Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) ET CAUSA NEPHROLITHIASIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
a. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Pengertian mengenai gagal ginjal kronik banyak diungkapkan
oleh beberapa ahli, walaupun cara pandang para ahli berbeda tetapi
mengandung arti yang sama, diantaranya :
“Chronic Renal Faillure (CRF) is a permanent, irreversible
condition in which the kidneys case to remove metabolic waste and
excessive water from the blood”. (Ignatavicius, D., et all, 1995:2112)
Pengertian diatas dapat diterjemahkan sebagai berikut “Gagal
ginjal kronis adalah suatu kondisi yang permanen dan irreversible
dimana ginjal tidak dapat membuang sampah metabolik dan air yang
berlebihan dari darah”.
“Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,
berlangsung progresif dan cukup lanjut”. (Suyono, S., dkk, 2001:427)
“Gagal ginjal kronik adalah penyakit renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)”.
(Smeltzer, S.C.,dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara H.Y., dkk,
2001:1448)
8
Tiga pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa gagal
ginjal kronis adalah suatu kondisi yang permanen yang disebabkan
oleh penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana
ginjal gagal untuk membuang sampah metabolik (ureum dan
sampah nitrogen lain) serta gagal untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Pengertian Nefrolithiasis
“Nefrolithiasis adalah batu yang terbentuk pada tubuli ginjal
kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan
bisa mengisi seluruh pelvis serta kaliks ginjal yang mampu
menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan
struktur saluran kemih sebelah atas”. (Purnomo, Basuki.B., 2003 :
57)
“Nefrolithiasis merupakan kristal yang terlihat seperti batu dan
terbentuk di ginjal, kristal-kristal tersebut akan berkumpul dan saling
berlekatan untuk membentuk formasi batu. (http://www.mail-
archive.com) tanggal 24 Agustus 2005)
Berdasarkan pengertian diatas bahwa Nefrolithiasis adalah batu
yang terbentuk dari pengkristalan pada tubuli ginjal kemudian berada
di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi seluruh
pelvis serta kaliks ginjal yang mampu menimbulkan obstruksi saluran
kemih dan menimbulkan kelainan struktur saluran kemih sebelah
atas.
c. Pengertian Nefrolitotomi
“Nefrolitotomi yaitu salah satu teknik bedah urologi dengan
melakukan insisi pada ginjal untuk mengangkat batu”. (Smeltzer,
S.C.,dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara H.Y., dkk, 2001:1466)
“Nefrolitotomi adalah pembedahan terbuka untuk mengambil batu
pada saluran ginjal”. (Purnomo, Basuki.B., 2003 : 65)
Dua pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
Nefrolitotomi adalah tindakan bedah urologi dengan melakukan insisi
pada ginjal untuk mengeluarkan batu pada saluran ginjal.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas bahwa gagal ginjal
kronik ec nefrolithiasis bilateral dan post nefrolitotomi kiri adalah
suatu kondisi dimana terjadi penurunan fungsi ginjal diakibatkan oleh
batu yang terbentuk pada tubuli ginjal atau berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi seluruh pelvis
serta kaliks ginjal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih.
Tindakan untuk mengatasi hal tersebut dilakukan nefrolitotomi yaitu
mengangkat batu yang berada pada saluran ginjal.
2. Etiologi
a. Etiologi Nefrolithiasis
Menurut Purnomo, Basuki.B., 2003 : 57, terbentuknya batu
ginjal diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine,
gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap. Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu ginjal (nefrolithiasis) pada seseorang, yaitu :
1) Faktor Intrinsik :
a) Herediter
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
b) Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50
tahun
c) Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan
2) Faktor Ekstrinsik :
a) Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
ginjal lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal
sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan
daerah Bantu di Afrika selatan hampir tidak dijumpai.
b) Iklim dan temperatur
c) Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden
batu ginjal.
d) Diet
Diet banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah
terjadinya batu ginjal
e) Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang
pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau
sedentary life.
b. Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Penyebab dari gagal ginjal kronis menurut Price, S.A., dkk,
alih bahasa Peter, A., (1995 : 817), Ignatavicius, D., et all,(1995 :
2113) adalah :
1) Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang
manusia tanpa memandang usia, terutama wanita. Infeksi
saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori besar :
Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis)
dan infeksi saluran kencing bagian atas (pielonepritis akut).
Sistitis kronik dan pielonepritis kronik adalah penyebab utama
gagal ginjal tahap akhir pada anak-anak.
2) Penyakit peradangan
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya
disebabkan oleh glomerulonepritis kronik. Pada
glomerulonepritis kronik, akan terjadi kerusakan glomerulus
secara progresif yang pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya gagal ginjal.
3) Penyakit vaskular hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang
erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan
menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit
gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut
berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium
dan air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin-
angiotensin.
4) Gangguan jaringan penyambung
Penyakit jaringan penyambung (penyakit kolagen) adalah
penyakit sistemik yang manifestasinya terutama mengenai
jaringan lunak tubuh, dan yang sering terserang adalah ginjal.
Penyakit jaringan penyambung yang dapat menyebabkan
gagal ginjal diantaranya adalah lupus eritematosus sistemik
(SLE) dan sklerosis sistemik progresif (skleroderma).
5) Gangguan kongenital dan herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal
merupakan penyakit herediter yang terutama mengenai
tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir dengan gagal ginjal
meskipun lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik.
6) Penyakit metabolik
Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal
kronik antara lain diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme
primer dan amiloidosis.
7) Nefropati toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan
dan bahan-bahan kimia karena alasan-alasan berikut :
a) Ginjal menerima 25 % dari curah jantung, sehingga
sering
dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang
besar.
b) Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskular.
c) Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk
kebanyakan obat, sehingga insufisiensi ginjal
mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan
konsentrasi dalam cairan tubulus.
d) Gagal ginjal kronik dapat diakibatkan penyalahgunaan
analgesi dan paparan timbal.
8) Nefropati obstruktif
Obstruksi pada saluran kemih dapat menimbulkan gejala
yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Adapun
obstruksi
saluran kemih yang dapat menyebabkan gagal ginjal
diantaranya :
a) Saluran kemih bagian atas
(1) Kalkuli
(2) Neoplasma
(3) Fibrosis
(4) Retroperitoneal
b) Saluran kemih bagian bawah
(1) Hipertrofi prostat
(2) Karsinoma prostat
(3) Striktur uretra
(4) Anomali kongenital pada leher kandung kemih dan
uretra
3. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis disebabkan oleh beberapa faktor, seperti yang telah
tertera diatas, namun pada karya tulis ini penulis hanya akan membahas
mengenai mekanisme penyakit gagal ginjal yang disebabkan oleh adanya
obstruksi saluran kemih bagian atas yaitu nefrolithiasis. Batu yang terletak pada
sistem pelvikalises mampu menimbulkan obstruksi di pielum ataupun kaliks
mayor dapat menyebabkan kaliektasis pada kaliks yang bersangkutan ataupun
dapat menjadi hidronefrosis. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat
menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses
paranefrik ataupun pielonefritis. Bila salah satu bagian saluran kemih tersumbat,
yang dalam kasus ini adalah obstruksi pada renal maka batu akan menyebabkan
peningkatan tekanan pada struktur ginjal termasuk arteri renalis yang berada
diantara korteks renalis dan medula sehingga aliran darah yang membawa nutrisi
dan oksigen ke ginjal menurun. Jika hal ini berlangsung lama akan berakibat
iskemik pada sebagian jaringan ginjal / nefron. Sisa nefron yang masih utuh
tetap bekerja normal karena harus mempertahankan homeostatis. Dua adaptasi
penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pertama sisa nefron yang utuh
mengalami hipertrofi dalam usahanya melaksanakan seluruh beban kerja ginjal.
Kedua terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut, reabsorpsi tubulus
dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat
dalam ginjal turun dibawah nilai normal. Namun bila hal ini berlangsung lama,
akan terjadi penambahan kerusakan nefron dan jika 75 % massa nefron sudah
hancur, kecepatan filtrasi dan beban solut bagi setiap nefron menjadi demikian
tinggi, sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus tidak dapat dipertahankan
lagi. Akhirnya terjadi kegagalan fungsi ginjal /nefron secara keseluruhan.
Kegagalan fungsi ginjal akan mengakibatkan penurunan GFR (Glomerulus
Filtration Rate), selanjutnya kemampuan tubulus untuk pengaturan ekskresi dan
reabsorpsi menurun yang pada gilirannya asam dan sisa metabolisme akan
meningkat, sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit akan terganggu.
Patofisiologi dampak penyakit dari gagal ginjal kronik tergambar dalam skema
2.1 dibawah ini :
4. Penatalaksanaan
Pada klien dengan gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh adanya
obstruksi pada ginjal akibat nefrolithiasis dan post nefrolitotomi,
penatalaksanaanya meliputi penatalaksanaan nefrolithiasis,
penatalaksanaan nefrolitotomi serta penatalaksanaan untuk gagal ginjal
kronisnya itu sendiri.
a. Penatalaksanaan Nefrolithiasis
Menurut Purnomo, Basuki.B., (2003 : 57) dan Smeltzer,
S.C.,dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara H.Y., dkk, (2001:1464)
nefrolithiasis harus dikeluarkan segera mungkin agar tidak
menimbulkan penyulit yang lebih berat. Batu dapat dikeluarkan
dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui
tindakan endourologi, pelarutan batu, atau pengangkatan bedah.
1) ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) adalah
prosedur non invasif yang digunakan untuk menghancurkan batu
di kaliks ginjal menggunakan amplitudo tekanan energi tinggi
dari gelombang kejut yang dibangkitkan melalui pelepasan
energi yang kemudian disalurkan ke air atau jaringan lunak.
Setelah batu tersebut pecah menjadi bagian kecil seperti pasir,
sisa-sisa batu tersebut dikeluarkan secara spontan. Tidak jarang
pecahan-pecahan batu sedang keluar menimbulkan perasaan
nyeri kolik dan menyebabkan hematuria. Alat ini dapat memecah
batu ginjal tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan.
2) Tindakan Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal
untuk mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas
memecah batu kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih
melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada
kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan memakai energi hidralik, energi gelombang
suara atau dengan energi laser. Beberapa tindakan eudourologi
itu adalah :
a) PNL (Percutaneous Nephro Lithopaxy)
Mengeluarkan batu yang berada pada saluran ginjal dengan
cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui
insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah
terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
b) Litotripsi
Memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-
buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan Evakuator Ellik.
c) Ureteroskopi atau Uretero-renoskopi
Memasukkan alat ureteroskopi peruretram guna melihat
keadaan ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan
memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter
maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureteoskopi-ureterorenoskopi.
3) Pelarutan Batu
Menggunakan infus cairan kemolitik misalnya agen pembuat
basa (alkylating) atau pembuat asam (acidifying) untuk
melarutkan batu, digunakan sebagai alternatif penanganan untuk
pasien kurang beresiko terhadap terapi lain atau jenis batu yang
mudah larut (struvit). Nefrostomi perkutan terus dilakukan dan
cairan peririgasi yang hangat dialirkan terus-menerus melalui
ureter. Tekanan di dalam piala ginjal dipantau selama prosedur.
4) Pengangkatan Bedah
Diindikasikan jika batu tersebut tidak berespon pada
tindakan lain. Dilakukan untuk mengoreksi setiap abnormalitas
anatomik dalam ginjal untuk memperbaiki drainase urin. Bila
batu terletak dalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan
nefrolitotomi yaitu insisi pada ginjal untuk mengangkat batu atau
nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau
hidronefrosis. Batu dalam piala ginjal diangkat dengan
pielolitotomi.
b. Penatalaksanaan Nefrolitotomi
Pada klien dengan gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh
adanya obstruksi renal akibat Nefrolithiasis dapat dilakukan tindakan
Nefrolitotomi. Pembedahan ginjal (Nefrolitotomi) biasanya dilakukan
pemasangan drainase nefrostomi untuk mengeluarkan urine, batu
atau cairan yang tertumpuk di dalam pelvis ginjal setelah
pembedahan. (Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G., alih bahasa Kuncara,
H.Y., 2001:1415)
Penatalaksanaan pada klien dengan Nefrolitotomi, yaitu :
1) Mempertahankan bersihan jalan nafas dan pola pernafasan
2) Meredakan rasa nyeri dengan penggunaan obat analgetik yang
adekuat
3) Memperlancar eliminasi urine dan drainage (nefrostomi) sebagai
berikut :
a) Kaji kemungkinan timbulnya komplikasi seperti perdarahan
pada lokasi nefrostomi, pembentukan fistula dan infeksi.
b) Pastikan drainase tidak tersumbat pada selang nefrostomi
atau kateter. (Obstruksi akan menimbulkan rasa nyeri,
trauma, tekanan, infeksi serta regangan pada garis jahitan)
c) Jika selang tercabut, laporkan segera kepada dokter. (Dokter
bedah harus segera mengembalikan selang tersebut pada
tempatnya agar luka nefrostomi tidak berkontraksi)
d) Selang nefrostomi tidak boleh diklem, karena perbuatan ini
dapat menimbulkan pielonefritis.
e) Selang nefrostomi tidak boleh diirigasi (irigasi akan dilakukan
oleh dokter bedah jika diperlukan).
f) Anjurkan asupan cairan jika untuk meningkatkan pembilasan
ginjal dan selang secara alami jika tidak ada kontra indikasi.
g) Ukur volume urine yang mengalir keluar dari selang. Jika
pada kedua ginjal dipasang selang drainase, volume urine
yang keluar masing-masing selang harus diukur secara
terpisah
4) Memantau dan menangani kemungkinan komplikasi
a) Perdarahan
Mengamati adanya komplikasi, memberikan cairan infus dan
komponen darah sesuai resep medik, memantau tanda vital
dan tingkat kesadaran, keadaan kulit dan sistem drainase
urine serta luka insisi operatif.
b) Pneumonia
Mengamati tanda-tanda dini pneumonia yaitu febris,
peningkatan frekuensi jantung serta pernafasan. Cegah
pneumonia dengan penggunaan spirometer insentif, kontrol
nyeri yang adekuat dan ambulasi dini.
c) Pencegahan infeksi
Menggunakan prosedur aseptik pada saat mengganti
balutan, merawat kateter , selang drainase lainnya.
Mendeteksi adanya tanda-tanda inflamasi yang berupa
kemerahan, drainase sekret, panas dan nyeri. Memberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi sesuai program terapi.
d) Pencegahan gangguan keseimbangan cairan
Kehilangan cairan dan kelebihan cairan diatasi dengan
pemberian cairan yang adekuat.
c. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi
ginjal dan homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang
berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang dapat
dipulihkan diidentifikasi dan ditangani. Dalam penatalaksanaan
dapat dikelompokkan menjadi :
1) Penatalaksanaan Konservatif
a). Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
Menurut Moore, C.M., alih bahasa : Oswari, L.D.,
(1997:212), pengaturan diet penting sekali pada pengobatan
gagal ginjal kronik. Tujuan dari penatalaksanaan diet adalah
untuk menurunkan produksi sampah yang harus
dieksresikan oleh ginjal dan menghindari ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit.
Pemasukan cairan pada klien dengan gagal ginjal
terbatas jumlahnya sehingga kenaikan berat badan tidak
lebih dari 0,45 kg/hari. Bila ada oliguria, cairan yang
diperbolehkan biasanya 400-500 ml (untuk menghitung
kehilangan rutin) ditambah volume yang hilang lainnya
seperti urine, diare, dan muntah selama 24 jam terakhir.
Klien dengan gagal ginjal harus membatasi pemasukan
protein menjadi 0,6 gr/kg BB dari berat yang diinginkan
setiap harinya. Protein sedikitnya harus mengandung 75 %
nilai biologi tinggi, karena protein nilai biologi tinggi
mengandung lebih banyk asam amino essensial daripada
non essensial. Protein nilai biologi tinggi terutama dijumpai
pada telur, daging, ayam dan ikan. Dengan membatasi
jumlah protein total dan asam amino non essensial dapat
menurunkan jumlah nitrogen yang harus diekskresikan
sebagai urea. Tambahan karbohidrat dapat diberikan juga
untuk mencegah pemecahan protein tubuh. Diet seperti ini
harus diberi tambahan vitamin B kompleks, piridoksin dan
asam askorbat.
Jumlah natrium yang dianjurkan adalah 40 sampai 90
mEq/hari(1 sampai 2 g natrium), tetapi asupan natrium
maksimum harus ditentukan secara tersendiri untuk tiap
penderita agar hidrasi yang baik dapat dipertahankan.
(Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., 1995:863)
b). Pencegahan dan pengobatan komplikasi
Menurut Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G., alih bahasa :
Kuncara, H.Y., dkk, (2001:1450) komplikasi potensial gagal
ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam
perawatan mencakup :
(1).Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialisis
yang adekuat disertai pengambilan kalium dan
pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium
pada seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien
diharuskan diet rendah kalium.
(2).Hipertensi
Biasanya hipertensi dapat dikontrol secara efektif
dengan pembatasan natrium dan cairan, serta melalui
ultrafiltrasi bila penderita menjalani hemodialisis.
Hipertensi dapat ditangani juga dengan berbagai
medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler.
Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga
memerlukan penanganan pembatasan cairan, diet
rendah natrium, diuretik, agen inotropik, seperti
digitalis atau dobutamine, dan dialisis.
(3).Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik
biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan
penanganan; namun demikian, suplemen natrium
karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk
mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan
gejala. Bentuk pengobatan yang paling logis adalah
dialisis.
(4).Anemia
Oleh karena penyebab utama pada gagal ginjal
kronik (GGK) tampaknya berupa penurunan sekresi
eritropoetin oleh ginjal yang sakit, maka pengobatan
yang ideal adalah penggantian hormon ini. Selain ini
juga dilakukan pengobatan untuk anemia uremik
adalah dengan memperkecil kehilangan darah,
pemberian vitamin, androgen, dan transfusi darah.
Biasanya multivitamin dan asam folat diberikan
setiap hari oleh karena vitamin yang larut dalam air
habis selama proses dialisis. Besi peroral atau
komplek besi dapat diberikan parenteral, oleh karena
dapat terjadi kekurangan besi akibat kehilangan darah
dan besi yang berikatan dengan antasid. Transfusi
darah dapat diberikan pada pasien dialisis baik untuk
alasan pengobatan maupun persiapan sebelum
transplantasi.
Anemia pada GGK dapat ditangani dengan
epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Terapi
epogen diberikan untuk memperoleh nilai hematokrit
sebesar 33 % sampai 38 % yang biasanya
memulihkan gejala anemia. Dialisis biasanya dimulai
ketika pasien tidak mampu mempertahankan gaya
hidup normal dengan penanganan konservatif.
(5).Abnormalitas neurologi
Pasien dilindungi dari cedera dengan
menempatkan pembatas tempat tidur. Awitan kejang
dicatat dalam hal tipe, durasi dan efek umum terhadap
pasien. Diazepam intravena atau penitoin diberikan
untuk mengendalikan kejang.
(6).Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan terpenting untuk mencegah
timbulnya hiperparatiroidisme sekunder dan segala
akibatnya adalah diet rendah posfat dengan
pemberian gel yang dapat mengikat posfat dalam
usus. Diet rendah protein biasanya mengandung
rendah posfat. Obat yang sering digunakan sebagai
pengikat posfat adalah gel antasida alumunium
(amphojel dan basojel). Diberikan dalam bentuk tablet
atau cairan. Antasid yang mengandung magnesium
jangan diberikan.
Demineralisasi tulang yang berat, hiperkalsemia
atau pruritus yang sulit diatasi merupakan indikasi
paratiroidektomi. Bila lesi yang menyolok adalah
osteomalasia, maka ahli nefrologi akan mulai
menjalankan terapi vitamin D dengan hati-hati.
Pengobatan ini dapat membahayakan, bukan saja
absorpsi kalsium akan semakin meningkat, tetapi juga
dapat mengakibatkan kalsifikasi progresif jaringan
lunak apabila resorpsi tulang dan hiperposfatemia
terus berlangsung tanpa ditanggulangi.
Metode lain yang digunakan untuk mencegah
osteodistrofi ginjal antara lain meningkatkan asupan
kalsium 1,2 –1,5 gram per hari dalam diet atau dengan
kalsium tambahan (hanya setelah kadar posfat serum
diturunkan sampai keadaan normal), dan
mempertahankan konsentrasi kalsium dalam dialisat
antara 6,5-7,0 mEq/L.

2) Dialisis dan transplantasi ginjal


Dialisis dan transplantasi ginjal dilakukan pada gagal ginjal
stadium akhir. Dialisis digunakan untuk mempertahankan
penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia
donor ginjal. Dialisis ini dilakukan dengan mengalirkan darah
kedalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari 2
kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan
dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semi
permiabel buatan dengan dekompartemen dialisat.
Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan
dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi
tertinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi
zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi).
Transpantasi ginjal merupakan pilihan terakhir bagi
penderita gagal ginjal kronis. Transplantasi ini menanamkan
ginjal dari donor hidup atau kadaver manusia ke resipien yang
mengalami gagal ginjal tahap akhir. Ginjal transplan dari donor
hidup yang sesuai dan cocok bagi pasien akan lebih baik
daripada transplan dari donor kadaver. Nefrektomi terhadap
ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi. Ginjal transplan
diletakkan di fosa iliaka anterior sampai krista iliaka. Ureter dari
ginjal transplan ditanamkan ke kandung kemih atau di
anastomosiskan ke ureter resipien.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suyono, S., dkk, (2001:430) untuk memperkuat diagnosis
diperlukan pemeriksaan penunjang, diantaranya :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan
adanya gagal ginjal kronik, menetapkan ada tidaknya kegawatan,
menetukan derajat gagal ginjal kronik, menetapkan gangguan
sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Dalam menetapkan
ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji.
Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi
glomerulus (LFG) atau Glomerulo Filtration Rate (GFR).
b. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia, dan gangguan
elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia).
c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mencari adanya faktor yang reversible seperti obstruksi oleh karena
batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah
lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan
tindakan yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
d. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat memperburuk
fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu
atau obstruksi lain.
e. Pemeriksaan Pielografi Retrogad
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
f. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat penumpukan
cairan (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi
perikardial.
6. Dampak Terhadap Sistem Tubuh
a. Sistem Pernafasan
1) Nyeri dada dan sesak nafas akibat adanya penimbunan cairan di
paru-paru (edema paru).
2) Pada klien dengan Gagal Ginjal Kronis ec Nefrolithiasis Bilateral
dan Post Nefrolitotomi Kiri akan mengalami asidosis metabolik
ditandai dengan menurunnya HCO3 dan pH sebagai akibat dari
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+)
yang berlebihan, akibatnya pernafasan menjadi cepat dan
dangkal (kusmaul) sebagai kompensasi tubuh mengeluarkan
kelebihan ion H+ .

b. Sistem Kardiovaskuler
1) Anemia, dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun.
b) Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik.
c) Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu
makan yang berkurang.
d) Adanya perdarahan. Perdarahan yang paling sering adalah
pada saluran cerna dan kulit serta akibat adanya hematuri.
2) Gangguan fungsi leukosit
Gangguan ini mengakibatkan fagositosis dan kemotaksis
berkurang, fungsi limfosit menurun sehingga imunitas tubuh
menurun .
3) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron
4) Gangguan irama jantung akibat arterosklerosis dini, gangguan
elektrolit dan kalsifikasi metastatik
c. Sistem Endokrin
Pada klien dengan gagal ginjal kronis ec neprolithiasis bilateral
dan post nefrolitotomi kiri akan mengalami gangguan seksual: libido,
fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi
testosteron dan spermatogenesis yang menurun. Pada wanita timbul
gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorhea.
d. Sistem Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea dan vomitus, yang berhubungan dengan
gangguan metabolisme protein di dalam usus. Keadaan gagal
ginjal kronik mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dalam hal
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh yang salah satunya
adalah ureum. Peningkatan kadar ureum dalam darah akan akan
mengiritasi mukosa lambung dan merangsang peningkatan
asam lambung (HCL) akibatnya akan terjadi mual.
2) Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan dalam
tubuh. Ureum yang meningkat pada air liur diubah oleh bakteri di
mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia dan
perubahan membran mukosa mulut berupa lidah menjadi kotor
atau timbulnya lesi pada mukosa mulut. Sedangkan ureum yang
meningkat dalam usus dapat menyebabkan perubahan mukosa
usus yang menimbulkan kembung pada perut.
3) Gagal ginjal akan menyebabkan gangguan pada metabolisme
vitamin D, sehingga akan terjadi gangguan pada absorpsi
kalsium di usus.
e. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat adanya anemia dan kekuning-
kuningan akibat urokrom.
2) Adanya rasa gatal yang parah (pruritus) akibat dari butiran
uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit (urea fross).
3) Adanya gatal-gatal di kulit menyebabkan klien ingin menggaruk
dan akibatnya akan timbul bekas-bekas garukan di kulit.
f. Sistem Persarafan
Pada klien dengan gagal ginjal kronis ec neprolithiasis bilateral
dan post nefrolitotomi kiri akan mengalami peningkatan status
uremik yang bisa mengakibatkan perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi dan adanya kedutan otot dan kejang
disebabkan karena kadar kalsium yang menurun. Pada tahap lanjut
bisa terjadi nepropati perifer. Dengan dilakukannya nefrolitotomi,
mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan sehingga akan
merangsang pengeluaran vasoaktif amin (bradikinin, serotonin dan
histamine) yang akan ditangkap oleh nocyreceptor disampaikan ke
dorsal horn di medulla spinalis melalui serabut saraf delta A dan C,
dilanjutkan ke traktus spinothalamikus, thalamus dan ke kortek
serebri dipersepsikan menjadi nyeri.
g. Sistem Reproduksi
Pada sistem reproduksi cenderung ditemukan adanya disfungsi
seksual berupa penurunan libido.
h. Sistem Muskuloskeletal
Pada klien dengan gagal ginjal kronis ec neprolithiasis bilateral
dan post nefrolitotomi kiri dapat mengakibatkan penyakit tulang
uremik yang sering disebut sebagai osteodistrofi ginjal, disebabkan
karena adanya perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
Gagal ginjal kronik bisa menyebabkan adanya gangguan pada
metabolisme Vitamin D. Ginjal berfungsi untuk mengubah vitamin D
prohormon menjadi bentuk aktif, vitamin D bentuk aktif bukan hanya
mengatur absorpsi kalsium oleh alat pencernaan tetapi juga
penyimpanan pada matriks tulang. Sehingga pada klien gagal ginjal
kronik ec neprolithiasis bilateral dan post nefrolitotomi kiri akan
mengalami penurunan kadar kalsium dalam tulang yang bisa
mengakibatkan osteoporosis.
i. Sistem Perkemihan
1) Gangguan klirens renal akibat penurunan jumlah glomeruli yang
berfungsi sehingga kadar urea darah meningkat.
2) Ketidakmampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal
menyebabkan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit serta
retensi cairan dan natrium sehingga terjadi edema.
(Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara, H.Y., dkk,
2001:1449 dan Suyono, S., dkk, 2001:428)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
“Pengkajian merupakan proses pendekatan sistematis untuk mengumpulkan
data dan menganalisa sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan
perawatan pada seorang klien”. (Hidayat, A. Azis., 2001:12).
Pengkajian dapat memudahkan untuk menentukan perencanaan perawatan
pada klien dengan tepat, cepat, dan akurat. Adapun langkah-langkah pengkajian
adalah sebagai berikut :
a. Pengumpulan Data
1) Data
Biografi
Gagal ginjal kronik e.c Neprolithiasis merupakan penyakit saluran
perkemihan yang umumnya terjadi pada laki-laki walaupun tidak
menutup kemungkinan wanita dapat mengalaminya karena
kecenderungan diet ketat untuk menjaga berat badan ditunjang dengan
asupan air yang kurang. Usia 30-50 tahun menjadi faktor yang
meningkatkan terjadinya neprolithiasis. Penyakit ini ditemukan juga pada
pekerja-pekerja yang mempunyai pekerjaannya banyak duduk dan
kurang aktifitas. (Purnomo, Basuki.B., 2003 : 57)
2) Riwayat
Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
(1). Keluhan Utama Saat Masuk Rumah Sakit
Meliputi riwayat perjalanan penyakit sekarang dari mulai
timbul gejala yang mengakibatkan klien masuk rumah sakit,
tindakan yang dilakukan pada keluhan tersebut sampai klien
datang ke rumah sakit serta pengobatan yang telah dilakukan.
Pada klien dengan gangguan sistem perkemihan : gagal
ginjal kronik e.c neprolithiasis pada awalnya mengeluh adanya
perubahan pada pola berkemih seperti kelemahan atau
penghentian urine, kesulitan untuk memulai dan mengakhiri
proses berkemih, sering berkemih terutama malam hari, nyeri
terbakar saat berkemih, darah dalam urine, tidak mampu
berkemih, dan disertai dengan keluhan bengkak-
bengkak/edema pada ekstremitas, dan perut kembung. (Gale,
Danielle, 1999:153)
(2). Keluhan Utama saat pengkajian
Menggambarkan keluhan yang dirasakan oleh klien pada
saat dikaji yang dikembangkan dengan metode PQRST. Pada
klien dengan gangguan sistem perkemihan : gagal ginjal kronik
e.c neprolithiasis bilateral dan post nefrolitotomi kiri pada
umumnya mengeluh nyeri pada daerah yang diinsisi jika
dilakukan nefrostomi, neprolitotomi atau nefrectomi, nyeri
tersebut dirasakan bertambah apabila drain atau luka tertekan.
Terdapat pula keluhan merasa mual akibat dari peningkatan
status uremi klien, mual dirasakan klien secara terus menerus,
bertambah jika klien makan ataupun minum, dan berkurang jika
klien dalam keadaan istirahat.
Riwayat Kesehatan dahulu
Mengidentifikasi riwayat kesehatan yang memiliki hubungan
atau memperberat keadaan penyakit yang sedang diderita klien
pada saat ini termasuk faktor predisposisi penyakit dan kebiasaan-
kebiasaan klien. Pada klien dengan gangguan sistem perkemihan :
gagal ginjal kronis e.c neprolithiasis perlu ditanyakan riwayat
penyakit ginjal sebelumnya seperti infeksi dan obstruksi saluran
kemih, BAK keluar batu, riwayat penggunaan obat-obatan
nefrotoksik, dan riwayat diet pada klien. Menurut Purnomo,
Basuki.B., (2003 : 57), bahwa angka kejadian neprolithiasis
dipengaruhi oleh faktor diet banyak purin, oksalat dan kalsium serta
asupan air yang kurang dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu dikaji riwayat kesehatan keluarga yang dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit gagal ginjal kronik dan
neprolithiasis seperti hipertensi, adanya riwayat neprolithiasis, dan
diabetes mellitus.

3) Pola
Aktivitas Sehari-hari
Kemungkinan klien akan mengalami gangguan dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari secara mandiri, seperti :
a) Nutrisi
Ditemukan penurunan nafsu makan berhubungan dengan
perasaan mual dan stomatitis, asupan nutrisi yang kurang,
ketidaksesuaian dengan diet yang dibutuhkan oleh klien tergantung
dari pengetahuan dan kedisiplinan klien.
b) Eliminasi
Pada klien dengan gangguan sistem perkemihan e.c
neprolithiasis bilateral dan post nefrolitotomi kiri memiliki
keterbatasan aktivitas dimana menyebabkan menurunnya peristaltik
usus sehingga timbul konstipasi, disertai dengan adanya perubahan
pola berkemih bila terpasang drainase nefrostomi.
c) Istirahat Tidur
Klien dengan gangguan sistem perkemihan : gagal ginjal kronik
e.c neprolithiasis bilateral dan post nefrolitotomi kiri cenderung
mengalami ganguan istirahat tidur sehubungan dengan adanya
kecemasan terhadap penyakitnya, peningkatan status uremik yang
menyebabkan pruritus, ataupun karena adanya rasa nyeri yang
berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat
nefrolitotomi, nefrostomi atau tindakan bedah lainnya.
d) Personal Hygiene
Klien dengan gagal ginjal kronik e.c neprolithiasis bilateral dan
post nefrolitotomi kiri cenderung pemenuhan kebutuhan personal
hygiene seperti kebersihan kulit, gigi, rambut dan kuku terganggu
karena adanya keterbatasan gerak, kelelahan atau karena rasa nyeri
yang dirasakan oleh klien.
e) Aktifitas Sehari-hari
Keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan sehari - hari
mengakibatkan klien dalam beraktivitas membutuhkan bantuan dari
keluarga.
4) Pemeriksaa
n Fisik
Menurut Denison, R.D., (1996:480) dan Doengoes, M., alih bahasa :
Karyasa, L.M., (1999:626) bahwa pada pemeriksaan fisik klien dengan
gagal ginjal kronik ec neprolithiasis akan ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
a). Sistem Perkemihan
Klien dengan gagal ginjal kronis akibat neprolithiasis bilateral
dan post nefrolitotomi kiri cenderung akan ditemukan adanya edema
anasarka dan keseimbangan cairan (balance) positif, nyeri tekan dan
teraba pembesaran pada saat palpasi ginjal, nyeri ketuk saat perkusi
ginjal, perubahan pola BAK, oliguri atau poliuri, dan pada tahap
lanjut dapat ditemukan adanya bunyi bruits sign pada percabangan
arteri renalis bila terjadi gangguan vaskularisasi.
b). Sistem Pernafasan
Pada sistem pernafasan cenderung ditemukan adanya
pernafasan yang cepat dan dangkal (kussmaul), irama nafas yang
tidak teratur, frekuensi nafas yang meningkat diatas normal, adanya
retraksi interkostalis, dan epigastrium, sebagai upaya untuk
+
mengeluarkan ion H akibat dari asidosis metabolik, pergerakan
dada yang tidak simetris, vokal fremitus cenderung tidak sama
getarannya antar lobus paru, terdengar suara dullness saat perkusi
paru sebagai akibat dari adanya edema paru, dan pada auskultasi
paru cenderung terdengar adanya bunyi rales. Pada tahap lanjut
akan ditemukan adanya sianosis perifer ataupun sentral sebagai
akibat dari ketidakadekuatan difusi oksigen di membran alveolar
karena adanya edema paru.
c). Sistem Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler cenderung ditemukan adanya
anemis pada konjungtiva palpebra, denyut nadi yang menurun
sebagai akibat dari adanya edema anasarka, tekanan darah
meningkat, CRT (Cafilari Refilling Time) menurun, terdapat
pelebaran pulsasi jantung, dan irama jantung cenderung terdengar
irregular yang dapat diketahui dari gambaran EKG (Elektro
Kardiografi).
d). Sistem Persyarafan
Pada sistem persyarafan cenderung ditemukan adanya
penurunan tingkat kesadaran akibat dari peningkatan kadar ureum
dan kreatinin dalam plasma darah, dan pada tahap lanjut cenderung
terjadi koma uremia. Selain itu juga dapat ditemukan adanya
penyakit hipertensi yang beresiko terjadinya penyakit
serebrovaskuler berupa stroke TIA (Transient Ischemic Attack).
e). Sistem Pencernaan
Pada sistem pencernaan cenderung ditemukan adanya mual,
muntah, kembung dan diare serta perubahan mukosa mulut sebagai
akibat dari tingginya kadar ureum dan kreatinin dalam darah atau
karena tidak adekuatnya oksigen yang masuk ke saluran cerna yang
akan merangsang refleks vasovagal berupa peningkatan asam
lambung (HCL), atau bahkan konstipasi sebagai akibat hal tersebut
diatas, motilitas usus akan menurun. Penurunan berat badan
(malnutrisi) atau peningkatan berat badan dengan cepat (edema)
f). Sistem Integumen
Pada sistem integumen cenderung ditemukan adanya rasa
gatal sebagai akibat dari uremi fross, kulit tampak bersisik,
kelembaban kulit menurun, turgor kulit cenderung menurun (kembali
> 3 detik). Pada tahap lanjut cenderung akan terjadi
ketidakseimbangan termoregulasi tubuh dan akral teraba dingin.

g). Sistem Reproduksi


Pada sistem reproduksi cenderung ditemukan adanya disfungsi
seksual berupa penurunan libido dan impotensi.
5) Data
Psikologis
Klien dengan gagal ginjal kronik akibat neprolithiasis bilateral dan
post nefrolitotomi kiri cenderung ditemukan kecemasan yang meningkat
hal ini diakibatkan karena proses penyakit yang lama, kurangnya
pengetahuan tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
6) Data Sosial
Klien dengan gagal ginjal kronis akibat neprolithiasis cenderung
menarik diri dari interaksi sosial dalam hubungan dengan keluarga,
perawat, dokter serta tim kesehatan lain sehubungan dengan adanya
penurunan fungsi seksual, proses penyakit yang lama, perasaan negatif
tentang tubuh dan jika sudah terjadi komplikasi pada tahap lanjut.
7) Data
Spiritual
Keyakinan klien tentang kesembuhannya dihubungkan dengan
lamanya penyakit dan persepsi klien tentang penyakitnya serta ketaatan
pada agama yang dianut klien. Aktivitas spiritual klien selama menjalani
perawatan di rumah sakit tergantung dari pendorong yang memotivasi
bagi kesembuhan klien.
8) Data
Seksual
Klien dengan gagal ginjal kronik akibat neprolithiasis bilateral dan
post nefrolitotomi kiri cenderung mengalami penurunan fungsi seksual
seperti penurunan libido.
9) Pemeriksaa
n Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Urine
(a) Volume biasanya oliguri dan anuri
(b) Warna urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, partikel koloid dan fosfat, sedimen kotor atau
kecoklatan menunjukkan adanya darah
(c) Berat jenis menurun, kurang dari 1,015 (menetap pada
1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
(d) Osmolalitas menurun kurang dari 350 mOsm/kg,
menunjukkan kerusakan tubular.
(e) Klirens kreatinin menurun
(f) Natrium meningkat karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium.
(g) Protein meningkat
(2) Darah
(a) Serum kreatinin meningkat.
(b) Blood Urea Nitrogen meningkat.
(c) Kadar kalium meningkat sehubungan dengan adanya
retensi sesuai dengan perpindahan selular (asidosis) atau
pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
(d) Hematokrit dan Hemoglobin menurun
(e) Natrium, kalsium menurun
(f) Magnesium / posfat meningkat
(g) Protein (khususnya albumin menurun)
(h) pH menurun pada keadaan asidosis metabolik (kurang dari
7,2).
(i) Asam posfatase akan meningkat.
b) Nilai GFR menurun kurang dari 50 lt/menit
c) Pyelogram Retrograd menunjukan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter.
d) Arteriogram mengidentifikasi adanya massa.
e) Ultrasonogarafi ginjal dan vesika urinaria menentukan ukuran ginjal,
adanya massa, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
f) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam basa. Yaitu :
(1) Hyperkalemia : gelombang T naik, kompleks QRS terbuka, PR
diperpanjang.
(2) Hypokalemia : Gelombang T mendatar/terbalik, ST turun dan
QT diperpanjang.
(3) Hiperkalsemia : gelombang QT pendek, dan ST pendek.
(4) Hipokalsemia : gelombang QT di perpanjang, ST diperpanjang.
(5) Alkalosis : gelombang T mendatar.
(6) Asidosis : gelombang T naik.

b. Analisa Data
Menurut Hidayat, A. Azis., (2001:8) analisa data merupakan suatu
proses dalam pengkajian dimana data yang menyimpang dikelompokkan
kemudian dianalisa dan diinterpretasikan sehingga diperoleh masalah-
masalah keperawatan yang klien perlukan.

c. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan : gagal ginjal kronik ec nefrolitiasis menurut
Carpenito (2001:1451), meliputi :
1) Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan akibat pasca operasi (nefrolitotomi, nefrostomi),
dan adanya obstruksi.
2) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, stomatitis, Peruba-
han sensasi rasa, dan pembatasan diet.
3) Penurunan kardiak output berhubungan dengan ketidakseimbangan
elektrolit (kalium, kalsium), efek uremik pada otot jantung, kelebihan
cairan.
4) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan serta
natrium.
5) Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan penurunan
libido.
6) Resiko infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasif , invasi
mikroorganisme pada daerah luka, adanya obstruksi dan statis urine.
7) Resiko gangguan integritas kulit : pruritus yang berhubungan dengan
fosfat kalsium atau penumpukan ureum pada kulit.
8) Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,
anemia
9) Resiko terjadinya konstipasi berhubungan dengan penurunan aktivitas,
efek obat-obatan.
10) Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
hubungan sosial, fungsi peran, support sistem dan konsep diri.
11) Perubahan pola eliminasi BAK berhubungan dengan pemasangan
kateter / nefrostomi.

2. Perencanaan
“Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dan proses
keperawatan yang meliputi tujuan perawatan, penetapan pemecahan masalah
dan menentukan tujuan perencanaan untuk mengatasi masalah pasien” .
(Hidayat, A. Azis., 2001:12)
Menurut Carpenito, L.J., alih bahasa : Ester, M., (1995:216), Gale, Danielle,
(1999:154), serta Smeltzer, S,C.,dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara, H.Y.,
dkk, (2001:1451), perencanaan pada klien dengan gangguan sistem
perkemihan : gagal ginjal kronik ec neprolithiasis adalah sebagai berikut :
a. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan akibat pasca operasi (nefrolitotomi, nefrostomi), dan
adanya obstruksi.
Tujuan : rasa nyaman klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Keluhan nyeri berkurang.
2) Klien tidak meringis
3) Skala nyeri berkurang atau hilang.
4) Klien mampu memilih koping yang konstruktif untuk mengatasi nyerinya.
Intervensi Rasional
1) Observasi tanda-tanda 1) Untuk mengontrol kemajuan atau
vital dan intensitas nyeri setiap penyimpangan dari hasil yang
8 jam. diharapkan.
2) Berikan penjelasan 2) Menghindari persepsi yang salah
tentang penyebab nyeri dari penyebab nyeri
3) Posisi yang nyaman akan
3) Bantu klien untuk menimbulkan perasaan relaks.
mendapatkan posisi yang 4) Posisi yang tidak tepat
nyaman. menimbulkan gesekan pada luka
4) Pertahankan kepatenan yang akan menstimulasi reseptor
posisi drain nyeri
5) Dengan teknik relaksasi/nafas
dalam akan mengurangi
5) Anjurkan dan bimbing ketegangan otot sehingga stimulus
klien untuk melakukan teknik nyeri berkurang.
relaksasi yaitu nafas dalam. 6) Teknik distraksi dapat mengalihkan
6) Lakukan teknik distraksi perhatian klien terhadap nyeri.
saat nyeri dirasakan klien. 7) Lingkungan yang nyaman dapat
7) Ciptakan lingkungan yang mengurangi stressor terhadap
nyaman. nyeri.
8) Mengurangi dan mengalihkan
8) Berikan kesempatan pada stressor nyeri
klien untuk berinteraksi. 9) Analgetik dapat mengurangi rasa
9) Kolaborasi untuk nyeri yang dirasakan klien
pemberian obat analgetik. (memblokade reseptor saraf nyeri)

b. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berubungan dengan


anoreksia, mual, muntah, stomatitis, perubahan sensasi rasa, dan
pembatasan diet.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Kriteria Hasil :
1) Peningkatan nafsu makan
2) Klien mengungkapkan secara verbal mual berkurang atau hilang
3) Berat badan ideal sesuai umur dan tinggi badan
4) Klien mengerti tentang pentingnya nutrisi
Intervensi Rasional
1) Kaji dan catat pemasukan diet 1) Membantu mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan diet
2) Kaji adanya masukan protein 2) Masukan protein yang tidak
yang tidak adekuat adekuat dapat menyebabkan
penurunan albumin dan protein
lain, pembentukan edema dan
3) Menyediakan makanan perlambatan penyembuhan
kesukaan pasien dalam 3) Mendorong peningkatan masukan
batas-batas diet diet
4) Anjurkan klien makan-
makanan tinggi kalori, rendah 4) Mengurangi makanan dan protein
protein, rendah natrium yang dibatasi dan menyediakan
diantara waktu makan kalori untuk energi, membagi
protein untuk pertumbuhan dan
5) Berikan makanan sedikit tapi penyembuhan jaringan
sering. 5) Meminimalkan anoreksia dan mual
sehubungan dengan status uremik
6) Tawarkan perawatan mulut dan menurunnya peristaltik
6) Perawatan mulut membantu
menyegarkan rasa mulut yang
7) Jelaskan pada keluarga dan sering tidak nyaman pada uremia
pasien mengenai pembatasan 7) Meningkatkan pemahaman pasien
diet dalam hubungan dengan dan keluarga tentang hubungan
penyakit ginjal dan antara diet ureum, kreatinin
peningkatan urea, kreatinin dengan penyakit ginjal
8) Timbang berat badan klien
setiap hari 8) Untuk memantau status cairan dan
9) Kolaborasi untuk pemberian nutrisi
diet yang sesuai 9) Memberikan nutrien yang cukup
untuk memperbaiki energi dan
mengurangi katabolisme protein
10) Kolaborasi untuk terapi yang memperberat kerja ginjal
pemberian multivitamin dan 10) Mengggantikan kehilangan vitamin
penghilang mual karena malnutrisi/anemia dan
mengurangi rasa mual.

c. Penurunan kardiak output berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit


(kalium, kalsium), efek uremik pada otot jantung, kelebihan cairan.
Tujuan: Mempertahankan kardiak output adekuat
Kriteria Hasil :
1) Tekanan darah dalam batas normal
2) Nadi perifer kuat
3) Denyut jantung dan irama dalam batas normal
Intervensi Rasional
1) Monitor tanda-tanda vital. 1) Tacikardi dan
hipertensi terjadi karena
kegagalan ginjal mengeluarkan
urin, pengawasan diperlukan
untuk mengkaji volume
intravaskuler khususnya pada
2) Observasi EKG untuk pasien dengan fungi jantung
perubahan irama. buruk
2) Perubahan pada
fungsi elektromekanis dapat
menjadi bukti pada respon
3) Pantau terjadinya nadi terhadap berlanjutnya gagal ginjal
lambat, kemerahan, mual, dan ketidakseimbangan elektrolit.
muntah, dan penurunan 3) Penggunaan obat
tingkat kesadaran. (contoh antasida) mengandung
magnesium dapat mengakibatkan
hipermagnesemia, potensial
4) Selidiki adanya kram otot, disfungsi neuromuskular dan
kebas/kesemutan pada jari, resiko henti nafas/jantung.
kejang otot, dan 4) Neuromuskular
hiperefleksia. indikator hipokalemia yang dapat
juga mempengaruhi kontraktilitas
5) Pertahankan tirah baring atau dan fungsi jantung.
dorong istirahat adekuat. 5) Menurunkan konsumsi
6) Awasi pemeriksaan oksigen/kerja jantung.
laboratorium (kalium, 6) Selama fase oliguri,
kalsium, magnesium). hiperkalemia dapat terjadi tetapi
menjadi hipokalemia selama fase
diuretik, defisit kalium dapat
7) Kolaborasi pemberian obat berefek pada jantung.
sesuai indikasi. 7) Digunakan untuk
memperbaiki curah jantung
dengan meningkatkan
8) Siapkan atau bantu dengan kontraktilitas miokardia dan
dialisis sesuai keperluan. volume sekuncup.
8) Diindikasikan untuk
disritmia menetap, gagal jantung
progresif yang tidak responsif
terhadap terapi lain.

d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan


penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan serta natrium.
Tujuan: Mempertahankan keseimbangan cairan
Kriteria Hasil :
1) Haluaran urine tepat dengan berat jenis dan laboratorium mendekati
normal
2) Berat badan stabil
3) Tanda vital dalam batas normal
4) Tidak ada edema
Intervensi Rasional
1) Kaji tanda-tanda vital 1) Tachikardi dan hipertensi
Intervensi Rasional
terjadi karena kegagalan ginjal untuk
mengeluarkan urine
2) Monitor dan catat 2) Untuk menentukan fungsi ginjal
pemasukan dan pengeluaran dan kebutuhan penggantian cairan
secara akurat serta penurunan resiko kelebihan
cairan
3) Monitor berat jenis urine 3) Mengukur kemampuan ginjal
untuk mengkonsentrasikan urine
4) Evaluasi derajat edema 4) Edema terjadi karena adanya
(skala +1 s.d +4) perpindahan cairan serta jaringan
rapuh dan terdistensi oleh akumulasi
5) Timbang berat badan cairan
setiap hari 5) Peningkatan BB > 0,5 Kg/hari
diduga adanya retensi cairan
6) Berikan dan batasi 6) Manajemen cairan diukur untuk
cairan sesuai indikasi menggantikan cairan dari semua
sumber ditambah perkiraan
kehilangan yang tak tampak
7) Perhatikan distensi 7) Distensi abdomen / konstipasi
abdomen: penurunan Bising dapat mempe-ngaruhi kelancaran
usus, perubahan, konsistensi aliran
faeces
8) Kolaborasi dengan tim 8) Pemeriksaan laboratorium
kesehatan lain dalam kimia darah dapat mengetahui
pemeriksaan kimia darah perkembangan kondisi klien
(ureum, kreatinin, kalium dan terutama status keseimbangan
natrium) elektrolit

e. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan penurunan libido


Tujuan : Klien dapat beradaptasi dengan perubahan seksualnya.
Kriteria Hasil :
1) Klien dapat menyebutkan penyebab
penurunan libido dan kerusakan fungsi seksual.
2) Klien dapat mendiskusikan perasaan dan
keprihatinan pasangan mengenai fungsi seksual.
3) Klien dapat mengungkapkan maksud untuk
mendiskusikan masalah dengan pasangan.
4) Klien dapat mengungkapkan pemahaman
terhadap perubahan seksualitas dan metode ekspresi seksual
alternatif.
Intervensi Rasional
1) Ciptakan hubungan 1) Mengembangkan suasana yang
teurapeutik berdasarkan memungkinkan klien
saling percaya dan saling mengekspresikan perasaannya.
menghormati. 2) Memberikan lingkungan
2) Beri jaminan mengenai teurapeutik.
privasi dan percaya diri
klien. 3) Memberikan informasi pada apa
3) Diskusikan rencana tersebut didasarkan.
Intervensi Rasional
pengetahuan umum klien 4) Meningkatkan pemahaman
mengenai seksualitas. terhadap alasan terjadinya
4) Diskusikan efek penurunan fungsi seksual.
pembedahan dan terapi
hormonal dan fungsi 5) Memberikan ventilasi perasaan.
seksual.
5) Anjurkan klien untuk 6) Memberikan alternatif terhadap
mengutarakan rasa munculnya tingkah laku seksual.
takutnya. 7) Meningkatkan ventilasi
6) Diskusikan modifikasi perasaan.
yang perlu dalam aktivitas
seksual.
7) Anjurkan klien untuk
mengekspresikan rasa 8) Mencegah persepsi bahwa
berduka atau rasa ekspresi seksual tersebut telah
marahnya mengenai berakhir.
perubahan tersebut. 9) Meningkatkan koping dengan
8) Diskusikan bentuk topik yang tidak mengenakkan.
alternatif dari ekspresi
seksual.
9) Gunakan humor sesuai
kebutuhan untuk
menghilangkan ansietas
dan/atau rasa malu.

f. Resiko infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasif , invasi


mikroorganisme pada daerah luka, adanya obstruksi dan statis urine.
Tujuan : infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
1) Luka dalam keadaan bersih.
2) Tidak adanya tanda maupun gejala infeksi.
3) Leukosit dalam batas normal (3800-
3
10.600/mm- )
4) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional
1) Lakukan perawatan luka 1) Untuk meminimalkan
dengan menggunakan teknik invasi dari mikroorganisme.
aseptik dan antiseptik.
2) Hindari lingkungan dan luka 2) Kondisi yang lembab, kotor
dalam keadaan basah / kotor dan basah memungkinkan
menjadi perkembangbiakan
mikroorganisme
3) Informasikan kepada klien 3) Memberikan pengetahuan
dan keluarga tentang tanda dan pada klien dan keluarga
gejala terjadinya infeksi. sehingga klien dan keluarga
dapat mengetahui apabila
4) Pantau suhu tiap 8 jam terjadi infeksi.
sekali. 4) Peningkatan suhu
merupakan salah satu
indikator terjadinya infeksi.
5) Pantau hasil pemeriksaan 5) Merupakan salah satu
Intervensi Rasional
laboratorium terutama leukosit. tanda terjadinya infeksi.
6) Kolaborasi untuk pemberian 6) Antibiotik dapat membunuh
antibiotik. mikroorganisme secara
farmakologik.
7) Kolaborasi untuk 7) Untuk mendeteksi
pemeriksaan urine (urine kultur). kandungan urine yang
terinfeksi.

g. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit : pruritus berhubungan dengan


fosfat kalsium atau penumpukan ureum pada kulit
Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
1) Mempetahankan kulit utuh.
2) Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah
kerusakan/cedera kulit.
3) Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit.
Intervensi Rasional
1) Pantau masukan cairan 1) Mendeteksi adanya
dan hidrasi kulit serta membran dehidrasi atau hidrasi berlebihan
mukosa, perhatikan perubahan yang mempengaruhi sirkulasi dan
warna, turgor, vaskular, integritas jaringan pada tingkat
perhatikan kemerahan, seluler.
ekskoriasi, ekimosis, purpura.
2) Ubah posisi dengan sering; 2) Menurunkan tekanan pada
gerakan pasien dengan edema, jaringan dengan perfusi
perlahan; beri bantalan pada buruk untuk menurunkan iskemi.
tonjolan tulang . Peninggian meningkatkan aliran
balik stasis vena terbatas/
pembentukan edema.
3) Beri perawatan kulit. Batasi 3) Soda kue, mandi dengan
penggunaan sabun. tepung menurunkan gatal dan
mengurangi pengeringan daripada
4) Berikan salep atau krim. sabun.
4) Lotion dan salep dapat
5) Pertahankan linen kering, menghilangkan kulit kering,
bebas keriput. robekan kulit.
6) Anjurkan pasien 5) Menurunkan iritasi dermal
menggunakan kompres dan resiko kerusakan kulit.
lembab dan dingin untuk 6) Menghilangkan
memberikan tekanan (daripada ketidaknyamanan dan
garukan) pada area pruritus. menurunkan resiko cedera
7) Pertahankan kuku pendek. dermal.

8) Anjurkan menggunakan
pakaian katun longgar. 7) Mencegah agresifitas
menggaruk yang dapat
menyebabkan kerusakan kulit.
8) Mencegah iritasi dermal
langsung dan meningkatkan
evaporasi lembab pada kulit.
h. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,
anemia.
Tujuan : Klien dapat berpartisipasi terhadap aktivitas yang diinginkan.
Kriteria Hasil :
1) Melaporkan perbaikan rasa berenergi.
Intervensi Rasional
1) Evaluasi laporan 1) Menentukan derajat
kelelahan, kesulitan (berlanjutnya/perbaikan) dari efek
menyelesaikan tugas. ketidakmampuan
Perhatikan kemampuan
tidur/istirahat dengan tepat 2) Mengidentifikasi
2) Kaji kemampuan untuk kebutuhan indi-vidual dan
berpartisipasi pada aktivitas membantu pemilihan intervensi
yang diinginkan/dibutuhkan
3) Identifikasi faktor 3) Mungkin mempunyai
stress/psikologis yang dapat efek akumulatif (sepanjang faktor
memperberat psikologis) yang dapat diturunkan
bila masalah dan takut
diakui/diketahui
4) Rencanankan periode 4) Mencegah kelelahan
istirahat adekuat berlebihan dan menyimpan energi
untuk penyembuhan, regenerasi
5) Berikan bantuan dalam jaringan
aktivitas sehari-hari dan 5) Mengubah energi
ambulasi memungkinkan berlanjutnya
aktivitas yang dibutuhkan/normal,
memberikan keamanan pada
6) Tingkatkan tingkat pasien
partisipasi sesuai toleransi 6) Meningkatkan rasa
pasien membaik/meningkatkan
kesehatan membatasi frustasi
7) Kolaborasi : awasi kadar 7) Ketidakseimbangan
elektrolit termasuk kalsium, dpaat mengganggu fungsi
magnesium dan kalium serta neuromoskular yang memerlukan
haemoglobin peningkatan penggunaan energi
untuk menyelesaikan tugas dan
potensial perasaan lelah

i. Resiko terjadinya konstipasi berhubungan dengan penurunan aktivitas, efek


obat-obatan,
Tujuan : Konstipasi tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
1) Meningkatkan keinginan defekasi
2) Feaces lunak.

Intervensi Rasional
1) Dorong klien untuk tidak 1) Bila BAB ditahan sfingter ani
menahan BAB jika klien eksterna berkontraksi sehingga
merasa ingin BAB refleks defekasi berhenti dan
terjadi penumpukan feses yang
masuk ke rektum sehingga feses
Intervensi Rasional
mengeras.
2) Berikan privacy yang 2) Privacy yang tidak adekuat akan
adekuat selama klien meningkatkan stress bagi klien
berusaha untuk BAB. dan meningkatkan rangsangan
sistem saraf simpatis sehingga
peristaltik usus terhambat.
3) Untuk merangsang refleks
3) Anjurkan klien untuk gastrokolon dan refleks
minum air hangat saat klien duodenum sehingga akan
bangun tidur. meningkatkan peristaltik usus.
4) Merangsang gerak peristaltic
4) Tingkatkan aktivitas tubuh sehingga feses akan bergerak
sesuai dengan toleransi klien. menuju rektum.
5) Latih klien untuk 5) Proses defekasi normal
melakukan latihan otot tergantung pada adekuatnya
abdomen dan latihan usus tonus otot abdominal dan
(bowel training) jika tidak ada kekuatan otot tersebut.
kontraindikasi.
6) Kolaborasi pemberian 6) Meningkatkan evakuasi feses.
supositoria rektal sesuai
kebutuhan.

j. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, hubungan


sosial, fungsi peran, support sistem dan konsep diri.
Tujuan : Klien mampu menerima perubahan status kesehatan yang terjadi.
Kriteria Hasil :
1) Klien menyatakan perasaan waspada dan
penurunan ansietas/takut sampai pada tingkat dapat diatasi.
2) Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah
dan pengguanaan sumber secara efektif.
3) Tampak rileks, dapat tidur/istirahat yang tepat.
Intervensi Rasional
1. Berikan klien/orang terdekat 1. Memberikan
salinan ‘hak-hak klien’ dan informasi yang dapat membantu
tinjau bersama mereka. perkembangan kera-hasiaan klien
Diskusikan kebijakan fasilitas di-mana hak klien dapat terus
misalnya jadwal kunjungan dijaga dan klien tetap men-jadi
‘dirinya sendiri’ dan memiliki
kontrol terhadap apa yang terjadi
2. Tentukan sikap klien/orang 2. Diharapkan
terdekat kearah penerimaan perhatian klien atau orang
pada fasilitas dan harapan terdekat akan berbeda jika
masa depan penem-patannya bersifat
permanen dan menghilangkan
munculnya perasaan tidak
3. Kaji tingkat ansietas dan berdaya, kehilangan dan berduka
diskusikan penyebabnya bila 3. Identifikasi masalah
mungkin spesifik akan me-ningkatkan
kemam-puan individu untuk
4. Berikan waktu untuk menghadapinya dengan lebih
mendengarkan klien mengenai realistis
masalah dan dorong ekspresi 4. Membuat klien
Intervensi Rasional
perasaan yang bebas merasa diterima, mulai mengakui
misalnya ; marah, ragu, takut dan berhadpan dengan perasaan
dan sendiri yang berhubungan dengan
5. Akui realita situasi dan perasaan keadaan penerimaan
klien
5. Memungkinkan
ekspresi perasaan membantu
6. Kembangkan hubungan dimulainya resolusi. Penerimaan
klien/perawat akan meningkatkan harga diri
6. Hubungan saling
7. Orientasikan pada aspek-aspek percaya akan me-ningkatkan
fisik dari fasilitas, jadwal dan perawatan dan dukungan yang
aktivitas. Perkenalkan pada optimal
teman sekamar dan staf 7. Pengenalan adalah
bagian penting dari penerimaan,
8. Berikan pemikiran yang cermat penge-tahuan dimana benda-
untuk penempatan ruang. benda berada dan siapa yang di-
Berikan bantuan dan dorongan harapkan klien untuk memberikan
dalam penempatan benda- bantuan dapat mengurangi
benda pribadi disekitar ruangan ansietas
8. Lokasi, kecocokan
teman sekamar dan tempat untuk
benda-benda pribadi adalah
pertimbangan yang tepat untuk
membantu klien merasa seperti
dirumah

k. Perubahan pola eliminasi BAK, berhubungan dengan pemasangan kateter /


nefrostomi.
Tujuan : Pola berkemih klien normal
Kriteria hasil :
1) Kateter nefrostomi tidak terlipat
2) Aliran urine lancar.
3) Klien dan keluarga memahami maksud dan tujuan pemasangan
nefrostomi.
Intervensi Rasional
1) Informasikan pada klien dan 1) Agar klien dan keluarga dapat
keluarga tentang perubahan memahami kenapa klien harus
pola berkemih klien yang dipasang nefrostomi.
dipasang nefrostomi.
2) Informasikan pada klien dan 2) Mencegah penghambatan aliran
keluarga untuk menjaga selang urune oleh lipatan.
nefrostomi supaya tidak tertekuk
atau terlipat.
3) Observasi ketepatan dan 3) Untuk mengetahui apabila terjadi
kedudukan nefrostomi. penekukan kateter nefrostomi
atau plesternya terlepas sehingga
kedudukannya tidak benar dan
pengaliran urine terganggu.
4) Observasi keluaran urine pada 4) Untuk mengetahui apakah aliran
urine bag. urine lancar atau tidak.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik (Iyer et al, 1996 dalam Nursalam, 2000 : 51). Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
(Nursalam, 2001 : 51)

4. Evaluasi
Menurut Hidayat, A. Azis (2001: 13) Evaluasi merupakan catatan tentang
indikasi kemajuan pasien terhadap tujuan yang dicapai. Evaluasi bertujuan untuk
menilai keefektifan perawatan dan untuk mengkomunikasikan status pasien dari
hasil tindakan keperawatan. Terdapat dua tipe dokumentasi evaluasi yaitu
evaluasi formatif yang menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera dan evaluasi sumatif yang
merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien,
tergambar dalam catatan perkembangan dengan komponennya SOAPIER :
S : Data subjektif
Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan dikeluhkan dan
dikemukakan oleh klien.
O : Data objektif
Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau tim kesehatan
lain.
A : Analisa data
Data subjektif maupun objektif dinilai dan dianalisis apakah berkembang ke arah
kebaikan atau kemunduran. Hasil analisis menguraikan sampai dimana masalah
yang ada dapat diatasi atau adakah perkembangan masalah baru.
P : Perencanaan
Rencana penanganan klien didasarkan pada hasil analisis di atas yang berisi
melanjutkan rencana sebelumnya bila masalah belum teratasi.
I : Implementasi/pelaksanaan
Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.
E : Evaluasi
Penilaian sejauhmana rencana tindakan dan evaluasi telah dilaksanakan dan
sejauhmana masalah klien teratasi.
R : Reassesment
Bila hasil evaluasi menunjukkan masalah belum teratasi pengkajian ulang perlu
dilakukan kembali melalui proses pengumpulan data subjektif, objektif dan
analisis.
SOAPIER dilakukan saat ada masalah baru, resiko tidak terjadi, masalah
tidak teratasi sesuai kriteria waktu (tupen).

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E.Z., 2000, Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah, Jakarta, Grasindo.

Black, J.M., and Matassarin, E., 1993, Medical-Surgical Nursing A


Psychophysiologic Approach, Philadelphia , W.B. Saunders.

Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Alih


bahasa Ester, M., Jakarta , EGC.

De Jong, W., dan Sjamsuhidajat, R., 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi,
Jakarta , EGC.

Departemen Kesehatan RI, 1994, Pedoman Penerapan Proses Keperawatan Di


Rumah Sakit, Jakarta , Direktorat rumah Sakit Umum Dan Pendidikan
Depatemen Kesehatan RI.

Doengoes M.E., et all, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih bahasa
Kurniasa, I.M., dan Sumarwati, N.M., Jakarta , EGC.

Denison, R.D., 1996, PASS CCRN, Missouri , Mosby-Year Book.

Engram, B., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa
Samba, S., Jakarta , EGC.
Guyton & Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, Jakarta, EGC

Hidayat, A. Azis., 2001, Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan, Jakarta ,


EGC.

Ignatavicius, D., et all, 1995, Medical Surgical Nursing A Nursing Proces


Approach 2nd Edition, Philadelpia , W.B Saunders Company.

Anda mungkin juga menyukai