Anda di halaman 1dari 17

A.

Definisi:

Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan salah satu penyakit ginjal, dimana


ditemukannya batu yang mengandung komponen kristal dan matriks organik
yang merupakan penyebab terbanyak kelainan saluran kemih.(Fauzi dkk.,
2016)

B. Etiologi

Penyebab pasti yang membentuk batu ginjal belum diketahui, oleh karena
banyak faktor yang dilibatkannya. Diduga dua proses yang terlibat dalam batu
ginjal yakni supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi
yang menyusun batu terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika
volume urin dan kimia urin yang menekan pembentukan batu menurun. Pada
proses nukleasi, natrium hidrogen urat, asam urat dan kristal hidroksipatit
membentuk inti. (Fauzi dkk., 2016)

C. Faktor risiko

Faktor risiko nefrolitiasis (batu ginjal) umumnya biasanya karena adanya


riwayat batu di usia muda, riwayat batu pada keluarga, ada penyakit asam urat,
kondisi medis lokal dan sistemik, predisposisi genetik, dan komposisi urin itu
sendiri. Komposisi urin menentukan pembentukan batu berdasarkan tiga faktor,
berlebihnya komponen pembentukan batu, jumlah komponen penghambat
pembentukan batu (seperti sitrat, glikosaminoglikan) atau pemicu (seperti
natrium, urat). (Fauzi dkk., 2016)

D. Epidemiologi:

Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebesar 7% pada perempuan dewasa


dan 13% pada laki-laki dewasa. Empat dari lima pasien adalah laki-laki,
sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai ke empat . 2 Di Indonesia
sendiri, penyakit ginjal yang paling sering ditemui adalah gagal ginjal dan
nefrolitiasis. Prevalensi tertinggi penyakit nefrolitiasis yaitu di daerah DI
Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah , dan
Sulawesi Tengah masing-masing (0,8%).(Fauzi dkk., 2016)

E. Klasifikasi Nefrolitiasis
Nefrolitiasis berdasarkan komposisinya terbagi menjadi batu kalsium, batu
struvit, batu asam urat, batu sistin, batu xanthine, batu triamteren, dan batu
silikat. (Fauzi dkk., 2016)

Terdapat beberapa jenis variasi dari batu ginjal, yaitu:


1. Batu Kalsium
Batu yang paling sering terjadi pada kasus batu ginjal.
Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium
fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut. Faktor-faktor
terbentuknya batu kalsium adalah:
a. Hiperkalsiuri
Terbagi menjadi hiperkalsiuri absorbtif, hiperkalsiuri
renal, dan hiperkasiuri resorptif. Hiperkalsiuri absorbtif
terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium
melalui usus, hiperkalsiuri renal terjadi akibat adanya
gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalu
tubulus ginjal dan hiperkalsiuri resorptif terjadi karena
adanya peningkatan resorpsi kalsium tulang.
b. Hiperoksaluri
Terdapat eksresi oksalat urin yang melebihi 45 gram
perhari.
c. Hiperurikosuria
Kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850mg/24
jam.
d. Hipositraturia
Sitrat yang berfungsi untuk menghalangi ikatan kalsium
dengan oksalat atau fosfat sedikit.
e. Hipomagnesuria
Magnesium yang bertindak sebagai penghambat
timbulnya batu kalsium kadarnya sedikit dalam tubuh.
Penyebab tersering hypomagnesuria adalah penyakit
inflamasi usus yang diikuti dengan gangguan
malabsorbsi.
2. Batu Struvit
Batu yang terbentuk akibat adanya infeksi saluran kemih.
3. Batu Asam Urat
Biasanya diderita pada pasien-pasien penyakit gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan terapi anti kanker, dan
yang banyak menggunakan obat urikosurik seperti sulfinpirazon,
thiazid, dan salisilat.
4. Batu sistin
5. Batu xanthine
6. Beatu triamteran
7. Batu silikat merupakan batu yang sangat jarang dijumpai.

F. Manifestasi Nefrolitiasis
Gejala utama batu ginjal (nefrolitiasis) adalah adanya nyeri akut
hebat dan mengalami perubahan sesuai dengan ukuran dan lokasi batu di
dalam saluran kemih. Sebagian batu, jika berukuran cukup kecil, dapat
keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya besar, dapat
menimbulkan obstruksi dan trauma. Apabila batu menyumbat aliran urine,
tekanan akan meningkat hidrostatis dan menimbulkan distensi pada pelvis
ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal (hidroureter).Sewaktu tumbuh
di permukaan papila ginjal atau di dalam sistem pengumpul urin, batu
tidak selalu menimbulkan gejala. Batu asimtomatik mungkin ditemukan
sewaktu pemeriksaan radiografik yang dilakukan untuk sebab lain. Batu
termasuk, bersama dengan neoplasma jinak dan ganas serta kista ginjal,
penyebab umum hematuria tersendiri. Batu menimbulkan gejala jika
masuk ureter atau menyumbat taut ureteropelvis, menimbulkan nyeri dan
obstruksi. (Harrison, 2013)
Secara khas nyeri yang terjadi karena batu didalam ureter disebut
kolik ureter dan nyeri ini dapat menyebar ke bagian bawah abdomen
hingga daerah genetalia dan paha sebelah atas. Rasa nyeri sangat hebat dan
bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika
berupaya untuk mendorong batu turun. Inflamasi kontinu akibat
permukaan batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal
(pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) sehingga timbul demam,
menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika
berkemih. (Chang dkk, 2009)

G. Patofisiologi
Nefrolitiasis adalah kristialisasi dan matriks seperti pus darah, jaringan
yang tidak vital dan tumor. Komponen dari batu ginjal ini bervariasi yaitu kira-
kira tiga perempat dari batu sendiri ialah kalsium, fosfat, asam urine dan
cistien. Meningkatnya konsentrasi larutan diakibatkan oleh intake yang rendah
dan juga meningkatnya bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kemih atau
urine stastis sehingga membuat tempat untuk pemebentukan batu.
Meningkatnya infeksi kebasaan urine oleh produksi amomnium juga berakibat
pada presipitasi kalsium dan magnesium fosfat.
Penyebab lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu yaitu pH urine
dan status cairan pasien. Pada saat batu menghambat aliran urine maka akan
terjadi obstruksi yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan
distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeski nefrolitiasis yang disertai
dengan mengigil, demam, dan disuria biasanya terjadi pada iritasi batu yang
terus menerus. Ada beberapa batu yang bisa menyebabkan sedikit gejala tetapi
secara fungsional dan perlahan-lahan merusak fungsi ginjal dan merasa nyeri
yang luar biasa.
H. Pathway

Nefrolitiasis

Pembedahan Konservatif

Nefrolithotomi

Ruang Anastesi Luka Luka sayatan Tidak adekuat Kelemahan


pemulihan terbuka informasi fisik

Organisme Kurangnya Kurang


Aspirasi Peristaltik
dientre Sel rusak pengetahuan Perawatan
usus menurun
Diri
Ansietas
Akumulasi Penurunan Resiko
sekret nafsu makan Infeksi
Inflamasi Mediator
Bradikinin
Tidak Efektifnya Gangguan Cerotamin
Jalan Nafas Nutrisi Edema

Stimulasi
Compresi reseptor

Nyeri Nyeri

I. Pemeriksaan diagnostik Nefrolitiasis


Diagnosis ditegakkan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih (GUK),
urografi intravena, atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dan urin 24 jam
untuk mengukur kadar kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH, dan volume
total merupakan bagian dari upaya diagnostic. Riwayat diet dan medikasi serta
riwayat adanya batu ginjal dalam keluarga didapatkan untuk mengindentifikasi
faktor yang mencetuskan terbentuknya batu pada pasien (Haryono, 2013).
Menurut Patel tahun 2005 pemeriksaan penunjang untuk nefrolitiasis atau
yang sering disebut batu ginjal dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Film polos Abdomen
Film polos abdomen sangat diperlukan sebelum melakukan pemeriksaan
penunjang pada saluran kemih. Film polos ini dapat menunjukkan adanya
batu ginjal pada sistem pelvicalyces, selain itu juga dapat menentukan
klasifikasi parenkim ginjal, batu ureter, klasifikasi batu kandung kemih
dan lain sebagainya.
b. Urografi intravena (intravenous urography, IVU)
Indikasi untuk pemeriksaan ini adalah hematuria tetapi urografi intravena
ini juga dapat dilakukan untuk pemeriksaan batu ginjal, kolik ureter, dan
adanya kecurigaan batu lainnya.
Pemeriksaan penunjang untuk nefrolitiasis tidak hanya itu tetapi masih
terdapat pemeriksaan yang lainnya. Menurut sumber lain setelah sejumlah
data dari pasien terkumpul, selanjutnya akan dilakukan beberapa tes untuk
memastikan diagnosis. Tes tersebut bisa berupa pemeriksaan urine,
pemeriksaan darah, dan pemindaian (misalnya USG, rontgen, CT scan,
dan intravenous urogram/IVU).
1. Pemeriksaan urine dilakukan untuk mengetahui keberadaan infeksi pada
saluran kemihyang terkait dengan batu ginjal. Selain itu, jika sampel urine
mengandung serpihan batu ginjal, tes ini dapat membantu dokter dalam
mengenali jenis batu ginjal yang terbentuk.
2. Sedangkan untuk pemeriksaan darah, metode ini dilakukan untuk
membantu dokter mengetahui kadar zat-zat tertentu yang berpotensi
menyebabkan batu ginjal, misalnya seperti kadar kalsium atau asam urat di
dalam darah. Selain itu, tes darah juga dilakukan untuk memastikan
apakah ginjal pasien masih berfungsi dengan baik atau sudah mengalami
kerusakan.
3. Yang terakhir adalah pemeriksaan melalui citra gambar dengan X-ray, CT
scan atau intravenous urogram (IVU). Pemeriksaan yang hanya bisa
dilakukan di rumah sakit ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu
untuk memastikan keberadaan dan menentukan posisi batu ginjal secara
tepat dan akurat. Analisis yang tepat akan sangat membantu dokter dalam
menentukan penanganan atau obat-obatan yang sesuai dengan kondisi
penderita batu ginjal. saat ini pemeriksaan CT scan sudah lebih sering
dijadikan pilihan utama oleh dokter dalam mendiagnosis penyakit batu
ginjal karena hasilnya yang lebih akurat dibandingkan dengan metode
pemeriksaan penunjang lainnya.

J. Penatalaksanaan medis nefrolitiasis


Penanganan bergantung pada ukuran, lokasi dan komposisi dari batu
serta fungsi ginjal, adanya infeksi saluran kemih dan adanya resiko ansietas
atau operasi bagi pasien. Tindakan dapat dilakukan dengan kombinasi medis
dan bedah, diantaranya sebagai berikut:
1. ESWL atau Extracorporeal shockwave lithotripsy merupakan terapi non-
invasif dengan menggunakan gelombang kejut yang efektif untuk
memecahkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 20 mm. Metode ini
yang paling aman dan minimal invasif tetapi juga memilki beberapa efek
samping dan komplikasi yang dapat merugikan pasien.
2. Nefrolitotomi perkutan atau percutaneous nephrolitithotomy, yaitu dengan
pemasangan mirip sistoskop ke dalam pelvis ginjal dengan melakukan
sayatan kecil dipinggang.
3. Ureteroskopi yaitu untuk menghancurkan batu di pelvis ginjal,
4. Tindakan bedah terbuka untuk pengeluaran batu saluran kemih dengan
pielolitomi, ureterolitotomi atau sistolitotomi.
5. Litotripsi kontak atau ekstraksi dengan keranjang dormia untuk batu
saluran kemih bagian bawah.
6. Litotripsi mekanik atau pembedahan terbuka untuk batu kandung kemih.
7. Pada pasien dengan resiko pengeluaran batu secara sponta dapat dilakukan
MET atau medical expulsive therapy seperti kortikosteroid, calsium
channel blocker dan alfa blocker untuk merelaksasikan otot polos uretra,
sehingga dapat mempermudah batu untuk keluar spontan (pada batu yang
berukuran kurang dari 3mm).
8. Pemberian analgesik dikombinasikan MET untuk mempermudah keluaran
batu, mengurangi rasa nyeri dan memperkecil untuk dioperasi.
9. Penanganan farmakologi terdiri atas dua aspek, yaitu:
a. Menghilangkan rasa nyeri yang dirasakan akibat adanya batu.
b. Penangan batu yang sudah terbentuk, yaitu tindakan meluruhkan batu
dan mencegah terbentuknya batu lebih lanjut.

Penatalaksaan non medis nefrolitiasis

1. Pasien yang memilki dehidrasi harus mendapatkan asupan cairan yang


adekuat.
2. Memperbaiki gaya hidup dengan meningkatkan asupan cairan dengan
minum minimal 2L/hari (8 gelas/hari) dengan mengupayakan produksi
urin 2-3 liter setiap harinya.
3. Pembatasan asupan kalsium, garam dan protein hewani dalam asupan
makanan sehari-hari pasien.
4. Melakukan aktivitas harian yang cukup.
5. Manajemen diet rendah zat atau komponen yang dapat membentuk batu.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko kekambuhan pada
pasien pasca operaso, diantaranya sebagai berikut:
a. Rendah protein, karena zat protein dapat memacu ekskresi kalsium
urin dan dapa menyebabkan urin menjadi lebih asam.
b. Rendah oksalat
c. Rendah garam, karena dapat memicu timbulnya hiperkalsiuria.
d. Rendah purin
e. Rendah kalsium tidak dianjurkan, kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif
tipe II.
K. Pengkajian Batu Ginjal
Pasien yang diduga mengalami batu ginjal dikaji terhadap adanya nyeri
dan ketidaknyamanan. Keparahan dan lokasi nyeri ditentukan bersama
dengan radiasi nyeri. Pasien juga dikaji akan adanya gejala yang berhubungan
seperti mual, muntah, diare, dan distensi abdomen. Pengkajian keperawatan
mencakup observasi tanda-tanda infeksi traktus urinarius (menggigil, demam,
dysuria, sering berkemih, dan hesitancy) dan obstruksi (berkemih sering
dengan umlah urin sedikit, oliguria atau anuria). Selain itu, urin diobservasi
akan adanya darah dan disaring untuk kemungkinan adanya batu atau kerikil
(Brunner & Suddarth, 2002).
Riwayat difokuskan pada faktor predisposisi penyebab terbentuknya batu
di traktus urinarius atau faktor pencetus episode kolik renal atau ureteral.
Faktor predisposisi penyebab terbentuknya batu mencakup riwayat adanya
batu dalam keluarga, kanker, atau gangguan pada sumsum tulang, atau diet
tinggi kalsium tau purine. Faktor yang dapat mencetuskan pembentukan batu
pada pasien yang terkena batu ginjal mencakup episode dehidrasi,
immobilisasi yang lama, dan infeksi. Pengetahuan pasien tentang batu renal
dan upaya untuk mencegah kejadian dan kekambuhan juga dikaji (Brunner &
Suddarth, 2002).
Riwayat keperawatan yang perlu dikaji pada penyakit nefrolitasis yaitu
(Haryono, 2003)
Aktivitas / istirahat
Kaji tentang pekerjaan yang monoton, lingkungan pekerjaan apakah pasien
terpapar suhu tinggi, keterbatasan aktivitas, misalnya karena penyakit yang
kronis atau adanya cedera pada medulla spinalis.
1. Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan darah nadi, yang disebabkan nyeri,
ansietas atau gagal ginjal. Darah perifer apakah teraba hangat, merah atau
pucat, eleminasi kaji adanya riwayat ISK kronis; obstruksi sebelumnya
(kalkulus). Penurunan haruaran urin, kandung kemih penuh, rasa terbakar
saat BAK. Keinginan / dorongan ingin berkemih terus, oliguria, hematuria,
piuri atau perubahan pola berkemih
2. Makanan/ cairan
Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen diet tinggi purin, kalsium
oksalat atau fosfat, atau ketidakcukupan pemasukan cairan, terjadi distensi
abdominal, penurunan bising usus.
3. Nyeri / kenyamanan
Kaji episode akut nyeri berat, yeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi
batu misalnya pada panggul dirego sudut kostovertebral dapat menyebar
kepunggung, abdomen, dan turun ke lipat paha, gennetalia, nyeri dangkal
konstan menunjukkan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri
yang khas adalah nyeri akut tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain,
nyeri tekan pada area ginjal pada palpasi.
4. Keamanan
Kaji terhadap penggunaan alkohol perlindungan saat demam atau
menggigil.
5. Riwayat penyakit
Kaji adanya riwayat batu saluran kemi pada keluarga, penyakit ginjal,
hipertensi, gout, ISK kronis, riwayat penyakit, usus halus, bedah abdomen
sebelumnya, hiperparatiroidisme, penggunaan antibiotika, anti hipertensi,
natrium bikarbonat, alukurinol, fosfat, tiazid, kemasukan berlebihan
kalsium atau vitamin D.
6. Eleminasi
Kaji adanya riwayat ISK kronis, obtruksi sebelumnya, penurunan volume
urine, rasa terbakar, dorongan berkemih dan diare. ( Doenges dkk, 2000)

L. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pasien dengan Nefrolithiasis dapat meliputi:
1. Diagnosa preoperative
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis (infeksi)
b. Retensi urin berhubungan dengan sumbatan saluran perkemihan
c. Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh
2. Diagnosa pascaoperatif
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (prosedur bedah)
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
c. Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan kelemahan
d. Ansietas berhubungan dengan kurang informasi

M. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dapat dilakukan perawat dalam mengatasi permasalahan
yang terdapat pada pasien dengan nefrolithiasis diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Intervensi preoperative
a. Diagnosa: Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
(infeksi)
Tujuan : Nyeri dapat berkurang
Intervensi yang rasional :
Manajemen Nyeri (1400)
1) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
2) Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologik
3) Ajarkan metode farmakologi untui menurunkan nyeri
4) Dukung istirahat tidur untuk membantu pengurangan nyeri
5) Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat, dan tim kesehatan lainnya
untuk memilih dan mengimplemantasikan tindakan penurun nyeri non
farmakologik, sesuai kebutuhan
Pemberian Analgesik (2210)
1) Cek adanya riwayat alergi obat
2) Tentukan pilihan obat analgesic (narkotik, non narkotik, atau NSAID)
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
3) Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk memfasiliotasi penurunan nyeri
4) Tentukan lokasi, kaarakteristik kualitas dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien.
5) Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesic yang diresepkan
6) Tentukan analgesic sebelumnya, rute pemeberian, dan dosis untuk
mencapai hasil pengurangan nyeri yang optimal
b. Diagnosa : Retensi urin berhubungan dengan sumbatan saluran perkemihan
Tujuan : Retensi urin dapat berkurang
Intervensi yang rasional :
Perawatan retensi urin (0620)
1) Monitor adanya penggunaan agen-agen yang tidak sesuai resep yang
mengandung bahan anticholinergic atau alpa aghonist
2) Berikan Maneuver Crede (tekanan intra abdomen yag kerasdan tiba-
tiba) jika diperlukan
3) Monitor intake dan output
4) Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
5) Gunakan kateter dan residu urin sesuai kebutuhan,
c. Diagnosa : Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh
Tujuan : Resiko infeksi dapat teratasi
Intervensi yang rasional :
Identifikasi resiko (6574)
1) Kaji ulang data yang didapatkan dari pengkajian resiko secara rutin
2) Identifikasi resiko biologis, lingkungan dan perilaku serta hubungan
timbal balik
3) Instruksikan faktor resiko dan rencana untuk mengurangi faktor resiko
4) Diskusikan dan rencanakan aktivitas-aktivitas pengurangan resiko
berkolaborasi dengan individua tau kelompok
5) Implementasikan aktivitas-aktivitas pengurangan resiko
2. Intervensi pascaoperatif
a. Diagnosa: Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (prosedur
bedah)
Tujuan : Nyeri dapat teratasi
Intervensi yang rasional :
Manajemen Nyeri (1400)
1) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
2) Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologik
3) Ajarkan metode farmakologi untui menurunkan nyeri
4) Dukung istirahat tidur untuk membantu pengurangan nyeri
5) Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat, dan tim kesehatan lainnya
untuk memilih dan mengimplemantasikan tindakan penurun nyeri
non farmakologik, sesuai kebutuhan
Pemberian Analgesik (2210)
1) Cek adanya riwayat alergi obat
2) Tentukan pilihan obat analgesic (narkotik, non narkotik, atau
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
3) Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk memfasiliotasi penurunan nyeri
4) Tentukan lokasi, kaarakteristik kualitas dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien.
5) Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesic yang diresepkan
6) Tentukan analgesic sebelumnya, rute pemeberian, dan dosis untuk
mencapai hasil pengurangan nyeri yang optimal
b. Diagnosa: Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
Tujuan : Resiko infeksi dapat teratasi
Intervensi yang rasional :
Identifikasi resiko (6574)
1) Jelaskan kepada pasien pentingnya identifikasi tepat selam
identifikasi kesehatan
2) Ajarkan pasien mengenai resiko yang berkaitan dengan identifikasi
yang salah
3) Implementasikan aktivitas-aktivitas pengurangan risiko
4) Perimbangkan kriteria yang berguna dalam memprioritaskan area-
area untuk mengurangi faktor resiko
c. Diagnosa: Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan
kelemahan
Tujuan : Defisit perawatan diri dapat teratasi
Intervensi yang rasional :
Manajemen energi (0180)
1) Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan sesuai
dengan konteks usia dan perkembangan
2) Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan secara verbal
mengenai keterbatasan yang dialami
3) Gunakan instrument yang valid untuk mengukur kelelahan
4) Tentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang dibutuhkan untuk
menjaga kesehatan
5) monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber energi yang
adekuat.

Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan (1801)

1) Pertimbangkan budaya pasien saat mempromosikan aktivitas


perawatan diri
2) Tentukan jumlah dan tipe terkait dengan bantuan yang diperlukan
3) Dukung orangtua/keluarga berpartisipasi dalam ritual menjelang
tidur yang biasa dilakukan dengan tepat
4) Berikan bantuan sampai pasien benar-benar mampu merawat diri
secara mandiri.
d. Diagnosa: Ansietas berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan : Ansietas dapat teratasi
Intervensi yang rasional :
Pengurangan Kecemasan (5820)
1) Berikan informasi factual terkait diagnosis, perawatan dan prognosis
2) Bantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
3) Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
4) Kaji untuk taanda verbal dan non verbal kecemasan
5) Jelaskan semua prosedur termasuk sensasi yang akan dirasakan yang
mungkin akan dialami klien selam prosedur
Terapi Relaksasi (6040)
1) Tentukan apakah ada intervensi relaksai di masa lalu yang sudah
memberikan manfaat
2) Ciptakan lingkungan yang tenang tanpa distraksi dengan lampu yang
redup dan suhu lingkungan yang nyaman, jika memungkinkan
3) Antisipasi kebutiuhan penggunaan relaksasi
4) Dorong pengulangan teknik praktik-pratik tertentu secara berkala
5) Evaluasi laporan individu terkait relaksasi yang dicapai secara
teratur
6) Monitor ketengan otot secara periodic, denyut nadi dan tekanan
darah secara tepat

N. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses asuhan keperawatan. Format
evaluasi yang sering dipakai adalah format SOAP (Subjektif, Objektif,
Assesment, Plan) yang dalam format ini kita dapat mengetahui perkembangan
keadaan pasien. Apakah masalah keperawatannya sudah terselesaikan atau
belum.Evaluasi keperawatan yang mungkin dicapai dalam pemberian asuhan
keperawatan pada kondisi pre operatif, intra operatif, dan post operatif.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, A., M. Manza, A. Putra, B. Ortopedi, F. Kedokteran, dan U. Lampung.


2016. Nefrolitiasis. 5(April):69–73.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I Made Karyasa. EGC:
Jakarta

Patel. P R. 2005. Lecture Notes Radiologi. Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit


Erlangga
https://books.google.co.id/books?id=GTqUHHF4A6oC&pg=PA160&dq=pe
meriksaan+penunjang+batu+ginjal&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiFhYe07j
aAhXIN48KHTtOCh8Q6AEIKDAA#v=onepage&q=pemeriksaan%20penu
njang%20batu%20ginjal&f=false [Diakses pada tanggal 14 April 2018]

Alodokter. 2016. Diagnosis Batu Ginjal. https://www.alodokter.com/batu-


ginjal/diagnosis [Diakses pada tanggal 14 April 2018]

Satyawati A., A., S. 2014. ESWL atau Extracorporeal Shockwave Lithotripsy


pada Batu Ginjal. Universitas Udayana: Fakultas Kedokteran.

Ingimarsson et al. 2016. Diagnosis and Management of Nephrolithiasis. USA:


Elsevier Inc.

Grace P., and Borley R., N. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Haryono R. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan. Yogyakarta:


Rapha Publishing.

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000.


Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Smeltzer, C. S., & B. G. Brenda. 1997. Brunner and Suddarth’s Textbook of
Medical-Surgical Nursing. 8th editon. Vol 2. Diterjemahkan oleh. Kuncara,
dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart.
Edisi 8. Vol 2. Jakara: EGC.

Fauzi, A., M. Manza, A. Putra, B. Ortopedi, F. Kedokteran, dan U. Lampung.


2016. Nefrolitiasis. 5(April):69–73.

Chang, E., J. Daly, dan D. Elliott. 2009. Patofisiologi: Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Harrison. 2013. Nefrologi Dan Gangguan Asam-Basa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai