PENDAHULUAN
Fraktur atau dikenal dengan patah tulang adalah hilangnya kontiunitas tulang
baik bersifat total maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya.
(Helmi, 2012). Manifestasi klinis yang terjadi akibat fraktur yaitu : pergerakan
dapat mengenai seluruh tulang didalam tubuh terutama tulang ektremitas bawah.
terjadi, seperti pada tulang pinggul, femur, lutut, tibia/fibula (cruris),dan angkle (
akibat kecelakaan yang memiliki prevalensi tinggi, sekitar 5,2 % dari 84.774
ekstremitas bawah, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027
orang mengalami fraktur cruris, 9702 orang mengalami fraktur pada tulang-
tulang kecil di kaki, 3.775 orang mengalami fraktur tibia dan 336 orang
1
2
bawah sangat sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat
tatanan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit ada dua cara penanganan fraktur,
fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare,
2009). Open reduction and internal fixation (ORIF) merupakan salah satu jenis
pembedahan yang biasanya dilakukan untuk kondisi fraktur yang tidak stabil
penanganan tetapi pada beberapa kasus post fraktur, pasien sering mengalami
hambatan sehingga terjadi penurunan tonus otot, kehilangan masa otot, dan
ektremitas bawah berjalan menggunakan alat bantu (Radawiec & Howe, 2009).
Latihan pergerakan atau ambulasi pada pasien pasca operasi menurunkan statis
2010).
pendidikan kesehatan terhadap pelaksanaan rentang gerak sendi aktif post operasi
pada pasien fraktur ektremitas di ruang bedah trauma center RSUP DR M Djamil
sendi aktif, sedangkan kelompok yang tidak diberikan edukasi, hanya (30%)
yang melakukan rentang gerak aktif, hal ini menunjukkan bahwa edukasi sangat
gerak aktif.
4
Penelitian lain yang dilakukan oleh Morris, at, al (2010) melaporkan proyek
RSCM merupakan satu rumah sakit rujukan nasional yang mempunyai unit
khusus perawatan ortopedi yang berada di ruang rawat inap terpadu gedung A
RSCM divisi trauma pada tahun 2015 sebanyak 84 pasien dan tahun 2016
pasien dengan post operasi ORIF terbatas dengan clinical path way yang menjadi
acuan perawatan. Pada clinical path way pasien dengan operasi ORIF hari ke 5
pasien harus sudah bisa rawat jalan dan mobilisasi dini, namun pada beberapa
pasien belum dapat menggunakan alat bantu (cruch) sudah harus pulang dan
rawat jalan. Wawancara pada perawat dan pasien di lantai 4 gedung A, pada 5
pasien dengan fraktur ektremitas bawah 3 diantaranya pasien pulang belum dapat
mobilisasi mandiri serta belum mampu ambulasi dengan kruk dan 2 pasien
sudah mampu mobilisasi mandiri dengan kruk. 3 pasien ini latihan ROM hanya
bersama divisi rehabilitasi medik. Latihan ROM dapat dilakukan oleh perawat
terlatih dan perawat kompetensi klinik 3. Latihan ROM dapat dilakukan sejak
pasien dirawat.
Fraktur ektremitas bawah merupakan jenis cedera yang terbanyak salah satu
tindakan yang dilakukan adalah pembedahan dengan ORIF masalah yang timbul
pada pasien pasca ORIF hari ke 5 pasien harus sudah rawat jalan dan sudah
mampu menggunakan alat bantu gerak seperti kruk. Namun demikian hasil
wawancara dan observasi peneliti didapatkan 3 dari 5 pasien dengan pasca ORIF
ektremitas bawah pada hari kelima pasien belum dapat mobilisasi secara mandiri.
Hal ini dapat memungkinkn terjadinya komplikasi seperti: vena statis, DVT,
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pendidikan kesehatan dan latihan
terstruktur sesuai dengan clinikal path way yang dimiliki rumah sakit. Oleh sebab
itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh latihan tersetruktur terhadap
kemampuan ambulasi dini pada pasien post ORIF ektremitas bawah di ruang
melakukan ambulasi dini pada pasien post ORIF extremitas bawah setelah
1.3.3. Diketahuinya tingkat kemampuan ambulasi dini pada pasien pasca ORIF
ekstremitas bawah.