Anda di halaman 1dari 3

OLEH TEUKU CUT MAHMUD AZIZ, MA, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP

Universitas Almuslim Peusangan, Bireuen, melaporkan dari New Delhi dan Mumbai, India

PERJALANAN saya ke India kali ini sebagai tim Peneliti Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI. Dalam tim ini, saya dari FISIP
Universitas Almuslim (Umuslim) bersama Dr Ichsan, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas
Malikussaleh.

Selama di negara Hindustan ini, kami meneliti tentang “Pengembangan Kerja Sama
Ekonomi dan Konektivitas antara Indonesia, India, dan Myanmar dengan Fokus pada Kerja
Sama Ekonomi dan Konektivitas antara Aceh, India Kepulauan Andaman-Nicobar, dan
Yangon-Rakhine State.”

Selama di India, kami mendapat sambutan sangat bersahabat dari Duta Besar RI, HE
Sidharto R Suryodipuro dan segenap jajarannya. Kami juga menetap di Kedutaan Besar RI
di New Delhi.

Dalam rangkaian kegiatan ini, kami melakukan kunjungan ke Kemenlu India dan berbagai
instansi terkait lainnya, termasuk berjumpa dengan sejumlah orang penting India. Di
antaranya Prof M Jagadesh Kumar, Vice-Chancellor (Rektor) of Jawaharlal Nehru University
(JNU), Prof Chintamani Mahaprata, Wakil Rektor JNU, serta pakar atau peneliti dari
sejumlah universitas dan lembaga think tank. Kami juga menyempatkan hadir dalam 3-Day
International Conference on “India-Southeast Asia: One Indic Belt, Shared Culture &
Common Destiny” di JNU. Selama penelitian di New Delhi kami didampingi diplomat dari
KBRI, Noviandri Wibowo.

Tim kami disambut penuh keramahan. Pertemuan ini dalam rangka pengumpulan data
lapangan sebelum tim peneliti menuju Kepulauan Andaman dan Nikobar. Banyak hal yang
dibahas, mulai dari prospek kerja sama, berbagai peluang dan tantangan, komoditas
unggulan masing-masing wilayah, serta potensi pengembangan di sektor pariwisata dan
kerja sama bidang pendidikan.

Secara geografis, letak Andaman dan Nikobar lebih dekat ke Aceh daripada ke daratan
India. Jika ada penerbangan dari Banda Aceh ke Port Blair, ibu kota Kepulauan Andaman
dan Nicobar maka diperkirakan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Begitu dekat. Selama ini
kalau kita ingin ke sana harus lebih dahulu melalui Chennai, Kalkutta, atau New Delhi. Kita
harus mutar dulu dan berjam-jam waktu tempuhnya, yaitu 8 sampai 10 jam.

Sektor pariwisata menjadi sektor unggulan dan berpotensi untuk dikoneksikan antara
Sabang dan Port Blair. Kapal yacth yang selama ini singgah di Sabang dari
Singapura-Langkawi-Phuket, sebelum menuju Maladewa dapat lebih dahulu transit di Port
Blair atau Havelock. Demikian pula dengan kapal cruise yang singgah di Sabang dapat
melanjutkan perjalanan ke Port Blair atau Havelock. Havelock merupakan pulau pariwisata
terkenal di Andaman yang sedang dikembangkan Pemerintah India untuk menyamai
Maladewa. Setiap harinya 3.000-an turis ke sini.
Keseriusan Pemerintah India membangun Andaman dan Nikobar dibuktikan dengan mulai
memperhatikan pembangunan infrasruktur di Port Blair dan sejumlah pulau lainnya. Bandara
Port Blair sedang diperluas. Tahun 2020 selesai dan dapat didarati pesawat komersial dari
luar negeri.

Selain peluang kerja sama di bidang perdagangan dan turisme, kami juga mendiskusikan
peluang kerja sama di bidang pendidikan tinggi. Kami diskusi dengan Prof Chintamani
Mahaprata, Wakil Rektor Jawaharlal Nehru University (JNU) yang terkenal sebagai pakar
Indo-Pacific. Kemudian, kami lanjutkan pertemuan dengan Rektor JNU, Prof M Jagadesh
Kumar di ruang kerjanya.

Baik rektor maupun wakilnya berpenampilan sederhana, lembut dalam bertutur kata, dan
rendah hati. Saat ini Prof Jagadesh Kumar, salah seorang tokoh terkenal di India. Dia pakar
teknologi nano, ilmu yang berkaitan dengan atom. Rektor sangat senang mendengar
maksud kedatangan kami dan berpeluang dijajaki kerja sama antara kampus-kampus di
Aceh dengan kampus di India. Kami katakan universitas di India tak begitu populer di
Indonesia. Lulusan SMA atau S1 di Aceh yang ingin studi S2 dan S3 cenderung memilih
kuliah di Benua Amerika, Eropa, Australia, atau yang terdekat di Malaysia. Sedangkan
pendidikan tinggi di India diakui kualifikasinya di tingkat internasional. Kami katakan, “Kita
dekat secara geografis, tapi mengapa terasa jauh ya?” Mendengar ini, rektor tersenyum dan
katanya, “Sudah saatnya kita bangun kerja sama.”

Kerja sama di bidang pendidikan dan riset dapat dimulai antara universitas di India dengan
universitas di Aceh atau di Indonesia secara umum. “Kami siap membantu,” ujar Rektor
Kumar. “Kami memiliki kualitas pendidikan dan SDM profesional dan memadai, terutama di
bidang kedokteran, teknologi informasi, farmasi, dan mikrobiologi. Kami punya banyak ahli,”
ujarnya.

Di bidang kedokteran, contohnya, India diakui dunia, begitu juga dengan ahli-ahli di bidang
IT. “Posisi kita secara geografis berdekatan. Mari bekerja sama!” ajaknya.

Prof Jagadesh Kumar bercerita, ada perguruan tinggi di Afrika yang melakukan MoU dengan
JNU untuk kerja sama pendidikan dan saat ini tahap implementasi. “Kami memberikan
kuliah melalui e-learning, proses belajar-mengajar dilakukan antara dosen JNU dengan para
mahasiswa di universitas di Afrika dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kami juga
dapat melakukan hal yang sama dengan universitas di Aceh,” ucapnya.

Bagi penguatan data, kami melanjutkan perjalanan riset dalam tim Market Intelligence ke
Chennai, Kepulauan Andaman dan Nicobar, dan Mumbai, selaku utusan Kemenlu RI
dengan menambah satu anggota lagi, yaitu Dr Muzailin Affan, Kepala Kantor Urusan
Internasional Unsyiah. Jadi kian lengkap, ada perpaduan akademisi dan peneliti dari
Umuslim, Unimal, dan Unsyiah.

Dr Muzailin Affan diundang oleh sahabatnya, Arnab Das, Executive Officer of International
Relations Office of Indian Institut of Technologi (IIT) Bombay untuk mengunjungi kampusnya
sekaligus penjajakan kerja sama. Beliau mengajak saya mengunjungi IIT Bombay.
Kebetulan Dr Ichsan lebih duluan kembali ke Aceh dalam urusan akreditasi pascasarjana
Unimal. Ajakan tersebut segera saya setujui karena ini akan menjadi penguatan kerja sama
kolaboratif antara Unsyiah, Umuslim, dan Unimal dalam membangun kerja sama dengan
kampus di India.

Sebelum ke IIT Bombay, kami sempatkan mengunjungi rumah Shahrukh Khan dan Salman
Khan. Sesampai di IIT Bombay, kami baru tahu setelah mendapat penjelasan dari Arnab
Das di ruang kerjanya di Kantor Urusan Internasional bahwa IIT Bombay merupakan
kampus terbaik nomor satu di India. Konsepnya seperti Massachusetts Institute of
Technology di Amerika. Yang dipelajari di sana tidak hanya ilmu teknik atau IT, tapi juga
sosial-humaniora. Lulusannya banyak diterima kerja di luar negeri. Kami benar-benar
terkesima. Kami diajak keliling kampus, di mana semua kegiatan tersentral di dalam
kampus. Suasananya hijau, bersih, dan tertata rapi. Gedung fakultas, laboratorium,
perpustakaan, dan gedung olahraga terbilang besar. Kami juga kunjungi asrama mahasiswa
dan melihat aktivitas di dalamnya. Mahasiswanya banyak yang naik sepeda.

Apa yang disampaikan Rektor JNU dan juga Arnab Das tidaklah berlebihan. Jika kita amati,
banyak CEO perusahaan kelas dunia berasal dari India. Di antaranya Sundar Pichai (CEO
Google), Satya Nadella (CEO Microsoft), Anshuman Jain (CEO-bersama Deutsche Bank),
dan Ajay Banga (CEO MasterCard). Banyak pakar IT di perusahaan dunia adalah orang
India yang S1-nya ditempuh di di India. Bukan di kampus terbaik di Amerika atau Eropa.

Sudah saatnya kita di Aceh membangun kerja sama yang erat dengan perguruan tinggi di
India. Kualitas pendidikan di India selain diakui dunia, juga didukung oleh letak geografis
yang lebih dekat dan biaya pendidikan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya
kuliah di perguruan tinggi di Indonesia, apalagi di Amerika atau Eropa. Sebagai
perbandingan, jika Pemerintah Aceh memberi beasiswa kepada mahasiswa Aceh untuk
studi S2 atau S3 ke perguruan tinggi di Amerika atau Eropa hanya dapat mengirim satu
orang, tapi kalau ke India dapat mengirim tiga hingga empat mahasiswa. Biaya hidupnya
hampir sama dengan standar hidup di Aceh. Pemerintah dan perguruan tinggi di Aceh perlu
melakukan inisiasi ini bagi peningkatan kualitas SDM di Aceh.

Anda mungkin juga menyukai