Anda di halaman 1dari 64

BAB VI

PERENCANAAN KERJA ULANG DAN OPERASINYA

Menurunnya laju produksi minyak dari suatu sumur pada umumnya


merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Untuk memperoleh minyak
semaksimal mungkin, sumur harus dijaga agar tetap berproduksi dengan laju produksi
yang optimum. Oleh karena itu apabila pada suatu sumur terjadi penurunan produksi
harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan usaha-usaha untuk menjaga agar
sumur tetap berproduksi dengan optimum ataupun usaha yang akan meningkatkan
laju produksi minyak. Untuk mencapai tujuan tersebut, biasanya dilakukan suatu
kerja ulang (workover) pada sumur tersebut.

6.1. Pengertian Workover


Workover atau kerja ulang adalah salah satu kegiatan dalam usaha
meningkatkan produktivitas dengan cara memperbaiki problem atau memperbaiki
kerusakan sumur sehingga diperoleh kembali laju produksi yang optimum.
Sebelum memutuskan untuk mengadakan kerja ulang ini perlu beberapa
pertimbangan, yaitu:
1. Harus diyakini benar bahwa cadangan minyaknya masih cukup besar sehingga
untuk tujuan pengurasan reservoirnya perlu mengadakan rehabilitasi sumur-sumur
produksi tersebut.
2. Masih belum tercapainya laju produksi yang optimum, sehingga perlu diselidiki
faktor-faktor penyebabnya agar dapat ditentukan jenis operasi kerja ulangnya.
3. Terproduksinya material yang tidak diinginkan, produksi air dan atau gas yang
berlebihan sehingga menyebabkan rusaknya peralatan dan perlengkapan lainnya.
4. Rencana menaikkan kapasitas produksi tanpa memandang apakah terjadi problem
mekanis dan formasi atau tidak.
6.2. Metode-metode Workover
Workover dilakukan berdasarkan pada faktor-faktor yang menyebabkan suatu
sumur tidak berproduksi lagi secara optimum. Berdasarkan faktor-faktor yang
menyebabkannya, maka metoda-metoda workover yang dapat dilakukan adalah:
1. Stimulasi, termasuk diantaranya:
 Acidizing
 Hydraulic fracturing
 Steam stimulation
2. Squeeze cementing
3. Reperforation
4. Recompletion
5. Sand control

6.2.1. Stimulasi
Stimulasi merupakan suatu metoda workover yang berhubungan dengan
adanya perubahan sifat formasi, dengan cara menambahkan unsur-unsur tertentu atau
material lain ke dalam reservoir atau formasi untuk memperbaikinya. Prinsip
penerapan metoda ini adalah dengan memperbesar harga ko atau dengan menurunkan
harga μo, sehingga harga PI-nya meningkat dibanding sebelum metoda ini diterapkan
sesuai persamaan:
0,00782 k h
PI = ……..………………………………………….. (6-1)
μo Bo ln (re/rw)
Dari persamaan itu terlihat bahwa harga ko dan μo akan mempengaruhi harga PI.

6.2.1.1. Acidizing
Operasi acidizing ini dimaksudkan untuk memperbaiki permeabilitas formasi
di sekitar lubang sumur yang telah mengalami damage. Operasi ini adalah dengan
jalan menginjeksikan zat asam ke dalam formasi produktif yang mengalami
kerusakan. Dengan demikian diharapkan terjadi reaksi kimia antara zat asam dengan
formasi, sehingga akibat dari reaksi tersebut akan terbentuk rongga-rongga pada
batuan formasi di sekitar lubang sumur. Larutan asam yang digunakan adalah asam
hydrochloric (HCl) dan campuran asam hydrochloric dengan hydrofloric (HCl – HF).
Jenis formasi yang dapat diatasi dengan hydrochloric adalah limestone, dolomite, dan
dolomite limestone. Persamaan reaksi antara asam hydrochloric dengan limestone
adalah:
2 HCl + CaCO3 CaCl2 +H2O + CO2
Dan untuk dolomite, persamaan reaksinya adalah:
4 HCl + CaMg (CO3)2 CaCl2 + MgCl2 + 2 H2) + 2 CO2
Formasi limestone dan dolomite pada umumnya mengandung sejumlah kecil pasir,
anhydrit, gypsum, dan impurity lainnya yang pada umumnya tidak mudah larut.
Sebagai perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk suatu perioda adalah satu jam agar
partikel-partikel yang tidak mudah larut membentuk suspensi dan menymbat pori-
pori.
Metoda acidizing dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
 Matriks acidizing
 Fracturing acidizing
 Thermal acidizing

1. Matriks Acidizing
Jenis matriks acidizing ini umumnya dilakukan pada formasi batupasir
(sandstone) yang dikotori oleh calcium, carbonat, clay/shale, dan feldspar, dapat juga
pada formasi limestone. Dalam operasi matriks acidizing ini, larutan asam
dipompakan atau diinjeksikan agar melarutkan batuan formasi dan endapan-endapan
di sekitar lubang sumur. Tekanan yang dipergunakan dalam operasi ini lebih kecil
dari tekanan rekah formasi. Dengan demikian diharapkan zat asam dapat bereaksi
dengan dinding pori-pori batuan sehingga dapat membersihkan kotoran atau endapan
penyumbat matriks batuan (melarutkannya) yang pada akhirnya memperbesar pori-
pori batuan dan fluida reservoir dapat mengalir lebih leluasa.
Maksimum radial penetrasi dari larutan asam ini tergantung pada kecepatan
zat asam di dalam pori-pori batuan dan spending time-nya. Sedang asam yang telah
bersentuhan dengan batuan formasi akan bereaksi pula dan masuk ke dalam pori-pori
batuan (lihat Gambar 6.1.) Apabila dianggap injeksi rate dan spending time untuk
setiap penambahan larutan asamnya adalah konstan, penambahan zat asam berikutnya
tidak akan memperbesar luas penampang pori-pori tersebut.

Gambar 6.1
Matriks Acidizing pada Batuan 15)

Beberapa asumsi yang dipakai dalam melaksanakan metoda matriks acidizing ini
adalah:
 Formasinya homogen
 Ukuran pori-porinya seragam
 Penetrasi larutan asam secara uniform dan radial
 Kecepatan reaksi menurun secara uniform dengan berkurangnya konsentrasi asam
 Berat limestone yang terlarut pada setiap pertambahan jarak menurun secara
uniform sampai seluruh asam terpakai
Berdasarkan asumsi di atas, jarak radial larutan asam akan menembus formasi
sebelum larutan asam dipakai seluruhnya. Persamaannya dapat ditulis sebagai
berikut:
Volume asam yang diinjeksikan, ft3 = volume pori-pori batuan yang terinvasi
qi t = π  h (ra2 – rw2) ...…...………………………………………… (6-2)
Jika qi dinyatakan dalam barrel per menit dan t dalam detik, maka:
5,615 qi t
ra = + rw2 ……...……………………………………. (6-3)
60 π  h
atau
0,0936 qi t
ra = + rw2 ……....…………………………………… (6-4)
60 π  h
dimana:
ra = Jarak radial penetrasi zat asam, ft
ø = Porositas, fraksi
qi = Laju injeksi zat asam, bbl/menit
t = Spending time, detik
rw = Jari-jari sumur, ft
h = Ketebalan formasi,ft
Dari Persamaan (6-4) tersebut faktor yang tidak diketahui adalah spending time (t),
yang harus ditentukan di laboratorium. Spending time ini tergantung pada
perbandingan luas batuan dengan volume larutan asamnya yang disebut ”specific
surface area”. Untuk matriks acidizing, specific surface areanya dapat ditulis:
108
k = …………………………………………………………. (6-5)
2 F Sq2
atau
Sq = 104 √ ½ F k .…………………………………………………… (6-6)
dimana:
k = Permeabilitas, Darcy
Sq = Specific surface area, cm2/cm3
F = Faktor resistivity (tahanan) formasi, fraksi
Sedangkan faktor tahanan formasi (F) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
F =  –m
dimana:
m = Faktor sementasi yang besarnya bervariasi

Gambar 6.2
Operasi Matriks Acidizing di Lapangan 14)

Faktor m bervariasi dari 1,3 untuk consolidated sand dan oolitic limestone sampai 2,2
untuk dense limestone (lihat Tabel VI-1). Untuk mendapatkan hasil penetrasi dari
fluida asam yang lebih baik, perlu dilakukan pengurangan kecepatan reaksi dan
menaikkan rate injeksi dari larutan asam ke dalam formasi.
Spending time dari larutan asam tergantung pula pada tekanan, temperatur, kecepatan
asam dalam batuan, dan konsentrasi dan retarding additivenya. Kerana banyaknya
faktor yang mempengaruhi spending time, maka pengukuran spending time hanya
mungkin dilaksanakan di laboratorium.

Tabel VI-1
Cementation Factor dan Lithologi 5)

Rock Discription m Value


- Unconsolidated rock (loose sand, oolitic limestone) 13
- Very slightly cemented (gulf coast type sand, except wilcox) 1,4 – 1,5
- Slightly cemented (coast sands with 20% porosity or more) 1,6 – 1,7
- Moderately cemented (highly consolidated sand of 15% porosity of less) 1,8 – 1,9
- Highly cemented (low porosity sands, kuarsit, limestone, dolomite of 2,0 – 2,2
intergranular porosity, chalk)

2. Fracturing Acidizing
Di dalam operasi acidizing jenis ini larutan zat asam dialirkan melalui rekahan
atau fracture. Operasi fracturing acidizing ini dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu
acidizing melalui rekahan yang sudah ada dan acidizing dengan tekanan yang tinggi
melalui rekahan.

a. Acidizing melalui rekahan yang sudah ada


Dalam proses ini formasinya harus terdiri dari banyak rekahan, sehingga
tujuan dari pada acidizing disini untuk melarutkan batuan-batuan dari rekahan
tersebut. Kecepatan injeksi selama proses ini dijaga agar tidak melebihi tekanan rekah
formasi.
Dalam melakukan evaluasi dari acidizing dipakai asumsi sebagai berikut:
 Rekahan horizontal dan ketebalan seragam, berkembang secara radial dari lubang
sumur.
 Larutan asam yang bocor ke formasi diabaikan.
 Kecepatan reaksi dari larutan sebanding dengan konsentrasinya dan jumlah
batuan yang terlarut berkurang dengan bertambahnya penetrasi dari larutan asam.
 Pada kecepatan injeksi yang konstan penambahan jumlah asam ke dalam rekahan
tidak dapat memperluas proses acidizing , melainkan hanya menambah lebarnya
rekahan.
Pada rate injeksi yang sama dengan qi, jarak radial dari penetrasi asam ke dalam
rekahan selama waktu t adalah:
Volume rekahan = volume asam yang diinjeksikan
qi t = n π w (ra2 – rw2) ……………………………………………….. (6-7)
sedangkan ra dapat dicari dengan persamaan:
qi t
ra = + rw2
πh
Jika qi dinyatakan dalam barrel per menit, t dalam detik, dan w dalam inchi, maka:
5,615 x 12 qi t
ra = + rw2 ………….…..………………………. (6-8)
60 π  h
atau
1,123 qi t
ra = + rw2 ……...…………..………………………. (6-9)
πh
dimana:
qi = Rate injeksi, bbl/menit
t = Spending time (waktu yang diperlukan untuk menurunkan konsentrasi
asam mula-mula sampai pada tingkat konsentrasi yang reaktif lagi
terhadap formasi), detik
w = Lebar rekahan, inchi
n = Jumlah retakan
ra = Jarak penetrasi dari asam sebelum semuanya terpakai, ft
rw = Jari-jari sumur, ft
Untuk mendapatkan harga specific area dari acidizing ini dianggap fracture dengan
lebar w, ft dan luas 1 ft 2. Jadi luas yang dialiri asam adalah 2 ft 2, sedang volume
asamnya adalah w, ft3, sehingga specific surface areanya adalah:
2
Sq = , ft2/ft3 ….………………………………………………… (6-10)
w
Untuk natural fracture dapat dianggap lebarnya berkisar 0,1 mm sehingga spending
timenya ≤ 1 menit. Pada umumnya fracture yang terjadi ini permeabilitasnya sangat
kecil, sehingga diperlukan tekanan yang cukup besar untuk membantu penetrasi
larutan asamnya. Tetapi penetrasi maksimum sangat sulit ditentukan karena
banyaknya fracture, inklinasi, dan lebar ratenya.

b. Acidizing dengan tekanan yang tinggi melalui rekahan


Pada operasi acidizing ini, larutan asam diinjeksikan ke dalam formasi dengan
tekanan yang lebih besar dari tekanan rekah formasi, sehingga diharapkan
menghasilkan permeabilitas yang lebih tinggi.
Asumsi-asumsi yang dipakai pada acidizing bertekanan tinggi adalah:
 Rekahan yang ditimbulkan adalah horizontal atau vertikal.
 Sebagian besar dari larutan asam ini masuk ke dalam rekahan, tetapi yang masuk
ke dalam matriks batuan dan lubang sumur dapat diabaikan.
 Luas dan volume rekahan tergantung pada volume asam, rate injeksi, lebar
rekahan selama stimulasi, dan karakterisitik fisik dari batuan reservoir.
 Larutan asam tidak mengandung proping agent.
Karena lebar yang diabaikan oleh gaya hydrasi jauh lebih kecil dari 2/w,
sehingga spending time akan lebih besar. Dalam acidizing dengan bertekanan tinggi
ini penetrasi yang terjadi jauh lebih besar yang disebabkan oleh:
 Spending time akan bertambah karena bertambah kecilnya specific surface area.
 Rate injeksi lebih besar.
Keuntungan dari fracturing acidizing adalah efektif untuk formasi karbonat,
biaya operasi lebih murah, dan dapat membersihkan impurities disekitar lubang
sumur. Sedangkan kerugiannya adalah tidak efektif pada formasi non karbonat dan
menimbulkan korosi pada peralatan. Pada operasi acidizing ini selain menentukan
volume dan jenis asam yang digunakan (terutama pada matriks acidizing), perlu pula
mempertimbangkan laju injeksi, tekanan injeksi maksimum yang sesuai untuk
mencegah peretakan formasi.
Berikut ini cara-cara untuk menentukan parameter-parameter tersebut:
1). Tekanan retak formasi
Tekanan retak formasi adalah besarnya tekanan yang dapat menimbulkan terjadinya
peretakan formasi. Sebelum menentukan terjadinya peretakan formasi, maka terlebih
dahulu harus ditentukan gradien retaknya. Penentuan gradien retakan dapat dicari
dengan menggunakan persamaan berikut:
S–P υ P
F = + ……….…………………………. (6-11)
D 1–υ D
dimana:
F = Gradient rekahan, psi/ft
S = Tekanan overburden, psi
D = Kedalaman, ft
P = Tekanan formasi, psi
v = Poisson’s ratio
Setelah gradient rekahan diperoleh, maka untuk menghitung tekanan rekah formasi
adalah dengan cara mengalikan gradient tekanan dengan kedalaman.
2). Tekanan maksimum injeksi
Tekanan maksimum injeksi asam pada dasar sumur harus di bawah tekanan rekah
formasinya, yaitu tekanan rekah formasi dikurangi dengan tekanan sebagai faktor
keselamatan (25 psi). Dengan mengabaikan tekanan akibat gesekan asam dalam
tubing, tekanan maksimum injeksi asam di permukaan dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan:
Pmaks. = (F – G) (D – 25) ….……………………………….. (6-12)
dimana:
Pmaks. = Tekanan maksimum injeksi asam di permukaan, psi
F = Gradient tekanan, psi/ft
G = Gradient hidrostatik, psi/ft
D = Kedalaman, ft
Harga gradien hidrostatik asam dapat dicari dengan memakai Gambar 6.3.

Gambar 6.3
Hubungan Gradien Hidrostatik Asam HCl 10)
Terhadap Konsentrasi Asamnya 15)

3). Laju injeksi asam


Laju injeksi asam dapat ditentukan dari persamaan dibawah ini:
4,917 x 10-6 kavg ha (Pf – Ps)
Qmaks. = …...………………… (6-13)
μa ln (re/rw)
dimana:
Qmaks. = Laju maksimum injeksi asam, bbl/menit
kavg = Permeabilitas rata-rata formasi, mD
ha = Tebal formasi yang diasamkan, ft
μa = Viskositas asam pada temperatur formasi, cp
re = Jari-jari pengurasan, ft
rw = Jari-jari sumur,ft
Viskositas asam pada berbagai temperatur dapat dicari dengan menggunakan grafik
pada Gambar 6.4.

Gambar 6.4
Hubungan Viscositas Asam HCl dengan
Temperatur pada Berbagai Konsentrasi Asam 10)

4). Daya pompa


Untuk menentukan daya pompa pada kondisi maksimum dapat digunakan persamaan
sebagai berikut:
Hh = 0,0245 Pmaks Qmaks ….………………………………… (6-14)
dimana:
Hh = Horse power pompa, HP
Pmaks = Tekanan maksimum injeksi pompa di permukaan, psi
Qmaks = Laju maksimum injeksi asam, bbl/menit
5). Volume larutan asam
Persamaan matematis penentuan volume larutan asam diberikan oleh Persamaan (6-
15) berikut:
V = 0,18 (rp2 – rw2) h  ………….…………………………. (6-15)

3. Thermal Acidizing
Pada batuan dolomit yang padat dengan permeabilitas rendah dan adanya
beberapa sisipan batuan lainnya, biasanya tidak dapat larut dengan cepat dalam asam
dingin. Kadang-kadang endapan parafin, resin, dan asphalt di dasar lubang
menghalangi reaksi antara asam dan batuan, sehingga diperlukan penggunaan asam
panas.
Dalam hal ini, asam dipanaskan secara kimiawi dengan reaksi eksothermal
antara asam dengan regentnya (biasanya digunakan magnesium atau campurannya).
Jika magnesium dilarutkan dalam asam HCl maka akan timbul panas 46662,5 kkal/kg
Mg dengan reaksi sebagai berikut:
Mg + 2 HCl MgCl2  + H2 ↑
Keberhasilan proses acidizing ini ditentukan oleh seberapa jauh larutan asam
menembus ke dalam formasi produktif sedangkan jarak penembusan tergantung pada
kecepatan pemompaan, kecepatan reaksi asam, dan perbandingan luas penetrasi
terhadap volume reservoir. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan asam yang
digunakan serta zat-zat tambahan (additive) untuk mempercepat terjadinya reaksi dan
mencegah reaksi yang berlebihan antara asam dengan logam-logam peralatan dalam
sumur.
Dalam pelaksanaan proses acidizing ini ada 4 (empat) tahap, yaitu:
a. Pertama-tama unsur dibersihkan dengan fluida pembersih, lalu diturunkan
peralatan yang diperlukan ke dalam sumur disertai pengisian lubang sumur
dengan crude oil.
b. Selanjutnya asam yang dipilih diinjeksikan ke dalam sumur (dengan laju dan
tekanan yang direncanakan) dengan menggunakan pompa.
c. Menginjeksikan crude oil (sebagai fluida pendesak) setelah asam masuk ke dalam
sumur (flushing).
d. Dengan masuknya asam dan berakhirnya flushing ini selanjutnya dapat diperoleh
crude oil dari lapisan reservoir yang dikenai proses acidizing

6.2.1.2. Hydraulic Fracturing


Merupakan salah satu metoda stimulasi sumur dengan cara menginjeksikan
fluida peretak ke dalam formasi dengan tekanan injeksi yang lebih besar dari tekanan
rekahnya sehingga diharapkan terbentuk rekahan. Fluida perekah yang diinjeksikan
harus disertai dengan bahan-bahan pengisi (propping agent) yang berfungsi sebagai
penyangga rekahan agar rekahan yang terbentuk tidak menutup kembali.
Manfaat dari metode ini adalah:
 Fracturing akan mengeliminir kerusakan formasi akibat invasi lumpur pemboran,
pengendapan mineral atau swelling clay.
 Bila formasinya mempunyai permeabilitas yang rendah dan homogen, dimana
akan memberi tambahan ukuran pori yaitu fluida minyak menjadi lebih mobile
bergerak ke arah rekahan berkapasitas tinggi pada jarak tertentu dari sumur.
 Penyebaran rekahan dari lubang sumur bertindak sebagai garis alir yang
menghubungkan sistem porous dan permeabel yang terisolir dibalik oleh sumur
penghalang impermeabel.
Beberapa parameter yang perlu diperhatikan adalah:
 Mekanika dan arah rekahan
 Hidrolika perekah (termasuk fluida dan propping agentnya)
 Luas dan lebar rekahan (ukuran rekahan)
 Konduktivitas rekahan
Dalam pelaksanaannya peralatan permukaannya seperti yang terlihat pada Gambar
6.5, dimana fluida injeksi yang dipakai, dialirkan dari tangki pencampur dengan
propping agentnya dan dengan rolling butirannya terangkut masuk ke dalam agigator
tangki, sehingga terjadi pencampuran yang membentuk suspensi dengan konsentrasi
yang umumnya seperti terlihat pada Gambar 6.6 dan siap untuk diinjeksikan.

Gambar 6.5
Peralatan Permukaan dalam Proyek Hydraulic Fracturing 15)

a. Tekanan peretak
Tekanan peretak merupakan besarnya tekanan yang diperlukan agar batuan
formasi dapat retak. Retakan batuan terjadi karena batuan tersebut tidak bersifat
plastis. Dalam hal ini tekanan peretak dipengaruhi oleh:
 Kekuatan batuan
 Tekanan overburden
 Keseragaman permeabilitas batuan
 Penetrasi fluida peretak
Besarnya tekanan peretak diberikan oleh persamaan:
Pf = Ph + Pw – Pf – Ppf ..…………………………………………… (6-16)
Bila batuan ditekan dengan cairan peretak hingga retak, maka arah retakan yang
terjadi akan tegak lurus pada gaya yang terkecil. Arah retakan yang terjadi
dipengaruhi oleh tiga jenis stress seperti diperlihatkan pada Gambar 6.7. Retakan-
retakan yang terbentuk akibat injeksi fluida ke dalam formasi dapat berbentuk:
 Vertikal fracture
 Horizontal fracture
 Angle fracturing

Gambar 6.6
Konsentrasi Sand Dipakai (lb Sand per gal Liquid) serta
Mekanisme Fluida Injeksi Dalam Sumur 15)

Jika vertikal stress lebih kecil dari horizontal stress ditambah rock strength, maka
arah retakan akan horizontal. Sedangkan bila vertikal stress lebih besar dari
horizontal stress ditambah rock strength, maka arah retakannya vertikal.

b. Fluida Peretak
Fluida peretak berguna sebagai medium penyalur tekanan untuk meretakkan
formasi produktif dan mengangkat pasir dalam bentuk suspensi. Fluida peretak yang
baik harus mempunyai sifat:
 Sepadan (compatible) dengan cairan lapisan produktif
 Pengangkatan pasir yang baik
 Kehilangan tekanan akibat gesekan kecil
 Mempunyai sifat flitrat loss yang rendah

Gambar 6.7
Triaxial Loading Pada Batuan 9)

Fluida peretak harus mempunyai sifat compatible dengan cairan formasi


produktif agar tidak terjadi reaksi antara cairan-cairan tersebut. Bila terjadi reaksi,
kemungkinan akan terjadi pengendapan yang bisa menutup pori-pori batuan formasi.
Pengangkatan pasir yang baik bila cairan mempunyai viscositas yang tinggi, sehingga
pasir dapat ikut bersama aliran dan tidak jatuh ke dalam lubang sumur. Tetapi
semakin besar viscositas cairan, maka kehilangan tekanan akibat gesekan makin besar
pula. Diusahakan fluida peretak mempunyai sifat air tapisan rendah, sehingga
kehilangan fluida ke formasi sangat kecil untuk mendapatkan efisiensi yang besar.
Beberapa jenis fluida peretak yang biasa digunakan adalah:
1). Refined oil, merupakan fluida peretak yang mahal karena merupakan hasil
penyulingan minyak yang mempunyai karakteristik:
 Pembawa pasir yang baik
 Kehilangan tekanan karena gesekan kecil
 Dengan penambahan additive akan menurunkan sifat kehilangan fluida ke formasi
2). Galled crudes, dengan karakteristik sebagai berikut:
 Pembawa pasir yang baik
 Kehilangan fluida yang rendah
 Pengontrolan dilakukan dengan gelling agent

c. Propping Agent (Bahan Pengganjal)


Propping agent digunakan untuk menahan retakan yang terjadi sehingga
retakan tersebut tidak tertutup kembali. Bahan pengganjal ini harus mempunyai
permeabilitas yang tinggi karena diharapkan agar retakan yang terjadi akan
memberikan suatu harga permeabilitas yang tinggi, sehingga produktivitasnya
bertambah.
Propping agent yang biasa digunakan adalah pasir kuarsa, walnut shell,
alluminin pelled, dan glass bed. Sifat-sifat yang harus dimiliki propping agent adalah:
 Compressive strength tinggi
 Mempunyai kadar kontaminasi yang rendah
 Diameter besar dan kuat untuk menahan tekanan overburden
 Kadar kotoran dan silt yang rendah
 Mempunyai bentuk yang bulat
Untuk mengetahui apakah hasil peretakan hidraulis berhasil, maka dapat
ditentukan dengan mengetahui besarnya harga productivity ratio (PR). Makin besar
PR maka makin baik hasil peretakan hidraulisnya.
Selain besarnya productivity ratio penting untuk diketahui, besaran-besaran lain yang
juga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan hydraulic fracturing adalah sebagai
berikut:
 Penetrasi retakan
 Fracturing fluid coefficient
 Luas retakan
 Effisiensi retakan

Productivity Ratio
Productivity ratio merupakan perbandingan antara productivity indeks sumur
setelah fracturing terhadap productivity indeks sumur sebelum fracturing (PIf/PI).
Setiap retakan akan memberikan pola tersendiri, maka harga productivity ratio tidak
dapat ditentukan secara tepat, tetapi dengan menganggap bahwa retakan yang terjadi
adalah menurut pola yang seragam radial dapat diperkirakan harga productivity ratio
untuk retakan vertikal dan horizontal.
Untuk tipe retakan horizontal dan dengan menganggap permeabilitas vertikal
= 0, maka productivity ratio dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:
kavg
PR = …...…………………………………………………….. (6-17)
k
dimana:
kavg = Permeabilitas rata-rata dari formasi yang diretakkan, mD
k = Permeabilitas dari formasi yang tidak mengalami peretakan, mD
Gambar 6.8 memperlihatkan bahwa permeabilitas rata-rata dari zona retakan adalah
sama dengan permeabilitas rata-rata yang diperkirakan untuk aliran radial dalam
lapisan paralel. Dapat juga ditulis sebagai berikut:
kf w + k h
kfz = ………….……………………………………….. (6-18)
h
dimana:
kfz = Permeabilitas rata-rata dari zona retakan, mD
kf = Permeabilitas retakan, mD
k = Permeabilitas, mD
h = Ketebalan formsi, ft
w = Ketebalan retakan, ft
Gambar 6.8.
Skema Zona Retakan 8)

Bila lapisan tersusun secara seri, maka penentuan permeabilitas rata-rata dari
formasi yang diretakkan dapat ditentukan dengan persamaan dibawah ini:
K kfz ln (re/rw)
kavg = ………...………………………. (6-19)
kfz ln (re/rw) + k ln (re/rw)
dimana:
re = Jari-jari pengurasan, ft
rw = Jari-jari sumur, ft
Bila Persamaan (6-18) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6-19), maka akan
diperoleh persamaan berikut:
kf w + k h
k ln (re/rw)
h
kavg = ………………………… (6-20)
kf w + k h
ln (re/rw) + ln (re/rw)
h
Persamaan (6-20) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6-17), maka akan diperoleh:
(kf w + k h) ln (re/rw)
PR = ……..……………………. (6-21)
(kf w + k h) ln (re/rw) + ln (re/rw)
atau
k.h
+1 ln (re/rw)
kf w kf w
PR = ………………….. (6-22)
kh kh
+1 ln (re/rw) + ln (re/rw)
kf w
Harga PR untuk retakan horizontal dapat juga dicari dengan menggunakan
grafik pada Gambar 6.9. Sedangkan untuk retakan vertikal harga PR ditentukan
secara grafis dengan menggunakan grafik pada Gambar 6.10. Dari grafik tersebut
memperlihatkan hubungan antara productivity ratio untuk setiap harga fracture
penetration dengan faktor C, dimana besarnya C adalah kf.w/k.

Penetrasi Retakan
Secara tepat penetrasi retakan belum dapat ditentukan, akan tetapi arah
retakan bisa diketahui. Ini disebabkan oleh adanya bentuk-bentuk dan pola yang tidak
menentu waktu terjadinya peretakan. Untuk memperlihatkan besarnya penetrasi
retakan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
μt t ½
rf = c’ qi ……….………………………………………. (6-23)
k
dimana:
rf = Jari-jari retakan, ft
qi = rate injeksi, gpm
t = Waktu pemompaan, menit
μf = Viscositas fluida peretak, cp
k = Permeabilitas formasi, D
c’ = Konstanta yang tergantung pada tekanan reservoir, kekuatan batuan,
dan porositas batuan

Gambar 6.9
Penentuan Productivity Ratio Untuk Retakan Horizontal 8)

Fracturing Fluid Coefficient


Pada dasarnya koefisien peretak dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Viscositas control fluid
Kategori ini meliputi fluida viscous dan semi viscous. Dalam hal ini viscositas
dipakai untuk mengontrol kehilangan fluida peretak selama operasi peretakan.
Persamaan koefisien fluida peretak untuk kategori ini adalah:
kp ½
cv = 0,0469 ……………………..…………………… (6-24)
μ
dimana:
 = Porositas formasi, friksi
p = Tekanan peretak, psi
(gradient peretakan formasi x D) – BHP
cv = Fluid coefficient, ft/menit ½

Gambar 6.10
Penentuan Productivity Ratio Untuk Retakan Vertikal 8)

2. Reservoir Control Fluid


Pada kategori ini didapatkan fluida peretak yang mempunyai viscositas rendah
dan karakteristik kehilangan fluida peretak yang besar selama operasi peretakan
yang tergantung pada viscositas dan kompresibilitas fluida reservoir. Harga fluida
koefisiennya dapat dihitung dengan persamaan:
k Cf  ½
cc = 0,0374 p .……………………………..………… (6-25)
μ
dimana:
cf = Koefisien isothermal dari kompresibilitas fluida reservoir, psi-1
μ = Viscositas fluida reservoir, cp
3. Wallbuilding fluid
Kategori ini meliputi fluida peretak yang berisi additive untuk meredusir fluida
peretak selama operasi peretakan. Koefisien fluida peretak dinyatakan dalam
persamaan:
m
cw = 0,0164 , ft/menit ½ .…….…………………………… (6-26)
A
dimana:
m = Slope dari fluid loss curve, cm3/menit ½
A = Luas penampang aliran fluida, cm2
Koefisien fluida peretak menunjukkan mekanisme yang cenderung
memperkecil loss fluid dan memperluas retakan. Dalam reservoir yang sebagian
besar tekanannya telah menurun dimana terdapat saturasi gas, maka perhitungan
koefisien fluida peretak harus diperhatikan. Dalam hal ini tidak dapat satu
mekanisme yang sangat mempengaruhi, karena fluida peretak dihitung sebagai
kombinasi dari ketiganya, yaitu:
1/c = 1/cc + 1/cv + 1/cw ...………..……………………………… (6-27)

Luas Retakan
Persamaan untuk menghitung luas daerah retakan yang dapat digunakan untuk
retakan vertikal maupun retakan horizontal adalah sebagai berikut:
qi wf 2X
Af = e(X) erfc (X) + –1 ...……………………….. (6-28)
2
4c √π
dimana:
X = 2 c √ π t / wf
erfc (X) dapat dilihat pada Tabel VI-2
qi = Rate injeksi, cuft/menit
wf = Lebar retakan, ft
c = Koefisien fluida peretak, ft/menit ½
t = Total pumping unit, menit

Efisiensi Retakan
Efisiensi retakan dinyatakan sebagai perbandingan antara volume fluida
peretak yang dipakai. Efisiensi retakan dinyatakan dalam persamaan:
Vf wf Af
Af = = ………..……………………………………… (6-29)
Vi qi t
Kemudian Persamaan (6-28) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6-29), maka
efisiensi retakan menjadi:
1 2X
(X)
Eff = e erfc (X) + –1 ..……………………….. (6-30)
X2 √π

6.2.1.3. Steam Stimulation


Steam stimulation adalah injeksi uap panas ke dalam reservoir yang
mempunyai tujuan utama untuk menurunkan viskositas minyak yang tinggi. Steam
stimulation juga dapat membersihkan formasi di sekitar lubang sumur sehingga dapat
menaikkan produktivitas.
Cara operasinya adalah dengan jalan menginjeksikan uap panas ke dalam
sumur selama 7 – 14 hari, kemudian sumur ditutup selama 1 – 10 hari, sesudah itu
sumur diproduksikan kembali. Partikel-partikel halus seperti cutting, pasir, silt, dan
partikel lainnya akan disemburkan keluar bersama-sama dengan minyak, air, dan uap,
sehingga lapisan produktif di sekitar lubang bor menjadi bersih dan permeabilitasnya
menjadi besar.
Tabel VI-2
Daftar Tabel erfc (X) 8)
Uap yang digunakan dalam operasi ini mempunyai temperatur yang tinggi
yaitu sekitar 400 sampai 500º F. Uap yang digunakan untuk stimulasi mempunyai
heat content sebesar 1193 BTU/lb, sedangkan air mempunyai heat content sebesar
321 BTU/lb. Injeksi uap ke dalam formasi produktif dapat dilakukan melalui tubing
atau annulus casing dan tubing, tetapi kebanyakan operasi steam stimulation
injeksinya dilakukan melalui tubing dengan pertimbangan jumlah panas yang hilang
relatif lebih kecil dibandingkan dengan operasi memalui annulus.
Perpindahan panas di dalam operasi steam stimulation akan berpengaruh
terhadap keefektifan hasil operasi. Perpindahan panas dapat terjadi pada:
 Perpindahan panas antara sistem pembangkit uap dengan well head
 Perpindahan panas dari sistem uap di sekitar lubang sumur

6.2.2. Squeeze Cementing


queeze cementing adalah suatu proses penyemenan dimana bubur semen
ditekan ke tempat tertentu di dalam sumur untuk menutup daerah yang diinginkan.
Operasi ini biasanya dilakukan untuk memperbaiki kegagalan atau kerusakan pada
penyemenan pertama ataupun untuk tujuan-tujuan tertentu.
Secara umum kegunaan dari squeeze cementing adalah:
 Memperbaiki primary cementing yang rekah atau semen yang tidak baik
ikatannya.
 Memperbaiki casing yang pecah atau bocor.
 Menutup perforasi-perforasi yang tidak diinginkan atau yang sudah tidak dipakai.
 Mengganti zona-zona produksi.
 Mengontrol gas oil ratio (GOR) dan water oil ratio (WOR) yang tinggi dengan
jalan mengisolasi zona minyak dari formasi gas bearing dan atau water
bearingnya.
 Menutup zona lost circulation atau zona dengan tekanan tinggi atau produksi
air/gas yang berlebihan.
Untuk menyelesaikan tujuan di atas hanya dibutuhkan volume bubur semen
yang relatif sedikit, tetapi harus ditempatkan pada titik yang tepat pada sumur. Untuk
itu diperlukan perencanaan yang baik terutama perencanaan bubur semen dan
penentuan tekanan serta pemiliahn metoda atau teknik yang digunakan untuk operasi
ini.
Ada dua cara yang dikenakan pada operasi squeeze cementing, yaitu:
1. High Pressure Squeeze Cementing
Teknik ini dikenal dengan teknik semen fluid loss tinggi. Pada haigh pressure
squeeze cementing ini, formasi direkahkan dulu untuk menempatkan bubur
semen. Jadi teknik ini mencakup perekahan formasi dan pemompaan bubur semen
dengan tekanan tinggi tanpa kebocoran. Gambar 6.11. memperlihatkan teknik ini.
Dalam high pressure squeeze cementing ini casing sering tidak kuat menahan
tekanannya, karena itu diberi tekanan imbangan di annulus drill pipe casing
(squeeze cementing dilakukan dari drill pipe) diatas packer karena dalam operasi
ini dipasang packer untuk mengarahkan tekanan ke formasi. Tekanan yang harus
dikerjakan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (6-31) berikut:
PB = Ps – Pc + 0,052 D (Wc – Wm) ..………………………………. (6-31)
dimana:
PB = Tekanan imbang di annulus, psi
Ps = Squeeze pressure di permukaan, psi
Pc = Collapse pressure yang diijinkan, psi
Wc = Density bubur semen, ppg
Wm = Density lumpur, ppg
D = Kedalaman packer, ft
Gambar 6.11
High – Fluid Loss Cement Squeeze 9)

Persamaan (6-31) menunjukkan bahwa tekanan di annulus (yang


mengimbangi PB) diatas packer ditambah collapse pressure casing yang diijinkan
(Pc) harus sama dengan squeeze pressure di permukaan (P s) ditambah tekanan
differential oleh bubur semen. Sedangkan tekanan yang diperbolehkan untuk
tekanan imbang adalah:
PBmax = 0,8 Pb – 0,052 D (Wc – Wm) …...………………………….. (6-32)
dimana:
PBmax = Tekanan imbang maksimum, psi
Pb = Burst pressure casing yang diijinkan, psi
Dari Persamaan (6-31) dan (6-32) dapat diketahui squeeze pressure maksimum
yang aman, yaitu:
Psq = Pc – 0,052 D (Wc – Wm) + PBmax .....………………………….. (6-33)
2. Low Pressure Squeeze Cementing
Teknik ini lebih dikenal dengan teknik semen fluid loss rendah. Gambar 6.12.
menunjukkan teknik tekanan rendah. Teknik ini mencakup penempatan semen
diatas interval perforasi dan memberikan tekanan yang cukup untuk membentuk
filter cake dari semen yang didehedrasi di dalam perforasi dan dalam saluran-
saluran atau rekahan-rekahan yang mungkin terbuka perforasi tersebut, seperti
yang terlihat pada Gambar 6.13.
Pada low pressure squeeze cementing ini sering tidak digunakan packer dan
dalam prakteknya tekanannya adalah 300 psi dibawah tekanan rekah formasinya.
Tingginya teknik squeeze pada titik tekanan tinggi menyebabkan rekahnya
formasi, sehingga perlu hati-hati, karena itulah teknik tekanan rendah lebih aman.
Beberapa anjuran untuk melakukan squeeze cementing ini adalah:
 Tekanan squeeze akhir maksimum di permukaan tidak harus 1000 psi diatas break
down pressure (tekanan pompa dimana fluida untuk pertama kali masuk ke dalam
formasi).
 BHP maksimum 1 psi/ft kedalaman.
 Untuk sumur-sumur dangkal biasanya BHP ditentukan dengan persamaan:
BHP = 0,4 D + 500 , psi
Jumlah semen untuk squeeze cementing bervariasi dari beberapa sak sampai
ratusan sak. Volume squeeze cementing tergantung dari tenaga pompa, break down
pressure filtrat slurry, permeabilitas formasi (permeabilitas besar akan menyebabkan
dehidrasi semen dengan cepat, maka semen akan cepat mengeras karena bridging,
jadi tekanan squeeze naik dengan cepat), panjang zona yang diperforasi, kondisi
primary cementing, dan hubungan antara top kolom semen dengan titik dimana
squeeze akan dilakukan.
Gambar 6.12
Low – Fluid Loss Cement Pressure 9)

Operasi yang sering digunakan pada teknik squeeze cementing adalah operasi
block squeeze dan operasi plug back.
a. Operasi Block Squeeze
Operasi ini dimaksudkan untuk mencegah migrasi air atau gas ke dalam zona
produksi dengan jalan mengisolasi lapisa di atas atau di bawah lapisan produktif
sebelum sumur dikomplesi. Teknik ini akan melibatkan dua kali perforasi dan dua
kali squeeze, yaitu untuk lapisan di atas lapisan produktif dan squeeze di bawah
lapisan produktif dan kemudian baru diadakan perforasi pada zona produktif.
b. Operasi Plug Back
Operasi ini dimaksudkan untuk menyumbat zona lost circulation, menutup zona
abandonment, sebagai whipstock plug pada pemboran berarah, dan testing
formasi (karena jarak di bawah zona yang akan ditest tidak mungkin dipasang
bridge plug).

Gambar 6.13
Lumpur Mengisi Perforasi Untuk Menjaga
Semen Filter – Cake Formation 9)

6.2.3. Reperforasi
Perforasi dilakukan pada zona-zona produktif yang ada dalam sumur dan
sesuai dengan target kedalaman yang telah ditentukan. Pada pengerjaannya ternyata
sering pula terjadi di bawah target tersebut tidak terpenuhi (lubang perforasi terletak
diatas sebelum zona yang seharusnya diperforasi) atau bahkan target yang ditetapkan
terlampau (perforasi dilakukan terlalu dalam dari target yang telah ditentukan).
Dengan demikian maka perlu dilakukan perforasi ulang sesuai dengan target yang
telah ditentukan.
Selain target yang ditentukan tersebut, terdapat beberapa alasan yang
memungkinkan dilakukannya perforasi ulang, yaitu:
 Adanya sumbatan pada lubang perforasi yang sudah ada oleh material yang
berasal dari formasi, seperti pasir atau shale.
 Pemindahan target perforasi, karena perforasi pada lapisan produktif yang lama
sudah tidak dianggap ekonomis lagi dan perlu ditutup, kemudian dipindahkan ke
lapisan produktif lain yang lebih ekonomis.
 Menambah lubang perforasi baru yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah
aliran fluida ke dalam lubang sumur.
Jenis-jenis perforasi:
a. Bullet Perforating
Pada metoda ini, alat perforatornya terdiri dari beberapa pucuk/laras senapan
api yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat diturunkan ke dalam lubang bor
dan dapat ditembakkan secara elektris dari permukaan. Peluru-peluru tersebut akan
menembus casing dan semen formasi dengan kecepatan sangat tinggi.
Bagian bullet perforating gun utamanya terdiri dari :
 Fluid seal disk (untuk menahan masuknya fluida sumur ke alat)
 Gun barrel dan gun body, dimana barrel disekrupkan dan tempat igniter (sumbu),
propelant (peluru) dengan shear disk didasarnya untuk memegang bullet
ditempatnya sampai tekanan maksimum karena terbakarnya powder.
 Kawat yang meneruskan arus listrik untuk mekanisme kontrol pembakaran
powder charge.
 Gun body terdiri dari silinder besi panjang dan sejumlah gun yang diturunkan ke
dalam sumur melalui kabel logging.
Adapun keuntungan bullet perforating adalah:
 Umumnya lebih murah dan jumlah peluru yang ditembakkan dapat diatur sesuai
dengan kebutuhan.
 Dapat menaikkan permeabilitas formasi akibat rekahan yang dibuatnya (terutama
dibagian ujung).
 Pada formasi lunak, penetrasi bullet dapat sama dan bisa lebih tajam dibanding
dengan jet perforating.
Sedangkan kerugian bullet perforating adalah:
 Tidak dapat digunakan untuk lubang sumur yang bertemperatur tinggi (lebih dari
275ºF).
 Penembusan pada formasi sedang – keras kadang lebih dangkal dibanding dengan
jet perforating (tidak baik untuk casing berlapis).
 Perekahan yang dihasilkan dapat menyebabkan terproduksinya air atau gas dari
formasi yang bersangkutan.

b. Jet perforating
Pada metoda ini, penembusan target (casing, semen, dan formasi) dihasilkan
oleh suatu arus jet berkecepatan tinggi sekitar 30.000 ft/dtk dan dengan tekanan ± 4
juta psi bersamaan dengan hancurnya bagian dalam liner.
Prinsip kerja jet perforating bukan gaya powder yang melepaskan bullet, tetapi
powder yang eksplosif diarahkan powder chargenya sendiri menjadi arus yang
berkekuatan tinggi yang dapat menembus casing.
Terlihat liner pecah dan ikut arus jet berkecepatan 30 ribu ft/detik dengan tekanan
sampai 4 x 106 psi, sedang gumpalan liner yang pecah (carrot) yang dapat menutup
perforasinya, dapat dicegah dengan design retrieveablenya.
Adapun keuntungan jet perforating adalah:
 Dapat digunakan untuk temperatur lubang sumur ± 400ºF.
 Cocok untuk formasi keras karena penetrasinya lebih dalam.
 Rekahan yang dibuat tidak besar sehingga cocok untuk formasi yang tipis dan
kemungkinan terproduksinya air/gas dapat dihindari secara lebih baik.
 Penetrasinya lebih banyak dipengaruhi oleh standoff (jarak yang harus ditempuh
jet atau bullet sebelum mencapai target), semakin besar standoff, maka penetrasi
jet semakin pendek.
Sedangkan kerugian jet perforating adalah:
 Kurang memberikan fracture sehingga kurang baik untuk formasi-formasi tebal.
 Jet akan memberikan lubang yang runcing di bagian dalam (tidak bulat) maka
tidak dapat menggunakan klep-klep bola, sedang penggunaan packer memerlukan
kehalusan dinding casing.
 Jika standoff besar, maka jet terhalang lumpur.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diciptakan jenis jet perforating yang baru,
yaitu Tubing Conveyed Perforating (TCP) dimana sistem gunnya diturunkan melalui
tubing produksi atau drillpipe. Gun perforasi dapat disusun untuk variasi panjang
sesuai formasi yang akan di perforasi serta kerapatannya.
Keuntungan sistem TCP ini adalah:
 Untuk interval sangat panjang atau multiple interval bisa di perforasi satu trip,
sehingga rig timenya hemat.
 Gun perforasinya dapat diturunkan pada sumur-sumur miring dimana wireline
gun tidak dapat diturunkan.
 Untuk kepentingan gravel pack, metoda ini lebih efisien karena adanya big hole
charge dari TCP, serta sumur dapat langsung di flow test pada laju aliran hingga
stabil.
 TCP gun dapat diturunkan bersama rangkaian DST.
 Kerapatan penembakan (shoot densities)nya 4 – 12 spf

c. Metoda Perforasi Overbalance


Metoda ini dilakukan pada kondisi tekanan dasar sumur (P wf) lebih besar dari
tekanan formasi (Pf). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara ini kurang
menguntungkan karena lubang hasil perforasi akan tersumbat oleh partikel seperti
lumpur dan serpihan akibat aliran fluida pemboran saat perforasi.

d. Metoda Perforasi Underbalance


Metoda perforasi ini kebalikan metoda overbalance, dimana P wf < Pf, sehingga
setelah perforasi aliran fluida dalam sumur akan membersihkan lubang perforasi.
6.2.4. Recompletion
Masalah yang sering terjadi pada sumur-sumur minyak atau gas adalah
kerusakan mekanis dari peralatan-peralatan di dalam sumur produksi. Hal inilah yang
merupakan satu alasannya yang berpengaruh untuk dilakukannya suatu kerja ulang
karena adanya kerusakan mekanis ini. Kerusakan mekanis ini akan mengakibatkan
suatu kesulitan dalam mengontrol sumur dan terjadinya penurunan produksi. Apabila
hal ini tidak segera diperbaiki maka akan terjadi gangguan yang lebih parah dalam
kelangsungan produksi sumur.
Problema mekanis yang sring terjadi di dalam sumur adalah kebocoran tubing
atau packer. Karena itu harus diperbaiki atau diganti secepat mungkin. Hal ini
membutuhkan suatu penanganan dengan jalan operasi recompletion dalam arti
komplesi kembali secara keseluruhan, mengingat agar keseragaman komplesi benar-
benar baru seluruhnya, sehingga diharapkan tidak akan terjadi lagi kebocoran tubing
atau packer dalam waktu dekat.
Perlu diketahui, bahwa tempat-tempat berikut ini dapat memungkinkan
terjadinya kebocoran dalam tubing adalah:
 Di blast joint atau flow coupling yang berlubang akibat kuatnya arus pasir yang
terbawa minyak dari formasi.
 SSD (Sliding Side Door), yaitu packing yang rusak pada side door atau eroded
karena arus fluida bersama pasir yang bertekanan cukup tinggi.
 Telescopic yang selalu di adjust pada waktu set tubing hanger atau dual packer.
 Side pocket, mandrel dimana dummy packingnya tidak menutup dengan baik
(jalan keluarnya, ganti dummy gas lift valve yang baru).
 Pada sambungan tubing atau tool joints.
Gejala kebocoran dapat dilihat apabila:
 Semua sliding sleeve door (SSD) dari multi zona telah tertutup tetapi masih
terjadi kenaikan tekanan, walaupun tekanannya telah dibuang ke atmosfir.
 Kelihatan adanya kesamaan antara shut in pressure short string dan long string
walaupun dari zona yang berbeda.
 Adanya indikasi water cut yang berlebihan dari salah satu string atau GOR yang
besar, dimana menurut data reservoir tidak seharusnya demikian, dan lain-lain.
Adapun operasi workover yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan atau
mencabut seluruh rangkaian peralatan di dalam sumur, kemudian dilakukan komplesi
kembali.

Gambar 6.14
Interval Perforasi Baru Pada Zona Dangkal 7)

Begitu juga apabila kita ingin meningkatkan produksi sumurnya dengan jalan
membuka zona-zona atau lapisan-lapisan yang belum pernah diproduksikan untuk
dikembangkan bersama-sama dengan zona lapisan sebelumnya, maka usaha inipun
harus memerlukan suatu operasi kerja ulang, dimana akan dilakukan komplesi
kembali (recompletion) sumur, apakah itu dengan dual completion atau dengan multi
completion.
Recompletion juga dapat dilakukan untuk menghindari terproduksinya air
akibat dari kenaikan water oil contact, seperti yang terlihat pada Gambar 6.15 berikut
ini.

Gambar 6.15
Komplesi Sumur Dengan Interval
Perforasi Yang Baru 7)

6.2.5. Sand Control


Pasir yang ikut terproduksi bersama-sama minyak atau gas ke permukaan
merupakan masalah utama yang harus segera ditanggulangi, karena dengan ikut
terproduksinya pasir ke permukaan akan memperkecil laju produksi minyak yang
pada akhirnya akan menghambat jalannya produksi minyak ke permukaan terutama
bila pasirnya menutup lubang tubing.
Sand control merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah atau
menahan gerak pasir ke arah lubang sumur dengan menggunakan screen liner atau
gravel pack. Pada slotted atau screen liner, ukuran lubang saringan didasarkan pada
ukuran pasir dari hasil sieve analysis. Demikian pula jika menggunakan gravel pack.
Selanjutnya, pemilihan gravel tergantung pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Gravel yang tersedia
Gravel umumnya tersedia dalam beberapa ukuran (Tabel VI-3) dan gravel harus
disaring kembali serta diperiksa akuran maupun distribusinya. Jika ukuran gravel
hasil perhitungan dengan kriteria desain tidak tersedia, maka sudah menjadi
kebiasaan untuk menggunakan gravel yang berukuran sedikit lebih kecil. Kadang-
kadang gravel yang berukuran lebih besar terpaksa digunakan jika besar gravel
hasil peerhitungan atau gravel yang lebih kecil tidak tersedia.

Tabel VI-3
Ukuran Gravel Yang Tersedia 9)

2. Kualitas gravel
Kualitas gravel tergantung pada besar butir, kekuatan butir, dan kelarutan butir
dalam asam. Ketika sifat butiran gravel ini harus diperiksa dahulu sebelum gravel
digunakan. Kehadiran gravel diluar ukuran (kebesaran atau kekecilan) akan
menyebabkan penurunan permeabilitas gravel pack.
Gravel terdapat dalam tiga jenis, yaitu:
 Gravel kuarsa bersih dengan ketepatan ukuran paling baik (kekuatan butirnya
baik).
 Gravel yang mengandung banyak konglomerat dan kelihatan seperti gravel
multi warna yang terdapat di sungai-sungai daerah pegunungan.
 Gravel seperti kuarsa dengan permukaan kasar, mengandung banyak butiran-
butiran yang retak dan sedikit konglomerat (paling rendah kekuatannya).
3. Angularitas dan distribusi besar butir gravel
Permeabilitas dan kompaksi gravel dapat dipengaruhi oleh angularitas dan
distribusi besar butir.

Tabel VI-4
Beberapa Kriteria Desain Ukuran Butir Gravel
Terhadap Ukuran Butir Pasir 9)

Gravel dengan partikel-partikel anguler mempunyai beberapa kelemahan antara


lain:
 Gravel angular mengandung jumlah partikel diluar ukuran yang lebih besar
akibat pecah atau patahnya ujung-ujung yang tajam.
 Packing gravel angular tidak padat.
Tabel VI-4 menunjukkan desain ukuran atau besar gravel terhadap besar butiran
pasir.
Gambar 6.16
Tipe Sieve Analysis 9)

Dimana:
Di = besar gravel pada titik persentile i dalam kurva distribusi besar butir gravel
(Gambar 6.16.)
C = koefisien keseragaman butir pasir formasi (Gambar 6.16.)
= d40 / d90
– C ≤ 3 untuk well sorted (pemilahan baik)
– C > 5 untuk poor sorted (pemilahan buruk)
Dimana:
Di = besar butir pasir pada titik persentile ke I dalam kurva distribusi besar butir
pasir formasi (Gambar 6.17)
Gambar 6.17
Distribusi Ukuran Pasir Untuk Berbagai Sampel 9)

Umumnya screen liner diturunkan dan digantungkan pada casing yang


diletakkan didepan formasi produkstif, baik pada open hole maupun pada perforated
completion. Tipe screen ditunjukkan pada Gambar 6.18.
Pelaksanaan sand control di lapangan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu:
 Mekanisme oleh sumurnya sendiri, yaitu melalui peralatan yang dipasang sejak
dari depan formasi produktifnya sampai wellhead (sand probe).
 Mekanisme penanganan workover, yaitu dengan cara sirkulasi dan penimbaan.
Cara sirkulasi lebih baik dibanding dengan penimbaan bila endapan pasir di
dasar sumur cukup banyak. Untuk dapat dihasilkan operasi yang efisien dan
mencegah kerusakan formasi yang lebih besar, maka dalam memilih fluida yang akan
disirkulasikan harus dipertimbangkan kemampuan fluida dalam membawa pasir serta
berat jenisnya agar sirkulasi dapat berjalan dengan normal (tidak berlebihan).
Gambar 6.18
Tipe Screen 6)

Keterangan gambar tersebut:


(A). Pola screen pada horizontal slotted screen
(B). Pola screen pada vertikal slotted screen
(C). Wire wirped screen (anyaman kawat)

a. Sirkulasi dengan rig konvensional


Dalam hal ini sumur terlebih dahulu harus dimatikan, kemudian pipa produksi
harus dicabut sebelum rangkaian pipa sirkulasi dimasukkan ke dalam sumur.
Biasanya fluida sirkulasi dipompakan ke dalam sumur melalui rangkaian pipa
sirkulasi dan kemudian kembali ke permukaan melalui annulus. Apabila sumur sudah
bersih, rangkaian pipa sirkulasi dicabut dan pipa produksi dipasang kembali dan
diusahakan berproduksi lagi.

b. Sirkulasi dengan unit snubbing


Berbeda dengan cara sebelumnya, maka dengan unit snubbing ini sumur tidak
perlu dimatikan terlebih dahulu karena diameter pipa yang akan digunakan lebih kecil
sehingga dapat dimasukkan ke dalam pipa produksi.
c. Penimbaan dengan rig konvensional
Seperti halnya operasi sirkulasi dengan rig konvensional, maka dalam hal ini
sumur harus dimatikan terlebih dahulu. Dengan cara ini sebuah timba digantung pada
alat angkat permukaan yang dapat diturunkan ke dasar sumur. Timba dioperasikan
seperti halnya torak. Sewaktu ditarik piston akan mendorong pasir yang ada
disekitarnya ke dalam timba. Bila sudah penuh ditarik ke permukaan dan pasirnya
dikeluarkan melalui pintu geser samping dari sepatunya.

d. Penimbaan dengan wireline


Untuk membersihkan tumpukan pasir (sand bridges) atau pasir yang
menyumbat di dalam sumur, serta lubang perforasi, biasanya dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
1. Menggunakan pump bailer:
 Menurunkan pump bailer sampai pada tumpukan pasir yang tertinggi.
 Melakukan jarring dengan cepat dan mendudukkan kembali pump bailer pada
tumpukan pasir yang tertinggi.
 Mengulangi beberapa kali sampai terdapat penambahan bahan dan selanjutnya
mencabut pompa.
2. Menggunakan hydrostatik bailer:
 Memeriksa kondisi shear disc yang terletak di bagian bawah hydrostatik bailer
dan mengencangkan ikatannya.
 Ikatan seal plug pada body hydrostatik bailer yang berisi tekanan atmosfir
juga dikencangkan.
 Jarring ke bawah dengan keras akan menekan disc. Tekanan di dasar sumur
akan mendorong pasir ke dalam hydrostatik bailer dan seal plug akan
membuka dalam waktu yang bersamaan.
 Mengulangi beberapa kali untuk meyakinkan bahwa disc sudah pecah dengan
sempurna.
Pada Gambar 6.19, menunjukkan instalasi screen liner yang dapat dipasang baik pada
open hole maupun pada perforated completion. Sebelum dulakukan pemasangan
liner, mud cake harus dibersihkan terlebih dahulu agar tidak terjadi plugging. Untuk
itu digunakan fluida bebas clay pada completionnya atau dengan air garam.

Gambar 6.19
Instalasi Screen Liner 6)

Keterangan gambar:
(A). Pada open hole completion
(B). Pada perforated completion

6.3. Operasi Workover


6.3.1. Prioritas Rencana Operasi Workover
Di atas telah dijelaskan bahwa ternyata terdapat berbagai jenis operasi kerja
ulang yang mungkin dapat dilakukan sehingga perlu adanya prioritas dan cara
evaluasinya.
6.3.2. Frekuensi Operasi Workover
Frekuensi operasi kerja ulang pada sumur produksi pada dasarnya tidak dapat
ditentukan secara pasti. Tetapi kemungkinannya dapat didekati dengan analisa
terhadap masalah yang dihadapi oleh sumur yang bersangkutan. Oleh karenanya perlu
diketahui terlebih dahulu keadaan sumur sebagai bahan pertimbangan terhadap
analisa yang dilakukan.
Frekuensi workover pada sumur produksi tergantung pada karakteristik
reservoir dan cara produksi yang diterapkan pada sumur tersebut. Ada beberapa
kemungkinan dilakukannya frekuensi workover terhadap beberapa jenis workover.

6.3.2.1. Frekuensi Sand Control


Tingkat pembersihan pasir pada hakekatnya tergantung pada kandungan pasir
yang ada dan kemampuan pengkonsolidasian pasir oleh liner ataupun gravel pack.
Frekuensi terhadap pembersihan pasir dari dalam sumur akan meningkat bila
terjadi kegagalan pengkonsolidasian pasir dimana dalam hal ini pasir akan masuk ke
dalam lubang sumur dalam jumlah yang besar dan tak terkendalikan. Peningkatan
frekuensi pembersihan pasir akan lebih besar lagi bila pada sumur yang bersangkutan
tidak menggunakan alat penyaring pasir, lebih-lebih pada formasi batuan yang mudah
lepas.

6.3.2.2. Frekuensi Reperforasi


Frekuensi terhadap reperforasi secara pasti sulit ditentukan, tergantung pada
persoalan yang mempengaruhi pada proses pengerjaan perforasi tersebut. Pengaruh
yang dimaksud adalah:
 Kegagalan yang dialami pada proses workover, misalnya masih ada sebagian dari
lubang-lubang perforasi yang masih tersumbat.
 Kurang cermatnya pengerjaan perforasi, sehingga mengakibatkan adanya
kerusakan formasi.
 Banyaknya lapisan formasi yang kemungkinan dapat diproduksikan kemudian.
6.3.2.3. Frekuensi Recompletion
Beberapa pekerjaan yang dapat dikatakan sebagai workover jenis
recompletion dan kebocoran dalam tubing antara lain adalah reparasi tubing, reparasi
packer, mengeluarkan liner, dan melakukan komplesi kembali dengan jalan membuka
zona-zona yang belum pernah diproduksikan untuk dikembangkan dengan zona
sebelumnya.
Frekuensi terhadap recompletion dan kebocoran dalam tubing tergantung pada
kondisi aliran fluida sumur. Adanya kandungan pasir yang cukup banyak dan tidak
mampu disaring sehingga akan mempercepat proses pengikisan dan penggerusan
pada dinding tubing yang mana akan meningkatkan frekuensi reparasi tubing.
Terjadinya perubahan temperatur yang tidak menentu dan berulang akan
mempengaruhi elemen penyegel pada packer, demikian pula saat pengerjaan
pencabutan tubing dan packer (untuk proses workover pada kasus lain) yang kurang
hati-hati akan mengakibatkan elemen penyegel tadi juga akan mengalami kerusakan,
bila hal demikian diabaikan maka bukan mustahil akan meningkatkan frekuensi
workover untuk reparasi packer ataupun tubing.

6.3.2.4. Frekuensi Squeeze Cementing


Tingkat frekuensi squeeze cementing sangat tergantung pada penyebab
dilakukan squeeze cementing. Penyebab tersebut antara lain:
1. Kebocoran casing
Kebocoran casing terjadi karena proses korosi, collapse, dan collars (sambungan
casing). Korosi pada casing disebabkan karena adanya H2S, CO2, HCl atau mud
acid dan adanya perbedaan potensial yang menyebabkan kontak dua macam
fluida dengan tingkat keragaman berbeda. Korosi ini mengakibatkan pengikisan
pada dinding casing, terutama pada dinding bagian dalam.
Adanya selisih tekanan dalam dan luar casing yang terlalu besar maka akan
terjadi collapse. Collapse casing tersebut dapat terjadi karena salah dalam
mendesain dan juga adanya korosi tadi.
2. Kerusakan primary cementing
Sebab-sebab terjadinya kerusakan primary cementing adalah karena adanya
tekanan yang besar pada operasi workover atau kualitas semen dan pengerjaan
yang tidak baik.

6.3.2.5. Frekuensi Stimulasi


Frekuensi stimulasi dapat dilakukan lebih dari satu kali, misalnya karena
pengerjaan pada tahap pertama yang kurang berhasil Perawatan secara stimulasi
dapat dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan tingkat kerusakan.
Pengerjaan stimulasi yang berulang-ulang harus dilakukan secara hati-hati
karena dengan adanya stimulasi yang berulang-ulang tadi justru dapat memperbesar
kerusakan formasi. Kendala yang dihadapi pada proses stimulasi sangat banyak,
misalnya pada perekahan sumur tidak dapat dilakukan penginjeksian secara tetap,
adanya problem fluida meng-agar (gel), lubang perforasi sebagian tersumbat atau
bertambahnya tekanan casing.

6.4. Perencanaan Workover


Berdasarkan problematik produksi yang terjadi, operasi workover dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu untuk mengatasi problem pada formasi,
untuk mengatasi problematik yang disebabkan oleh sifat fluida reservoir dan air
formasi, dan untuk mengatasi problem mekanis (kerusakan peralatan di dalam
sumur).

6.4.1. Mengatasi Problem Formasi


Workover atau kerja ulang yang digunakan untuk mengatasi problematik pada
formasi dapat dibagi atau dikelompokkan menjadi beberapa bagian yaitu untuk
mengatasi formasi yang mempunyai permeabilitas yang rendah, untuk mengatasi
produksi gas dan air yang tinggi, dan untuk mengatasi problem kepasiran.
6.4.1.1. Permeabilitas Formasi Kecil
Kecilnya permeabilitas suatu formasi dapat disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya adalah karena adanya kerusakan formasi atau karena karakteristik
reservoirnya memang mempunyai permeabilitas yang rendah. Untuk mengatasi
problem semacam ini dapat dilakukan metoda workover acidizing ataupun dengan
hydraulic fracturing. Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan workover ini adalah
jenis batuan formasi dan segi ekonomisnya.
Secara garis besar acidizing efektif bila digunakan pada batuan formasi yang
mengandung batugamping, karena asam yang dipakai akan melarutkan batuan
gamping tersebut dan akan memperbesar permeabilitasnya.
Metoda hydraulic fracturing amat baik untuk meningkatkan permeabilitas
formasi hampir setiap jenis batuan. Metoda ini selain dapat menambah retakan-
retakan pada formasi juga dapat menghilangkan kerusakan formasi karena invasi
lumpur bor dan karena pengaruh partikel-pertikel mineral yang mengendap disekitar
lubang bor.

6.4.1.2. Produksi Gas/Air Yang Tinggi


Produksi air/gas yang tinggi dari sumur-sumur minyak merupakan masalah
yang memerlukan suatu penanggulangan tersendiri. Perencanaan workover jenis ini
didasarkan penyebab terjadinya problem air atau gas yang banyak terproduksi ke
permukaan.
Perencanaan dan operasi workover yang dapat dilakukan pada sumur-sumur
tersebut adalah menutup perforasi lama pada lapisan produksi yang memproduksikan
air atau gas yang tinggi dengan squeeze cementing, kemudian dilakukan perforasi
kembali atau rekomplesi pada interval kedalaman lain, bila hasil dari analisa logging
masih menunjukkan bahwa formasi tersebut masih cukup produktif.
Produksi air atau gas yang berlebihan dapat disebabkan karena pergerakan air
atau gas telah mencapai lubang perforasi, terjadinya water atau gas fingering,
terjadinya gas atau water conning, atau terjadi kerusakan pada primary cementing.
Usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pergerakan air atau gas telah dekat atau mencapai lubang perforasi, maka usaha
yang dilakukan adalah:
 Melakukan squeeze cementing pada interval perforasi yang lama dan
kemudian melakukan perforasi pada kedalaman yang lain.
 Menyumbat interval perforasi yang lama dan kemudian membuat lubang atau
membelokkan arah lubang sumur seperti yang diperlihatkan pada Gambar
6.15).
Bila batuan formasi terdiri dari sejumlah zona produksi (multi zona produksi),
terproduksinya air yang berlebihan dari satu zona dapat mengakibatkan produksi
dari zona tersebut harus dihentikan dan sumur diproduksikan dari zona yang lain.
Kegiatan workover yang dilakukan disini adalah dengan melakukan squeeze
cementing, seperti yang terlihat pada Gambar 6.14)
2. Bila penyebabnya adalah karena water atau gas fingering, usaha yang dapat
dilakukan adalah memindahkan interval perforasi pada kedalaman yang lain
dengan reperforasi, setelah menutup perforasi yang lama.
3. Bila penyebabnya water atau gas conning, maka harus dibuat perencanaan
perforasi yang baik agar sumur dapat diproduksikan dengan kapasitas produksi
minyak yang optimum tanpa terjadi water atau gas conning.
4. Bila dari data logging menunjukkan bahwa hasil penyemenan yang tidak baik
sehingga mengakibatkan produksi air atau gas yang berlebihan, maka daerah
kerusakan penyemenan dilakukan squeeze cementing.

6.4.1.3. Problem Kepasiran


Dengan ikut terproduksinya pasir dari formasi yang tidak terkonsolidasi harus
segera diatasi untuk menghindari timbulnya persoalan-persoalan yang serius dan
mahal, seperti penurunan produksi akibat terendapkannya pasir pada dasar sumur,
kerusakan peralatan karena pasir mempunyai sifat yang abrasive, dan penanganan
pembuangan material-material dari dalam formasi (pasir) yang ikut terproduksikan ke
permukaan.
Laju aliran fluida dapat terganggu akibat terendapkannya pasir pada casing
ataupun tubing. Terendapkannya pasir pada dasar lubang sumur adalah karena
ketidakmampuan aliran fluida dari dalam sumur untuk mengangkat pasir ke
permukaan. Untuk mengatasi persoalan ini perlu dilakukan pemompaan endapan
pasir maupun pencucian pada dasar sumur yang terdapat endapan pasir. Beberapa
cara yang digunakan untuk membersihkan endapan pasir adalah:
1. Menggunakan macaroni tubing
Macaroni tubing berbentuk pipa kecil yang berdiameter satu inchi dan
dimasukkan ke dalam sumur. Pipa ini cukup ringan sehingga untuk mengangkat
dan menurunkannya ke dalam lubang sumur cukup dengan menggunakan rig
kecil.
Untuk pembersihan pasir dilakukan dengan mensirkulasikan air garam dengan
menggunakan pompa berkekuatan 500 psi. Skema pembersihan endapan pasir
dengan macaroni tubing dapat dilihat pada Gambar 6.19.
2. Cara washover
Pada kondisi lain, pasir akan memasuki lubang sumur dan mengendap di annulus
diantara casing dan tubing di atas packer, atau daerah zona atas dari multiple
completion di dalam casing. Untuk mengatasinya, sebagian tubing bagian atas
dipotong kemudian dicabut sehingga tinggal potongan tubing yang terjepit packer,
setelah itu peralatan washover dimasukkan dan diadakan sirkulasi untuk dapat
mengangkat endapan pasir tersebut. Skema pembersihan pasir dengan washover
dapat dilihat pada Gambar 6.20.
Agar problem ikut terproduksinya pasir bisa dicegah sekecil mungkin, maka perlu
diusahakan penanggulangan produksi pasir dengan sand control. Metode sand control
yang dilakukan untuk mengatasi problem pasir adalah dengan slotted liner dan gravel
pack.
Gambar 6.20
Pembersihan Pasir Dengan Macaroni Tubing 10)

6.4.1.4. Formation Damage


Formation damage dapat diakibatkan oleh pengaruh invasi cairan atau padatan
pada saat operasi pemboran, pembuatan lubang perforasi ataupun dapat juga
diakibatkan oleh adanya endapan scale ataupun parafin di dalam formasi.
Penanganan formation damage ini bermacam-macam tergantung pada
penyebab kerusakan serta kondisinya, disamping adanya faktor-faktor penunjang
lainnya. Penanggulangan terhadap problem formation damage ini adalah dengan
metoda stimulasi (perangsangan sumur) yang meliputi acidizing, hydraulic fracturing,
dan steam stimulation.
Gambar 6.21
Pembersihan Pasir Dengan Washover 10)

Untuk mengetahui apakah suatu formasi mengalami formation damage


ataukah tidak adalah dengan melakukan test pada sumur yang bersangkutan. Salah
satu test sumur untuk mengetahui adanya pengaruh kerusakan formasi adalah dengan
menggunakan analisa PBU test. Horner telah menyajikan suatu rumus pendekatan
untuk menganalisa pressure build–up suatu sumur seperti berikut:
qo μo Bo ln (t + ∆t)
Pws = Pi – ………………………………….. (6-34)
kh (∆t)
Dan apabila ditulis dalam satuan lapangan adalah:
qo μo Bo ln (t + ∆t)
Pws = Pi – 162,6 …….…………………….. (6-35)
kh (∆t)
dimana:
Pws = Tekanan dasar sumur selama build–up test, BPD
Pi = Tekanan reservoir mula-mula sebelum perioda shut–in , psi
qo = Laju produksi sumur sebelum perioda penutupan, BPD
μo = Viscositas minyak, cp
Bo = Faktor volume formasi minyak, Bbl/STB
k = Permeabilitas efektif minyak, mD
h = Ketebalan lapisan produktif, ft
t = Perioda produksi (flowing), menit
∆t = Perioda penutupan sumur, menit
Beberapa anggapan yang dipakai dalam menyelesaikan Persamaan (6-35) diatas
yaitu:
 Sumur berproduksi pada laju aliran yang tetap dari pusat reservoir tak terbatas
dengan tekanan yang tetap pada batas luar reservoir.
 Aliran fluidanya hanya satu fasa
 Kompresibilitas dan viskositas fluida konstan pada interval tekanan dan
temperatur yang bervariasi.
 Sumur ditutup pada permukaan batupasir (sand face) dan tidak terjadi aliran ”after
flow production” ke dalam lubang sumur.
 Formasi mempunyai permeabilitas homogen dalam arah aliran.
Mengingat dalam pengandaian di atas kondisi alirannya adalah steady state,
satu fasa pada suatu formasi yang permeabilitasnya homogen, maka jelas bahwa
Persamaan (6-35) tersebut suku-sukunya adalah konstan. Adapun suku-sukunya
adalah kapasitas aliran (q), karakteristik fluida (μ,B), dan karakteristik batuan (k,h).
Dan jika diplot antara Pws (yang dicatat untuk perioda penutupan sumur) terhadap log
(t + ∆t) / ∆t akan menghasilkan suatu garis lurus (ideal) dengan kemiringan (slope) =
m, seperti yang terlihat pada Gambar 6.22.
Gambar 6.22
Plot Pressure Buildup Untuk Reservoir yang Ideal 4)

Seperti telah dijelaskan di muka bahwa dari analisa PBU dapat dihasilkan
beberapa parameter penting, yaitu permeabilitas effektif, tekanan reservoir mula-
mula, dan derajat kerusakan formasi. Permeabilitas effektif minyak ditentukan
berdasarkan grafik linier dari Gambar 6.21, dengan cara menentukan slope dari grafik
tersebut yang besarnya sama dengan koefisien logaritma Persamaan (6-35) tersebut,
yaitu:
qo μo Bo
m = 162,6 ………………….…….…………………….. (6-36)
kh
Tekanan awal reservoir (P*) ditentukan dengan cara ektrapolasi grafik yang linier dari
Gambar 6.21 terhadap perioda penutupan yang tidak terbatas atau (t + ∆t) / ∆t = 1.
Pada umumnya di lapangan bentuk kurva buildup ini tidaklah lurus melainkan terjadi
penyimpangan (deviasi) pada garis lurus tersebut dan diplot menjadi tidak linier lagi.
Contoh hasil kurvanya seprti terlihat pada Gambar 6.23.

Gambar 6.23
Pengaruh Kerusakan Formasi dan After Production
pada Kurva Pressure Buildup 4)

Garis yang menyimpang ini diperoleh pada tingkat mula-mula buildup, hal ini
disebabkan oleh adanya kerusakan formasi (formation damage) atau after production.
Kerusakan formasi (skin effect) ini disebabkan oleh berkurangnya permeabilitas
formasi disekitar lubang sumur akibat adanya invasi filtrat lumpur serta partikel-
partikel padatan yang terkandung di dalam lumpur pemboran sewaktu berlangsung
operasi pemboran ataupun dalam tahap komplesi. Sedangkan after production ini
merupakan akibat masih adanya aliran dari formasi menuju lubang sumur
(recompression) setelah sumur ditutup (shut in). Periode after production dari kurva
buildup merupakan fungsi dari laju aliran fluida dari faktor volume formasi lubang
sumur, kompresibilitas, dan viskositas fluidanya.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya permeabilitas formasi di
sekitar lubang sumur secara terperinci adalah:
 Invasi filtrat lumpur dan partikel-partikel padatan ke dalam formasi.
 Mengembangnya (swelling) partikel-partikel clay di dalam formasi.
 Gaya adhesi mud cake di dalam lubang bor karena pembersihan yang kurang
baik.
 Penyumbatan lubang perforasi.
 Saturasi gas yang tinggi disekitar lubang bor, dsb.
Untuk mengetahui apakah formasi di sekitar lubang sumur mengalami kerusakan
dapat diperkirakan dengan Persamaan (6-37) yang dikemukakan oleh Horner sebagai
berikut:
P1jam – Pwf k
S = 1,151 – log + 3,23 ……………. (6-37)
m  μ C rw 2

dimana:
S = Skin factor, suatu konstanta
P1jam = Tekanan pada waktu penutupan (∆t)
= 1 jam yang diambil pada garis lurus dari buildup, psig
Pwf = Tekanan sesaat sebelum perioda penutupan (bottom hole flowing
pressure), psig
m = Kemiringan garis lurus (slope ) buildup, psig/cycle
k = Permeabilitas efektif formasi, fraksi
 = Porositas batuan formasi, fraksi
μ = Viskositas, cp
C = Kompresibilitas fluida, psi-1
rw = Jari-jari sumur, ft
Pernyataan kualitatif dari harga-harga S yang dihitung dengan Persamaan (6-37)
dapat dinyatakan sebagai berikut:
S ≥ 0, menunjukkan adanya kerusakan permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur.
S ≤ 0, menunjukkan tidak adanya kerusakan permeabilitas formasi di sekitar lubang
sumur, bahkan bisa menunjukkan adanya perbaikan.
S = 0, kerusakan permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur dapat diabaikan,
produktivitas formasi yang rendah dapat dinaikkan dengan stimulasi.
Dari hasil yang diperoleh melalui perhitungan tersebut maka apabila terjadi
kerusakan formasi yang sangat parah segera harus dilakukan pekerjaan stimulasi
untuk mencegah formation damage lebih lanjut.

6.4.2. Mengatasi Problem Yang Disebabkan Oleh Sifat Fluida Formasi


Problem yang dapat disebabkan oleh sifat fluida formasi adalah timbulnya
problem scale, parafin, korosi, emulsi, dan fluida berviskositas tinggi.

6.4.2.1. Mengatasi Problem Scale


Untuk mengatasi problem scale yang terbentuk pada peralatan di dalam
lubang sumur dan pada formasi produktif di sekitar lubang sumur dapat dipergunakan
zat kimia yang diinjeksikan ke dalam sumur. Untuk merencanakan zat kimia yang
akan digunakan, terlebih dahulu harus diketahui jenis scale yang terjadi.
1. Mengatasi scale CaCO3
a. Penambahan larutan HCl 15%
Penambahan ini tidak menghilangkan scale, tetapi membuka liran baru di
celah-celah batuan sehingga dapat menaikkan kemampuan sumur untuk
berproduksi.
b. Penambahan larutan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid).
Volume EDTA yang diperlukan adalah 2 bbl atau 10 bbl air. Dengan
penambahan ini maka perioda produksi lebih lama dari pada penambahan
HCl.
2. Mengatasi scale CaSO4
Scale ini tidak dapat bereaksi dengan HCl, untuk itu digunakan zat kimia sebagai
berikut:
a. Converter (Pengubah)
Inorganic converter (biasanya karbonat atau hydroxides) akan bereaksi
dengan calcium sulfate mengubah menjadi CaCO3 atau Ca(OH)2 yang larut
dalam asam. Converter treatment tersebut diikuti dengan acid treatment
(pengasaman) untuk melarutkan calcium carbonat atau calcium hydroxide.
CaSO4 + (NH)2CO3 (NH4)2SO4 (larutan) + CaCO3
CaCO3 yang terbentuk dilarutkan oleh HCl
CaCO3 + 2 HCl CaCl2 + CO2 + H2O
CO2 yang terbentuk membantu melepaskan endapan secara mekanik.
Inorganic converter tidak dianjurkan dipakai untuk mengatasi endapan yang
padat (dense).
b. Sodium hydroxide
Larutan 10% NaOH akan melarutkan 12,5% berat scale gypsum.
3. Mengatasi scale BaSO4
a. Penambahan EDTA akan melarutkan BaSO4 secara fisik, yaitu akan
memisahkan ion barium dengan ion sulfat kemudian ion barium akan bereaksi
dengan ion lain menjadi campuran kimia yang baru, karena ion barium sangat
labil.
b. Penambahan garam NaCl, yang merupakan pelarut BaSO 4 yang sangat kuat.
Tenaga melarutkan naik dengan naiknya temperatur. Kerugian dari metoda ini
adalah memakan waktu yang cukup lama.
4. Mengatasi scale senyawa besi
a. HCl biasa digunakan untuk melarutkan senyawa besi. Apabila HCl digunakan
untuk melarutkan scale besi, maka ke dalamnya harus ditambahkan corrosion
inhibitor untuk mencegah korosi pipa dan sering juga ditambahkan iron
sequestring agent yang akan mencegah pengendapan besi kembali. Hal ini
dapat terjadi jika asam yang digunakan sudah habis terpakai dan pH naik
cukup tinggi.
2 FeS + 6 HCl 2 FeCl3 + 2 H2S + H2
b. Citrit acid
Dapat menghilangkan oksida besi, tetapi jarang digunakan.
5. Mengatasi scale yang lain
Kadang-kadang scale yang terbentuk berupa garam atau NaCl. Untuk
menghilangkan scale tersebut biasanya digunakan air tawar yang dapat
melarutkan scale NaCl tersebut.
Dengan cara-cara tadi, larutan zat kimia dapat langsung dimasukkan ke dalam
sumur dan sumur langsung ditutup beberapa waktu agar zat kimia dapat bereaksi
dengan scale, setelah dapat diperkirakan scale terlarut maka sumur perlu dialirkan
kembali untuk membuang larutan tersebut.
Pembersihan scale pada dinding tubing dengan menggunakan zat kimia ini
sangat efektif karena pembersihan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
wireline bila didalam sumur terdapat pompa atau katup-katup sembur buatan.

6.4.2.2. Mengatasi Emulsi dan Fluida Berviskositas Tinggi


Untuk mengatasi problem emulsi dalam suatu sumur minyak dapat digunkan
surfactant. Surfactant akan menurunkan tegangan permukaan antara dua zat yang
bersinggungan dan akan membantu mengurai suatu emulsi.
Minyak dengan viskositas tinggi akan sulit untuk diproduksikan, maka perlu
usaha untuk menurunkan viskositas yang tinggi tersebut. Usaha yang dapat dilakukan
untuk menurunkan viskositas minyak agar mudah diproduksikan adalah dengan steam
stimulation.

6.4.2.3. Mengatasi Problem Parafin


Endapan parafin yang terjadi pada peralatan produksi selama operasi produksi
berlangsung sudah dapat dipastikan dapat mengganggu jalannya produksi minyak
dari dalam sumur. Secara umum, endapan parafin ini diatasi dengan tiga metoda,
yaitu:
 metoda mekanik
 metoda pemanasan
 metoda pemakaian solvent
Metoda mekanik, sesuai dengan namanya berarti dalam penanggulangan
problem parafin ini memakai suatu alat. Alat ini digunakan untuk membersihkan
karak parafin yang melekat di sepanjang tubing dan flow line.
Metoda pemanasan, yaitu suatu metoda dengan menggunakan energi panas
untuk melarutkan parafin pada dinding tubing dan pada dasar sumur agar parafin
dapat dibawa ke permukaan dalam bentuk cair. Panas dapat berupa injeksi uap panas
(steam), cairan panas atau menggunakan bahan kimia yang hasil reaksinya akan
menimbulkan panas. Selain itu panas juga dapat ditimbulkan dari pemanasan dengan
listrik.
Metoda pembersihan endapan parafin dengan menggunakan pelarut solvent,
yaitu dengan menginjeksikan solvent ke dalam tubing atau flow line. Macam-macam
solvent seperti kerosene, gasoline, bensol atau fraksi-fraksi ringan lainnya (bahan
kimia) yang dibuat khusus untuk melarutkan endapan parafin (comercial parafin
solvent). Metoda ini pada dasawarsa terakhir lebih banyak digunakan dengan
kombinasi antara metoda panas dan pelarut solvent. Hasilnya memang dirasakan
lebih efektif.
1. Pembersihan endapan parafin pada sumur-sumur sembur alam
Untuk membersihkan endapan parafin pada sumur-sumur sembur alam dilakukan
dengan menggunakan scrapper yang kerjanya tergantung pada tekanan dasar
sumur. Pada saat memasukkan scrapper ke dalam sumur, tekanan tubing harus
diatur agar seimbang yaitu dengan cara menutup wing valve. Kemudian alat
scrapper ini dimasukkan dan karena beratnya sendiri akan turun ke dasar sumur
melalui tubing. Setelah diperkirakan alat ini telah mencapai dasar sumur,
kemudian sumur diproduksikan kembali dengan membuka wing valve. Dengan
adanya tekanan aliran yang besar maka scrapper ini akan terdorong ke atas
kembali sambil membersihkan dinding tubing dari endapan parafin.
2. Pembersihan endapan parafin pada sumur-sumur pompa
Untuk membersihkan endapan parafin pada sumur-sumur pompa dalam banyak
hal cukup dengan pemanasan sucker rod guide pada beberapa tempat yang
diperkirakan terjadi pengendapan parafin. Jarak penyekrapan tidak begitu panjang
dan tergantung pada panjang langkah polished rod.
Selain itu penyekrapan ini hanya berlangsung pada saat pumping berjalan. Fungsi
utama dari peralatan sucker rod guide ini sebenarnya adalah sebagai sucker rod
guide centralizer terutama sekali untuk sumur-sumur yang agak miring agar
sucker rod tidak menggesek dinding tubing sehingga menimbulkan keausan. Cara
lain untuk membersihkan endapan parafin yang terjadi pada dinding tubing yaitu
dengan melengkapi bagian dalam sucker rod dengan scrapper yang mempunyai
jarak lebih pendek atau sama dengan panjang langkah dari polished rod. Sebagai
contoh yaitu spiral scrapper atau hydra pig.
3. Pembersihan endapan parafin pada dasar sumur
Endapan parafin jarang dijumpai pada dasar sumur, hal ini mengingat temperatur
yang cukup tinggi yang tidak memungkinkan terjadinya pembentukan parafin.
Walaupun demikian apabila temperatur dasar sumur lebih rendah dari temperatur
pembentukan parafin yang berkisar antara 1 – 25ºC dan karena pengaruh
penurunan tekanan dan pembebasan fraksi ringan dari cairan, dapat pula terjadi
pembekuan parafin. Cara penanggulangan pengendapan parafin pada dasar sumur
dilakukan sebagai berikut:
a. Menggunakan pelarut bensol, bensin, dan destilat yang labih ringan.
Umumnya pelarut ini dipanaskan terlebih dahulu dan akan mandapatkan hasil
yang lebih baik. Pelarut-pelarut ini dimasukkan ke dalam sumur secara,
 Dipompakan ke dalam sumur melalui tubing
 Dipompakan melalui annulus tubing – casing
 Diturunkan dengan bailer
b. Penginjeksian uap panas yang umumnya dilakukan melalui tubing dan keluar
melalui annulus tubing – casing. Untuk sumur-sumur dengan problem parafin
yang serius maka pada sumur-sumur pompa dapat dipasang tubing khusus ( di
luar tubing produksi) dan uap diinjeksikan melalui tubing khusus ini.
c. Menggunakan bahan kimia seperti calcium carbide dan dicampur dengan air
yang mengandung panas, acetylena atau sodium peroksida dengan air, caustic
soda, hydrochloric acid, dan sulfuric acid yang menimbulkan reaksi panas dan
biasa digunakan untuk membersihkan parafin di formasi.

6.4.3. Mengatasi Problem Mekanis


Problem mekanis yang sering terjadi pada sumur-sumur minyak adalah
kebocoran casing, kerusakan pada primary cementing, dan kerusakan pada down hole
equipment.

6.4.3.1. Mengatasi Kebocoran Casing dan Kerusakan pada Primary


Cementing
Untuk mengatasi kebocoran casing dan kerusakan pada primary cementing
dapat dilakukan dengan squeeze cementing.Untuk kebocoran casing, squeeze
cementing dilakukan untuk menutup kebocoran yang terjadi, sedangkan untuk
memperbaiki primary cementing yang rusak, terlebih dahulu dilakukan perforasi pada
casing yang diduga mengalami kerusakan primary cementing. Lubang perforasi yang
terbentuk digunakan untuk mengalirkan bubur semen agar masuk ke dalam zona yang
mengalami kerusakan.

6.4.3.2. Mengatasi Kerusakan pada Down Hole Equipment


Kerusakan pada peralatan dalam lubang sumur akan ditandai dengan turunnya
produksi sumur secara tiba-tiba. Kerusakan peralatan produksi pada lubang sumur
dapat berupa kerusakan pada instalasi artificial lift, kerusakan pada tubing, kerusakan
pada packer, dan kerusakan pada liner. Untuk mengatasi kerusakan pada down hole
equipment, dapat dilakukan dengan mengangkat peralatan yang mengalami kerusakan
untuk diperbaiki atau diganti.
Memperbaiki atau mengganti peralatan bawah permukaan adalah termasuk
workover jenis rekomplesi, karena sifatnya memperbaiki kembali sistem komplesi
lama. Dalam usaha reparasi tubing ataupun pencabutan liner, biasanya diikuti dengan
penggantian packer lama dengan yang baru dengan maksud agar frekuensi workover
dalam mereparasi packer ataupun peralatan lainnya tidak terlalu cepat.

Anda mungkin juga menyukai