Anda di halaman 1dari 3

Ku menatap sinar rembulan yang ditemani gugusan bintang , meskipun warna biru langit tidak

kelihatan di indra penglihatanku. Sejauh mataku merenung langit,terlihat kedatangan awan yang
seakan telepok ukiran menyerupai bunga teratai. Menyebabkan warnanya berubah menjadi keabu-
abuan . Tetapi hanya satu yang tidak berubah, janjiku, desa tempatku membesar, menyimpan seribu
memori, juga seribu kecintaan untuk seseorang yang tidak pernah pulang.

Zeetzeet. Lamunanku terhenti apabila getaran telefon pintar terasa di poket bajuku. Segera kusadari
bunyi aneh itu berasal dari pagerku. Pesan singkat. Serasa dijejalkan masuk dalam kotak sempit, aku
diliputi rasa mual ketika membaca pesan singkat itu.

***

“Kak, tidak bisakah waktunya sedikit diperpanjang? Proyek yang sebelumnya pun belum rampung.”
ucapku dengan sedikit nada memelas.

“Coba dulu keduanya dikerjakan. Pekerjaan ini memang tidak mudah tapi satu bulan juga tidak
sebentar. Kan sekarang teknologi sudah canggih, kamu mau bikin desain juga tidak harus
menggambar manual di buku sketsa lagi.” Kak Andi mengutarakan pendapatnya.

Bingo! Kak Andi selalu tahu cara mematahkan alasan-alasanku.

Tidak pernah terpikir sebelumnya jika aku yang sejak dulu bercita-cita bekerja dalam bidang IT akan
mengambil jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota di institut teknik terbaik di negeri ini, sekaligus
bekerja mendesain tata letak wilayah. Entah dari sisi sebelah mana hal tersebut punya keterkaitan.
Aku masih memikirkan itu ketika rekan kerjaku duduk di hadapanku dan memainkan iPad putih
miliknya.

“Tuntutan kali ini apa?” tanyanya.

“High Speed Train, Coal-Fired Power Plant, dan Water Treatment Plant.” jawabku.

“Semuanya dalam satu wilayah?” tanyanya sambil sibuk mengetik dengan iPadnya.

“Menurutmu?” tanyaku.

“Ya, tentu saja. Meskipun aku tidak tahu sudah pernah dilaksanakan atau belum.”

“Teknologi terus berkembang. Dulu belum mampu, sekarang sudah mencakup segalanya. Manusia
bertambah kreatif, manusia terus berinovasi.” ucapku sambil berpikir mengenai tugas baru yang
harus kutangani.

“Betul! Sekarang kebanyakan orang memakai smartphone, tapi cuma kamu yang masih membawa
pager kemanapun.” ucap Reno menyindirku ditambah dengan senyumnya yang jahil itu.

“Ngetik apa Ren?” tanyaku.

“Ngetik yang barusan kamu kasih tahu, rencana tata wilayah. Aplikasi penyimpan catatan. Di iPad
ada, di telepon selular juga ada, hanya di pagermu yang nggak ada.”

Mulai lagi kebiasaan anak ini, bisa dibayangkan setiap hari aku diganggu dengan hal-hal semacam
itu.

Kuabaikan ucapan Reno dan mulai mengamati peta wilayah proyek terbaru ini.

***
Pagi ini titik-titik air hujan turun dari langit yang tertutup warna kelabu. Aku segera berlari dalam
guyuran hujan menuju pangkalan ojek terdekat. Hari ini Bogor terasa lebih dingin dari biasanya. Aku
tidak membawa jaket maupun payung. Ramalan cuaca tidak selalu bisa dipercaya.

Semalam aku memikirkan perkataan Reno tempo hari. Dan aku memutuskan untuk membela diri jika
bertemu dengannya nanti. Aku tak sabar menunggu perberdebatan antara seseorang yang terlalu
update teknologi dan seseorang yang dikira terbelakang dalam teknologi. Perdebatan antara kawan.

Saat memasuki lobi kantor kulihat Reno sedang berdiri di depan meja resepsionis. Sepertinya ia
sedang mengecek surat masuk. Kutepuk bahu kanannya dari belakang.

“Aku ngerti kok tentang teknologi.” Kurasa ia bingung sepagi ini disodorkan kalimat seperti itu.
Terlihat dari dahinya yang mengerut.

“Buktinya?”

“Banyak Ren! Salah satunya yang tiap hari kelihatan di meja kerjaku, MacBook putih. Bahkan cita-
citaku adalah bekerja dalam bidang IT.” jawabku dengan mantap.

“Yas nih ya, yang aku nggak ngerti hanyalah kenapa kamu masih pakai pager ketika operator
providernya bahkan hampir tidak ada lagi. Lagian kamu mau pageran sama siapa?”

“Sama kantor. Kantor masih pakai kok.”

“Ya ampun Febriasyraf. Yasudah, terus towernya masih ada nggak?”

“Memang pakai tower?”

“Nah! Kita sama-sama nggak kenal dan nggak tahu tentang teknologi yang ini. Kita nggak hidup di
zamannya.”

“Memang. Tapi nggak harus begitu. Ketika ibu masih muda juga menggunakan pager.”

“Oke aku mengerti. Ini tentang rindu?”

“Ya.”

“Tapi sejauh apapun kamu terlibat dengan teknologi, itu tidak membuatmu meninggalkan ibumu
jauh di belakang.”

“Ya, aku tahu. Teknologi berarti masa depan.”

“Dan ibumu akan selalu berdoa agar kamu mempunyai masa depan yang cerah, yang baik, yang
hebat. Ibumu akan selalu berdoa, meski dari atas sana, dari sisi Tuhan.”

***

Jika kita mengetahui masa depan, mungkin sekarang kita sedang memperbaiki diri. Teknologi
berkembang seiring berputarnya bumi pada porosnya dan diperbaiki, disempurkan atau bahkan
tergantikan ketika akhirnya bumi telah melakukan satu putaran penuh mengelilingi matahari.

Karena teknologi berarti masa depan. Masa yang tak kita ketahui. Hanya menjadikan diri kita sosok
yang lebih kreatif, intelek, lebih berusaha, terus berlari, terus berinovasi, meskipun kita tak tahu apa
yang akan terjadi di masa depan. Teknologi berarti masa depan. Karena apa yang kita lakukan demi
masa depan adalah untuk membuat masa depan menjadi lebih baik, lebih menyenangkan, lebih
mudah, dan lebih hidup bagi hidup kita. Sama dengan definisi teknologi itu sendiri. Teknologi berarti
masa depan.

Anda mungkin juga menyukai