Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN NEFROLITOTOMI

Muhamad Gigih Bangsawan


2014901073

POLTEKKES TANJUNGKARANG KEMENKES RI


JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2021
A.    KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
     “Nefrolitotomi yaitu salah satu teknik bedah urologi dengan melakukan insisi pada ginjal
untuk mengangkat batu”. (Smeltzer, S.C.,dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara H.Y., dkk,
2001:1466)
     “Nefrolitotomi adalah pembedahan terbuka untuk mengambil batu pada saluran ginjal”.
(Purnomo, Basuki.B., 2003 : 65)
         Dua pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Nefrolitotomi adalah tindakan
bedah urologi dengan melakukan insisi pada ginjal untuk mengeluarkan batu pada saluran
ginjal.
       Berdasarkan pengertian-pengertian diatas bahwa gagal ginjal kronik ec nefrolithiasis
bilateral dan post nefrolitotomi kiri adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal diakibatkan oleh batu yang terbentuk pada tubuli ginjal atau berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi seluruh pelvis serta kaliks ginjal yang
menyebabkan obstruksi pada saluran kemih. Tindakan untuk  mengatasi hal tersebut
dilakukan nefrolitotomi yaitu mengangkat batu yang berada pada saluran ginjal.

2. EPIDEMIOLOGI
Batu saluran kencing sudah ditemukan sejak 4000 tahun sebelum masehi pada makam
mumi orang Mesir dan juga pada makam orang Indians Amerika Utara pada dahun 1500
sampai 1000 sebelum masehi. Bukti terbentuknya batu saluran kencing juga di
dokumentasikan dalam bahasa sansekerta pada tahun 3000 sampai 2000 sebelum masehi
(Vijaya et al, 2013). Penelitian terbaru insiden batu ginjal sekitar 114-720 per 100.000
penduduk dengan prevalensi 1,7-14,8% hampir disemua negara dan angkanya cenderung
meningkat, variasinya tergantung usia, jenis kelamin dan lokasi geografis. Prevalensi di
United State sekitar 10%-15% pada akhir tahun 1970an, data dari National Health and
Nutrition Examination Survey Amerika Serikat menunjukan peningkatan prevalensi batu
ginjal dari 3,2 % pada tahun 1976-1980, 5,2% tahun 1988-1994, sampai 8,8% pada tahun
2007-2010 (Pearle and Lotan, 2012; Khan et al, 2016). Prevalensi batu ginjal di Jepang
berdasarkan survei Japanase Urolithiasis Society selama lebih dari 40 tahun, menunjukan
peningkatan insiden kejadian batu ginjal pertama kali dari 54,2 per 100.000 tahun 1965
menjadi 114,3 per 100.000 tahun 2005. Walaupun insiden meningkat pada semua grup usia
laki-laki dan perempuan, namun puncak insiden bergeser pada laki-laki usia 20-49 tahun
pada tahun 1965 menjadi usia 30-69 tahun pada 2005 dan pada perempuan usia 20-29 tahun
pada 1965 menjadi usia 50-79 tahun pada 2005 (Pearle and Lotan, 2012). Di Indonesis
sendiri berdasarkan data dari departemen kesehatan tahun 2013 diperoleh prevalensi tertinggi
di DI Yogyakarta (1,2%) diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi
Tengah masing-masing 0,8%, lebih sering pada laki-laki (0,8%) dibandingkan perempuan
(0,4%), dan tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (1,3%) (Trihono, 2013)

3. ETIOLOGI
1. Etiologi Nefrolithiasis
         Menurut Purnomo, Basuki.B., 2003 : 57, terbentuknya batu ginjal diduga ada
hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap. Secara epidemiologis 
terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu ginjal (nefrolithiasis) pada
seseorang, yaitu :  
1)       Faktor Intrinsik :
a) Herediter
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
b) Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
c) Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan
2)       Faktor Ekstrinsik :
a) Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu ginjal lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah
Bantu di Afrika selatan hampir tidak dijumpai.
b) Iklim dan temperatur
c) Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi,
dapat meningkatkan insiden batu ginjal.
d) Diet
Diet banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu ginjal
e) Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang
aktifitas atausedentary life.
2. Etiologi Gagal Ginjal Kronik
       Penyebab dari gagal ginjal kronis menurut Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., (1995 :
817), Ignatavicius, D., et all,(1995 : 2113) adalah :
1)    Infeksi Saluran Kemih
       Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa memandang
usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori besar :
Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing
bagian atas (pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis kronik adalah penyebab
utama gagal ginjal tahap akhir pada anak-anak.
2)       Penyakit peradangan
       Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh
glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi kerusakan glomerulus
secara progresif yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3)       Penyakit vaskular hipertensif
       Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki  kaitan yang erat. Hipertensi mungkin
merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit
gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin.
4)       Gangguan jaringan penyambung
       Penyakit jaringan penyambung (penyakit kolagen) adalah penyakit sistemik yang
manifestasinya terutama mengenai jaringan lunak tubuh, dan yang sering terserang adalah
ginjal. Penyakit jaringan penyambung yang dapat menyebabkan gagal ginjal diantaranya
adalah lupus eritematosus sistemik (SLE) dan sklerosis sistemik progresif (skleroderma).
5)       Gangguan kongenital dan herediter
       Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit herediter yang
terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir dengan gagal ginjal meskipun
lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik.
6)       Penyakit metabolik
       Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik antara lain diabetes
mellitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis.
7)       Nefropati toksik
       Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan kimia karena
alasan-alasan berikut :
a) Ginjal menerima 25 % dari curah jantung,   sehingga   sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.
b) Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada
daerah yang relatif hipovaskular.

c) Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga


insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi
dalam cairan tubulus.
d) Gagal ginjal kronik dapat diakibatkan penyalahgunaan analgesi dan paparan timbal.
8)       Nefropati obstruktif
       Obstruksi pada saluran kemih dapat menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan
kegagalan ginjal. Adapun obstruksi
saluran kemih yang dapat menyebabkan gagal ginjal diantaranya :
a) Saluran kemih bagian atas
a. Kalkuli 
b. Neoplasma
c. Fibrosis
d. Retroperitoneal
b) Saluran kemih bagian bawah
a. Hipertrofi prostat
b. Karsinoma prostat
c. Striktur uretra
d. Anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra

4. PATOFISIOLOGI
       Gagal ginjal kronis disebabkan oleh beberapa faktor, seperti yang telah tertera diatas,
namun pada karya tulis ini penulis hanya akan membahas mengenai mekanisme penyakit
gagal ginjal yang disebabkan oleh adanya obstruksi saluran kemih bagian atas  yaitu
nefrolithiasis. Batu yang terletak pada sistem pelvikalises mampu menimbulkan obstruksi di
pielum ataupun kaliks mayor dapat menyebabkan kaliektasis pada kaliks yang bersangkutan
ataupun dapat menjadi hidronefrosis. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat
menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik ataupun
pielonefritis. Bila salah satu bagian saluran kemih tersumbat, yang dalam kasus ini adalah
obstruksi pada renal maka batu akan menyebabkan peningkatan tekanan pada struktur ginjal
termasuk arteri renalis yang berada diantara korteks renalis dan medula sehingga aliran darah
yang membawa nutrisi dan oksigen ke ginjal menurun. Jika hal ini berlangsung lama akan
berakibat iskemik pada  sebagian jaringan ginjal / nefron. Sisa nefron yang masih utuh tetap
bekerja normal karena harus mempertahankan homeostatis. Dua adaptasi penting dilakukan
oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.Pertama sisa nefron yang utuh mengalami hipertrofi dalam usahanya melaksanakan
seluruh beban kerja ginjal. Kedua terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut,
reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun dibawah nilai normal. Namun bila hal ini berlangsung lama, akan
terjadi penambahan kerusakan nefron dan jika 75 % massa nefron sudah hancur, kecepatan
filtrasi dan beban solut bagi setiap nefron menjadi demikian tinggi, sehingga keseimbangan
glomerulus-tubulus tidak dapat dipertahankan lagi. Akhirnya terjadi kegagalan fungsi
ginjal /nefron secara keseluruhan. Kegagalan  fungsi ginjal akan mengakibatkan penurunan
GFR (Glomerulus Filtration Rate), selanjutnya kemampuan tubulus untuk pengaturan
ekskresi dan reabsorpsi menurun yang pada gilirannya asam dan sisa metabolisme akan
meningkat, sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit akan terganggu.

5. PENATALAKSANAAN
       Pada klien dengan gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada ginjal
akibat nefrolithiasis dan post nefrolitotomi, penatalaksanaanya meliputi penatalaksanaan
nefrolithiasis, penatalaksanaan nefrolitotomi serta penatalaksanaan untuk gagal ginjal
kronisnya itu sendiri.
1. Penatalaksanaan Nefrolithiasis
       Menurut  Purnomo, Basuki.B., (2003 : 57) dan Smeltzer, S.C.,dan Bare, B.G., alih
bahasa : Kuncara H.Y., dkk, (2001:1464) nefrolithiasis harus dikeluarkan segera mungkin
agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Batu dapat dikeluarkan dengan cara
medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan endourologi, pelarutan batu,
atau pengangkatan bedah.
1) ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) adalah prosedur non invasif yang
digunakan untuk menghancurkan batu di kaliks ginjal menggunakan amplitudo
tekanan energi tinggi dari gelombang kejut yang dibangkitkan melalui pelepasan
energi yang kemudian disalurkan ke air atau jaringan lunak. Setelah batu tersebut
pecah menjadi bagian kecil seperti pasir, sisa-sisa batu tersebut dikeluarkan secara
spontan. Tidak jarang pecahan-pecahan batu sedang keluar menimbulkan perasaan
nyeri kolik dan menyebabkan hematuria. Alat ini dapat memecah batu ginjal tanpa
melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan.
2) Tindakan Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu
saluran kemih yang terdiri atas memecah batu kemudian mengeluarkannya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat
itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidralik,
energi gelombang suara atau dengan energi laser. Beberapa tindakan eudourologi itu
adalah :
a) PNL (Percutaneous Nephro Lithopaxy)
Mengeluarkan batu yang berada pada saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan
atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
b) Litotripsi
Memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu
(litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan Evakuator Ellik.
c) Ureteroskopi atau Uretero-renoskopi
Memasukkan alat ureteroskopi peruretram guna melihat keadaan ureter atau
sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di
dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureteoskopi-ureterorenoskopi.
3) Pelarutan Batu
Menggunakan infus cairan kemolitik misalnya agen pembuat basa (alkylating) atau
pembuat asam (acidifying) untuk melarutkan batu, digunakan sebagai alternatif
penanganan untuk pasien kurang beresiko terhadap terapi lain atau jenis batu yang
mudah larut (struvit). Nefrostomi perkutan terus dilakukan dan cairan peririgasi yang
hangat dialirkan terus-menerus melalui ureter. Tekanan di dalam piala ginjal dipantau
selama prosedur.
4) Pengangkatan Bedah
Diindikasikan jika batu tersebut tidak berespon pada tindakan lain. Dilakukan untuk
mengoreksi setiap abnormalitas anatomik dalam ginjal untuk memperbaiki drainase
urin. Bila  batu terletak dalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi
yaitu insisi pada ginjal untuk mengangkat batu atau nefrektomi jika ginjal tidak
berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Batu dalam piala ginjal diangkat dengan
pielolitotomi.

2. Penatalaksanaan Nefrolitotomi
       Pada klien dengan gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh adanya obstruksi renal
akibat Nefrolithiasis dapat dilakukan tindakan Nefrolitotomi. Pembedahan ginjal
(Nefrolitotomi) biasanya dilakukan pemasangan drainase nefrostomi untuk mengeluarkan
urine, batu atau cairan yang tertumpuk di dalam pelvis ginjal setelah pembedahan. (Smeltzer,
S.C., dan Bare, B.G., alih bahasa Kuncara, H.Y., 2001:1415)
       Penatalaksanaan pada klien dengan Nefrolitotomi, yaitu :
1) Mempertahankan bersihan jalan nafas dan pola pernafasan
2) Meredakan rasa nyeri dengan penggunaan obat analgetik yang adekuat
3) Memperlancar eliminasi urine dan drainage (nefrostomi) sebagai berikut :
a) Kaji kemungkinan timbulnya komplikasi seperti perdarahan pada lokasi nefrostomi,
pembentukan fistula dan infeksi.
b) Pastikan drainase tidak tersumbat pada selang nefrostomi atau kateter. (Obstruksi
akan menimbulkan rasa nyeri, trauma, tekanan, infeksi serta regangan pada garis
jahitan)
c) Jika selang tercabut, laporkan segera kepada dokter. (Dokter bedah harus segera
mengembalikan selang tersebut pada tempatnya agar luka nefrostomi tidak
berkontraksi)
d) Selang nefrostomi tidak boleh diklem, karena perbuatan ini dapat menimbulkan
pielonefritis.
e) Selang nefrostomi tidak boleh diirigasi (irigasi akan dilakukan oleh dokter bedah jika
diperlukan).
f) Anjurkan asupan cairan jika untuk meningkatkan pembilasan ginjal dan selang secara
alami jika tidak ada kontra indikasi.
g) Ukur volume urine yang mengalir keluar dari selang. Jika pada kedua ginjal dipasang
selang drainase, volume urine yang keluar masing-masing selang harus diukur secara
terpisah
4) Memantau dan menangani kemungkinan komplikasi
a) Perdarahan
Mengamati adanya komplikasi, memberikan cairan infus dan komponen darah sesuai
resep medik, memantau tanda vital dan tingkat kesadaran, keadaan kulit dan sistem
drainase urine serta luka insisi operatif.
b) Pneumonia
Mengamati tanda-tanda dini pneumonia yaitu febris, peningkatan frekuensi jantung
serta pernafasan. Cegah pneumonia dengan penggunaan spirometer insentif, kontrol
nyeri yang adekuat dan ambulasi dini.
c) Pencegahan infeksi
Menggunakan prosedur aseptik pada saat mengganti balutan, merawat kateter , selang
drainase lainnya. Mendeteksi adanya tanda-tanda inflamasi yang berupa kemerahan,
drainase sekret, panas dan nyeri. Memberikan antibiotik untuk mencegah infeksi
sesuai program terapi.
d) Pencegahan gangguan keseimbangan cairan
e) Kehilangan cairan dan kelebihan cairan diatasi dengan pemberian cairan yang
adekuat.
3. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama
mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang dapat
dipulihkan diidentifikasi dan ditangani. Dalam penatalaksanaan dapat dikelompokkan
menjadi:
1)       Penatalaksanaan Konservatif
a).     Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
       Menurut Moore, C.M., alih bahasa : Oswari, L.D., (1997:212), pengaturan diet penting
sekali pada pengobatan gagal ginjal kronik. Tujuan dari penatalaksanaan diet adalah untuk
menurunkan produksi sampah yang harus dieksresikan oleh ginjal dan menghindari
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
       Pemasukan cairan pada klien dengan gagal ginjal terbatas jumlahnya sehingga kenaikan
berat badan tidak lebih dari 0,45 kg/hari. Bila ada oliguria, cairan yang diperbolehkan
biasanya 400-500 ml (untuk menghitung kehilangan rutin) ditambah volume yang hilang
lainnya seperti urine, diare, dan muntah selama 24 jam terakhir.
       Klien dengan gagal ginjal harus membatasi pemasukan protein menjadi 0,6 gr/kg BB dari
berat yang diinginkan setiap harinya. Protein sedikitnya harus mengandung 75 % nilai biologi
tinggi, karena protein nilai biologi tinggi mengandung lebih banyk asam amino essensial
daripada non essensial. Protein nilai biologi tinggi terutama dijumpai pada telur, daging,
ayam dan ikan. Dengan membatasi jumlah protein total dan asam amino non essensial dapat
menurunkan jumlah nitrogen yang harus diekskresikan sebagai urea. Tambahan karbohidrat
dapat diberikan juga untuk mencegah pemecahan protein tubuh. Diet seperti ini harus diberi
tambahan vitamin B kompleks, piridoksin dan asam askorbat.
       Jumlah natrium yang dianjurkan adalah 40 sampai 90 mEq/hari(1 sampai 2 g natrium),
tetapi asupan natrium maksimum harus ditentukan secara tersendiri untuk tiap penderita agar
hidrasi yang baik dapat dipertahankan. (Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., 1995:863)
b).     Pencegahan dan pengobatan komplikasi
       Menurut Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G., alih bahasa : Kuncara, H.Y., dkk, (2001:1450)
komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam
perawatan mencakup :
(1). Hiperkalemia
       Biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium
dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun
intravena. Pasien diharuskan diet rendah kalium.
(2). Hipertensi
       Biasanya hipertensi dapat dikontrol secara efektif dengan pembatasan natrium dan
cairan, serta melalui ultrafiltrasi bila penderita menjalani hemodialisis.
       Hipertensi dapat ditangani juga dengan berbagai medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan penanganan
pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretik, agen inotropik, seperti digitalis atau
dobutamine, dan dialisis.
(3). Asidosis Metabolik
       Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan
penanganan; namun demikian, suplemen natrium karbonat atau dialisis mungkin diperlukan
untuk mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala. Bentuk pengobatan yang
paling logis adalah dialisis.
(4). Anemia
       Oleh karena penyebab utama pada gagal ginjal
kronik (GGK) tampaknya berupa penurunan sekresi eritropoetin oleh ginjal yang sakit, maka
pengobatan yang ideal adalah penggantian hormon ini. Selain ini juga dilakukan pengobatan
untuk anemia uremik adalah dengan memperkecil kehilangan darah, pemberian vitamin,
androgen, dan transfusi darah.
       Biasanya multivitamin dan asam folat diberikan setiap hari oleh karena vitamin yang
larut dalam air habis selama proses dialisis. Besi peroral atau komplek besi dapat diberikan
parenteral, oleh karena dapat terjadi kekurangan besi akibat kehilangan darah dan besi yang
berikatan dengan antasid. Transfusi darah dapat diberikan pada pasien dialisis baik untuk
alasan pengobatan maupun persiapan sebelum transplantasi.
       Anemia pada GGK dapat ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia rekombinan).
Terapi epogen diberikan untuk memperoleh nilai hematokrit sebesar 33 % sampai 38 % yang
biasanya memulihkan gejala anemia. Dialisis biasanya dimulai ketika pasien tidak mampu
mempertahankan gaya hidup normal dengan penanganan konservatif.
(5). Abnormalitas neurologi
       Pasien dilindungi dari cedera dengan menempatkan pembatas tempat tidur. Awitan
kejang dicatat dalam hal tipe, durasi dan efek umum terhadap pasien. Diazepam intravena
atau penitoin diberikan untuk mengendalikan kejang.
(6). Osteodistrofi ginjal
       Salah satu tindakan terpenting untuk mencegah timbulnya hiperparatiroidisme sekunder
dan segala akibatnya adalah diet rendah posfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat
posfat dalam usus. Diet rendah protein biasanya mengandung rendah posfat. Obat yang sering
digunakan sebagai pengikat posfat adalah gel antasida alumunium (amphojel dan basojel).
Diberikan dalam bentuk tablet atau cairan. Antasid yang mengandung magnesium jangan
diberikan.
       Demineralisasi tulang yang berat, hiperkalsemia atau pruritus  yang sulit diatasi
merupakan indikasi paratiroidektomi. Bila lesi yang menyolok adalah osteomalasia, maka
ahli nefrologi akan mulai menjalankan terapi vitamin D dengan hati-hati. Pengobatan ini
dapat membahayakan, bukan saja absorpsi kalsium akan semakin meningkat, tetapi juga
dapat mengakibatkan kalsifikasi progresif jaringan lunak apabila resorpsi tulang dan
hiperposfatemia terus berlangsung tanpa ditanggulangi.
       Metode lain yang digunakan untuk mencegah osteodistrofi ginjal antara lain
meningkatkan asupan kalsium 1,2 –1,5 gram per hari dalam diet atau dengan kalsium
tambahan (hanya setelah kadar posfat serum diturunkan sampai keadaan normal), dan
mempertahankan konsentrasi kalsium dalam dialisat antara 6,5-7,0 mEq/L.
 
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
       Menurut Suyono, S., dkk, (2001:430) untuk memperkuat diagnosis diperlukan
pemeriksaan penunjang, diantaranya :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal ginjal kronik,
menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal ginjal kronik,
menetapkan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Dalam
menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji. Untuk
keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus (LFG)
atau Glomerulo Filtration Rate (GFR).
2. Pemeriksaan Elektrokardiografi  (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis
(misalnya voltase rendah), aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia).
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistempelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti
obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses sudah
lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan tindakan yang
non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
4. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat memperburuk fungsi ginjal. Menilai
bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5. Pemeriksaan Pielografi Retrogad
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
6. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat penumpukan cairan (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.

B.    KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1.  Ansietas berhubungan dengan krisis situasional

Definisi:
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan
spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu yang melakukan
tindakan untuk menghadapi ancaman
Data dan tanda mayor:
Data subyektif :
• Merasa bingung
• Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
• Sulit berkonsentrasi
Data obyektif :
• Tampak gelisah
• Tampak tegang
• Sulit tidur

2. Resiko cedera berhubungan dengan kegagalan mekanisme pertahanan tubuh


Definisi:
Berisiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan seseorang tidak
lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik
Data subyektif : -
Data obyektif : -
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya reflek batuk,
peningkatan produksi sputum
Definisi:
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten
Gejala dan tanda mayor:
Data Subyektif
(tidak tersedia)
Data Obyektif
• Batuk tidak efektif
• Tidak mampu batuk
• Sputum berlebih
• Mengi, wheezing, dan atau ronkhi kering

Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Ansietas b.d Setelah dilakukan 1. Monitor tanda-tanda ansietas
Krisis asuhan keperawatan 2. Monitor TTV
Situasional diharapkan Ansietas 3. Ciptakan suasana teraupetik
berkurang dengan untuk menumbuhkan
KH : kepercayaan
1. Pasien tampak 4. Temani pasien untuk
rileks mengurangi kecemasan
2. Pasien mengatakan 5. Anjurkan pasien
tidak cemas lagi mengungkapkan apa yang
3. Wajah klien dirasakan
tampak tenang 6. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
7. Ajarkan teknik relaksasi nafas
dalam
8. Jelaskan prosedur termasuk
sensasi yang mungkin dialami
2. Resiko Setelah dilakukan 1. Identifikasi area lingkungan
cedera b.d asuhan keperawatan yang berpotensi
pengaturan diharapkan cedera menyebabkan cedera
posisi bedah, tidak terjadi dengan 2. Identifikasi obat yang
prosedur KH : berpotensi menyebabkan
invasif bedah 1. Kejadian cidera cedera (dengan double check
menurun dan perhatikan nama obat,
rupa dan ucapan mirip)
3. Tingkatkan frekuensi
observasi dan pengawasan
pasien tanda-tanda vital
3. Bersihan Setelah dilakukan 1. Monitor pola nafas
jalan nafas asuhan keperawatan (frekuensi, kedalaman, usaha
tidak efektif diharapkan jalan nafas)
b.d nafas efektif dengan 2. Monitor bunyi nafas
menurunnya KH : tambahan
reflek batuk, 1. Produksi sputum 3. Pertahankan jalan nafas
peningkatan menurun dengan head tilt dan chin lift
produksi 2. Tidak terdengar 4. Posisikan semi fowler
sputum ronkhi 5. Berikan oksigen
6. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik

 
 
 
DAFTAR PUSTAKA 

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPD PPNI.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPD PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPD PPNI
https://id.scribd.com/document/336516220/Lp-Nefrolitotomi
 

Anda mungkin juga menyukai