Anda di halaman 1dari 33

PRODUK JASA BANK SYARIAH

Makalah ini diajukan sebagai memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
“Strategi dan Operasional Bank Syariah”

Dosen Pengampu:
Kholid Albar, S.E., M.H.
Oleh:
Triyas Stikoma (1718231004)
Mazidatul Hikmah (1718231006)
Hafidhotul Mufidah (1718231009)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SSYARIAH


SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM KANJENG SEPUH
SIDAYU GRESIK
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan
rahmat, taufiq, hidayahnya dan inayah–nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Produk Jasa Bank Syariah”.
Pembuatan maklah ini dilakukan untuk memenuhi dari salah satu tugas mata
kuliah “Strategi dan Operasional Bnak Syariah”. Berkat pertolongan dari berbagai pihak
yang mau meluangkan waktu dan pikirannya sehingga kami bisa merampungkan proses
pembuatan proposal penelitian ini. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kholid Albar, S.E.,
M.H. selaku dosen pengampu dari mata kuliah tersebut.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan baik dari
segi penulisan maupun kelengkapan informasi, untuk itu kami berharap ada saran dan
kritikan dari pembaca semua agar kami bisa lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

Sidayu, 06 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Masalah ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
2.1 Produk Jasa Syariah ................................................................................................. 3
A. Qardh ............................................................................................................ 3
B. Hiwalah ......................................................................................................... 4
C. Wakalah ........................................................................................................ 7
D. Rahn ............................................................................................................ 10
E. Kafalah ........................................................................................................ 13
F. Ijarah ........................................................................................................... 17
G. Ijarah Muntahiyah Bittamlik ...................................................................... 20
2.2 Mekanisme Pengembangan Produk Jasa Perbankan ......................................... 22
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 20
3.1 Simpulan .................................................................................................................. 20
3.2 Saran ....................................................................................................................... 244
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bank merupakan lembaga keuangan yang dibangun atas dasar kepercayaan.
Bank pun dalam pendanaan operasionalnya sebagian besar berasal dari masyarakat.
Dana-dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata menjadi sumber dana terbesar
yang dijadikan andalan oleh bank tersebut. Pencapaiannya mencapai 80-90% dari
seluruh dana yang dikelola bank. Setiap lapisan masyarakat yang menyimpan
uangnya harus benar-benar yakin akan keamanan uang yang diamanahkannya
kepada bank-bank tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.
Dalam perbankan menyediakan beberapa produk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan zaman yang semakin canggih dengan adanya teknologi
modern sekaligus persaiangan di dunia global. Selain itu, produk-produk tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penyimpanan
kekayaan, sehingga dibutuhkanlah jasa perbankan untuk memenuhinya. Produk-
produk yang ada di bank syariah seperti produk pendanaan, pembiayaan, dan jasa.
Dari ketiga produk tersebut yang disediakan oleh bank, dalam makalah ini, penulis
akan menerangkan lebih jauh lagi tentang produk jasa yang berbasis syari’ah, yang
kemudian penulis harap dari diselesaikannya makalah ini, semoga dapat bermanfaat
dengan sebesar-besarnya.
Dalam makalah ini kita akan mempelajari sebagian hal yang berkaitan dengan
pengelolaan produk perbankan syariah dibidang jasa.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa saja macam-macam produk jasa syariah?
b. Apa saja rukun dan syarat produk jasa syariah?
c. Bagaimana implementasi produk jasa syariah?
d. Apa saja landasan hukum dari produk syariah?

1
2

1.3 Tujuan Masalah


a. Untuk mengetahui macam-macam produk jasa syariah.
b. Untuk mengetahui rukun dan syarat poduk jasa syariah.
c. Untuk mengetahui implementasi produk jasa syariah.
d. Untuk mengetahui landasan hukum dari produk jasa syariah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Produk Jasa Syariah


Produk-produk jasa perbankan dengan pola lainnya pada umumnya
menggunakan akad tabarru’ yang dimaksudkan tidak untuk mencari keuntungan,
tetapi dimaksudkan sebagai fasilitas pelayanan kepada nasabah dalam melakukan
nasabah dalam melakukan transaksi perbankan. Oleh karena itu, bank sebagai
penyedia jasa hanya membebani biaya administrasi. Jasa perbankan golongan ini
yang bukan termasuk akad tabarru’ adalah akad sharf yang merupakan akad
pertukaran uang dengan uang dan ujr yang merupakan bagian dari ijarah (sewa)
yang dimaksudkan untuk mendapatkan upah (ujroh) atau fee.1
Macam-macam produk jasa syariah, antara lain sebagai berikut;
A. Qardh
1. Pengertian Qardh
Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan, biasanya
untuk pembelian barang-barang fungible (yaitu barang yang dapat diperkirakan
dan dapat diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya).2
Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) No. 19/DSN-MUI/IV/2001, qardh yakni suatu akad
pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah
disepakati oleh LKS dan nasabah.3
2. Rukun dan Syarat Qardh
Rukun dari akad qardh atau qardhul hasan yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa:

1
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 128.
2
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 46.
3
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Qardh, online, diakses dari mps.fai-umj.ac.id pada tanggal 14
Maret 2019.

3
1. Pelaku akad, yaitu muqtaridh (peminjam), pihak yang membutuhkan dana,
dan muqridh (pemberi pinjaman), pihak yang memiliki dana.
2. Objek akad, yaitu qardh (dana)
3. Tujuan, yaitu iwad atau counter value berupa pinjaman tanpa imbalan
(pinjam Rp.X,- dikembalikan Rp. X,-)
4. Shighah, yaitu ijab dan qabul.

4
4

Syarat dari akad qardh atau qardhul hasan yang harus dipenuhi dalam
transaksi yaitu:4
a. Kerelaan kedua belah pihak.
b. Dana digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dan halal.
3. Implementasi hiwalah dalam dunia perbankan syari’ah dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut:

B. Hiwalah
1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan utang/piutang dari orang yang berhutang atau
berpiutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya/menerimanya.5 Dalam
hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang
lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang
dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang
yang berkewajiban membayar hutang).6
Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) No. 12/DSN-MUI/IV/2000, hiwalah adalah akad

4
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 48.
5
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 107.
6
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 146.
5

pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayar) nya.7
2. Rukun dan Syarat Hiwalah
Rukun dari akad hiwalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu muhil adalah pihak yang berhutang, muhal adalah pihak
yang mempunyai piutang, dan muhal ‘alaih adalah pihak yang
mengambilalih utang/piutang.
b. Objek akad, yaitu muhal bih (utang).
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad hiwalah, yaitu:
a. Persetujuan para pihak terkait.
b. Kedudukan dan kewajiban para pihak.
Contoh penggunaan hiwalah dalam jasa perbankan, antara lain anjak
piutang.8
3. Jenis-jenis Hiwalah
Hiwalah dibedakan menjadi beberapa jenis. Imam Hanafi membedakan
hiwalah ini menjadi dua jenis, yaitu:
a. Hiwalah mutlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada orang
lain dan tidak mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang itu. Menurut
ketiga mazhab lain kalau muhal a’laih tidak punya hutang kepada muhil,
maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan ketiga
pihak.
b. Hiwalah muqayyadah, seseorang memindahkan utang dan mengaitkan
dengan piutang yang ada padanya. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz)
berdasarkan kesepakatan para ulama.
4. Landasan Hukum Hiwalah
Landasan hukum hiwalah sebagai produk perbankan syariah, yaitu;
a. Landasan syariah

7
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah, online, diakses dari https://dsnmui.or.id pada tanggal 14
Maret 2019.
8
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 107-108.
6

Landasan syariah atas hiwalah dapat dijumpai dalam sunnah dan ijma’.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Menunda pembayaran bagi
orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari
kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah
hiwalah itu”.
Pada hadis ini tampak bahwa rasulullah memberitahukan kepada orang
yang mengutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada
orang yang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan
hendaklah ia menagih kepada orang yang menghiwalahkan (muhal alaih).
b. Landasan hukum positif
Hiwalah sebagai salah satu produk produk perbankan syariah di bidang
jasa yang telah mendapatkan dasar hukum yang kokoh melalui Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Dalam tataran teknis hiwalah diatur dalam ketentuan pasal 36 huruf c
poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang intinya menyatakan bahwa
bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan usahanya yang meliputi melakukan pemberian jasa pelayanan
perbankan berdasarkan akad hiwalah.
5. Implementasi akad hiwalah dalam praktik perbankan syariah
Akad hiwalah dipraktikan di perbankan syariah terhadap beberapa produk
sebagai berikut:
a. Factoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b. Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
c. Bill Discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah.
Hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan
pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah.
7

Implementasi hiwalah dalam dunia perbankan syari’ah dapat digambarkan


dalam skema sebagai berikut:

6. Manfaat dan Keuntungan Hiwalah


Manfaat dan keuntungan yang diperoleh, jika kita memakai mekanisme
hiwalah adalah sebagai berikut:9
a. Memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b. Tersedianya talangan dana untuk dana hibah yang membutuhkan.
c. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non
pembiayaan bagi bank syariah.
d. Bagi pihak nasabah selaku klien dari bank akan mendapatkan instant cash
sehingga dapat meningkatkan cash flow perusahaannya.
C. Wakalah
1. Pengertian Wakalah
Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat. Mandat ini harus dilakukan dengan yang telah disepakati
oleh si pemberi mandat.10 Wakalah atau disebut perwakilan adalah pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal-hal
yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta
imbalan tertentu dari pemberi amanah.

9
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 146-149.
10
Wery Gusmansyah dan etry Mike, Bahan ajar mata Kuliah Hukum Perbankan Syariah, Bengkulu,
2016, hlm. 16.
8

Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama


Indonesia (DSN-MUI) No. 10/DSN-MUI/IV/2000, wakalah yaitu pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan.11
2. Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun dari akad wakalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa hal, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu muwakil (pemberi kuasa) adalah pihak yang memberikan
kuasa kepada pihak lain, dan wakil (penerima kuasa) adalah pihak yang
diberi kuasa.
b. Objek akad, yaitu taukil (objek yang dikuasakan).
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat-syarat dari akad wakalah, yaitu:12
a. Objek akad harus jelas dan dapat diwakilkan.
b. Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
3. Bentuk-bentuk Akad Wakalah
Bentuk-bentuk akad wakalah, antara lain:
a. Wakalah muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu.
b. Wakalah muqayyadah, yaitu perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang
telah ditentukan dan disepakati bersama.
Contoh penggunaan wakalah dalam jasa perbankan, antara lain L/C (letter
of credit), transfer, kliring, RTGS, inkaso, dan pembayaran gaji.
4. Landasan Hukum Wakalah sebagai Produk Perbankan Syariah
a. Landasan syariah
Dasar hukum tentang kebolehan pemberian kuasa ini adalah Al-quran
yang mengisahkan tentang Ashabul Kahfi (surat Al-Kahfi) ayat 19 yang
artinya sebagai berikut:
“Dan demikianlah kami bangkitkan mereka agar saling bertanya
diantara meeka sendiri. Berkatalah salah seorang diantara mereka: “sudah

11
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah, online, diakses dari https://dsnmui.or.id pada tanggal 14
Maret 2019.
12
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 104-105.
9

berapa lamakah kamu berada di sini?”. Berkata (yang lain lagi) Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada disini. Maka suruhlah
seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,
dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seseorangpun”.
Dalam masa Rasulullah SAW juga pernah terjadi pemberian kuasa
kepada sahabatnya, antara lain:
1) Pemberian kuasa untuk mengawini.
2) Pemberian kuasa membayar utang dan memeliharanya.
Mengenai wakalah sebagai salah satu bentuk tolong menolong yang
diridhai Allah ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Dan Allah (akan) menolong hambanya selama hamba-hambanya mau
menolong saudara-saudaranya”.
b. Landasan hukum positif
Dalam tataran jenis wakalah diatur dalam ketentuan pasal 36 huruf c
poin pertama PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang intinya
menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang meliputi melakukan pemberian
jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad wakalah.13
5. Implementasi Akad Wakalah dalam Praktik Perbankan Syariah
Wakalah biasanya diterbitkan sebagai Letter of Credit (L/C) atau
penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C
ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak
lain, serta jasa inkaso.
Atas dasar prinsip wakalah, bank membuka L/C atau permintaan nasabah
dengan meminta nasabah untuk menyetorkan dana yang cukup (100%) dari
besarnya L/C yang dibuka. Setoran dana tersebut disimpan oleh bank dengan

13
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 154-155.
10

prinsip wakalah dan bank memungut ujr (fee atau komisi) sebagai
kontraprestasi.14
Implementasi wakalah dalam dunia perbankan syari’ah dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut:

D. Rahn
1. Pengertian Rahn
Rahn adalah perjanjian penyerahan barang yang digunakan sebagai agunan
untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan. Beberapa ulama mendefinisikan rahn
sebagai harta yang oleh pemiliknya digunakan sebagai jaminan utang yang
bersifat mengikat. Rahn juga diartikan sebagai jaminan terhadap utang yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar kepada pemberi utang, baik seluruhnya
maupun sebagian apabila pihak yang berutang tidak mampu melunasinya.15
Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) No. 25/DSN-MUI/IV/2002, rahn adalah pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai jaminan atas utang.16
2. Rukun dan Syarat Rahn
Rukun dari akad rahn yang harus dipenuhi, antara lain:
a. Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang) dan murtahin
(penerima barang).

14
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 157.
15
Ismail, Perbankan Syariah Edisi Pertama, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014, hlm. 209.
16
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
25/DSN-MUI/IV/2002 Tentang Rahn, online, diakses dari https://dsnmui.or.id pada tanggal 14
Maret 2019.
11

b. Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan).
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat-syarat dari akad rahn, yaitu:
a. Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan.
b. Penjualan jaminan.
Contoh penggunaan rahn dalam jasa perbankan, antara lain gadai.17
3. Landasan hukum Rahn sebagai produk perbankan syariah
a. Al-Quran
Ayat Al-Quran yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai
adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283 yang artinya adalah sebagai
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
“Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya)”.
b. Hadis
1) Aisyah berkata bahwa Rasul telah bersabda: Rasulullah membeli
makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.
(HR. Bukhari dan Muslim)
2) Dari Abu Hurairah r.a nabi SAW bersabda: tidak terlepas kepemilikan
barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung risikonya. (HR. Asy Syafi’i, al Daraquthni dan
Ibnu Majah).
3) Nabi bersabda: tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya

17
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 108-109.
12

perawatan dan pemeliharaan. (HR. Jamaah, kecuali Muslim dan An


Nasai).
4) Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah bersabda: apabila ada ternak
digadaikan, maka punggungnya boleh dimiliki (oleh yang menerima
gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga) nya. Apabila
ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh
yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)
nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan
biaya (perawatan) nya. (HR. Jamaah kecuali, Bukhari, Muslim, dan
Nasai).
c. Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga
berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai
hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyaratkan pada waktu tidak
bepergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan
Rasulullah SAW dalam hadist tersebut diatas.18
4. Implementasi Akad Rahn dalam Praktik Perbankan Syariah
Rahn sebagai suatu perjanjian tentang gadai ternyata tidak hanya
diterapkan oleh perusahaan pegadaian saja. Perbankan syariah ternyata juga
menyediakan produk berupa rahn ini dalam kegiatan operasionalnya.
Rahn yang ada di dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai
menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang
dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam salah satu jenis akad
pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum pegadaian rahn
merupakan produk utama.
Adapun manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah
sebagai berikut:
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.

18
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 158-159.
13

b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa


dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji
karena ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama didaerah-
daerah.
Adapun manfaat yang langsung didapat oleh bank adalah biaya-biaya yang
harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan keamanan asset dari nasabah
tersebut. Jika penahan asset berdasarkan perjanjian fiducia (penahan barang
bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya
asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
Risiko yang ada pada implementasi rahn pada perbankan syariah adalah
risiko tidak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi) dan risiko penurunan nilai
asset yang ditahan berupa kerusakan atau turunnya harga jual atas suatu asset.19
Implementasi rahn dalam dunia perbankan syari’ah dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut:

E. Kafalah
1. Pengertian Kafalah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) No. 11/DSN-MUI/IV/2000, kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh

19
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 161-162.
14

penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil).20 Kafalah dapat juga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya penjamin dapat
meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin. Jadi, secara singkat kafalah
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang kepada orang lain dengan
imbalan.
2. Rukun dan Syarat Kafalah
Rukun dari akad kafalah yang harus dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu kafil (penanggung) adalah pihak yang menjamin dan
makful (ditanggung), adalah pihak yang dijamin.
b. Objek akad, yaitu makful alaih (tertanggung) adalah objek penjamin.
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu:
a. Objek akad harus jelas dan dapat jaminan.
b. Tidak bertentangan dengan syariat islam.
3. Jenis-jenis Kafalah
Kafalah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kafalah dengan harta dan
kafalah dengan jiwa.21 Sementara itu, jenis kafalah ada lima, yaitu:
a. Kafalan bin nafs
Merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee).
Sebagai contoh, dalam praktik perbankan bentuk kafalah bin nafs adalah
seorang nasabah yang mendapat penbiayaan dengan jaminan nama baik dan
ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik
tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat
mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami
kesulitan.
b. Kafalah bin maal

20
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah, online, diakses dari https://dsnmui.or.id pada tanggal 14
Maret 2019.
21
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 105-107.
15

Kafalah bin maal merupakan jaminan pembayaran barang atau


pelunasan utang.
c. Kafalah bit-taslin
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas
barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian
jaminan ini dapat dilaksakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam
bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company).
Jaminan bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat
membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
d. Kafalah al-munjazah
Adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan
untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah
adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan
prestasi), suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai
dengan bentuk akad.
e. Kafalah al-muallaqoh
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
munjazah, baik oleh industri perbankan maupun asuransi.22
Contoh penggunaan kafalah dalam jasa perbankan, antara lain bank
garansi.
4. Landasan dan Dasar Hukum Kafalah
Pada dasarnya hukum kafalah adalah boleh (mubah).
a. Al-Qur’an (QS. Yusuf : 72)

‫ير َو أ َن َا‬ ِ ِ‫ق َ ا ل ُوا ن َ فْ قِ د ُ صُ َو ا عَ الْ َم ل‬


ٍ ‫ك َو لِ َم ْن َج ا َء ب ِ ِه ِح ْم ُل ب َ ِع‬
ٌ‫ب ِ ِه زَ ِع ي م‬
Artinya:
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".”

22
Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
16

Kata za’im yang berarti menjamin dalam surah yusuf tersebut adalah
gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
b. Al-Hadist
Sebuah hadits sebagai landasan kafalah yaitu: “Telah dihadapkan kepada
Rasulullah (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan). Rasulullah bertanya
“apakah dia mempunyai warisan?” para sahabat menjawab “tidak”
Rasulullah bertanya lagi, “apakah dia mempunyai hutang? “sahabat
menjawab “ya, sejumlah tiga dinar” Rasulullah pun menyuruh para sahabat
untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Lalu abu Qatadah
berkata: “saya menjamin hutangnya ya Rasulullah” maka Rasulullah pun
menshalatkan mayat tersebut. (HR. Bukhari).
5. Implementasi Akad Kafalah dalam Praktik Perbankan Syariah
Secara fikih terdapat tiga macam kafalah yang padanya dapat
diimplementasikan dalam produk bank syariah yaitu:23
a. Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si peminjam (personal guarantee).
b. Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang.
Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance
payment) atau jaminam pembayaran (payment bond).
c. Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu
dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini dapat diterapkan
untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan
penawaran (bid nonds).
Implementasi kafalah dalam dunia perbankan syari’ah dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut:

23
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 150-151.
17

F. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Ijarah adalah istilah dalam fikih Islam dan berarti memberikan sesuatu
untuk disewakan.24 Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) No. 10/DSN-MUI/IV/2000, ijarah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, melalui pembayaran
upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milikiyyah) atas barang itu sendiri.25
Para ulama masa lalu telah mendefenisikan makna Ijarah ke dalam
beberapa definisi. Berikut akan diuraikan definisi dari beberapa Imam
Ahlusunnah tentang akad Ijarah.
a. Ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat
yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang
disewakan dengan adanya imbalan. Definisi ini dikemukakan oleh para
ulama dari golongan Hanafiyah.
b. Ijarah adalah suatu akad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy
(manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang.
Adapun al-kira’ digunakan untuk akad sewa-menyewa pada benda-benda
tetap, namun demikian hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-

24
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 99.
25
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Ijarah, online, diakses dari https://dsnmui.or.id pada tanggal 14
Maret 2019.
18

kadang juga digunakan. Demikian pendapat yang paling kuat dari mazhab
Malikiyah.
c. Ijarah adalah suatu akad atau suatu manfaat yang dibolehkan oleh syara’ dan
merupakan tujuan dan transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan
menurut syara’ disertai sejumlah imbalan yang diketahui. Demikian
pendapat yang masyhur dari ulama Syafi’iyah.
d. Ijarah adalah suatu akad atau suatu manfaat yang dibolehkan menurut syara’
dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi
sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya ‘iwadah. Definisi ini merupakan
pendapat dari ulama Hanabilah.26
2. Jenis-jenis Ijarah
Ada dua jenis ijarah dalam hukum islam, yaitu:
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa
seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang
mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir, upah yang
dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau properti, yaitu
memindahkan hak untuk memakai dari asset atau properti tertentu kepada
orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan
leasing (sewa) di bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut
musta’jir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/mua’jjir,
sedangkan biaya sewa disebut ujrah.
3. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa asset,
dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan asset.
b. Objek akad, yaitu ma’jur (asset yang disewakan), ujrah (harga sewa).
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Dua hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ijarah sebagai bentuk
pembiayaan.

26
Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
19

a. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar hukum-hukum syariah


terpenuhi, dan yang pokok adalah:
1) Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh asset yang disewakan
tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah
pihak.
2) Kepemilikan asset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung
jawab atas pemeliharaannya sehingga asset tersebut terus dapat memberi
manfaat kepada penyewa.
3) Akad ijarah dihentikan pada saat asset yang bersangkutan tertentu
memberikan manfaat kepada penyewa. Jika asset tersebut rusak dalam
periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
4) Asset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual,
harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
b. Sewa asset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat keuntungan, dengan
alasan:
1) Pemilik asset tidak mengetahui dengan pasti umur asset yang
bersangkutan. Asset hanya akan memberikan pendapatan pada masa
produksinya. Selain itu, harga asset tidak diketahui apabila dijual pada
saat asset tersebut masih diproduksi.
2) Pemilik asset tidak tahu pasti sampai kapan asset tersebut dapat terus
disewakan selama masa produktifnya.27
4. Landasan syariah
a. Al-Qur’an
Di antaranya dalil-dalil Al-Qur’an adalah : Surah Al-Baqarah: 233

27
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017, hlm. 101-102.
20

Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
b. Implementasi Ijarah
Ijarah dalam teknis perbankan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat. Jadi dasarnya
prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli. Namun, perbedaan terletak
pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah
barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
2) Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan
kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenai al-ijarah
al-Muntahiyah Bittamlik (Sewa yang diikuti dengan perpindahan
kepemilikan)
3) Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank
dengan nasabah.28
5. Implementasi Ijarah dalam dunia perbankan syari’ah dapat digambarkan dalam
skema sebagai berikut:

G. Ijarah Muntahiyah Bittamlik


1. Pengertian al-Ijarah al-Mumtahiyah Bittamlik

28
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonosio,
2012, hlm. 75.
21

Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-Mumtahiyah Bittamlik (IMBT)


adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya
akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat
pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
2. Bentuk al-Ijarah al-Muntahiyah Bittamlik
Ijarah al-Muntahiyah Bittamlik memiliki 5 bentuk, yaitu
a. Akad ijarah yang sejak awal akad memang dimaksudkan untuk
memindahkan kepemilikan barang sewa kepada pihak penyewa.
b. Akad ijarah memang dari awal murni dimaksudkan hanya untuk sewa,
hanya saja si penyewa diberi hak untuk memiliki barang sewaan dengan
memberikan uang pengganti dalam jumlah tertentu.
c. Akad ijarah dimaksudkan untuk sewa suatu barang, pada saat akad pihak
penyewa dan pemberi sewa membuat perjanjian yang mengikat untuk
melakukan akad jual beli barang objek sewa.
d. Akad ijarah dimaksudkan untuk sewa suatu barang, pada saat akad pihak
penyewa dan pemberi sewa membuat perjanjian yang mengikat untuk
melakukan hibah barang objek sewa.
e. Akad ijarah dimaksudkan untuk sewa suatu barang dalam jangka tertentu.
3. Implementasi al-Ijarah al-Muntahiyah Bittamlik
Bank-bank islam yang mengoperasikan produk al-ijarah dapat melakukan
leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun finance lease. Akan tetapi,
pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-
mumtahiyah bittamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu,
bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat
leasing maupun sesudahnya.29
Implementasi al-Ijarah al-Muntahiyah Bittamlik dalam dunia perbankan
syari’ah dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

29
Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
22

3.2 Mekanisme Pengembangan Produk Jasa Perbankan


Produk perbankan dari sector jasa adalah produk yang dapat dikembangkan
secara variatif seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat akan jasa perbankan
yang semakin meningkat. Begitu juga dalam praktik perbankan syariah, yang mana
pada dasarnya produk di bidang jasa ini, sangat mungkin untuk dikembangkan
secara lebih variatif.
Pengembangan produk dalam bank syariah juga merupakan suatu keniscayaan
yang tidak bisa dipungkiri, mengingat hal ini juga didukung oleh perangkat hukum
sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia. Sebagai contoh produk
baru yang cukup inovatif adalah dikeluarkannya sharia charge card oleh Bank
Internasional Indonesia (BII) yang dapat dijadikan sebagai alternativ pengganti
kartu kredit.
Di samping itu seiring dengan laju ekonomi yang semakin pesat, setiap bank
menawarkan berbagai produknya untuk menarik sebanyak mungkin konsumen,
diantaranya melalui financial transaction cards antara lain dengan penerbitan kartu
kredit dan kartu debit.
Beberapa produk jasa yang sudah dikemukakan diatas merupakan produk yang
sudah lazim diberikan oleh bank saat ini. Namun, dalam operasional perbankan
sehari-hari bank diperkenankan untuk mendesain sebuah produk baru. Ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi ketika bank hendak melempar produk baru kepada
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 28 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 yang menyebutkan bahwa bank wajib mengajukan
23

permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas produk dan jasa baru yang
akan dikeluarkan dengan melampirkan Fatwa dari Dewan Syariah Nasional atas
produk dan jasa baru tersebut.
Adapun produk dan jasa baru yang harus dimintakan persetujuan kepada Bank
Indonesia adalah:
a. Produk dan jasa baru yang belum ada izin usaha bank diberikan oleh Bank
Indonesia.
b. Produk dan jasa baru yang sudah ada sebelumnya di Bank Syariah lain namun
terdapat perbedaan karakteristik terhadap produk yang sudah ada.
c. Produk dan jasa baru yang merupakan turunan dari produk dan jasa yang sudah
ada.
Pengajuan produk dan jasa oleh Bank kepada Bank Indonesia harus disertai
dengan dokumen sebagai berikut:
a. Foto kopi surat kepada Dewan Syariah Nasional tentang permohonan Fatwa dan
produk jasa baru.
b. Opini syariah dari Dewa Pengawas Syariah Bank terhadap produk da jasa baru
c. Penjelasan tentang rancang produk dan jasa baru yang menguraikan
karakteristik, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang berkewenangan,
inftrastruktur yang diperlukan dan analisis risiko produk dan jasa tersebut.
d. Draft atau produk-produk ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan.
e. Informasi dan atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan berguna untuk
menilai manfaat serta risiko produk dan jasa tersebut.
Kemudian bank harus melakuakn presentasi kepada Bank Indonesia dalam
rangka mendapatkan izin atas produk dan jasa baru yang dikeluarkan. Setelah
mendapat izin dari Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan, maka
produk tersebut dapat dilempar kepada masyarakat.30

30
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007, hlm. 165-167.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Macam-macam produk jasa perbankan syariah antara lain: qardh, hiwalah,
wakalah, rahn, kafalah, ijarah, dan ijarah muntahiyah bittamlik (IMBT).
2) Rukun dan syarat produk jasa perbankan syariah
a. Rukun dan syarat qardh
Rukun dari akad qardh atau qardhul hasan yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa yaitu: pelaku akad, objek akad, tujuan, shighah
Syarat dari akad qardh atau qardhul hasan yang harus dipenuhi dalam
transaksi yaitu: kerelaan kedua belah pihak dan dana digunakan untuk sesuatu
yang bermanfaat dan halal.
b. Rukun dan syarat hiwalah
Rukun dari akad hiwalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu: pelaku akad, objek akad, shighah.
Sedangkan syarat-syarat dari akad hiwalah, yaitu: persetujuan para pihak
terkait dan kedudukan dan kewajiban para pihak.
c. Rukun dan syarat wakalah
Rukun dari akad wakalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa hal, yaitu: pelaku akad, objek akad, shighah.
Syarat-syarat dari akad wakalah, yaitu: objek akad harus jelas dan dapat
diwakilkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
d. Rukun dan syarat rahn
Rukun dari akad rahn yang harus dipenuhi, antara lain: pelaku akad,
objek akad, shighah.
Syarat-syarat dari akad rahn, yaitu: pemeliharaan dan penyimpanan
jaminan serta penjualan jaminan.
e. Rukun dan syarat kafalah

20
Rukun dari akad kafalah yang harus dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
pelaku akad, objek akad, shighah.
Syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu: objek akad harus jelas dan dapat
jaminan serta tidak bertentangan dengan syariat Islam.
f. Rukun dan syarat ijarah
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
pelaku akad, objek akad, shighah.
Dua hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ijarah sebagai
bentuk pembiayaan.
1. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar hukum-hukum syariah
terpenuhi, dan yang pokok adalah:
a) Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh asset yang disewakan
tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah
pihak.
b) Kepemilikan asset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung
jawab atas pemeliharaannya sehingga asset tersebut terus dapat
memberi manfaat kepada penyewa.
c) Akad ijarah dihentikan pada saat asset yang bersangkutan tertentu
memberikan manfaat kepada penyewa. Jika asset tersebut rusak dalam
periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
d) Asset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual,
harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
2. Sewa asset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat keuntungan,
dengan alasan:
a) Pemilik asset tidak mengetahui dengan pasti umur asset yang
bersangkutan. Asset hanya akan memberikan pendapatan pada masa
produksinya. Selain itu, harga asset tidak diketahui apabila dijual pada
saat asset tersebut masih diproduksi.
b) Pemilik asset tidak tahu pasti sampai kapan asset tersebut dapat terus
disewakan selama masa produktifnya.
3) Implementasi dari macam-macam produk jasa perbankan syariah

21
a. Implementasi akad hiwalah dalam perbankan syariah
Akad hiwalah dipraktikan di perbankan syariah terhadap beberapa
produk sebagai berikut: factoring atau anjak piutang, post-dated check, bill
discounting.
b. Implementasi akad wakalah dalam perbankan syariah
Wakalah biasanya diterbitkan sebagai Letter of Credit (L/C) atau
penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C
ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada
pihak lain, serta jasa inkaso.
c. Implementasi akad rahn pada perbankan syariah
Rahn yang ada di dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai
menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang
dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam salah satu jenis akad
pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum pegadaian rahn
merupakan produk utama.
Risiko yang ada pada implementasi gadai pada perbankan syariah adalah
risiko tidak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi) dan risiko penurunan
nilai asset yang ditahan berupa kerusakan atau turunnya harga jual atas suatu
asset.
d. Implementasi akad kafalah dalam perbankan syariah
Secara fikih terdapat tiga macam kafalah yang padanya dapat
diimplementasikan dalam produk bank syariah yaitu: kafalah bin nafs, kafalah
bil maal, dan kafalah muallaqah.
e. Implementasi akad ijarah muntahiyah bittamlik pada perbankan syariah
Bank-bank islam yang mengoperasikan produk al-ijarah dapat
melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun finance lease.
Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan
al-ijarah al-mumtahiyah bittamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan.
Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik
pada saat leasing maupun sesudahnya.
4) Landasan hukum produk jasa perbankan syariah
a. Landasan hukum hiwalah

22
Landasan syariah atas hiwalah dapat dijumpai dalam sunnah dan ijma’.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Menunda pembayaran bagi
orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari
kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah
hiwalah itu”.
Sedangkan dalam tataran teknis hiwalah diatur dalam ketentuan pasal 36
huruf c poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang intinya
menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-
hatian dalam kegiatan usahanya yang meliputi melakukan pemberian jasa
pelayanan perbankan berdasarkan akad hiwalah.
b. Landasan hukum wakalah
Dasar hukum tentang kebolehan pemberian kuasa ini adalah Al-quran
yang mengisahkan tentang Ashabul Kahfi (surat Al-Kahfi) ayat 19. Sedangkan
dalam tataran jenis wakalah diatur dalam ketentuan pasal 36 huruf c poin
pertama PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang intinya menyatakan bahwa
bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan usahanya yang meliputi melakukan pemberian jasa pelayanan
perbankan berdasarkan akad wakalah.
c. Landasan hukum rahn
Landasan hukum rahn antara lain: Al-Quran (Q.S Al-Baqarah ayat 282
dan 283), hadis riwayat (bukhari dan muslim, asy-syafi’i, dll), serta ijma’ para
ulama.
d. Landasan hukum kafalah
Landasan hukum rahn antara lain: Al-Quran (QS. Yusuf : 72) dan hadis
riwayat Imam Bukhari yang menyatakan bahwa:
““Telah dihadapkan kepada Rasulullah (mayat seorang laki-laki untuk
dishalatkan). Rasulullah bertanya “apakah dia mempunyai warisan?” para
sahabat menjawab “tidak” Rasulullah bertanya lagi, “apakah dia mempunyai
hutang? “sahabat menjawab “ya, sejumlah tiga dinar” Rasulullah pun

23
menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak).
Lalu abu Qatadah berkata: “saya menjamin hutangnya ya Rasulullah” maka
Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut.”
e. Landasan hukum ijarah
Landasan hukum akad ijarah adalah QS. Al-Baqarah ayat 233.
3.2 Saran
Lembaga keuangan syariah diharapkan mampu memanfaatkan serta
mengembangkan produk-produk jasa yang tersedia sehingga mampu memberikan
manfaat bagi masyarakat luas. Serta lembaga keuangan syariah juga harus lebih bisa
mensosialisasikan produk-produk tersebut terhadap nasabah/anggota/masyarakat.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. 2017. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anshori, Abdul Ghofur. 2007. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Antonio, Syafi’I. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press.
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Qardh, online, diakses dari mps.fai-
umj.ac.id pada tanggal 14 Maret 2019.
---------------------------------------------------------------------------------, Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Ijarah, online, diakses dari
https://dsnmui.or.id pada tanggal 14 Maret 2019.
---------------------------------------------------------------------------------, Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah, online, diakses dari
https://dsnmui.or.id pada tanggal 14 Maret 2019.
---------------------------------------------------------------------------------, Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah, online, diakses dari
https://dsnmui.or.id pada tanggal 14 Maret 2019.
---------------------------------------------------------------------------------, Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah, online, diakses dari
https://dsnmui.or.id pada tanggal 14 Maret 2019.
---------------------------------------------------------------------------------, Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 25/DSN-MUI/IV/2002 Tentang Rahn, online, diakses dari
https://dsnmui.or.id pada tanggal 14 Maret 2019.
Gusmansyah, Wery dan etry Mike. 2016. Bahan ajar mata Kuliah Hukum Perbankan
Syariah. Bengkulu.
Ismail. 2014. Perbankan Syariah Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Sudarsono, Heri.2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta: Ekonosio.

25

Anda mungkin juga menyukai