Anda di halaman 1dari 5

AGONIS DAN SUPRA AGONIS

Latar Belakang
Ada kalanya dokter belum memperoleh efek yang diinginkan dengan dosis tertentu,
sehingga dokter harus meningkatkan dosis obat tersebut atau menggabungkannya
dengan obat lain untuk memperoleh efek yang lebih nyata.

Tujuan
1. Memperlihatkan pertambahan efek obat akibat pertambahan dosis obat
2. Memperlihatkan efek interaksi obat ( efek kerja kombinasi obat-obatan )

Materi Praktikum
Obat Adrenergik. Obat golongan ini disebut demikian, karena efek yang
ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek
neurotransmitter norepinefrin dan epinefrin ( noradrenalin atau adrenalin ).
Golongan obat seperti ini juga disebut sebagai simpatomimetik.
Kerja obat adrenergik dapat dikelompokkan dalam 7 jenis, yaitu :
1. Perangsangan organ perifer
2. Penghambatan organ perifer
3. Perangsangan jantung
4. Perangsangan SSP
5. Efek metabolic
6. Efek endokrin
7. Efek prasinaptik
Sebagian obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik di
membran sel efektor. Akan tetapi, berbagai obat adrenergik tersebut berbeda
dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergik.
Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor beta dan sedikit sekali
pengaruhnya pada reseptor alpha. Sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukkan
aktivitas pada reseptor alpha. Jadi, efek suatu obat adrenergik dapat diduga bila
diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhinya.
Obat adrenergik memiliki struktur dasar Beta Feniletilamin, yang terdiri dari cincin
benzen dan rantai samping etilamin. Substitusi dapat dilakukan pada cincin benzen
maupun pada atom C-alpha, atom C-beta dan gugus amino dari etilamin. Substitusi
pada atom C-alpha menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim
monoamin oksidase menjadi asam mandelat yang tidak aktif. Karena selain MAO,
COMT ( katekol-O-metiltransferase ) juga berperan dalam biotransformasi amin
simpatomimetik, maka hambatan MAO hanya akan mempunyai arti bila COMT juga
dihambat. Jadi, substitusi pada atom C-alpha hanya kan meningkatkan efektivitas
oral dan memperpanjang masa kerja amin simpatomimetik yang bukan katekolamin,
tetapi tidak memperpanjang masa kerja amin simpatomimetik yang berupa
katekolamin. Substitusi pada atom C-beta yang bersifat levorotatory disertai
aktivitas perifer yang lebih kuat. Dengan demikian senyawa alamiah,I-epinefrin dan I-
norepinefrin mempunyai efek perifer 10 x lebih kuat dari isomer dekstronya.
Sebaliknya, substitusi yang bersifat dextrorotatory pada atom C-alpha menyebabkan
efek sentral yang lebih kuat, misalnya d-amfetamin mempunyai efek sentral yang
lebih kuat dibanding i-amfetamin, tetapi tidak di perifer.
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergik. Dengan mengerti efek
epinefrin mudah mengerti efek obat adrenergik yang bekerja di reseptor lainnya.
Epinefrin bekerja pada seluruh reseptor adrenergik. Isoproterenol yang bekerja pada
reseptor beta secara selektif efeknya serupa dengan efek epinefrin dikurangi efek
pada alpha-1 dan alpha-2. Norepinefrin bekerja pada reseptor alpha-1, alpha-2, dan
beta-1, sehingga efeknya sama dengan efek epinefrin dikurangi efek pada reseptor
beta-2. Dengan mengetahui kerja obat pada reseptor dapat diperkirakan efeknya
terhadap organ tubuh. Selektivitas obat tidak mutlak, dalam dosis besar, selektivitas
hilang, jadi dalam dosis besar agonis beta-2 tetap dapat menyebabkan perangsangan
beta-1 pada jantung.
Pada umumnya, pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik.
Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergik adalah NE.
Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah
dan lainnya.
Efek pemberian Epi pada organ mata : Midriasis mudah terjadi pada perangsangan
simpatis tetapi tidak bila Epi diteteskan pada konjungtiva mata normal. Tetapi, Epi
biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada pasien
glaukoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan berkurangnya pembentukan
cairan bola mata akibat vasokonstriksi dan karena bertambahnya aliran ke luar.
Sumber : Farmakologi dan Terapi Dept. Farmakologi dan Terapeutik FKUI
Sulfasatropin. Antagonis muskarinik sering disebut obat parasimpatolitik karena
mereka menyakat efek-efek yang ditimbulkan oleh aktivitas otonomik parasimpatis.
Namun mereka tidak melisiskan saraf-saraf parasimpatis, dan mereka mempunyai
beberapa efek yang tidak bisa diprediksi dari penyakatan system saraf parasimpatis.
Atropine ditemukan pada tanaman Atropa belladonna, atau bayangan malam yang
mematikan, dan di Datura stramonium, yang dikenal sebagai rumput liar jimson
(Jamestown weed) atau apel berduri. Atropine menyebabkan blokade reversible
kerja kolinomimetik pada reseptor muskarinik, misalnya blokade oleh atropine dosis
kecil bisa diatasi dengan konsentrasi acetylcholine yang lebih besar. Ini
menyebabkan terjadinya kompetisi di situs ikatan pada protein reseptor. Eksperimen
mutasi menunjukkan diperlukannya asam amino tertentu di dalam reseptor untuk
membentuk ikatan karakteristik dengan atom nitrogen acetylcholine; asam amino ini
juga diperlukan untuk mengikat obat antimuskarinik. Ketika atropin terikat pada
reseptor muskarinik, ini akan mencegah kerja-kerja seperti rilis inositol trisphosphate
dan penghambatan adenylyl cyclase yang disebabkan oleh agonis muskarinik.
Efektivitas obat antimuskarinik bervariasi dan bergantung pada jaringan yang diteliti
juga sumber agonisnya. Jaringan yang paling sensitif terhadap atropine adalah
kelenjar ludah, bronchial dan kelenjar keringat. Sekresi asam oleh sel parietal
lambung adalah yang paling tidak sensitif. Efektor otonomik otot polos dan jantung
mempunyai daya responsive yang sedang. Pada sebagian besar jaringan, obat
antimuskarinik lebih efektif dalam menyakat agonis kolinoseptor eksogen
dibandingkan dengan acetylcholine yang dirilis secara endogen. Atropine sangat
selektif terhadap reseptor muskarinik. Potensinya terhadap reseptor nikotinik lebih
rendah daripada terhadap reseptor muskarinik; dalam penggunaan klinis, kerja pada
reseptor muskarinik biasanya tidak bisa dideteksi.
Efek Atropine pada Mata. Otot konstriksi pupil bergantung pad aktivitas kolinoseptor
muskarinik. Aktivitas ini secara efektif disakat oleh atropine topical dan obat
antimuskarinik tersier lainnya dan menyebabkan tidak dilawannya aktivitas simpatis
dan midriasis. Pupil yang melebar dulunya sangat diinginkan sebagai salah satu cara
mempercantik diri selama masa Renaissance dan nama belladonna didapatkan dari
ekstrak aktif tanaman yang pada saat itu digunakan sebagai obat tetes mata.
Efek penting pada mata yang kedua dari obat antimuskarinik adalah melemahnya
kontraksi dari otot silier atau sikloplegia. Hasil dari sikloplegia adalah hilangnya
kemampuan akomodasi mata; mata yang mendapat atropine secara penuh tidak
bisa memfokus pada pelihatan jarak dekat.
Baik midriasis maupun sikloplegia sangat berguna dalam ilmu mata. Obat ini juga
berpotensi membahayakan, karena glaukoma akut bisa dipercepat kemunculannya
pada pasien dengan sudut kamar depan yang sempit.
Efek pada mata yang ketiga dari obat antimuskarinik adalah menurunnya sekresi air
mata. Pasien kadangkala mengeluh tentang matanya yang kering atau berpasir
ketika menerima obat antimuskarinik dalam dosis besar.
Sumber : Farmakologi Dasar dan Klinis Bertram G. Katzung
Hewan Percobaan
Kelinci ( jantan / betina )

Obat yang dipakai
1. Larutan 0,5% Adrenalin HCl
2. Sulfasatropin

Peralatan
1. Pipet Tetes
2. Kertas Milimeter
3. Lampu Senter
4. Kapas
5. Jam

Pelaksanaan
Mahasiswa akan dibagi atas kelompok-kelompok, dan setiap kelompok bekerja
dengan seekor kelinci. Sebelum percobaan dilakukan, maka observasilah yang telbih
dahulu oculi dextra / sinistra kelinci dalam interval waktu tertentu tentang hal hal
berikut :
1. Diameter pupil ( dalam mm ), jarak horizontal kedua pinggir paling lateral
pupil
2. Besar bola mata : normal, exopthalmus, enaphalimus
3. Refleks Ancaman ( refleks kornea )
4. Refleks Cahaya
a. Direct
b. Indirect
5. Sekresi Kelenjar Air Mata
6. Konsistensi Bola Mata : keras / lunak
7. Kelainan gerakan bola mata
8. Kelainan Palpebra ( mis. seperti ptosis )

Pengamatan
Setelah observasi selesai , kedua mata kelinci ditetesi 3 tetes larutan adrenalin HCl
0,5%. Perhatikan efeknya dan lakukan kembali observasi. Sepuluh menit kemudian,
teteskan pada mata kiri 3 tetes adrenalin HCl 0,5% dan teteskan juga pada mata
kanan 3 tetes Sulfasatropin. Setelah itu, observasi kembali dilakukan. Catatlah
seluruh hasil observasi dalam kertas lampiran. Dari hasil observasi ( terutama yang
dilihat adalah perubahan diameter pupil ), mahasiswa akan dapat menarik
kesimpulan tentang efek Adrenalin dan Sulfasatropin ini. (Perhatikan dan
bandingkan efek pada oculi dextra dan oculi sinistra kelinci )

Hasil Praktikum
Observasi Awal
No Observasi Mata Kiri Mata Kanan
1 Diameter Pupil 6 mm 5 mm
2 Besar Bola Mata Exopthalmus Exopthalmus
3 Refleks Ancaman Normal Normal
4 Refleks Cahaya Indirek Indirek
5 Sekresi Kelenjar Air Mata Positif Positif
6 Konsistensi Bola Mata Lunak Lunak
7 Kelainan Gerakan Bola Mata Fokus Fokus
8 Kelainan Palpebra - -

Observasi setelah kedua mata ditetesi 3 tetes Adrenalin HCl 0,5%
No Observasi Mata Kiri Mata Kanan
1 Diameter Pupil 7 mm 6 mm
2 Besar Bola Mata Exopthalmus Exopthalmus
3 Refleks Ancaman Normal Normal
4 Refleks Cahaya Direk Indirek
5 Sekresi Kelenjar Air Mata Positif Positif
6 Konsistensi Bola Mata Lunak Lunak
7 Kelainan Gerakan Bola Mata Tidak Fokus Tidak Fokus
8 Kelainan Palpebra - -

Observasi setelah mata kiri ditetesi Adrenalin HCl 0,5% dan mata kanan ditetesi
Sulfasatropin
No Observasi Mata Kiri Mata Kanan
1 Diameter Pupil 7 mm 5 mm
2 Besar Bola Mata Exopthalmus Normal
3 Refleks Ancaman Normal Normal
4 Refleks Cahaya Direk Indirek
5 Sekresi Kelenjar Air Mata Positif Normal
6 Konsistensi Bola Mata Keras Lunak
7 Kelainan Gerakan Bola Mata Tidak Fokus Tidak Fokus
8 Kelainan Palpebra - -

Anda mungkin juga menyukai