Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fraktur atau dikenal dengan patah tulang adalah hilangnya kontiunitas tulang

baik bersifat total maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh

trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya.

(Helmi, 2012). Manifestasi klinis yang terjadi akibat fraktur yaitu : pergerakan

abnormal, nyeri, edema, deformitas dan fungsiolaesa (Whiteing, 2008). Fraktur

dapat mengenai seluruh tulang didalam tubuh terutama tulang ektremitas bawah.

Fraktur ektremitas bawah adalah cedera muskuloskeletal yang paling sering

terjadi, seperti pada tulang pinggul, femur, lutut, tibia/fibula (cruris),dan angkle (

Lemon & Burke,2004 ).

Prevalensi cedera menunjukan peningkatan 7,5% menjadi 8,5% ( Kementrian

Kesehatan 2013). Penyebab cedera yang meningkat prevalensinya ini adalah

kecelakaan dan terjatuh (Kementrian Kesehatan 2013). Fraktur adalah cedera

akibat kecelakaan yang memiliki prevalensi tinggi, sekitar 5,2 % dari 84.774

kasus cedera (Kementerian Kesehatan 2013). Didapatkan kasus fraktur

ekstremitas bawah, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027

orang mengalami fraktur cruris, 9702 orang mengalami fraktur pada tulang-

tulang kecil di kaki, 3.775 orang mengalami fraktur tibia dan 336 orang

mengalami fraktur fibula. Walaupun peran fibula dalam pergerakan ektremitas

1
2

bawah sangat sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat

menimbulkan adanya gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki. Dalam

tatanan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit ada dua cara penanganan fraktur,

yaitu dengan pembedahan (operatif) atau tanpa pembedahan yang meliputi

imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Metode operatif dilakukan dengan reduksi

terbuka maupun tertutup. Reduksi merupakan prosedur yang sering dilakukan

untuk efektivitas mengoreksi fraktur, salah satunya adalah dengan pemasangan

fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare,

2009). Open reduction and internal fixation (ORIF) merupakan salah satu jenis

pembedahan yang biasanya dilakukan untuk kondisi fraktur yang tidak stabil

dengan melakukan pemasangan plate, skrup ataupun kombinasi keduanya.

Meskipun pasien yang mengalami fraktur biasanya segera mendapatkan

penanganan tetapi pada beberapa kasus post fraktur, pasien sering mengalami

keterlambatan pergerakan karena adanya kelemahan otot, nyeri dan keterbatasan

rentang gerak (Purwanti, 2013)

Tindakan pembedahan yang dilakukan dapat menyebabkan keterlambatan atau

hambatan sehingga terjadi penurunan tonus otot, kehilangan masa otot, dan

kontraktur (Perry & Potter, 2008).

Pergerakan atau ambulasi pascaoperasi merupakan kegiatan penting dari asuhan

keperawatan pasien dengan fraktur ektremitas bawah. Pergerakan dilakukan

setelah fraktur distabilisasi (Radawiec,Howe,Gonzalez,Water & Nelson,2009).

Latihan ambulasi pasca operasi memberikan manfaat klinis yang signifikan


3

antara lain; mencegah komplikasi pasca operasi, mempercepat pemulihan dan

menurunkan angka morbiditas/mortalitas (Sedlak, et,al 2007;Kibler,at al,2012).

Pergerakan pasca operasi sekaligus merupakan aktivitas melatih pasien fraktur

ektremitas bawah berjalan menggunakan alat bantu (Radawiec & Howe, 2009).

Latihan pergerakan atau ambulasi pada pasien pasca operasi menurunkan statis

vena, menstimulus sirkulasi, mencegah DVT, mencegah emboli paru,

meningkatkan tonus otot, meningkatkan koordinasi, dan kemandirian, serta

meningkatkan fungsi gstrointestinal, genitourinaria dan pulmonari (Morris,et,al

2010).

Untuk meningkatkan kemampuan pasien tentang ambulasi diperlukan adanya

latihan yang tersetruktur. Perawat perlu menyiapkan pengetahuan yang dapat

mendorong pasien fraktur ektremitas bawah untuk melakukan ambulasi pasca

operasi. Penelitian yang dilakukan oleh Oktasari, V (2013), tentang pengaruh

pendidikan kesehatan terhadap pelaksanaan rentang gerak sendi aktif post operasi

pada pasien fraktur ektremitas di ruang bedah trauma center RSUP DR M Djamil

padang dengan jumlah sampel 20 responden, 10 responden diberi intervensi

edukasi, sedangkan 10 responden lainnya tidak diberi intervensi, didapatkan hasil

sebesar (80%) responden yang di berikan edukasi melaksanakan rentang gerak

sendi aktif, sedangkan kelompok yang tidak diberikan edukasi, hanya (30%)

yang melakukan rentang gerak aktif, hal ini menunjukkan bahwa edukasi sangat

berpengaruh terhadap kemauan pasien post operasi untuk melakukan rentang

gerak aktif.
4

Penelitian lain yang dilakukan oleh Morris, at, al (2010) melaporkan proyek

Clinical Practice Guideline (CPG) yang melibatkan multidisiplin dalam

ambulasi pascaoperasi orthopedi. Hasil studi menunjukan pasien

direkomendasikan untuk melakukan mobilisasi pascaoperasi 16 jam setelah

pindah dari Post Anesthesia Care Unit (PACU). National Guiedelines

Clearinghouse (2008) merekomendasikan ambulasi pasca operasi pada 24 sd 48

jam pasca operasi.

RSCM merupakan satu rumah sakit rujukan nasional yang mempunyai unit

khusus perawatan ortopedi yang berada di ruang rawat inap terpadu gedung A

lantai 4. Angka kejadian fraktur pada extremitas bawah di departement ortopedi

RSCM divisi trauma pada tahun 2015 sebanyak 84 pasien dan tahun 2016

sebanyak 162 pasien. (Pilot Orthopedi RSCM). Penatalaksanaan pada fraktur

salah satunya dengan tindakan operasi ORIF. Di gedung A lanatai 4 RSCM

pasien dengan post operasi ORIF terbatas dengan clinical path way yang menjadi

acuan perawatan. Pada clinical path way pasien dengan operasi ORIF hari ke 5

pasien harus sudah bisa rawat jalan dan mobilisasi dini, namun pada beberapa

pasien belum dapat menggunakan alat bantu (cruch) sudah harus pulang dan

rawat jalan. Wawancara pada perawat dan pasien di lantai 4 gedung A, pada 5

pasien dengan fraktur ektremitas bawah 3 diantaranya pasien pulang belum dapat

mobilisasi mandiri serta belum mampu ambulasi dengan kruk dan 2 pasien

sudah mampu mobilisasi mandiri dengan kruk. 3 pasien ini latihan ROM hanya

dilakukan oleh petugas fisioterapi apabila pasien dikonsultasikan serta rawat


5

bersama divisi rehabilitasi medik. Latihan ROM dapat dilakukan oleh perawat

terlatih dan perawat kompetensi klinik 3. Latihan ROM dapat dilakukan sejak

pasien dirawat.

1.2. Perumusan Masalah

Fraktur ektremitas bawah merupakan jenis cedera yang terbanyak salah satu

tindakan yang dilakukan adalah pembedahan dengan ORIF masalah yang timbul

pada pasien pasca ORIF hari ke 5 pasien harus sudah rawat jalan dan sudah

mampu menggunakan alat bantu gerak seperti kruk. Namun demikian hasil

wawancara dan observasi peneliti didapatkan 3 dari 5 pasien dengan pasca ORIF

ektremitas bawah pada hari kelima pasien belum dapat mobilisasi secara mandiri.

Hal ini dapat memungkinkn terjadinya komplikasi seperti: vena statis, DVT,

emboli paru, penurunan tonus otot. Untuk meningkatkan kemampuan pasien

upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pendidikan kesehatan dan latihan

terstruktur sesuai dengan clinikal path way yang dimiliki rumah sakit. Oleh sebab

itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh latihan tersetruktur terhadap

kemampuan ambulasi dini pada pasien post ORIF ektremitas bawah di ruang

rawat bedah RSCM Jakarta.


6

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan dalam

melakukan ambulasi dini pada pasien post ORIF extremitas bawah setelah

dilakukan latihan terstruktur di ruangan bedah lantai 4 Gedung A RSCM.

1.3.2. Tujuan Khusus

Diketahuinya tingkat kemampuan ambulasi dini pada pasien pasca ORIF

fraktur ektremitas bawah sebelum dilakukan intervensi

1.3.3. Diketahuinya tingkat kemampuan ambulasi dini pada pasien pasca ORIF

fraktur ektremitas bawah setelah dilakukan intervensi.

1.3.4. Diketahuinya perbedaan kemampuan ambulasi dini pada pasien pasca

ORIF fraktur ektremitas bawah sebelum dan sesudah intervensi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Untuk Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini setelah diketahuinya pengaruh latihan terstruktur

terhadap kemampuan ambulasi dini pasien pasca operasi internal fiksasi

ekstremitas bawah, diharapkan dapat dimanfaatkan institusi pelayanan,

dengan mendesiminasikan dan mensosialisasikan kepada pemegang

kebijakan serta perawat pelaksana untuk dijadikan acuan guna

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.


7

1.4.2. Manfaat Untuk Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya ilmu keperawatan khususnya

keperawatan orthopedi terkait aktifitas dan ambulasi dini pada pasien

pasca operasi external dan internal fiksasi ekstremitas bawah.

1.4.3. Manfaat untuk Penelitian selanjutnya.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penelitian dasar tentang

latihan tersetruktur pada pasien pasca operasi ORIF serta pembuka

wawasan yang lebih luas mengenai penelitian keperawatan medikal bedah

pada umumnya dan perawatan orthopedi khususnya dalam meningkatkan

kemandirian pasien dan mobilisasi dini pasca operasi internal fiksasi

ekstremitas bawah.

Anda mungkin juga menyukai