Anda di halaman 1dari 24

LEARNING OBJECTIVE

1. Faktor penyebab deformitas ?


2. Manajemen rehabilitasi ?
3. Interpretasi dari pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan lab ?
4. Prosedur life saving ?
5. Tatalaksana fraktur terbuka dan fraktur tertutup ?
6. Pembagian fraktur ?
7. Jenis dan manajemen syok ?
8. Jenis-jenis kasus pada multipel trauma dan penanganan nya ?
9. Penanganan untuk cidera medulla spinalis ?
10. Manajemen bedah pada pasien fraktur ?
11. Komplikasi pada fraktur femur?

Jawab :

1. Faktor penyebab deformitas :


Tipe dan Jenis deformitas Tulang
Deformitas yang dapat terjadi pada tulang meliputi :
a) Ketidaksejajaran tulang ( loss og alignment )
Tulang panjang dapat mengalami gangguan dalam kesejajajaran oleh karena terjadi
deformitas torsional atau deformitas angulasi.
b) Abnormalitas panjang tulang ( abnormal length )
Kelainan panjang pada tulang dapat berupa tulang memendek/menghilang sama
sekali atau panjangnya lebih normal
c) Pertumbuhan abnormal tulang
Abnormalitas pertumbuhan tulang dapat terjadi akibat adanya kelainan pada tulang
misalnya osteoma dan osteokondroma

Penyebab Deformitas Tulang :


a) Pertumbuhan abnormal tulang bawaan
Kelainan bawaan tulang dapat berupa aplasia,displasia, duplikasi atau
pseudoartrosis
b) Fraktur
Deformitas juga dapat terjadi akibat kelainan penyembuhan fraktur berupa
malunion atau nonunion. Kelainan lain fraktur patologis dimana fraktur terjadi
karena sebelumnya sudah ada kelainan patologis pada tulang.
c) Gangguan pertumbuhan lempeng epifisis
Gangguan pertumbuhan lempeng epifisis baik oleh trauma maupun kelainan
bawaan, dapat menyebabkan deformitas tulang
d) Pembengkokan abnormal tulang
Pada keadaan tertentu,dapat terjadi pembengkokan tulang misalnya pada penyakit
metabolik tulang bersifat umum, rakitis dan osteomalasia

e) Pertumbuhan berlebih pada tulang matur


Pada kelainan yang disebut penyakit paget terjadi penebalan tulang. Kelainan ini
dapat pula terjadi pada osteokondroma dimana terjadi pertumbuhan lokal.

SUMBER :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone ; Jakarta

2. Manajemen rehabilitasi :
Rehabilitasi medik bisa disebut dengan Physical Medicine & Rehabilitation (PMR). PMR
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fungsional seseorang sesuai dengan potensi yang
dimiliki untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah
atau mengurangi disabilitas dan kecacatan seoptimal mungkin. Komponen yang dikenakan
intervensi untuk memperbaiki fungsi tubuh terdiri dari diri orang tersebut, tugas yang
diberikan kepada orang tersebut, beserta lingkungan tempat dia tinggal.

Beberapa kondisi pada muskuloskeletal yang dapat diperbaiki dengan adanya rehabilitasi
medik yaitu: pasca amputasi; tendon yang robek; trauma, seperti terpelintir, dislokasi sendi,
dan fraktur; sakit punggung; osteoporosis; artritis; tumor tulang; dan stres yang berulang pada
muskuloskeletal.

Tujuan dari rehabilitasi medik pada cedera muskuloskeletal yaitu: mengatasi nyeri,
memperbaiki deformitas, melindungi jaringan yang cedera, mencegah komplikasi,
mengembalikan ROM (Range of Movement), dan memperbaiki kekuatan.5 Prinsip
penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semua (reposisi)
dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).

Tipe dan waktu untuk melakukan latihan berjalan pada proses rehabilitasi medik dapat
dibedakan berdasarkan kestabilan fraktur. Jika fraktur yang terjadi stabil, maka dapat latihan
berjalan weight-bearing pada minggu keempat hingga minggu keenam. Untuk fraktur yang
tidak stabil, namun tidak terjadi displacement maka perlu imobilisasi non-weight bearing
mulai dari minggu keempat hingga minggu keenam. Apabila penyembuhan terjadi dengan
baik, maka pasien dapat diberikan latihan berjalan pada dua minggu berikutnya. Apabila
pasien tidak dilakukan operasi, pemeriksaan lanjutan dengan radiografi perlu untuk dilakukan
setiap minggunya selama dua hingga tiga minggu setelah terjadinya luka untuk mengetahui
displacement pada fraktur. Latihan penguatan dan ruang gerak sendi dapat mulai dilakukan
ketika penyembuhan fraktur sudah selesai. Pasien dengan fraktur pergelangan kaki akan
biasanya memerlukan imobilisasi dan non-weight bearing mulai dari minggu keempat hingga
minggu kedepalapan setelah operasi.
Pada trauma yang terjadi di os.femur bagian distal, maka sebelum dan setelah pelaksanaan
terapi latihan, pasien harus berada dalam posisi mengelevasikan tungkai atas yang sakit
dengan diganjal bantal pada tungkai bawah yang sakit, sehingga membentuk sudut 30.

Pelaksanaan terapi latihan terdiri dari beberapa cara:

1. Kontraksi Statis (Static Contraction)

Latihan ini dilakukan segera setelah pasien menjalani operasi. Terapi ini dilakukan saat posisi
pasien berbaring terlentang dan ditujukan untuk otot quadriceps femoris. Tangan terapi berada
di bawah fossa poplitea sisi yang sakit, kemudian pasien diminta menekan tangan terapis
selama enam kali hitungan. Latihan ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12
kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat mengurangi edema dan nyeri.

2. Pergerakan pasif (Passive Movement)

a. Relaxed Passive Movement

Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis berada di sebelah lateral tungkai
pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Terapis menggerakkan tungkai ke
arah fleksi lutut secara perlahan sampai batas timbul rasa nyeri, kemudian dikembalikan lagi
ke arah ekstensi lutut. Gerakan-gerakan lain yang dapat dilakukan yaitu abduksi-adduksi
ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi, dan inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan
ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12 kali dan dilakukan setiap hari.

b. Forced Passive Movement

Pasien dalam posisi berbaring terlentang, kemudian terapis berada di sebelah lateral tungkai
pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Gerakan yang dilakukan sama seperti
relaxed passive movement. Namun, di akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien
mampu menahan rasa nyeri. Gerakan ini dilakukan sehari sekali dengan pengulangan 10 12
kali dan dilakukan setiap hari.

3. Pergerakan Aktif (Active Movement)

a. Free Active Movement

Gerakan ini diberikan pada tungkai yang sakit. Posisi pasien berbaring terlentang, kemudian
posisi terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi
kranial pasien. Salah satu tangan terapis memfiksasi di proksimal lutut dan tangan lainnya
diletakkan pada distal tungkai bawah. Pasien menggerakkan sendiri anggota gerak yang sakit.
Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi lutut, abduksi-adduksi ekstremitas
bawah dan dorsal-plantar serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1
kali dalam sehari dengan pengulangan sebanyak 10 - 12 kali dan dilakukan setiap hari.

b. Assisted Active Movement


Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring
terlentang, kemudian salah satu tangan terapis menyangga di bawah proksimal lutut dan
tangan yang lain berada pada distal tungkai bawah pasien. Gerakan yang dilakukan adalah
fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi ekstremitas bawah dan dorsal-plantar fleksi serta
inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan
pengulangan sebanyak 10-12 kali dan dilakukan setiap hari.

c. Ressisted Active Movement

Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi. Gerakan berupa fleksi-ekstensi
lutut, abduksi-adduksi ekstremitas bawah, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi
pergelangan kaki. Terapis memberikan penahanan untuk setiap gerakan yang dilakukan.
Tahanan yang diberikan dilakukan secara bertahap mulai dari minimal hingga maksimal
(hingga pasien mampu menahan rasa nyeri). Tahanan yang diberikan terapis berlawanan dari
arah gerakan yang dilakukan pasien. Gerakan dilakukan satu kali dalam sehari dengan
pengulangan sebanyak 10-12 kali dan dilakukan setiap hari.

4. Hold Relax

Pasien berada pada posisi berbaring terlentang, kemudian pasien diminta untuk menggerakkan
ke arah fleksi lutut sampai batas timbul rasa nyeri, lalu terapis memberikan penahanan ke arah
ekstensi lutut. Pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada sendi.
Setelah itu pasien diperintahkan untuk rileks dan terapis menggerakkan ke arah fleksi lutut
untuk penguluran otot-otot ekstensor.

5. Latihan Berjalan

Latihan berjalan bisa dilakukan pada hari kedua pasca operasi, namun tetap harus melihat
kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan, pasien diperintahkan untuk duduk dengan
membebaskan kaki di tepi tempat tidur. Tungkai yang sehat diturunkan dari tempat tidur
terlebih dahulu, tungkai yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis. Terapis
menyangga dengan cara meletakkan satu tangan di bawah bagian distal tungkai atas dan yang
lainnya di distal tungkai bawah. Setelah itu pasien diberdirikan dengan menggunakan dua
kruk axilla, kemudian latihan berjalan di mulai non-weight bearing dengan metode three point
gait dan swing to.

SUMBER : Fauzi A. Cedera sistem muskuloskeletal [Lecture]. Divisi Orthopaedi


dan Traumatologi FKUI; 2012.

3. Interpretasi dari pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan lab


4. Prosedur life saving :
Manajemen
Tujuan tindakan setiap penderita trauma pada umumnya adalah life saving dan life limb
dalam art! memaksimalkan survival penderita, dan save joint agar outcome fungsinya
tercapai optimal juga. Kebutuhan oksigen penderitaadalah prioritas utama dan sangat
diperlukan secepatnya sebagai save life, bilaini tidak tercapai maka kerusakan otak penderita
menjadi irreversible. Oleh karena itu tindakan memperbaiki jalan napas, respirasi penderita
dan sirkulasi darah yang akan mendistribusi oksigen ke organ-organ atau ke jaringan perifer
merupakan tindakan utama dan sangat diperlukan ( ABC / air way, breathing dan
circulation).Mengerjakan intubasi sebagai tindakan awal pada gangguan jalan nafas.

Jalan Napas (Air way)


Jalan napas di mulai dari hidung dan mulut sampai ke paru-paru penderita. Jalan inilah
yang perlu Anda kontrol dengan melakukan pemasangan endotracheal intubation bila ada
obstruksi, atau kemungkinan terjadi hambatan seperti edema di leher. Ketrampilan
pemasangan tube tersebut perlu Anda punyai dan perlu diingat banwa penderita dalam
keadaan koma selalu dipikirkan trauma servikal sampai pada pemeriksaan sekunder tidak
terbukti. Artinya pemasangan endotracheal tersebut kepaia dan leher penderita harus
diimobilisasi dengan collar brace atau bantalan pasir yang diletakkan kanan-kiri leher
penderita.Memahami gangguan respirasi pada penderita trauma

Pernafasan (Breathing )
Trauma pada torak yang menimbulkan, hemotorak, pneumotorak, flailchest atau fraktur
tulang iga ( fraktur kosta ) akan mengakibatkan penurunan ventilasi. Gangguan difusi oksigen
di paru-paru karena berkurangnya fungsi paru-paru atau menurunkan frekuensi respirasi
karena ada rasa nyeri. Oleh karena itu yang perlu Anda pikirkan adalah melakukan evakuasi
pneumotorak dengan memasang WSD ( water seal drainage ), menutup luka pada flail chest
dan stabilisasi floating segmenfdinding torak tersebut.Melakukan resusitasi cairan / darah
pada penderita shock.

Sirkulasi (Circulation)
Berkurangnya jumlah oksigen di perifer akibat gangguan distribusi / sirkulasi akan
mengakibatkan shock Pulsus penderita akan melemah, kecil sampai tidak teraba, palltor, kulit
terasa dingin, dan berkeringat. Permulaan penderita gelisah sampai tidak sadar. Periu Anda
ketahui bahwa adanya takhikardi seperti denyut nadi lebih dan 120 permenit pada penderita
dewasa, anak-anak dua kali lipat dan orang dewasa merupakan tanda awal akan terjadinya
sok.Penyebab sok pada trauma umumnya akibat perdarahan. Perdarahan ekstemal Anda harus
menghentikan perdarahan tersebut dengan bebat menekan pada survei awal ( primary survey).
Jangan melakukan pengikatan atau alat hemostat untuk hal tersebut. Bila tidak ada perdarahan
ekstemal maka Anda memikirkan perdarahan internal yang biasanya perdarahan di rongga
pelvis,abdomen atau rongga torak. Tapi pada fraktur tertutup seperti fraktur femur ataufraktur
terbuka dapat menimbulkan shock.Tidak semua sok disebabkan oleh perdarahan, tapi dapat
juga akibat dan jantung itu sendiri tidak mampu mendistribusikan darah ke perifer sehingga
disebut sok kardiogenik seperti cardiac tamponade atau trauma tulang belakang yang
menyebabkan hilangnya tonus vasomotor sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan disebut sok
neurogenik. Perbedaan antara sok hemorrhagic dengan shock kardiogenik dan shock
neurogenik yartu adanya hipotensi tanpa takhikardi.Mengatasi keadaan ini Anda harus
melakukan pemberian cairan kristaloid atau darah dan dalam keadaan terpaksa dapat
menggunakan darah O dengan Rh negatif. Pemberian vasopressor agent akan membantu,
kecuali bila akibat perdarahan.

Resusitasi
Ketiga tindakan diatas, jalan napas, pernafasan dan sirkulasi disebut resusitasi yang
dikerjakan pada survei awal sehingga objektifnya adalahmempertahan dan menjamin akan
kebutuhan oksigen penderita. Setelah jalannapas terjamin dan ventilasi 100% telah dimulai
maka dilakukan resusitasi cairandengan memasang infus jarum nomer 16 atau lebih besar lagi
secara intravenous. Bila terjadi kesukaran pada anak-anak dapat menggunakan kanalis
medularis tibia atau femur.Penderita hipotensi dan takhikardi diberikan cairan laktat 2 liter (
20 ml/kg berat badan untuk anak-anak ) secepat mungkin. Bila vital sign terkoreksi baik maka
cairan perinfus dipertahankan, tapi bila tidak terkoreksi maka ditambah lagi 2 liter dan
tranfusi darah harus segera dipikirkan.Memahami pemeriksaan neurologis pada penderita
trauma.

Pemeriksaan Nerologi (Neurologic Disability)


Pada pemeriksaan neurologis Anda dituntut untuk membuktikan adanya trauma kepala
sejak survei awal dilakukan dengan cara pemeriksaan Glasgow Coma Scale ( tabel 1 ) dan
pemeriksaan neurologis keempat anggota gerak. Terakhir pada survei awal ini adalah
melepaskan seluruh pakaian penderita agar tidak ada kelainan yang teriupakan dengan istilah
exposure dan setelah itu penderita diberi selimut agar tidak terjadi hipotermi.

SUMBER :

5. Tatalaksana fraktur terbuka dan fraktur tertutup


A. Fraktur terbuka
Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada
penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan.
Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life
limb dengan resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi,
eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan
sesudah operasi), pemberian anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan
fisioterapi. Tindakan definitif dihindari pada hari ketiga atau keempat karena
jaringan masih inflamasi/ infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali
dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai
berikut :
1. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah
gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur
bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka
ditutup dengan material yang bersih dan steril.

2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan
penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn banyak darah
pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat
diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan
resusitasi dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan
nafas atau denyut jantung karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera
organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan
pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis
dilakukan setelah pasien stabil.

3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan
penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan
baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu
sendiri.

4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS)


Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma.
Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2
gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8
jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan
memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur
dan sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi,
maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk penyesuaian ualng
pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada
fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka
yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan
kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus
dapat diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada
penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit
pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang
dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat
imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara
intramuskular.

5. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati,
memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum,
pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai
yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang
sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di
sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka
diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir dapat
disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan
lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.
Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut:

Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak
mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk
memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah diperbesar, pembalut dan
bahan asing lain dapat dilepas.

Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.

Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot yang
mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-
unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat berkontraksi bila
dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan yang kemampuan
hidupnya meragukan perlu dieksisi.
Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat,
tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka,
pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang arteri dan dipilin.

Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka itu
bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan
bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di kemudian
hari.

Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf,
penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi tidak perlu
dilakukan.

Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada
posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru
boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.

Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan
sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau irigasi sedotan
hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.

Debridement dapat juga dilakukan dengan :

Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.

Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)


Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas.
Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.

Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan
apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split
thickness skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah
akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan
terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup
kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian
adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit
menjadi tegang.

Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah tindakan operasi.

Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.
Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin
(manusia).

6. Penanganan jaringan lunak


Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation
atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan
bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.

7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement
dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada
luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka,
luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5 7 hari dan luka
bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui
tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari
terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan
tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya
untuk mencegahnya deformitas.

8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary splinting
dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan
dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw,
intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif.
Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan luka baik dan diyakini
tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur
terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen
fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.

Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah
dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar
tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak
disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh
setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota
gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan. Pada fraktur terbuka derajat
III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan
gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah
luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk
menunjang secondary bone healing dengan pembentukan kalus.

Pemasangan fiksasi

Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam
stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode
yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam, yaitu:

1. Pemasangan plate and screws


Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan
plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan
kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar
fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit
pembentukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada
pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat
yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi
permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain
LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi
baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang
banyak sehingga terjadi pembentukan kalus. Pemasangan plat perlu hati-hati dalam
melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan
otot karena dapat mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering
mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah
kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi.

2. Pemasangan screws or wires


Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil.
Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur intraartikuler dan
periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan
pemasangan plat atau external fixation device.

Pemasangan intramedullary nails/rods

Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung


fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply
sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union. Beberapa penelitian awal
menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed intramedullary nails pada fraktur tibia
terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk
stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC
sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan
setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local maupun pin tract
infection.
3. Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada pemasangan
plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat
disbanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat
seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada
pemasangan plat akan memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.(
1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka
derajat I dan derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang
membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka
menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II
dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat
popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi pada tempat
masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko terjadi malunion
sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi yang terlalu
awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan fiksasi luar
dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi pada fraktur yang
tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih
cepat.

B. Penanganan fraktur tertutup


Pertolongan darurat (Emergency)
Pemasangan bidal (splint)
a. Mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
b. Mengurangi rasa nyeri.
c. Menekan kemungkinan terjadinya emboli dan syok.
d. Memudahkan transportasi dan pengambilan foto.
Pengobatan definitif
- Reposisi secara tertutup
a) Manipulasi secara tertutup untuk mereposisi terbatas hanya pada patah
tulang tertentu.
b) Traksi dengan melakukan tarikan pada ekstremitas bagian distal.
- Imobilisasi
a) Gips (Plaster of paris castis)
b) Traksi secara kontinue : traksi kulit, traksi tulang.
- Reposisi secara terbuka
Melakukan reposisi dengan operasi kemudian melakukan imobilisasi dengan
menggunakan fiksasi interna yang dapat berupa plat, pen dan kawat.
Rehabilitasi
Tujuan umum
a. Mempertahankan ruang gerak sendi.
b. Mempertahankan kekuatan otot.
c. Mempercepat proses penyembuhan fraktur.
d. Mempercepat pengambilan fungsi penderita
Latihan terdiri dari
- Mempertahankan ruang gerak sendi.
- Latihan otot.
- Latihan berjalan

SUMBER :

- Fauzi A. Cedera sistem muskuloskeletal [Lecture]. Divisi Orthopaedi dan


Traumatologi FKUI; 2012.
- Sjamsuhidajat & Jong,W.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2. EGC ;
Jakarta

6. Pembagian fraktur :
1) Ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2
antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu :
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
3) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

2. Derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu :


a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen
tulang biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.
Menurut Pricedan Wilson (2005) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.

3. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

4. Jumlah garis patahan ada 3 antara lain:


a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.

SUMBER :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone ; Jakarta

.
7. Jenis dan manajemen syok :

a. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau
penurunan volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering
ditemui pada penderita. Penyebab primernya adalah defisit volume IVF sehingga
perfusi jaringan menurun. Cairan yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :

- Darah, misalnya pada perdarahan, hematoma


- Plasma, misalnya pada kasus luka bakar, keradangan
- Elektrolit ( air), seperti pada gastroentritis, ileus.
Kehilangan

(% blood volume) Syok Gejala

15% --- ---

15-25 % Ringan Nadi naik sedikit

Tensi turun sedikit

25-30 % Sedang N = 100 - 120

T = 90 100

Vasokonstriksi-Pucat-Oliguria

>30% Berat N > 120

T < 60 / lebih rendah

Vasokonstriksi hebat-Anuria

b. Syok Kardiogenik
Pada syok kardiogenik secara primer yang terganggu adalah fungsi jantung
sebagai pemompa darah (Pump failure). Menurut Maclean syok kardiogenik merupakan
suatu aliran darah ke organ vital yang tidak mencukupi disebabkan karena cardiac output
yang kurang meskipun cardiac filling pressure normal.

Penyebab terjadinya syok kardiogenik dapat dikelompokkan sebagai berikut :

- Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena komplikasi infark myokard


akut (IMA).
- Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain takiaritmia, tamponade
jantung, pneumotoraks akibat tekanan, emboli paru, dan infark ventrikel kanan.
- Curah jantung yang tidak adekuat antara lain bradiaritmia, regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikularis.

Tanda yang terdapat pada syok kardiogenik adalah :

- Penurunan tekanan darah


- Nadi yang lambat atau cepat atau tidak beraturan
- Peningkatan CVP
- Penurunan produksi urine
- Penurunan cardiac indeks
- PaO2 Menurun
- Produksi laktat meningkat

c. Syok Anafilaktik

Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau
tanpa penurunan kesadaran. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada
beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang
merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang
sebelumnya sudah tersensitisasi.

Reaksi Anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa


melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda biasanya
diterapi sebagai anafilaksis. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1
atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).

d. Syok Septik
a) Pengertian
Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf dan disebabkan oleh
infeksi yang menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan
praktik pengendalian infeksi, melakukan teknijk aseptik yang cermat, melakukan
debriden luka ntuk membuang jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan
peralatan secara tepat dan mencuci tangan secara menyeluruh
b) Tanda dan Gejala
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap bakteriemia. Pada saat
bakteriemia menyebabkan perubahan dalam sirkulasi menimbulkan penurunan perfusi
jaringan dan terjadi shock sepsis. Sekitar 40% pasien sepsis disebabkan oleh
mikroorganisme gram-positive dan 60% disebabkan mikroorganisme gram-negative.
Pada orang dewasa infeksi saluran kencing merupakan sumber utama terjadinya
infeksi. Di rumah sakit kemungkinan sumber infeksi adalah luka dan kateter atau
kateter intravena. Organisme yang paling sering menyebabkan sepsis adalah
staphylococcus aureus dan pseudomonas sp.
Pasien dengan sepsis dan shock sepsis merupakan penyakit akut. Pengkajian
dan pengobatan sangat diperlukan. Pasien dapat meninggal karena sepsis. Gejala
umum adalah:
a. Demam
b. Berkeringat
c. Sakit kepala
d. Nyeri otot

e. Syok Neurogenik
a) Pengertian
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok
distributif, Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena
hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Hasil
dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada
sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).
Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi
vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di
daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal
umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri
hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan,
umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan.
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok
pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis
akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari
syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.

b) Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik
terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih
lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa
quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien
menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan
darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat
berwarna kemerahan.

SUMBER : Herdyanto,2012.Syok dan Penanganannya.Fakultas Kedokteran dan Ilmu


Kesehatan Universitas Negeri Surabaya

8. Jenis-jenis kasus pada multipel trauma dan penanganan nya :


Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem
organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus,
multiple traumaadalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan
yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang
kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang
letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cederaakibat trauma
secara langsung.
Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple traumaadalah untuk
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasiuntuk memastikan
perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai
dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacementsesuai
dengan protokol Advanced Trauma and Life Support / ATLS. Bila dengan cara
konservatif tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan
immediate life-saving surgery
Untuk penanganan awal digunakan konsep damage control, yaitu kontrol
terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta penutupan luka atau
rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU,
yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila kondisi pasien
memungkinkan.
SUMBER:

Sjamsuhidajat & Jong,W.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2. EGC ; Jakarta

9. Penanganan untuk cidera medulla spinalis :


Evaluasi Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi
primer terdiri atas:
A : Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulationdengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas(status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma
dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik
dilakukan secara cepat dengan meminta pasien meng-genggam tangan pemeriksaan
dan melakukan dorsofl eksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya
retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit
yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di
bawah level trauma.

Penatalaksanaan Gawat Darurat


Stabilisasi vertebra Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal
dapat diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collardan meletakkan
bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra,
tujuan penatalaksanaan adalah realignmentdan fiksasi segmen bersangkutan. Indikasi
operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi,
gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet,
penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif.

Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain
yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,
demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler.Pada tingkat seluler, terjadi
peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid
endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian
sel.Bertambahnya pemahaman fi siologi trauma medula spinalis akan menambah
pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino
steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropin-releasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.

Terapi kerusakan primer


Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya,
akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar
katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih
ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan
medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, peng-gunaan vasopresor ini harus
diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang
berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran
darah ke perifer.

Terapi Kerusakan Sekunder

Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk


keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmako-logis yang tepat
mengingat patofi siologi yang sangat variatif.

Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,
menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang.
Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan antiedema.
Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar
antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif
menetralkan faktor komplemen yang beredar inhibisi peroksidasi lipid, prevensi
iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan
ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The
National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30
mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin
setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan
pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian
NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama
15 menit di-lanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam
berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma.
Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai
48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam.
Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid
nonglukokortikoid dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi
ini masih kontro-versial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2
yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan
lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit
(ICU), dan kematian.
GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel. Glikolipid
ini berperan meningkatkan neuronal sproutdan transmisi sinaptik.
Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor
pertumbuhan neurit, menstimulasi per-tumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein
kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf.
Antagonis opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson sebagai
antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding
metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik tangkap, yaitu
golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfi n dan norbinaltorfimin) pada
hewan coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh
darah, pengurangan influks kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta modulasi
pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji klinis lanjutan.
Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem
kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga
mikrosirkulasi medula spinalis membaik.

SUMBER :
Gondorwardja,Y dan Purwata,T. 2014. Trauma Medula Spinalis: Patobiologi
dan Tata Laksana Medikamentosa. CDK-219/ vol. 41 no. 8. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar ; Bali

10. Manajemen bedah pada pasien fraktur :


Non-Bedah
Penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan
dislokasi yang tidak akan menyebabkan cacat di kemudian hari, cukup dengan
proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi. Contohnya adalah patah tulang rusuk, fraktur
klavikula pada anak, fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
Imobilisasi dengan fiksasi atau imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap
memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contohnya adalah
pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting
Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah
tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
Reposisi dengan traksi terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa
minggu diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang yang bila
direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali didalam gips.
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Untuk fiksasi fragmen patahan
tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja
tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat ini dinamakan
fiksator ekstern
Reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang
secara operatif, misalnya reposisi fraktur kolum femur. Fragmen di reposisi secara
non-operatif dengan meja traksi; setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke
dalam kolum femur secara operatif.
Bedah
Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna. Ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, lengan
bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang
panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan
reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan segera
bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini
mengundang risiko infeksi tulang.
Eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan prostesis, yang dilakukan
pada fraktur kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan
prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur tidak dapat
menyambung kembali.

SUMBER :
- Sjamsuhidajat & Jong,W.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2. EGC ;
Jakarta

11. Komplikasi pada fraktur :


Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005) antara
lain:
1.Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
- Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi)
dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
- Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin
yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
- Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisadisebabkan karena penurunan ukuran
kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs
atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema
atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera
remuk).
- Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasa ditandai denagan tidak ada nadi, CRT menurun,
syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
- Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
- Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkmans
Ischemia

2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed
union, dan non union.
- Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk(deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
- Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
- Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.

SUMBER :
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsip Watampone ; Jakarta

Anda mungkin juga menyukai