Anda di halaman 1dari 26

352.

44
Ind
p
ABSTRAK
Tingkat prevalensi merokok di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Indonesia memiliki tingkat prevalensi merokok yang tertinggi di dunia dan masih
berpotensi meningkat di masa depan. Setiap tahun, lebih dari 240,000 kematian akibat
merokok di Indonesia atau dengan kata lain setiap hari terdapat 660 kematian. Hal ini
bukan hanya bencana di bidang kesehatan masyarakat, namun juga di bidang ekonomi.
Biaya perawatan kesehatan akibat penyakit terkait merokok menghabiskan 6% dari total
belanja kesehatan, sementara itu, biaya merokok (termasuk hilangnya produktivitas
akibat prevalensi merokok) menghabiskan 1,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Prevalensi merokok juga meningkatkan angka kemiskinan sebesar 10,7%. (Badan Pusat
Statistik, 2016)
Kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif khususnya kebijakan cukai
tembakau yang pro-kesehatan dapat menghentikan tren negatif ini serta mengurangi
dampak buruk merokok bagi kesehatan dan ekonomi. Hal ini pada akhirnya akan
mengurangi penderitaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Studi yang dilakukan
di Indonesia dan di berbagai negara lainnya menunjukkan bahwa cukai tembakau yang
tinggi sangat efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau khususnya pada remaja dan
penduduk miskin.
Namun sayangnya, tarif cukai tembakau di Indonesia masih tergolong rendah jika
dibandingkan dengan standard global dan struktur cukainya masih tergolong rumit.
Tingkat rata-rata cukai tembakau di Indonesia hanya berkisar 49,1% dari harga jual
eceran, sementara tingkat cukai tembakau yang direkomendasikan secara global
sebesar 70% dari harga jual eceran. Kebijakan cukai tembakau saat ini tidak mengikuti
kenaikan pendapatan masyarakat yang menyebabkan harga rokok di Indonesia
makin terjangkau dari waktu ke waktu. Harga rokok yang terjangkau tersebut tidak
mendorong perokok untuk berhenti merokok dan justru mendorong anak-anak dan
remaja untuk memulai merokok.
Selain tingkat cukai tembakau, Indonesia perlu memperbaiki struktur cukai yang secara
administrasi tidak efisien dan menyebabkan penghindaran pembayaran cukai serta
merongrong manfaat kesehatan masyarakat dari peningkatan cukai dan harga rokok.
Pemerintah Indonesia telah memiliki peta jalan penyederhanaan sistem cukai tembakau
untuk periode 2018-2021 yang akan menyederhanakan struktur cukai tembakau saat ini
dari 12 menjadi 5 batasan tarif (tier). Hal ini merupakan sebuah langkah positif dan perlu
diapresiasi, namun mengingat situasi konsumsi rokok yang mengkhawatirkan, maka
dibutuhkan percepatan proses penyederhanaan sistem cukai tembakau dalam waktu
yang lebih singkat.
Banyak negara telah sukses mengimplementasikan reformasi sistem cukai rokok. Salah
satu yang contoh yang berhasil adalah Filipina dimana proses reformasi kebijakan cukai
tembakau telah berhasil mengurangi tingkat konsumsi tembakau secara signifikan.
kebijakan ini juga meningkatkan penerimaan negara serta, pada saat yang sama,
mengendalikan dengan ketat peredaran rokok ilegal. Reformasi cukai tembakau di
Filipina juga memperhatikan petani tembakau dan menyediakan dana bagi asuransi
kehatan untuk masyarakat miskin. Karena Indonesia memiliki masalah serupa dengan
Filipina, contoh keberhasilan Filipina bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia.
Sebagaimana proses perubahan kebijakan lainnya, reformasi kebijakan cukai rokok di
Indonesia mendapatkan tentangan dari berbagai kelompok kepentingan. Oleh karena
itu, laporan ini akan mengidentifikasi beberapa pemahaman yang keliru berkaitan
dengan kenaikan cukai tembakau. Misalnya mengenai pertanian tembakau dan
cengkeh dimana ternyata sebagian dari mereka tidak bekerja secara penuh waktu.
Serta, tersedianya banyak waktu untuk melakukan perubahan pekerjaan dari pertanian
tembakau ke pekerjaan lainnya karena proses pengurangan konsumsi rokok berjalan
dengan lama. Tentu saja hal ini didasarkan atas kesukarelaan dan keinginan dari para
petani tembakau tersebut. Pada saat yang sama, perubahan kegiatan ekonomi yang
sebagai implikasi adanya perubahan konsumsi tembakau ke konsumsi barang-barang

1
lainnya akan menciptakan jumlah lapangan kerja melampaui hilangnya lapangan
kerja akibat berkurangnya kegiatan yang berkaitan dengan tembakau. Di samping
itu, reformasi sistem cukai tembakau yang menyederhanakan jumlah batasan tarif
berpotensi mengurangi aktivitas rokok ilegal karena sistemnya yang lebih sederhana
dan mudah diimplementasikan.
Berdasarkan pengalaman kenaikan cukai tembakau dan hasil prediksi pemodelan
ekonometrik, Pemerintah Indonesia memperoleh tambahan penerimaan cukai setelah
pemerintah menaikkan cukai. Penerapan Kurva Laffer untuk situasi di Indonesia dirasa
tidak tepat, dimana situasi di Indonesia saat ini masih jauh dari titik penerimaan negara
maksimal yang ditunjukkan dari berbagai hasil pemodelan cukai. Selain itu, mengadopsi
cukai tembakau yang pro-kesehatan akan memiliki dampak positif bagi masyarakat
miskin dan mendukung strategi pengurangan kemiskinan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani tujuan
pembangunan berkelanjutan atau UN Sustainable Development Goals (SDGs) telah
berkomitmen untuk mengurangi sepertiga kematian dini akibat penyakit tidak menular
di tahun 2030. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan mengimplementasikan kebijakan
cukai tembakau yang pro-kesehatan. Berkaitan dengan hal ini, sikap Kementerian
Kesehatan adalah:
1. Mendukung Kementerian Keuangan mengimplementasikan rencana
penyederhanaan sistem cukai hasil tembakau.
2. Meningkatkan tarif cukai hasil tembakau dengan tinggi di atas level inflasi
dan pertumbuhan pendapatan, sehingga harga rokok menjadi semakin tidak
terjangkau.
3. Mendukung Kementerian Keuangan mempercepat rencana penyederhanaan
sistem cukai hasil tembakau dan, untuk mempersempit jarak harga termurah
dengan termahal, menetapkan maksimal hanya 2 golongan tarif cukai.
4. Menghapuskan kebijakan tarif maksimum cukai hasil tembakau, di mana saat ini
ditetapkan 57% dari harga jual eceran.
5. Menerapkan aturan untuk mengendalikan peredaran rokok illegal dengan
memperkuat penegakan hukum dan didukung dengan sistem yang dapat
diandalkan.
6. Mengubah fokus dampak kebijakan cukai tembakau, dimana saat ini lebih terfokus
pada dampaknya terhadap industri tembakau, menjadi lebih fokus ke dampak
positifnya terhadap kualitas kesehatan masyarakat, penurunan kemiskinan,
peningkatan kesejahteraan sosial dan kemakmuran ekonomi bangsa.
7. Mengalokasikan (earmarking) penerimaan cukai tembakau yang tinggi untuk
membiayai JKN-KIS, program kesehatan masyarakat, dan pencegahan penyakit
tidak menular.

2
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN
Penduduk yang sehat merupakan salah satu hal yang penting
bagi ekonomi suatu bangsa dan negara. Konsumsi tembakau juga
meningkatkan ketimpangan pada kesehatan dan ekonomi, dimana yang
paling terdampak adalah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Data terakhir SUSENAS 2016 menunjukkan bahwa konsumsi tembakau
menaikkan tingkat kemiskinan baik di area perkotaan maupun pedesaan
sebesar 10,7%.
Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan INPRES
untuk mendorong masyarakat hidup sehat melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(GERMAS). Memahami dampak penggunaan tembakau yang merusak kesehatan dan
perekonomian, dan Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk meningkatkan cukai
tembakau sebesar 200% dari nilai di tahun 2013, dengan inisiasinya di tahun 2015 lalu.
Oleh karena Tarif cukai tembakau di Indonesia masih tergolong rendah dan struktur
cukainya rumit, jika dibandingkan dengan standar global. Sehingga harga rokok tersebut
semakin mendorong anak-anak dan remaja untuk memulai merokok.
Kebijakan cukai tembakau saat ini tidak mengikuti kenaikan pendapatan masyarakat
yang menyebabkan harga rokok di Indonesia semakin murah dan terjangkau dari
waktu ke waktu. Sehingga tujuan kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia yang
seyogyanya untuk mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau, meningkatkan
penerimaan negara dari cukai dan mengawasi peredaran barang dan jasa yang terkena
cukai tidak akan terealisasi sepenuhnya.
Studi yang dilakukan di Indonesia dan di berbagai negara lainnya menunjukkan bahwa
cukai tembakau yang tinggi sangat efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau
khususnya pada remaja dan penduduk miskin. Salah satu contoh negara yang berhasil
reformasi sistem cukai rokok adalah Filipina dimana proses reformasi kebijakan cukai
tembakau telah berhasil mengurangi tingkat konsumsi tembakau secara signifikan,
meningkatkan penerimaan negara pada saat yang sama dapat mengendalikan dengan
ketat peredaran rokok ilegal.
Demi kepentingan kesehatan dan pendapatan, Kementerian Kesehatan mendorong
Kementerian Keuangan agar mempertimbangkan angka kerugian kesejahteraan
sosial akibat dari konsumsi rokok, eksternalitas akibat konsumsi rokok termasuk biaya
perawatan kesehatan dan kontribusi konsumsi rokok terhadap kemiskinan, mendukung
dalam mengamandemen UU Cukai untuk mengubah fokus pada industri hasil tembakau
menjadi terfokus pada kesehatan masyarakat dan kesejahteraan sosial.
Buku policy paper Peningkatan Tarif Cukai Hasil tembakau Indonesia yang Lebih Sehat
ini sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan kenaikan cukai tembakau.
Perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusun buku ini, yaitu para pakar/ahli
di lingkungan Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Lembaga, para penggiat
pengendalian tembakau, akademisi/universitas, dan organisasi yang peduli pada
kesehatan masyarakat yang telah memberikan masukan untuk memperkaya buku ini.

Jakarta, Mei 2018


Menteri Kesehatan RI

Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K)

3
KATA PENGANTAR
Kondisi Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, prevalensi perokok semakin
meningkat terutama pada pria begitu pula pada perempuan termasuk pada remaja.
Tarif cukai tembakau di Indonesia masih tergolong rendah dan struktur cukainya
rumit, jika dibandingkan dengan standard global. Tingkat rata-rata cukai tembakau di
Indonesia hanya berkisar 37% dari harga jual eceran, sementara tingkat cukai tembakau
yang direkomendasikan secara global sebesar 70% dari harga jual eceran. Kebijakan
cukai tembakau saat ini tidak mengikuti kenaikan pendapatan masyarakat yang
menyebabkan harga rokok di Indonesia makin terjangkau dari waktu ke waktu. Karena
itu, harga rokok yang terjangkau tersebut tidak mendorong perokok untuk berhenti
merokok dan justru mendorong anak-anak dan remaja untuk memulai merokok.
Studi yang dilakukan di Indonesia dan di berbagai negara lainnya menunjukkan bahwa
cukai tembakau yang tinggi sangat efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau
khususnya pada remaja dan penduduk miskin. Salah satu contoh negara yang berhasil
reformasi sistem cukai rokok adalah Filipina dimana proses reformasi kebijakan cukai
tembakau telah berhasil mengurangi tingkat konsumsi tembakau secara signifikan,
meningkatkan penerimaan negara serta dan pada saat yang sama dapat mengendalikan
dengan ketat peredaran rokok ilegal.
Terkait hal tersebut diatas, maka disusunlah buku policy paper Peningkatan Tarif Cukai
Hasil tembakau untuk Indonesia yang Lebih Sehat sebagai bahan pertimbangan dalam
penentuan kebijakan kenaikan cukai tembakau.
Perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusun buku ini, yaitu para pakar/ahli
di lingkungan Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Lembaga, para penggiat
tembakau, akademisi/universitas, dan organisasi yang peduli pada kesehatan
masyarakat yang telah memberikan masukan untuk memperkaya buku ini.

Jakarta, Mei 2018


Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

dr. Anung Sugihantono


NIP 196003201985021002

4
DAFTAR ISI
Abstrak 1

Sambutan Menteri Kesehatan 3

Kata Pengantar 4

Daftar Isi 5

Pendahuluan 6

Kondisi Konsumsi Rokok di Indonesia 6

Dampak Ekonomi akibat Penggunaan Produk Hasil Tembakau 8

Cukai Rokok Untuk Peningkatan Kesehatan Masyarakat dan Ekonomi 10

Studi Kasus: Reformasi Kebijakan Cukai Tembakau di Filipina 12

Mengapa Pengalaman Filipina Relevan bagi Indonesia? 14

Permasalahan Yang Terkait Dengan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 15

Apakah Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Berdampak Signifikan Pada 16

Tenaga Kerja?

Cukai Produk Tembakau dan Pendapatan Pemerintah 17

Cukai Produk Tembakau dan Masyarakat Miskin 17

Cukai Hasil Tembakau dan Rokok Ilegal 18

Komitmen Untuk Indonesia yang Lebih Sehat 19

Kesimpulan dan Rekomendasi 19


Referensi 21

Ucapan Terima Kasih 24

5
PENDAHULUAN
“Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Mendukung Visi Presiden Joko Widodo
untuk Indonesia Sehat”
Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden untuk
mendorong masyarakat hidup sehat melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(GERMAS). Peraturan Presiden No. 2/2015 membawa kearah yang lebih menjanjikan
dengan adanya pengurangan prevalensi merokok pada remaja (<18tahun) dari 7,2% di
tahun 2014 menjadi 5,4% pada tahun 2019. Memahami dampak penggunaan tembakau
yang merusak kesehatan dan perekonomian, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk
meningkatkan cukai tembakau sebesar 200% dari nilai di tahun 2013, dengan inisiasi di
tahun 2015 lalu
Policy paper ini menyajikan bukti-bukti kuat bahwa meningkatkan cukai tembakau
merupakan strategi paling efektif untuk membangun kesehatan bangsa Indonesia.
Tembakau merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang utama di seluruh dunia
dan di Indonesia. Penggunaan tembakau juga memperburuk masalah kemiskinan
dan mengganggu pembangunan perekonomian. Kebijakan tembakau yang pro-
kesehatan dapat secara serentak menyelamatkan kehidupan, mengurangi membiayai
pembangunan (World Bank, 2017b).

KONDISI KONSUMSI ROKOK DI INDONESIA


Prevalensi merokok di Indonesia meningkat secara terus-menerus. Prevalensi merokok
laki-laki dewasa meningkat dari 53,4% di tahun 1995 menjadi 68,1% di tahun 2016,
sementara itu pada wanita dewasa meningkat dari 1,7% di 1995 menjadi 6,7% di 2013
dan menurun sedikit di 2016 (SKRT, 1995), (SURKESNAS, 2001), 2004, RISKESDAS
2007, 2010, 2013, SIRKESNAS, 2016; (Gambar 2). Data survey nasional yang terakhir
memperlihatkan prevalensi merokok pada laki-laki dewasa sangat memprihatinkan.
(BPS,2016).

Gambar 1: Prevalensi Penggunaan Tembakau pada Pria dan Wanita, 1995-2016

100
90
80
70
60
50
40
30
20 4.1
10
0

* Penggunaan Tembakau Termasuk merokok harian dan berkala dan mengunyah


tembakau. Sumber: SKRT (1995), SURKESNAS (2001, 2004), RISKESDAS(2007,
2010, 2013), SIRKESNAS (2016) Indonesia NIHRD-Litbangkes.

6
Data statistik terakhir dari SIRKENAS 2016 (Gambar 3) menunjukan bahwa prevalensi
merokok pada pria mencapai puncaknya pada kelompok umur 25-34 tahun sebesar 75%
pria. Pada umur 35 tahun, prevalensi merokok pada pria secara perlahan mengalami
penurunan namun tidak pernah turun di bawah 51%. Hal ini berarti, sejak umur 15 tahun,
lebih dari 50% laki-laki di Indonesia telah merokok. Sebaliknya, prevalensi merokok pada
wanita mencapai puncaknya di usia lebih tua, dengan peningkatan sebanyak dua kali
lipat, dari 1,7% pada kelompok umur 35-44 tahun menjadi 3,6% pada kelompok umur
45-54 tahun. Prevalensi merokok perempuan dewasa tertinggi pada kelompok usia
yang paling tua, dimana presentasenya mencapai 5,0%. Hal ini dapat dikatakan sebagai
bentuk pergeseran norma sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Fenomena yang
sangat tragis adalah sebanyak 0,8% remaja wanita dan 1,2% remaja pria pada rentang
umur 5-9 tahun juga merokok di usia kanak-kanak.

Gambar 2: Prevalensi Merokok Menurut Umur dan Gender Tahun 2016

DAMPAK KESEHATAN AKIBAT PENGGUNAAN PRODUK HASIL TEMBAKAU

Dari berbagai penelitian, dampak negatif yang serius akibat penggunaan tembakau
terjadi pada hampir seluruh organ manusia. Hal ini menjadi faktor resiko bagi banyak
penyakit tidak menular, sebagian besar penyakit kronis, yang tidak dapat disembuhkan
serta penyakit-penyakit yang mengkhawatirkan yang saat ini yang menyebabkan beban
pada masyarakat. (WHO 2014)
Penyebab utama kematian yang diakibatkan oleh penyakit yang berhubungan dengan
tembakau antara lain penyakit jantung, stroke, kanker dan penyakit saluran pernafasan
khususnya penyakit paru obstruktif kronis (Kosen S, 2001).
Menghisap asap rokok orang lain (perokok pasif) juga berdampak bagi kesehatan. Asap
rokok orang lain telah membunuh 1 orang non perokok dari 8 orang perokok yang aktif
merokok (Schick, Schick, & Glantz, 2006). Tragisnya, pada tahun 2004 sebanyak 28%
anak-anak meninggal akibat dampak rokok pasif. (WHO, 2017b).
Tembakau membunuh lebih dari 7 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya. Lebih
dari 6 juta jiwa meninggal akibat dari penggunaan langsung tembakau sedangkan
sekitar 890.000 jiwa perokok tidak langsung (perokok pasif) meninggal akibat aktivitas
penggunaan tembakau. (WHO, 2017b)

7
Di Indonesia, pada tahun 2013 jumlah total kematian yang berkaitan dengan tembakau
berkisar 240,618 atau 659 jiwa penduduk Indonesia meninggal setiap harinya akibat
merokok (SEATCA, 2016). Kematian pada pria akibat merokok turun tidak proporsional,
di mana lebih dari 21% jumlah populasi meninggal akibat merokok. Meskipun jumlah
wanita di Indonesia yang meninggal akibat rokok (di atas 7% pada angka kematian
wanita) lebih sedikit dibanding pria (SEATCA, 2018). Banyak wanita pada kasus ini
merupakan ibu dan istri yang merawat keluarganya dan kematian mereka menjadi
beban bagi keluarga yang ditinggalkan.

DAMPAK EKONOMI AKIBAT PENGGUNAAN PRODUK HASIL TEMBAKAU

Penduduk yang sehat merupakan salah satu hal yang penting bagi ekonomi suatu
bangsa dan negara. Penelitian pada tahun 2012 menunjukan bahwa merokok dapat
mengurangi pendapatan negara sebesar US$1,4 triliyun (Goodchild, et al., 2017 ).
Pada tahun 2013, Indonesia kehilangan 6.179.773 tahun hilang karena disabilitas yang
disebabkan penyakit yang akibat merokok (National Institute of Health Research &
Development, 2015). Karena pendapatan perkapita per tahun mencapai US $ 3,465
pada tahun 2013, kehilangan ekonomi berkaitan dengan hilangnya produktvitas
mencapai US $ 21,4 milyar, atau Rp. 235,4 Triliun. Hal tersebut tidak termasuk biaya
medis lain akibat merokok. Jika biaya tersebut ditambahkan, total biaya yang hilang
secara keseluruhan akibat merokok, termasuk produktivitas, mencapai Rp 378 Triliyun
(Kosen, 2013).
Studi komperehensif oleh WHO mengestimasi bahwa biaya akibat penggunaan
tembakau di Indonesia jauh lebih besar (Goodchild, et al., 2017). Hal ini menunjukan
bahwa biaya pelayanan kesehatan akibat penggunaan tembakau mencapai Rp 15,075
Triliyun ( 6% dari total belanja kesehatan) di tahun 2012. Biaya total merokok (termasuk
produktivitas yang hilang) sebesar Rp. 639,173 triliyun pada tahun yang sama. Jumlah
tersebut setara dengan 1,8% PDB Indonesia.
Penggunaan tembakau juga meningkatkan ketimpangan pada kesehatan dan ekonomi,
di mana yang paling terdampak adalah kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Masyarakat miskin menanggung beban paling besar akibat penyakit dan kematian
akibat penggunaan tembakau yang disebabkan oleh kurangnya sumber daya untuk
perawatan kesehatan jika sakit dan kematian prematur kepala kepala keluarga
berdampak pada seluruh keluarga, terutama anak-anak. Oleh karena itu, penggunaan
tembakau secara negatif berdampak pada banyak indikator peningkatan kemiskinan
dan menyebabkan kemunduran pembangunan ekonomi negara (WHO, 2017b). Data
terakhir SUSENAS tahun 2016 menunjukkan bahwa penggunaan tembakau menaikan
tingkat kemiskinan baik di area perkotaan maupun pedesaan sebesar 10,7%.
Pengeluaran untuk produk tembakau tidak meningkatkan kesejahteraan dan tidak pula
berdampak pada kebijakan fiscal secara positif, berbeda dengan pengeluaran untuk
pendidikan dan kesehatan. Badan Pusat Statistik pada tahun 2014 menyatakan bahwa
belanja rokok dan sirih merupakan pengeluaran barang tertinggi ketiga di Indonesia,
setelah makanan cepat saji dan beras. Hal ini berarti bahwa pengeluaran untuk tembakau
lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk daging, buah-buahan, sayur-
sayuran dan ikan. Kecenderungan belanja rumah tangga periode 1999-2014 menunjukkan
bahwa rata-rata setiap bulannya, belanja rumah tangga untuk rokok dan sirih meningkat
dari 5,33% dari total belanja rumah tangga, pada tahun 1999 menjadi 6,03% dari
keseluruhan total belanja di tahun 2014 (Badan Pusat Statistik, 2016). Berdasarkan data
BPS pada tahun 2015 terlihat bahwa pengeluaran untuk tembakau menempati urutan
kedua setelah beras pada belanja rumah tangga (Badan Pusat Statistika, 2015). Kondisi
ini sangat mengkhawatirkan, karena membuat masyarakat Indonesia tidak sanggup
mencukupi kebutuhan pokoknya karena memenuhi ketergantungannya pada nikotin.
Jika dhadapkan pada pilhan, makanan bergizi atau sebungkus rokok, perokok sering
memilih untuk merokok daripada makanan bergizi.

8
Pada level ekonomi makro, penelitian Dr. Kosen (2013) menunjukkan belanja rokok
di Indonesia mencapai Rp. 138 Triliyun sementara total kerugian akibat merokok
termasuk hilangnya produktivitas mencapai jumlah Rp.378 Triliyun. Kerugian ekonomi
akibat merokok 3.7 kali lebih tinggi dibanding penerimaan negara yang dihasilkan dari
penjualan rokok.

CUKAI ROKOK UNTUK PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN


EKONOMI

Faktanya, kebijakan pengendalian tembakau secara komperehensif tertuang dalam


Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) dapat mengurangi prevalensi
merokok, sehingga menekan kerugian ekonomi akibat penggunaan hasil tembakau.
Pengenaan cukai tembakau yang tinggi merupakan salah satu instrument pengendalian
tembakau yang efektif dan menguntungkan. Secara umum, setiap kenaikan 10% cukai
tembakau akan mengurangi konsumsi sebesar 4-6%. Di Indonesia, elastisitas permintaan
rokok berkisar dari -0,27 hingga -0,59, bergantung pada model kenaikan cukai yang
digunakan (Djutaharta et al., 2002; De Beyer and Yurekli, 2000). Hal ini berarti setiap
kenaikan harga rokok sebesar 10% akan mengurangi konsumsi rokok sebesar 3 hingga
6%.
Pada tahun 2013, suatu studi dengan menggunakan elastisitas harga permintaan
sebesar -0,47% menunjukkan bahwa kenaikan cukai dari yang berlaku saat ini sekitar
40% menjadi 57% dari harga jual eceran (tarif cukai maksimal menurut UU Cukai), akan
mengurangi jumlah perokok untuk berhenti merokok sebesar 2,8 juta jiwa dan 1,6 juta
jiwa akan terselamatkan dari penyakit akibat merokok (Ahsan et al., 2013).
Studi lain dari Wold Bank tahun 2015 menilai dampak reformasi cukai rokok dengan
menaikkan cukai rokok lebih tinggi (dengan tingkat kenaikan rata-rata 47%) dan
penyederhanaan sistem cukai (dari 12 tingkatan menjadi 6 tingkatan). Hasil studi
ini menunjukkan permintaan rokok mengalami penurunan sebesar 10,4% dengan
skenario elastisitas harga permintaan rokok kretek sebesar -0,42 dan elastisitas harga
permintaan rokok putih sebesar -0,51 (World Bank, 2017a).
Cukai tembakau yang tinggi sangat efektif dalam mengurangi konsumsi merokok
pada remaja (dengan mengurangi perokok pemula) dan masyarakat miskin. Hal ini
dikarenakan kedua kelompok populasi tersebut lebih sensitif terhadap harga. Sebagai
contoh, penelitian yang dilakukan pada masayarakat sosial ekonomi rendah di Amerika
Serikat yang menemukan bahwa mayoritas populasi tersebut akan berhenti merokok
secara permanen setelah terjadi cukai tembakau dinaikkan (Parks, Kingsbury, Boyle,
& Choi, 2017). Hal serupa juga terjadi pada rumah tangga miskin di Indonesia yang
lebih responsif terhadap perubahan harga dengan elastisitas harga rokok sebesar-0,70
dibandingkan dengan rentang elastisitas harga sebesar -0,30 hingga -0,60 di populasi
umum (Adioetomo, Sri Moertiningsih, Djutaharta, Triasih, & Hendratno, 2005).
Segmen penduduk rentan lainnya juga menerima manfaat dari kenaikan cukai
tembakau. Studi terbaru menemukan bahwa harga rokok lebih mahal mendorong
perokok tua (65 tahun ke atas) untuk berhenti merokok (Stevens et al., 2017). Oleh
karena itu, kenaikan cukai rokok juga akan mengurangi risiko akibat merokok seperti
penyakit akibat merokok pada lansia.
Hubungan langsung antara kenaikan cukai dan manfaat bagi kesehatan masyarakat
telah terbukti di banyak negara. Misalnya, AS dan Perancis mencatat penurunan tingkat
kematian akibat kanker paru sebagai bukti implementasi kebijakan pengendalian
tembakau, termasuk peningkatan cukai rokok (Jha, 2009). Selain itu, adanya hubungan
antara cukai atau harga rokok lebih tinggi dengan tingkat kematian bayi yang rendah.
Penelitian di Uni Eropa menemukan bahwa kenaikan harga rokok sebesar € 1 per
bungkus berhubungan dengan penurunan tingkat kematian bayi secara signifikan.
Kenaikan harga rokok di 23 negara Uni Eropa pada tahun 2004-2014 juga memiliki

9
hubungan dengan adanya penurunan jumlah kematian bayi sebesar 9,208 jiwa
(Filippidis FT, Laverty AA, Hone T, Been JV, & Millett C, 2017).
Penurunan prevalensi merokok terbukti mengurangi biaya pelayanan kesehatan
akibat penyakit disebabkan oleh merokok, meningkatkan produktivitas tenaga kerja,
mengurangi disparitas kesehatan, dan memberikan kesempatan bagi masyarakat
miskin untuk mengalokasikan pendapatan mereka yang terbatas untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui pola konsumsi mereka (National Cancer Institute, 2017).

CUKAI ROKOK UNTUK PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN


EKONOMI
Tujuan kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia adalah untuk mengendalikan
konsumsi produk hasil tembakau, meningkatkan penerimaan negara dari cukai, dan
mengawasi peredaran barang dan jasa yang terkena cukai (Surjono, 2017).
Penerimaan cukai tembakau berkontribusi pada anggaran biaya umum, dana bagi hasil
cukai hasil tembakau (DBHCHT) dan pajak rokok daerah. DBHCHT dialokasikan untuk
peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial,
sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan barang kena cukai illegal.
Pajak rokok daerah dialokasikan untuk kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat,
penegakan hukum, serta program lainnya (Surjono, 2017). Amandemen Peraturan
Menteri Kesehatan No. 40 tahun 2016 menjadi No. 53 tahun 2017 memperbolehkan
75% pajak rokok daerah untuk langsung dialokasikan ke program asuransi kesehatan
nasional.
Namun, potensi keseluruhan cukai rokok yang dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi
dan sebagai sumber penerimaan negara tidak akan terealisasi sepenuhnya. Cukai
tembakau di Indonesia masih tergolong sangat rendah dibandingkan dengan ketentuan
dunia. Cukai rokok di Indonesia rata-rata sebesar 37% dari harga penjualan, sementara
UU Cukai yang berlaku saat ini trarif cukai tidak boleh melampaui cukai maksimum
sebesar 57% dari harga eceran. (Ramjani et al., 2017);(World Bank, 2016). Tentunya hal
ini jauh di bawah 70% dari standar yang menjadi tolak ukur yang direkomandasikan oleh
WHO (“WHO | WHO technical manual on tobacco tax administration,” 2016).
Sebagai hasil dari kebijakan cukai dan harga rokok yang belum efektif, harga rokok di
Indonesia menjadi lebih terjangkau di bandingkan masa lalu (Gambar 4: Keterjangkauan
diukur berdasarkan harga relatif terhadap pendapatan). Pada periode 2000 dan 2010
harga rokok di Indonesia 56% lebih terjangkau. Meningkatnya keterjangkauan rokok
(semakin rendahnya rasio antara harga rokok dan pendapatan masyarakat) akan
mendorong meningkatnya prevalensi merokok (Blecher 2018).

10
Gambar 3: Keterjangkauan Rokok dan Prevalensi Merokok di Indonesia 2001 - 2014

Sumber: Evan Blecher, Cigarette Affordability in Indonesia, 2018; berdasarkan data


dari the Economist Intelligence Unit dan World Bank Development Indicators;
Data prevalensi merokok dari Euromonitor.

Saat ini, harga satu bungkus rokok berkisar Rp. 20.000 (Ramjani et al., 2017) atau
sekitar US $ 1,47. Harga rokok di Indonesia berada di urutan ke 68 termurah dari 187
negara di dunia. Di samping itu, harga rokok di Indonesia berada di urutan ke 10 dari
36 negara di Asia Pasifik (WHO, 2017). Bahkan keluarga yang berpendapatan rendah
dengan penghasilan sebesar US $ 6.00 per hari akan mampu untuk membeli sebungkus
rokok. Remaja yang memiliki uang jajan yang cukup juga mampu membeli rokok
pada harga yang berlaku saat ini. Selain itu, masyarakat miskin dan remaja juga dapat
membeli rokok per-batang dari pedagang di pinggir jalan, sehingga rokok semakin
mudah untuk dijangkau.
Peningkatan cukai tembakau tinggi dapat memperbaiki situasi saat ini. Studi dari
berbagai negara menunjukkan cukai tembakau yang tinggi akan diikuti dengan kenaikan
harga rokok yang pada gilirannya akan menyebabkan rokok menjadi tidak terjangkau
masyarakat, khususnya bagi remaja (World Bank, 2017b). Olehnya, hanya kenaikan cukai
tembakau yang tinggi yang akan meningkatkan harga rokok cukup tinggi yang dapat
mendorong orang untuk tidak membeli produk tembakau.
Lebih lanjut, untuk mengatur kenaikan cukai rokok yang lebih tinggi di Indonesia,
dibutuhkan struktur cukai yang lebih sederhana, di mana struktur yang ada saat ini
tidak efisien dan mengurangi manfaat kenaikan cukai rokok bagi kesehatan masyarakat
(World Bank, 2016).
Penerapan paling baik dalam cukai tembakau melalui suatu sistem yang dikenal
sebagai sistem single-tiered (satu tarif cukai untuk semua produk tembakau) dan
spesifik. Saat ini, Indonesia menerapkan sistem multi-tiered pada produk tembakau
yang diklasifikasikan melalui beberapa kategori. Cukai spesifik dikenakan pada produk
tembakau berdasarkan jenis produk (kretek/rokok putih), jenis proses produksi (mesin

11
atau dilinting dengan tangan), tingkat produksi, dan harga eceran. Perbedaan sistem
cukai tembakau ini tidak masuk akal baik dari sisi ekonomi atau kesehatan karena
semua jenis rokok berbahaya, tanpa melihat proses pembuatannya (mesin atau
dilinting), tempat produksinya, dan harganya, sehingga keseluruhan produk tembakau
seharusnya dikenakan cukai yang sama.
Perbedaan tarif cukai pada setiap jenis rokok dapat mengurangi manfaat dari tujuan
kebijakan cukai bagi kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh para perokok
memiliki kesempatan untuk mengubah jenis rokok yang lebih murah jika harga rokok
dinaikkan, sehingga mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok (Yürekli et
al, 2005).
Dalam mengurangi kompleksnya kebijakan dan menekan kesempatan untuk
menghindari pembayaran cukai, pemerintah telah mengimplementasikan sebuah
roadmap untuk penyederhanaan struktur cukai. Pada periode tahun 2009-2015, jenjang
tingkat cukai menurun dari 19 menjadi 12 tingkatan cukai (World Bank, 2016). Peraturan
baru Kementerian Keuangan No 146/PMK.010/2017 menyederhanakan sistem cukai
tembakau dari 12 menjadi 5 tingkatan cukai pada periode 2018 hingga 2021.
Hal ini secara positif dapat mengurangi biaya administrasi dan penegakan cukai serta
mendukung tujuan kenaikan cukai tembakau yaitu peningkatan kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, penyederhanaan sistem cukai harus dipercepat mengingat dampak
akibat penggunaan tembakau di Indonesia begitu mengkhawatirkan. Makin cepat
penyederhanaan sistem cukai makin baik bagi kesehatan masyarakat (mengurangi
perbedaan harga termahal dan termurah sehingga perokok tidak bisa beralih ke
rokok yang lebih murah, kecuali berhenti merokok). Hal ini akan menekan biaya untuk
merokok, sehingga mempercepat akselerasi peningkatan ekonomi. Peningkatan tarif
cukai rokok 2018 sebesar 10% terasa konservatif (rendah) karena masih hanya lebih
sedikit dari patokan umum dimana kenaikan tarif cukai rokok minimal sama dengan
penjumlahan antara tingkat inflasi (4,8%) dan pertumbuhan ekonomi (4.%). Hal ini
diperkirakan akan tetap membuat harga rokok tetap terjangkau.

STUDI KASUS: REFORMASI KEBIJAKAN CUKAI TEMBAKAU DI FILIPINA

Banyak negara telah mengimplementasikan reformasi cukai rokok dengan sukses,


salah satunya adalah Filipina. Sebelum reformasi cukai tembakau, Filipina memiliki
beban akibat penggunaan tembakau. Pada tahun 1991, 32% penduduk Filipina
merokok, dengan prevalensi merokok tertinggi pada pria. (WHO, 2013). Disparitas
merokok menurut gender yang terjadi di Filipina serupa dengan kondisi yang terjadi
saat ini di Indonesia. Filipina bergabung FCTC di tahun 2005 dan memulai untuk
mengimplementasikan strategi MPOWER untuk mengurangi penggunaan tembakau.
Salah satu strategi adalah reformasi kebijakan cukai tembakau.
Reformasi cukai di Filipina melibatkan dua produk yaitu rokok dan alkohol. Tujuan
dari reformasi cukai tembakau adalah menyederhankan struktur cukai dari 4 tingkatan
menjadi 1 tingkatan yang pada saat bersamaan cukai tembakau dinaikkan (Gambar
5). Motivasi penyederhanaan sistem cukai ini adalah untuk mengontrol industri
menghindari pembayaran cukai dan mengurangi beban administrasi pembayaran cukai.
Peningkatan cukai didasari oleh dua hal, mengurangi konsumsi rokok dengan tujuan
untuk peningkatan kesehatan masyarakat dan mendorong target pendapatan negara.
Pemerintah Filipina menggunakan 15% pendapatan dari reformasi cukai tembakau
yang ditujukan untuk petani tembakau dan membantu mereka melakukan diversifikasi
tanaman. Sementara sisanya sebesar 85% dari pendapatan tersebut digunakan untuk
mendanai asuransi nasional (80% dari 85%) dan pelayanan kesehatan serta perbaikan
fasiitas kesehatan (20% dari 85%). Seluruh proses reformasi kebijakan cukai ini
dilaksanakan secara bertahap selama 5 tahun, dari tahun 2012 hingga 2017 (Gambar 5).

12
Gambar 4: Peta Reformasi Cukai Filipina

Reformasi cukai berhasil meningkatkan kesehatan masyarakat dan perekonomian.


Prevalensi merokok turun secara drastic dan penurunan ini dikonfirmasi dari tiga studi/
survei nasional yang representatif secara nasional (Gambar 6). The Global Tobacco
Adult Survey (GATS), misalnya, melaporkan bahwa adanya penurunan yang signifikan
prevalensi merokok dari 29,7% di tahun 2009 menjadi 23,8% di tahun 2015.

Gambar 5: Prevalensi Merokok di Filipina (1)

Selain penurunan prevalensi merokok, pemerintah Filipina memperoleh tambahan


penerimaan dari cukai yang sangat besar, melebihi perkiraaan, terutama dari produk
tembakau (Gambar 7).

13
Gambar 6: Prevalensi Merokok di Filipina (2)

Earmarking cukai pajak yang ringan yang diiringi dengan melalui reformasi cukai di
Filipina telah berhasil mengumpulkan dana $3,9 juta untuk asuransi kesehatan nasional
dan meningkatkan anggaran Kementerian Kesehatan menjadi 3 kali lipat dari US $
822 miliar (2012) menjadi US $ 2,3 juta (2016). Jumlah keluarga miskin yang menerima
subsidi asuransi kesehatan pun mengalami kenaikan dari 5,2 milyar (2012) menjadi 15,4
miliar (2015), serta masyarakat lanjut usia juga mendapatkan asuransi kesehatan sebesar
2,8 milyar (Kaiser, Bredenkamp, & Iglesias, 2016).
Ancaman terhadap maraknya produk hasil tembakau dari pasar perdagangan gelap
pun tidak terbukti. Penerapan reformasi cukai yang dilaksanakan melalui penguatan
penegakan hukum oleh Biro Pendapatan Internal, termasuk di dalamnya pita cukai
holographic di tahun 2014 mampu meningkatkan kepatuhan terhadap sistem cukai yang
baru (Kaiser et al., 2016).

MENGAPA PENGALAMAN FILIPINA RELEVAN BAGI INDONESIA?

Indonesia, seperti halnya Filipina sebelum reformasi cukai, memiliki sistem cukai yang
kompleks yang mendorong orang untuk menghidari membayar cukai dan secara
administrasi mahal (World Bank, 2016). Sebagaimana di Indonesia, Filipina juga memiliki
tingkat cukai tembakau yang rendah, sehingga harga rokok menjadi terjangkau.
Reformasi cukai di Filipina diatur dengan penyederhanaan struktur cukai yang pada
hakekatnya untuk meningkatkan pendapatan dari cukai tembaku (menaikkan 341%
pada tahun pertama reformasi), mengurangi konsumsi menghasilkan pendapatan pajak
rokok yang lebih besar.
Pada saat yang bersamaan, cukai hasil tembakau dipergunakan untuk menjamin
pendanaan asuransi kesehatan nasional dan sistem kesehatan secara keseluruhan
bersamaan dengan upaya membantu petani tembakau untuk diversifikasi tanaman
alternatif selain tembakau. Hal ini merupakan situasi yang menguntungkan bagi semua
pihak baik kesehatan masyarakat, pendapatan pemerintah dan perekonomian di
Filipina.
Di Indonesia program Jaminan Kesehatan Nasional (Program JKN) telah
diimplementasikan sejak tahun 2014. Seiring waktu pelaksanaan BPJS yang merupakan
badan penyelenggara JKN mengalami defisit. Defisit JKN tersebut diperkirakan
mencapai Rp 9 Triliyun pada tahun 2017. Data statistik menunjukan lebih dari 1/3
biaya klaim JKN berkaitan dengan penyakit kronis yang penyebab utamanya adalah
prevalensi merokok dan gaya hidup yang tidak sehat. Biaya penyakit lainnya, biaya
yang berkaitan dengan perawatan secara umum dapat ditekan. Untuk memastikan

14
keberlanjutan program ini, pemerintah seharusnya mencarikan mekanisme pendanaan
yang lebih baik. Dana cukai merupakan sumber pendanaan yang paling tepat untuk
mendanai defisit JKN karena cukai merupakan instrumen fiskal yang mempengaruhi
perilaku masyarakat agar lebih sehat melalui penurunan konsumsi barang kena cukai
yaitu produk tembakau dan minuman alkohol. Peningkatan tarif cukai produk tembakau
akan meningkatkan harga dan diharapkan mampu mengurangi konsumsi rokok. Hal
ini akan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat seiring dengan turunnya angka
kesakitan dan kematian terkait dengan konsumsi rokok.

Tabel 1 Proyeksi Surplus dan Defisit Program JKN 2018-2021

Sumber : BPJS Kesehatan 2017

Seperti pada Filipina, ada potensi bagi pemerintah Indonesia untuk menggunakan
pendapatan dari cukai hasil tembakau dan pajak rokok sebagai pendanaan program
JKN-KIS sehingga seluruh kebutuhan masyarakat untuk mengakses dengan mudah
pelayanan kesehatan yang berkualitas baik. Hasil survei menunjukan masyarakat
Indonesia sebagian besar termasuk perokok mendukung kenaikan cukai hasil tembakau
dan menggunakannya sebagai pendanaan JKN-KIS (Prof. Hasbullah Thabrany &
Laborahima, 2016). Jika JKN-KIS dibiayai oleh peningkatan cukai hasil tembakau, maka
Indonesia dapat memperoleh dua kali lipat manfaat yang sama dengan Filipina yaitu
menekan angka konsumsi rokok dan layanan perawatan kesehatan yang lebih baik
bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut akan meningkatkan produktivitas bangsa dan
melindungi generasi muda ynag merupakan aset bangsa.
BPJS Kesehatan memperkirakan defisit pendanaan JKN KIS 2018-2021 akan berada
pada kisaran Rp. 13 Triliun (2018) – Rp. 30 Triliun (2021). Peningkatan tarif cukai rokok
dan reformasi penyederhanaan sistem cukai rokok diharapkan mampu menambah
penerimaan negara dan dananya bisa dimanfaatkan untuk mendanai defisit JKN KIS.

PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU

Adanya penyebararan informasi yang salah terkait Industri Hasil Tembakau (IHT),
dimana terdapat persepsi bahwa IHT merupakan Industri yang mempunyai peranan
penting dalam perekonomian suatu negara untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan
berkontribusi dalam pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) (Frieden & Blakeman,
2005). Bagaimanapun, seperti yang telah digarisbawahi pada makalah ini, bahwa
resiko beban biaya kesehatan masyarakat pada konsumsi hasil tembakau dalam jangka
panjang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi. Selain itu, faktanya
beberapa negara yang telah berhasil menekan konsumsi tembakau tidak berdampak
buruk pada perekonomian meraka (misal: Australia, New Zealand, Hongkong) adalah
negara makmur.

15
APAKAH KENAIKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU BERDAMPAK SIGNIFIKAN PADA
TENAGA KERJA?

Jumlah tenaga kerja di Industri Hasil Tembakau hanya 0,6% dari seluruh pekerja di
Indonesia. Jumlah ini hanya 5,3% dari jumlah keseluruhan tenaga industri manufaktur.
Jika dibandingkan sektor lain, angka ini tergolong kecil, misalnya pabrik makanan
memiliki tenaga kerja 27,43% atau pabrik tekstil yang memperkerjakan 11,43% dari
seluruh pekerja industri manufaktur (World Bank, 2017a).
Presentase jumlah petani tembakau di Indonesia juga hanya sebesar 1,6% dari total
keseluruhan petani Indonesia. Terdapat total 689.360 jumlah penanam tembakau
(SEATCA, 2013) Pada saat yang bersamaan petani tembakau dan pelinting rokok kretek
hanya bergantung secara parsial terhadap pasar tembakau. Pendapatan melinting rokok
kretek rumah tangga hanya 43% dari pendapatan rumah tangga yang bekerja pabrik
rokok kretek. Hanya sekitar ¾ dari rumah tangga petani tembakau mendapat hampir
50% dari pendapatan penanaman tembakau, sementara itu ketergantungannya masih
¼ dari perkebunan tembakau. Sementara itu, hanya setengah dari petani cengkeh yang
mendapatkan kurang dari 20% pendapatan rumah tangganya dari perkebunan cengkeh
(World Bank, 2017a)
Hasil studi yang dilaksanakan oleh Muhamadiyah Tobacco Control Centre (MTCC)
menemukan bahwa petani tembakau tidak menganggap bahwa perkebunan tembakau
memiliki keuntungan yang baik, hal ini disebabkan oleh ketergantungan terhadap
faktor yang tidak dapat diprediksi seperti cuaca dan permintaan pasar sedangkan
Industri Hasil tembakau (IHT) bersifat monopoli. Studi ini juga melakukan observasi
terhadap kemungkinan perubahan pikiran petani tembakau untuk menanan tanaman
alternatif lain . Sebagai catatan penting, bahwa sebagian besar petani menyadari bahwa
kebiasaan merokok berbahaya untuk kesehatan dan penyebab kanker (MTCC, 2015)
“Petani Tembakau Indonesia Mendukung Pengendalian Tembakau”.
-Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC)-

Strategi pengendalian konsumsi hasil tembakau yang efektif yaitu dengan menaikan
cukai hasil tembakau untuk mengurangi konsumsi. Namun, pengurangan konsumsi
tembakau akan terjadi secara bertahap yang berdampak pengurangan permintaan
daun tembakau. Hal ini berarti bahwa petani tembakau tidak akan dihadapkan pada
permintaan yang turun drastis dikarenakan dampak kebijakan pengendalian
tembakau. Tahapan waktu penurunan konsumsi hasil tembakau akan memberikan
waktu kepada petani untuk melakukan diversifikasi tanaman alternatif dan
menyediakan kesempatan kepada pemerintah untuk memberikan bantuan pada masa
transisi sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Filipina (WHO, 2008); (Kaiser et al.,
2016)
Beberapa studi termasuk laporan dari World Bank, menyatakan bahwa pada saat
masyarakat tidak lagi menghabiskan uang untuk konsumsi rokok, hal tersebut tidak
menyebabkan kerugian ekonomi, sebagai gantinya masyarakat akan membelanjakan
uang tersebut untuk kebutuhan yang lebih penting. Hal ini akan berdampak pada
peningkatan baik lapangan pekerjaan maupun kegiatan ekonomi pada sektor lainnya
yang lebih menjanjikan dan bermanfaat dibandingkan dengan Industri Hasil Tembakau.
(Frieden & Blakeman, 2005), (Buck Et al, 1995); (Ahsan, A; and Wiyono, N., 2007). Oleh
karena itu, dapat disimpulkan kebijakan pengendalian tembakau akan menghasilkan
lapangan pekerjaan baru, bukan kebijakan yang akan merugikan tenaga kerja.

16
CUKAI PRODUK TEMBAKAU DAN PENDAPATAN PEMERINTAH
Pemerintah Indonesia telah mengumpulkan USD 10,29 juta dari cukai hasil tembakau
pada tahun 2016, hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 15,3% jika
dibandingkan di tahun 2015. Nilai ini mewakili sekitar 10,8% dari pendapatan pajak
negara. Kontribusi pendapatan cukai (cukai berasal dari hasil tembakau, alkohol, dan
etil alkohol) terhadap total pendapatan pajak terus meningkat, dengan jumlah lebih dari
95% pendapatan cukai berasal dari produk tembakau (Surjono, 2017). Hal ini membuat
pemerintah mudah untuk mendapatkan kritik akibat fluktuasi pendapatan pajak
tembakau.
Banyak studi menyatakan bahwa pendapatan pemerintah meningkat setelah kenaikan
tariff cukai atau reformasi cukai dengan cara penyederhanaan sistem /struktur cukai.
Sebuah studi baru di India menunjukkan bahwa negara dapat menghasilkan hampir
USD 3,9 juta dengan meningkatkan cukai pada bidis dari 9% hingga 40% dan pada
rokok dari 38% menjadi 78% (John et al, 2015). Dampak dari kebijakan tersebut adalah
pendapatan India akan meningkat, dan manfaat lainnya biaya kesehatan rendah dampak
dari masyarakat yang sehat dari berhenti merokok.
Sebuah studi di Cina menyimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau sebesar 25% akan
menurunkan konsumsi rokok sebesar 4,54 juta bungkus dan memberikan tambahan
pendapatan sebesar 24,58 juta yuan (USD 3 juta). Analisis ini mengindikasikan bahwa
sebanyak 5,76 juta hingga 8,64 juta perokok diperkirakan akan berhenti merokok dan
sebanyak 1,44 juta hingga 2,16 juta kehidupan terselamatkan (lives saved). Tabungan
pembiayaan perawatan kesehatan diperkirakan mencapai 415 juta hingga 672 juta yuan
(USD 50-81 juta)(Hu & Mao, 2002).
Di Indonesia, Ahsan et al (2013) melakukan perhitungan bahwa kenaikan cukai rokok
hingga mencapai tarif 57% dari harga jual eceran (sesuai dengan UU Cukai) dan
70% dari harga jual eceran (sesuai standar global) akan meningkatkan penerimaan
pemerintah dari Rp 73,35 Triliyun menjadi Rp 115,96 Triliyun dan Rp.134,94 Triliyun
pada tahun 2011. Kondisi ini sudah memperhitungkan penurunan konsumsi rokok dari
10.442,91 juta bungkus rokok per tahunnya menjadi 8.604,62 juta bungkus dan 5.690,20
juta bungkus rokok per tahunnya (Ahsan et al., 2013)
World Bank pada tahun 2015 melaksanakan studi di Indonesia mengenai dampak
kenaikan 47% pada tingkat rata-rata cukai hasil tembakau dan penyederhanaan dari
12 struktur tariff cukai menjadi 6 struktur tariff cukai didapatkan bahwa pendapatan
pemerintah akan meningkat sebesar 8,4% (World Bank, 2017a).
Penerimaan negara secara maksimum yang digambarkan didalam kurva Laffer bukanlah
pendekatan yang benar, karena Indonesia belum mendekati titik maksimum penerimaan
negara, seperti yang telah dijelaskan pada model latihan pajak ini dan lainnya (WHO,
2017c). Di samping itu, penelitian menunjukan bahwa titik maksimum pendapatan tidak
tetap, melainkan berubah seiring dengan PDB dan pertumbuhan pendapatan yang
beriringan dengan kenaikan cukai dengan kenaikan pendapatan pendapatan dari cukai
(Walbeek, 2002).

CUKAI PRODUK TEMBAKAU DAN MASYARAKAT MISKIN

Laporan WHO (2005) menyimpulkan berdasarkan bukti penelitian yang sangat jelas
menyatakan bahwa cukai hasil tembakau yang tinggi akan menghasilkan harga rokok
yang tinggi merupakan satu-satunya instrumen yang konsisten secara efektif dalam
mengurangi konsumsi rokok, khususnya pada remaja dan masyarakat miskin. Banyak
studi menunjukan bahwa cukai hasil tembakau yang tinggi adalah kebijakan yang pro
terhadap masyarakat miskin. Studi di Thailand dan Nepal menemukan bahwa kelompok
masyarakat miskin dan kelompok usia remaja lebih responsif terhadap harga, hal
tersebut terlihat terjadi penurunan konsumsi rokok pada dua kelompok tersebut setelah
pemerintah menaikan harga rokok dibandingkan kepada kelompok masyarakat kaya dan
kelompok usia dewasa (Sarntisart, 2003).

17
Pendekatan yang yang dilakukan oleh Adioetomo et al (2001) menemukan bahwa
rumah tangga di Indonesia yang berpendapatan sangat rendah lebih responsif terhadap
perubahan harga rokok.
Studi terbaru yang dilaksanakan oleh World Bank memberikan bukti dengan skenario
yang lebih komperehensif termasuk di dalamnya manfaat yang diperoleh melalui
rendahnya biaya medis dan peningkatan usia kerja, secara keseluruhan, efek moneter
pada peningkatan cukai hasil tembakau yang tinggi adalah sangat jelas positif
khususnya bagi penduduk yang pendapatan rendah. (Alan Fuchs; Francisco Jalles
Meneses, 2017).

CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN ROKOK ILEGAL

Perdangan illegal merupakan risiko yang dapat dijelaskan secara realistis. Meskipun
penghindaran pembayaran cukai dapat mengurangi keefektivitasan cukai hasil
tembakau, persentase rokok ilegal hanya 9% sampai 11% pasar rokok global (Luk
Joossens, Hana Ross, & Martin Raw, 2010). Angka ini kemungkinan masih lebih rendah
di Indonesia dimana penghindaran pembayaran cukai digerakkan oleh struktur cukai
yang kompleks yang menjadi yang sumber kebocoran cukai hasil tembakau. Sebuah
studi memperkirakan jumlah penyebaran rokok ilegal di Indonesia sebesar 8% dari
total rokok yang ada di pasar pada tahun 2013 (Dikutip dari Abdillah Ahsan, Nur Hadi
Wiyono, Diahhadi Setyonaluri, Ryan Denniston dan Anthony D So. Illicit cigarette
consumption and government revenue loss in Indonesia. Globalization and Health 2014,
10:75)
Perdagangan gelap disebabkan oleh banyaknya faktor. Hal ini terjadi bahkan di negara
yang memiliki cukai hasil tembakau yang rendah. Faktor-faktor tersebut di antaranya
adalah lemahnya peraturan pemerintah, kurangnya penegakan hukum, korupsi,
keterlibatan industri tembakau, dan efektivitas administrasi pajak menjadi faktor
penting yang berkontribusi terhadap perdagangan gelap (William Savedoff & Albert
Alwang, 2015; L. Joossens & Raw, 2003). Sebuah Studi dari Thailand menyatakan
bahwa level cukai rokok tidak memiliki hubungan dengan tingkat perdagangan gelap,
tetapi kenaikan pajak yang lebih tinggi terasosiasi dengan penurunan konsumsi rokok
(Pavananunt, 2011).
Pada tahun 1994, sebagai respon atas tekanan dari industri tembakau, Pemerintah
Kanada mengurangi cukai rokok sebagai tindakan atas ketakutan peningkatan tindakan
penyelundupan. Bagaimanapun, tindakan ini memiliki konsekuensi yang negatif.
Prevalensi merokok mengalami peningkatan khususnya diantara remaja, hal ini terlihat
dari lonjakan dari 16% hingga 20%, sementara pemerintah mengalami penurunan
pendapatan yang mengejutkan sebesar 1,200 juta dollar Kanada. Sebagai tambahan,
Pemerintah Kanada menemukan bahwa industri tembakau bertanggung jawab atas
penyelundupan yang merajalela. Setelah kejadian tersebut, Pemerintah menunjukan
kekuatan dengan mengajukan gugatan melawan R.J Reynolds dan Dewan Pabrik
Tembakau di Kanada. Perusahaan-perusahaan tembakau diputuskan bersalah dan
membayar biaya pinalti yang besar atas mengadakan kegiatan yang ilegal (Joossens &
Raw, 2000).
Oleh karena itu, penekanan perdagangan illegal bukanlah dengan menurunkan pajak
tembakau. Industri Hasil Tembakau seharusnya tidak dapat menggunakan issue bahwa
kenaikan harga rokok berdampak pada kenaikann rokok illegal karena hal tersebut
tidak terbukti. Hal ini dapat dilihat dari suksesnya negara-negara yang telah berhasil
mengimplementasikan beberapa tindakan penegakan hukum (termasuk di dalamnya
teknologi sistem tracking and tracing) yang dapat mengawasi perdagangan ilegal
rokok sekaligus mengimplementasikan kebijakan pajak tembakau yang pro terhadap
kesehatan. (Ross, 2017).

18
KOMITMEN UNTUK INDONESIA YANG LEBIH SEHAT

Menyadari dampak merugikan dari konsumsi rokok terhadap kesehatan dan


perekonomian, dibutuhkan adanya intervensi dari pemerintah untuk memperbaiki
masalah tersebut. Fakta dan bukti dengan tegas menjelaskan bahwa instrumen yang
paling tepat untuk mengurangi konsumsi rokok adalah kebijakan kenaikan cukai hasil
tembakau.
Undang-undang No. 39 tahun 2007 tentang Cukai menyatakan bahwa tujuan pungutan
cukai adalah untuk mengendalikan konsumsi dan mengawasi peredaran barang kena
cukai, dalam kasus ini adalah rokok yang merupakan produk dari hasil tembakau. Oleh
karena itu, tujuan utama pungutan cukai hasil tembakau bukanlah untuk menghasilkan
penerimaan negara akan tetapi untuk menurunkan konsumsi rokok. Tarif cukai rokok
pada saat ini terbukti tidak efektif dalam menurunkan konsumsi, oleh karena itu
dibutuhkan perubahan yang terstruktur dan efektif dalam menurukan konsumsi rokok.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 40 dari tahun 2013 tentang “Road
Map Pembatasan Konsumsi Rokok untuk Kesehatan” menyatakan bahwa selama periode
tahun 2015-2019, pemerintah akan: (a) mengurangi prevalensi merokok sebesar 1%
per tahun, (b) mengurangi inisiasi merokok sebesar 1% pertahun. Saat ini kebijakan
cukai adalah menaikan tarif cukai tembakau yang hanya sekitar 10%, hal ini tidak
cukup, karena inflasi dan pertumbuhan pendapatan akan mengikis dampak kenaikan
cukai tersebut dan akan meningkatkan keterjangkauan harga rokok. Jika harga rokok
terjangkau, pemerintah tidak akan mencapai tujuannya yaitu penurunan prevalensi
merokok. Oleh karena itu, kenaikan cukai tembakau yang sangat tinggi dibutuhkan
untuk membuat rokok tidak mudah dijangkau, khususnya bagi remaja dan anak-anak.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)
yang telah ditandatangani oleh Wakil Presiden Jusuf kalla, menyatakan bahwa
pemerintah pada bagian tujuan no 3 (Kesehatan dan Kemakmuran hidup), target 3.4
akan mengurangi satu dari tiga kematian dini akibat penyakit tidak menular melalui
pencegahan, perawatan dan perbaikan kesehatan mental dan kesejahteraan pada
tahun hingga tahun 2030. Tujuan ini akan dapat dicapai dengan mengimplementasikan
kebijakan cukai hasil tembakau yang pro kesehatan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Fakta-fakta yang telah dijelaskan pada naskah inimemberikan kesimpulan dan
rekomendasi kebijakan sebagai berikut ini:
1. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat konsumsi rokok
yang tinggi di dunia pada kelompok pria dan adanya peningkatan untuk
perempuan dan remaja. Berdasarkan fakta-fakta dari hasil penelitian, WHO dan
World Bank menyimpulkan bahwa cara yang paling efektif untuk mengurangi
konsumsi tembakau dan menyelamatkan hidup masyarakat adalah dengan
menaikan harga produk tembakau melalui peningkatan cukai hasil tembakau.
2. Kementerian Kesehatan mendukung dengan tegas implementasi peraturan
Peraturan Menteri Keuangan No. 146/PMK.010/2017 yang berfokus pada
penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau. Penerapan peraturan ini
seharusnya mempersempit perbedaan antara rokok mahal dan murah, yang
seharusnya hal tersebut dapat mencegah penghindaran cukai. Hal ini akan
meningkatkan keefektivitasan peningkatan cukai hasil tembakau di masa yang
akan datang.
3. Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan Kementerian Keuangan untuk
mengurangi struktur tarif cukai yakni dengan dua tingkatan cukai yaitu satu
untuk produk dengan buatan tangan dan satu produk yang dibuat dengan
mesin. Sistem 2 tingkat (tiered), meskipun masih belum ideal dengan perspektif
kesehatan masyarakat, akan tetapi dapat mendukung tujuan pemerintah yaitu
penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi.

19
4. Kementerian Kesehatan mendorong Kementerian Keuangan untuk
meningkatkan cukai hasil tembakau dalam rangka mengurangi prevalensi
merokok yang sangat tinggi. Oleh karena itu, demi kepentingan kesehatan,
pendapatan, dan pengawasan, Kementerian Keuangan seharusnya
mempertimbangkan angka kerugian kesejahteraan sosial akibat dari konsumsi
rokok, eksternalitas akibat konsumsi rokok termasuk biaya perawatan kesehatan
dan kontribusi konsumsi rokok terhadap kemiskinan ketika memutuskan untuk
meningkatkan cukai hasil tembakau. Besarnya kenaikan tarif cukai dan harga
harus melebihi tingkat inflasi ditambah dengan pertumbuhan pendapatan
masyarakat (pertumbuhan ekonomi). Hal ini untuk memastikan agar harga
rokok tidak terjangkau terutama bagi masyarakat rentan (penduduk miskin,
anak-anak dan remaja).
5. Kementerian Kesehatan mendukung Kementerian Keuangan melakukan
penambahan Barang Kena Cukai (BKC). Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketergantungan pemerintah terhadap Industri Hasil tembakau yang mana
mengganggu perekonomian Indonesia dan ketidakkonsistenan pada komitmen
terhadap keberhasilan SDGs
6. Kementerian Kesehatan mendukung Kementerian Keuangan dalam
mengamandemen UU No 39 tahun 2007 tentang Cukai dalam rangka
mengeliminasi tarif maksimal cukai rokok yang saat ini telah ditetapkan
maksimal sebesar 57% dari harga jual eceran. Hal ini dikarenakan tarif cukai
rokok maksimal membatasi gerak pemerintah dalam meningkatkan tariff cukai
dan harga rokok, dan sekaligus menghambat upaya penurunan konsumsi rokok.
Selain itu, amandemen UU Cukai seharusnya mengubah fokus dari dampak
kebijakan cukai yang tadinya terfokus pada industri hasil tembakau menjadi
terfokus pada kesehatan masyarakat dan kesejahteraan sosial.
7. Kementerian Kesehatan mendukung Kementerian Keuangan dalam mengawasi
pasar rokok ilegal dengan memperkuat komunikasi, koordinasi dan kolaborasi
dengan pejabat lokal dan mengimplementasikan penegakan hukum yang
efektif dengan didukung sistem tracking and tracing pada seluruh produk hasil
tembakau. Penyederhanaan struktur cukai hasil tembakau saat ini diharapkan
akan meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengawasi penyelewengan
cukai hasil tembakau.
8. Mendukung Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 berkaitan dengan
optimalisasi pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional, Kementerian
Kesehatan telah mengamandemen Peraturan No.40 tahun 2016 mengenai
panduan tekhnis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan
kesehatan masyarakat. Sebagai hasilnya, 75% pajak rokok daerah dapat
digunakan untuk mendanai program asuransi kesehatan nasional (JKN). Karena
pendanaan ini masih belum mencukupi untuk melengkapi Instruksi Presiden,
Kementerian Keuangan seharusnya mencontoh kebijakan reformasi cukai
seperti Filipina dan memperuntukan pendapatan cukai hasil tembakau yang
lebih tinggi untuk membiayai JKN-KIS dan program kesehatan masyarakat
lainnya sehingga Program JKN berjalan dengan lancar.
9. Dengan adanya kebutuhan pendanaan JKN-KIS dan program kesehatan
masyarakat lainnya, Kementerian Kesehatan mendukung rencana Kementerian
Keuangan untuk mengembangkan penambahan Barang Kena cukai.
Kementerian kesehatan mendukung pengenaan cukai pada produk-produk
lainnya yang berbahaya bagi kesehatan, termasuk minuman berpemanis
buatan dan produk-produk tidak sehat yang dapat dikonsumsi. Pengembangan
Barang Kena Cukai (BKC) akan memperbaiki kemampuan pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan dan mendukung pembangunan negara, termasuk
didalamnya pencegahan penyakit tidak menular.

20
REFERENSI
Adioetomo, Sri Moertiningsih, Djutaharta, Triasih, & Hendratno. (2005). Cigarette Consumption,
Taxation, and Household Income : Indonesia Case Study (Working Papers). World Bank.
Retrieved from https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/13737

Ahsan, A; and Wiyono, N. (2007). An Analysis of the Impact of Higher Cigarette Prices
on Employment in Indonesia. Retrieved on 18th March 2018 from https://seatca.
org/dmdocuments/An%20Analysis%20of%20the%20Impact%20of%20Higher%20
Cigarette%20Prices%20on%20Employment%20in%20Indonesia.pdf

Ahsan et al. (2013). Impact of Increasing Tobacco Tax on Government Revenue and
Tobacco Consumption (Discussion Paper No. 8). Retrieved from https://www.
researchgate.net/profile/Abdillah_Ahsan2/publication/280483053_Impact_of_
Increasing_Tobacco_Tax_on_Government_Revenue_and_Tobacco_Consumption/
links/55b5f7d908ae092e9655a7c0/Impact-of-Increasing-Tobacco-Tax-on-Government-
Revenue-and-Tobacco-Consumption.pdf

Ahsan, Abdillah; Nur Hadi Wiyono; Diahhadi Setyonaluri, Ryan Denniston and Anthony D So. (2014)
Illicit cigarette consumption and government revenue loss in Indonesia. Globalization and
Health. Retrieved on 31st March 2018 from https://globalizationandhealth.biomedcentral.
com/articles/10.1186/s12992-014-0075-7

Ahsan et al. Roadmap of tobacco excise policy reform: an initiative for health Indonesia.
Demographic Institute, Faculty of Economics and Business, University of Indonesia, 2016.

Alan Fuchs; Francisco Jalles Meneses. (2017). Alan Fuchs and Francisco Meneses. Regressive Or
Progressive? The Effect Of Tobacco Taxes In Ukraine.

Ayda Yürekli, Joy de Beyer, Ake Blomqvist, and Lim Chin. (2005) Indonesia—Tobacco Control
Policy Options. World Bank

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2015). Overview of Poverty in Indonesia. Retrieved February 11,
2017, from www.bps.go.id/website/brs_eng/brsEng-20150915122517.pdf.

Badan Pusat Statistik. (2016). Indonesia - Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 Maret (KOR) -
Gambaran. Retrieved October 30, 2017, from http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.
php/catalog/769

Belcher, Evan.(2018) Cigarette Affordability In Indonesia. tobacconomics. Economic Research


Informing Tobacco Control Policy. Health Policy Centre, University of Illinois at Chicago

Buck Et al. (1995). Tobacco and jobs: the impact of reducing consumption on employment in the
UK. Retrieved from https://ideas.repec.org/p/chy/respap/23cheop.html

Filippidis FT, Laverty AA, Hone T, Been JV, & Millett C. (2017). Association of cigarette price
differentials with infant mortality in 23 european union countries. JAMA Pediatrics, 171(11),
1100–1106. https://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2017.2536

Frieden, T. R., & Blakeman, D. E. (2005). The Dirty Dozen: 12 Myths That Undermine Tobacco
Control. American Journal of Public Health, 95(9), 1500–1505. https://doi.org/10.2105/
AJPH.2005.063073

Hu, T. W., & Mao, Z. (2002). Effects of cigarette tax on cigarette consumption and the Chinese
economy. Tobacco Control, 11(2), 105–108. https://doi.org/10.1136/tc.11.2.105

Jha, P. (2009). Avoidable global cancer deaths and total deaths from smoking. Nature Reviews
Cancer, 9(9), 655–664. https://doi.org/10.1038/nrc2703

John et al. (2015). The Economics of Tobacco and Tobacco Taxation in India. Retrieved from
http://www.academia.edu/2182368/The_Economics_of_Tobacco_and_Tobacco_
Taxation_in_India

21
Joossens, L., & Raw, M. (2000). How can cigarette smuggling be reduced? BMJ : British Medical
Journal, 321(7266), 947–950.

Kaiser, K., Bredenkamp, C., & Iglesias, R. (2016). Sin Tax Reform in the Philippines: Transforming
Public Finance, Health, and Governance for More Inclusive Development. World Bank
Publications.

Kosen S. (2001). Estimated number of tobacco-related deaths using verbal autopsy. National
Institute of Health Research and Development.

Kostova, D., Chaloupka, F. J., Yurekli, A., Ross, H., Cherukupalli, R., Andes, L., & Asma, S. (2012). A
cross-country study of cigarette prices and affordability: evidence from the Global Adult
Tobacco Survey. Tobacco Control. https://doi.org/10.1136/tobaccocontrol-2011-050413

Luk Joossens, Hana Ross, & Martin Raw. (2010). The impact of eliminating the global illicit
cigarette trade on health and revenue. Wiley Online Library. Retrieved from https://
onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1360-0443.2010.03018.x

MTCC. (2015). Indonesian Tobacco Farmers support governent for tobacco control.
Muhammadiyah Tobacco Control Centre. Muhammadiyah University Yogyakarta, Indonesia

National Cancer Institute. (2017). National Cancer Institute: Tobacco [cgvArticle]. Retrieved
October 31, 2017, from https://www.cancer.gov/about-cancer/causes-prevention/risk/
tobacco

National Institute of Health Research & Development. (2015). Tobacco Related Diseases in
Indonesia, Economic Impact and Efforts to Curb the Health Impact. Ministry of Health -
Republic of Indonesia. Retrieved from http://slideplayer.com/slide/6304079/

Parks, M. J., Kingsbury, J. H., Boyle, R. G., & Choi, K. (2017). Behavioral change in response to a
statewide tobacco tax increase and differences across socioeconomic status. Addictive
Behaviors, 73(Supplement C), 209–215. https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2017.05.019

Pirudee Pavananunt, (2011) Illicit Cigarette Trade In Thailand. Southeast Asian Journal of Tropical
Medicine and Public Health. Vol 42 No. 6 November

Prof. Hasbullah Thabrany, D., & Laborahima, Z. (2016). People’s Support on Sin Tax to Finance
UHC in Indonesia, 2016. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 1(1). https://doi.org/10.7454/
eki.v1i1.1759

Ramjani, J., Rahim, F. K., Amalia, I. S., & Putra, W. M. (2017). Implementation of Cigarette
Excise Policy against Cigarette Consumption Reduction among Adolescent in Kuningan,
Indonesia. Kesmas: National Public Health Journal, 0(0), 67–72. https://doi.org/10.21109/
kesmas.v0i0.1690

Ross, H. (2017). Tracking and tracing tobacco products in Kenya. Preventive Medicine, 105, S15–
S18. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2017.04.025

Sarntisart, I. (2003). AN ECONOMIC ANALYSIS OF TOBACCO CONTROL IN THAILAND.


Retrieved from https://escholarship.org/uc/item/1gb9b3r8

Schick, S. F., Schick, S., & Glantz, S. A. (2006). Sidestream cigarette smoke toxicity increases with
aging and exposure duration. Tobacco Control, 15(6), 424–429. https://doi.org/10.1136/
tc.2006.016162

SEATCA. (2013). Tobacco Farming in the ASEAN Region. Retrieved from http://apps.who.
int/fctc/implementation/database/sites/implementation/files/documents/reports/
philippines_annex1_tobacco_farming_regional_paper_2013.pdf

SEATCA. (2016). The Tobacco Control Atlas: ASEAN Region.

SEATCA. (2018). Tobacco Atlas, Indonesia Fact Sheet. Retrieved from http://tobaccoatlas.org/
wp-content/uploads/pdf/indonesia-country-facts.pdf

22
SKRT. (1995). National Household Survey.

Stevens, V. L., Diver, W. R., Stoklosa, M., Flanders, W. D., Westmaas, J. L., Jemal, A., … Jacobs,
E. J. (2017). A Prospective Cohort Study of Cigarette Prices and Smoking Cessation
in Older Smokers. Cancer Epidemiology Biomarkers &amp; Prevention. https://doi.
org/10.1158/1055-9965.EPI-16-0690

SURKESNAS. (2001). Survey Kesehatan Nasional (National Health Survey). Retrieved October
31, 2017 from http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Surkesnas%202001-Studi%20
Morbiditas.pdf

Nasruddin Djoko Surjono. (2017) Fiscal Policy Agency, Ministry of Finance of The Republic of
Indonesia. (presentation) Jakarta 2 October 2017

Walbeek, C. van. (2002). Tobacco epidemic can be reversed : tobacco control in South Africa
during the 1990s. Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town, Cape Town,
ZA. Retrieved from https://idl-bnc-idrc.dspacedirect.org/handle/10625/52173

WHO. (2008). Tobacco Industry Interference with Tobacco Control.

WHO. (2013). Tobacco control in the Philippines. Retrieved November 2, 2017, from http://www.
who.int/tobacco/about/partners/bloomberg/phl/en/

WHO. (2014). Global status report on NCD. Retrieved October 31, 2017, from http://www.who.
int/nmh/publications/ncd-status-report-2014/en/

WHO. (2015). WHO report on the global tobacco epidemic. Retrieved October 30, 2017, from
http://www.who.int/tobacco/global_report/2015/report/en/

WHO. (2017a). Prevalence of tobacco smoking. Retrieved November 1, 2017, from http://www.
who.int/gho/tobacco/use/en/

WHO. (2017b). Tobacco Fact Sheets. Retrieved November 1, 2017, from http://www.who.int/
mediacentre/factsheets/fs339/en/

WHO. (2017c). WHO Tobacco Tax Simulation (TaXSiM) model. Retrieved from http://www.who.
int/tobacco/economics/taxsim/en/

WHO. (2017d) WHO report on the global tobacco epidemic 2017. Retrieved May 20th 2018 from

http://www.who.int/tobacco/global_report/2017/en/

WHO | WHO technical manual on tobacco tax administration. (n.d.). Retrieved March 26, 2018,
from http://www.who.int/tobacco/publications/tax_administration/en/

William Savedoff, & Albert Alwang. (2015). The Single Best Health Policy in the World: Tobacco
Taxes. Centre of Global Development.

World Bank. (2016). Indonesia: Health Financing System Assessment: Spend more , right and
better. retrieved on 30th October 2017 from http://documents.worldbank.org/curated/
en/453091479269158106/Indonesia-Health-financing-system-assessment-spend-more-
right-and-better

World Bank. (2017a). The Economics of Tobacco Taxation and Employment In Indonesia.
Retrieved 8th January 2018 from http://hdl.handle.net/10986/28582

World Bank. (2017b). Tobacco Tax Reform: At the crossroads of Health and Development,
A multisectoral perspective. Retrieved 10th January 2018 from http://hdl.handle.
net/10986/28494

23
UCAPAN TERIMA KASIH
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pegendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan,
Republik Indonesia mengucapkan terima kasih atas kontribusi yang diberikan dalam
penyusunan laporan ini kepada organisasi dan individu berikut ini:
• Kantor Staf Presiden, Republik Indonesia
• Kementerian Keuangan, Republik Indonesia
• Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Republik Indonesia
• Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian
Kesehatan, Republik Indonesia
• Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian
Kesehatan , Republik Indonesia
• Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Republik
Indonesia
• Pusat Analisis Determinan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia
• Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan –BPJS Kesehatan
• Badan Pengawas Obat dan Makanan, Republik Indonesia
• Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
• Centre for Health Economics and Policy Studies (CHEPS), Universitas Indonesia
• Muhammadiyah Tobacco Control Centre, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Indonesia
• Tobacco Control Support Centre, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
• Komnas Hak Asasi Manusia (HAM)
• Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco Use
• The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union)
• World Health Organization (WHO)
• World Bank, Indonesia
• University of Illinois at Chicago (UIC)
• Campaign for Tobacco Free Kids (CTFK)
• Vital Strategies (VS)
• South Asian Tobacco Control Alliance (SEATCA)

24

Anda mungkin juga menyukai