Jawab :
SUMBER :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone ; Jakarta
2. Manajemen rehabilitasi :
Rehabilitasi medik bisa disebut dengan Physical Medicine & Rehabilitation (PMR). PMR
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fungsional seseorang sesuai dengan potensi yang
dimiliki untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah
atau mengurangi disabilitas dan kecacatan seoptimal mungkin. Komponen yang dikenakan
intervensi untuk memperbaiki fungsi tubuh terdiri dari diri orang tersebut, tugas yang
diberikan kepada orang tersebut, beserta lingkungan tempat dia tinggal.
Beberapa kondisi pada muskuloskeletal yang dapat diperbaiki dengan adanya rehabilitasi
medik yaitu: pasca amputasi; tendon yang robek; trauma, seperti terpelintir, dislokasi sendi,
dan fraktur; sakit punggung; osteoporosis; artritis; tumor tulang; dan stres yang berulang pada
muskuloskeletal.
Tujuan dari rehabilitasi medik pada cedera muskuloskeletal yaitu: mengatasi nyeri,
memperbaiki deformitas, melindungi jaringan yang cedera, mencegah komplikasi,
mengembalikan ROM (Range of Movement), dan memperbaiki kekuatan.5 Prinsip
penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semua (reposisi)
dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).
Tipe dan waktu untuk melakukan latihan berjalan pada proses rehabilitasi medik dapat
dibedakan berdasarkan kestabilan fraktur. Jika fraktur yang terjadi stabil, maka dapat latihan
berjalan weight-bearing pada minggu keempat hingga minggu keenam. Untuk fraktur yang
tidak stabil, namun tidak terjadi displacement maka perlu imobilisasi non-weight bearing
mulai dari minggu keempat hingga minggu keenam. Apabila penyembuhan terjadi dengan
baik, maka pasien dapat diberikan latihan berjalan pada dua minggu berikutnya. Apabila
pasien tidak dilakukan operasi, pemeriksaan lanjutan dengan radiografi perlu untuk dilakukan
setiap minggunya selama dua hingga tiga minggu setelah terjadinya luka untuk mengetahui
displacement pada fraktur. Latihan penguatan dan ruang gerak sendi dapat mulai dilakukan
ketika penyembuhan fraktur sudah selesai. Pasien dengan fraktur pergelangan kaki akan
biasanya memerlukan imobilisasi dan non-weight bearing mulai dari minggu keempat hingga
minggu kedepalapan setelah operasi.
Pada trauma yang terjadi di os.femur bagian distal, maka sebelum dan setelah pelaksanaan
terapi latihan, pasien harus berada dalam posisi mengelevasikan tungkai atas yang sakit
dengan diganjal bantal pada tungkai bawah yang sakit, sehingga membentuk sudut 30.
Latihan ini dilakukan segera setelah pasien menjalani operasi. Terapi ini dilakukan saat posisi
pasien berbaring terlentang dan ditujukan untuk otot quadriceps femoris. Tangan terapi berada
di bawah fossa poplitea sisi yang sakit, kemudian pasien diminta menekan tangan terapis
selama enam kali hitungan. Latihan ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12
kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat mengurangi edema dan nyeri.
Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis berada di sebelah lateral tungkai
pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Terapis menggerakkan tungkai ke
arah fleksi lutut secara perlahan sampai batas timbul rasa nyeri, kemudian dikembalikan lagi
ke arah ekstensi lutut. Gerakan-gerakan lain yang dapat dilakukan yaitu abduksi-adduksi
ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi, dan inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan
ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12 kali dan dilakukan setiap hari.
Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis berada di sebelah lateral tungkai
pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Gerakan yang dilakukan sama seperti
relaxed passive movement. Namun, di akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien
mampu menahan rasa nyeri. Gerakan ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12
kali dan dilakukan setiap hari.
Gerakan ini diberikan pada tungkai yang sakit. Posisi pasien berbaring terlentang, kemudian
posisi terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi
kranial pasien. Salah satu tangan terapis memfiksasi di proksimal lutut dan tangan lainnya
diletakkan pada distal tungkai bawah. Pasien menggerakkan sendiri anggota gerak yang sakit.
Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi lutut, abduksi-adduksi ekstremitas
bawah dan dorsal-plantar serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1
kali dalam sehari dengan pengulangan sebanyak 10 - 12 kali dan dilakukan setiap hari.
Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi. Gerakan berupa fleksi-ekstensi
lutut, abduksi-adduksi ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi
pergelangan kaki. Terapis memberikan penahanan untuk setiap gerakan yang dilakukan.
Tahanan yang diberikan dilakukan secara bertahap mulai dari minimal hingga maksimal
(hingga pasien mampu menahan rasa nyeri). Tahanan yang diberikan terapis berlawanan dari
arah gerakan yang dilakukan pasien. Gerakan dilakukan satu kali dalam sehari dengan
pengulangan sebanyak 10-12 kali dan dilakukan setiap hari.
4. Hold Relax
Pasien berada pada posisi berbaring terlentang, kemudian pasien diminta untuk menggerakkan
ke arah fleksi lutut sampai batas timbul rasa nyeri, lalu terapis memberikan penahanan ke arah
ekstensi lutut. Pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada sendi.
Setelah itu pasien diperintahkan untuk rileks dan terapis menggerakkan ke arah fleksi lutut
untuk penguluran otot-otot ekstensor.
5. Latihan Berjalan
Latihan berjalan bisa dilakukan pada hari kedua pasca operasi, namun tetap harus melihat
kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan, pasien diperintahkan untuk duduk dengan
membebaskan kaki di tepi tempat tidur. Tungkai yang sehat diturunkan dari tempat tidur
terlebih dahulu, tungkai yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis. Terapis
menyangga dengan cara meletakkan satu tangan di bawah bagian distal tungkai atas dan yang
lainnya di distal tungkai bawah. Setelah itu pasien diberdirikan dengan menggunakan dua
kruk axilla, kemudian latihan berjalan di mulai non-weight bearing dengan metode three point
gait dan swing to.
Pernafasan (Breathing )
Trauma pada torak yang menimbulkan, hemotorak, pneumotorak, flailchest atau fraktur
tulang iga ( fraktur kosta ) akan mengakibatkan penurunan ventilasi. Gangguan difusi oksigen
di paru-paru karena berkurangnya fungsi paru-paru atau menurunkan frekuensi respirasi
karena ada rasa nyeri. Oleh karena itu yang perlu Anda pikirkan adalah melakukan evakuasi
pneumotorak dengan memasang WSD ( water seal drainage ), menutup luka pada flail chest
dan stabilisasi floating segmenfdinding torak tersebut.Melakukan resusitasi cairan / darah
pada penderita shock.
Sirkulasi (Circulation)
Berkurangnya jumlah oksigen di perifer akibat gangguan distribusi / sirkulasi akan
mengakibatkan shock Pulsus penderita akan melemah, kecil sampai tidak teraba, palltor, kulit
terasa dingin, dan berkeringat. Permulaan penderita gelisah sampai tidak sadar. Periu Anda
ketahui bahwa adanya takhikardi seperti denyut nadi lebih dan 120 permenit pada penderita
dewasa, anak-anak dua kali lipat dan orang dewasa merupakan tanda awal akan terjadinya
sok.Penyebab sok pada trauma umumnya akibat perdarahan. Perdarahan ekstemal Anda harus
menghentikan perdarahan tersebut dengan bebat menekan pada survei awal ( primary survey).
Jangan melakukan pengikatan atau alat hemostat untuk hal tersebut. Bila tidak ada perdarahan
ekstemal maka Anda memikirkan perdarahan internal yang biasanya perdarahan di rongga
pelvis,abdomen atau rongga torak. Tapi pada fraktur tertutup seperti fraktur femur ataufraktur
terbuka dapat menimbulkan shock.Tidak semua sok disebabkan oleh perdarahan, tapi dapat
juga akibat dan jantung itu sendiri tidak mampu mendistribusikan darah ke perifer sehingga
disebut sok kardiogenik seperti cardiac tamponade atau trauma tulang belakang yang
menyebabkan hilangnya tonus vasomotor sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan disebut sok
neurogenik. Perbedaan antara sok hemorrhagic dengan shock kardiogenik dan shock
neurogenik yartu adanya hipotensi tanpa takhikardi.Mengatasi keadaan ini Anda harus
melakukan pemberian cairan kristaloid atau darah dan dalam keadaan terpaksa dapat
menggunakan darah O dengan Rh negatif. Pemberian vasopressor agent akan membantu,
kecuali bila akibat perdarahan.
Resusitasi
Ketiga tindakan diatas, jalan napas, pernafasan dan sirkulasi disebut resusitasi yang
dikerjakan pada survei awal sehingga objektifnya adalahmempertahan dan menjamin akan
kebutuhan oksigen penderita. Setelah jalannapas terjamin dan ventilasi 100% telah dimulai
maka dilakukan resusitasi cairandengan memasang infus jarum nomer 16 atau lebih besar lagi
secara intravenous. Bila terjadi kesukaran pada anak-anak dapat menggunakan kanalis
medularis tibia atau femur.Penderita hipotensi dan takhikardi diberikan cairan laktat 2 liter (
20 ml/kg berat badan untuk anak-anak ) secepat mungkin. Bila vital sign terkoreksi baik maka
cairan perinfus dipertahankan, tapi bila tidak terkoreksi maka ditambah lagi 2 liter dan
tranfusi darah harus segera dipikirkan.Memahami pemeriksaan neurologis pada penderita
trauma.
SUMBER :
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan
penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn banyak darah
pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat
diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan
resusitasi dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan
nafas atau denyut jantung karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera
organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan
pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis
dilakukan setelah pasien stabil.
3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan
penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan
baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu
sendiri.
5. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati,
memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum,
pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai
yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang
sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di
sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka
diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir dapat
disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan
lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.
Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut:
Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak
mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk
memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah diperbesar, pembalut dan
bahan asing lain dapat dilepas.
Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.
Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot yang
mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-
unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat berkontraksi bila
dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan yang kemampuan
hidupnya meragukan perlu dieksisi.
Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat,
tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka,
pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang arteri dan dipilin.
Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka itu
bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan
bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di kemudian
hari.
Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf,
penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi tidak perlu
dilakukan.
Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada
posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru
boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.
Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan
sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau irigasi sedotan
hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.
Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan
apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split
thickness skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah
akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan
terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup
kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian
adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit
menjadi tegang.
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah tindakan operasi.
Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.
Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin
(manusia).
7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement
dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada
luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka,
luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5 7 hari dan luka
bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui
tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari
terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan
tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya
untuk mencegahnya deformitas.
8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary splinting
dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan
dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw,
intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif.
Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan luka baik dan diyakini
tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur
terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen
fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.
Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah
dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar
tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak
disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh
setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota
gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan. Pada fraktur terbuka derajat
III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan
gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah
luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk
menunjang secondary bone healing dengan pembentukan kalus.
Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam
stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode
yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam, yaitu:
SUMBER :
6. Pembagian fraktur :
1) Ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2
antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu :
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
3) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
3. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
SUMBER :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone ; Jakarta
.
7. Jenis dan manajemen syok :
a. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau
penurunan volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering
ditemui pada penderita. Penyebab primernya adalah defisit volume IVF sehingga
perfusi jaringan menurun. Cairan yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :
T = 90 100
Vasokonstriksi-Pucat-Oliguria
Vasokonstriksi hebat-Anuria
b. Syok Kardiogenik
Pada syok kardiogenik secara primer yang terganggu adalah fungsi jantung
sebagai pemompa darah (Pump failure). Menurut Maclean syok kardiogenik merupakan
suatu aliran darah ke organ vital yang tidak mencukupi disebabkan karena cardiac output
yang kurang meskipun cardiac filling pressure normal.
c. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau
tanpa penurunan kesadaran. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada
beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang
merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang
sebelumnya sudah tersensitisasi.
d. Syok Septik
a) Pengertian
Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf dan disebabkan oleh
infeksi yang menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan
praktik pengendalian infeksi, melakukan teknijk aseptik yang cermat, melakukan
debriden luka ntuk membuang jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan
peralatan secara tepat dan mencuci tangan secara menyeluruh
b) Tanda dan Gejala
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap bakteriemia. Pada saat
bakteriemia menyebabkan perubahan dalam sirkulasi menimbulkan penurunan perfusi
jaringan dan terjadi shock sepsis. Sekitar 40% pasien sepsis disebabkan oleh
mikroorganisme gram-positive dan 60% disebabkan mikroorganisme gram-negative.
Pada orang dewasa infeksi saluran kencing merupakan sumber utama terjadinya
infeksi. Di rumah sakit kemungkinan sumber infeksi adalah luka dan kateter atau
kateter intravena. Organisme yang paling sering menyebabkan sepsis adalah
staphylococcus aureus dan pseudomonas sp.
Pasien dengan sepsis dan shock sepsis merupakan penyakit akut. Pengkajian
dan pengobatan sangat diperlukan. Pasien dapat meninggal karena sepsis. Gejala
umum adalah:
a. Demam
b. Berkeringat
c. Sakit kepala
d. Nyeri otot
e. Syok Neurogenik
a) Pengertian
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok
distributif, Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena
hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Hasil
dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada
sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).
Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi
vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di
daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal
umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri
hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan,
umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan.
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok
pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis
akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari
syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.
b) Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik
terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih
lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa
quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien
menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan
darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat
berwarna kemerahan.
Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain
yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,
demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler.Pada tingkat seluler, terjadi
peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid
endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian
sel.Bertambahnya pemahaman fi siologi trauma medula spinalis akan menambah
pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino
steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropin-releasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.
Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,
menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang.
Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan antiedema.
Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar
antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif
menetralkan faktor komplemen yang beredar inhibisi peroksidasi lipid, prevensi
iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan
ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The
National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30
mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin
setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan
pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian
NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama
15 menit di-lanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam
berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma.
Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai
48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam.
Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid
nonglukokortikoid dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi
ini masih kontro-versial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2
yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan
lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit
(ICU), dan kematian.
GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel. Glikolipid
ini berperan meningkatkan neuronal sproutdan transmisi sinaptik.
Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor
pertumbuhan neurit, menstimulasi per-tumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein
kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf.
Antagonis opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson sebagai
antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding
metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik tangkap, yaitu
golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfi n dan norbinaltorfimin) pada
hewan coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh
darah, pengurangan influks kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta modulasi
pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji klinis lanjutan.
Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem
kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga
mikrosirkulasi medula spinalis membaik.
SUMBER :
Gondorwardja,Y dan Purwata,T. 2014. Trauma Medula Spinalis: Patobiologi
dan Tata Laksana Medikamentosa. CDK-219/ vol. 41 no. 8. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar ; Bali
SUMBER :
- Sjamsuhidajat & Jong,W.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2. EGC ;
Jakarta
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed
union, dan non union.
- Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk(deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
- Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
- Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
SUMBER :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone ; Jakarta