Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOLOGI TERESTERIAL

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Nama Anggota : - Dzikra Amalia (F1C413001)
- Fitria Andriani (F1C413010)
- Retno Putri Andini (F1C413013)
- M. Harun Alrasyid (F1C413020)
- Renny Desmasari (F1C413034)
- Rahmiatul Aini (F1C413041)
Dosen Pengampu : - Mahya Ihsan, S.Si., M.Si
- Anggit Prima Nugraha, S.Si., M.Si.

PROGRAM STUDI BIOLOGI


JURUSAN MIPA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
2016
I. PENDAHULUAN

Dalam studi ekologi teresterial, ekosistem daratan atau ekosistem terestial


yang menjadi kajiannya terdiri komponen biotik dan abiotik. Terestrial merupakan
wilayah daratan atau permukaan tanah. Ekosistem Terestrial merupakan hubungan
timbal balik antar makhluk hidup dan lingkungannya di wilayah daratan. Aliran
energi dan siklus kimia masuk dan berada pada dua komponen di dalam suatu
ekosistem.
Suatu ekosistem teresterial terdiri dari bioma hutan gurun, bioma hutan
basah, hutan gugur, hutan taiga, bioma tundra dan bioma padang rumput. Hutan
basah terdapat di daerah tropika meliputi semenanjung amerika tengah, amerika
selatan, afrika, madagaskar, australia bagian utara, indonesia dan malaysia.
Wilayah sumatera merupakan kawasan yang terdapat hutan yang luas
cakupannya.
Dalam suatu ekosistem hutan, tumbuh-tumbuhan berhubungan erat
satu sama lain dengan lingkungannya begitu juga dengan hewan. Hubungan ini
terlihat dengan adanya variasi dalam jumlah masing-masing jenis tumbuhan
dan terbentuknya struktur tumbuh-tumbuhan tersebut. Terbentuknya pola
keanekaragaman dan struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang
dinamis, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik maupun
abiotik.
Studi komposisi vegetasi tumbuhan memerlukan bantuan dari studi
tingkat populasi atau jenis. Hal ini dapat dimengerti karena struktur dan komposisi
jenis suatu komunitas dipengaruhi oleh hubungan yang terjadi dalam
komunitas. Vegetasi tumbuhan bawah juga merupakan salah satu komponen
ekosistem yang dapat menggambarkan pengaruh dari kondisi-kondisi faktor
lingkungan yang mudah diukur dan nyata. Ada dua cara dalam mengkaji vegetasi,
yaitu dengan mendeskripsikan dan menganalisis, masing- masing dengan berbagai
konsep pendekatan yang berlainan (Krebs 1978).
Penelitian ini bertujuan agar mahasiswa mampu melakukan analisis
vegetasi mendapatkan informasi tentang struktur dan komposisi jenis vegetasi
di kawasan penelitian.
II. METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan lokasi : Penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2015 di
lakukan di kawasan Masjid Jamik Assalam Universitas Jambi.
Alat dan Bahan : Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian adalah
tali rafia, meteran bangunan, kompas, meteran kain, pacak, plastik spesimen,
penggaris, dan alat tulis.
Pengambilan Sampel : Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
metode petak yaitu teknik sampling kuadrat (Quadrat Sampling Technique) Salah
satu tekniknya dibuat beberapa pada analisis vegetasi rumput yang berukuran
50x50cm, 100x50cm, 100x100cm. sedangkan pada analisis pohon berukuran
20x20cm, 10x10cm, 5x5cm, dan 1x1cm. metode ini digunakan plot berbentuk
petak baik tunggal maupun dengan menggunakan beberapa subplot. Metode ini
banyak digunakan untuk menganalisis struktur dan komposisi hutan.
Identifikasi : Hewan sampel diidentifikasi dengan buku Kunci Determinasi.
Analisis data : Data analisi vegetasi rumput digunakan analisisis Kerapatan,
Kerapatan Relatif, frekuensi, Frekuensi relatif, Indeks nilai penting, dan indeks
keanekaragaman, dan Indeks keseragaman. Pada analisis vegetasi pohon
digunakan perhitungan Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi
Relatif, Luas Basal Area, Dominasi, Indeks Nilai Penting, Indeks
Keanekargaman, dan Indeks keseragaman diketahui dengan rumus :
a. Kerapatan
-Kerapatan Mutlak(KM) = Jumlah Individu suatu jenis
Luas plot contoh/pengamatan
-Kerapatan Relatif (KR)= Kerapatan mutlak suatu jenis x 100
Jumlah total kerapatam mutkak
b. Frekuensi
-Frekuensi Mutlak (FM)= Jumlah plot yangditemptai suatu jenis
Jumlah seluruh plot pengamatan
-Frekuensi Relatif (FM)= Frekuensi suatu jenis x 100
Frekuensi total seluruh jenis
c. Luas Basal Area = 𝜋𝑟 2 atau 1 𝜋𝑑 2
4
d. Dominasi = Luas basal area suatu jenis
Luas area penelitian

e. Indeks Nilai Penting = INP = KR + FR + DR

f. Indeks Keanekaragaman dari Shannon-wienner = H’ = -∑Pi In pi pi= ni


N

g. Indeks Keseragaman = E = H’
Hmaks
Cara kerja
A. Analisis Vegetasi Rumput
1. Plot yang berukuran 50x50 cm di buat dan dicatat semua jenis yang terdapat
dalam tersebut.
2. Plot diperbesar menjadi 100x50cm, 100x100cm, 100x150cm dan seterusnya
hingga penambahan jumlah jenis dihitung di bawah 10%.
3. Spesies pada masing-masing plot di amati dan dicatat. Kemudian dibuat
kurva minimum area.
4. Setelah penambahan jumlah jenis dibawah 10% plot tersebut digunakan
sebagai ukuran minimal untuk analisis pada vegetasi tersebut.
5. 5 buah plot dibuat sesuai ukuran sebelumnya, pada setiap plot diamati dan
dicatat jenis rumput yang tumbuh.
6. Nilai kerapatan, kecepatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dan indeks
nilai penting dari masing-masing jenis tumbuhan dihitung dan dibuat dalam
bentuk tabel.
B. Analisi Vegetasi Hutan
1. Plot berukuran 20x20m dibuat sebanyak 2 buah diarea hutan yang telah di
tentukan.
2. Di dalam plot 20x20m dibuat subplot berukuran 10x10m, 5x5m, dan 1x1m.
3. Jumlah jenis dan jumlah individu dicatat, diukur diameter batang setinggi
dada orang dewasa, tinggi bebas cabang, dan tinggi total pohon.
4. Nilai K, KR, F, FR, D, DR, INP dihitung pada masing-masing jenis.
5. Untuk pola, sapling dan seedling di lakukan cara perhitungan yang sama
seperti pohon yang membedakan hanya ukran tinggi dan diameter batang.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan maka didapat hasil, sebagai
berikut:
1. Vegetasi Rumput
Table 1.1 Analisis Vegetasi Rumput
Ukuran Plot Spesies Jumlah
50 * 50 cm sp A Imperata cylindrica 21
sp B Asytasia intrusa 9
sp C 10
sp D Eupatorium odoratum 10
50 * 100 cm sp A Imperata cylindrical 9
sp B Asytasia intrusa 9
sp C 2
sp D Eupatorium odoratum 3
sp E 5
100 * 100 cm sp A Imperata cylindrica 20
sp B Asytasia intrusa 14
sp C 20
sp D Eupatorium odoratum 3
sp E 5
sp F 1
100 * 150 cm sp A Imperata cylindrica 40
sp B Asytasia intrusa 5
sp C 20
sp D Eupatorium odoratum 3
sp E 6
sp F 10

Table 1.2 Jumlah Vegetasi Rumput


Spesies Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Jumlah
sp A Imperata cylindrica 21 9 20 40 90
sp B Asytasia intrusa 9 - 14 5 28
sp C 10 2 20 - 32
sp D Eupatorium odoratum 10 3 - - 13
sp E - 5 - 6 11
sp F - - 1 10 11
∑ 185

KURVA MINIMUM AREA


10
9
8
7
6
5
Jumlah Spesies
4
3
2
1
0
50*50 cm 50*100 cm 100*100 cm 100*150 cm

Tabel 1.3. Analisis Data


Spesies KM (m²) KR % FM FR % INP %
sp A Imperata cylindrica 15 291,92 1 25 316,92
sp B Asytasia intrusa 4,67 90,82 0,75 18,75 109,57
sp C 5,33 103,795 0,75 18,75 122,545
sp D Eupatorium odoratum 2,167 42,16 0,5 12,5 56,66
sp E 1,83 35,67 0,5 12,5 48,17
sp F 1,83 35,67 0,5 12,5 48,17
Jumlah ∑ 30,83 ∑4

Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman


H’ = -∑Pi In pi = 1,459
Hmaks = Ln 6 = 1,791
E = H’ / Hmaks = 1,459 / 1,791
= 0,814

2. Vegetasi Hutan
Table 2.1 Analisis Pohon
2*20*20 m = 800 m² = 0,08 Ha
Jenis Jumlah KM KR % FM FR % DM DR % INP %
sp 1 1 12,5 100 0,5 100 2,035 100 300
Jumlah 1 12,5 0,5 2,035
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
H’ = -∑Pi In pi = 0
Hmaks = Ln 1 = 0
E = H’ / Hmaks = 0 / 0
=∞
Tabel 2.2 Analisis Tiang
2*10*10m = 200 m² = 0,02 Ha

Jenis Jumlah KM KR % FM FR % DM DR % INP %


sp 1 2 100 15,38 1 15,385 1,25 8,055 38,82
sp 2 2 100 15,38 1 15,385 2,36 15,48 46,25
sp 3 2 100 15,38 1 15,385 0,545 3,576 34,34
sp 4 2 100 15,38 1 15,385 0,65 4,284 35,05
sp 5 1 50 7,69 0,5 7,692 3,26 21,4 36,77
sp 6 1 50 7,69 0,5 7,692 1,118 7,34 22,72
sp 7 1 50 7,69 0,5 7,692 1,38 9,092 24,47
sp 8 1 50 7,69 0,5 7,692 3,33 21,87 37,25
sp 9 1 50 7,69 0,5 7,692 1,36 8,907 24,29
Jumlah 13 650 6,5 15,24
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
H’ = -∑Pi In pi = 2,127
Hmaks = Ln 9 = 2,197
E = H’ / Hmaks = 2,127 / 2,197
= 0,986

Table 2.3 Analisis Pancang


2*5*5m = 50 m² = 0.005 Ha

Jenis Jumlah KM KR (%) FM FR(%) INP


Sp 1 4 800 20 0,5 11,11111 31,11111
Sp 2 1 200 5 0,5 11,11111 16,11111
Sp 3 1 200 5 0,5 11,11111 16,11111
Sp 4 1 200 5 0,5 11,11111 16,11111
Sp 5 7 1400 35 1 22,22222 57,22222
Sp 6 1 200 5 0,5 11,11111 16,11111
Sp 7 4 800 20 0,5 11,11111 31,11111
Sp 8 1 200 5 0,5 11,11111 16,11111
Jumlah 20 4000 4,5
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
H’ = -∑Pi In pi = 1,754
Hmaks = Ln 8 = 2,079
E = H’ / Hmaks = 1,754 / 2,079
= 0,843
Tabel 2.4 Analisis Semai
Jenis Jumlah KM KR % FM FR % INP %
Sp 1 4 20000 23,52941 1 16,66667 41,19608
Sp 2 6 30000 35,29412 0,5 8,333333 44,12745
Sp 3 1 5000 5,882353 1 16,66667 23,54902
Sp 4 1 5000 5,882353 0,5 8,333333 14,71569
Sp 5 1 5000 5,882353 1 16,66667 23,54902
Sp 6 1 5000 5,882353 0,5 8,333333 14,71569
Sp 7 2 10000 11,76471 1 16,66667 29,43137
Sp 8 1 5000 5,882353 0,5 8,333333 14,71569
Jumlah 17 85000 6
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
H’ = -∑Pi In pi = 1,783
Hmaks = Ln 8 = 2,079
E = H’ / Hmaks = 1,783 / 2,079
= 0,857

B. Pembahasan

Analisis vegetasi adalah cara untuk mempelajari komposisi jenis dan


struktur vegetasi di dalam suatu ekosistem. Dalam analisis vegetasi dilakukan
penghitungan Indeks Nilai Penting, Indeks Dominasi (C), Indeks keanekaragaman
jenis ( H) , dan Indeks Kelimpahan Jenis (e). INP merupakan penjumlahan dari
kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR)
(Rizkiyah et al, 2013).
Hasil analisis rumput menunjukkan bahwa nilai kerapatan dari 6 spesies yang
terdapat di kawasan Masjid Jamik Assalam Universitas Jambi cukup bervariasi.
Total kerapatan rumput sebesar 15 rumput/hektar dan kerapatan relatif 291,92%
dicapai oleh spesies A Imperata cylindrica. Selanjutnya diikuti oleh spesies C
dengan nilai kerapatan sebesar 5,33 rumput/hektar dan kerapatan relatif
103,795%. Sedangkan 4 spesies lainnya menunjukkan nilai kerapatan jenis
terendah yaitu pada spesies B Asytasia intrusa nilai kerapatan sebesar 4,67
rumput/hektar rumput/hektar dan kerapatan relatif 90,82%, pada spesies D
Eupatorium odoratum nilai kerapatan sebesar 2,167 rumput/hektar dan kerapatan
relatif 42,16%, dan pada spesies E dan F nilai kerapatan sebesar 1,83
rumput/hektar dan kerapatan relatif 35,67%.
Menurut Febriliani et al (2013) jenis yang dominan merupakan jenis yang
mampu menguasai tempat tumbuh dan mengembangkan diri sesuai kondisi
lingkungannya yang secara keseluruhan atau sebagian besar berada pada tingkat
yang paling atas dari semua jenis yang berada dalam suatu komunitas vegetasi.
Analisis vegetasi rumput yang dilakukan mendapatkan tingkat
keanekaragaman sebesar 1, 459 dan termasuk tingkat keanekaragaman sedang.
Menurut Indriani et al (2009) Kriteria nilai indeks diversitas Shannon-Wiener
adalah H0 < 1 = keanekaragaman rendah, H0 = 1 s/d 3 = keanekaragaman sedang,
dan H0 > 3 = keanekaragaman tinggi.
Tumbuhan bawah memiliki banyak manfaat bagi lingkungan diantaranya
adalah dapat membantu menjaga agregat tanah agar tidak mudah lepas dan
tererosi oleh air hujan maupun aliran permukaan. Selain bermanfaat beberapa
jenis tumbuhan bawah dapat berperan sebagai gulma (Hilwan et al, 2013).
Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan
struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam metode
dengan petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak
digunakan adalah kombinasi antara metode jalur dengan metode garis petak
(Latifah, 2005).
Hasil analisis vegetasi hutan, untuk nilai indeks keanekaragaman pohon
adalah 0 yang termasuk dalam tingkat keanekaragaman yang rendah. Untuk nilai
indeks keanekaragaman tiang adalah 2,197, nilai indeks keanekaragaman pancang
adalah 1,754 dan nilai indeks keanekaragaman semai adalah 1,783. Untuk tingkat
keanekaragaman tiang, pancang dan semai termasuk kedalam tingkat
keanekaragaman sedang.
Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi juga dapat dilihat dari jumlah
individu dalam setiap jenis. Semakin kecil jumlah individu dalam setiap jenis,
maka semakin tinggi keanekaragaman jenisnya (Febriliani et al, 2013).
Konsep dominansi dapat dikatakan bahwa jenis yang memiliki INP tertinggi
kemungkinan menang atau mampu bersaing dalam suatu daerah tertentu,
mempunyai toleransi yang tertinggi, dan cocok dengan habitatnya dibandingkan
dengan jenis lainnya (Rizkiyah et al, 2013).
Hukum frekuensi Raunkier digunakan untuk melihat persebaran individu
dalam komunitas. Dalam hukum Raunkier, spesies dengan frekuensi rendah lebih
banyak individunya dari pada frekuensi tinggi. Berikut ini Hukum frekuensi
Raunkier dimana persebaran jenis dalam komunitas terdiri atas lima kelas sebagai
berikut:
Kelas A: Jenis dengan frekuensi 1-20%
Kelas B: Jenis dengan frekuensi 21-40%
Kelas C: Jenis dengan frekuensi 41-60%
Kelas D: Jenis dengan frekuensi 61-80%
Kelas E: Jenis dengan frekuensi 81-100% (Mclntosh, 1962).
Nilai frekuensi dari vegetasi rumput termasuk dalam frekuensi kelas B
yang memiliki jumlah jenis yang cukup banyak ditemukan, sedangkan frekuensi
pada vegetasi hutan, yaitu pohon frekuensinya adalah kelas E yang memiliki
jumlah jenis yang sangat sedikit ditemukan, tiang frekuensinya adalah kelas A
yang memiliki jumlah jenis yang sangat banyak ditemukan, pancang frekuensinya
adalah kelas A yang memiliki jumlah jenis yang sangat banyak ditemukan, dan
semai frekuensinya adalah kelas A yang memiliki jumlah jenis yang sangat
banyak ditemukan. Dapat dilihat bahwa vegetasi hutan memiliki keanekaragaman
yang cukup tinggi, sedangkan pada vegetasi hutan, pohon tingkat
keanekaragamannya rendah dan untuk tiang, pancang dan semai tingkat
keanekaragamannya tinggi.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Vegetasi rumput memiliki nilai keanekaragaman yang sedang dan
frekuensi cukup tinggi kelas B, dengan spesies terbanyak yang
didapatkan adalah Imperata cylindrical.
2. Vegetasi hutan, pohon memiliki nilai keanekaragaman rendah dengan
frekuensi rendah kelas E, sedangkan pada tiang, pancang dan semai
memiliki tingkat keanekaragaman yang sedang serta dengan frekuensi
tinggi kelas A.
3. Semakin banyak keanekaragaman dalam suatu ekosistem maka nilai
keanekaragamannya tinggi dan frekuensi yang tinggi pula.
DAFTAR PUSTAKA

Febriliani, Ningsih, S. M dan Muslimin. 2013. Analisis Vegetasi Habitat Anggrek


Di Sekitar Danau Tambing Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Warta
Rimba, 1(1). Sulawesi Tengah: Universitas Tadulako.
Hilwan, Iwan., Mulyana, Dadan., dan Pananjung, Weda. G. 2013.
Keanekaraaman Jenis Tumbuhan Bawah pada Tegakan Sengon Buto
(Enterolobium cyclocarpum Griseb.) dan Trembesi (Samanea saman Merr.)
di Lahan Pasca Tambang Batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai
Kartanagara, Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika, 4(1). Bogor.
IPB.
Indriani, Dwi. P., Marisa, Hanifa., dan Zakaria. 2009. Keanekaragaman Spesies
Tumbuhan pada Kawasan Mangrove Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di
Kec. Pulau Rimau Kab. Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian
Sains, 12(3). Sumatera Selatan. Universitas Brawijaya.
Krebs, J. C. 1978. Ecologi The Experimentals Analysis Of Distribution and
Abundance. New York: Harper and Row Publisher.
Latifah, Siti. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. Sumatera Utara. Universitas
Sumatera Utara.
Mclntosh, Robert. P. 1962. Raunklaer’s “Law of Frequency”. Indiana: University
of Notre Dame.
Purwaningsih, dan Yusuf, Rozali. 2005. Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi
Hutan di Kawasan Pakuli, Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Biodiversitas, 6(2). Bogor: LIPI.
Rizkiyah, Nur., Dewantara, Iswan., dan Herawatiningsih, Ratna. 2013.
Keanekaragaman Vegetasi Tegakan Penyusun Hutan Tembawang Dusun
Semoncol Kabupaten Sanggau. Pontianak. Universitas Tanjungpura.
Setiadi, D. 1984. Inventarisasi Vegetasi Tumbuhan Bawah dalam
Hubungannya dengan Pendugaan Sifat Habitat Bonita Tanah di
Daerah Hutan Jati Cikampek, KPH Purwakarta, Jawa Barat. Bogor:
Bagian Ekologi, Departemen Botani, Fakultas Pertanian IPB.

Anda mungkin juga menyukai