Anda di halaman 1dari 7

JurnalGammath,Volume 03 Nomor 02, Agustus 2018

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT


TINGGI SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN
SOAL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
PADA MATERI BILANGAN BULAT
Tri Novita Irawati
FKIP Universitas Islam Jember
tri.novitairawati@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam
menyelesaikan soal pemecahan masalah pada materi bilangan bulat. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan data menggunakan
metode observasi, tes, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
tingkat tinggi yang terdiri dari analisis tingkat kemampuan analisis siswa rata-rata mencapai
30%, tingkat mengevaluasi mencapai 32%, dan tingkat mencipta mencapai 23% dari skor
maksimal 100. Berdasarkan hasil wawancara, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
sangat rendah karena mereka masih belum terbiasa mengerjakan soal tes. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi harus selalu ditingkatkan salah
satunya melalui soal pemecahan masalah.
Kata Kunci: Kemampuan berpikir tingkat tinggi, soal pemecahan masalah

Abstract
This study aims to determine the level of high-order thinking skills in solving
problem solving problems on integer matter. The type of this research is qualitative
research with case study approach. Data collection using observation, test, and
interview methods. The results showed that high-level ability consisted of analysis of
student's analysis ability level on average reached 30%, evaluating rate reached
32%, and creating level reached 23% from maximal score 100. Based on the result
of interview, the students’ high-level thinking ability is very low because they still not
used to solve the given items. Therefore, it can be concluded that high-order thinking
skills should always be improved one of them through problem-solving problems.
Keywords: High order thinking, problem solving, case study

PENDAHULUAN
Pendidikan khususnya Matematika merupakan ilmu dasar yang digunakan
sebagai tolak ukur kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat maka
diperlukan sumber daya manusia yang memiliki ketrampilan intelektual tingkat
tinggi yang melibatkan kemampuan penalaran yang logis, sistematis, kritis,
cermat, dan kreatif dalam mengkomunikasikan gagasan dalam memecahkan
masalah. Hal tersebut sejalan dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika
disekolah diantaranya adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan, mengembangkkan kemampuan memecahkan masalah, serta
mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan
ide-ide melalui lisan, tulisan, gambar, grafik, peta, diagram, dan sebagainya [1].
Cara berpikir berhubungan dengan proses berpikir. Proses berpikir
berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dalam otak manusia, berpikir berkaitan
dengan fakta-fakta yang ada dalam dunia, berpikir mungkin bisa divisualisasikan,
dan berpikir (manakala diekspresikan) bisa diobservasi dan dikomunikasikan [2].

1
p-ISSN : 2503-4723 e-ISSN : 2541-2612

Jadi dapat dimaknai bahwa proses berpikir merupakan proses yang sering terjadi
dalam aktivitas mental seseorang yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah,
membuat keputusan, serta mencari pemahaman. Dalam proses berpikir terdapat
tingkatan rendah sampai tinggi. Hal tersebut dijabarkan dalam Taksonomi Bloom.
Taksonomi Bloom merupakan struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan
skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Pada tahun 1994, salah
seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi aliran
kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan
zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada tahun 2001 dengan
nama Revisi Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom ranah kognitif yang telah
direvisi Anderson dan Krathwohl [3] yakni: mengingat (remember),
memahami/mengerti (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze),
mengevaluasi (evaluate), dan menciptakan (create). Tiga level pertama mengingat
(C1), memahami (C2), menerapkan (C3) merupakan Lower Order Thinking
Skills, sedangkan tiga level berikutnya yakni menganalisis (C4), mengevaluasi
(C5), dan menciptakan (C6) merupakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi
(Higher Order Thinking Skill).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat membuat seorang individu
menafsirkan, menganalisis atau memanipulasi informasi. Dengan kemampuan
berpikir tingkat tinggi, peserta didik dapat membedakan ide atau gagasan secara
jelas, mampu memecahkan masalah, berargumentasi dengan baik, mampu
berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas [4]. Berpikir
tingkat tinggi juga dapat diartikan sebagai berpikir pada tingkat lebih tinggi
daripada sekedar menghafalkan fakta atau menyatakan sesuatu kepada seseorang
persis seperti sesuatu itu dikomunikasikan kepada kita.Oleh karena itu berpikir
tingkat tinggi merupakan hal pokok yang harus dimiliki agar siswa dapat terlahir
sebagai manusia yang memiliki kualitas tinggi dalam ilmu pengetahuan sehingga
diharapkan dapat siap bersaing di kancah global.
Peningkatan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran
matematika dapat dikembangkan melalui penerapa soal pemecahan masalah
matematika. Lester [5] menegaskan bahwa “Problem solving is the heart of
mathematics” yang berarti jantungnya matematika adalah pemecahan masalah.
Kemampuan pemecahan masalah matematik sangat dibutuhkan oleh masyarakat
[6]. Polya [7] mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak begitu saja
dengan segera dapat dicapai. Lebih lanjut polya mengemukakan bahwa dalam
matematika terdapat dua masalah yaitu masalah untuk menemukan (problem to
find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Masalah matematika
dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin Sri
Wardani [8]: a) Masalah rutin dapat dipecahkan dengan mengikuti prosedur yang
mungkin sudah pernah dipelajari. Masalah rutin sering disebut sebagai masalah
penerjemah karena deskripsi situasi dapat diterjemahkan dari kata-kata menjadi
simbol-simbol. b) Masalah nonrutin mengarah kepada masalah proses,
membutuhkan lebih dari sekedar menerjemahkan masalah menjadi kalimat
matematika dan penggunaan prosedur yang sudah diketahui. Masalah nonrutin
mengharuskan pemecah masalah untuk membuat metode pemecahan sendiri.
Kurikulum 2013 menempatkan kemampuan pemecahan masalah matematik
sebagai kemampuan yang dituju pada hampir setiap Standar Kompetensi di semua

2
JurnalGammath,Volume 03 Nomor 02, Agustus 2018

tingkat satuan pendidikan (SD, SMP, dan SMA). Implikasi dari hal itu, selama
belajar matematika semestinya siswa dilatih untuk memecahkan masalah-masalah
matematik. Namun demikian pembelajaran pemecahan masalah matematik di
sekolah-sekolah masih banyak mengalami hambatan. Sehingga pengembangan
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa masih kurang maksimal. Oleh karena itu
perlu adanya analisis terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SMP
khususnya pada materi dasar di SMP yaitu bilangan bulat.

METODE
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus yang dimaksudkan
yaitu peneliti ingin mengetahui secara langsung seberapa jauh tingkat kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa di dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
pada materi bilangan Bulat.
Subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMPT Madinatul Ulum Jember
sebanyak 8 orang yang mempunyai tingkat kemampuan heterogen yaitu
kemampuan matematis tinggi, sedang dan rendah. Instrumen yang digunakan
adalah soal tes uraian sebanyak 6 soal untuk mengetahui tingkat kemampuan
berpikir tingkat tinggi dan lembar observasi sebagai pedoman dalam menilai
tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi serta pedoman wawancara. Sebelum
soal digunakan untuk penelitian terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi,
terlebih dahulu diuji tingkat validitas soal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Langkah pertama yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian, yaitu
observasi. Observasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta
didik dalam menyelesaikan masalah di kelas pada saaat pembelajaran berlangsung
dan bisa diamati dengan mata secara langsung. Langkah selanjutnya, peneliti
membuat kisi-kisi tes yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dan indikator
pada materi bilangan bulat. Indikator yang digunakan dalam tes ini adalah
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan bilangan bulat. Langkah
selanjutnya yaitu mendesain dan menyusun soal cerita yang digunakan sebagai
soal tes dalam penelitian ini serta kriteria pedoman wawancara. Setelah
didapatkan sebuah perangkat tes kemudian dilakukan uji validitas. Sebelum
penelitian dilakukan uji validitas oleh 2 orang dosen matematika. Uji validitas
dilakukan dengan memberikan lembar validasi. Data yang diperoleh dari hasil
validasi selanjutnya digunakan untuk merevisi soal tes yang digunakan dalam
penelitian.
Uji validitas terhadap soal tes didasarkan pada validitas isi, konstruksi dan
bahasa pada soal. Validasi isi dan konstruksi merupakan suatu proses pengujian
terhadap soal tes dari segi kesesuaian isi soal terhadap soal yang dibuat yang
mengacu pada soal-soal bertipe Higher-Order Thinking Skills (HOTS). Hasil
Rekap analisis data hasil validasi dari validator 1 dan 2 sebagai berikut.

3
p-ISSN : 2503-4723 e-ISSN : 2541-2612

TABEL 1 Hasil Rekap Analisis Data Hasil Validasi Dari Validator


No Aspek yang diamati Skor
A Validasi isi
1. Kesesuaian soal terhadap indikator materi tes 4
2. Maksud dari soal dirumuskan dengan singkat dan jelas 4,5
3. Kesesuaian soal terhadap perkembangan intelektual siswa 4,5
B. Validasi konstruksi
1. Permasalahan yang disajikan merupakan soal-soal HOTS
 Soal no.1 dan 2 tipe analisis
4,5
 Soal no.3 dan 4 tipe evaluasi
 Soal no. 5 dan 6 tipe mengkreasi
2 Permasalahan yang disajikan memiliki strategi atau solusi penyelesaian yang
4
mungkin lebih dari satu
3. Rasionalitas alokasi waktu dalam penyelesaian soal 4
C. Bahasa Soal
1. Bahasa yang digunakan sesuai dengan EYD 5
2. Kalimat soal tidak mengandung arti ganda 4,5
3. Kalimat soal komunikatif, menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah
4,5
dipahami siswa
Rata-rata 4,38

Berdasarkan hasil validasi untuk seluruh aspek memiliki tingkat validitas


4,38 dengan interprestasi tinggi. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan soal
sudah layak untuk diujicoba. Namun, ada beberapa revisi yang dilakukan tentang
tata bahasa sesuai dengan saran revisi yang digunakan oleh validator, sehingga
instrumen tes tersebut dapat digunakan dalam penelitian.
Langkah selanjutnya, yaitu pengujicobaan soal tes terhadap 6 siswa SMP
Kelas VII. Hasil pekerjaan siswa kemudian dianalisis berdasarkan aspek
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Rincian hal yang diamati terdapat pada Tabel
2 berikut.

TABEL 2 Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi yang Diamati


No. Kemampuan berpikir Indikator yang diamati
tingkat tinggi
1 Menganalisis (analyze) 1. Menganalisis informasi yang masuk dan membagi-
bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian
yang lebih kecil untuk mengenali pola atau
hubunganya.
2. Mengenali serta membedakan factor penyebab dan
akibat sebuah scenario yang rumit.
3. Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan.
2 Mengevaluasi 1. Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan
(evaluate) metodologi dengan menggunkan criteria yang cocok
atau standar yang ada untuk memastikan nilai
efektivitas atau manfaatnya.
2. Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan
pengujian.
3. Menrima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan
criteria yang telah di tetapakan.
3 Mencipta ( Create) 1. Membuat generalisasi suatu idea tau cara pandang
terhadap sesuatu
2. Merancang suatu cara untuk menyelesaikan
masalah.

4
JurnalGammath,Volume 03 Nomor 02, Agustus 2018

3. Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian


menjadi struktur baru yang belum pernah ada
sebelumnya.
(Sumber: Krathwohl [9])

Data hasil tes kemudian dianalisis untuk menentukan skor rata-rata akhir
pada setiap indikator. Kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa adalah
sebagai berikut.

TABEL 3 Kategori Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa


Nilai siswa Tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
90 ≤ THB ≤ 100 Sangat Tinggi
75 ≤ THB< 90 Tinggi
60 ≤ THB< 75 Cukup
40 ≤ THB< 60 Rendah
0 ≤ THB< 40 Sangat rendah
Ket: THB : Nilai Rata-rata Tes Hasil Belajar dalam setiap indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi

Sedangkan, hasil analisis tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi 6


siswa disajikan pada gambar berikut.

70
60
50
40
Hasil THB

menganalisis(analyze)
30
mengevaluasi(evaluate
20 )
mencipta(create)
10
0
A B C D E F
Nama siswa (inisial)
GAMBAR 1 Diagram Batang Tingkat Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa

Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa kemampuan berpikir tingkat


tinggi siswa dalam setiap indikator masih kurang maksimal. Jika dikonversi
kedalam persentase maka tingkat kemampuan analisis siswa rata-rata mencapai
30%. tingkat mengevaluasi mencapai 32%, dan tingkat mencipta mencapai 23%
dari skor maksimal 100. Hal tersebut diketahui karena tingkat kemampuan
berpikir tingkat tinggi saling berhubungan. Jika kemampuan analisis siswa
terhadap soal pemecahan masalah yang diberikan rendah maka akan
mempengaruhi kemampuan berpikir tingkat tinggi selanjutnya. Hal ini didukung
oleh pendapat Kusumaningrum [10] yang menyatakan bahwa kemampuan
berpikir tingkat tinggi dapat dikembangkan dan dioptimalkan melalui pemecahan
masalah matematika. Hal ini berarti, melalui penyelesaian pemecahan masalah
yang didalamnya terdapat proses pengidentifikasian masalah, yang dilanjutkan
dengan melakukan analisis hubungan pola-pola yang ada menjadi penentu
kemampuan berpikir siswa selanjutnya. Selain itu, Newman Wehlage [11]

5
p-ISSN : 2503-4723 e-ISSN : 2541-2612

menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan soal matematika yang berlevel tinggi


siswa melalui tahapan manipulasi data, informasi, dan ide untuk memecah makna
dan implikasi, mensintesis, menggeneralisasikan, menjelaskan, membuat
kesimpulan sementara, sampai akhirnya membuat suatu kesimpulan. Dengan
demikian, kemampuan berpikir tinggi siswa saling memiliki hubungan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa diperoleh respon yang baik
bahwa mereka sangat senang menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah.
Namun, banyak siswa yang masih mengeluh bahwa soal yang diberikan cukup
sulit. Hal ini menyebabkan siswa kurang dapat menyelesaiakan soal pemecahan
masalah yang diberikan. Alasan lain didapatkan bahwa siswa masih belum
terbiasa mengerjakan soal tes pemecahan masalah yang diberikan pada setiap
pembelajaran di sekolah. Hal ini senada dengan ungkapan Nishitani [12] bahwa
siswa harus memiliki motivasi tinggi, keinginan dan antusiasme dalam
menyelesaikan masalah matematika yang tidak diketahui secara langsusng proses
penyelesaiannya yang merupakan soal HOT/level tinggi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi terdiri dari 3 tingkatan yaitu
menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create). Data hasil tes
kemudian dianalisis untuk menentukan skor rata-rata akhir pada setiap indikator
kemampuan berpikir analisis diperoleh kemampuan analisis siswa rata-rata
mencapai 30% , tingkat mengevaluasi mencapai 32%, dan tingkat mencipta
mencapai 23% dari skor maksimal 100. Kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat
rendah. Berdasarkan hasil wawancara hal tersebut disebabkan karena siswa masih
belum terbiasa menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika dalam setiap
pembelajaran dikelas. Kemampuan berpikir tingkat tinggi saling berhubungan
satu sama lain. Jika kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mendasar yaitu
kemampuan analisis siswa rendah maka akan mempengaruhi kemampuan berpikir
tingkat tinggi selanjutnya yaitu kemampuan mengevaluasi dan mencipta.

DAFTAR RUJUKAN
[1] Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
[2] Suryadi, S. (2005). Metodologi Penelitin., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[3] Anderson, L.W., dan Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educatioanl Objectives. New York: Addison
Wesley Longman, Inc.
[4] Widodo, S.A. (2013). Analisis Kesalahan dalam Pemecahan Masalah Divergensi Tipe
Membuktikan pada Mahasiswa Matematika. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 46 (2): 106-
113, diakses tanggal 19 Juni 2018.
[5] Branca, N.A. 1980. Problem Solving as a Goal, Process, and Basic Skill. Problem Solving in
School Mathematics. Editor: Krulik, S. and Reys, R.E. Reston: National Council of Teachers
of Mathematics
[6] Bell, Frederick H. (1978). Teaching and Learning Mathematics: In Secondary Schools.
Second Printing. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown. Company.
[7] Hobri. (2008). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jember: Universitas Jember.
[8] Erniwati. (2011). Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 2 Depok dengan Menggunakan LKS Berbasis PMR Melalui Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Skripsi.
[9] Lewy, Z., & Aisyah, N. (2009). Pengembangan soal untuk mengukur kemampuan berpikir
tingkat tinggi pokok bahasan barisan dan deret bilangan di kelas IX akselerasi SMP

6
JurnalGammath,Volume 03 Nomor 02, Agustus 2018

Xaverius Maria Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, (online), 3(1). Tersedia di


http://eprints.un-sri.ac.id/820/1/2 Lewy_14-28.pdf, diakses tanggal 6 Januari 2018.
[10] Kusumaningrum, M., & Saefudin, A. A. (2012). Makalah: Mengoptimalkan Kemampuan
Berpikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika. Dipresentasikan dalam
Seminar nasional matematika dan pendidikan matematika FMIPA UNY (online) ISBN. 978-
979-16353-8- , diakses tanggal 6 Juni 2018.
[11] Newman, F. M., & Wehlage, G. G. (1993). http://- mathdepartment.wiki.farmington. k12.-
mi.us. Diakses tanggal 19 April 2018.
[12] Nishitani, I. (2009). High Level Mathematical Thinking: Experiment With High School and
Under Graduate Students Using Various Approaches and Strategies.
https://gair.media.gunma_u.ac.jp/dspace/bitstrea m/10087/513/1/30_Nishitani.pdf. Diakses
15 Juni 2018.

Anda mungkin juga menyukai