100%(3)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (3 suara)
8K tayangan1 halaman
Cerita ini menceritakan tentang seorang anak muda bernama Ra yang menikmati rutinitas hidupnya sehari-hari di kota. Ia bermimpi jika semua rutinitas tersebut digantikan oleh teknologi canggih seperti robot. Namun setelah terbangun, Ra sadar bahwa kehadiran manusia dan hubungan sosial yang hangat tidak dapat digantikan oleh teknologi. Ia pun bersyukur atas kehidupannya saat ini dan
Deskripsi Asli:
Cerpen Berjudul "Diri Ini Bukan Teknologi"
karya Firda R
Cerita ini menceritakan tentang seorang anak muda bernama Ra yang menikmati rutinitas hidupnya sehari-hari di kota. Ia bermimpi jika semua rutinitas tersebut digantikan oleh teknologi canggih seperti robot. Namun setelah terbangun, Ra sadar bahwa kehadiran manusia dan hubungan sosial yang hangat tidak dapat digantikan oleh teknologi. Ia pun bersyukur atas kehidupannya saat ini dan
Cerita ini menceritakan tentang seorang anak muda bernama Ra yang menikmati rutinitas hidupnya sehari-hari di kota. Ia bermimpi jika semua rutinitas tersebut digantikan oleh teknologi canggih seperti robot. Namun setelah terbangun, Ra sadar bahwa kehadiran manusia dan hubungan sosial yang hangat tidak dapat digantikan oleh teknologi. Ia pun bersyukur atas kehidupannya saat ini dan
sama dan terus berulang. Pabrik-pabrik mulai beroperasi pukul 07.30, pegawai berhamburan menuju pabrik yang tak henti-hentinya menyemburkan asap hitam. Sekolah, toko, pasar dan yang lain pun beroperasi seperti hari-hari sebelumnya. “Berangkat ke sekolah, Ra?” sapa tetangga yang ku panggil budhe. Kata-kata dan intonasinya yang sama membuatku selalu menjawab serupa, “Iya, Budhe. Sampai nanti”. Jalan, halte, dan supir angkot hari inipun tak berbeda. Tiba di sekolah pada pukul yang sama seperti kemarin, begitu pula aku pulang dan bertemu budhe lagi, “Sudah pulang, Ra?” Itu rutinitasku yang sangat-sangat monoton, tapi ya bagaimana lagi? Aku menikmati semuanya. Terlebih tidak ada tugas sekolah seperti siang ini, aku bisa rebahan sepuasnya di atas kasur empukku yang menghadap jendela. Entah angin apa yang menghempas wajahku hingga ada hal yang terlintas dibenak, “Rutinitas ini memang monoton, sangat. Bagaimana seandainya ada robot atau teknologi apalah itu, yang menggantikan semuanya menjadi praktis. Tapi tidak untuk sapaan budhe tiap hari dan baju supir angkot yang warnanya hanya 2 macam itu. Itu sangat tidak menggangguku. Sesuatu yang hangat dan nyaman. Pikiranku terus berjalan kesana-kemari hingga semuanya gelap, aku tertidur. “Di mana aku?” pikirku saat pertama kali membuka mata di suatu tempat yang tak asing, ya ini kelasku. Pak Alex berdiri di depan sambil menunjuk rumus-rumus logaritma dengan penggaris miliknya. Memang begitu cara Pak Alex mengajar, tapi ada yang aneh. Tak pernah sekalipun mata Pak Alex berkedip. Aku yakin ini bukan Pak Alex. Ya, ini robot Pak Alex. Di luar sekolahpun demikian. Angkot-angkot kuning sekarang telah menjadi robot terbang berbentuk kapsul yang lalu-lalang terbang kesana-kemari. Buruh-buruh pabrik kini digantikan oleh robot-robot mirip Pak Alex. Tidak ada supir angkot dan tentu juga tidak ada sapaan budhe. “Ada apa dengan semua ini?” Rumahku juga tidak seperti biasa. Semuanya berubah menjadi sesuatu yang aku inginkan dengan sekali tekan tombol. Sungguh mengagumkan. Tapi semuanya sunyi. Jangankan suara tukang bakso depan rumah, suara jangkrik pun kini telah berubah jadi deru mesin-mesin. Satu hari belum berakhir, aku sudah bosan. Teknologi memang sangat membantuku, tapi tidak semua bisa dilakukan oleh mesin. Seketika semuanya tersentak, begitu pula aku yang terbangun dari mimpi yang entah itu baik atau buruk. Satu hal yang aku tahu, aku harus bersyukur atas semua keadaanku saat ini. Dan percaya bahwa manusialah yang seharusnya mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya. Hanya cukup mengetahui, lalu bergerak menghasilkan revolusi, kembangkan sembari memperbaiki diri, dan berkolaborasi dengan teknologi.