Anda di halaman 1dari 2

Menghargai Orang Lain

Suatu hari, Seorang perempuan setengah baya terlihat menggandeng anaknya


memasuki sebuah taman besar yang ada di sebuah perkantoran terkenal. Mereka
duduk di sebuah bangku panjang. Ibu itu tampak sedang memarahi anak semata
wayangnya. Mulutnya tak henti-hentinya mengomel. Tidak jauh dari tempat duduk itu,
ada seorang kakek tua yang tengah memotong rumput.
Tiba-tiba, Ibu itu mengeluarkan sehelai tisu dari dalam tasnya lalu
melemparkannya ke arah orang tua itu. Si Kakek terkejut, ia melirik dengan
pandangan heran ke arah ibu itu. Tapi, si ibu malah berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
tanpa mengeluarkan sepatah kata, si kakek pun memungutt tisu itu pelan-pelan lalu
memasukkannya ke dalam tong sampah.
Tidak disangka, sesaat kemudian si Ibu kembali melemparkan sehelai tisu ke
arah si kakek. Sekali lagi, dalam diam si Kakek mengambil tisu yang dibuang itu dan
memasukkannya lagi ke tong sampah. Si kakek kembali meneruskan pekerjaannya.
Namun baru saja si kakek mengambil gunting rumput, untuk ketiga kalinya tisu jatuh di
depannya. Si kakek kembali memungutnya dan melemparkan ke tong sampah.
Kejadian itu berlangsung hingga 6-7 kali. Meski begitu, si kakek tidak menunjukkan
kemarahannya.
“Nak, coba kau lihat sendiri,” ucap ibu itu kepada anaknya sembari menunjuk ke
arah si kakek. “Kalau kamu malas belajar, setelah besar nanti kamu akan menjadi
orang tak berguna. Hanya bisa menjadi buruh pekerja kasar yang tidak terhormat
seperti orang tua itu,” lanjut si ibu panjang lebar.
Si kakek dengan tenangnya melangkah mendekati si ibu. “nyonya, tempat ini
bukan taman untuk umum. Taman ini hanya diperuntukkan bagi karyawan perusahaan
kami. Hanya mereka yang boleh duduk disini,” kata si kakek. “Ya, aku tahu. Aku adalah
manajer salah satu departemen di perusahaan ini. Aku kerja di gedung kantor ini,” kata
si ibu menyombongkan jabatan pekerjaannya.
“Boleh saya meminjam ponsel, nyonya?” tanya si kakek. Dengan berat hati, si
ibu memberikan ponselnya kepada si kakek. Sembari melakukan itu, si Ibu tak lupa
mengajari anaknya, “lihat kakek miskin ini. Ponsel saja tidak punya. Kamu harus rajin
belajar agar kelak tidak menjadi seperti kakek yang tak berguna ini.”
Selesai menelepon, si kakek mengembalikan ponsel itu dengan sopan. Tak lama
kemudian, datang seorang laki-laki menghadap si kakek dengan penuh hormat. Si
kakek berkata, “Sekarang aku putuskan memecat ibu ini dari perusahaan!” “Ya, pak.
Saya akan langsung bereskan,” kata laki-laki tersebut.
Lalu si Kakek menghampiri anak kecil itu, sembari mengusap-usap kepalanya. Ia
berkata, “Nak, aku harap kamu mengerti. Di dunia yang terpenting adalah belajar
menghormati orang lain.” Setelah berkata demikian, si kakek melangkah perlahan
menuju gedung.
Si ibu kaget bukan main dengan kejadian mendadak ini. Ia lalu bertanya kepada
lelaki tadi. “Mengapa anda bersikap penuh hormat kepada tukang kebun itu?” “Apa?
Tukang kebun? Beliau adalah presiden direktur kelompok perusahaan ini. Namanya
bapak Mauritz,” jelas si lelaki. Si ibu pun langsung terduduk lunglai di bangku panjang
taman.

Anda mungkin juga menyukai