19
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan program Pencegahan dan


Pengendalian Infeksi (PPI) untuk melindungi pasien, pengunjung dan petugas terhadap
penularan infeksi di rumah sakit mengacu pada Peraturan Menteri kesehatan tentang
pedoman PPI.
(2) Direktur membentuk Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi agar pelaksanaan
program PPI terkoordinasi dengan baik.
(3) Direktur menetapkan sumber daya untuk pelaksanaan program PPI, yang meliputi
tenaga, anggaran, fasilitas dan sumber informasi/ referensi yang diperlukan.
(4) Komite PPI mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang jelas sesuai dengan
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit yang
ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI.
(5) Komite PPI bekerja sama dengan Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
(PPRA) dalam melakukan penanganan kasus infeksi.
(6) Rumah sakit menetapkan minimal satu perawat IPCN (Infection Prevention and Control
Nurse) purna waktu, agar dapat mengawasi serta melakukan supervisi semua kegiatan
pencegahan dan pengendalian infeksi.
(7) Dalam melaksanakan tugasnya, IPCN dibantu oleh IPCLN (Infection Prevention and
Control Link Nurse) sebagai perawat pelaksana harian, dan IPCLS (Infection Prevention
and Control Link Staff).
(8) Komite PPI wajib menyusun program PPI dan kesehatan kerja secara komprehensif di
seluruh rumah sakit untuk menurunkan risiko infeksi terkait dengan pelayanan
kesehatan pada pasien, staf klinis, dan non klinis, yang mengacu dan sesuai dengan ilmu
pengetahuan terkini, pedoman praktik terkini, standar kesehatan lingkungan terkini dan
peraturan perundang-undangan. Program PPI yang disusun antara lain:
a. Kebersihan tangan
b. Surveilans risiko infeksi
c. Investigasi wabah (outbreak) penyakit infeksi
d. Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan antimikroba secara aman
e. Asesmen berkala terhadap risiko
f. Menetapkan sasaran penurunan risiko

22 | 56
g. Mengukur dan mereview risiko infeksi
(9) Surveilans dilakukan secara sistematik aktif oleh IPCN dan IPCLN untuk menggambarkan
tingkat kejadian berbagai penyakit infeksi target sesuai Pedoman Surveilans Infeksi
Rumah Sakit, Kemenkes dan penyakit endemis di rumah sakit.
(10) Target surveilans yaitu: Infeksi Saluran Kemih (ISK) terkait kateterisasi, Infeksi Daerah
Operasi (IDO), dekubitus pada pasien berisiko, pneumonia rumah sakit (HAP),
pneumonia terkait ventilator (VAP) dan phlebitis.
(11) Investigasi, analisis, evaluasi dan rekomendasi tindak lanjut data infeksi dilakukan Komite
PPI, yang diintegrasikan dengan program mutu dan keselamatan pasien (PMKP),
menggunakan data surveilans dan data indikator mutu untuk tujuan pengendalian,
manajemen risiko dan kewaspadaan terhadap kejadian luar biasa (KLB).
(12) Kejadian luar biasa infeksi rumah sakit ditetapkan oleh direktur berdasarkan
pertimbangan Komite PPI tentang hasil evaluasi epidemiologik, dimana ditemukan
kecenderungan meningkatnya angka Infeksi Rumah Sakit. Kecenderungan kejadian
infeksi yang terus menerus meningkat signifikan selama 3 bulan berturut-turut atau
peningkatan signifikan angka kejadian pada suatu waktu pengamatan tertentu
diwaspadai sebagai KLB.
(13) Pencegahan dan pengendalian risiko penyebaran kejadian yang berpotensi menjadi KLB
dilakukan segera secara sinergi melalui kerjasama lintas unit oleh Komite PPI.
(14) Rumah sakit menetapkan bahwa seluruh staf klinis, non klinis, pasien, pengunjung,
tenaga kontrak, magang, dan tenant wajib mengetahui dan melakukan hand hygiene
sesuai langkah-langkah dari WHO, baik cuci tangan (hand wash), maupun dengan cara
disinfektan (hand rubs).
(15) Hand hygiene dilakukan oleh seluruh petugas klinis dan non klinis pada saat five moment
kepada pasien.
(16) Pelatihan PPI wajib direncanakan dan dilaksanakan secara periodik dan
berkesinambungan oleh bagian Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) bekerjasama dengan
Komite PPI untuk menjamin setiap staf klinis dan staf non klinis yang bekerja di rumah
sakit (termasuk peserta didik) memahami dan mampu melaksanakan program PPI,
khususnya kewaspadaan standar dan kewaspadaan berbasis transmisi.
(17) Pelatihan PPI wajib diberikan untuk setiap pasien, keluarga, dan pengunjung, agar dapat
berpartisipasi dalam implementasi program PPI.
(18) Pengendalian mekanis dan teknis wajib dilakukan sesuai dengan sumber daya yang
dimiliki rumah sakit, sebagai upaya pengendalian lingkungan agar dapat diciptakan
sanitasi yang yang baik, yang selanjutnya mengurangi risiko infeksi rumah sakit.
(19) Komite PPI wajib melakukan pengkajian risiko infeksi pada kejadian Healthcare
Associated Infections (HAIs) dan konstruksi/ renovasi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setiap awal tahun dilakukan pengkajian risiko HAIs.
b. Melakukan penilaian terhadap masalah yang ada agar dapat ditindak lanjuti
berdasarkan hasil penilaian skala prioritas.
c. Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas dan pekerjaan yang berisiko, dan dilakukan satu
tahun sekali.
d. Setiap konstruksi maupun renovasi bangunan yang dilakukan di rumah sakit harus
dilakukan pengkajian risiko infeksi, yang dibuat berdasarkan dari panduan Infection
Control Risk Assesment (ICRA).
e. Komite PPI melakukan pengkajian risiko infeksi dan tindak lanjut berkolaborasi
dengan bagian Bagian Pemeliharaan Sarana (BPS) dan K3 RS.
(20) Setiap unit yang melakukan prosedur dan proses asuhan invasif wajib membuat daftar
risiko, dan mampu melakukan tata kelola risiko infeksi terkait hal tersebut, berkoordinasi
dengan Komite PPI.
(21) Setiap unit penunjang pelayanan, yaitu CSSD, laundry, instalasi gizi, sanitasi, dan kamar
jenazah wajib membuat daftar risiko infeksi, dan mampu melakukan tata kelola infeksi
terkait hal tersebut, berkoordinasi dengan Komite PPI.

23 | 56
(22) RSU “William Booth” Semarang menempatkan pasien dengan penyakit menular, pasien
dengan infeksi airborne, dan pasien yang mengalami imunitas rendah
(immunocompromised), dengan sistem kohorting pada ruang rawat inap yang memiliki
ventilasi alamiah dan mekanik (menggunakan exhaust) untuk mengurangi penyebaran
dan menurunkan kadar penularan percik renik sehingga tidak menularkan orang lain.
(23) Penanganan pasien dengan infeksi airborne di rawat jalan, dilakukan dalam ruangan yang
menggunakan sistem ventilasi alamiah dan campuran di Poli DOTS, sedangkan
penanganan di IGD dilakukan dengan sistem kohorting, untuk mengurangi penyebaran
dan menurunkan kadar penularan percik renik sehingga tidak menularkan orang lain.
(24) Transportasi pasien infeksi dari satu unit ke unit lain harus dibatasi seminimal mungkin
dan bila terpaksa harus memperhatikan prinsip kewaspadaan standar.
(25) Pada kondisi terjadi outbreak penyakit infeksi airborne, maka rumah sakit menyediakan
ruang yang memiliki ventilasi alamiah dan mekanik, dengan sistem kohorting.
(26) Pada kasus infeksi yang membutuhkan kamar tekanan negatif, maka RSU “William
Booth” Semarang merujuk ke fasilitas yang mampu menangani kasus tersebut sesuai
standar dan telah bekerja sama dengan RSU “William Booth” Semarang.

Pasal 20
Instalasi Farmasi

(1) Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat dijalankan dalam suatu pengorganisasian
yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengawasan dan supervisi semua aktivitas pelayanan kefarmasian serta penggunaan
obat di rumah sakit wajib dilakukan apoteker yang kompeten.
(3) Instalasi Farmasi wajib melakukan pengkajian pelayanan kefarmasian minimal sekali
dalam setahun, dengan tujuan untuk mengevaluasi pelayanan kefarmasian dan
melakukan upaya perbaikan sistem berkelanjutan dalam hal mutu, keamanan, manfaat,
khasiat obat dan alat kesehatan.
(4) Kajian pelayanan kefarmasian mencakup semua informasi dan pengalaman yang
berhubungan dengan pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, termasuk angka
kesalahan penggunaan obat.
(5) Rumah sakit menetapkan proses seleksi obat mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, untuk menghasilkan formularium yang digunakan untuk
permintaan obat serta instruksi pengobatan.
(6) Seleksi obat di RSU “William Booth” Semarang dilaksanakan oleh Tim Farmasi dan Terapi
(TFT), yang ditetapkan oleh Direktur.
(7) Formularium obat berlaku selama tiga tahun, dievaluasi setiap tiga bulan dan direvisi
oleh TFT secara berkala setiap tahun.
(8) Perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai harus disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran, dengan mengutamakan mutu,
keamanan, manfaat dan berkhasiat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, oleh Tim Pengadaan yang ditetapkan oleh Direktur.
(9) Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus sesuai
melalui jalur resmi, berdasarkan kontrak dengan pemasok dan disertai garansi keaslian
obat.
(10) Rumah sakit menerapkan manajemen rantai pengadaan (supply chain management),
termasuk melakukan peninjauan ke tempat penyimpanan dan transportasi pemasok.
(11) Rumah sakit menetapkan tata laksana penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai, termasuk B3 yang baik, benar dan aman, sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
(12) Rumah sakit menetapkan tata laksana penyimpanan obat kewaspadaan tinggi yang baik,
benar dan aman, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

24 | 56
(13) Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai disimpan di tempat yang
sesuai , dapat di gudang logistik, di instalasi farmasi, atau depo farmasi, serta dilakukan
pengawasan di semua lokasi penyimpanan.
(14) Obat emergensi disediakan dan disimpan di trolley emergency di semua ruang
perawatan, IGD, ICU, HCU, IBS, IRB, dan HD, serta untuk menjaga keamanannya dikunci
dengan kunci emergensi bernomer seri.
(15) Obat yang dibawa pasien, baik dari pengobatan sebelum masuk ke RSU “William Booth”
Semarang atau pasien membeli sendiri dari luar RSU “William Booth” Semarang dengan
resep bukan dari RSU “William Booth” Semarang, maka Dokter, apoteker dan perawat
akan mencatat dalam formulir rekonsiliasi obat dan menginformasikan ke dokter
penanggung jawab pasien (DPJP) untuk mengkaji ulang obat tersebut.
(16) RSU “William Booth” Semarang tidak melakukan produksi TPN (Total Parenteral
Nutrition). Produk nutrisi yang disimpan di Instalasi Farmasi RSU “William Booth”
Semarang adalah sediaan susu dan infus nutrisi yang sudah siap pakai.
(17) RSU “William Booth” Semarang menerima obat bantuan/hibah dari pemerintah berupa
obat DOT dan ARV.
(18) RSU “William Booth” Semarang tidak menerima obat yang digunakan untuk penelitian.
(19) RSU “William Booth” Semarang tidak menyediakan dan menyimpan obat radioaktif dan
kemoterapi.
(20) RSU “William Booth” Semarang menetapkan sistem penarikan kembali (recall) dan
pemusnahan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, yang tidak
layak digunakan karena rusak, mutu substandar, atau kedaluwarsa.
(21) Resep ditulis oleh dokter yang mempunyai surat ijin praktek, dengan memperhatikan
kaidah pelayanan kefarmasian untuk memastikan keamanan penggunaan obat.
(22) Peresepan obat narkotika dan psikotropika diatur dalam panduan peresepan.
(23) Pengkajian resep secara klinis wajib dilakukan oleh Apoteker, sedangkan pengkajian
resep secara administratif dan farmasetis dapat dilakukan oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian (TTK).
(24) Pelayanan obat di rawat jalan dilayani melalui resep obat, sedangkan untuk rawat inap
menggunakan kartu obat pasien yang disiapkan dengan sistem Unit Dose Dispensing.
(25) Rumah sakit menetapkan bahwa proses penyiapan dan penyerahan obat dilakukan
dalam lingkungan yang aman bagi pasien, petugas dan lingkungan.
(26) Pencampuran obat intra vena, epidural, dan nutrisi parenteral, serta pengemasan
kembali, dilakukan oleh TTK yang terlatih dalam ruang aseptik untuk pasien rawat inap,
kecuali dalam kondisi darurat.
(27) Setiap resep/permintaan obat/instruksi pengobatan harus dilakukan pengkajian oleh
apoteker/ TTK, yaitu sebelum obat disiapkan dan setelah obat disiapkan.
(28) Pemberian obat yang telah diverifikasi kepada pasien di rawat jalan dilakukan oleh
Apoteker dan/ TTK senior yang disertai dengan informasi penggunaan obat.
(29) Pemberian obat di rawat inap, IGD, RPP, IBS, Poliklinik berkoordinasi dengan perawat,
bidan dan dokter.
(30) Pemberian obat dengan kewaspadaan tinggi wajib dilakukan double check oleh dua
orang berbeda.
(31) Monitoring penggunaan obat dilakukan oleh dokter, apoteker dan perawat untuk
mendukung tercapainya outcome klinis pasien yang optimal.
(32) Efek samping obat dapat dilaporkan oleh PPA kepada apoteker di Instalasi Farmasi, untuk
selanjutnya dilaporkan ke TFT dan Pusat Meso Nasional.
(33) Apoteker wajib mengevaluasi efek obat untuk memantau secara ketat respons pasien
dengan melakukan pemantauan terapi obat (PTO).
(34) Apoteker di Instalasi Farmasi bertanggung jawab untuk melakukan dokumentasi dan
pelaporan atas semua kegiatan monitoring serta melakukan telaah atas kejadian
medication error yang terjadi.

25 | 56
(35) Instalasi farmasi wajib melaporkan medication error yang terjadi kepada unit KPRS, untuk
dilakukan investigasi dan penyelesaian dan selanjutnya dilaporkan kepada Komite
Nasional Keselamatan Pasien.

Pasal 21
Instalasi Laboratorium

(1) Kepala Instalasi laboratorium sekaligus berfungsi sebagai Penanggung Jawab


Laboratorium adalah seorang dokter spesialis patologi klinik, dan dibantu oleh Kepala
ruang laboratorium yang ditunjuk oleh RSU “William Booth” Semarang.
(2) Pelayanan laboratorium dilaksanakan oleh ATLM dalam pengawasan dokter spesialis
patologi klinik.
(3) Kepala Instalasi laboratorium wajib membuat program pengelolaan peralatan
laboratorium, termasuk peralatan yang merupakan kerjasama dengan pihak ketiga yang
meliputi uji fungsi, inspeksi berkala, pemeliharaan berkala, kalibrasi berkala, identifikasi
dan inventarisasi peralatan laboratorium, monitoring dan tindakan terhadap kegagalan
fungsi alat, proses penarikan (recall), dan pendokumentasian.
(4) Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan oleh ATLM yang kompeten dan diberi
kewenangan sesuai dengan pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman.
(5) Pemeriksaan Point of Care Test (POCT) dapat dilakukan oleh perawat yang diberikan
kewenangan dan telah mengikuti pelatihan POCT.
(6) Pelayanan laboratorium meliputi pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, serta
pasien dari luar dengan pengantar dokter, atau bidan (khusus untuk pemeriksaan
kehamilan), kecuali pemeriksaan gula darah dan pemeriksaan golongan darah.
(7) Jenis pelayanan pemeriksaan laboratorium RSU “William Booth” Semarang meliputi
pemeriksaan Hematologi, Hemostasis, Kimia Klinik, Imunologi, Serologi, Parasitologi,
Urinalisa dan Mikrobiologi sederhana.
(8) Pemeriksaan laboratorium rutin dilayani setiap hari kerja (24 jam), menggunakan
formulir permintaan pemeriksaan laboratorium.
(9) Setiap pemeriksaan Cito menggunakan formulir permintaan pemeriksaan laboratorium,
yang diberi tanda atau tulisan CITO. Pemeriksaan Cito dikerjakan lebih dahulu dan hasil
pemeriksaan segera dilaporkan.
(10) Pemeriksaan yang tidak dapat di kerjakan sendiri di Laboratorium RSU “William Booth”
Semarang, dirujuk ke laboratorium rujukan yang telah melakukan sertifikasi mutu dan
telah mengadakan kerjasama dengan RSU “William Booth” Semarang.
(11) Proses pemeriksaan laboratorium melingkupi tahap pra analitik, analitik, dan paska
analitik, yang dilakukan sesuai dengan SPO yang ditetapkan.
(12) Waktu Tunggu hasil pemeriksaan laboratorium adalah ≤ 140 menit, namun pada kondisi
tertentu dapat diselesaikan ≥ 140 menit.
(13) Waktu tunggu hasil pemeriksaan CITO adalah ≤ 60 menit, namun pada kondisi tertentu
dapat diselesaikan ≥ 60 menit.
(14) Nilai Rujukan/ Nilai Normal pemeriksaan laboratorium diambil dari buku referensi nilai
rujukan berdasarkan usia dan jenis kelamin, maupun diambil dari reagen yang
digunakan, direview dan dievaluasi setahun sekali.
(15) Nilai Kritis ditetapkan oleh dokter spesialis patologi klinik direview dan dievaluasi
setahun sekali.
(16) Nilai kritis dilaporkan dalam waktu kurang dari lima menit, dilaporkan oleh ATLM kepada
perawat di ruangan, yang dilanjutkan ke DPJP, dengan metode SBAR dan tercatat dalam
dokumen rekam medis pasien.
(17) Instalasi laboratorium menyusun program manajemen risiko yang sejalan dengan
program manajemen risiko fasilitas dan program pencegahan pengendalian infeksi, yang
ditetapkan oleh Direktur.

26 | 56
(18) Instalasi laboratorium menyusun program penanganan B3 di laboratorium, mengacu
kepada program penanganan B3 RSU “William Booth” Semarang.
(19) Instalasi laboratorium wajib mengelola barang logistik, reagensia, dan bahan lain yang
harus ada untuk pelayanan laboratorium, baik dalam fungsinya, penyimpanannya,
ketersediaannya, dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.
(20) Instalasi laboratorium wajib melakukan program kendali mutu pelayanan laboratorium,
yaitu pemantapan mutu internal (PMI) dan pemantapan mutu eksternal (PME).

Pasal 22
Bank Darah Rumah Sakit

(1) Penanggung jawab pelayanan bank darah adalah dokter spesialis patologi klinik atau
dokter umum yang telah mengikuti pelatihan bank darah.
(2) Bank Darah RSU “William Booth” Semarang (BDRS) menyelenggarakan pelayanan bank
darah selama 24 jam untuk pasien rawat inap.
(3) Pelayanan Bank Darah RSU “William Booth” Semarang bekerja sama dengan PMI Cabang
Semarang, dengan Perjanjian Kerja Sama (MOU).
(4) DPJP/ dokter jaga wajib memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat, risiko dan
komplikasi pemberian transfusi darah kepada pasien/keluarga pasien, sebelum
pemberian transfusi darah.
(5) Monitoring dan evaluasi selama pemberian transfusi darah wajib dilakukan oleh PPA
yang kompeten dan dilaporkan bila terjadi reaksi transfusi kepada DPJP, Komite KPRS,
dan BDRS.
(6) Darah donor dan komponen darah sebelum digunakan disimpan di Bank Darah RSU
“William Booth” Semarang.
(7) Setiap permintaan transfusi darah harus menggunakan pengantar dari dokter dengan
formulir rangkap 3.
(8) Pendataan dalam pelayanan bank darah dilakukan mulai dari permintaan darah sampai
penyerahan darah.

27 | 56
Pasal 23
Instalasi Radiologi

(1) Kepala Instalasi Radiologi dipimpin oleh dokter spesialis radiologi yang ditunjuk oleh RSU
“William Booth” Semarang yang bertugas menyusun dan melakukan evaluasi regulasi,
mengawasi terlaksananya pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi
intervensional sesuai regulasi, mengawasi pelaksanaan administrasi, melaksanakan
program kendali mutu dan memonitor serta mengevaluasi semua jenis pelayanan
radiologi.
(2) Kepaa Ruang Radiologi wajib membuat program pengelolaan peralatan radiologi,
termasuk peralatan yang merupakan kerjasama dengan pihak ketiga yang meliputi uji
fungsi, inspeksi berkala, pemeliharaan berkala, kalibrasi berkala, identifikasi dan
inventarisasi peralatan radiologi, monitoring dan tindakan terhadap kegagalan fungsi
alat, proses penarikan (recall), dan pendokumentasian.
(3) Pemeriksaan radiologi harus dilakukan oleh radiografer yang kompeten dan diberikan
kewenangan.
(4) Pelayanan radiologi dilakukan selama 24 jam, untuk pemeriksaan rutin dan cito,
melayani rawat jalan, rawat inap, dan pasien dari luar.
(5) Pelayanan pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan radiologi konvensional dan
canggih, baik non kontras maupun dengan kontras.
(6) Permintaan pemeriksaan radiologi harus menggunakan surat permintaan pemeriksaan
radiologi oleh dokter disertai dengan keterangan klinis dan ditandatangani oleh dokter
pengirim.
(7) Dokter spesialis radiologi wajib memberikan penjelasan pemeriksaan radiologi yang akan
dilakukan kepada pasien untuk pemeriksaan dengan dosis tinggi dan dosis yang
berulang.
(8) Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan memperhatikan keamanan pasien, dengan
memperhitungkan risiko radiasi dan harus ditetapkan dosis maksimum radiasi untuk
setiap pelayanan radiologi.
(9) Proteksi radiasi di Instalasi Radiologi dikoordinir oleh seorang PPR (Petugas Proteksi
Radiasi) yang memiliki SIB (Surat Ijin Bekerja) dari Bapeten.
(10) Radiografer bekerjasama dengan PPA yang terlatih bagi pasien yang memerlukan sedasi.
(11) Penyuntikan obat-obat kontras dan obat-obat lain yang diperlukan dilakukan oleh dokter
spesialis radiologi, perawat yang kompeten, atau dokter umum.
(12) Waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi ditetapkan berdasarkan jenis pemeriksaan.
(13) Setiap hasil pemeriksaan radiologi harus dilakukan ekspertise oleh dokter radiologi yang
memiliki kewenangan.
(14) Peminjaman foto sebelum ada hasil ekspertisi oleh dokter spesialis radiologi
diperkenankan ketika DPJP membutuhkan tindak lanjut segera.
(15) Pelayanan radiologi di tempat dapat dilakukan bagi pasien-pasien ICU dan IGD dengan
sakit berat/ mengancam jiwa dan tidak memungkinkan dibawa ke Instalasi Radiologi.
Pelayanan radiologi di tempat hanya melayani permohonan foto thoraks AP.
(16) Setiap pemeriksaan Cito di instalasi gawat darurat, kamar operasi, dan unit intensif wajib
menggunakan formulir permintaan pemeriksaan radiologi yang diberi tanda atau tulisan
CITO. Pemeriksaan Cito dikerjakan lebih dahulu dan hasil pemeriksaan segera dilaporkan
dalam waktu 60 menit, setelah selesai dilakukan ekspertisi.
(17) Instalasi radiologi wajib mengelola barang logistik Film-Ray, reagensia, dan bahan lain
yang harus ada untuk pelayanan radiologi, baik dalam fungsinya, penyimpanannya,
ketersediaannya, dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.
(18) Instalasi radiologi menyusun program manajemen risiko yang sejalan dengan program
manajemen risiko fasilitas dan program pencegahan pengendalian infeksi, yang
ditetapkan oleh Direktur.

28 | 56
(19) Pemeriksaan yang tidak dapat di kerjakan sendiri oleh instalasi radiologi RSU “William
Booth” Semarang, dirujuk ke rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas yang
dibutuhkan, telah terakreditasi, dan telah mengadakan kerjasama dengan RSU “William
Booth” Semarang.

Pasal 24
Instalasi Gizi

(1) Ruang lingkup pelayanan gizi di RSU “William Booth” Semarang meliputi asuhan gizi
rawat jalan dan rawat inap serta penyelenggaraan makanan.
(2) Kegiatan pelayanan makanan instalasi gizi meliputi pemberian makanan untuk pasien
rawat inap dan penunggu pasien.
(3) Pelayanan makanan bagi pasien diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan dapat
disesuaikan dengan siklus menu, yang ditentukan oleh DPJP atau PPA lain yang
kompeten, dengan memperhatikan budaya, pilihan, rencana asuhan, diagnosis pasien,
termasuk diet khusus.
(4) Proses penyelenggaraan makanan diselenggarakan di instalasi gizi sesuai dengan standar
hygiene makanan dan halal.
(5) Instalasi gizi menyusun program pengelolaan peralatan, hygiene dan sanitasi, serta
monitoring dan evaluasi secara berkala.
(6) Kegiatan pengadaan makanan untuk pelayanan makanan dapat dilakukan dengan
produksi makanan oleh instalasi gizi, atau dapat dilakukan dengan cara pemesanan
dengan pihak jasa boga lain,dengan pengawasan quality control oleh ahli gizi.
(7) Pelayanan untuk intervensi pemberian makan pasien diberikan menurut jadwal makan
pasien, meliputi makan pagi, siang dan malam serta snack pagi dan sore sesuai jadwal.
(8) Pemberian diet/ makanan kepada pasien disesuaikan dengan terapi diet yang sudah
ditetapkan oleh ahli gizi berdasarkan siklus menu sesuai standar makanan yang ada di
Instalasi Gizi.
(9) Asuhan gizi dilakukan untuk pasien rawat inap dan rawat jalan, sesuai dengan kebutuhan
pasien, dan dilakukan oleh PPA yang kompeten.
(10) Asuhan gizi untuk pasien rawat inap dilakukan berdasarkan hasil asesmen awal yang
dilakukan oleh perawat, selanjutnya dilakukan asesmen ulang menggunakan metode
ADIME (Asesmen, Diagnosis, Intervensi, Monitoring dan Evaluasi) dan diselesaikan dalam
waktu 2 x 24 jam.
(11) Asuhan gizi di rawat inap dilakukan secara kolaboratif dan terintegrasi dengan DPJP dan
PPA lainnya, dan dicatat dalam dokumen rekam medis pasien.
(12) Pasien harus mematuhi diet yang diberikan rumah sakit.
(13) Asuhan gizi di rawat jalan diberikan pada pasien rawat jalan dan dicatat dalam dokumen
rekam medis pasien.
(14) Pelaksanaan konsultasi gizi pasien dilaksanakan berdasarkan permintaan DPJP dalam jam
dinas / jam kerja Ahli Gizi.

Pasal 25
Pelayanan Laundry

(1) Perencanaan kebutuhan linen dilakukan setiap 1 tahun sekali yang dihitung atas dasar
rasio yang telah ditetapkan.

29 | 56
(2) Pengelolaan linen dilakukan secara sentralisasi oleh bagian Laundry dan dilaksanakan
sesuai dengan prinsip-prinsip PPI dan dibawah koordinasi Sanitasi.
(3) Penanggung jawab perawatan linen adalah bagian laundry bekerjasama dengan pihak ke
tiga.
(4) Bagian Laudry melaksanakan penerimaan dan pensortiran linen kotor serta
pendistribusian linen bersih.

Pasal 26
Central Suply Sterilisasi Department (CSSD)

(1) Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan sterilisasi secara sentral di bawah IBS, yang
dilaksanakan 2 shift, kecuali ada pekerjaan yang harus dilemburkan.
(2) Proses sterilisasi wajib memperhatikan aspek dekontaminasi, pre-cleaning, cleaning,
disinfeksi dan sterilisasi, sesuai dengan prinsip-prinsip PPI.
(3) Proses sterilisasi dilakukan dengan 2 cara yaitu secara fisika atau kimia, melalui tahapan
pencucian (termasuk perendaman dan pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling,
pemberian indikator, sterilisasi, penyimpanan, distribusi, diikuti dengan pemantauan dan
evaluai proses, serta menjaga kualitas/ mutu hasil sterilisasi.
(4) Perkecualian untuk klinik gigi, proses sterilisasi dilakukan secara desentralisasi,
mengingat bahwa instrumen gigi jumlahnya masih terbatas serta frekwensi
penggunaannya tinggi.
(5) Monitoring hasil sterilisasi dilakukan dengan cara melihat perubahan warna pada strip
indikator luar dan uji biologi indikator.
(6) Protokol proses desinfeksi setiap alat pakai ulang sesuai standar yang ditetapkan dan
seragam di semua unit layanan terkait, serta dimonitor oleh bagian CSSD.
(7) Semua petugas CSSD diwajibkan mendokumentasikan hasil kerja yang terukur pada
lembar yang disediakan.
(8) Pelaporan CSSD disatukan dengan IBS dan dilaksanakan setiap bulan sekali.

30 | 56
Pasal 27
Pelayanan Kamar Jenazah

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pelayanan kamar jenazah selama 24
jam.
(2) Pelayanan kamar jenazah dilakukan dengan memperhatikan keamanan petugas dan
orang-orang di sekitarnya.
(3) RSU “William Booth” Semarang memberlakukan penanganan khusus untuk jenazah
dengan kasus ODHA.
(4) Pasien yang meninggal dari dalam rumah sakit diantar oleh perawat/ petugas bangsal ke
kamar jenazah, disertai dengan proses serah terima.
(5) Pengawetan jenazah/embalming dengan formalin dilakukan oleh dokter spesialis
forensik.
(6) Petugas kamar jenazah melakukan serah terima dengan keluarga jenazah dengan
menandatangani serah terima jenazah.
(7) Pasien yang datang dalam kondisi meninggal dunia, bisa diberi surat kematian dan
dicatat dalam buku register.
(8) Dekontaminasi kereta jenazah dan ruang penampungan jenazah wajib dilakukan melalui
proses disinfeksi.
(9) RSU “William Booth” Semarang tidak menyediakan pelayanan persemayaman jenazah,
hanya membantu menghubungkan dengan pihak pihak terkait.
(10) RSU “William Booth” Semarang menyediakan tempat untuk menyampaikan ungkapan
duka cita dan melakukan upacara penglepasan jenazah bila diperlukan.
(11) Petugas kamar jenazah harus menjaga kerahasiaan status jenazah.

Pasal 28
Bagian Sanitasi

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pengelolaan limbah dengan benar
untuk meminimalkan risiko infeksi dengan melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Pengelolaan limbah infeksius
b. Penanganan dan pembuangan darah serta komponen darah
c. Pemulasaran jenazah
d. Pengelolaan limbah cair dan padat
e. Pelaporan pajanan limbah infeksius
(2) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pengelolaan limbah benda tajam dan
jarum secara aman mencakup semua tahapan proses termasuk identifikasi jenis dan
penggunaan wadah secara tepat, pembuangan wadah dan surveilans proses
pembuangan.
(3) Sarana dan prasarana penunjang pengelolaan limbah harus memenuhi perijinan yang
berlaku.
(4) Pengelolaan limbah yang belum bisa dilakukan oleh rumah sakit dapat dilakukan
kerjasama dengan pihak lain yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
(5) Pengujian air bersih dan air limbah dilakukan secara periodik bekerjasama dengan pihak
ketiga.
(6) RSU “William Booth” Semarang mengelola limbah B3 medis dan limbah B3 umum sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, dan bekerjasama dengan pihak lain yang telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

31 | 56
(7) RSU “William Booth” Semarang bertanggung jawab mengendalikan serangga dan
binatang pengganggu lainnya (vector) dan dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan
pihak ketiga.
(8) RSU “William Booth” Semarang bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan baik di
dalam maupun diluar lingkungan Rumah Sakit, meliputi : Hygiene Sanitasi ruangan,
pencahayaan, pengudaraan, ventilasi dan sebagainya.
(9) RSU “William Booth” Semarang bertanggung jawab terhadap pelaporan sanitasi,
meliputi :
a) Pelaporan Pengujian Air Bersih, dilakukan 1 bulan sekali
b) Pelaporan Limbah B3, dilakuan 1 bulan sekali
c) Pelaporan Limbah Infeksius dan Non Infeksius, dilakukan 1 bulan sekali
d) Pelaporan Swab kamar operasi, dilakukan 3 bulan sekali
e) Pelaporan Swab Linen, dilakukan 3 bulan sekali

Pasal 29
Pengelolaan Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS)

(1) Yang dimaksud alat medis adalah alat yang digunakan untuk keperluan diagnosa, terapi,
rehabilitasi dan penelitian medik baik secara langsung maupun tidak langsung.
(2) RSU “William Booth” Semarang melakukan pemeliharaan alat medis yaitu suatu upaya
yang dilakukan agar peralatan medis selalu dalam kondisi layak pakai, dapat difungsikan
dengan baik dan dapat mencapai usia pakai yang lebih lama.
(3) RSU “William Booth” Semarang melakukan pemeliharaan alat medis untuk semua alat
medis yang berada di seluruh instalasi pelayanan medik. Misalnya : Instalasi Rawat Inap,
Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Intensif, Instalasi Radiologi, Instalasi
Laboratorium dan Instalasi Rehabilitasi Medik, dan lain lain.
(4) Pemeliharaan alat medis yang dilakukan dibagi dalam dua jenis pemeliharaan alat medis
yaitu pemeliharaan terencana (maintenance) untuk tujuan pemeliharaan preventif/
pencegahan dan pemeliharaan tidak terencana (repair) untuk tujuan korektif /
perbaikan.
(5) Pemeliharaan Terencana adalah kegiatan pemeliharaan yang dilaksanakan terhadap alat
medis sesuai dengan jadwal yang telah disusun.
(6) Pemeliharaan Terencana meliputi Pemeliharaan Preventif meliputi pemantauan fungsi
(inspection maintenance), pemeliharaan berkala (preventive maintenance), kalibrasi/
verifikasi dan safety test.
(7) Pemeliharaan Tidak Terencana adalah kegiatan pemeliharaan yang bersifat darurat
berupa perbaikan terhadap kerusakan alat medis yang mendadak/ tidak terduga dan
harus segera dilaksanakan.
(8) Pemeliharaan alat medis di RSU “William Booth” Semarang dilakukan oleh petugas
Teknik elektromedik di Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS) dan pihak kedua yang
merupakan pemasok alat medis atau yang telah terikat kontrak service.
(9) Semua alat medis dicatat di Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS) rumah sakit pada
daftar inventaris peralatan dan menjadi beban kerja pemeliharaan dan dimasukkan
dalam program pemeliharaan terencana/berkala.
(10) Pemeliharaan alat medis rutin setelah pemakaian yang bersifat non teknis dilakukan oleh
Instalasi/ unit pelayanan masing-masing.
(11) Teknik Elektromedik RSU “William Booth” Semarang adalah teknisi yang bekerja di
Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS), yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan

32 | 56
hak secara penuh oleh Direktur untuk melakukan kegiatan teknik elektromedik pada unit
pelayanan kesehatan yang ada di RSU “William Booth” Semarang.
(12) Teknik Elektromedik yang bekerja di RSU “William Booth” Semarang sudah
mendapat pelatihan dan mendapat sertifikat dalam pelaksanaan pemeliharaan alat
medis, yang dilengkapi dengan peralatan kerja yang lengkap sesuai standar.
(13) Pelaksanaan pemeliharaan alat medis dilengkapi dengan data atau hasil pemeliharaan
yang berisi data yang berhubungan dengan kegiatan pemeliharaan yang biasanya
merupakan kumpulan atau kronologis hasil pemeliharaan setiap alat yang meliputi:
a. Kartu Inventaris Alat Medis
b. Logbook Number
c. Data Pemasok Alat Medis
(14) Setiap kegiatan pemeliharaan alat medis dari mulai perencanaan dan pelaksanaan,
hasilnya dicatat atau didokumentasikan dalam logbook number kemudian dilaporkan
oleh petugas kepada Kepala Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS) kemudian diketahui
Manajer Keuangan dan Direktur.
(15) Peralatan kesehatan dan alat ukur di RSU “William Booth” Semarang harus selalu
dilakukan pemeliharaan dan kalibrasi secara teratur oleh petugas Teknik Elektromedis
yang kompeten dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta dalam kondisi siap
pakai.
(16) Peralatan yang sudah tidak dapat dipergunakan yang disebabkan regulasi /peraturan,
discontinue spare part, ditarik oleh vendor dan tidak memenuhi standar kalibrasi harus
dilakukan penarikan (recall).
(17) Kalibrasi secara berkala dilakukan terhadap sarana dan prasarana, dan peralatan yang
disesuaikan dengan jenisnya.
(18) Pelayanan Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS) diselenggarakan selama 24 jam.
(19) Pemeliharaan gedung dan sarana fisik lainnya dilakukan oleh petugas Teknik Umum di
Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS) dan didokumentasikan.
(20) Dalam pemeliharaan selain bangunan dan sarana fisik, juga dilakukan pemeliharaan
sistem penunjang rumah sakit yang meliputi air, listrik, genset dan lift yang dilakukan
oleh Bidang Pemeliharaan Sarana (BPS) Rumah Sakit.
(21) Jika petugas tidak mampu melaksanakannya maka pemeliharaan tersebut diserahkan
pada pihak ketiga yang ditunjuk oleh rumah sakit.

Pasal 30
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(1) RSU “William Booth” Semarang berkomitmen untuk patuh terhadap peraturan
perundang-undangan terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
(2) Perencanaan dan pengawasan upaya peningkatan K3 dilakukan oleh unit K3, yang
ditetapkan oleh Direktur.
(3) Unit K3 wajib menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja dalam
peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja.
(4) Unit K3 berkolaborasi dengan unit PPI untuk melakukan upaya penurunan risiko tertular
infeksi pada staf klinis dan non klinis.
(5) Unit K3 wajib menyusun program manajemen risiko untuk upaya-upaya pencegahan
Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, yang dievaluasi secara periodik.
(6) Unit K3 wajib menyusun program manajemen disaster untuk menanggapi keadaan
disaster dan bencana alam, atau lainnya yang memiliki potensi terjadi di masyarakat.

33 | 56
(7) Unit K3 wajib menyusun program untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya
kebakaran dan penyediaan sarana evakuasi yang aman sebagai respon terhadap
kebakaran dan keadaan darurat lainnya.
(8) Setiap karyawan wajib memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan.
(9) Setiap kecelakaan akibat kerja dalam lingkup rumah sakit wajib melapor kepada unit K3
dan kemudian dilaporkan ke instansi pemerintah yang menangani ketenagakerjaan.
(10) Pelayanan K3 harus selalu berorientasi kepada mutu dan keselamatan pengunjung,
karyawan dan semua orang yang bekerja di lingkungan rumah sakit.
(11) Semua karyawan, mahasiswa magang, tenaga outsourcing dan penyewa (tenant) wajib
mengikuti pelatihan K3 yang diselenggarakan oleh rumah sakit.
(12) RSU “William Booth” Semarang menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat dan
melakukan monitoring lingkungan kerja dengan hazard yang ada.
(13) RSU “William Booth” Semarang wajib menyediakan alat pelindung diri (APD) yang layak
pada setiap unit kerja sesuai dengan kebutuhan.
(14) RSU “William Booth” Semarang melakukan upaya untuk menjadikan lingkungan rumah
sakit menjadi kawasan yang bebas rokok.
(15) Unit K3 melakukan identifikasi bahaya dan risiko serta melakukan pengendaliannya.
(16) Unit K3 wajib melakukan pengawasan terhadap pengelolaan B3 di rumah sakit.
(17) Setiap proses pembangunan/ renovasi fisik wajib memperhatikan aspek-aspek K3 untuk
menjamin keamanan dan keselamatan pasien, pengunjung, karyawan dan pekerja
bangunan.

34 | 56
Pasal 31
Sekretariat

(1) Kebijakan Surat Menyurat


a. Semua surat yang ditujukan ke Direktur / rumah sakit, harus masuk ke Direktur
terlebih dahulu dan diberi disposisi secara tertulis.
b. Surat yang ditujukan atas nama pribadi Direktur harus diserahkan langsung kepada
Direktur.
c. Seluruh surat masuk maupun keluar dibuatkan agenda.
d. Bagian yang mendapat disposisi wajib menindak lanjuti.
e. Semua surat keluar yang bersifat umum dibuat oleh Bagian Sekretariat, kecuali surat
khusus yang berkaitan dengan Keuangan, SDM, Diklat, Humas dan Marketing,
Rekam Medis dibuat oleh bagian yang terkait.
f. Surat Keluar harus diketahui oleh Direktur.
g. Surat Keputusan/Perjanjian Kerjasama hanya boleh ditanda tangani oleh Direktur
kecuali apabila Direktur dalam keadaan berhalangan, Surat Keputusan/Perjanjian
Kerjasama ditanda tangani Wakil Direktur berdasarkan surat pendelegasian dari
Direktur.
h. Untuk pengendalian dokumen rumah sakit maka seluruh surat keluar/surat masuk
harus diberi nomor agenda oleh Bagian Sekretariat.
(2) Kebijakan Dokumentasi
a. Pengarsipan dokumen dilakukan dengan standar yang berlaku.
b. Penomoran dokumen level 1 dan 2 (Regulasi/SK) dilakukan oleh Bagian Sekretariat,
sedangkan dokumen level 3 (SPO) dilakukan oleh bagian yang terkait sesuai dengan
pedoman penomoran dokumen.
c. Dokumen asli di arsip di Bagian Sekretariat, kecuali dokumen yang berkaitan
dengan Keuangan, Personalia dan Perjanjian Kerjasama di arsip di bagian yang
bersangkutan.

Pasal 32
Anggaran

(1) Tahun Anggaran untuk RSU “William Booth” Semarang ditetapkan sesuai
dengan tahun kalender internasional yang dimulai pada tanggal 01 Januari dan berakhir
pada tanggal 31 Desember.
(2) Ketentuan penyusunan anggaran:
a). Anggaran harus dinamis & berimbang disusun berdasarkan Rencana Kerja
dan Anggaran (RKA) yang dibuat Rumah Sakit.
b). Rencana Kerja dan Anggaran RSU “William Booth” Semarang disusun
melibatkan semua Unit Layanan / Unit Kerja.
c). Dalam menyusun anggaran harus dialokasikan dana untuk belanja modal
yang nilainya ditentukan sesuai situasi, kondisi SHU, dan kemampuan keuangan RSU
“William Booth” Semarang.
d). Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan & pengendalian.

35 | 56
e). Pelaksana penyusunan Anggaran adalah Tim Anggaran. Mekanisme dan
tata kerja pelaksana diatur lebih lanjut dengan Pedoman Penyusunan RAB RSU
“William Booth” Semarang.
f). Anggaran harus disahkan oleh Pengurus YPKBK.
g). Secara periodik dilakukan pemantauan pelaksanaan anggaran oleh
Pengurus YPKBK

Pasal 33
KEUANGAN

(1) Pengelolaan Keuangan RSU “William Booth” Semarang dilaksanakan mengacu pada
Rencana Anggaran Belanja (RAB) yang telah disahkan oleh Pengurus YPKBK.
(2) RKA dan RAB RSU “William Booth” Semarang dievaluasi setiap 3 bulan sekali.
(3) Tarif rumah sakit di tinjau setiap tahun, atau setiap ada perubahan ekonomi, atau
peraturan yang berdampak pada pelayanan RSU “William Booth” Semarang dan
ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur.
(4) Seluruh penerimaan dari pasien RSU “William Booth” Semarang harus dibuatkan kuitansi
resmi bernomor urut dan diterima oleh Bagian Administrasi Pasien Rawat Inap (APRI)
dan Administrasi Pasien Rawat Jalan (APRJ) untuk selanjutnya disetor ke Bagian
Keuangan RS dan disetorkan ke Bank sesuai dengan jumlah penerimaan.
(5) Seluruh penerimaan lain diluar pelayanan pasien, diterima di bagian keuangan kemudian
dibuatkan kuitansi resmi dilaporkan dan di tandatangani Direktur.
(6) Seluruh pengeluaran anggaran rutin RSU “William Booth” Semarang harus disetujui
melalui Dewan Keuangan, untuk pengeluaran yang bersifat khusus/urgent harus
dilengkapi dengan surat permohonan serta bukti pendukung dan mendapat otorisasi
dari Direktur.
(7) Piutang pasien pulang rawat inap dan rawat jalan bisa diberikan kepada pasien yang
ditanggung oleh perusahaaan/ instansi/ asuransi yang sudah bekerjasama dengan RSU
“William Booth” Semarang.
(8) Bagi pasien yang tidak mampu, dapat diberikan pembebasan/potongan biaya atas
kebijakan Direktur.
(9) Pemberian potongan biaya pelayanan pasien harus mendapatkan otorisasi dari Direktur.
(10) Seluruh catatan transaksi keuangan harus dicatat sesuai dengan Pedoman Akuntansi
Rumah Sakit YPKBK yang telah di tetapkan Pengurus YPKBK.
(11) Dokumen Keuangan merupakan catatan mutu yang tetap harus dijaga keutuhan dan
keamanannya baik hardcopy maupun softcopy.
(12) Dokumen Keuangan harus dikendalikan dan disimpan secara sistematis oleh bagian
Keuangan dan/ atau bagian Akuntansi.
(13) Dokumen Keuangan bisa dimusnahkan apabila sudah berumur lebih dari 10 tahun.
(14) Segala bentuk pemusnahan dokumen Keuangan harus mendapat persetujuan Direktur
dan disertai dengan berita acara pemusnahan.

Pasal 34
Kebijakan Penerimaan Uang

36 | 56
(1) Semua penerimaan uang harus jelas sumbernya dan melalui prosedur yang
ditetapkan.
(2) Bila ada penerimaan uang melalui transfer belum jelas sumbernya, maka
dicatat sebagai penerimaan dari “NN” dan sementara diakui dan dicatat dengan akun
“suspense”
(3) Pintu penerimaan uang ditetapkan sebagai berikut:
a. Uang tunai dari hasil pelayanan (termasuk debit di kassa) diterima melalui kasir.
b. Uang tunai dari hasil non pelayanan (misal : sewa kantin, foodcourt, foto copy, dll)
diterima melalui kasir petty-cash.
c. Uang Non tunai dari hasil non pelayanan (misal : sewa parkir,) dicatat sebagai
pendapatan oleh kabag keuangan.
d. Uang yang masuk melalui transfer bank (termasuk bunga bank) harus dicatat dan
diakui sebagai pendapatan oleh Kabag Keuangan dan diketahui oleh kabid
Keuangan dan akuntansi .
(4) Tidak boleh ada penerimaan uang melalui pribadi/ pejabat RSU “William
Booth” Semarang atau melalui tempat lain.
(5) Semua penerimaan uang hasil pelayanan harus tercatat dalam billing system
dengan dokumen bukti yang jelas.
(6) Semua penerimaan uang hasil pelayanan maupun non pelayanan harus
disertai dengan Bukti yang jelas dan dicatat sebagai bukti kas masuk (Voucher warna
biru).
(7) Semua uang tunai yang diterima RSU “William Booth” Semarang harus masuk
ke Bank pada esok hari, kecuali bank tutup.
(8) Selama bank tutup uang tunai disimpan di Brankas Keuangan.
(9) Setiap bulan Kabag Keuangan harus membuat laporan penerimaan uang baik
tunai maupun transfer.

Pasal 35
Kebijakan Pengeluaran Uang

(1) Semua pengeluaran uang harus jelas kegunaannya melalui prosedur yang
telah ditetapkan sebagai dasar uang tersebut dikeluarkan.
(2) Semua pengeluaran uang tunai hanya melalui satu pintu yaitu Kasir Besar (di
dalam jam dinas, yaitu jam 07.00 – 14.00 WIB), kecuali diluar jam dinas atau hari libur
disediakan Petty Cash dengan maksimal besaran tertentu.
(3) Untuk pengeluaran yang belum pasti besarannya dikelola melalui pelayanan
Bon.
(4) Semua pengeluaran uang harus disertai dengan kwitansi resmi dari penerima
uang sebagai bukti pengeluaran uang (tidak bisa diwakilkan) dan untuk pembelian
barang harus disertai bukti penerimaan barang.
(5) Semua pengeluaran yang dibuat berdasarkan kebijakan Direktur harus dibuat
dalam bentuk perintah tertulis dan ditandatangani Direktur.
(6) Semua bukti pembayaran lunas harus distempel ”lunas” dan ditandatangani
oleh penerima uang.
(7) Laporan keuangan harus dibuat setiap bulan dan dilaporkan secara riil uang
yang ada baik dalam bentuk tunai maupun kas bank.

37 | 56
(8) Posisi keuangan bisa dikontrol setiap saat dan harus dalam keadaan sesuai
(pas).

Pasal 36
Kebijakan Pelayanan Petty Cash (Kas Kecil)

(1) Petty Cash berada didalam Bagian Keuangan yang mengelola sejumlah uang
yang disediakan untuk melayani permintaan Kasbon Uang dan pembayaran tunai dengan
jumlah tertentu.
(2) Tujuan pelayanan Petty Cash adalah:
a) Untuk menjamin kelancaran pembayaran dengan nilai nominal tertentu.
b) Agar pembayaran di luar jam kerja tetap dapat dilakukan dengan baik.
(3) Petty Cash dikelola oleh Kasir dan dipertanggungjawabkan ke Bagian Keuangan
RSU “William Booth” Semarang setiap hari.
(4) Petty Cash ditentukan besarnya sesuai Kebijakan Direktur setiap tahun.
(5) Petty Cash disediakan di dua tempat :
a) Di dalam jam dinas dilayani di Petty Cash Atas (Bagian Keuangan)
b) Di luar jam dinas dilayani di Petty Cash Bawah (Kasir Pelayanan)
(6) Petty Cash digunakan untuk:
a) Pembayaran Tunai dengan persetujuan Direktur
b) Pembayaran permintaan Kasbon yang sah oleh petugas RSU “William
Booth” Semarang.
(7) Pejabat yang berwenang menandatangani cek penarikan uang dari rekening
RSUWB adalah Direktur dan Opsir Pengurus YPKBK.
(8) Petugas yang diperbolehkan melakukan kasbon atau pembayaran tunai adalah
karyawan RSU “William Booth” Semarang sebagai berikut :
a) Rumah Tangga : dengan otorisasi oleh Dewan Keuangan.
b) Tim Pengadaan Barang Khusus dan Jasa : dengan otorisasi Direktur.
c) Personalia / Diklat: dengan otorisasi Kabid Personalia dan Direktur.
d) Gizi: dengan otorisasi Dewan Keuangan.
e) Perawat: untuk keperluan atau pemeriksaan pasien dengan bukti permintaan/
rujukan pemeriksaan di luar RSU “William Booth” Semarang oleh Dokter, dengan
otorisasi Ka Irna / Ka Rawat Jalan
f) Panitia Hari Besar RSU “William Booth” Semarang: dengan otorisasi ketua panitia
sesuai dengan proposal kegiatan dan disetujui oleh Direktur.
g) Sekretariat untuk keperluan memberi bantuan/ sumbangan dengan otorisasi
Direktur.
h) Bidang Pemeliharaan Sarana : untuk bahan bakar dan servis kendaraan, dengan
otorisasi Direktur.
i) Petugas lain yang mendapat wewenang dari direktur.
(9) Petugas yang melakukan kasbon uang harus mengembalikan dan
mempertanggungjawabkan bon kepada Bagian Keuangan maksimal dalam waktu :
a) Petty Cash Bawah = 1 x 24 jam hari kerja.
b) Petty Cash Atas = 5 x 24 jam hari kerja.

38 | 56
(10) Bagian Keuangan membuat Laporan Bulanan Pengembalian kasbon yang lebih
dari ketentuan diatas untuk disampaikan ke direktur melalui rapat Dewan Keuangan.

Pasal 37
Kebijakan Penyimpanan Uang

(1) Semua uang harus disimpan di Bank dalam bentuk tabungan, deposito atau
rekening Koran pada Bank yang dijamin Pemerintah.
(2) Uang tidak boleh disimpan dalam bentuk cash di kecuali untuk Petty Cash.
(3) Uang yang tersimpan tidak boleh dipinjamkan untuk kepentingan pribadi
kecuali untuk biaya pendidikan karyawan sesuai kebutuhan RSUWB dengan nominal
tertentu dan disetujui Direktur.
(4) Uang yang disimpan di Bank harus diatas namakan RSU “William Booth”
Semarang dengan cq nama pejabat yang ditunjuk.
(5) Uang tidak boleh disimpan atau dititipkan melalui rekening pribadi pejabat
RSU “William Booth” Semarang.
(6) Semua hasil bunga dari uang yang disimpan harus masuk kedalam rekening
milik RSU “William Booth” Semarang.
(7) Minimal setiap bulan harus diinformasikan keadaan keuangan yang disimpan
di Bank melalui rapat Dewan Keuangan.

Pasal 38
Kebijakan Pembayaran Biaya Perawatan

(1) RSU “William Booth” Semarang tidak menarik uang muka untuk biaya perawatan pasien.
(2) Untuk membantu pasien/ keluarga mempersiapkan biaya, maka pada waktu tertentu
pasien/ keluarga diberi informasi tentang perkiraan biaya perawatan.
(3) Bagi pasien tidak mampu yang dirawat di kelas III, dimungkinkan untuk diberikan
keringanan biaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan persetujuan Direktur.
(4) Bagi pasien tanggungan perusahaan & Asuransi, pembayaran dilakukan dengan sistem
tagihan sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati.
(5) Bagi pasien tanggungan karyawan RSU “William Booth” Semarang, dimungkinkan untuk
dilakukan penundaan pembayaran atau angsuran dengan potong gaji berdasarkan
kesepakatan atau ketentuan yang berlaku.

Pasal 39
Kebijakan Pengadaan Barang dan Investasi

(1) Pengeluaran uang untuk investasi dibahas dan disetujui dalam Rapat Dewan
Keuangan.
(2) Investasi dapat berupa penanaman uang/ modal atau pembelian alat dan/
bangunan yang bertujuan memperoleh manfaat, keuntungan atau memenuhi
persyaratan dan atau peraturan pemerintah.

39 | 56
(3) Keuntungan dan kerugian akibat investasi menjadi hak dan tanggungjawab
institusi RSU “William Booth” Semarang.
(4) Syarat Investasi :
a. Harus ada proposal
b. Harus ada analisa investasi
c. Sesuai dengan program kerja tahun berjalan.
d. Sesuai dengan Masterplan dan Blokplan.
e. Disesuaikan dengan anggaran.
(5) Pengadaan investasi dapat dilakukan melalui penunjukkan, pembandingan
beberapa supllier, atau melalui lelang.

Pasal 40
Kebijakan Pengelolaan Pajak

(1) RSU ”William Booth” Semarang harus tunduk dan taat terhadap semua aturan
perpajakan
(2) Pajak yang dilakukan melalui RSU “William Booth” Semarang adalah:
a. PPh 21
b. PPh 23
c. PPh 26
d. PPn (obat, barang, membangun sendiri).
(3) Semua kegiatan pembangunan yang diborongkan dan pembelian barang harus sudah
termasuk PPn dan PPh yang diperlukan dan RSU “William Booth” Semarang harus
meminta bukti pembayaran PPn dan PPh tersebut.
(4) Setiap awal tahun Bagian Akuntansi harus menyusun Tax Planning.
(5) Semua beban pajak harus dihitung, dipungut dan disetorkan ke Kantor Pajak sesuai
ketentuan.
(6) Kepala Bagian Keuangan bertanggung jawab atas semua penghitungan, pencatatan dan
pelaporan tentang pajak termasuk membuat SPT Pajak.
(7) Kepala Bidang Personalia bertanggung jawab atas pungutan PPh 21 karyawan sedangkan
Kepala Bagian Keuangan bertanggung jawab atas pungutan PPh 21 Dokter dan PPh 23
dari pihak/mitra yang menerima jasa.
(8) Kepala Bagian Keuangan bertanggung jawab atas pembayaran semua kewajiban pajak.
(9) Semua denda yang muncul akibat kurang bayar pajak menjadi tanggung jawab RSU
“William Booth” Semarang selama semua ketentuan internal sudah dilaksanakan.
(10) Kelebihan pungutan PPh 21 akan dikembalikan ke karyawan dan jika kurang bayar akan
ditagihkan ke karyawan yang bersangkutan.

Pasal 41
Kebijakan Penghapusan Barang

(1) Semua barang yang dimiliki oleh RSU William Booth harus dicatat dalam Buku
Inventaris di Bagian Rumah Tangga.
(2) Bagian Akuntansi harus membuat laporan tahunan barang yang masih
mempunyai nilai ekonomi dan yang sudah tidak mempunyai nilai ekonomi.
(3) Perlakuan terhadap barang yang sudah tidak memiliki nilai ekonomi:

40 | 56
a. Tetap digunakan sampai rusak (tidak berfungsi) atau sudah ada
penggantinya.
b. Dihapuskan.
(4) Inventaris harus membuat laporan tahunan barang yang masih berfungsi dan
yang rusak (tidak berfungsi).
(5) Barang rusak yang sudah tidak dapat digunakan harus dihapuskan dari daftar
Inventaris, karena RSU William Booth tidak menyediakan tempat penyimpanan barang
rusak.
(6) Penghapusan barang rusak dicatat dengan mengurangi aset tetap, dapat
dilakukan dengan cara:
a. Dijual, nilai jual dicatat sebagai pendapatan lain – lain.
b. Dihibahkan: kepada pihak lain yang meminta atau membutuhkan.
c. Dimusnahkan.
(7) Jika barang tersebut hilang sebelum dilakukan penghapusan, maka harus dicari
dan dibuat laporan kehilangan dan nilainya diakui sebagai nilai kerugian RSU William
Booth.

Pasal 42
Kebijakan Analisis dan Audit

(1) Setiap Laporan Keuangan Tahunan harus disertai dengan analisis sesuai
indikator keuangan yang ditetapkan Pengurus YPKBK.
(2) Audit internal dilakukan setiap 6 bulan sekali oleh SPI
(3) Audit eksternal dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik atau lembaga yang
ditunjuk Pengurus YPKBK dan dilaksanakan minimal 1 tahun sekali, atau sesuai
kebutuhan

Pasal 43
Kebijakan Dalam Pengembangan Fisik

(1) Salah satu unsur pokok dalam pelayanan yang bermutu adalah tersedianya fasilitas
gedung yang representatif dan memenuhi standar pelayanan kesehatan, keamanan,
keselamatan dan estetika berdasarkan Master Plan dan Blok Plan rumah sakit.

41 | 56
(2) Upaya pengembangan fisik rumah sakit dapat dilakukan dengan cara :
a. Melakukan renovasi bangunan lama.
b. Menambah bangunan baru.
c. Mengganti bangunan lama menjadi bangunan baru.
d. Melakukan perbaikan kecil-kecil pada bangunan lama.
(3) Untuk mengelola kegiatan yang berskala kecil dapat dilakukan oleh BPS, atau pihak luar
yang ditunjuk.
(4) Untuk mengelola pengembangan fisik berskala besar dilakukan oleh Tim Pengembangan
yang dalam pelaksanaannya bisa melalui Pihak Luar yang ditunjuk.

Pasal 44
AKUNTANSI

(1) Pengelolaan Akuntansi RSU “William Booth” Semarang dilaksanakan mengacu pada
Kebijakan Akuntansi Rumah Sakit YPKBK yang telah disahkan oleh Pengurus YPKBK dan
Rencana Kerja Anggaran Rumah Sakit yang telah ditetapkan oleh Pengurus YPKBK.
(2) Konsep Rencana Kerja dan Anggaran RSU “William Booth” Semarang disiapkan oleh
Direksi bersama Kabid Keuangan dan Akuntansi dan Kabid Personalia.
(3) Rencana Kerja dan Anggaran RSU “William Booth” Semarang disetujui oleh Direktur RSU
“William Booth” Semarangdan diajukan ke Pengurus YPKBK untuk disahkan.
(4) Rencana Kerja dan Anggaran RSU “William Booth” Semarang dilakukan evaluasi setiap 3
bulan sekali.
(5) Seluruh catatan transaksi keuangan harus dicatat sesuai bukti transaksi yang sah dan
dibukukan pada akun yang telah ditetapkan dengan Kebijakan Akuntansi Rumah Sakit
YPKBK.
(6) Laporan Keuangan harus disusun dalam jangka waktu bulanan, semesteran dan tahunan.
(7) Kegiatan Akuntansi meliputi pencatatan, verifikasi, posting, rekonsiliasi, analisa dan
pelaporan terhadap semua transaksi yang terjadi di rumah sakit.

Pasal 45
Sumber Daya Manusia dan Diklat

(1) Perencanaan Kebutuhan Tenaga


a) RSU “William Booth” Semarang wajib membuat perencanaan SDM yang mengacu
pada peraturan perundangan yang berlaku, Renstra dan panduan perhitungan
kebutuhan tenaga.
b) RSU “William Booth” Semarang harus memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan
jenis, jumlah dan kompetensi yang telah ditetapkan.
c) RSU “William Booth” Semarang menetapkan jumlah tenaga dengan
mempertimbangkan misi rumah sakit, keragaman pasien, jenis pelayanan dan
teknologi yang digunakan dalam asuhan pasien.
d) RSU “William Booth” Semarang menetapkan pola ketenagaan dan kebutuhan
jumlah tenaga yang dijadikan dasar untuk menyusun perencanaan tenaga.
e) Perencanaan kebutuhan SDM di evaluasi sekurang-kurangnya satu tahun sekali.
(2) Rekruitmen, Seleksi dan Penempatan SDM

42 | 56
a) Rekruitmen dan seleksi SDM purna waktu dilakukan mengacu pada perencanaan
pemenuhan kebutuhan tenaga, spesifikasi jabatan dan uraian tugas yang akan
diembannya. Rekruitmen tenaga paruh waktu diatur secara terpisah.
b) Semua tenaga kesehatan dilakukan verifikasi kredensial oleh Bidang SDM bagi
karyawan baru yaitu kegiatan verifikasi ijasah ke lembaga pendidikan yang
mengeluarkan ijasah karyawan tersebut berasal.
c) Rekredensial bagi tenaga kesehatan wajib dilakukan setiap 3 (tiga) tahun yaitu
dengan mereview masa berlaku STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Ijin
Praktek) atau SIK (Surat Ijin Kerja) dan evaluasi kompetensi profesi dari karyawan
tersebut.
d) Penempatan dan pengangkatan staf mengacu pada kualifikasi jabatan, uraian tugas
dan kompetensi yang dimiliki.
e) Penempatan kembali karyawan berdasarkan kompetensi, kebutuhan pasien atau
kekurangan tenaga termasuk mempertimbangkan nilai-nilai, kepercayaan dan
agama.
f) Setiap pekerjaan wajib ditetapkan spesifikasi jabatan sesuai bidang tugasnya.
g) Setiap calon karyawan yang telah lolos seleksi karyawan dan telah mendapat
panggilan kerja diikat dengan suatu Perjanjian Kerjasama untuk jangka waktu
minimal 1 (satu) tahun.
(3) Orientasi Karyawan
a) Setiap karyawan baru di RSU “William Booth” Semarang sebelum melaksanakan
tugasnya wajib mendapatkan Orientasi Umum dan Orientasi Khusus.
b) Orientasi umum dan Khusus dilakukan selama 1 (satu) minggu atau lebih, jika di
perlukan oleh bagian terkait, dan akan diatur sendiri oleh bagian yang terkait.
c) Materi Orientasi Umum disiapkan oleh Kepala Bidang Personalia dan bagian terkait,
dan dilakukan evaluasi.
d) Materi Orientasi Khusus disiapkan oleh Kepala Bagian masing-masing dan wajib
melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi atas hasil pelaksanaan Orientasi
Khusus di bagiannya.
(4) Pengangkatan dan Pemberhentian Karyawan, Retensi Karyawan, Pengembangan SDM,
Kompensasi dan File Data Karyawan.
a) Pengangkatan dan pemberhentian karyawan dilakukan dengan Surat Keputusan
Direktur.
b) RSU “William Booth” Semarang membuat program Pengembangan Sumber Daya
Manusia (PSDM) untuk mempertahankan dan memenuhi kompetensi SDM.
c) RSU “William Booth” Semarang dalam menyelenggarakan program Pengembangan
Sumber Daya Manusia menggunakan sumber-sumber data sebagai berikut :
1) Hasil dari kegiatan pengukuran mutu atau keselamatan.
2) Monitor dari program manajemen fasilitas.
3) Penggunaan teknologi media baru.
4) Ketrampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui evaluasi kinerja.
5) Prosedur klinis baru.
6) Rencana memberikan layanan baru di kemudian hari.
d) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan Pelatihan Budaya Kerja untuk
membangun karakter kepada seluruh karyawan setiap tahun/ satu tahun sekali.

43 | 56
e) RSU “William Booth” Semarang memberikan Pelatihan Mandatory kepada seluruh
karyawan yang meliputi pelatihan BLS (Basic Life Support), Keselamatan Pasien
(Patient Safety), Cuci Tangan (Hand Hygiene) dan Pemadam Kebakaran minimal 2
(dua) tahun sekali.
f) Pelatihan Bantuan Hidup Lanjut diberikan kepada Tim Kode Biru dan perawat yang
berdinas di IGD, ICU , HCU, Hemodialisa dan Instalasi Bedah Sentral.
g) Tenaga medis wajib memiliki sertifikat pelatihan Advance Traumatic Life Support
(ATLS)/ Advance Cardiac Life Support (ACLS)/ General Emergency Life Support
(GELS).
h) Perawat di IGD, ICU, HCU, Hemodialisa dan Instalasi Bedah Sentral wajib memiliki
sertifikat PPGD yang masih berlaku.
i) Bidan di IGD, IRB, Bangsal Maternity wajib memiliki sertifikat PONEK dan APN
yang masih berlaku.
j) Dalam rangka meningkatkan pengetahuan karyawan maka RSU “William Booth”
Semarang menyediakan Perpustakaan Elektronik maupun konvensional yang
dikelola oleh Unit Diklat.
k) RSU “William Booth” Semarang menetapkan sistem penilaian kinerja karyawan yang
dilakukan 1 (satu) tahun sekali untuk memberikan umpan balik dan meningkatkan
kinerja.
l) RSU “William Booth” Semarang wajib memberikan jaminan kesehatan dan
jaminan ketenagakerjaan kepada seluruh karyawan dan keluarganya.
m) RSU “William Booth” Semarang wajib menyelenggarakan program vaksinasi dan
imunisasi kepada karyawan yang mempunyai risiko tertular penyakit pasien atau
yang berisiko mendapatkan infeksi nosokomial.
n) RSU “William Booth” Semarang wajib melakukan pemeriksaan berkala kepada
karyawan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sekali.
o) Pemberian kompensasi karyawan RSU “William Booth” Semarang mengacu pada
Peraturan Penggajian RSU “William Booth” Semarang.
p) File Karyawan wajib disimpan, dipelihara dan diupdate sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
q) Retensi file karyawan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

(5) Tenaga Medis


a. Dalam rekruitmen tenaga medis, RSU “William Booth” Semarang melibatkan Komite
Medik dalam melakukan proses kredensial untuk menentukan kewenangan klinis.
b. Setiap tenaga medis di RSU “William Booth” Semarang wajib memiliki Surat
Penugasan Klinis dan Rincian Kewenangan Klinis yang di tetapkan oleh Direktur.
c. Setelah tiga tahun bekerja maka setiap tenaga medis dilakukan proses rekredensial.

(6) Tenaga Keperawatan


a. Semua tenaga keperawatan yaitu perawat dan bidan wajib memiliki Surat
Penugasan kerja klinis dengan rincian kewenangan klinis yang dimilikinya
berdasarkan level pekerjaannya.
b. Setiap tenaga perawat dan bidan baru wajib dilakukan verifikasi kredensial oleh
Bidang Personalia, dan proses kredensial dilakukan oleh Komite Keperawatan
sebelum proses pengangkatan.

44 | 56
c. Setelah 3 (tiga) tahun dilakukan rekredensial dengan mereview STR, SIK serta
melakukan review kompetensi yang dimiliki karyawan tersebut.
d. Levelling pekerjaan tenaga Perawat dan Bidan Klinis yaitu Perawat Klinis (PK) Bidan
Klinis (BK) meliputi Perawat Klinis (PK/BK I, PK/BK II, dan PK/BK III).

(7) Tenaga Penunjang Medis


a. Semua tenaga penunjang medis yaitu Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian, ATLM,
Ahli Gizi, Radiografer, dan Fisioterapis wajib memiliki Surat Penugasan Kerja Klinis
dengan rincian kewenangan klinis yang dimilikinya berdasarkan level pekerjaannya.
b. Setiap tenaga penunjang medis baru wajib dilakukan verifikasi kredensial dan
proses kredensial yang dilakukan oleh Komite Tenaga Kesehatan Lain.
c. Setelah 3 (tiga) tahun dilakukan rekredensial dengan mereview STR, SIP serta
melakukan evaluasi kinerja klinis yang dimiliki karyawan tersebut.
d. Levelling pekerjaan untuk tenaga penunjang medis yaitu Apoteker, Tenaga Teknis
Kefarmasian, ATLM, Ahli Gizi, Radiografer, dan Fisioterapis meliputi Junior, Medior
dan Senior.
(8) Tenaga Non Klinis.
a. Setiap karyawan non klinis yang bekerja di RSU “William Booth” Semarang wajib
mendapatkan Uraian Tugas yang harus dikerjakannya.
b. Untuk karyawan baru non klinis tidak dilakukan kredensial dan rekredensial.
(9) Mahasiswa Praktik Kerja Lapangan (PKL) dan Pegawai Outsourcing.
Mahasiswa yang melakukan praktek kerja lapangan dan pegawai outsourcing yang ada di
lingkungan RSU.William Booth wajib mengikuti kegiatan pelatihan Mandatory tentang
BLS, keselamatan pasien, sistem mutu RS, cuci tangan dan pemadam kebakaran, serta
menaati semua peraturan yang ada di rumah sakit.

Pasal 46
Pengadaan
(1) Kebijakan Umum
a. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa di RS William Booth (RSUWB) yang
harus disediakan oleh pihak luar, RSUWB menunjuk Bagian Rumah Tangga untuk
bertanggung jawab mengkoordinasi pengadaan barang dan jasa.
b. Barang yang diadakan dibedakan menjadi barang Investasi dan Non Investasi,
barang Non Investasi dibedakan lagi menjadi barang Rutin dan Tidak Rutin. Sedang
Jasa yang diadakan dibedakan menjadi Jasa Rutin dan Jasa Tidak Rutin.
c. Untuk mengatur mekanisme pengadaan barang dan jasa ditetapkan dengan
Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa sebagai dasar menetapkan prosedur
pengadaan.
d. Dalam melaksanakan tugasnya, Bagian Rumah Tangga dibantu oleh Tim Pengadaan.
e. Tim Pengadaan bertugas menetapkan standar dan spesifikasi barang yang perlu
disediakan (stock), memilih dan menetapkan pemasok serta mengadakan barang
investasi khusus dengan harga tertentu
(2) Kebijakan Khusus Persediaan :
a. Untuk menjamin kelancaran pelayanan, RSU “William Booth” Semarang
menyediakan barang-barang persediaan secara rutin berdasarkan ketentuan stok
minimal dan standar barang kebutuhan yang telah ditetapkan (Daftar barang di
stock).

45 | 56
b. Pengelolaan barang persediaan di RSU “William Booth” Semarang dilaksanakan di
Instalasi Farmasi (untuk barang Farmasi), di Rumah Tangga (untuk barang umum
dan makanan kering) dan di Instalasi Gizi (untuk bahan makanan basah).
c. Untuk mengatasi kebutuhan barang tertentu yang sulit pengadaannya,
dimungkinkan adanya barang cadangan yang pengelolaannya diatur tersendiri.
d. Untuk menjamin ketersediaan barang rutin, baik kuantitas maupun kualitas dibuat
perjanjian kerjasama dengan pemasok untuk waktu tertentu dan dievaluasi secara
periodik.
e. RSU “William Booth” Semarang menetapkan mekanisme dan tata cara
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian barang
persediaan.
f. Secara periodik dilakukan stock opname terhadap barang persediaan untuk
menghitung nilai persediaan.
g. Untuk mengendalikan barang persediaan, RSU “William Booth”
Semarangmenetapkan safety stock, reorder point, jumlah order dan jumlah
pembelian maksimal untuk setiap jenis barang persediaan.
(3) Kebijakan Khusus Bidang Jasa:
a. Pengadaan jasa tidak rutin diatur berdasarkan skala pekerjaannya mulai dari Kepala
Unit, Kepala BPS dan Direktur.
b. Pengadaan jasa untuk pekerjaan rutin harus dikoordinasikan bersama bagian terkait
yang membutuhkan jasa tersebut.
c. Untuk pekerjaan renovasi/pembangunan, pengadaan jasa dengan nilai tertentu bisa
diserahkan kepada Tim Pengembangan atau Panitia Pembangunan yang dibentuk
oleh Direktur.
d. Untuk pengendalian beban jasa rutin dilakukan oleh Direktur yang direncanakan
dan dituangkan dalam RAB tahunan.

46 | 56
Pasal 47
Pemasaran

(1) RSU “William Booth” Semarang menjalin dan memelihara kerjasama dengan asuransi,
perusahaan, instansi atau lembaga, gereja, komunitas dan penyedia layanan kesehatan
lainnya yang mempunyai reputasi baik, sebagai suatu upaya untuk memelihara
hubungan dan meningkatkan pelayanan.
(2) Kerjasama antara rumah sakit dan institusi pembayar pihak ketiga dan penyedia
pelayanan kesehatan lain harus berprinsip win win solution atau tidak merugikan salah
satu pihak dan dievaluasi secara periodik.
(3) Kerjasama rumah sakit dengan pembayar pihak ketiga dan institusi pelayanan kesehatan
lain yang bermasalah harus segera diselesaikan secepatnya guna meminimalkan potensi
kerugian bagi rumah sakit.
(4) Kegiatan promosi untuk memperkenalkan layanan dan fasilitas kesehatan serta produk
yang dimiliki oleh RSU “William Booth” Semarang dilakukan dengan memperhatikan
Kode Etik Rumah Sakit dan dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah sakit.
(5) RSU “William Booth” Semarang perlu melakukan kegiatan retensi pelanggan untuk
mempertahankan loyalitas pelanggan.
(6) RSU “William Booth” Semarang melakukan kegiatan pengembangan pasar dan
pengembangan jenis layanan yang memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah
pelanggan.

Pasal 48
Teknologi Informasi

(1) Pengembagan sistem informasi manajemen RSU “William Booth” Semarang dilakukan
dengan mengacu pada Permenkes Nomor 82 Tahun 2013.
(2) Proses perencanaan pengembangan sistem informasi manajemen dilakukan dengan
melibatkan dan atau memperhatikan kebutuhan semua pihak baik jajaran manajemen,
kepala unit kerja dan unit layanan, PPA maupun pihak luar.
(3) Rencana pengembangan sistem informasi dilakukan secara terstruktur dengan jadwal
tahunan yang disetujui oleh manajemen rumah sakit.
(4) Pengembangan sistem informasi yang menggunakan sistem aplikasi komputer dilakukan
oleh programer RSU “William Booth” Semarang atau pihak eksternal. Dalam hal
pengembangan program aplikasi dilakukan oleh pihak ekternal, harus dilakukan proses
seleksi kompetensi maupun harga.
(5) Program aplikasi pihak ekternal yang wajib digunakan di rumah sakit (misalnya : program
aplikasi klaim BPJS), wajib ditunjuk PIC dari bagian TI untuk memelihara, melakukan up
date, dan mengupayakan bridging dengan program aplikasi RSU “William Booth”
Semarang.
(6) Sebelum program aplikasi komputer diimplementasikan, wajib dilakukan pemaparan
kepada semua pihak yang tekait, edukasi kepada semua petugas pelaksana, uji coba dan
evaluasi.
(7) Sofware aplikasi dilakukan validasi dan evaluasi secara periodik untuk memastikan
masih berfungsi secara normal.

47 | 56
(8) Untuk mendukung keamanan data, RSU “William Booth” Semarang menyediakan server
khusus yang ditempatkan pada ruangan khusus yang memenuhi syarat suhu maksimal 25
derajat Celsius dan hanya bisa diakses oleh petugas TI yang ditunjuk.
(9) Jika terjadi gangguan server, maka pelayanan billing sementara dilakukan secara manual
berpedoman pada tarif rumah sakit yang berlaku. Khusus untuk harga obat disediakan
back up data yang disediakan oleh bagian TI yang selalu diback up secara rutin setiap
awal bulan.
(10) Server dan komputer workstation diproteksi dengan anti virus yang selalu di up date.
(11) Data komputer dilakukan back up data secara harian pada harddisk ekternal yang
berbeda setiap harinya.
(12) Seluruh perangkat keras komputer baik CPU, monitor, printer, maupun perangkat keras
harus dipelihara secara rutin dan dilakukan penggantian jika spesifikasinya sudah tidak
compatible dengan sofware aplikasi.
(13) Program pengembangan SDM bagian TI dilakukan secara berkala untuk menjamin
kompetensi SDM terus up date mengikuti perkembangan.

Pasal 49
Kebijakan Satuan Pengamanan

Kebijakan khusus Satpam:


(1) Rumah sakit wajib menjaga keamanan dari menyediakan Pos Satpam disetiap pintu
masuk utama dan tempat-tempat lain yang dianggap perlu.
(2) Rumah sakit menyediakan sarana komunikasi mobile (HT/Handy Talky).
(3) Rumah sakit menetapkan waktu layanan Pos Satpam sesuai dengan kebutuhan.
(4) Patroli keliling ke setiap bangsal dilakukan setelah jam berkunjung pasien rawat inap
untuk mendisiplinkan pengunjung.
(5) Patroli keliling pada tempat-tempat yang beresiko dilakukan secara periodik.
(6) Rumah sakit menetapkan jam berkunjung, batasan pengunjung dan hal-hal yang dilarang
dibawa ke ruang perawatan.
a) Rumah sakit menyediakan CCTV untuk memonitor tempat-tempat berisiko dan
tempat-tempat strategis dan menetapkan hak akses terhadap CCTV.
b) Rumah sakit harus menjalin relasi dengan Kepolisian setempat (Polsek).

Pasal 50
Promosi Kesehatan Rumah Sakit

(1) Rumah sakit menyelenggarakan kegiatan dalam upaya peningkatan kesehatan


masyarakat, melalui kegiatan pendampingan/ penyuluhan sesuai dengan kemampuan
rumah sakit, yang dikoordinasi oleh bagian PKRS, yang ditetapkan oleh Direktur.
(2) Sasaran layanan PKRS diutamakan di wilayah Semarang.
(3) Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan secara mandiri, maupun
bekerja sama dengan lembaga lain, yang memiliki kesamaan tujuan.

Pasal 51
Unit Pastoral

48 | 56
(1) Rumah sakit menyelenggarakan Pelayanan pendampingan dan konseling Pastoral kepada
pasien, keluarga, dan karyawan, tanpa membedakan suku, agama, keyakinan dan ras,
dengan menggunakan prinsip-prinsip layanan Pastoral dan Konseling.
(2) Pelayanan pendampingan dan konseling Pastoral dilakukan oleh SDM terlatih dalam
bidang Pastoral, yang ditetapkan oleh Direktur.
(3) Pelayanan Pastoral dalam menjalankan tugas pendampingan dapat bekerjasama dengan
unit atau bagian yang terkait baik internal maupun eksternal dengan tetap menghormati
peraturan rumah sakit.
(4) Pelayanan Pastoral dapat dilakukan bekerjasama dengan Rohaniwan dan lembaga
keagamaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan spiritualitas pasien.
(5) Bidang Pastoral menyelenggarakan pengembangan spiritualitas yang berdampak pada
pembentukan dan pengembangan karakter, serta peningkatan kinerja karyawan.
(6) Bidang Pastoral bertanggung jawab terhadap kegiatan hari besar Kristiani di RS William
Booth Semarang.
(7) Bidang Pastoral mengembangkan pelayanan Sosio Pastoral.

Pasal 52
Unit Satuan Pemeriksaan Internal

(1) RSU “William Booth” Semarang melakukan pengawasan kegiatan keuangan dan non
keuangan dengan membentuk Unit Satuan Pemeriksaan Internal (SPI).
(2) Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan :
a. Pengelolaan risiko telah berjalan dengan baik.
b. Sumber daya diperoleh secara efisien, digunakan secara efektif dan mendapatkan
perlindungan yang memadai.
c. Rencana, sasaran dan program-program dapat dicapai secara efektif.
d. Proses pengendalian internal (pelaksanaan regulasi : Kebijakan, Pedoman, Panduan,
SPO ditaati) mendorong terciptanya peningkatan kualitas dan nilai tambah secara
berkesinambungan.
(3) Pemeriksaan dilakukan oleh Unit SPI berdasarkan jadwal yang telah ditentukan dan
berdasarkan surat penugasan oleh Direktur.
(4) Hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Direktur dan kepala unit layanan/ kerja yang
diperiksa.
(5) Direktur menugaskan kepala unit layanan/kerja untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil
pemeriksaan SPI.
(6) Kepala unit layanan/kerja wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan dan melaporkan
tindak lanjut rekomendasi kepada Direktur.

Pasal 53
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan program keselamatan pasien untuk
memastikan bahwa layanan yang diberikan aman bagi pasien.
(2) Direktur membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) untuk menyusun,
melaksanakan, melakukan monitoring dan evaluasi program keselamatan pasien rumah
sakit.
(3) RSU “William Booth” Semarang menetapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien.

49 | 56
(4) RSU “William Booth” Semarang melakukan upaya pencegahan Insiden melalui Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit :
a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
b. Memimpin dan mendukung staf
c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
d. Mengembangkan sistem pelaporan
e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
f. Belajar dan berbagai pengalaman tentang keselamatan pasien
g. Mencegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
(5) Mengidentifikasi pasien dengan benar
a. Setiap pasien Rumah Sakit, baik rawat jalan atau rawat inap harus diidentifikasi.
b. Setiap pasien mempunyai satu nomer rekam medis terdiri dari enam digit yang
menunjukkan identitas pasien tersebut.
c. Proses identifikasi pasien dapat dilakukan secara verbal dan visual. Verbal ketika ada
dirawat jalan, hemodialisis, gawat darurat atau pertama kali kontak antara petugas
dan pasien, sedangkan visual dilakukan dirawat inap sesudah pasien dilakukan
identifikasi secara verbal pertama kali kontak.
d. Proses identifikasi ini harus dilakukan oleh setiap petugas di Rumah Sakit dengan
pertanyaan terbuka.
e. Identifikasi pasien di RSU “William Booth” Semarang menggunakan minimal 2 dari 3
identifikasi pasien meliputi, nama pasien, tanggal lahir dan nomor rekam medis.
f. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak boleh digunakan untuk identifikasi pasien.
g. Pasien yang mendaftar dan tidak membawa kartu identitas, akan diberikan formulir
pengisian identifikasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai identifikasi pasien.
h. Jika pasien tidak tahu tanggal lahirnya, maka harus diupayakan untuk mendapatkan
informasi nya dalam waktu 1 x 24 jam.
i. Identifikasi pasien dilakukan pada saat:
1) Sebelum pasien masuk di rawat jalan
2) Sebelum pasien masuk di rawat inap
3) Sebelum dilakukan tindakan prosedur diagnostik dan terapeutik
4) Sebelum pemberian obat
5) Sebelum pemberian darah/produk darah
6) Sebelum pengambilan specimen
7) Sebelum pemberian diet
8) Sebelum menerima cairan intravena
9) Sebelum hemodialisis
10) Sebelum pengambilan darah
11) Identifikasi terhadap pasien koma
12) Pelayanan administrasi
13) Terjadi bencana / KLB
14) Konfirmasi kematian dan penyerahan jenazah
j. Setiap pasien masuk rawat inap harus dipasang gelang identifikasi.
k. Gelang pasien harus diprint, bila terjadi kerusakan alat printer gelang maka petugas
admisi menggunakan gelang dengan identifikasi ditulis manual, dan sebelum
pemasangan harus diklarifikasi kebenarannya kepada pasien atau keluarga pasien.
Segera sesudah alat printer gelang dapat digunakan lagi, maka petugas segera
membuatkan gelang identifikasi yang baru untuk mengganti gelang identifikasi yang
lama.

50 | 56
l. Yang harus tertera dalam gelang identitas ataupun label identitas yang lain minimal:
nama pasien, tanggal lahir pasien dan nomor rekam medis pasien.
m. Untuk pasien laki laki digunakan gelang biru dan untuk wanita digunakan gelang
merah muda.
n. Pin warna kuning ditempelkan digelang identitas untuk pasien berisiko jatuh.
o. Pin warna merah ditempelkan jika pasien mempunyai alergi dan pada rekam medis
dituliskan macam alerginya.
p. Pin warna ungu ditempelkan pada gelang untuk pasien Do Not Resusitate (DNR).
q. Untuk pasien yang tidak dikenal, tidak sadar, dan tidak ada keluarga yang
mengantar/ yang mengetahui identitasnya, diberikan identitas sementara Tn. X
untuk laki – laki dan Nn. Y untuk perempuan, sampai ada anggota keluarga yang
mengenali/ segera saat pasien sadar, sehingga dapat diberikan identitas sesuai
dengan seharusnya.
r. Gelang pengenal hanya dilepas saat pasien pulang/keluar dari rumah sakit/ dirujuk,
alergi terhadap gelang, gelang longgar, rusak, atau mengganggu suatu prosedur, dan
terjadi perubahan identitas.
s. Edukasi dilakukan pada saat pemasangan gelang, dan harus berisi tentang : maksud
dan tujuan pemasangan gelang, gelang tidak boleh dilepas selama proses
perawatan, kapan gelang boleh dilepas kemana pasien lapor bila terjadi alergi
gelang, menjelaskan bahwa selama perawatan pasien akan selalu dilakukan proses
identifikasi setiap kali dilakukan tindakan ataupun pengobatan serta mendorong
pasien dan keluarga untuk aktif memantau pelaksanaan proses identifikasi.
t. Jangan menyebutkan nama, tanggal lahir dan meminta pasien untuk
mengkonfirmasi dengan jawaban ya / tidak saat melakukan identifikasi secara
verbal.
u. Jangan melakukan prosedur apapun jika pasien tidak memakai gelang pengenal.
v. Jika terdapat ≥ 2 pasien di satu unit dangan nama yang sama, periksa ulang identitas
dengan urutan alamat rumah, nama keluarga terdekat, dan agama dan pada tempat
yang berbeda, tidak boleh dalam 1 ruangan.
w. Pelaporan insiden kesalahan identifikasi dilaporkan maksimal 2x24 jam.
(6) Meningkatkan Komunikasi yang Efektif
a. Komunikasi dianggap efektif bila tepat waktu,akurat, lengkap, tidak mendua dan
diterima oleh penerima informasi yang bertujuan mengurangi kesalahan.
b. Komunikasi dapat berbentuk verbal, elektronik atau tertulis.
c. Dalam melakukan komunikasi via telpon dilakukan hal hal sebagai berikut :
1) Tidak boleh melakukan pemesanan atau permintaan obat secara verbal
2) Prosedur penerima perintah lewat telpon menggunakan metode SBAR
(Situation, Background, Assessment, and Recommendation) dan verbal order
menggunakan metode TBK (Tulis, Baca, Konfirmasi)
3) Penggunaan singkatan harus ditetapkan oleh rumah sakit
4) Pada kondisi darurat, saat komunikasi secara tertulis/komunikasi elektronik
tidak bisa dilakukan maka Rumah Sakit menetapkan panduannya (standing
order) .
5) Dalam kondisi darurat, proses penerimaan hasil pemeriksaan bisa dipercepat
dari waktu yang sudah ditetapkan oleh masing masing unit penunjang.
6) Saat ditemukan pemeriksaan dengan hasil kritis maka petugas yang
menemukan mengklarifikasi hasil kritis kepada petugas lain untuk dilaporkan
kepada PPA yang bertanggung jawab dan hasil pelaporan dan tindaklanjut dari
hasil kritis didokumentasi dan dievaluasi didalam CPPT.

51 | 56
d. Proses saat serah terima pasien terjadi saat :
1) Antar PPA seperti antar staf medis dan staf medis, antar staf medis dan staf
keperawatan,atau antar PPA dan PPA lainnya pada saat pertukaran shif, maka
komunikasi harus tercatat dalam CPPT dan didokumentasikan secara SOAP
2) Antar berbagai tingkat layanan didalam Rumah sakit yang sama, maka
komunikasi tertulis dicatat dalam form transfer dan ditandatangani oleh PPA
yang melakukan transfer dan diketahui oleh penanggung jawab asuhan
3) Dari unit rawat inap ke unit layanan diagnostik / unit tindakan, maka
komunikasi tertulis dicatat dalam form transfer dan ditandatangani oleh PPA
yang melakukan transfer dan diketahui oleh penanggung jawab asuhan
e. Verifikasi atas instruksi dokter via telepon dilakukan dalam 1 x 24 jam dengan tanda
tangan dokter pemberi instruksi
f. Pada kondisi khusus misalnya di IGD, Kamar Operasi, ICU/ ruang perawatan biasa,
dimana pasien memerlukan tindakan segera maka proses konfirmasi tidak perlu
dilakukan.
(7) Meningkatnya keamanan obat yang perlu diwaspadai (High Alert Medications) sesuai
dengan kebijakan PKPO tentang HAM.
(8) Terlaksananya proses tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien yang menjalani tindakan
dan prosedur sesuai dengan kebijakan PAB tentang tepat lokasi, tepat prosedur dan
tepat pasien yang akan menjalani operasi
(9) Dikuranginya risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan sesuai dengan kebijakan PPI
tentang kebersihan tangan dan desinfeksi
(10) Mengurangi Risiko Cidera Karena Pasien Jatuh
a. RSU “William Booth” Semarang melakukan penilaian, intervensi, dan monitoring
terhadap pasien berisiko jatuh.
b. Setiap pasien dinilai terhadap risiko jatuh. Di rawat jalan secara get up and go dan
di rawat inap dengan menggunakan skala Humpty Dumpty modifikasi untuk anak-
anak dan skala Morse modifikasi untuk dewasa
c. Semua pasien anak < 5 tahun, geriatri >60 th, pasien ICU, pasien HCU, pasien HD,
pasien operasi adalah pasien berisiko jatuh tinggi.
d. Identifikasi pasien risiko jatuh yang akan dipasangkan meliputi:
1. Stiker kuning yang dipasang bersama gelang identitas
2. Tanda segitiga warna kuning untuk pasien dewasa yang akan dipasang di
sekitar pasien yang bisa dilihat oleh petugas
3. Tanda Humpty Dumpty untuk pasien anak–anak yang akan dipasang di sekitar
pasien yang bisa dilihat oleh petugas
e. Untuk pasien bayi kurang dari 1 bulan diberikan sticker warna kuning pada gelang
bayi.
f. Penilaian kembali dilakukan setiap 3 hari dan jika pasien ditransfer di unit lain,
terdapat penurunan kesadaran, mendapatkan obat–obat efek sedasi, post operasi,
mengalami jatuh saat dirawat
g. Intervensi dan monitoring dilakukan setiap shift untuk yang beresiko rendah
h. Intervensi dan monitoring dilakukan setiap 4 jam untuk yang beresiko sedang
i. Intervensi dan monitoring dilakukan setiap 2 jam untuk yang beresiko tinggi
j. Bila ada kejadian pasien jatuh petugas segera menindaklanjuti sesuai dengan
kondisi pasien, melaporkan ke DPJP, serta didokumentasikan di CPPT dan dilaporkan
ke KPRS menggunakan form pelaporan KTD/KNC minimal maximal 2x24 jam dan
diketahui oleh pimpinan unit terjadinya kejadian pasien jatuh

52 | 56
k. Bila terjadi pasien jatuh dan mengalami cedera maka petugas yang menemukan
wajib memberikan pertolongan pertama sesuai kondisi pasien, dibuat kronologi
kejadian, dilaporkan ke DPJP dilaporkan kejadian KTDnya sepengetahuan kepala unit
kerja, dilaporkan ke direktur melalui wakil direktur pelayanan untuk dilakukan RCA
dan tindak lanjut sesuai SPO penanganan pasien cedera akibat terjatuh

Pasal 54
Tim PONEK
(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan program Rumah Sakit Sayang Ibu dan
Bayi (RSSIB) yang melingkupi sepuluh langkah menuju perlindungan ibu dan bayi secara
terpadu dan paripurna, konsisten dan berkesinambungan yang terdiri dari perawatan
gabung ibu dan bayi, pelayanan ASI eksklusif (termasuk IMD) dan indikasi yang tepat
untuk pemberian susu formula, pelayanan metode kangguru (PMK) untuk Bayi Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR), dan SPO pelayanan kedokteran untuk mendukung program
Rumah Sakit pelayanan PONEK.
(2) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal
secara terpadu dan paripurna, dalam bentuk Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi
Komprehensif (PONEK) 24 jam.
(3) RSU “William Booth” Semarang sebagai Rumah Sakit PONEK 24 jam, merupakan bagian
dari sistem rujukan dalam pelayanan kedaruratan maternal dan neonatal.
(4) RSU “William Booth” Semarang membentuk tim PONEK untuk menyusun, melaksanakan,
melakukan monitoring dan evaluasi program PONEK dan menyediakan anggaran agar
program tersebut berjalan dengan konsisten.
(5) RSU “William Booth” Semarang melarang adanya promosi, sampel, atau bantuan dari
distributor/ pabrik susu formula.
(6) Tim PONEK wajib membuat pelaporan dan analisis secara berkala, yang terintegrasi
dengan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

Pasal 55
Tim DOTS TB

(1) RSU “William Booth” Semarang mendukung upaya penanggulangan tuberkulosis dengan
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan
rehabilitatif, dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka
kesakitan, kecacatan, atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat,
dan mengurangi dampak negatif akibat tuberkulosis.
(2) RSU “William Booth” Semarang melaksanakan program penanggulangan tuberkulosis
dengan strategi DOTS, dengan melakukan kegiatan promosi kesehatan, surveilans
tuberkulosis, pengendalian faktor risiko, penemuan dan penanganan kasus tuberkulosis,
pemberian kekebalan, dan pemberian obat pencegahan.
(3) RSU “William Booth” Semarang membentuk tim TB DOTS untuk menyusun,
melaksanakan, melakukan monitoring dan evaluasi program penanggulangan
tuberkulosis.
(4) RSU “William Booth” Semarang menyediakan sarana dan prasarana pelayanan
tuberkulosis, baik di rawat jalan, rawat inap, tempat pengambilan sputum, laboratorium,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) RSU “William Booth” Semarang melaksanakan pelayanan tuberkulosis dan pengendalian
faktor risiko tuberkulosis sesuai dengan panduan praktik klinis tuberkulosis yang
ditetapkan.

53 | 56
(6) Semua pasien yang datang berobat ke poli rawat jalan dengan keluhan batuk
wajibdilakukan skrining dengan formulir skrining di bagian pendaftarandan diberi edukasi
mengenai etika batuk serta hygiene respirasi dan diharuskan memakai masker yang
disediakan kemudian ditempatkan di ruang tunggu pasien batuk atau ruang terpisah dari
pasien lain.
(7) Semua pasien yang berobat ke UGD dengan keluhan batuk wajib dilakukan skrining
dengan formulir skrining di bagian pendaftaran dan diberi edukasi mengenai etika batuk
serta hygiene respirasi dan diharuskan memakai masker yang disediakan, jika keluhan
pasien mengarah ke TB akan dipisahkan dari pasien non infeksi dengan menempatkan
di ruang isolasi IGD.
(8) Semua staf klinis melakukan kontak dengan pasien tuberkulosis atau specimen pasien,
wajib menggunakan APD yang telah disediakan di unit pelayanan tuberkulosis.

54 | 56
Pasal 56
Tim HIV/ AIDS

(1) RSU “William Booth” Semarang melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
b. Meningkatkan fungsi pelayanan Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT)
c. Meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART)
d. Meningkatkan fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO)
e. Meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan faktor risiko Injection Drug Use
(IDU), dan
f. Meningkatkan fungsi pelayanan penunjang, yang meliputi pelayanan gizi,
laboratorium, dan radiologi.
(2) Pelayanan HIV meliputi segala upaya pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Pelayanan promotif dan preventif dilakukan melalui penyuluhan, leafleat
tentang HIV/AIDS, konseling dan tes HIV.Pelayanan kuratif dan rehabilitatif melalui
layanan Pelayanan Dukungan dan Pengobatan (PDP) dan Kelompok Dukungan Sebaya
(KDS), yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi
penularan serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya.
(3) RSU “William Booth” Semarang membentuk Tim HIV/AIDS untuk menyusun,
melaksanakan, melakukan monitoring, dan evaluasi program penanggulangan HIV/AIDS,
serta menyediakan anggaran agar pelaksanaan program berjalan dengan konsisten.
(4) Dalam Penanggulangan HIV/AIDS harus menerapkan prinsip:
a. Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan;
b. Menghormati harkat martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender;
c. Kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan
kesejahteraan keluarga;
d. Kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi
dan kabupaten/ kota;
e. Kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai dari peningkatan perilaku
hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi yang
terinfeksi HIV (ODHA) serta orang-orang terdampak HIV/AIDS;
f. Kegiatan dilakukan oleh Rumah Sakit dengan pemerintah dan masyarakat
berdasarkan kemitraan;
g. Melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta orang-orang yang terdampak
HIV/AIDS;
h. Memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang terdampak HIV/AIDS
agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang layak dan produktif.

Pasal 57
Tim PPRA

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pengendalian resistensi antimikroba,


dengan melaksanakan program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) serta
menetapkan panduan penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi di rumah sakit.
(2) RSU “William Booth” Semarang membentuk Tim PPRA untuk menyusun, melaksanakan,
melakukan monitoring dan evaluasi program pengendalian resistensi antimikroba, serta
menyediakan anggaran agar pelaksanaan program berjalan dengan konsisten.
(3) Tim PPRA dipimpin oleh staf medis yang sudah mendapat sertifikat pelatihan PPRA,
dengan anggota terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur staf medis, staf

55 | 56
keperawatan, staf instalasi farmasi, staf laboratorium, komite farmasi dan terapi dan
komite PPI.
(4) Tim PPRA wajib membuat laporan pelaksanaan program/kegiatan PPRA kepada Direktur
dan kepada Komite Pengendalian Antimikroba (KPRA) minimal satu tahun sekali.

Pasal 58
Tim Geriatri

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pelayanan geritari baik rawat jalan
dan rawat inap.
(2) RSU “William Booth” Semarang membentuk Tim Terpadu Geriatri untuk menyusun,
melaksanakan, melakukan monitoring dan evaluasi rencana kerja pelayanan Geriatri.
(3) Promosi dan edukasi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan warga lanjut usia wajib
dilakukan, melalui kerja sama dengan tim promosi kesehatan rumah sakit (PKRS).
(4) Tim Terpadu Geriatri wajib membuat laporan kegiatan pelayanan Geriatri secara berkala
kepada Direktur.

Pasal 59
Tim Promosi Kesehatan Rumah Sakit

(1) RSU “William Booth” Semarang menyelenggarakan pelayanan kesehatan promotif dan
preventif dengan membentuk tim PKRS.
(2) Tim PKRS menyusun dan melaksanakan program PKRS, baik di dalam maupun di luar
rumah sakit.
(3) Tim PKRS melakukan evaluasi pelaksanaan program dan melaporkan secara tertulis
kepada Direktur.

Pasal 60
Tim Penilaian Teknologi Kesehatan

RSU “William Booth” Semarang membentuk Tim Penilaian Teknologi Kesehatan yang bertugas
untuk melakukan penapisan teknologi medis ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, legal, etika,
dan agama.

***

56 | 56

Anda mungkin juga menyukai