Anda di halaman 1dari 5

Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

Karya: Rizki Siddiq Nugraha

Teknik pengambilan sampel penelitian sering disebut juga dengan teknik sampling.
Margono (2004, hlm. 125) menyatakan bahwa “teknik sampling adalah cara untuk
menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan
sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar
diperoleh sampel yang representatif”. Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang dapat digunakan. Secara skematis,
menurut Sugiyono (2001, hlm. 54) teknik sampling ditunjukkan pada gambar berikut:

Berdasar gambar di atas terlihat bahwa teknik sampling pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni probability sampling dan nonprobability sampling.
Berikut penjabaran lebih jelasnya, sebagai berikut:
1. Probability sampling
Sugiyono (2001, hlm. 57) menyatakan bahwa “probability sampling adalah teknik
sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk
dipilih menjadi anggota sampel”. Teknik sampling ini, meliputi:
a. Simple random sampling
Sugiyono (2001, hlm. 57) berpendapat mengenai simple random sampling, “dinyatakan
simple (sederhana) karena pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut”. Margono (2004, hlm. 126)
menyatakan bahwa “simple random sampling adalah teknik untuk mendapatkan sampel yang
langsung dilakukan pada unit sampling. Maka, setiap unit sampel sebagai unsur populasi
yang terkecil memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel atau untuk mewakili
populasi. Cara demikian dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen. Teknik ini
dapat dipergunakan bilamana jumlah unit sampel di dalam suatu populasi yang tidak terlalu
besar. Misalnya, populasi terdiri dari 200 orang siswa. Untuk memperoleh sampel sebanyak
60 orang dari populasi tersebut, digunakan teknik ini, baik dengan cara undian, ordinal,
maupun tabel bilangan random. Teknik ini dapat digambarkan, sebagai berikut:
b. Proportionate stratified random sampling
Margono (2004, hlm. 126) menyatakan bahwa “proportionate stratified random
sampling biasa digunakan pada populasi yang mempunyai susunan bertingkat atau berlapis-
lapis. Selanjutnya menurut Sugiyono (2001, hlm. 58) “teknik ini digunakan bila populasi
mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan bestrata secara proporsional”. Misalnya,
suatu universitas memiliki dosen dari berbagai latar belakang pendidikan, maka populasi
dosen itu berstrata. Contohnya, S1 = 20, S2 = 30, dan S3 = 20. Maka, jumlah sampel yang
harus diambil meliputi strata pendidikan tersebut yang diambil jumlahnya secara
proporsional.
c. Disproportionare stratified random sampling
Sugiyono (2001, hlm. 59) menyatakan bahwa disproportionare stratified random
sampling “digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata tetapi
kurang proporsional”. Misalnya, sekolah dasar memiliki guru dari berbagai latar belakang
pendidikan, yakni 2 orang lulusan D2, 20 orang lulusan S1, dan 3 orang lulusan S2. Maka, 2
orang lulusan D2 dan 3 orang lulusan S2 tersebut seluruhnya diambil sebagai sampel karena
dua kelompok tersebut terlalu kecil jika dibandingkan dengan kelompok S1.
d. Cluster sampling (area sampling)
Teknik ini disebut juga dengan cluster random sampling. Menurut Margono (2004,
hlm. 127) “teknik ini digunakan bilamana populasi tidak terdiri dari individu-individu,
melainkan terdiri dari kelompok-kelompok individu atau cluster. Teknik area sampling atau
dikenal dengan sampling daerah digunakan untuk menentukan sampel, bila obyek yang akan
diteliti atau sumber data sangat luas, misalnya penduduk dari suatu negara. Untuk
menentukan penduduk mana yang akan dijadikan sumber data, maka pengambilan sampelnya
berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan.
Sugiyono (2001, hlm. 59) memberikan contoh penerapan teknik ini, “di Indonesia
terdapat 27 provinsi, dan sampelnya akan menggunakan 10 provinsi, maka pengambilan 10
provinsi tersebut dilakukan secara random. Tetapi perlu diingat, karena provinsi-provinsi di
Indonesia itu berstrata maka pengambilan sampelnya perlu menggunakan stratified random
sampling”.
Contoh lain dikemukakan oleh Margono (2004, hlm. 127), ia mencontohkan “bila
penelitian dilakukan terhadap populasi pelajar SMU (Sekolah Menegah Umum) di suatu kota.
Untuk random tidak dilakukan langsung pada semua pelajar, tetapi pada sekolah/kelas
sebagai kelompok atau cluster”.
Teknik cluster sampling ini sering digunakan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama
menentukan sampel daerah, dan tahap berikutnya menentukan orang-orang yang ada pada
daerah itu secara sampling. Teknik ini dapat digambarkan, sebagai berikut:

2. Nonprobability sampling
Menurut Sugiyono (2001, hlm. 60) “nonprobability sampling adalah teknik yang tidak
memberikan peluang/kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk
dipilih menjadi sampel”. Teknik pengambilan sampel ini, meliputi:
a. Sampling sistematis
Sugiyono (2001, hlm. 60) menyatakan bahwa “sampling sistematis adalah teknik
penentuan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut”.
Misalnya, anggota populasi yang terdiri dari 50 orang. Dari semua anggota tersebut diberi
nomor urut, yaitu nomor 1 sampai dengan nomor 50. Pengambilan sampel dapat dilakukan
dengan nomor ganjil saja, genap saja, atau kelipatan dari bilangan tertentu, misalnya
kelipatan bilangan lima.
b. Sampling kuota
Menurut Sugiyono (2001, hlm. 60) “sampling kuota adalah teknik untuk menentukan
sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang
diinginkan”. Selanjutnya, menurut Margono (2004, hlm. 127) “dalam teknik ini jumlah
populasi tidak diperhitungkan akan tetapi diklasifikasikan dalam beberapa kelompok”.
Sampel diambil dengan memberikan jatah atau kuota tertentu terhadap kelompok.
Pengumpulan data dilakukan langsung pada unit sampling. Setelah kuota terpenuhi,
pengumpulan data dihentikan. Sebagai contoh, akan melakukan penelitian terhadap guru, dan
penelitian dilakukan secara berkelompok. Setelah jumlah sampel ditentukan 50 orang, dan
jumlah anggota peneliti berjumlah 5 orang, maka setiap anggota peneliti dapat memilih
sampel secara bebas sesuai karakteristik yang ditentukan sebanyak 10 orang.
c. Sampling aksidental
Sampling aksidental adalah “teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu
siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel,
bila dipandang orang yang kebetulan ditemui ini cocok sebagai sumber data” (Sugiyono,
2001, hlm. 60). Selanjutnya, menurut Margono (2004, hlm. 127) “dalam teknik ini
pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu”. Misalnya, penelitian tentang pendapat
guru mengenai kurikulum 2013 dengan mempergunakan semua guru sebagai unit sampling.
Peneliti mengumpulkan data langsung dari setiap guru yang dijumpai, sampai jumlah yang
diharapkan terpenuhi.
d. Sampling purposive
Sugiyono (2001, hlm. 61) menyatakan bahwa “sampling purposive adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu”. Selanjutnya, Margono (2004, hlm. 128)
menyatakan bahwa “pemilihan sekelompok subyek dalam purposive sampling, didasarkan
atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri
populasi yang sudah diketahui sebelumnya”. Dengan kata lain, unit sampel yang
dihubungkan disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian. Misalnya akan melakukan penelitian tentang kurikulum 2013, maka sampel yang
dipilih adalah sekolah yang menjalankan kurikulum 2013 saja.
e. Sampling jenuh
Sugiyono (2001, hlm. 61) menyatakan bahwa “sampling jenuh adalah teknik penentuan
sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel”. Hal ini sering dilakukan
apabila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang. Istilah lain dari sampling jenuh
adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.
f. Snowball sampling
Snowball sampling adalah “teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,
kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel” (Sugiyono,
2001, hlm. 61), begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Hal ini ibarat
bola salju yang menggelinding, makin lama semakin besar. Pada penelitian kualitatif banyak
menggunakan sampel purposive dan snowball. Teknik sampel ini ditunjukkan pada gambar,
sebagai berikut:
Menurut Margono (2004, hlm. 128-130) “penentuan sampel perlu memperhatikan sifat
dan penyebaran populasi”. Berkenaan hal itu, dikenal beberapa kemungkinan dalam
menetapkan sampel dari suatu populasi, sebagai berikut:
1. Sampel proporsional
Sampel proporsional merujuk kepada perbandingan penarikan sampel dari beberapa
subpopulasi yang tidak sama jumlahnya. Artinya, unit sampling pada setiap subsampel
sebanding jumlahnya dengan unit sampling dalam setiap subpopulasi. Misalnya penelitan
dengan menggunakan siswa SD sebagai unit sampling yang terdiri dari 2000 siswa SD
negeri dan 1000 siswa SD swasta. Dengan demikian, perbandingan subpopulasi adalah 2:1.
Dari populasi tersebut akan diambil sebanyak 150 siswa. Sesuai dengan proporsi setiap
subpopulasi, maka harus diambil sebanyak 100 siswa SD negeri dan 50 siswa SD swasta
sebagai sampel.
2. Area sampel
Sampel ini memiliki kesamaan dengan proporsional sampel. Perbedaannya terletak
pada subpopulasi yang ditetapkan berdasarkan daerah penyebaran populasi yang hendak
diteliti. Perbandingan besarnya subpopulasi menurut daerah penelitian dijadikan dasar dalam
menentukan ukuran setiap subsampel. Misalnya, penelitian yang menggunakan guru SD
negeri sebagai unit sampling yang tersebar pada lima kota/kabupaten. Setiap kota/kabupaten
memiliki populasi guru sebanyak 500, 400, 300, 200, dan 100. Maka, perbandingannya
adalah 5:4:3:2:1. Jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 150 guru. Dengan demikian,
dari setiap kota/kabupaten harus diambil sampel sebanyak 50, 40, 30, 20, dan 10 guru.
3. Sampel ganda
Sampel ganda atau biasa disebut juga sampel kembar dilakukan dengan maksud
menanggulangi kemungkinan sampel minimum yang diharapkan tidak masuk seluruhnya.
Untuk itu, jumlah atau ukuran sampel ditetapkan dua kali lebih banyak dari yang ditetapkan.
Penentuan sampel sebanyak dua kali lipat ini dilakukan terutama apabila alat pengumpul data
yang digunakan adalah kuesioner atau angket yang dikirimkan melalui pos. Dengan
mengirim dua set kuesioner pada dua unit sampling yang memiliki persamaan, maka dapat
diharapkan salah satunya akan dikembalikan, sehingga jumlah atau ukuran sampel yang telah
ditetapkan terpenuhi.
4. Sampel majemuk (multiple samples)
Sampel majemuk merupakan perluasan dari sampel ganda. Pengambilan sampel
dilakukan lebih dari dua kali lipat, namun tetap memiliki kesamaan dengan unit sampling
yang pertama. Penggunaan sampel majemuk ini memungkinkan masuknya data sebanyak
jumlah sampel yang ditetapkan tidak diragukan lagi. Penarikan sampel majemuk ini hanya
dapat dilakukan apabila jumlah populasi cukup besar.
Unsur-unsur yang diambil sebagai sampel disebut unsur sampling. Unsur sampling
diambil dengan menggunakan kerangka sampling (sampling frame). Kerangka sampling
merupakan daftar dari semua unsur sampling dalam populasi sampling. Kerangka sampling
dapat berupa daftar mengenai jumlah penduduk, jumlah bangunan, atau juga sebuah peta
yang unit-unitnya tergambar jelas. Sebuah kerangka sampling yang baik, menurut Margono
(2004, hlm. 131) harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:
1. Harus meliputi seluruh unsur sampel.
2. Tidak ada unsur sampel yang dihitung dua kali.
3. Harus up to date.
4. Batas-batasnya harus jelas, misalnya batas wilayah atau batas status.
5. Harus dapat diacak di lapangan, jadi hendaknya tidak terdapat beberapa nama sampel dengan
nama yang sama.

Referensi
Margono (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono (2001). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai